• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Pola Asuh - PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KELAS IV DI SD NEGERI GUGUS LOKAWIYATA SIWI KARANGLEWAS - repository perpu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Pola Asuh - PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KELAS IV DI SD NEGERI GUGUS LOKAWIYATA SIWI KARANGLEWAS - repository perpu"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Pola Asuh

Pengertian dari orang tua menurut Wahib (2015: 2), yaitu orang

yang lebih tua atau orang yang dituakan, namun umumnya di

masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang telah

melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak.Orang tua merupakan orang yang

paling dekat dengan anak, orang tua memberikan perlindungan, kasih

sayang, dan pendidikan dasar kepada anak sebelum anak memasuki

pendidikan formal seperti sekolah.

Orang tua memiliki berbagai cara yang digunakan untuk

mendidik anak-anaknya dalam upaya membentuk kepribadian yang

baik, cara tersebut disebut dengan pola asuh. Pola asuh menurut

Ormord (2008: 94) yaitu pola perilaku umum yang digunakan orang

tua dalam mengasuh anak-anaknya sedangkan Baumrind dalam

Santosa dan Marheni (2013: 56) mendefinisikan pola asuh orang tua

adalah segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua

dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga

yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian

(2)

Rasulullah SAW bersabda dari Abu Hurairah r.a Rasulullah bersabda:

“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), maka orang

tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, dan majusi...” (H.R.

Al-Bukhari).

Hadist di atas menjelaskan bahwa pola asuh orang tua dalam

mendidik anaknya sangatlah tepat. Kultur yang dibangun dalam

keluarga akan memberi warna dalam keyakinan seorang anak, oleh

karena itu dalam mendidik anak kita sebagai orang tua kita harus bisa

menumbuhkan segala kemampuan anak dalam rangka menjadikan ia

menjadi manusia yang seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan

yang tercantum dalam Al-Qur’an.

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

pola asuh merupakan berbagai metode atau cara orang tua dalam

mengasuh, mendidik dan mengajari anak sesuai tujuan orang tua

hingga mencapai tahap kedewasaan. Perilaku maupun sikap orang tua

yang tercermin dalam keseharian antara lain bagaimana cara orang tua

memberikan hukuman, memberikan dukungan terhadap keberhasilan

anak, serta bagaimana orang tua menunjukkan kekuasaannya sebagai

orang tua kepada anak.

b. Peranan Orang Tua

Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya

mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih

(3)

maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang

kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota

masyarakat yang sehat. Keluarga yang hubungan antar anggotanya

tidak harmonis dan penuh konflik dapat menimbulkan

masalah-masalah kesehatan mental.

Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat yang dibebankan

oleh Allah kepada orang tuanya, oleh karena itu orang tua harus

menjaga dan memelihara amanah serta tak ada alasan bagi orang tua

untuk mengabaikan pendidikan anak dalam keluarga. Ahli pendidikan

sepakat bahwa keluarga merupakan pranata pendidikan yang pertama

dan utama dalam memberikan bekal pendidikan bagi pengembangan

sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagaimana firman Allah

dalam Surah At-Tahrim ayat 6:

ا اَهُدْوُ قَو اًراَن ْمُكْيِلْهَاَو ْمُكَسُفْ نَا اْوُ ق اْوُ نَمَا َنْيِذَّلا اَهُّ يَاَي

اَهْ يَلَع ُةَراَجِحْلاَو ُساَّنل

.َنْوُرَمْؤُ ياَم َنْوُلَعْفَ يَو ْمُهَرَمَااَم َللها َنْوُصْعَ ي َلَ ٌداَدِش ٌظ َلاِغ ٌةَكِئَلاَم

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan

batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak

durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada

mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At

-Tahrim: 6)

Peran seorang ayah menurut Wahib (2015: 3) yaitu sebagi

(4)

fisik maupun secara psikis. Tugas ayah adalah memenuhi kebutuhan

secara fisik seperti makan, minum, sandang dan sebagainya. Ayah juga

dituntut agar aktif dalam membina perkembangan pendidikan pada

anak. Seorang anak biasanya memandang ayahnya sebagai orang yang

tertinggi prestasinya, sehingga figur ayah dijadikan patut untuk

dijadikan cermin bagi anaknya.

Peran ibu dalam mendidik anak-anaknya sangat besar, bahkan

mendominasi. Pendidikan seorang ibu terhadap anaknya menurut

Wahib (2015: 3) merupakan pendidikan dasar yang tidak dapat

diabaikan sama sekali, baik buruknya pendidikan seorang ibu terhadap

anaknya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan dan watak

anaknya dikemudian hari. Peranan ibu dalam pendidikan anak-anaknya

adalah sumber dan pemberi rasa kasih sayang, pengasuh dan

pemelihara, tempat mencurahkan isi hati, pengatur kehidupan dalam

rumah tangga, pendidik dalam segi-segi emosional.

c. Tipe-Tipe Pola Asuh

1) Pola Asuh Permisive

Pola asuh permisive atau pola asuh pembolehan menurut

Santosa (2015: 106) yaitu

a) Orang tua yang sering memanjakan anak b) Orang tua yang tidak banyak menuntut

c) Orang tua yang jarang mendisiplinkan anak dan kontrol yang rendah terhadap perilaku anak.

Orang tua permisif mencoba untuk berperilaku dengan cara

(5)

terhadap kemauan, keinginan, dan tindakan anak-anaknya. Ciri-ciri

orang tua yang permisive menurut Baumrind (1966: 889) yaitu:

a) Orang tua berkonsultasi dengan anak tentang keputusan kebijakan dan memberikan penjelasan untuk aturan keluarga. b) Orang tua membuat beberapa tuntutan tanggung jawab rumah

tangga dan perilaku tertib.

c) Orang tua menyajikan dirinya untuk anak sebagai sumber daya baginya untuk menggunakan sesuai keinginannya.

d) Orang tua memungkinkan anak untuk mengatur kegiatan sendiri sebanyak mungkin

e) Orang tua menghindari latihan kontrol dan tidak mendorong anak untuk mematuhi standar yang ditetapkan secara eksternal.

2) Pola Asuh Authoritarian

Santosa (2015: 105) berpendapat bahwa orang tua yang

otoriter yaitu:

a) Orang tua yang lebih mengutamakan disiplin dan aturan, dimana setiap pelanggaran mempunyai konsekuensi berupa hukuman.

b) Orang tua otoriter kurang sabar dalam memberikan penjelasan tentang aturan main dan konsekuensi.

c) Orang tua otoriter mencoba untuk membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar perilaku yang ditetapkan, biasanya standar itu bersifat mutlak.

Ciri-ciri orang tua yang otoriter menurut Baumrind (1966:

890), yaitu:

a) Orang tua mencoba untuk membentuk, kontrol, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar perilaku yang ditetapkan, biasanya standar mutlak, teologis termotivasi dan dirumuskan oleh otoritas yang lebih tinggi. b) Orang tua menilai ketaatan sebagai suatu upaya paksa untuk

mengekang kehendak pada tindakan anak atau konflik keyakinan dengan apa yang dia pikir adalah perilaku yang benar.

c) Orang tua percaya dalam menjaga anaknya, dalam membatasi otonomi, dan dalam menentukan tanggung jawab dalam rangka menanamkan rasa hormat untuk bekerja.

(6)

tradisional sebagai akhir yang sangat dihargai dalam dirinya sendiri.

e) Orang tua tidak menerima pendapat dari anaknya karena orang tua percaya bahwa anak harus menerima semua yang orang tua katakan untuk apa yang dianggapnya benar. kasih sayang, dan responsif terhadap kebutuhan anak.

b) Orang tua otoritatif memiliki karakter ideal menjadi teladan karena mereka mendidik anak dengan kasih sayang dan kedisiplinan namun mereka juga memberikan kebebasan yang bertanggung jawab bagi anak, memahami karakter anaknya, dan mengetahui kebutuhannya.

c) Orang tua otoritatif cenderung berusaha untuk mengarahkan kegiatan anak dengan rasional, yaitu dengan cara berorientasi pada masalah.

Ciri-ciri orang tua yang otoritatif menurut Baumrind (1966:

891), yaitu:

a) Orang tua berusaha untuk mengarahkan kegiatan anak tetapi secara rasional, cara berorientasi pada masalah.

b) Orang tua menerima pendapat anak dengan alasan di balik kebijakan, dan mengumpulkan sejumlah keberatan ketika ia menolak untuk menyesuaikan diri.

c) Orang tua memberikan kontrol yang kuat pada titik-titik perbedaan orangtua-anak, tapi tidak menghukum anak dengan pembatasan.

d) Orang tua memaksa perspektifnya sendiri sebagai orang dewasa, tapi mengakui kepentingan anak dengan cara khusus. e) Orang tua otoritatif menegaskan kualitas anak ini, tetapi juga

menetapkan standar bagi perilaku masa depan.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang

digunakan oleh orang tua berbeda-beda dan pola asuh yang baik untuk

(7)

memprioritaskan kepentingan anak, tetapi tetap dengan pengawasan

dan pengendalian dari orang tua, sehingga terbentuklah karakteristik

anak yang dapat mengontrol diri, mandiri, mempunyai hubungan yang

baik dengan teman, mampu menghadapi stres dan mempunyai minat

terhadap hal-hal baru.

d. Indikator Pola Asuh Orang tua

Indikator pola asuh orang tua diperoleh dari ciri-ciri pola asuh

orang tua yang disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Kisi-Kisi Pola Asuh Oraang Tua Sub

variabel Kisi-kisi

Pola asuh permisif

Orang tua yang menyajikan dirinya untuk anak sebagai sumber daya baginya yang dapat digunakan sesuai keinginannya

Orang tua yang tidak banyak menuntut

Orang tua yang jarang mendisiplinkan anak dan kontrol yang rendah terhadap perilaku anak.

Pola asuh otoriter

Orang tua yang lebih mengutamakan disiplin dan aturan, dimana setiap pelanggaran mempunyai konsekuensi berupa hukuman.

Orang tua otoriter kurang sabar dalam memberikan penjelasan tentang aturan main dan konsekuensi.

Orang tua otoriter mencoba untuk membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar perilaku yang ditetapkan, biasanya standar itu bersifat mutlak.

Pola asuh otoritatif

Orang tua yang memberikan aturan main dan disiplin, namun memiliki gaya komunikasi yang baik, penuh kasih sayang, dan responsif terhadap kebutuhan anak.

Orang tua otoritatif mendidik anak dengan kasih sayang dan kedisiplinan namun mereka juga memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, memahami karakter anaknya, dan mengetahui kebutuhannya.

(8)

2. Pergaulan Teman Sebaya

a. Pengertian Pergaulan Teman Sebaya

Pergaulan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

berasal dari kata dasar gaul yang artinya hidup berteman atau

bersahabat. Pergaulan merupakan salah satu cara seseorang untuk

berinteraksi dengan lingkungannya. Idi (2011: 83) berpendapat bahwa

pergaulan adalah kontak langsung antara individu yang satu dengan

individu yang lainnya. Pergaulan sehari-hari yang dilakukan individu

satu dengan yang lainnya adakalanya memiliki tingkatan usia yang

sama, pengetahuannya, pengalamannya, dan sebagainya. Pergaulan

sehari-hari ini dapat terjadi antara individu dengan kelompok maupun

kelompok dengan kelompok.

Sebaya menurut Santrock (2007: 205) adalah orang yang

tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama. Hetherington &

Parke, 1981 dalam Desmita (2009: 145), berpendapat bahwa teman

sebaya sebagai sebuah kelompok sosial yang sering didefinisikan

sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial atau yang

memiliki kesamaan ciri-ciri seperti tingkatan usia, sedangkan teman

menurut Hurlock (1978: 289) pada masa anak-anak dibagi menjadi tiga

klasifikasi yaitu:

(9)

2) Teman bermain adalah orang yang melakukan aktivitas yang menyenangkan si anak. Mereka bisa terdiri atas berbagai usia dan jenis kelamin, tetapi biasanya usia dan jenis kelaminnya sama, serta mempunyai minat yang sama.

3) Sahabat adalah orang yang dengannya anak tidak hanya dapat bermain tetapi juga berkomunikasi melalui pertukaran ide dan rasa percaya, permintaan nasihat, dan kritik. Anak yang mempunyai usia, jenis kelamin, dan taraf perkembangan sama lebih dipilih sebagai sahabat.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pergaulan teman

sebaya adalah hubungan interaksi sosial yang timbul karena

individu-individu yang berkumpul dan membentuk suatu kelompok yang

didasarkan pada persamaan usia, status sosial, kebutuhan serta minat

yang seiring berjalannya waktu akan membentuk pertemanan atau

persahabatan.

Penelitian ini memfokuskan pada pergaulan teman sebaya yang

terdapat di sekolah, dimana pergaulan teman sebaya yang ada di

sekolah memiliki peranan penting dalam pembentukan kemandirian

anak dalam belajar. Pergaulan teman sebaya di sekolah berpengaruh

besar terhadap kemandirian belajar anak karena teman sebaya yang ada

di sekolah tidak hanya sebagai teman bermain tetapi juga ikut terlibat

dalam proses pembelajaran dan juga pertemuan yang intens membuat

pergaulan teman sebaya di sekolah lebih berpengaruh dibanding

pergaulan teman sebaya di rumah yang hanya berlaku sebagai teman

(10)

b. Peran Teman Sebaya

Hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang

sangat penting bagi perkembangan pribadi anak. Salah satu fungsi

kelompok teman sebaya yang paling penting yaitu menyediakan

informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak

menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari

kelompok teman sebaya. Anak-anak akan mengevaluasi apakah yang

mereka lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan

oleh anak-anak lain. Mereka menggunakan orang lain sebagai tolok

ukur untuk membandingkan dirinya (Santrock. 2007: 205).

Keberadaan seorang teman sangatlah mempengaruhi

kepribadian, akhlak serta agama seseorang. Ketika seseorang bergaul

dengan teman yang berakhlak baik maka niscaya ia akan menjadi

sosok yang berkahlak baik. Namun sebaliknya, ketika ia bergaul

dengan teman yang berakhlak buruk maka ia pun akan menjadi sosok

yang berakhlak buruk pula. Maka dari itu Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar selektif dalam memilih

teman, khususnya teman dekatatau sahabat karib. Hal itu disebabkan

karena agama seseorang itu sangat ditentukan oleh agama teman

dekatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُلِلاَخُي ْهَم ْمُكُذَحَأ ْزُظْىَيْلَف ،ِهِليِلَخ ِهيِد ىَلَع ُءْزَمْلا

Artinya: “(Agama) seseorang itu sesuai dengan agama teman

(11)

teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim dan

Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Kelompok teman sebaya menurut Yusuf (2010: 59) berperan

sebagai lingkungan sosial anak, terutama pada saat terjadinya

perubahan pada stuktur masyarakat seperti perubahan stuktur keluarga,

kesenjangan antara generasi tua dengan generasi muda, ekspansi

jaringan komunikasi antarteman, dan panjangnya masa atau penundaan

memasuki masyarakat. Aspek kepribadian yang berkembang dalam

pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, adalah:

1) Social cognition yaitu kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuan memahami orang lain memungkinkan anak untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya.

2) Konformitas yaitu motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya.

Anak dapat meniru kawannya untuk mempelajari pola perilaku

untuk digunakan dalam penyesuaian diri yang baik atau buruk. Anak

memperoleh pelajaran dari teman bermainnya untuk mempelajari

perilaku yang digunakan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi

sosial. Sahabat memberikan pengaruh yang besar yaitu membantu anak

untuk bersosialisasi, mengembangkan wawasan sosial dan belajar

menjadi seorang yang simpatik (Hurlock. 1978: 291).

c. Pengaruh Pergaulan Teman Sebaya

Pengaruh pergaulan teman sebaya ternyata berkaitan juga

(12)

yang baik dengan lingkungan orang tuanya cenderung dapat

menghindarkan diri dari pengaruh negatif pergaulan teman sebayanya,

dibanding dengan anak yang hubungan dengan orang tuanya kurang

baik. Soekanto (2004: 75-76) berpendapat bahwa pengaruh dari

perkembangan kelompok sebaya ada yang positif dan ada yang negatif.

1. Pengaruh positif dari kelompok sebaya, antara lain:

a) Rasa aman dan rasa dianggap penting membuat perkembangan jiwanya menjadi lebih sehat.

b) Mendorong untuk bersikap mandiri.

c) Menyalurkan perasaan dan pendapatnya kepada teman-temannya.

d) Memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan dalam ketrampilan-ketrampilan sosial, sehingga akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.

e) Mendorong untuk bersikap dan bertindak secara dewasa.

2. Pengaruh negatif dari kelompok sebaya, antara lain:

a) Sulit menerima seseorang yang tidak memiliki persamaan (bersikap diskriminatif).

b) Tertutup bagi individu lain yang tidak termasuk dalam kelompoknya (individualisme).

c) Menimbulkan rasa iri antar anggota lain yang tidak memiliki kesamaan dengannya

d) Timbulnya pertentangan dengan orang tua dan saudara.

e) Menghambat motivasi perkembangan akibat pengaruh dari anggota kelompok.

Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam

(13)

minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau

bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap

mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi

(percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau

tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534

dan Muslim 2628)

Penjelasan di atas, menunjukan bahwa pergaulan teman sebaya

selain membantu anak-anak menjadi pribadi yang lebih baik, pergaulan

teman sebaya yang salah juga dapat mempengaruhi kepribadian anak

menjadi pribadi yang kurang baik. Hubungan pergaulan teman sebaya

dapat berdampak positif atau negatif seperti penjelasan di atas, hal itu

bergantung pada peran orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka.

d. Indikator Pergaulan Teman Sebaya

Penjelasan di atas dapat dijadikan indikator untuk penyusunan

instrumen yang terdiri dari:

1) Bagaimana berinteraksi dengan orang lain diluar keluarga

2) Mempelajari perilaku orang lain dan mengkontrol tingkah laku sosial untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. 3) Mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai usianya 4) Kemampuan memahami orang lain dengan cara saling bertukar

perasaan dan masalah

3. Kemandirian Belajar

a. Pengertian Kemandirian Belajar

Desmita (2011: 185) menyebut istilah kemandirian berasal dari

kata dasar “diri” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”,

(14)

kemandirian berasal dari kata dasar “diri” maka pembahasan tentang

kemandirian tidak bisa lepas dari perkembangan itu sendiri, yang

dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self, karena

merupakan inti dari kemandirian. Konsep yang sering digunakan atau

berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.

Sikap mandiri juga dijelaskan dalam Al Qur’an surat Ar-Ra’d

ayat 11 yang berbunyi:

Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikuti

bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas

perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu

kaum sehingga mereka mereka mengubah keadaan yang ada pada diri

mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap

suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak

ada pelindung bagai mereka selain Dia”.

Surat Ar-Ra’d ayat 11 tersebut menegaskan bahwa Allah SWT

tidak merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu yang gigih

mengubah nasibnya sendiri. Manusia diberi kemampuan oleh Allah

SWT untuk mengubah nasibnya sendiri, artinya kita sebagai manusia

(15)

hidup dan berusaha agar tidak bergantung kepada orang lain, jika

ingin sukses maka kita perlu berusaha untuk meraihnya, tidak hanya

berdiam menunggu bantuan orang lain.

Erikson dalam Desmita (2011: 185), menyatakan kemandirian

adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud

untuk nenemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego, yaitu

perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri.

Kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan

nasibnya sendiri, kreatif dan inisiatif, dapat mengatur tingkah lakunya,

bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat

keputusan-keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh

dari orang lain.

Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana peserta

didik secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan

keyakinan orang lain. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa

kemandirian mengandung pengertian:

1) Suatu kondisi di mana seseorang meiruliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.

2) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

3) Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya. 4) Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.

Tahar dan Enceng (2006: 92) mendefinisikan kemandirian

belajar sebagai kesiapan dari individu yang mau dan mampu untuk

belajar dengan inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan pihak lain

(16)

belajar. Kemandirian belajar dalam pengertian yang lebih luas yaitu

sebuah proses di mana individu mengambil inisiatif sendiri, dengan

atau tanpa bantuan orang lain, untuk mendiagnosis kebutuhan belajar,

memformulasikan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber belajar,

memilih dan menentukan pendekatan strategi belajar, dan melakukan

evaluasi hasil belajar yang dicapai.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian

belajar adalah suatu proses belajar dimana setiap individu dapat

mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, dalam hal

menentukan kegiatan belajarnya seperti merumuskan tujuan belajar,

sumber belajar (baik berupa orang ataupun bahan), mendiagnosa

kebutuhan belajar, dan mengontrol sendiri proses pembelajarannya.

Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar

dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan

sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar. Siswa dikatakan

telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan

tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain.

Elfindri, dkk (2012: 101-102) berpendapat bahwa karakter

orang yang mandiri yaitu menunjukan bahwa seseorang yang mandiri

tidak mudah tergantung pada orang lain, memiliki kemampuan untuk

berdiri sendiri, melakukan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan

kepadanya. Orang yang mandiri dalam pekerjaanya tidak

(17)

bisa merespon perintah atau tugas yang diberikan kepadanya. Karakter

mandiri bukan dikatakan sebagai orang yang tidak suka bekerja sama

dalam tim, akan tetapi anggota yang memiliki kemandirian akan

memberikan kontribusi yang baik dalam kerja sama tim.

Kemandirian dalam belajar perlu dimiliki oleh siswa agar

mereka memiliki tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan

dirinya serta mengembangkan kemampuan belajar yang didasari atas

kemauannya sendiri. Kemandirian dalam belajar merupakan gambaran

sejauh mana peserta didik dapat melaksanakan tugasnya tanpa bantuan

orang lain, menentukan tujuan, bahan dan pengalaman belajar serta

evaluasi pembelajarannya sendiri.

b. Pentingnya Kemandirian Belajar bagi Peserta Didik

Kartadinata dalam Desmita (2011: 189-190), menyebutkan

beberapa gejala yang berhubungan dengan permasalahan kemandirian

yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan, yaitu:

1) Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku formalistik, ritualistik dan tidak konsisten, yang pada gilirannya akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian manusia.

2) Sikap tidak peduli terhadap lingkungan. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang bertransenden terhadap lingkungannya. Ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif, yang menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.

(18)

Pengaruh kompleksitas kehidupan terhadap peserta didik juga

terlihat di konteks proses belajar yaitu terlihat adanya fenomena siswa

yang kurang mandiri dalam belajar yang kemungkinan dapat

menimbulkan gangguan mental setelah memasuki pendidikan lanjutan,

kebiasaan belajar yang kurang baik seperti tidak betah belajar lama

atau belajar hanya semalam menjelang ujian, membolos, menyontek,

dan mencari bocoran soal-soal ujian. Pengaruh ini yang harus orang

tua dan guru kontrol dengan serius agar tidak terjadi pada anak.

c. Perkembangan Kemandirian Peserta Didik dan Implikasinya bagi Pendidikan

Desmita (2011:190) menjelaskan bahwa kemandirian adalah

kecakapan yang berkembangan sepanjang rentang kehidupan yang

dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pendidikan, oleh sebab

itu pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya pengembangan

kemandirian peserta didik seperti:

1) Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai.

2) Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dalam berbagai kegiatan sekolah.

3) Memberi kebebasan kepada anak untuk mengekplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka.

4) Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain.

5) Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran guru dalam

membentuk kemandirian belajar siswa sangat besar, dimana guru harus

(19)

sehingga anak merasa nyaman dan dihargai keberadaannya di dalam

kelas, mendorong anak untuk aktif, memberi kebebasan kepada anak,

menerima segala keadaan atau kondisi siswa dengan baik, dan

menjalin hubungan yang harmonis anatara guru dan siswa. Peran guru

dalam hal ini memang penting, namun orang tua juga memberikan

kontribusi yang lebih penting di rumah, sehingga perlunya komunikasi

dan kerja sama yang baik antara orang tua dan para guru di sekolah.

d. Indikator Kemandirian Belajar

Indikator kemandirian belajar yang terdiri dari:

1) Mampu mengelola strategi pembelajaran 2) Mampu mengatur waktu belajar

3) Mampu mengatur tempat belajar 4) Mampu menilai aktivitas belajar

5) Mampu mengatasi kesulitan memahami bahan ajar 6) Mampu mengukur kemampuan dari belajar

7) Dapat memilih sumber belajar yang sesuai, termasuk tutor 8) Memiliki bahan ajar

9) Interaksi peserta ajar dengan bahan ajar

B. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Diana Baumrind (1966) dalam penelitiannya yang berjudul Effects of

Authoritative Parental Control on Child Behavior. Diana Baumrind

menjelaskan tentang tiga gaya pengasuhan orang tua yaitu pola asuh

permisif, otoriter, dan otoritatif. Hasil temuan yang bersangkutan yaitu

mengenai efek dari penerapan pola asuh terhadap perilaku anak. Hasilnya,

bahwa pola asuh otoritatif dianggap efektif diterapkan pada anak. Pada

(20)

mengkaitkan antara pergaulan teman sebaya dan kemandirian belajar

siswa.

2. Daniel K. Korir dan Felix Kipkemboi (2014) dalam penelitiannya yang

berjudul The Impact of School Environment and Peer Influences on

Students’ Academic Performance in Vihiga County, Kenya. Penelitian ini

meneliti tentang dampak lingkungan sekolah dan pengaruh teman sebaya

pada kinerja akademik siswa. Penelitian ini menilai faktor lingkungan dan

teman di sekolah berpengaruh pada psikologis siswa. Mengacu pada hal

tersebut, peneliti akan meneliti apakah teman sebaya dapat mempengaruhi

tingkat kemandirian anak dalam belajar.

3. Nur Istiqomah Hidayati (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Pola

Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan Emosi, dan Kemandirian Anak SD

yang memiliki persamaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu

pada variabel pola asuh dan kemandirian anak. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan adanya korelasi negatif antara pola asuh otoriter orang tua

dengan kemandirian, artinya bahwa semakin tinggi penerapan pola asuh

otoriter orang tua maka semakin rendah tingkat kemandirian anak. Pada

penelitian ini, peneliti tidak hanya meneliti satu pola asuh tetapi ada tiga

pola asuh yang akan diteliti yaitu pola asuh permisif, pola asuh otoriter dan

pola asuh otoritatif.

4. Eka Setiawati dan Suparno (2010) dalam penelitiannya yang berjudul

Interaksi Sosial dengan Teman Sebaya pada Anak Homeschooling dan

(21)

menunjukkan bahwa Interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak

homeschooling kurang berkembang bila dibandingkan dengan interaksi

sosial dengan teman sebaya pada anak sekolah reguler. Anak-anak

homeschooling cenderung percaya pada kemampuannya sendiri, dan

memikirkan sendiri mengenai berbagai hal, tetapi dalam kondisi tertentu

mereka bersedia meminta bantuan kepada siapapun meski mereka belum

saling akrab, hal ini berbeda dengan anak sekolah reguler yang lebih banyak

memiliki kesempatan untuk belajar bekerja dalam tim, adakalanya tugas siswa

juga dikerjakan secara kelompok.

C. Kerangka Berpikir

Pola asuh orang tua ( ) merupakan variabel independen (variabel

bebas) yang diperkirakan mempunyai hubungan dengan kemandirian belajar

(Y) pada siswa kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata Siwi Karanglewas.

Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak meliputi sikap, nilai,

norma dan kebiasaan orang tua yang diterapkan untuk mengasuh, mendidik

dan membesarkan anak-anak mereka. Pola asuh orang tua yang diterapkan

pada anak akan memberikan kesan tersendiri pada perilakunya dalam belajar.

Pola asuh yang tepat dan sesuai memungkinkan terbentuknya kemandirian

belajar pada siswa.

Pergaulan teman sebaya ( ) juga merupakan variabel independen

(variabel bebas) yang diperkirakan juga mempunyai hubungan dengan

kemandirian belajar (Y) kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata Siwi

(22)

Pola Asuh Orang

- Permisif - Otoriter - Otoritatif

penting dalam penyesuaian diri, mengontrol tingkah laku sosial,

mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usianya, saling

bertukar perasaan dan masalah, serta membantu mempersiapkan masa

depannya. Persaingan dalam belajar untuk mendapatkan prestasi terbaik

mampu mendorong siswa untuk menciptakan kemandirian belajar pada diri

anak untuk tidak bergantung pada teman-temannya.

Pola asuh orang tua ( ) dan pergaulan teman sebaya ( ) yang

keduanya merupakan variabel independen (variabel bebas), diperkirakan

mempunyai hubungan secara bersama-sama dengan kemandirian belajar (Y)

pada siswa kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata Siwi Karanglewas. Hal

tersebut karena pengaruh pergaulan teman sebaya ternyata berkaitan dengan

iklim keluarga dimana siswa yang memiliki hubungan yang baik dengan orang

tuanya cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif pergaulan

teman sebayanya, dibandingkan dengan siswa yang hubungan dengan orang

tuanya kurang baik.

Gambar 2.1

Skema Kerangka Berpikir

Pergaulan Teman Sebaya

Kemandirian Belajar

Y

𝐗𝟐

𝐗𝟏

(23)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan Kerangka berpikir diatas yang menghubungkan

variabel-variabel yang digunakan yaitu Pengaruh Pola Asuh Orang Tua ( ), Pergaulan

Teman Sebaya ( ), terhadap Kemandirian Belajar (Y) maka dapat

dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pola asuh orang tua dan

kemandirian belajar siswa kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata Siwi

Karanglewas.

2. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pergaulan teman sebaya

dan kemandirian belajar siswa kelas IV di SD Negeri Gugus Lokawiyata

Siwi Karanglewas.

3. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pola asuh orang tua dan

pergaulan teman sebaya secara bersama-sama dengan kemandirian belajar

Gambar

Tabel 2.1 Kisi-Kisi Pola Asuh Oraang Tua
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Masalah- masalah Penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tingkat kebiasaan belajar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia para siswa jurusan IPS kelas II SMA Pangudi Luhur Sedayu

Nuorten palvelut ja kaverit –teema mainitaan vastauksissa yhteensä 60 kertaa. Vastauk- sista käy ilmi, että lähes kaikissa teemaan liittyvissä vastauksissa toivotaan alueelle

Pada kampus II Universitas Muhammadiyah Purwokerto apabila terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi di beberapa tidak mampu menampung limpasan hujan. Hal

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam penciptan kinerja perusahan pada masing-masing sektor industri di Indonesia,

Setiap anak yang berkebutuhan khusus seperti tuna rungu yang berada dalam komunitas deaf art community akan menunjukan kepada masyarkat sekitar bahwa anak tuna rungu bukanlah

Observasi dilakukan oleh peneliti selaku pengawas sekolah di Sekolah Dasar Daerah Binaan I UPT Dindikpora Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara, saat

Sehingga dengan terbentuknya OJK maka lembaga tersebut dapat diberi kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap bank karena lembaga tersebut

activity of ceria-promoted Ni catalyst supported on powder alumina (96%) was quite close to the equilibrium CO conversion (99.6%) at the same temperature (250 ° C) and CO/S molar