BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1. Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Pola Asuh
Pengertian dari orang tua menurut Wahib (2015: 2), yaitu orang
yang lebih tua atau orang yang dituakan, namun umumnya di
masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang telah
melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak.Orang tua merupakan orang yang
paling dekat dengan anak, orang tua memberikan perlindungan, kasih
sayang, dan pendidikan dasar kepada anak sebelum anak memasuki
pendidikan formal seperti sekolah.
Orang tua memiliki berbagai cara yang digunakan untuk
mendidik anak-anaknya dalam upaya membentuk kepribadian yang
baik, cara tersebut disebut dengan pola asuh. Pola asuh menurut
Ormord (2008: 94) yaitu pola perilaku umum yang digunakan orang
tua dalam mengasuh anak-anaknya sedangkan Baumrind dalam
Santosa dan Marheni (2013: 56) mendefinisikan pola asuh orang tua
adalah segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua
dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga
yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian
Rasulullah SAW bersabda dari Abu Hurairah r.a Rasulullah bersabda:
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), maka orang
tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, dan majusi...” (H.R.
Al-Bukhari).
Hadist di atas menjelaskan bahwa pola asuh orang tua dalam
mendidik anaknya sangatlah tepat. Kultur yang dibangun dalam
keluarga akan memberi warna dalam keyakinan seorang anak, oleh
karena itu dalam mendidik anak kita sebagai orang tua kita harus bisa
menumbuhkan segala kemampuan anak dalam rangka menjadikan ia
menjadi manusia yang seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan
yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pola asuh merupakan berbagai metode atau cara orang tua dalam
mengasuh, mendidik dan mengajari anak sesuai tujuan orang tua
hingga mencapai tahap kedewasaan. Perilaku maupun sikap orang tua
yang tercermin dalam keseharian antara lain bagaimana cara orang tua
memberikan hukuman, memberikan dukungan terhadap keberhasilan
anak, serta bagaimana orang tua menunjukkan kekuasaannya sebagai
orang tua kepada anak.
b. Peranan Orang Tua
Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih
maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota
masyarakat yang sehat. Keluarga yang hubungan antar anggotanya
tidak harmonis dan penuh konflik dapat menimbulkan
masalah-masalah kesehatan mental.
Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat yang dibebankan
oleh Allah kepada orang tuanya, oleh karena itu orang tua harus
menjaga dan memelihara amanah serta tak ada alasan bagi orang tua
untuk mengabaikan pendidikan anak dalam keluarga. Ahli pendidikan
sepakat bahwa keluarga merupakan pranata pendidikan yang pertama
dan utama dalam memberikan bekal pendidikan bagi pengembangan
sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagaimana firman Allah
dalam Surah At-Tahrim ayat 6:
ا اَهُدْوُ قَو اًراَن ْمُكْيِلْهَاَو ْمُكَسُفْ نَا اْوُ ق اْوُ نَمَا َنْيِذَّلا اَهُّ يَاَي
اَهْ يَلَع ُةَراَجِحْلاَو ُساَّنل
.َنْوُرَمْؤُ ياَم َنْوُلَعْفَ يَو ْمُهَرَمَااَم َللها َنْوُصْعَ ي َلَ ٌداَدِش ٌظ َلاِغ ٌةَكِئَلاَم
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak
durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At
-Tahrim: 6)
Peran seorang ayah menurut Wahib (2015: 3) yaitu sebagi
fisik maupun secara psikis. Tugas ayah adalah memenuhi kebutuhan
secara fisik seperti makan, minum, sandang dan sebagainya. Ayah juga
dituntut agar aktif dalam membina perkembangan pendidikan pada
anak. Seorang anak biasanya memandang ayahnya sebagai orang yang
tertinggi prestasinya, sehingga figur ayah dijadikan patut untuk
dijadikan cermin bagi anaknya.
Peran ibu dalam mendidik anak-anaknya sangat besar, bahkan
mendominasi. Pendidikan seorang ibu terhadap anaknya menurut
Wahib (2015: 3) merupakan pendidikan dasar yang tidak dapat
diabaikan sama sekali, baik buruknya pendidikan seorang ibu terhadap
anaknya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan dan watak
anaknya dikemudian hari. Peranan ibu dalam pendidikan anak-anaknya
adalah sumber dan pemberi rasa kasih sayang, pengasuh dan
pemelihara, tempat mencurahkan isi hati, pengatur kehidupan dalam
rumah tangga, pendidik dalam segi-segi emosional.
c. Tipe-Tipe Pola Asuh
1) Pola Asuh Permisive
Pola asuh permisive atau pola asuh pembolehan menurut
Santosa (2015: 106) yaitu
a) Orang tua yang sering memanjakan anak b) Orang tua yang tidak banyak menuntut
c) Orang tua yang jarang mendisiplinkan anak dan kontrol yang rendah terhadap perilaku anak.
Orang tua permisif mencoba untuk berperilaku dengan cara
terhadap kemauan, keinginan, dan tindakan anak-anaknya. Ciri-ciri
orang tua yang permisive menurut Baumrind (1966: 889) yaitu:
a) Orang tua berkonsultasi dengan anak tentang keputusan kebijakan dan memberikan penjelasan untuk aturan keluarga. b) Orang tua membuat beberapa tuntutan tanggung jawab rumah
tangga dan perilaku tertib.
c) Orang tua menyajikan dirinya untuk anak sebagai sumber daya baginya untuk menggunakan sesuai keinginannya.
d) Orang tua memungkinkan anak untuk mengatur kegiatan sendiri sebanyak mungkin
e) Orang tua menghindari latihan kontrol dan tidak mendorong anak untuk mematuhi standar yang ditetapkan secara eksternal.
2) Pola Asuh Authoritarian
Santosa (2015: 105) berpendapat bahwa orang tua yang
otoriter yaitu:
a) Orang tua yang lebih mengutamakan disiplin dan aturan, dimana setiap pelanggaran mempunyai konsekuensi berupa hukuman.
b) Orang tua otoriter kurang sabar dalam memberikan penjelasan tentang aturan main dan konsekuensi.
c) Orang tua otoriter mencoba untuk membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar perilaku yang ditetapkan, biasanya standar itu bersifat mutlak.
Ciri-ciri orang tua yang otoriter menurut Baumrind (1966:
890), yaitu:
a) Orang tua mencoba untuk membentuk, kontrol, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar perilaku yang ditetapkan, biasanya standar mutlak, teologis termotivasi dan dirumuskan oleh otoritas yang lebih tinggi. b) Orang tua menilai ketaatan sebagai suatu upaya paksa untuk
mengekang kehendak pada tindakan anak atau konflik keyakinan dengan apa yang dia pikir adalah perilaku yang benar.
c) Orang tua percaya dalam menjaga anaknya, dalam membatasi otonomi, dan dalam menentukan tanggung jawab dalam rangka menanamkan rasa hormat untuk bekerja.
tradisional sebagai akhir yang sangat dihargai dalam dirinya sendiri.
e) Orang tua tidak menerima pendapat dari anaknya karena orang tua percaya bahwa anak harus menerima semua yang orang tua katakan untuk apa yang dianggapnya benar. kasih sayang, dan responsif terhadap kebutuhan anak.
b) Orang tua otoritatif memiliki karakter ideal menjadi teladan karena mereka mendidik anak dengan kasih sayang dan kedisiplinan namun mereka juga memberikan kebebasan yang bertanggung jawab bagi anak, memahami karakter anaknya, dan mengetahui kebutuhannya.
c) Orang tua otoritatif cenderung berusaha untuk mengarahkan kegiatan anak dengan rasional, yaitu dengan cara berorientasi pada masalah.
Ciri-ciri orang tua yang otoritatif menurut Baumrind (1966:
891), yaitu:
a) Orang tua berusaha untuk mengarahkan kegiatan anak tetapi secara rasional, cara berorientasi pada masalah.
b) Orang tua menerima pendapat anak dengan alasan di balik kebijakan, dan mengumpulkan sejumlah keberatan ketika ia menolak untuk menyesuaikan diri.
c) Orang tua memberikan kontrol yang kuat pada titik-titik perbedaan orangtua-anak, tapi tidak menghukum anak dengan pembatasan.
d) Orang tua memaksa perspektifnya sendiri sebagai orang dewasa, tapi mengakui kepentingan anak dengan cara khusus. e) Orang tua otoritatif menegaskan kualitas anak ini, tetapi juga
menetapkan standar bagi perilaku masa depan.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang
digunakan oleh orang tua berbeda-beda dan pola asuh yang baik untuk
memprioritaskan kepentingan anak, tetapi tetap dengan pengawasan
dan pengendalian dari orang tua, sehingga terbentuklah karakteristik
anak yang dapat mengontrol diri, mandiri, mempunyai hubungan yang
baik dengan teman, mampu menghadapi stres dan mempunyai minat
terhadap hal-hal baru.
d. Indikator Pola Asuh Orang tua
Indikator pola asuh orang tua diperoleh dari ciri-ciri pola asuh
orang tua yang disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Kisi-Kisi Pola Asuh Oraang Tua Sub
variabel Kisi-kisi
Pola asuh permisif
Orang tua yang menyajikan dirinya untuk anak sebagai sumber daya baginya yang dapat digunakan sesuai keinginannya
Orang tua yang tidak banyak menuntut
Orang tua yang jarang mendisiplinkan anak dan kontrol yang rendah terhadap perilaku anak.
Pola asuh otoriter
Orang tua yang lebih mengutamakan disiplin dan aturan, dimana setiap pelanggaran mempunyai konsekuensi berupa hukuman.
Orang tua otoriter kurang sabar dalam memberikan penjelasan tentang aturan main dan konsekuensi.
Orang tua otoriter mencoba untuk membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar perilaku yang ditetapkan, biasanya standar itu bersifat mutlak.
Pola asuh otoritatif
Orang tua yang memberikan aturan main dan disiplin, namun memiliki gaya komunikasi yang baik, penuh kasih sayang, dan responsif terhadap kebutuhan anak.
Orang tua otoritatif mendidik anak dengan kasih sayang dan kedisiplinan namun mereka juga memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, memahami karakter anaknya, dan mengetahui kebutuhannya.
2. Pergaulan Teman Sebaya
a. Pengertian Pergaulan Teman Sebaya
Pergaulan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berasal dari kata dasar gaul yang artinya hidup berteman atau
bersahabat. Pergaulan merupakan salah satu cara seseorang untuk
berinteraksi dengan lingkungannya. Idi (2011: 83) berpendapat bahwa
pergaulan adalah kontak langsung antara individu yang satu dengan
individu yang lainnya. Pergaulan sehari-hari yang dilakukan individu
satu dengan yang lainnya adakalanya memiliki tingkatan usia yang
sama, pengetahuannya, pengalamannya, dan sebagainya. Pergaulan
sehari-hari ini dapat terjadi antara individu dengan kelompok maupun
kelompok dengan kelompok.
Sebaya menurut Santrock (2007: 205) adalah orang yang
tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama. Hetherington &
Parke, 1981 dalam Desmita (2009: 145), berpendapat bahwa teman
sebaya sebagai sebuah kelompok sosial yang sering didefinisikan
sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial atau yang
memiliki kesamaan ciri-ciri seperti tingkatan usia, sedangkan teman
menurut Hurlock (1978: 289) pada masa anak-anak dibagi menjadi tiga
klasifikasi yaitu:
2) Teman bermain adalah orang yang melakukan aktivitas yang menyenangkan si anak. Mereka bisa terdiri atas berbagai usia dan jenis kelamin, tetapi biasanya usia dan jenis kelaminnya sama, serta mempunyai minat yang sama.
3) Sahabat adalah orang yang dengannya anak tidak hanya dapat bermain tetapi juga berkomunikasi melalui pertukaran ide dan rasa percaya, permintaan nasihat, dan kritik. Anak yang mempunyai usia, jenis kelamin, dan taraf perkembangan sama lebih dipilih sebagai sahabat.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pergaulan teman
sebaya adalah hubungan interaksi sosial yang timbul karena
individu-individu yang berkumpul dan membentuk suatu kelompok yang
didasarkan pada persamaan usia, status sosial, kebutuhan serta minat
yang seiring berjalannya waktu akan membentuk pertemanan atau
persahabatan.
Penelitian ini memfokuskan pada pergaulan teman sebaya yang
terdapat di sekolah, dimana pergaulan teman sebaya yang ada di
sekolah memiliki peranan penting dalam pembentukan kemandirian
anak dalam belajar. Pergaulan teman sebaya di sekolah berpengaruh
besar terhadap kemandirian belajar anak karena teman sebaya yang ada
di sekolah tidak hanya sebagai teman bermain tetapi juga ikut terlibat
dalam proses pembelajaran dan juga pertemuan yang intens membuat
pergaulan teman sebaya di sekolah lebih berpengaruh dibanding
pergaulan teman sebaya di rumah yang hanya berlaku sebagai teman
b. Peran Teman Sebaya
Hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang
sangat penting bagi perkembangan pribadi anak. Salah satu fungsi
kelompok teman sebaya yang paling penting yaitu menyediakan
informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak
menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari
kelompok teman sebaya. Anak-anak akan mengevaluasi apakah yang
mereka lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan
oleh anak-anak lain. Mereka menggunakan orang lain sebagai tolok
ukur untuk membandingkan dirinya (Santrock. 2007: 205).
Keberadaan seorang teman sangatlah mempengaruhi
kepribadian, akhlak serta agama seseorang. Ketika seseorang bergaul
dengan teman yang berakhlak baik maka niscaya ia akan menjadi
sosok yang berkahlak baik. Namun sebaliknya, ketika ia bergaul
dengan teman yang berakhlak buruk maka ia pun akan menjadi sosok
yang berakhlak buruk pula. Maka dari itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar selektif dalam memilih
teman, khususnya teman dekatatau sahabat karib. Hal itu disebabkan
karena agama seseorang itu sangat ditentukan oleh agama teman
dekatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُلِلاَخُي ْهَم ْمُكُذَحَأ ْزُظْىَيْلَف ،ِهِليِلَخ ِهيِد ىَلَع ُءْزَمْلا
Artinya: “(Agama) seseorang itu sesuai dengan agama teman
teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim dan
Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Kelompok teman sebaya menurut Yusuf (2010: 59) berperan
sebagai lingkungan sosial anak, terutama pada saat terjadinya
perubahan pada stuktur masyarakat seperti perubahan stuktur keluarga,
kesenjangan antara generasi tua dengan generasi muda, ekspansi
jaringan komunikasi antarteman, dan panjangnya masa atau penundaan
memasuki masyarakat. Aspek kepribadian yang berkembang dalam
pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, adalah:
1) Social cognition yaitu kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuan memahami orang lain memungkinkan anak untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya.
2) Konformitas yaitu motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya.
Anak dapat meniru kawannya untuk mempelajari pola perilaku
untuk digunakan dalam penyesuaian diri yang baik atau buruk. Anak
memperoleh pelajaran dari teman bermainnya untuk mempelajari
perilaku yang digunakan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi
sosial. Sahabat memberikan pengaruh yang besar yaitu membantu anak
untuk bersosialisasi, mengembangkan wawasan sosial dan belajar
menjadi seorang yang simpatik (Hurlock. 1978: 291).
c. Pengaruh Pergaulan Teman Sebaya
Pengaruh pergaulan teman sebaya ternyata berkaitan juga
yang baik dengan lingkungan orang tuanya cenderung dapat
menghindarkan diri dari pengaruh negatif pergaulan teman sebayanya,
dibanding dengan anak yang hubungan dengan orang tuanya kurang
baik. Soekanto (2004: 75-76) berpendapat bahwa pengaruh dari
perkembangan kelompok sebaya ada yang positif dan ada yang negatif.
1. Pengaruh positif dari kelompok sebaya, antara lain:
a) Rasa aman dan rasa dianggap penting membuat perkembangan jiwanya menjadi lebih sehat.
b) Mendorong untuk bersikap mandiri.
c) Menyalurkan perasaan dan pendapatnya kepada teman-temannya.
d) Memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan dalam ketrampilan-ketrampilan sosial, sehingga akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
e) Mendorong untuk bersikap dan bertindak secara dewasa.
2. Pengaruh negatif dari kelompok sebaya, antara lain:
a) Sulit menerima seseorang yang tidak memiliki persamaan (bersikap diskriminatif).
b) Tertutup bagi individu lain yang tidak termasuk dalam kelompoknya (individualisme).
c) Menimbulkan rasa iri antar anggota lain yang tidak memiliki kesamaan dengannya
d) Timbulnya pertentangan dengan orang tua dan saudara.
e) Menghambat motivasi perkembangan akibat pengaruh dari anggota kelompok.
Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam
minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau
bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap
mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi
(percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau
tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534
dan Muslim 2628)
Penjelasan di atas, menunjukan bahwa pergaulan teman sebaya
selain membantu anak-anak menjadi pribadi yang lebih baik, pergaulan
teman sebaya yang salah juga dapat mempengaruhi kepribadian anak
menjadi pribadi yang kurang baik. Hubungan pergaulan teman sebaya
dapat berdampak positif atau negatif seperti penjelasan di atas, hal itu
bergantung pada peran orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka.
d. Indikator Pergaulan Teman Sebaya
Penjelasan di atas dapat dijadikan indikator untuk penyusunan
instrumen yang terdiri dari:
1) Bagaimana berinteraksi dengan orang lain diluar keluarga
2) Mempelajari perilaku orang lain dan mengkontrol tingkah laku sosial untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. 3) Mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai usianya 4) Kemampuan memahami orang lain dengan cara saling bertukar
perasaan dan masalah
3. Kemandirian Belajar
a. Pengertian Kemandirian Belajar
Desmita (2011: 185) menyebut istilah kemandirian berasal dari
kata dasar “diri” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”,
kemandirian berasal dari kata dasar “diri” maka pembahasan tentang
kemandirian tidak bisa lepas dari perkembangan itu sendiri, yang
dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self, karena
merupakan inti dari kemandirian. Konsep yang sering digunakan atau
berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.
Sikap mandiri juga dijelaskan dalam Al Qur’an surat Ar-Ra’d
ayat 11 yang berbunyi:
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikuti
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka mereka mengubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak
ada pelindung bagai mereka selain Dia”.
Surat Ar-Ra’d ayat 11 tersebut menegaskan bahwa Allah SWT
tidak merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu yang gigih
mengubah nasibnya sendiri. Manusia diberi kemampuan oleh Allah
SWT untuk mengubah nasibnya sendiri, artinya kita sebagai manusia
hidup dan berusaha agar tidak bergantung kepada orang lain, jika
ingin sukses maka kita perlu berusaha untuk meraihnya, tidak hanya
berdiam menunggu bantuan orang lain.
Erikson dalam Desmita (2011: 185), menyatakan kemandirian
adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud
untuk nenemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego, yaitu
perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri.
Kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan
nasibnya sendiri, kreatif dan inisiatif, dapat mengatur tingkah lakunya,
bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat
keputusan-keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh
dari orang lain.
Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana peserta
didik secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan
keyakinan orang lain. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa
kemandirian mengandung pengertian:
1) Suatu kondisi di mana seseorang meiruliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.
2) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
3) Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya. 4) Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Tahar dan Enceng (2006: 92) mendefinisikan kemandirian
belajar sebagai kesiapan dari individu yang mau dan mampu untuk
belajar dengan inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan pihak lain
belajar. Kemandirian belajar dalam pengertian yang lebih luas yaitu
sebuah proses di mana individu mengambil inisiatif sendiri, dengan
atau tanpa bantuan orang lain, untuk mendiagnosis kebutuhan belajar,
memformulasikan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber belajar,
memilih dan menentukan pendekatan strategi belajar, dan melakukan
evaluasi hasil belajar yang dicapai.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian
belajar adalah suatu proses belajar dimana setiap individu dapat
mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, dalam hal
menentukan kegiatan belajarnya seperti merumuskan tujuan belajar,
sumber belajar (baik berupa orang ataupun bahan), mendiagnosa
kebutuhan belajar, dan mengontrol sendiri proses pembelajarannya.
Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar
dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan
sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar. Siswa dikatakan
telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan
tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain.
Elfindri, dkk (2012: 101-102) berpendapat bahwa karakter
orang yang mandiri yaitu menunjukan bahwa seseorang yang mandiri
tidak mudah tergantung pada orang lain, memiliki kemampuan untuk
berdiri sendiri, melakukan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya. Orang yang mandiri dalam pekerjaanya tidak
bisa merespon perintah atau tugas yang diberikan kepadanya. Karakter
mandiri bukan dikatakan sebagai orang yang tidak suka bekerja sama
dalam tim, akan tetapi anggota yang memiliki kemandirian akan
memberikan kontribusi yang baik dalam kerja sama tim.
Kemandirian dalam belajar perlu dimiliki oleh siswa agar
mereka memiliki tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan
dirinya serta mengembangkan kemampuan belajar yang didasari atas
kemauannya sendiri. Kemandirian dalam belajar merupakan gambaran
sejauh mana peserta didik dapat melaksanakan tugasnya tanpa bantuan
orang lain, menentukan tujuan, bahan dan pengalaman belajar serta
evaluasi pembelajarannya sendiri.
b. Pentingnya Kemandirian Belajar bagi Peserta Didik
Kartadinata dalam Desmita (2011: 189-190), menyebutkan
beberapa gejala yang berhubungan dengan permasalahan kemandirian
yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan, yaitu:
1) Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku formalistik, ritualistik dan tidak konsisten, yang pada gilirannya akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian manusia.
2) Sikap tidak peduli terhadap lingkungan. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang bertransenden terhadap lingkungannya. Ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif, yang menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.
Pengaruh kompleksitas kehidupan terhadap peserta didik juga
terlihat di konteks proses belajar yaitu terlihat adanya fenomena siswa
yang kurang mandiri dalam belajar yang kemungkinan dapat
menimbulkan gangguan mental setelah memasuki pendidikan lanjutan,
kebiasaan belajar yang kurang baik seperti tidak betah belajar lama
atau belajar hanya semalam menjelang ujian, membolos, menyontek,
dan mencari bocoran soal-soal ujian. Pengaruh ini yang harus orang
tua dan guru kontrol dengan serius agar tidak terjadi pada anak.
c. Perkembangan Kemandirian Peserta Didik dan Implikasinya bagi Pendidikan
Desmita (2011:190) menjelaskan bahwa kemandirian adalah
kecakapan yang berkembangan sepanjang rentang kehidupan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pendidikan, oleh sebab
itu pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya pengembangan
kemandirian peserta didik seperti:
1) Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai.
2) Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dalam berbagai kegiatan sekolah.
3) Memberi kebebasan kepada anak untuk mengekplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka.
4) Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain.
5) Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran guru dalam
membentuk kemandirian belajar siswa sangat besar, dimana guru harus
sehingga anak merasa nyaman dan dihargai keberadaannya di dalam
kelas, mendorong anak untuk aktif, memberi kebebasan kepada anak,
menerima segala keadaan atau kondisi siswa dengan baik, dan
menjalin hubungan yang harmonis anatara guru dan siswa. Peran guru
dalam hal ini memang penting, namun orang tua juga memberikan
kontribusi yang lebih penting di rumah, sehingga perlunya komunikasi
dan kerja sama yang baik antara orang tua dan para guru di sekolah.
d. Indikator Kemandirian Belajar
Indikator kemandirian belajar yang terdiri dari:
1) Mampu mengelola strategi pembelajaran 2) Mampu mengatur waktu belajar
3) Mampu mengatur tempat belajar 4) Mampu menilai aktivitas belajar
5) Mampu mengatasi kesulitan memahami bahan ajar 6) Mampu mengukur kemampuan dari belajar
7) Dapat memilih sumber belajar yang sesuai, termasuk tutor 8) Memiliki bahan ajar
9) Interaksi peserta ajar dengan bahan ajar
B. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Diana Baumrind (1966) dalam penelitiannya yang berjudul Effects of
Authoritative Parental Control on Child Behavior. Diana Baumrind
menjelaskan tentang tiga gaya pengasuhan orang tua yaitu pola asuh
permisif, otoriter, dan otoritatif. Hasil temuan yang bersangkutan yaitu
mengenai efek dari penerapan pola asuh terhadap perilaku anak. Hasilnya,
bahwa pola asuh otoritatif dianggap efektif diterapkan pada anak. Pada
mengkaitkan antara pergaulan teman sebaya dan kemandirian belajar
siswa.
2. Daniel K. Korir dan Felix Kipkemboi (2014) dalam penelitiannya yang
berjudul The Impact of School Environment and Peer Influences on
Students’ Academic Performance in Vihiga County, Kenya. Penelitian ini
meneliti tentang dampak lingkungan sekolah dan pengaruh teman sebaya
pada kinerja akademik siswa. Penelitian ini menilai faktor lingkungan dan
teman di sekolah berpengaruh pada psikologis siswa. Mengacu pada hal
tersebut, peneliti akan meneliti apakah teman sebaya dapat mempengaruhi
tingkat kemandirian anak dalam belajar.
3. Nur Istiqomah Hidayati (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Pola
Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan Emosi, dan Kemandirian Anak SD
yang memiliki persamaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu
pada variabel pola asuh dan kemandirian anak. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya korelasi negatif antara pola asuh otoriter orang tua
dengan kemandirian, artinya bahwa semakin tinggi penerapan pola asuh
otoriter orang tua maka semakin rendah tingkat kemandirian anak. Pada
penelitian ini, peneliti tidak hanya meneliti satu pola asuh tetapi ada tiga
pola asuh yang akan diteliti yaitu pola asuh permisif, pola asuh otoriter dan
pola asuh otoritatif.
4. Eka Setiawati dan Suparno (2010) dalam penelitiannya yang berjudul
Interaksi Sosial dengan Teman Sebaya pada Anak Homeschooling dan
menunjukkan bahwa Interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak
homeschooling kurang berkembang bila dibandingkan dengan interaksi
sosial dengan teman sebaya pada anak sekolah reguler. Anak-anak
homeschooling cenderung percaya pada kemampuannya sendiri, dan
memikirkan sendiri mengenai berbagai hal, tetapi dalam kondisi tertentu
mereka bersedia meminta bantuan kepada siapapun meski mereka belum
saling akrab, hal ini berbeda dengan anak sekolah reguler yang lebih banyak
memiliki kesempatan untuk belajar bekerja dalam tim, adakalanya tugas siswa
juga dikerjakan secara kelompok.
C. Kerangka Berpikir
Pola asuh orang tua ( ) merupakan variabel independen (variabel
bebas) yang diperkirakan mempunyai hubungan dengan kemandirian belajar
(Y) pada siswa kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata Siwi Karanglewas.
Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak meliputi sikap, nilai,
norma dan kebiasaan orang tua yang diterapkan untuk mengasuh, mendidik
dan membesarkan anak-anak mereka. Pola asuh orang tua yang diterapkan
pada anak akan memberikan kesan tersendiri pada perilakunya dalam belajar.
Pola asuh yang tepat dan sesuai memungkinkan terbentuknya kemandirian
belajar pada siswa.
Pergaulan teman sebaya ( ) juga merupakan variabel independen
(variabel bebas) yang diperkirakan juga mempunyai hubungan dengan
kemandirian belajar (Y) kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata Siwi
Pola Asuh Orang
- Permisif - Otoriter - Otoritatif
penting dalam penyesuaian diri, mengontrol tingkah laku sosial,
mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usianya, saling
bertukar perasaan dan masalah, serta membantu mempersiapkan masa
depannya. Persaingan dalam belajar untuk mendapatkan prestasi terbaik
mampu mendorong siswa untuk menciptakan kemandirian belajar pada diri
anak untuk tidak bergantung pada teman-temannya.
Pola asuh orang tua ( ) dan pergaulan teman sebaya ( ) yang
keduanya merupakan variabel independen (variabel bebas), diperkirakan
mempunyai hubungan secara bersama-sama dengan kemandirian belajar (Y)
pada siswa kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata Siwi Karanglewas. Hal
tersebut karena pengaruh pergaulan teman sebaya ternyata berkaitan dengan
iklim keluarga dimana siswa yang memiliki hubungan yang baik dengan orang
tuanya cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif pergaulan
teman sebayanya, dibandingkan dengan siswa yang hubungan dengan orang
tuanya kurang baik.
Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir
Pergaulan Teman Sebaya
Kemandirian Belajar
Y
𝐗𝟐
𝐗𝟏
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan Kerangka berpikir diatas yang menghubungkan
variabel-variabel yang digunakan yaitu Pengaruh Pola Asuh Orang Tua ( ), Pergaulan
Teman Sebaya ( ), terhadap Kemandirian Belajar (Y) maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pola asuh orang tua dan
kemandirian belajar siswa kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata Siwi
Karanglewas.
2. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pergaulan teman sebaya
dan kemandirian belajar siswa kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata
Siwi Karanglewas.
3. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pola asuh orang tua dan
pergaulan teman sebaya secara bersama-sama dengan kemandirian belajar