• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan - Valena Nekotan BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan - Valena Nekotan BAB II"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1. Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan

Kewarganegaraan dalam bahasa latin disebutkan “Civis”, selanjutnya dari kata “Civis” ini dalam bahasa Inggris timbul kata ”Civic

artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata “Civic” lahir kata “Civics”, ilmu kewarganegaraan dan Civic Education,

Pendidikan Kewarganegaraan. Pelajaran Civics mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan nama “Theory of Americanization”.

Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa

yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa

Amerika maka perlu diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut, pelajaran Civics membicarakan masalah ”government”, hak dan kewajiban warga negara dan Civics merupakan

bagian dari ilmu politik. Di Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan yang

searti dengan “Civic Education” itu dijadikan sebagai salah satu mata

pelajaran yang wajib ditempuh oleh siswa baik dari tingkat Sekolah Dasar

(SD) sampai ke tingkat mahasiswa di Perguruan Tinggi.

Melihat begitu pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan atau

(2)

selenggarakan. Bahkan Kongres Internasional Commission of Jurist yang berlangsung di Bangkok pada tahun 1965, mensyaratkan bahwa

pemerintahan suatu negara baru dapat dikatakan sebagai pemerintahan

yang demokratis manakala ada jaminan secara tegas terhadap hak-hak

asasi manusia, yang salah satu di antaranya adalah Pendidikan

Kewarganegaraan atau ”Civic Education”. Hal ini dapat dimaklumi,

karena dengan dimasukkannnya ke dalam sistem pendidikan yang mereka

selenggarakan, diharapkan warga negaranya akan menjadi warga negara

yang baik dan warga negara yang cerdas (good and smart citizen), yang mengetahui dan menyadari sepenuhnya akan hak-haknya sebagai warga

negara, sekaligus tahu dan penuh tanggung jawab akan kewajiban dirinya

terhadap keselamatan bangsa dan negaranya. Dengan demikian

diberikannya Pendidikan Kewarganegaraan akan melahirkan warga negara

yang memiliki jiwa dan semangat patriotisme dan nasionalisme yang

tinggi yang disebutkan oleh Bambang Daroeso dalam bukunya.

2. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan memberikan konstribusi yang besar dalam

pembentukan dan persiapan warga negaranya dalam menghadapi

tuntunana zaman, seperti dalam memasuki era globalisasi ini perubahan

besar yang berjalan teramat cepat melanda kehidupan masyarakat, bangsa

dan negara tersebut yang memaksakan warga negaranya mempersiapkan

(3)

berkualitas tetapi bagaimana juga bisa mengembangkan jati diri atau

identitas sebagai suatu bangsa. Hal ini menuntun suatu wawasan masa

depan wawasan abad XXI, masa depan bukan sesuatu yang menakutkan

sehingga harus di hindari oleh setiap individu tetapi merupakan peluang

untuk meningkatkan taraf kehidupan, asalkan mampu dan siap

menghadapinya. (Fuad Hassan, 1992 : 17)

Menurut Cogan, Pendidikan Kewarganegaraan digambarkan

sebagai “kontribusi pendidikan untuk pengembangan karakteristik

-karakteristik warga negara” (Cogan, 1999 : 3) , dan proses tentang aturan pengajaran masyarakat, institusi, dan organisasi-organisasi dan peran

warga negara dalam masyarakat yang berfungsi secara baik. Pendidikan

memiliki peranan yang sangat penting didalam membentuk warga negara

yang baik dan selalu bertumpu pada suatu wawasan kesejahteraan yakni

pengalaman masa lampau, kenyataan dan kebutuhan pada masa kini dan

merupakan aspirasi masa depan. Melalui pendidikan masyarakat akan

melestarikan nilai-nilai luhur, sosial kebudayaan yang diukir. Pendidikan

digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh

rakyat. Oleh karena masalah-masalah rakyat yang cukup banyak dan perlu

dipecahkan, maka selain berbekal pendidikan rakyat dalam

pelaksanaannya juga memerlukan dukungan dan partisipasi dari semua

(4)

Menghadapi era globalisasi, diperlukan visi yang dapat

mengarahkan misi, rencana dan segala ikhtiar, minimal ada enam

komponen yang akan menentukan perubahan yaitu :

1. Adanya visi yang jelas,

2. Misi berupa rumusan langkah-langkah kunci untuk mulai melakukan

inisiatif, mengevaluasi dan mempertajam bentuk kegiatan untuk

mencapai tujuan yang ditetapkan dalam visi,

3. Rancangan kerja,

4. Sumber daya,

5. Keterampilan,

6. Motivasi dan insentif.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses membangun

peradaban bangsa, dalam hal ini yang merupakan pengendalinya ialah

warga negara itu sendiri. Oleh karena itu pendidikan harus bertumpuh

pada konsep pertumbuhan, pengembangan, pembaharuan, dan

kelangsungan hidupnya sehingga penyelenggaraan pendidikan harus

dikelolah secara profesional. Mengingat pendidikan mempunyai peran

yang sangat strategis dalam proses pembangunan peradaban, maka bidang

pendidikan perlu ditindak lanjuti oleh kabupaten atau kota dengan

memberikan alokasi anggaran pendidikan di daerahnya sesuai dengan

(5)

kembangkan ialah dunia pendidikan yang beriontasi moral. Dengan

membangun dunia pendidikan berorentasi moral, maka akan melahirkan

pribadi - pribadi anak bangsa yang dapat memberikan konstribusi nyata

didalam membangun bangsa ini kedepannya mejadi bangsa yang maju dan

bermartabat dimata bangsa - bangsa lain.

Pendidikan merupakan upaya strategis dalam pembentukan sistem

nilai yang ada dalam diri seseorang, kaitannya dengan perwujudan harkat

dan martabat sebagai manusia sesuai dengan tatanan kehidupan

masyarakat yang melingkupinya. Dengan perkataan lain pendidikan harus

senantiasa di arahkan pada upaya peningkatan kesadaran dan harkat serata

martabat seseorang baik selaku pribadi, anggota masyarakat maupun

sebagai suatu bangsa. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa

materi pelajaran yang disampaikan dalam kurikulum persekolahan tidak

semata-mata untuk pengetahuan (intelektual), melainkan perlu

direalisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku nyata sehari-hari, sesuai

dengan hakikat dan potensi manusia itu sendiri yang bersifat utuh.

Nursid Sumaatmadja (2001 : 15) menjelaskan bahwa “ keutuhan manusia itu bukan hanya pada sosok jasmaninya seperti makhluk hidup

lainnya melainkan juga meliputi aspek akhlak, moral, dan tanggung jawab

seperti khalifah dimuka bumi. Disinilah letak kewajiban keterpaduan

antara pendidikan intelektual dengan keterampilan dan pendidikan

(6)

yang diterapkan di Indonesia belum dapat menghasilkan sumber daya

manusia yang mampu bersaing dengan bangsa lain, hal ini ditunjukkan

dari penelitian badan-badan internasional yang hasilnya bahwa Indonesia

selalu mendapatkan nomor yang terbawah, bahkan di bawah negara-negara

tetangga.

Untuk memperbaiki hal itu diperlukan upaya-upaya yang terencana

dan terarah dalam suatu terutama dalam pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan yang mampu menggali seluruh potensi individu secara

cerdas dan efektif demi terbentuknya masyrakat yang sejahtera lahir dan

batin. Untuk itu, diperlukan pembaharuan / reformasi konsep dan

paradigma pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dari yang hanya

menekankan pada aspek kognif menjadi penekanan pada pengembangan

proses intitusi-intitusi negara dan kelengkapannya. (Wahab, 1999)

Adapun tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah

agar peserta didik memiliki kemampuan yakni sebagai berikut :

1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu

kewarganegaraan.

2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dan bertindak secara

cerdas dalam kegiatan berwarga negara, berbangsa dan bernegara,

(7)

3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri

berdasarkan karakter - karakter warga negara Indonesia agar dapat

hidup bersama dengan bangsa - bangsa lainnya.

4) Berinteraksi dengan bangsa - bangsa lain dalam percaturan dunia

secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi

informasi dan komunikasi.

Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang

bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan

bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada

generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang

paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu

learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dan mentransformasikan nilai – nilai demokrasi. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga

pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku

politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awarenes, attitude, political efficacy dan political paticipation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan

menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa. (Tukiran et

al, 2009 : 3)

Tugas utama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah

untuk membina moral dan perilaku siswa agar bertingkah laku yang baik

(8)

dan semangat sebagai warga negara yang baik yang berdasar atas

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai yang dapat

ditumbuhkan antara lain yakni sebagai berikut :

1) Mengutamakan kepentingan umum dan bangsa di atas kepentingan

pribadi,

2) Semangat rela berkorban dan mengabdi kepada negara dan bangsa,

3) Sikap pantang menyerah dalam membela kepentingan bangsa dan

negara Republik Indonesia,

4) Sikap persatuan dan kesatuan bangsa,

5) Sikap patriotik dalam mempertahankan dan memajukan bangsa,

6) Sikap membangun untuk kepentingan bersama,

7) Sikap bekerja sama utuk membangun bangsa,

8) Sikap “tepa slira”, mengukur diri sendiri, 9) Sikap memperbaiki diri dan tenggang rasa,

10)Mampu menguasai diri demi kepentingan persatuan dan kesatuan

bangsa,

11)Bersikap adil dan ambeg paramarta, 12)Berjiwa merdeka dan cinta perdamaian,

13)Tahan uji, ulet, dan tahan menderita dalam membela dan membangun

negara,

14)Jujur terhadap sesama dan diri sendiri, dan nilai-nilai luhur lainnya.

(9)

3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam paradigma baru, pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui “

value-based education” dengan kerangka sistemik sebagai berikut :

1) Secara kurikuler bertujuan untuk mengembangkan potensi individu

agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas,

partisipatif dan bertanggung jawab.

2) Secara teoretik memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan

psikomotorik (Civic Knowledge, Civic Skills, dan Civic Dispositions) yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam

konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila,

kewarganegaraan yang demokratis dan bela negara.

3) Secara programatik menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai

(content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi

warga negara dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa dan

bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep dan

moral Pancasila. Kewarganegaraan yang demokratis dan bela negara.

(Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 86)

Selain itu juga Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma

(10)

civic knowledge (pengetahuan dan wawasan negara), civic dispositions (nilai, komitmen, dan sikap kewarganegaraan) dan civic skills (perangkat keterampilan intelektual, sosial, dan personal kewarganegaraan) yang

seyogyanya dikuasai oleh setiap individu warga negara (Winataputra, 2001

: 317-318).

Selain sebagai value-based education, dalam era global Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia mengemban misi sebagai pendidikan

demokrasi, pendidikan politik dan pendidikan anti korupsi. Oleh karena itu

hendaknya Pendidikan Kewarganegaraan mengkaji konsep besar yang

dibawa globalisasi, yakni demokrasi,hak-hak asasi manusia dan

menempatkan hukum di atas segalanya (supermacy of law / rule of law) yang didasarkan pada fondasi sepuluh pilar demokrasi (the ten pillars of Indonesian constitusional democracy) yang menjadi dasar pengembangan pendidikan kewarganegaraan yang baru. (Sanusi, 1999:5-6)

mengidentifikasi Kesepuluh pilar tersebut yang meliputi :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Hak Asasi Manusia

3. Kedaulatan Rakyat

4. Kecerdasan rakyat

5. Pemisahan Kekuasaan Negara

6. Otonomi Daerah

(11)

9. Kesejahteraan rakyat

10.Keadilan Sosial

Kesepuluh pilar tersebut digali dari falsafah bangsa Pancasila dan

Konstitusi Negara RI Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Disamping itu diperhatikan pula persoalan-persoalan

kewarganegaraan dan kecenderungan-kecenderungan global Pendidikan

Kewarganegaraan di berbagai negara yang baik langsung maupun tidal

langsung akan berpengaruh terhadap isi (kurikulum), dan strategi belajar

mengajar Pendidikan Kewarganegaraan yang akan datang. (Wahab,2006:

65)

Kelas Pendidikan Kewarganegaraan dan sekolah harus dijadikan

sebagai laboratorium masyarakat, bangsa dan negara sehingga dalam

proses pembelajaran memerlukan media yang fungsinya adalah untuk

memberi kemudahan kepada siswa dalam memahami materi yang

diajarkan. Yang dimaksud dengan media adalah sesuatu yang bersifat

materiil-imateriil ataupun behavioral atau personal yang dijadikan wahana kemudahan, kelancaran serta keberhasilan proses hasil belajar. (Kosasih

Djahiri, 1999)

MacLuhan menyatakan bahwa The medium is the message yaitu media mewakili isi pesannya. Jika demikian berarti guru Pendidikan

Kewarganegaraan adalah salah satu media pembelajaran harus

menampilkan figur sebagaimana pesan Pendidikan Kewarganegaraan.

(12)

negara yang baik, jujur, demokratis, taat beragama dan sebagainya. Media

dalam Pendidikan Kewarganegaraan yaitu yang bersifat materiil, misalnya

buku, model pakaian, bendera, lambang sedangkan yang bersifat imateriil,

misalnya contoh kasus, cerita, legenda, budaya.Kemudian yang bersifat

kondisional, misalnya suasana simulasi yang diciptakan sebelum atau pada

saat proses belajar berlangsung di kelas atau di tempat kejadian.Dan yang

bersifat personal , misalnya nama atau foto atau gambar tokoh masyarakat

atau pahlawan, gambar atau foto atau nama presiden, raja..

4. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Dari pengertian dan tujuan mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan di atas, nampak bahwa komponen yang hendak

dikembangkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

adalah komponen civic knowledge (pengetahuan warga negara), komponen civic skills (keterampilan berpikir kritis, rasional, kreatif dan keterampilan berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam kehidupan berwarga negara,

berbangsa dan bernegara), civic dispositions (berkembang demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter warga negara Indonesia dan

berinteraksi dengan bangsa lain di era globalisasi). Yang terpenting, pada

akhirnya siswa mampu merefleksikan ketiga komponen tersebut dalam

kehidupan warga negara, berbangsa dan bernegara. Hal ini

mengindikasikan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu

(13)

Selain itu telah diuraikan bahwa ruang lingkup mata pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan meliputi beberapa aspek, salah satunya

adalah aspek norma, hukum dan peraturan, meliputi : Tertib dalam

kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di warga

negara, peraturan - peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional hukum dan

peradilan internasional untuk aspek tata tertib di sekolah dapat diwujudkan

apabila siswa tersebut memiliki kesadaran hukum yang tinggi sebagai

salah satu ciri warga negara yang baik yang ditandai desalah satunya

dengan melaksanakan tata tertib yang ada di sekolah.

B.Karakter Warga Negara Yang Baik

1. Pengertian Karakter

Terdapat keragaman pendapat mengenai apa itu karakter yang

“baik”. Konsep karakter baik (good character) menurut Thomas Lickona

(1991), sebagai suatu kebajikan (virtue) yang bisa dibagi dalam dua kategori, yakni kebajikan pada diri sendiri (self oriented virtuous) dan kebajikan terhadap orang lain (other - oriented virtuous). Kebajikan pada diri sendiri (self oriented virtuous) misalnya pengendalian diri dan kesabaran. Kebajikan terhadap orang lain (other - oriented virtuous) misalnya kesediaan berbagi dan merasakan kebahagiaan. Kebajikan itu

bukan sekedar sikap, tetapi juga merupakan pengetahuan dan perilaku.

Oleh karena itu secara populer, karakter itu meliputi tiga hal, yakni

(14)

good) dan melakukan hal baik (acting the good). Selanjutnya dari sejumlah kebajikan, ada 10 (sepuluh) kebajikan utama (Ten Essential Virtues) yang perlu dalam pendidikan karakter yakni : wisdom, justice, fortitude, self control, love, integrity, hard work, gratitude, humility, and positive attitude (Thomas Lickona, 2003).

Karakter baik juga diperkenalkan oleh MS Branson (1998), bahwa

karakter sebagai suatu kebajikan (virtue) yang meliputi dua hal, yakni kebajikan publik (public character) dan kebajikan privat (privat character). Karakter publik itu misalnya : public spiritedness, civility, respect for the rule of law, critical mindedness, and willingness to listen, negotiate and compromise. Karakter privat itu misalkan moral responsibility, self discipline and respect for the worth and human dignity of every individual are imperative. Berdasarkan dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter baik meliputi dua hal, yakni karakter yang

sifatnya individual / privat / ditujukan pada diri sendiri dan karakter yang

sifatnya publik / ditujukan pada orang lain.

Konsep karakter sebagai suatu kebajikan atau virtue, bisa dirunut dari pernyataan Aristoteles yang menyebut bahwa warga negara yang baik

(15)

Menurut Cheppi Hericahyono (1995), terdapat dua macam

kebajikan atau virtue, yakni kebajikan intelektual yang bisa diajarkan dan kebajikan moral melalui kebiasaan yang dikenal sebagai karakter. Oleh

karena itu Aristoteles terkenal dengan pernyataannya bahwa karakter itu

adalah suatu kebiasaan (character is habit) sebab karakter itu dapat diajarkan melalui pembiasaan.

Menurut Michele Borba (2008 : 4), kecerdasan moral adalah

kemampuan seseorang untuk memahami hal yang benar dan yang salah,

yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan

keyakinan tersebut, sehingga ia bersikap benar dan terhormat, adalah

sifat-sifat utama yang dapat mengantarkan seseorang menjadi baik hati,

berkarakter kuat, dan menjadi warga negara yang baik. Dimana cara

menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya

menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuhkan

kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol

diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam

kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun

dan kapan pun.

Berdasarkan uraian di atas, karakter pada dasarnya melekat pada

diri pribadi atau seseorang, yang sifatnya individual. Karakter yang baik

adalah karakter yang dimiliki oleh seseorang pribadi. Oleh karena itu,

istilah warga negara yang baik berbeda dengan manusia yang baik. Istilah

(16)

identitas, kepemilikan hak dan kewajiban, keterlibatan dalam masalah

publik dan penerimaan atas nilai-nilai sosial (Cogan & Derricot, 1998).

Aristoteles membedakan antara good man dan good citizen. Dikatakan “We must notes that different constitution require different type of good

citizen, while the good man is always same.” (Derek Heater, 2004) 2. Pengertian Warga Negara

Salah satu unsur negara adalah adanya rakyat mendiami wilayah

negara tersebut, yang biasanya disebut sebagai warga negara. Warga

negara merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus

terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang

bersifat timbal balik terhadap negaranya.Warga negara diartikan juga

sebagai orang –orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara, yang dahulu disebut hamba atau kawula negara.

Hak dan kewajiban warga negara menurut Soemantri (2001 : 1)

merupakan syarat objektif dalam semua organisasi negara demokratis.

Karena itu rakyat yang menempati sebuah negara telah

mencantumkannnya dalam konstitusi negara. Biasanya anatara ketentuan

pasal – pasal hak dan kewajiban warga negara dalam konstitusi dengan kenyataannya sedikit atau banyak berbeda. Hal ini terjadi karena

tergantung pada kebijakan pemerintah, tingkat kemakmuran, tingkat

pelayanan publik, sistem politik, ekonomi, hukum, dan tingkat pendidikan,

disiplin budaya bangsa, serta konstelasi dan banyaknya maslah bangsa itu.

(17)

hubungannya dengan rasional Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata

pelajaran di sekolah.

Berdasarkan Undang–Undang dasar 1945 Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang – orang bangsa Indonesia asli dan orang–orang bangsa lain yang disahkan dalam undang– undang sebagai warga negara. Undang–undang yang dimaksudkan adalah Undang – undang Nomor 3 tahun 1946 tentang warga negara, penduduk negara, dan Undang–undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Setiap negara pada umumnya

mencantumkan pasal hak dan kewajiban warga negara dalam Undang– Undang dasar dan peraturan hukum lainnya sebagai syarat objektif dalam

hidup bermasyarakat dan bernegara. Begitu dalam dan luasnya makna hak

dan kewajiban ini karena berhubungan erat dengan sejarah perjuangan

bangsa, dan keberhasilan dalam pembangunan kebudayaan materiil dan

imateriil, serta agama (Soemantri, 2002 : 25).

Di samping mengamalkan secara objektif, secara subjektif warga

negara dan penyelenggara negara wajib mengamalkan Pancasila dalam

kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam rangka

pengamalan secara subjektif ini, Pancasila sebagai sumber etika dalam

bersikap dan bertingkah laku setiap warga negara dan penyelenggara

negara. Etika kehidupan berbangsa dan bernegara bersumberkan pada

nilai-nilai Pancasila sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR

(18)

Melanggar norma etik tidak mendapatkan sanksi hukum tetapi sanksi dari

diri sendiri.Adanya pengamalan secara subjektif ini adalah konsekuensi

dari mewujudkan nilai dasar Pancasila sebagai norma etik berbangsa dan

bernegara. (Dwi Winarno, 2006 : 27-28)

Sebuah negara pastinya memiliki masyarakat dimana mereka yang

tinggal di wilayah tersebut dalam waktu yang cukup lama disebut sebagai

warga negara. Seorang warga negara pastinya juga memiliki suatu

kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemerintahan

yang berlaku, selain itu mereka juga memiliki suatu hak dimana mereka

memiliki suatu yang seharusnya mereka peroleh setelah melaksanakan

kewajibannya. Salah satu haknya yaitu hak asasi manusia.Hak asasi

manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru berpikir

secara hukum berkaitan dengan ide begaimana keadilan dan ketertiban

dapat terwujud. Dengan demikian,pengakuan dan pengukuhan negara

hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan

sekaligus kebebasan perseorangan diakui,dihormati dan dijunjung tinggi.

(Masyhur, 1994 : 27)

Warga negara dikelompokkan kedalam 5 kategori, yaitu : warga

negara harus memiliki identitas atau jati diri, warga negara memiliki

hak-hak tertentu, warga negara memiliki kewajiban-kewajiban yang menjadi

keharusan, sehingga selalu menjaga keseimbangan antara kepentingan

privat dengan kepentingan publik serta memiliki sikap tanggung jawab,

(19)

kepentingan umum, sehingga merasa terpanggil untuk ikutserta dalam

kegiatan-kegiatan yang bersifat kepentingan umum, warga negara

memiliki sikap menerima nilai-nilai dasar kemasyarakatan, sehingga

mampu menjalin dan membina kerjasama, kejujuran dan kedamaian serta

rasa cinta dan kebersamaan.

Dalam menghadapi kehidupan abad 21, warga negara perlu

memiliki karakteristik, keterampilan dan kompetensi tertentu agar dapat

menghadapi dan mengatasi kecenderungan yang tidak diinginkan serta

dapat menumbuh kembangkan kecenderungan-kecenderungan yang

diinginkan. Terdapat 8 karakteristik yang perlu dimiliki warga negara

yaitu sebagai berikut : Pertama, mendekati masalah atau tantangan sebagai

anggota masyarakat global. Kedua, memiliki kehendak dan kemampuan

untuk bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas

peran dan kewajibannya dalam masyarakat. Ketiga, mampu memahami,

menerima dan toleran terhadap perbedaan budaya. Keempat, mampu

berpikir kritis dan sistimatis. Kelima, mampu untuk menyelesaikan konflik

tanpa kekerasan. Keenam, peka terhadap hak azasi manusia. Ketujuh,

mampu untuk merubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtif guna

melindungi lingkungan. Kedelapan, berpatisipasi dalam politik pada

tingkat lokal, nasional dan internasional.

(20)

antara lain hak hidup, hak kebebasan, dan hak untuk mengejar

kebahagiaan. Pengakuan hak asasi manusia dipertegas lagi oleh Presiden

Franklin D.Roosevelt yang diucapkan pada tahun 1941. Ungkapan

Franklin D.Roosevelt dikenal dengan Four Freedoms, isinya :

a) Kebebasan (Kemerdekaan) berbicara (freedom to speech) b) Kebebasan beragama (freedom to religion)

c) Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want) d) Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear)

Dengan demikian, dalam hak asasi manusia terkandung beberapa

sumpah yang dapat dibenarkan :

a. Hak asasi manusia berasal / bersumber dari Tuhan sering disebut

hukum alam diberikan / dimilki seluruh manusia per individu tanpa

membeda - bedakan status orang per orang.

b. Dalam hak asasi mengarah/mengutamakan lebih dahulu kepuasan batin

(spiritual need) semua pihak yang dapat memberi kontribusi positif dan aktif pada kepuasan lahir (biological need).

c. Penjabaran / aplikasi hak asasi manusia berkembang terus seirama

dengan perkembangan pikir, budaya, cita-cita manusia dan iptek.

d. Manusia yang kehilangan hak asasi manusianya, ia akan menjadi robot

hidup yang hanya bernafas.

(21)

pelanggaran atas aturan hukum yang berlaku, lewat keputusan hukum

yang adil dan benar.

f. Keberadaan negara, antara lain untuk menghormati dan

mempertahankan hak asasi manusia sesuai dengan kesepakatan

bersama demi pengembangan martabat kemanusiaan.

g. Kesadaran memiliki dan melaksanakan hak asasi harus dikaitkan pula

dengan kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi.

(Masyhur Effendi, 1994:31-32)

3. Tujuan memiliki Karakter Warga Negara Yang Baik

Pendidikan sebagai penyiapan warga negara, diartikan suatu

kegiatan terencana untuk membekali dan menyiapkan generasi-generasi

yang bakal memimpin bangsa dengan baik dan benar. Pendidikan sebagai

proses penyiapan warga negara merupakan bentuk strategi kebudayaan

yang efektif untuk mempersiapkan warga negaranya, bagi kelangsungan

masyarakat bangsa dan negara yang lebih baik dimasa depan serta

menjadikan warga negaranya yang demokratis dan bertanggung jawab.

Dengan kata lain pendidikan itu sangat di butuhkan untuk mempersiapkan

warga negaranya dalam memajukan bangsa dan negaranya, yang

selanjutnya bisa dikembangkan berupa peningkatan kemampuan

intelektual, peningkatan sumber daya manusia dan perbaikan mutu

pendidikan.

Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara bertujuan untuk

(22)

menjadi lebih baik, demokratis dan bertanggung jawab bagi bangsa dan

negaranya. Sebagai warga negara yang baik dan sebagai generasi penerus

bangsa kedepan, haruslah mendalami pendidikan dengan

sungguh-sungguh, karena dengan itu bisa merupakan suatu sarana untuk mencapai

cita-cita dan tujuan hidup dari diri pribadi maupun bangsa dan negara.

Warga negara yang baik itu ukurannya adalah konstitusi negara

yang bersangkutan. Sepanjang warga negara itu sikap dan perilakunya

tidak bertentangan dan mematuhi konstitusi maka ia berkategori warga

negara baik, sementara manusia / orang yang baik pada dasarnya sama di

semua negara, karena ia ditentukan oleh hati nuraninya. Jadi warga negara

yang baik belum tentu manusia yang baik. Kita mungkin mendengar ada

anggota DPR atau pejabat negara yang taat membayar pajak, melaporkan

kekayaan pribadinya, memenuhi panggilan sidang, dan mematuhi

peraturan berlalu lintas. Akan tetapi juga berperilaku a-moral, misal melakukan perselingkuhan, suka marah dan sebagainya merupakan warga

negara yang baik tetapi belum tentu sebagai manusia yang baik.

(23)

confidence, competence dan commitment yang selanjutnya disebut sebagai warga negara yang baik (good citizen). (Dwi Winarno, 2006 : 35-37)

Jika kita kembali pada konsep warga negara yang baik, kiranya

siswa sebagai warga negara yang baik dituntut memiliki karakter publik

yang baik, memiliki identitas, memiliki dan melaksanakan hak dan

kewajibannya, berpartisipasi dalam kebijakan publik dan menerima

adanya nilai-nilai sosial bersama. Karakter - karakter demikian merupakan

Referensi

Dokumen terkait

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukan: (1) Tingkat kedisiplin diri para siswa kelas V SD PL Don Bosko Semarang tahun ajaran 2009/2010 terhadap tata tertib sekolah

This study is entitled Anne Frank’s Motivation in Giving Responses to the Conflicts Appearing during Her Hiding as Seen in Anne Frank’s The Diary of a Young Girl.. It deals with

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kecambah kacang hijau pada formulasi flakes terhadap sifat fisik, kimia dan sensori dalam

Masalah yang kedua adalah “Topik -topik bimbingan kelompok apakah yang tepat untuk meningkatkan atau mengembangkan kecerdasan interpersonal siswa kelas XI..

Seorang guru atau ulama adalah orang yang menempatkan cita-cita teragung dan termulia tersebut di depan muridnya (Ali, 2005: 62). Al-Ghazali sangat mengagungkan posisi

Ketiga, pemaknaan para informan dari SMA Stece Bantul dan Stece 2 Yogyakarta kelas XII terhadap Peristiwa G30S yang sudah menjadi learned memory bagi mereka di masa kini

Sedangkan Fabri 3 (1990) mengatakan bahwa pertimbangan orang menjadikan wilayah pesisir sebagai daerah wisata dan rekreasi adalah karena wilayah pesisir memiliki

Keterkaitan variabel kinerja lingkungan yang diproksi dengan ISO 14001 dan mekanisme GCG yang diproksi dengan ukuran komite audit, dewan direksi wanita, dan proporsi