• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan 1. Penelitian dengan judul “Praanggapan dalam Film “5cm” Karya Donny - Indriani BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan 1. Penelitian dengan judul “Praanggapan dalam Film “5cm” Karya Donny - Indriani BAB II"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Relevan

1. Penelitian dengan judul “Praanggapan dalam Film “5cm” Karya Donny Dhirgantorooleh Jenifer Amilia Putri Aditama tahun 2015 Universitas Negeri PGRI Kediri

Penelitian Jenifer bertujuan untuk menyebutkan bentuk-bentuk praanggapan dalam tuturan dan menyebutkan bentuk-bentuk praanggapan yang dikaitkan dengan konteks situasi, partisipan, dan pengetahuan bersama dalam tuturan film 5CM karya Donny Dhirgantoro. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif sesuai dengan data dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tuturan. Sumber data yang digunakan adalah film 5CM karya Dony Dhirgantoro. Hasil dari penelitian ini, peneliti dapat mengetahui makna dan menjelaskan praanggapan sesuai dengan bentuk kata yang dikaitkan dengan konteks situasi, pengetahuan bersama, dan partisipan dalam tuturan film 5CM.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada jenis penelitian dan teori yang digunakan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif, sedangkan teorinya menggunakan teori praanggapan.Perbedaan penelitian Jenifer Amilia Putri Aditama dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada data dan sumber data yang digunakan. Data yang digunakan peneliti adalah tuturan dalam film Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar karya Alberthiene Endah, sedangkan data Jenifer adalah tuturan dalam film

(2)

7

adalah film Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar karya Alberthiene Endah, sedangkan sumber data peneliti terdahulu adalah film “5CM” karya Dony Dhirgantoro.

2. Penelitian dengan judulPraanggapan Antara Penutur Dengan Petutur Dalam Drama: Nihonjin No Shiranai Nihongo” oleh Etny Novita Sari tahun 2009

Universitas Brawijaya

Penelitian yang dilakukan Etny bertujuan untuk mengungkapkan bahwa masalah komunikasi dapat terjadi karena perbedaan praanggapan penutur dalam menggunakan pilihan bahasa tertentu dengan informasi yang dipraanggapkan oleh petuturnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan dalam drama “Nihonjin No Shiranai Nihongo” karya Umino Nagiko. Sumber data yang digunakan dalam penelitian Etny adalah naskah drama “Nihonjin No Shiranai Nihongo” karya Umino Nagiko. Hasil penelitian ini berupa identifikasi bentuk perbedaan praanggapan yang terjadi serta faktor-faktor penyebab perbedaan praanggapan.

Persamaan penelitan tersebut dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada jenis dan teori penelitiannya. Jenis penelitian yang digunaka adalah deskriptif kualitatif, sedangkan teorinya adalah praanggapan. Sama halnya dengan penelitian sebelumnya, perbedaan penelitian kedua atau penelitian yang dilakukan oleh Etny Novita Sari terletak pada data dan sumber data yang digunakan. data yang digunakan oleh Etny adalah tuturan dalam drama “Nihonjin No Shiranai Nihongo”

karya Umino Nagiko, sedangkan data peneliti adalah tuturan dalam film Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar karya Alberthiene Endah. Sumber data peneliti adalah film

Merry Riana Mimpi Sejuta Dolarkarya Alberthiene Endah, sedangkan penelitian Etny

(3)

8

B. Landasan Teori

1. Pragmatik

Parera (2001:126) mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian pemakaian bahasa dalam komunikasi, hubungan antara kalimat, konteks, situasi, dan waktu diujarkannya dalam kalimat tersebut. Yule (2006: 4) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (a) bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (c) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (d) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Kemudian Leech (Gunarwan 2004: 2) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini dibagi menjadi tiga. Pertama semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik. Kedua pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik. Kemudian yang ketiga komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.

(4)

9

2. Praanggapan

a. Pengertian Praanggapan

Praanggapan merupakan salah satu bentuk fenomena pragmatik. Praanggapan (presuposisi) berasal dari to pre-suppose yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis

mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan. Seperti yang disampaikan Yule (2006: 43) bahwa praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi peserta percakapan. Kemudian Cummings (2007:43) menyatakan bahwa praanggapan merupakan kondisi yang dianggap ada sebelum penutur membuat ujaran. Menurut Keenan (Purba, 2002: 68), praanggapan pragmatik sebagai hubungan antara pembicara dengan kewajaran suatu kalimat dalam suatu konteks tertentu. Praanggapan pragmatik mengisyaratkan adanya suatu kewajaran kalimat atau pernyataan jika dikaitkan dengan pengetahuan masyarakat. Baik yang dimiliki oleh pembicara maupun oleh pendengar atau penanggap. Pengetahuan prasyarat merupakan pengetahuan bersama antara pembicara dan pendengar atau penanggap dalam suatu peristiwa berbahasa. Berbahasa akan membuat bentuk bahasa yang mempunyai makna bagi pendengar.

(5)

10

suatu pernyataan atau tuturan dan lawan tutur. Praanggapan belum tentu benar jika belum dikaitkan dengan partisipan, konteks situasi, dan pengetahuan bersama.

b. Jenis-jenis Praanggapan

Yule (2006:46) mengatakan bahwa terdapat enam jenis praanggapan yaitu existetial presuposition (praanggapan eksistensial), factive presuposition (praanggapan faktual), lexical presuposition (praanggapan leksikal), structural presuposition (praanggapan struktural), nonfactive presuposition (praanggapan

nonfaktual), dan counter factual presuposition (praanggapan yang berlawanan). Keenam jenis praanggapan tersebut akan dijelaskan secara detail sebagai berikut:

1) Existetial Presuposition (Praanggapan Eksistensial)

Menurut Yule (2006:46), presupposisi yang ada tidak hanya diasumsikan terdapat dalam susunan possesif, tetapi juga lebih umum dalam frasa nomina tertentu. Dengan menggunakan ungkapan-ungkapan, penutur diasumsikan berada dalam entitas-entitas yang disebutkan. Jadi, praanggapan eksistensial merupakan praanggapan yang tidak hanya diasumsikan keberadaannya dalam kalimat-kalimat yang menunjukkan kepemilikan, akan tetapi tuturan tersebut mempunyai keberadaan atau eksistensi yang lebih luas.Praanggapan eksistensial menunjukkan bagaimana keberadaan atas suatu hal dapat disampaikan melalui tuturan, contoh:

Sepeda Yuni baru

(6)

11

2) Factive Presuposition (Praanggapan Faktual)

Menurut Yule (2006: 47) praanggapan faktual muncul dari informasi yang disampaikan dengan kata-kata yang menunjukkan suatu fakta atau berita yang diyakini kebenarannya. Kata-kata yang bisa menyatakan fakta dalam tuturan adalah kata kerja yang dapat memberikan makna pasti dalam tuturan, contoh:

Saya tidak sadar bahwa dia sudah menikah

Praanggapan dalam tuturan di atas adalah (1) dia sudah menikah. Penggunaan kata „mengetahui‟, „sadar‟, sudah, dan „mau‟ adalah kata-kata yang menyatakan sesuatu

yang dinyatakan sebagai sebuah fakta dalam tuturan. Walaupun dalam tuturan tidak terdapat kata-kata tersebut, kefaktualan suatu tuturan yang muncul praanggapan dapat diketahui melalui partisipan tutur, konteks situasi dan pengetahuan bersama.

3) Lexical Presuposition (Praanggapan Leksikal)

Praanggapan leksikal merupakan praanggapan yang didapat melalui tuturan yang diinterpretasikan melalui penegasan dalam tuturan (Yule, 2006: 47). Bedanya dengan praanggapan faktual adalah tuturan praanggapan leksikal dinyatakan secara tersirat sehingga penegasan atas praanggapan tuturan tersebut bisa didapat setelah pernyataan dari tuturan tersebut, contoh:

Ia berhenti merokok

Praanggapan dari tuturan di atas adalah (1) dulu ia merokok. Praanggapan tersebut muncul dengan adanya penggunaan kata „berhenti‟ yang menyatakan ia pernah

(7)

12

4) Structural Presuposition (Praanggapan Struktural)

Praanggapan struktural dinyatakan melalui tuturan yang strukturnya jelas dan langsung dipahami tanpa melihat kata-kata yang digunakan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Yule (2006, 49) bahwa struktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai presupposisi secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Dalam bahasa Inggris penggunaan struktur terlihat dalam WH-question yang langsung dapat diketahui maknanya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kalimat tanya juga dapat ditandai dari penggunaan kata tanya dari tuturannya. Kata seperti apa, mengapa, di mana, kemana, dan bagaimana menunjukkan praanggapan yang muncul dari tuturan tersebut, contoh:

Siapa yang membuka jendela

Praanggapan pada tuturan di atas adalah (1) ada seseorang membuka jendela. Praanggapan yang menyatakan „seseorang‟ sebagai obyek yang dibicarakan dan dipahami oleh penutur melaui struktur kalimat tanya yang menyatakan „siapa‟.

5) Nonfactive Presuposition (Praanggapan Nonfaktual)

Paraanggapan nonfaktual merupakan praanggapan yang masih memungkinkan adanya pemahaman yang salah karena penggunaan kata-kata yang tidak pasti atau ambigu. Selain itu, menurut Yule (2006: 50) suatu presupposisi yang diasumsikan tidak benar, contoh:

Andai aku jadi orang kaya.

(8)

13

6) Counter Factual Presuposition (Praanggapan dengan Fakta yang Berlawanan atau Bertentangan)

Praanggapan ini menghasilkan praanggapan yang kontradiktif atau berlawanan dengan pernyataannya. Kondisi yang mengahsilkan praanggapan seperti ini biasanya dalam tuturannya mengandung „if-clause‟ atau pengandaian. Seperti yang dikatakan Yule (2006: 51) counter factual presuposition yang berarti bahwa apa yang dipraanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi merupakan kebalikan (lawannya) dari benar, atau bertolak belakang dengan kenyataan. Hasil ini akan menjadi kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya, contoh:

Kalau hari ini Alex datang, dia akan bertemu dengan Ani.

Dari tuturan diatas, praanggapan yang muncul adalah (1) Alex tidak datang. Praanggapan tersebut muncul dari kontradiksi kalimat dengan adanya penggunaan kata „kalau‟. Penggunaan kata tersebut membuat praanggapan yang kontradiktif dari

tuturan yang disampaikan.

(9)

14

c. Unsur-unsur Praanggapan

Seperti yang telah di katakan sebelumnya, bahwa terdapat unsur-unsur yang mendukung adanya praanggapan. Seperti yang disampaikan Yule (1996: 86) bahwa terdapat unsur-unsur penting yang mendukung pemahaman dan kemunculan praanggapan. Unsur-unsur tesebut antara lain partisipan, konteks situasi, dan pengetahuan bersama. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain. Selain itu, unsur-unsur penting itu menjadi pembatas dalam menganalisis tuturan tersebut. Untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikut:

1) Partisipan

Kajian pragmatik memungkinkan memahami makna melalui referensi yang dimiliki partisipannya. Partisipan dapat diindentifikasikan melalui ekspresi yang digunakan dalam tuturan. Adanya hubungan yang diberi nama atau sebutan yang sesuai dengan objek yang dibicarakan menunjukkan kaitan dengan partisipan. Dengan adanya tuturan tertentu oleh atau untuk partisipan, asumsi yang didapat dari sebuah tuturan jadi berbeda dan memiliki ciri khas satu sama lain (Yule, 1996: 19). Hal tersebut juga yang membedakan antara kajian pragmatik dan semantik.

2) Konteks Situasi

(10)

15

selalu berhubungan dengan makna dalam kata atau kalimat namun bagaimana kaitannya dengan partisipan tutur dan bagaimana tuturan tersebut diasumsikan.

3) Pengetahuan Bersama

Untuk memahami sebuah tuturan, secara tidak langsung terdapat aturan tidak tertulis yang mengharuskan penutur dan lawan tutur mempunyai pemahaman mengenai struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Menurut Yule (1996: 85) fungsi struktur ini berfungsi untuk melihat pola dalam tuturan sehingga pemahaman yang didapat sesuai dengan diinginkan penutur. Pengetahuan bersama yang dimiliki oleh partisipan dan peneliti untuk memahami tuturan dalam adegan merupakan salah satu unsur yang mendukung munculnya praanggapan. Segala tuturan yang tejadi selama tuturan berlangsung, dapat diasumsikan sebagai pengetahuan bersama. Untuk menyampaikan pesan yang sesuai dengan tujuan penutur, pengetahuan bersama menjadi sangat penting terutama untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

d. Perolehan Praanggapan

(11)

16

pengetahuan bersama atau pengetahuan yang bersifat umum dan tidak kontroversial. Maksudnya, ketika tuturan tersebut disampaikan, antara lawan dan mitra tutur sudah siap dengan pemahaman bersama yang berhubungan dengan tuturan tersebut dan bukan suatu yang kontroversial sehingga akan merujuk partisipan tersebut kepada makna yang dimaksud. Grundy membagi asumsi ke dalam tujuh bagian yang masing-masing mempunyai pemaknaan yang mendalam dalam memahami tuturan.

1) Prinsip Kehematan (Principle of Economy)

Prinsip kehematan adalah ketika suatu tuturan terjadi, biasannya kita sudah membuat suatu asumsi yang mempunyai latar belakang informasi dasar yang kita anggap sebagai suatu kesamaan sebelum tuturan itu terjadi. Latar belakang tersebut bisa disebut sebagai praanggapan pragmatik karena jelas merupakan sesuatu yang dipahami secara alami. Dengan adanya pemahaman secara alami dari kedua belah pihak, prinsip ini terpenuhi dan keduannya bisa mendapatkan apa yang ingin dimengerti dalam ujaran, contoh:

Bulan Juli nanti kamu nyontreng siapa?

Praanggapan pada tuturan di atas adala: (1) Bulan Juli akan ada pemilu. Contoh di atas menunjukkan bahwa tuturan tersebut membutuhkan informasi yang melatarbelakangi sehingga pemahaman atas tuturan tersebut bisa didapat dan praanggapannya terlihat jelas. Ketika mengetahui tuturan tersebut, penutur dan lawan tutur harus mempunyai pengetahuan bersama mengenai subjek pembicaraan. Tuturan di atas menunjukkan adanya pembahasan mengenai pemilu yang ditandai dengan adanya penggunaan kata „menyontreng‟ yang identik dengan pemilu. Selain itu, „Bulan Juli‟ juga dipahami

(12)

17

2) Pemahaman Bersama: Deskripsi Takrif, Frekuentatif, Pertanyaan-pertanyaan (Shared Assumptions: Definite Descriptions, Interative, Questions)

Selain berkaitan dengan konteks yang dituturkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, praanggapan juga berkaitan dengan semantik yang lebih banyak terikat dalam struktur gramatikal dalam sebuah tuturan. Praanggapan juga dapat muncul tanpa melihat konteks yang dirujuk tuturan tersebut. Dengan adanya definisi atau deskripsi yang jelas disampaikan melalui tuturan atau pernyataan yang frekuensinya berulang, pengetahuan bersama dapat diperoleh dan akhirnya menguatkan kemunculan suatu praanggapan, contoh:

Bolehkah saya meminta satu buah jeruk satu lagi?

Praanggapan yang muncul dari tuturan di atas adalah: (1) Saya sudah meminta jeruk sebelumnya dan ingin meminta lagi. Dari tuturan di atas dapat dilihat bahwa penutur penutur menggunakan struktur kalimat tanya dan mengulangi permintaannya untuk meminta „satu buah jeruk‟ untuk menguatkan permintaannya. Dari tuturan tersebut

dapat dilihat adanya pengulangan yang cukup deskriptif dalam tuturan yang dikuatkan dengan adanya penggunaan kata „lagi‟ di akhir kalimat.

3) Pemahaman Bersama Lebih Jauh (More Shared Assumptions)

Dalam pemahaman lebih jauh, sebuah tuturan dapat dilihat melalui penggunaan predikat yang berfungsi sebagai penanda mulai, selesai, atau berlangsungnya sebuah kegiatan atau pekerjaan, contoh:

Saya kembali memulai olah raga setelah sakit

(13)

18

praanggapan yang membutuhkan pemahaman mengenai watu terjadinnya atau hal-hal yang berkaitan dengan waktu dalam tuturan. Penanda tersebut membantu pengetahuan bersama yang dapat memudahkan dalam pemahaman dan munculnya praanggapan.

4) Pemahaman Bersama dan Subordinatif (Shared Assumptions and

Subodination)

Keterangan waktu yang dapat memberikan makna yang berbeda pada setiap tuturan juga mendukung munculnya praanggapan. Keterangan waktuini menyediakan latar belakang yang kemudian dipahami bersama, contoh:

Ketika saya memulai tugas ini, saya kira tidak akan sanggup menyelesaikannya.

Praanggapan yang muncul dari tuturan di atas adalah: (1) saya berhasil menyelesaikan tugas ini. Dari contoh tuturan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat penanda yang masih saling berkaitan antara dua tuturan yang muncul. Tuturan tersebut menyatakan adanya pernyataan „saat memulai‟ kemudian „saya kira tidak akan‟. Kedua pernyataan

tersebut saling berkaitan. Pengetahuan bersama mengenai sebuah tugas yang disampaikan terlihat dari hubungan antar tuturan yang disampaikan dengan berurutan.

5) Fokus dan Praanggapan (Focus and Presupposition)

(14)

19

Mengapa bantuan luar negeri datang lebih dulu di Aceh?

Praanggapan yang muncul dari pernyataan tersebut adalah: (1) ada alasan di balik datangnya bantuan dari luar negeri, (2) pihak luar negeri memberi bantuan ke Aceh. Dengan adanya kata tanya tersebut fokus yang ingin dimunculkan dalam praanggapan tertuju pada satu hal yaitu „bantuan luar negeri‟.

6) Penekanan dan Praanggapan (Stress and Pressuposition)

Praanggapan dalam sebuah tuturan dapat mengahasilkan makna yang jelas dengan adanya penekanan dalam tuturan. Selain itu counter factual condition bisa merujuk praanggapan menjadi bermakna kebalikan dari tuturan, contoh:

Dengan sangat berapi-api, Doni berorasi di tengah massa yang membludak.

Tuturan di atas menjelaskan bagaimana situasi yang dialami oleh Doni yang kemudian memunculkan praanggapan: (1) Doni sedang berdemonstrasi. Hal tersebut ditandai dengan adanya penekanan dari „sangat berapi-api‟ dan „berorasi‟ yang menunjukkan

kegiatan yang sedang dilakukan dan memunculkan praanggapan.

7) Pengingkaran dan Praanggapan (Negation and Pressuposition)

Praanggapan yang muncul dari tuturan penutur yang berasal dari kalimat negasi yang bermakna negatif. Untuk menentukan negatif atau tidaknya tuturan, dapat dilihat dari struktur tuturan tersebut. Selama suatu tuturan dapat mempertahankan bentuk negatif dari sebuah tuturan, praanggapan yang mengandung presuposisi tidak benar pun ikut menjadi benar, contoh:

(15)

20

Penegatifan tuturan tersebut tidak mempengaruhi praanggapan yang dimunculkan dari tuturan tersebut. Praanggapan yang muncul dari tuturan tersebut adalah (1) ada warung makan Warteg. Kemudian jika dinegatifkan saya tidak suka makan di Warteg praanggapan eksistensial tersebut tetap muncul, namun ada perubahan dipraanggapan lainnya.

3. Wacana

a. Pengertian Wacana

Chaer (2007: 267) mengatakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan menduduki hierarki gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa terlengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tetinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya. Sumarlan (2003: 15) dapat mempertimbangkan segi-segi perbedaan dan persamaan yang terdapat pada berbagai batasan wacana, maka secara ringkas dan padat pengertian wacana dapat dirumuskan sebagai satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khutbah dan dialog atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat dan dokumen tertulis yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.

(16)

21

bahasa terlengkap, wacana mengandung semua unsur kebahasaan yang diperlukan dalam dunia komunikasi. Unsur kebahasaan tersebut merupakan unsur satuan kebahasaan yang ada di bawahnya, seperti fonem, morfem, frasa, klausa, atau kalimat. Artinya, satuan kebahasaan yang berada di bawah merupakan bagian dari satuan bahasa yang ada di atasnya. Dengan kata lain, wacana diartikan sebagai domain umum dari semua pernyataan baik berupa ujaran maupun teks yang mempunyai makna dan efek dalam dunia nyata.

b. Jenis Wacana

Menurut Mulyana (2005: 47) klasifikasi atau pembagian wacana sangat tergantung pada aspek dan sudut pandang yang digunakan. Dalam hal ini, wacana setidaknya dapat dipilah atas dasar beberapa segi, yaitu: (1) bentuk, (2) media, (3) jumlah penutur, dan (4) sifat. Perlu tegaskan di sini bahwa pemilihan atas dasar segi yang lain jelas masih sangat terbuka. Atas dasar tersebut dapat dikatakan bahwa wacana akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan pemakaiannya di dalam masyarakat bahasa.

1) Berdasarkan Bentuk

(17)

22

a) Wacana Naratif

Wacana naratif merupakan wacana yang banyak digunakan untuk menceritan sebuah kisah atau cerita dari suatu peristiwa peristiwa kepada pembaca berdasarkan urutan waktu. Narasi dapat bersifat fakta dan fiksi (cerita rekaan). Narasi yang berupa fakta antara lain biografi, autobiografi, dll. Sedangkan yang berupa fiksi misalnya cerpen dan novel. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mulyana (2005: 48) bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh alinea penutup. Narasi dapat bersifat fakta dan fiksi (cerita rekaan). Narasi yang berupa fakta antara lain biografi, autobiografi, dll. Sedangkan yang berupa fiksi misalnya cerpen dan novel.

b) Wacana Prosedural

Wacana prosedural menunjukkan prosedur atau langkah yang harus dilaksanakan untuk mengerjakan atau menghasilkan sesuatu. Umumnya teks wacana prosedur berisi tentang syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu berjalan dengan baik. Contoh teks prosedural misalnya resep masakan, cara mengolah tanah, cara menggunakan sesuatu, cara merawat kecantikan, dll. Seperti yang diungkapkan Mulyana (2005: 48), bahwa wacana prosedural digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan agar tujuan kegiatan terlaksana dengan baik.

c) Wacana Ekspositori

(18)

23

tentang pendapat atau kesimpulan dari suatu pandangan. Isi wacana lebih menjelaskan bagian-bagian pokok pikiran. Tujuanya adalah tercapainya tingkat pemahaman akan sesuatu. Wacana ekspositori dapat berupa ilustrasi dengan contoh, berbentuk perbandingan, uraian kronologis, dan identifikasi. yang termasuk dalam wacana ekspositori adalah ceramah ilmiah, artikel di media massa, dll.

d) Wacana Hortatori

Wacana Hortatori bersifat persuasif atau mempengaruhi. Wacana ini didasarkan pada prinsip bahwa pikiran manusia dapat dipengaruhi, bahkan dapat diubah. Tujuannya ialah mencari pengikut/ penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui, pada hal yang disampaikan dalam wacana tersebut. Yang termasuk dalam jenis wacana ini antara lain pidato politik, iklan atau sejenisnya. Hal itu sejalan dengan pendapat Mulyana (2005: 49), wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Tujuannya ialah mencari pengikut / penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui, pada hal yang disampaikan dalam wacana tersebut.

e) Wacana Dramatik

Wacana dramatik adalah bentuk wacana yang berisi percakapan antar penutur. Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan sifat narasi di dalamnya. Wacana dramatik biasanya menyangkut beberapa penutur atau persona. Drama sebelumnya dikenal dengan sebutan “sandiwara”, namun sekarang lebih dikenal dengan sebutan

(19)

24

f) Wacana Epistoleri

Wacana epistoleri biasanya digunakan dalam surat-menyurat yang di dalamnya aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan tersebut disesuaikan dengan jenis surat yang ditulis. Pada umumnya bagian wacana ini secara keseluruhan diawali oleh pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri oleh bagian penutup. Mulyana (2005: 50) mengatakan bahwa, wacana epistoleri biasa digunakan dalam surat-menyurat. Pada umumnya wacana epistoleri memiliki bentuk dan sistem tertentu yang sudah menjadi kebiasaan atau aturan. Contohnya surat dinas dan surat pribadi.

g) Wacana Seremonial

Wacana seremonial adalah bentuk wacana yang digunakan dalam kesempatan seremonial (upacara). Karena erat suasananya dengan konteks situasi dan kondisi yang terjadi dalam upacara, maka wacana ini tidak digunakan disembarang waktu. Menurut Mulyana (2005: 51) wacana ini umumnya tercipta karena terjadinya konteks sosio-kultural yang melatarbelakanginya. Secara keseluruhan teks wacana seremonial terdiri dari pembuka, isi, dan penutup. Contohnya pidato dalam upacara peringatan hari-hari besar, upacara hari pernikahan (Jawa: tanggap wacana manten).

2) Berdasarkan Media Penyampaian

(20)

25

maknanya dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana yang terus berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri, kedua istilah tersebut kurang mendapat tempat. Apalagi istilah teks atau naskah hanya berorientasi pada huruf (graf), sedangkan gambar tidak termasuk di dalamnya. Padahal, gambar atau lukisan dapat dimasukkan juga ke dalam jenis wacana tulis. Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan melalui media lisan atau disampaikan secara lisan. Wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan

bahasa verbal (Mulyana, 2005: 52) wacan. Jenis wacana ini disebut sebagi tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Wacana lisan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan wacana tulis. Beberapa kelebihan di antaranya adalah bersifat alami (natural) dan langsung, mengandung unsur-unsur prosodi bahasa (lagu, intonasi), memiliki sifat suprasentensial (di atas struktur kalimat), dan berlatar belakang konteks situasional.

3) Berdasarkan Jumlah Penuturnya

Berdasarkan jumlah penuturnya, wacana dibagi menjadi dua, yaitu wacana monolog dan wacana dialog. Wacana monolog adalah wacana yang disampaikan oleh satu orang, tanpa melibatkan orang lain untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Bersifat satu arah, yaitu dari pihak penutur. Pada umumnya, wacana monolog tidak menyediakan alokasi waktu terhadap respon pendengar atau pembacanya. Bentuk wacana monolog anatar lain pidato, khotbah jumat, pembacaan berita, dan pembacaan puisi.

(21)

26

bentuk yang sama dengan drama (dialog, skenario, lawakan). Contoh lain dari wacana dialog antara lain diskusi dan seminar. Wacana dialog bersifat dua arah yang artinya melibatkan penutur dan lawan tutur. Mulyana (2005: 53) mengatakan bahwa dalam kajian wacana, istilah penutur (addreser) atau orang pertama (O1), terkadang disebut pula sebagai penyapa, pembicara, penulis (wacana tulis). Sedangkan penutur kedua (addresee) atau orang kedua (O2), sering disamakan dengan istilah pesapa, mitra bicara, lawan bicara, pasangan bicara, pendengar, dan pembaca (wacana tulis).

4) Berdasarkan Sifat

(22)

27

5) Berdasarkan Isi

Berdasarkan isinya wacana dibagi menjadi wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi, wacana budaya, wacana militer, wacana hukum, wacana kriminalitas, serta wacana olahraga dan kesehatan. Klasifikasi wacana berdasarkan isi lebih mudah dikenali. Hal ini disebabkan antara lain, oleh telah tersedianya ruang (space) dalam berbagai media yang secara khusus langsung mengelompokkan jenis-jenis wacana atas dasar isinya. Mulyana (2005: 56) mengatakan bahwa isi wacana sebenarnya lebih bermakna sebagai „nuansa‟ atau „muatan‟ tentang hal yang ditulis, disebutkan, diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa (wacana).

6) Berdasarkan Gaya dan Tujuan

Klasifikasi wacana berdasarkan pada gaya dan tujuannya yaitu wacana iklan. Iklan adalah berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) tentang barang atau jasa yang ditawarkan. Umumnya iklan dipasang di media massa, baik cetak maupun elektronik. Perbedaan antara iklan dengan informasi atau pengumuman biasanya terletak pada ragam bahasa, retorika penyampaian, dan daya persuasi, yaitu mempengaruhi masyarakat agar tertarik dan membeli. Sehubungan dengan hal tersebut, Jefkin (Mulyana, 2005: 64) dengan jelas mengemukakan bahwa advertaising aims to persuade people to buy (iklan bertujuan mempengaruhi masyarakat untuk

membeli (produk).

4. Film “Merry Riana Mimpi Sejuta DolarKarya Alberthiene Endah a. Pengertian Film

(23)

28

komunikasi massa. Komunikasi massa (mass comunication) disini yaitu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan menggunakan media modern, yang meliputi sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop (Effendy, 2007:79). Dalam hal ini, film merupakan media yang menyajikan pesan audio, visual dan gerak. Oleh karenanya, film memberikan kesan yang impresif bagi penontonnya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa film merupakan media audio visual sehingga rangkaian gambar dan suara dalam film mampu dengan mudah ditangkap oleh setiap orang. Apalagi film layaknya media massa, dipaksa untuk merefleksikan masyarakat agar mampu menarik perhatian khalayak luas. Sehingga sebuah film seringkali menampilkan gambaran yang realistik yang sangat dekat gambaran kehidupan khalayaknya. Semakin pesatnya dunia perfilman, membuat masyarakat semakin selektif terhadap berbagai jenis film yang akan mereka konsumsi. Effendy (2007:210) terdapat jenis film menurut sifatnya:

1) Film Cerita (Story Film) adalah jenis film yang menyajikan kepada publik sebuah cerita. Film jenis ini lazim dipertontonkan di bioskop dengan pemain para bintang film terkenal. Film cerita disitribusikan layaknya barang dagangan, untuk semua kalangan masyarakat, dimanapun ia berada.

2) Film Berita (Newsreel) adalah film mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi. karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada public harus mengandung niali berita.

(24)

29

4) Film Kartun (Cartoon Film); titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis. Satu persatu gambar dilukis dengan seksama umtuk kemudian dipotret satu per satu pula. Dan apabila rangkaian lukisan sebanyak 16 buah, setiap detiknya diputar dalam proyektor film, sehingga lukisan tersebut menjadi hidup.

b. Sinopsis Film “Merry RianaMimpi Sejuta Dolar” Karya Alberthiene Endah

Film Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar merupakan film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Film ini, termasuk dalam jenis filem cerita (Story Film) yang diangkat dari kisah nyata dan di dalamnya mengandung kisah yang

(25)

30

Referensi

Dokumen terkait

Setiap kita sebagai makhluk sosial atau individu yang membutuhkan kehadiran sesama tentu juga merasa prihatin, tergerak hati untuk membantu dan berjuang bersama, dalam

Often, reading The Way: 364 Daily Devotions By E Stanley Jones Foundation is really uninteresting and it will take long time beginning with getting the book and also begin

The quantitative relationship between loaf specific volume and the rate of staling, as measured by changes in crumb firmness, has been investigated in great detail, covering a range

Dalam penelitian ini saya selaku responden bersedia diberikan edukasi setiap bulan, dilakukan pengukuran lingkar pinggang, berat badan, tekanan darah dan bersedia diambil sampel

Prinsip kerja dari densitometer yang dibuat adalah dari lampu LED yang menembus film radiografi ditangkap oleh sensor photodioda, tegangan yang terbentuk pada

Pada penelitian ini dilaporkan bahwa telah dilakukan perhitungan sensitivitas PIXE pada energi proton 150 keV secara simulasi untuk unsur-unsur dari Z=14 sampai dengan Z=50

Dari hasil kegiatan ini diharapkan apabila terjadi reaktor scram, pengoperasi reaktor khususnya supervisor reaktor bisa memperoleh data masukan secara cepat,

Y naik kembali maka hasil bagi konsentrasi-konsentrasi substansi yang ter- libat dalam reaksi pada sisi kiri persamaan (3) akan menyimpang dari nilai Q.. pada proses yang