POSTMODERNISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM
PERSPEKTIF NURCHOLIS MADJID
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Annilta Manzilah ‘Adlimah
NIM. 11113004
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
MOTTO
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah dengan izin Allah Swt. skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan kepada orang-orang yang telah
membantu mewujudkan mimpiku:
1. Ayahanda Sumardi dan Ibunda Kismatun yang telah memberikan mahkota
kasih sayangnya kepadaku sejak diriku kecil tak mengerti apa-apa hingga kini
aku mengerti makna hidup.
2. Adik-adikku tercinta Sofi Adha Mubaroka dan Azzada Ahmadul ‘Ibaad yang
selalu mendukung dan memberikan semangat.
3. Guru-guruku yang telah membagikan ilmunya kepadaku sehingga aku menjadi
manusia yang mengerti banyak hal.
4. Sahabat-sahabat PP. Salafiyah Pulutan yang senantiasa menemaniku selama di
bangku perkuliahan, semoga Allah Swt. menjadikan kalian sebagai generasi
penerus Bangsa yang sholeh-sholehah.
5. Sahabat-sahabat PAI angkatan 2013. Semoga dimanapun kalian berada, selalu
mengamalkan ilmunya dengan tulus dan ikhlas.
6. Sahabat-sabahat PMII Kota Salatiga, UKM JQH, DEMA FTIK, DEMA
Institut, Gusdurian Salatiga, dsb. yang telah mengajari dan memberikan banyak
pengalamannya dalam berorganisasi sehingga aku tidak menjadi mahasiswa
yang hanya aktif di bidang akademik namun juga dapat aktif di organisasi.
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا الله مسب
Alhamdulillahirabbil’alamin penulis ucapkan sebagai rasa syukur
kehadirat Allah Swt. atas segala nikmat yang tak terhitung dan rahmat-Nya yang
tiada henti, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan junjungan kita Nabi
Muhammad Saw., beliaulah suri tauladan bagi seluruh umat manusia,
penyempurna akhlak yang mulia, dan pemimpin yang bijaksana bagi seluruh alam
semesta.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa
ada bantuan, dorongan, serta bimbingan dari pihak-pihak tertentu yang terkait,
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi-informasi yang
dibutuhkan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga harus penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
4. Bapak Dr. Miftahuddin, M.Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa memberikan arahan, bimbingan dan motivasi selama
5. Bapak Prof. Dr. Budihardjo, M.Ag., selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan nasehatnya selama penulis menjadi mahasiswanya.
6. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen IAIN Salatiga yang tidak bisa saya sebutkan
satu-satu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi
mahasiswanya.
7. Keluarga tercinta yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih
sayang dan memberikan bantuan moril dan materil maupun spiritual.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, semoga segala bantuan yang
diberikan mendapat balasan dan Ridho Allah Swt. serta tercatat dalam bentuk
amalan ibadah. amin.
Semoga jasa baik yang diberikan pada penulis akan mendapatkan balasan
yang lebih berarti dari Allah Swt. penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karenanya kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
kalangan terutama bagi penulis sendiri. Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Salatiga, 14 Maret 2017 Penulis
ABSTRAK
Adlimah, Annilta Manzilah. 2017. 11113004. Postmodernisme dalam Pendidikan
Islam Perspektif Nurcholish madjid. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Miftahuddin, M.Ag.
Kata kunci: Postmodernisme, Konsep Pendidikan Islam, dan Nurcholish Madjid.
Penulisan skripsi ini merupakan sebuah upaya untuk mengupas lebih dalam tentang sosok pemikir Muslim modernis, atau lebih tepatnya, postmodernisme, yakni Nurcholish Madjid. Tujuan penelitian dalam skripsi ini ada dua hal, yaitu: (1) Mengetahui konsep pemikiran postmodernisme pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid; (2) Mengetahui relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid.
Data penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis peroleh dari membaca artikel, jurnal, buku-buku karya Nurcholish Madjid, dan buku-buku penunjang lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa penelitian ini termasuk penelitian library research.
DAFTAR ISI
HALAMAN BERLOGO ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
HALAMAN MOTTO ... vi
KATA PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Telaah Pustaka ... 6
F. Landasan Teori ... 11
G. Metode Penelitian ... 14
H. Sistematika Pembahasan ... 16
C. Karya-Karya ... 41
BAB. III. PENEGASAN ISTILAH
A. Definisi Postmodernisme ... 45
B. Sejarah Postmodernisme ... 55
C. Definisi Pendidikan Islam ... 59
BAB. IV. PEMBAHASAN
A. Ide Pokok Pemikiran Nurcholish Madjid ... 73
B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid ... 77
C. Analisis Relevansi Postmodernisme terhadap Pendidikan
Islam Menurut Nurcholish Madjid ... 80
BAB. V. PENUTUP
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran-Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN
Daftar Riwayat Hidup Penulis
Nota Pembimbing Skripsi
Lembar Konsultasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan ini.
Allah Swt. telah menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya di dunia ini juga
tidak bisa lepas dari pendidikan. Karena pendidikanlah yang menjadi tolak ukur
dari keberhasilan atau tidaknya peran manusia dalam menjadi khalifah di dunia
ini. Allah telah menganugerahkan manusia berupa akal dan pikiran inilah yang
menjadikan pendidikan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari
diri manusia. Karena adanya pendidikan juga dikarenakan adanya daya pikir oleh
akal manusia.
Pendidikan Islam merupakan wahana bagi para peserta didik yang
mengenyam pendidikan di bawah naungan pondok pesantren atau yang biasa
disebut sebagai santri untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya
dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut merupakan proses transformasi
untuk mempersiapkan generasi muda yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan.
Bekal ilmu pengetahuan tersebut berguna sebagai implementasi dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, peran dan
fungsi pendidikan Islam adalah sebagai pencetak manusia menjadi makhluk yang
humanisme yaitu manusia yang dapat memanusiakan manusia lain.
kehidupan yang ada akan terus berputar secara kontinu. Kemudian agar
pendidikan Islam dapat bersaing di tengah berkembangan zaman, tentu saja
pendidikan Islam harus sanggup menghadapi tantangan modernisasi ini saat ini.
Namun, kesadaran akan hal itu belum ada dalam benak pendidikan Islam.
Pembaharuan pemikiran pendidikan Islam yang selaras dan sesuai denga kondisi
zaman perlu ditelaah. Sehingga muncullah metode baru terhadap pendidikan
Islam dalam angka untuk mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai ajaran
Islam di era modernis ini.
Pendidikan Islam mempunyai peran, fungsi, dan tujuan membentuk
manusia yang berkembang menjadi manusia yang sempurna, yaitu manusia yang
mampu menyeimbangkan kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual.
Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam harus selalu berupaya menggali
dasar-dasar dalam doktrin Islam (Al-Qur‟an dan Sunnah) sebagai landasan memecahkan
setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaharuan, atau lebih
konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu
sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi perkembangannya.
Memperbincangkan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) karena ia adalah tokoh
sekaligus pemain utamanya. Dalam pandangan Cak Nur, yang akan penulis bahas
lebih jauh dalam penelitian ini, bahwa pembaharuan harus dimulai dari dua hal
yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional,
dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Dorongan melakukan
telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan
ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan psikologis perjuangannya.
Nurcholish Madjid adalah sosok pemikir Islam yang mempunyai pengaruh
kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme di Indonesia. Pemikirannya membawa
dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam
pendidikan Islam ada sebuah wacana untuk mencari formulasi ideal seiring
perkembangan IPTEK, metodologi dan permasalahan sosial-budaya yang perlu
mendapat pencerahan dari dunia pendidikan Islam khususnya. Konsep ini tentu
akan menjumpai hambatan-hambatan karena peristilahan pendidikan Islam yang
masih umum. Adanya tarik menarik antara aspek filsafat dan teologi yang sulit
dilepaskan dari Pendidikan Islam. Dimensi filsafat mungkin koheren dengan
nilai-nilai Islam, sedangkan teologi lebih bersifat ekslusif, hanya menjustifikasikan
hal-hal yang tekstual bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits (Widodo, 2007: 25).
Secara umum dasar filsafat membawa konsekuensi bahwa rumusan pendidikan
Islam harus beranjak dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang digali dari
pemikiran manusia muslim dan sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai
asasi ajaran Islam (Nizar, 2002: 58).
Tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang
pemikir-Muslim modernis atau lebih tepatnya, postmodernisme, menggunakan
peristilahannya yang sering ia sendiri lontarkan. Maka, melanjutkan para
perambah modernisme (klasik) di masa-masa lampau, Nurcholish Madjid
harus didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang
telah mapan.
Dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
berkonsentrasi dalam penelitian ini dengan judul “Postmodernisme dalam
Pendidikan Islam Perspektif Nurcholish Madjid”.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis fokus pada beberapa pokok pembahasan, di
antaranya:
1. Apa ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid?
2. Bagaimana konsep pemikiran postmodernisme pendidikan Islam menurut
Nurcholish Madjid?
3. Bagaimana relevansi postmodernisme terhadap pendidikan Islam menurut
Nurcholish Madjid?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka penulis dalam penulisan
penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, di antaranya:
1. Untuk mengetahui apa ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid.
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep pemikiran pendidikan Islam
menurut Nurcholish Madjid.
3. Untuk mengetahui Bagaimana relevansi postmodernisme dengan
D. Manfaat Penelitian
Selanjutnya penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat
teoritis maupun praktis, manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini merupakan sumbangsih khasanah keilmuan pendidikan
Indonesia secara umum dan pendidikan Islam.
b. Sebagai referensi yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain yang tertarik
meneliti suatu konsep pendidikan Islam.
c. Bagi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan secara umum, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan tambahan koleksi
kepustakaan.
2. Manfaat Praktis
Segala perbuatan yang dilakukan diharapkan mengandung menafaat
baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Oleh sebab itu, berdasarkan tujuan
penelitian yang dilakukan penulis, maka penelitian ini diharapkan mempunyai
manfaat, sebagai berikut:
a. Manfaat bagi Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Sebagai bahan
dokumentasi bagi pengembangan konsep pendidikan Islam, dan menjadi
masukan untuk lembaga agar mempunyai pandangan yang luas terhadap
ilmu pengetahuan.
b. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
tokoh pembaharuan Islam. Sehingga dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
c. Manfaat bagi peneliti
Menambah wawasan keilmuan tentang konsep pendidikan Islam tokoh
pembaharuan Islam, sehingga mampu menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
E. Telaah Pustaka
Kajian tentang postmodernisme pendidikan Islam memang bukan yang
pertama kali dilakukan oleh para penulis, terutama penelitian jurnal maupun
skripsi. Sejauh penelusuran yang dilakukan, penulis menjumpai hasil penelitian
yang memiliki titik singgung dengan judul yang diangkat dalam penelitian skripsi
ini, berikut beberapa literatur yang menjadi acuan pustaka sebagai komparasi akan
keontetikan penelitian ini:
Penelitian yang berkaitan dengan postmodernisme pendidikan Islam,
penulis merujuk penelitian jurnal yang ditulis oleh Mukalam pada Intertextual
Studies for Civilization (ISC) Yogyakarta pada tahun 2013 yang berjudul
“Postmodernisme dan Filsafat Pendidikan Islam”. Pada penelitian ini dikupas
mengenai perspektif menarik dari logika postmodernisme bila ditarik ke dalam
logika filsafat pendidikan Islam. Dengan logika postmodernisme, filsafat
pendidikan Islam akan menjadi ruang untuk mendiskusikan kembali
konsep-konsep lama seperti pengetahuan, manusia, dan sejarah di dalam sinaran konsep-konsep
lokalotas pengetahuan dan sebagainya. Ide-ide postmodernisme mungkin terasa
mencemaskan, terkesan menihilkan segala sesuatu, meragukan semua konsep dan
merelatifkan semua pandangan. Namun satu hal perlu dicatat, gal tersebut bukan
satu alasan untuk cepat-cepat menolak dan meninggalkannya (Mukalam, 2013:
288). Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
saudara Mukalam yakni sama-sama membahas tentang postmodernisme dengan
pendidikan Islam. Namun ada pula yang membedakannya yakni terletak pada
subjek penelitian penulis adalah perspektif Nurkholish Madjid, sedangkan pada
jurnal saudara Mukalam tidak terdapat fokus subjeknya.
Kajian yang kedua penulis merujuk pada skripsi Khusnul Itsariyati,
Mahasiswi jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2010 yang berjudul “Konsep
Pembaharuan Pendidikan Islam Nurcholis Madjid (Tinjauan Filosofis dan
Metodologis)”. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembaharuan
pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid yaitu pendidikan yang menuju pada
progressivisme dan dinamika, dengan pemahaman agama menjadi dasar
pemikiran Nurcholis Madjid yaitu dengan rasionalisasi yang diikuti dengan
pandangan sikap terbuka dan berpikir kritis terhadap segala hal, maka
pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis Madjid perlu dimulai dengan
dihapusnya garis pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan agama,
sehingga tidak ada dikotomi, dari keterpaduan itu diharapkan dapat menjadi pintu
penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudari
Khusnul Itsariyati yakni sama-sama membahas tentang pendidikan Islam menurut
Nurcholis Madjid. Metode yang digunakan juga sama yakni dengan menggunakan
metode literatur. Namun yang membedakannya terletak pada konsep pendidikan
Nurcholis Madjid yang menuju progessivisme dan dinamika. Sedangkan pada
penelitian penulis, konsep pendidikan Nurcholis Madjid dalam postmodernisme.
Kajian ketiga, penulis merujuk pada skripsi saudara Ahmad Nadhif,
Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga pada tahun 2012 yang berjudul “Prinsip-Prinsip Postmodern dan
Relevansinya dengan Pendidikan Islam”. Hasil dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa konseptual pendidikan Islam dapat diinkorporasikan dengan
prinsip-prinsip postmodern.
1. Konseptual pendidikan islam yang terkesan normatif dan etis harus
didekonstruksi dengan pengkajian kritis dan inklusif, karena jika pendidikan
Islam masih menggunakan konseptual serupa maka pendidikan akan
menjadi penjara yang bertopeng keagamaan.
2. Ragam epistemologi yang terdapat dalam keilmuan pendidikan Islam dapat
dipadukan dengan konsep integrasi-interkoneksi, karena disadari bahwa
masing epistemologis mempunyai bahasa tersendiri.
3. Konseptual pendidikan Islam yang normatif-etis, bisa jadi atas dasar
romantisme sejarah yang pernah dimiliki oleh Islam. Oleh karena itu,
Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
saudara Ahmad Nadhif yakni sama-sama membahasa tentang hubungannya
postmodernisme dengan pendidikan Islam. Namun yang membedakan adalah
penelitian dari saudara Ahmad Nadhif lebih membicarakan prinsip-prinsip
postmodernisme, sedangkan penelitian penulis yakni tentang pandangan
Nurcholis Madjid tentang postmodernisme pendidikan Islam.
Kajian keempat, penulis merujuk pada jurnal Achmad Reyadi AR,
mahasiswa pascasarjana IAIN Sunan Ampel pada tahun 2011 yang berjudul
“Postmodernisme; Perspektif Ajaran Islam dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Islam”. Pada penelitian ini akan dikupas mengenai eksistensi
postmodernisme sebagai sebuah aliran pemikiran yang mengkritisi terhadap
modernisme. Munculnya postmodernisme membawa harapan baru sekaligus
menjadi tantangan bagi pendidikan Islam. Harapan bagi pendidikan Islam adalah
bahwa di era postmodern akan terjadi kesemarakan kehidupan keagamaan. Akibat
pengaruh kehidupan masa kini yang penuh dengan suasana kesibukan dengan
memunculkan situasi kompetitif, pengejaran prestasi secara progresif
menyebabkan manusia menjadi letih (Reyadi AR, 2011: 82). Jurnal penulis
memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara Achmad
Reyadi AR yakni sama-sama membahas tentang postmodernisme dengan
pendidikan Islam. Namun ada pula yang membedakannya yakni relevansi
postmodernisme dengan pendidikan Islam, sedangkan jurnal milik saudara
Kajian kelima, penulis merujuk pada skripsi Moh. Zainal Muhtar,
mahasiswa jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2015 yang berjudul “Aktualisasi
Pendidikan Agama Islam di Era Postmodernisme dan Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam (Telaah Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti SMA Kelas X Kurikulum 2013)”. Hasil dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Postmodernisme muncul memberikan koreksi-koreksi sistematis terhadap
era modern. Postmodern menawarkan alternatif lain yang selama ini sering
diabaikan oleh manusia, yakni nilai-nilai sosial, adat istiadat, dan nilai-nilai
keagamaan.
2. Sebagai sebuah pemikiran, postmodern memberikan kritik dan menolak atas
segala bentuk ketunggalan, fondasional, linier, otoriter, dan universalisme
yang menjadi postulat kebenaran modenisme.
3. Aktualisasi Pendidikan Agama Islam di sekolah menjadi suatu hal mutlak
dilakukan sebagai salah satu upaya penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai
Islam dan kehidupan peserta didik dewasa ini dengan berbagai macam
tantangan kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya.
4. Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum 2013 saat ini, menunjukkan
bahwa tidak lagi menekankan pada aspek kognitif (pengetahuan) semata,
melainkan juga telah menekankan pada aspek afektif (pembentukan sikap)
dan psikomotorik (tingkah laku) pada peserta didik, sehingga pada ranah
tentang ajaran Islam, melainkan juga meyakini dan menghayati serta
mempraktikkan ajaran Islam tesebut dalam kehidupan sehari-hari (Muhtar,
2015: 160-161).
Skripsi penulis memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
saudara postmodernisme dengan pendidikan. Namun yang membedakan adalah
penelitian dari saudara Moh. Zainal Muhtar lebih membicarakan relevansi
postmodernisme dengan tujuan pendidikan Islam bagi peserta didik, sedangkan
penulis lebih fokus dalam relevansi postmodernisme dengan pendidikan Islam itu
sendiri.
F. Landasan Teori
Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dalam skripsi ini, perlu penulis
batasi ruang ligkup istilah yang berkaitan dengan skripsi ini. Terutama yang
berkaitan dengan istilah konsep, relevansi, postmodernisme, pendidikan Islam,
dan Nurcholish Madjid.
1. Konsep
Konsep adalah rancangan atau ide yang diabstrakkan dari peristiwa
konkrit, gambaran, mental dari objek, proses ataupun yang dari luar bahasa
yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2005: 588).
Dalam bahasa Inggris, konsep ditulis concept, yang berarti pokok pertama yang
mendasari keseluruhan pemikiran atau concept is a general nation or idea od
sesuatu yang terbentuk secara mental yang menggabungkan seluruh
karakteristik dan kekhususan.
2. Relevansi
Relevansi adalah hubungan, keterkaitan, kesesuaian (KBBI, 1989:
377). Sesuatu adalah relevan dengan tugas jika kemungkinan dapat
meningkatkan dan mencapai tujuan. Sebuah hal yang mungkin relevan,
dokumen atau sepotong informasi mungkin relevan. Pemahaman dasar
relevansi tidak tergantung pada apakah kita berbicara tentang sesuatu atau
informasi (www.wikipedia.org). jadi menurut pemahaman ini, relevansi
mempunyai keterkaitan atau kesesuaian antara dua premis yang berbeda.
3. Postmodernisme
Menurut Bambang Sugiharto (Sugiharto, 2016: 30), terdapat tiga
konsepsi tentang postmodern yang dapat digolongkan sebagai berikut. Pertama,
pemikiran yang hendak merevisi kemodernan dan cenderung kembali ke
pra-modern. Corak pemikiran yang mistiko-mitis dan semboyan khas pemikiran ini
adalah holisme. Kedua, pemikiran yang erat pada dunia sastra dan banyak pada
persoalan linguistik. Kata kunci yang populer adalah dekonstruksi, yaitu
kecenderungan untuk mengatasi gambaran-gambaran dunia modern melalui
gagasan anti gambaran dunia sama sekali. Semangat membongkar segala
unsuur yang penting dalam sebuah gambaran dunia, seperti diri, tuhan, tujuan,
dunia nyata dan lain-lain. Tokoh yang berperan dalam teori-teori tersebut
adalah J.F. Lyotard, M. Foucauld, Jean Baudrillard, Jacques Derrida. Ketiga,
modernisme secara total, namun dengan memperbaharuinya premis-premis
modern di sana-sini saja. Singkat kata, kritik terhadap imanen terhadap
modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya.
A.Toynbee menjelaskan bahwa sejarah baru telah dimulai sejak
berakhirnya dominasi barat, yaitu pada tahun 1875, yang ditandai surutnya
individualisme, kapitalisme, dan kristianitas, serta bangkitnya kekuatan
non-Barat (Sugiharto, 2016: 21). Kecenderungan ini juga ditandai oleh zaman yang
terkomputasi dan ambiguitasnya semua klaim kebenaran yang dihasilkan oleh
rasional-empirik memunculkan beragam gerakan untuk mencari alternatif baru
dalam peradaban.
4. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai
ajaran agama Islam. Pendidikan Islam secara bahasa berasal dari kosa kata
Arab, yaitu Rabba-Yurobbi, yang mempunyai arti mendidik, merawat,
melindungi, mengajari, dan lain sebagainya. Namun, dalam perkembangannya,
kosa kata tersebut mempunyai tiga makna yang berbeda, yaitu tarbiyah, ta‟lim,
dan ta‟dzib, dan mempunyai konsepsi yang berbeda pula. Oelh karena itu,
pemaknaan ketiga kosa kata tersebut dapat dijadikan acuan prinsip dalam
pendidikan islam, emskipun dalam tataran teoritis maupun praktis masih
sebagai pendidikan yang bersifat normatif dan teologis.
5. Nurcholish Madjid
kalangan keluarga pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, seorang
alim jebolan Pesantren Tebuireng, dan murid kesayangan Hadratus Syekh K.H.
Hasyim Asy‟ari, Ra‟is Akbar dan pendiri NU.
Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969
dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia
Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFO (International Islamic Federation of
Students Organizations), 1969-1971 (Barton, 1999: 75).
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa metode, di
antaranya:
1. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dari buku-buku yang berhubungan langsung
dengan topik pembahasan. Sumber data di bagi menjadi dua, yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu data yang diambil dari sumber utamanya. Di
sini penulis cantumkan beberapa sumber primernya, antara lain:
1) Madjid, Nurcholish. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.
Bandung: Mizan.
2) Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah
Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
4) Madjid, Nurcholish. 2007. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diambil dari sumber data
kedua. Yang berfungsi untuk penguat dari sumber data yang utama.
Antara lain:
1) Aziz, Ahmad Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia;
Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
2) Soyomukti, Nurani. 2016. Teori-Teori Pendidikan dari Tradisional,
(Neo) Liberal, Marxis-Sosiolis, Hingga Postmodern. Yogyakarta:
Ar-Ruz Media.
3) Vattimo, Gianni. 2016. Akhir Modernitas; Nihilisme dan
Hermeneutika dalam Budaya Postmodern. Yogyakarta: Nusantara
Press.
4) Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid
terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press.
5) Dll.
2. Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan data dengan
membaca buku-buku, karya ilmiah, jurnal, dan artikel yang berkaitan
dengan pembahasan Nurcholish Madjid, kemudian hasil membaca tersebut
3. Analisis Data
Penulisan skripsi ini termasuk penelitian library research. Yaitu
penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku dan literatur lainnya.
Teknik penelitian yang menekankan sumber informasi pada bahan
kepustakaan, baik berupa buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan lain
sebagainya, yang sesuai dengan obyek pembahasan penelitian (Sugiyono,
2006: 3).
H. Sistematika Pembahasan
Guna memperoleh gambaran yang jelas, dan mudah dalam memahami isi
pembahasan dari skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan; latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka,
kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
BAB II Berisi tentang biografi Nurcholish Madjid.
BAB III Berisi pembahasan tentang definisi dan peristilahan
postmodernisme, gambaran atau sejarah kemunculan
postmodernisme, dan definisi pendidikan Islam.
BAB IV Berisi ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid, konsep
Madjid, dan analisis relevansi postmodernisme terhadap
pendidikan Islam menurut Nurcholish Madjid.
BAB II
BIOGRAFI
A. Sejarah Kehidupan Nurcholish Madjid
Nama pertama yang diberikan pasangan H. Abdul Madjid dan Hj.
Fathonah kepada putra sulungnya adalah Abdul Malik, yang berarti “hamba
Allah” (Malik merupakan nama sebutan untuk Allah dalam deretan ketiga Asmaul
Husna, nama-nama Allah yang Indah) (Gaus AF, 2010: 1). Abdul malik lahir di
Mojoanyar Jombang pada tanggal 17 Maret 1939 yaitu bertepatan dengan tanggal
26 Muharram 1358. Ayah Abdul Malik adalah seorang ayah yang rajin dan ulet
dalam mendidik putranya dia adalah seorang figur ayah yang alim. Dia
merupakan Kiai alim alumni pesantren Tebuireng dan termasuk dalam keluarga
besar Nahdlatul Ulama (NU), yang secara personal memiliki hubungan khusus
dengan K.H Hasyim Asy‟ari, salah seorang founding father Nahdlatul Ulama. H.
Abdul Madjid inilah yang menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada Abdul
Malik semenjak dirinya masih berusia 6 tahun (Barton, 1999: 74).
Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun
karena Abdul Malik kecil sering sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, anak yang
sering menderita sakit dianggap “kabotan jeneng” (keberatan nama), dan karena
itu perlu ganti nama. Alasan lain perubahan nama itu adalah keinginan dari Abdul
Malik sendiri. Sewaktu mulai diajari mengaji oleh ibunya, dan membaca surat
al-Fatihah, ia selalu minta agar kata „maliki‟ (yawmiddin) dalam surat itu diloncati
-maliki‟ Mak). Pemberian nama Nurcholish sendiri tidak terlalu jelas asal
-muasalnya, kecuali bahwa nama itu dari kata Arab, nur berarti “cahaya” dan
cholish berarti “murni” atau “bersih”. Sementara itu nama belakangnya, Madjid,
diambil dari nama belakang sang ayah. Nurcholish Madjid populer dipanggil
dengan sebutan Cak Nur (Cahyo, 2014: 210).
Nurcholish lahir di lingkungan keluarga pesantren. Ayahnya, H. Abdul
Madjid, adalah santri dari tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulama), Hadratusy Syaikh
Hasyim Asy‟ari di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Lebih dari sekadar santri,
Abdul Madjid adalah santri yang sangat dipercaya oleh Kiai Hasyim lantaran
prestasi belajarnya, terutama di bidang tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) dan ilmu
hisab atau ilmu hitung. Ketika menjadi santri Tebu Ireng, Kiai Hasyim
memberinya nama Muhammad Thahir. Nama Abdul Madjid digunakan setelah
pulang menunaikan ibadah haji pada 1927. Hubungan keduanya memang seperti
anak dan bapak. Abdul Madjid, misalnya, kerap diminta oleh Kiai Hasyim untuk
mengambilkan uang dari kantung jas di kamar sang Kiai. Ini hal yang tidak biasa,
terutama bagi orang Jawa, dan hanya bisa terjadi karena kedekatan pribadi. Di lain
waktu, Abdul Madjid juga sering terlihat sedang memijat tubuh sang Kiai.
Karena kedekatan itu pula, Kiai Hasyim menjodohkan Abdul Madjid
dengan cucunya sendiri, Halimah. Ikatan perkawinan itu berlangsung selama dua
belas tahun, namun tidak dikaruniai anak. Akhirnya mereka berpisah. Kiai
Hasyim lalu menjodohkan Abdul Madjid dengan Fathonanh, putri Kiai Abdullah
dari Imam Bahri, santri Kiai Hasyim di Pesantren Tebu Ireng. Melalui Imam
Bahri inilah Kiai Hasyim mengatur perjodohan Abdul Madjid dan Fathonah.
Menginjak tahun kedua pernikahan Abdul Madjid dan Fathonah, lahirlah
Nurcholish. Belum genap berusia dua tahun Nurcholish memiliki adik perempuan
yang bernama Radliyah atau Mukhlishah. Setelah itu menyusul adik
perempuannya yang lain yang bernama Qoni‟ah (meninggal pada usia 15 tahun
akibat penyakit malaria tropika), kemudian berturut-turut lahir Saifullah Madjid
dan Muhammad Adnan. Seperti halnya Nurcholish, kedua adik laki-lakinya ini
juga disekolahkan di pesantren Gontor. Hanya saja, berbeda dengan Nurcholish
yang menapaki jalur keilmuwan, atau Mukhlishah yang menjadi guru, Saifullah
Madjid dan Muhammad Adnan memilih jalur bisnis setelah lulus kuliah (Gaus
AF, 2010: 2-3).
Meski terdidik secara santri, keluarga H.Abdul Madjid tidak tinggal di
lingkungan pesantren. Ketika Nurcholish lahir di Mojoanyar, Kecamatan Bareng,
Kabupaten Jombang, kawasan ini masih didominasi kaum abangan (kaum muslim
yang tidak menjalankan syariat Islam). Pada 1946, H. Abdul Madjid mendirikan
Madrasah Diniyah Wathaniyah sekolah Islam pertama di desa ini.
al-Wathaniyah secara harfiah berarti “patriotisme”, karena didirikan pada masa
revolusi. Madrasah inilah yang mengawali terbentuknya tradisi pendidikan Islam
di Kecamatan Bareng.
Di daerah-daerah lain di Jombang, tradisi pendidikan Islam saat itu telah
tumbuh subur dengan adanya empat pesantren besar: Pesantren Bahrul Ulum di
di Rejoso, Kecamatan Peterongan (didirikan pada 1885), Pesantren Tebu Ireng,
Kecamatan Diwek (didirikan pada 1899), Pesantren Mambaul Maarif di
Denanyar, Kecamatan Jombang (didirikan pada 1917). Keterlambatan wilayah
Bareng dalam mengadopsi sistem pendidikan Islam disebabkan oleh kenyataan
bahwa kultur keislaman di wilayah ini dan tidak terlalu dominan. Kendatipun
Islam dipeluk oleh mayoritas penduduk Bareng, namun sebagian besar mereka
adalah abangan. Selain itu, agama-agama Kristen, Hindu, Buddha, dan secara
lebih luas, Jombang, dengan latar belakang sejarah yang panjang, yaitu
kolonialisme (Kristen), kerajaan Majapahit (Hindu-Buddha), dan gelombang
kedatangan orang-orang dari daratan China pada abad ke-16 (Konghucu) (Gaus
AF, 2010: 7).
Nurcholish kecil adalah pribadi pendiam. Jika tidak sedang berhasrat
untuk bermain, ia duduk di bawah pohon dan mengeluarkan secarik kertas
berisikan catatan pelajaran. Ketika teman-temannya satu persatu
mengerubunginya, ia menciptakan suasana belajar dengan menanyakan kepada
mereka satu orang satu pertanyaan, dan membetulkannya jika ada yang salah.
Setelah itu mereka berlarian ke tepi sungai untuk menabur dedak di sekitar wuwu
(alat penjaring ikan yang terbuat dari bambu). Esok harinya, sehabis subuh,
mereka kembali ke tepi sungai untuk mengangkut ikan yang tersangkut pada
B. Pendidikan Nurcholish Madjid
1. Madrasah Al-Wathoniyah dan Sekolah Rakyat (SR) Mojoanyar Jombang
Pendidikan awal Nurcholish Madjid dimulai tahun 1952 yaitu pada
madrasah diniyah milik keluarga. Nurcholish Madjid masuk juga pada sekolah
rakyat (SR) di kampungnya. Dalam mempersepsikan tatanan pendidikan yang
diberikan oleh ayahnya, Nurcholish Madjid mencatat:
Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan Sekolah
Rakyat (SR), tetapi ia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa
Arab dan mengakar dalam tradisi pesantren. Abdul Madjid sering dipanggil
“kiai haji”, sebagai penghormatan atas ketinggian ilmu keislaman yang
dimilikinya, walaupun ia sendiri secara pribadi tidak pernah menyebut diri
sebagai kiai dan tidak pernah secara resmi bergabung dengan kalangan ulama.
Dan meskipun ia tetap menyebut diri sebagai orang biasa, namun hal itu
tidaklah membendung keinginannya untuk mendirikan sebuah madrasah.
Bahkan ia menjadi pengelola utama pada pembangunan madrasah yang ia
kelola sendiri dan juga yang paling berperan dalam membesarkan madrasah
al-Wathoniyah di Mojoanyar Jombang.
Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H. Abdul
Madjid kepada Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah,
moral, etika, atau pun dengan pembelajaran membaca al-Qur‟an saja, akan
tetapi juga dengan arah pendidikan formal bagi Nurcholish Madjid.
Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di Sekolah Rakyat
(SR) di Mojoanyar, Jombang (Barton, 1999: 72).
Madrasah al-Wathaniyah didirikan oleh H. Abdul Madjid untuk
mengimbangi pendidikan sekuler (Sekolah Rakyat/SR). Ketiadaan lembaga
pendidikan agama menjadi alasan anak-anak muda di sini mewarisi kebiasaan
mabuk dan berjudi. H. Abdul Madjid mengambil tanggung jawab pendidikan
anak-anak Islam ke pundaknya. Mula-mula, pendidikan agama dilakukan
secara semiformal di dalam mushola yang masih berupa papan dan anyaman
bambu. Baru pada 1947 ia mendirikan bangunan al-Wathaniyah di atas lahan
kosong miliknya, di bawah naungan Yayasan Wakaf Umat Sejahtera yang
juga ia didirikan bersama Kiai Abdul Mukti.
Madrasah al-Wathaniyah pada awalnya merupakan sekolah pelengkap
untuk membekali anak-anak dengan pendidikan agama yang memadai, yang
tidak didapat di SR. untuk tujuan itu, Nurcholish Madjid mengenyam
pendidikan rangkap. Pagi hari ia sekolah di SR, dan sore harinya belajar di
Madrasah al-Wathaniyah. Guru-guru di SR semuanya beragama Kristen.
Karena itu salah seorang pamannya pernah melarang Nurcholish belajar di SR.
tetapi itu tidak memberikan solusi. Arus pendidikan sekular berusaha
diimbangi dengan mendirikan al-Wathaniyah, tanpa berusaha untuk
menyainginya (Gaus AF, 2010: 7).
Atas pertimbangan itu, H. Abdul Madjid tetap membiarkan Nurcholish
sore hari. Ini terlihat dari nilai-nilainya yang rata-rata baik, terutama ilmu
hitung dari nilai-nilainya yang rata-rata baik, terutama ilmu hitung atau aljabar
yang selalu mendapat nilai tinggi. Pada saat yang sama, Nurcholish juga
mampu dengan mudah menguasai pelajaran di madrasah seperti tata bahasa
Arab (nahwu-sharaf). Di SR Nurcholish diajari ilmu bumi, dan ia mampu
menggambar peta Jawa Timur lengkap dengan letak kota-kotanya tanpa
melihat atlas. Dan pada saat yang sama, ia juga tidak kesulitan menghapal
beberapa kitab berbahasa Arab seperti „Aqidah al-„Awwam dan „Imriti(Gaus
AF, 2010: 8).
Pemikiran Nurcholish Madjid yang sedemikian rupa tentu tidak lepas
dari pengaruh lingkungan rumah dan eksistensi keluarga serta pengaruh
terbesarnya terletak pada asuhan yang diberikan oleh sang ayah. Jadi, sejak
tingkat dasar, Nurcholish Madjid telah mengenal dua model pendidikan.
Pertama, pendidikan dengan pola madrasah, yang sarat dengan penggunaan
kitab kuning sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nurcholish Madjid juga
memperoleh pendidikan umum secara memadai, sekaligus berkenalan dengan
metode pengajaran modern. Pada masa pendidikan dasar ini, khususnya di
Madrasah Wathoniyah, Nurcolish Madjid sudah menampakkan kecerdasannya
dengan berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya (Nadroh, 1999:
21).
2. Pondok Pesantren Darul „Ulum Rejoso Jombang
Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan
pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul „Ulum Jombang menjadi
pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid. Pesantren Darul „Ulum
yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Rejoso, karena terletak di Desa
Rejoso, Kecamatan Peterongan. Ia tidak dikirim ke Pesantren Tebu Ireng,
almamater ayahnya dulu, karena pengasuh pesantren tersebut, KH. Hasyim
Asy‟ari, telah wafat.
Ketika masuk ke Pesantren Rejoso atau Darul „Ulum, Nurcholish
diterima di kelas enam tingkat Ibtidaiyah. Ia melompati kelas lima karena
semua mata pelajarannya telahia kuasai semenjak duduk di bangku madrasah
milik ayahnya, al-Wathaniyah. Pelajaran di eklas enam pun pada dasarnya
hanya mengulang pelajaran di al-Wathaniyah, sehingga ia dengan mudah
menamatkan belajarnya, dan kemudian melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah
pada 1954, di pesantren yang sama. Hal yang baru bagi Nurcholish ialah
bahwa ia menetap di asrama dan menghirup tradisi pesantren secara penuh
(Gaus AF, 2010: 12).
Pada tahun pertama, Nurcholish sangat menikmati kegiatan belajar.
Sebagian besar karena ia telah dibekali pengetahuan dasar di Madrasah
al-Wathaniyah dengan kitab-kitab standar seperti Jurumiyah, Imrithi, Tuhfatul
Athfal, dan Aqidatu Awwam. Karena itu, ia relatif tidak mendapat kesulitan
ketika harus berhadapan dengan kitab-kitab lanjutan seperti Alfiyah, Bad‟ul
Mal, Jauharatut Tauhid, dan lain-lain. Nurcholish juga aktif dalam
dengan teman-teman baru pada umumnya tidak ada masalah. Yang sangat
mengganggunya ialah kondidi kamar. Ia tidak cukup kerasan untuk tidur di
kamar pondokan yang kecil, yang satu kamarnya diisi sampai lima belas orang
santri. Maka, hampir setiap malam ia membawa bantal dan selimut ke masjid
untuk tidur karena di kamar tidak kebagian tempat (Gaus AF, 2010: 13).
Mendekati pelaksanaan pemilu, pertentangan politik antara NU dan
Masyumi kian memanas di kalangan masyarakat bawah. Retorika kampanye
muncul dalam bentuk sindiran dan ejekan. Forum-forum keagamaan
dimanfaatkan oleh aktivis-aktivis NU untuk menyerang Masyumi. Begitu juga
sebaliknya. Sindiran terhadap Nurcholish pun makin sering dilakukan oleh
anak-anak NU di Pesantren Rejoso, sehingga ia mulai merasa tidak betah.
Suatu ketika ia pulang kampung, dan menceritakan semua kejadian itu kepada
ayahnya (Gaus AF, 2010: 14).
H. Abdul Madjid menganngapi apa yang dialami Nurcholish sebagai
sesuatu yang serius, sehingga ia memutuskan untuk menarik anaknya dari
Pesantren Rejoso. Ketika keputusan itu disetujui oleh istrinya, ia lalu
memindahkan Nurcholish ke Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Keputusan H. Abdul Madjid itu membuat heran banyak orang di kampungnya,
sebab di mata mereka (dan di mata kaum Nahdliyin Jombang pada umumnya)
saat itu Pesantren Gontor memiliki citra “setengah kafir”. Setidaknya, ia
dianggap bukan pesantren NU, melainkan pesantren Masyumi. Belakangan,
setelah belajar dan tinggal di Gontor, Nurcholish tahu bahwa pesantren ini
belakang kultur keagamaan. Bahkan para pendirinya pun (KH. Ahmad Sahal,
KH. Imam Zarkasyi, dan KH. Zainuddin Fanani) bukan orang-orang Masyumi
(Gaus AF, 2010: 15).
3. Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo
Karena ayah Nurcholish tetap di Masyumi meskipun NU menyatakan
keluar, maka ia pun memindahkan Nurcholis Madjid dari basis tradisional ke
pesantren modern terkenal Darussalam Gontor Ponorogo, KMI (Kulliyat
Mu‟alimien al Islamiah) pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan
yang dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari
teman-temannya, terkait dengan pendirian politik ayahnya yang terlibat di Masyumi
(Barton, 1999: 75). Menurut Nurcholis Madjid sendiri, di sinilah masa paling
menentukan pembentukan sikap keagamaannya (Aziz, 1999: 22).
Pesantren Gontor (didirikan pada 1926) adalah pesantren bercorak
modern. Salah satu indikasinya ialah penggunaan bahasa asing selain bahasa
Arab yang diwajibkan, yakni bahasa Inggris. Bahkan di masa kolonial, bahasa
Belanda dan Jepang juga menjadi mata pelajaran wajib. Kiai Zarkasyi sendiri,
salah seorang pendiri Pesantren Gonor, pernah belajar di Pesantren Tegalsari,
Ponorogo, yang melahirkan pujangga kenamaan Ronggowarsito. Namun,
pandangan-pandangan Kiai Zarkasyi lebih banyak dibentuk ketika ia belajar
kepada Mahmud Yunus di Sekolah Noormal Islam, Padang Panjang, Sumatera
Barat (Gaus AF, 2010: 16).
banyak mempelajari bahasa asing terutama Bahasa Arab. Santri yang masuk di
pesantren Gontor selama enam bulan wajib bercakap-cakap menggunakan
Bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Baru ketika duduk di kelas dua,
seorang santri mulai diperbolehkan untuk belajar nahwu dan Sarraf. Demikian
juga di kelas tiga, empat, lima dan enam. Sehubungan dengan kemampuan
berbahasa Arab ini, terdapat suatu cerita menarik dari Nurcholish Madjid
(untuk selanjutnya ditulis dengan nama akrabnya, Cak Nur):
Kurikulum yang diberikan Gontor menghadirkan perpaduan yang
liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat. Para santri
diwajibkan menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris secara aktif dalam
berkomunikasi antar santri di lingkungan pesantren. Pelajaran agama yang
diajarkan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya di
semua kelas kecuali kelas tahun pertama. Tujuan Penekanan pada santri-santri
dalam menggunakan kedua bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar
sehari-hari, yakni mengantarkan para santrinya ke dalam cakrawala pengetahuan
yang lebih luas.
Semboyan Gontor yang berbunyi “berbudi tinggi, berbadan sehat,
berpengetahuan luas dan berfikiran bebas” memberikan penekanan
keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani, menciptakan iklim yang
kondusif bagi santrinya untuk pemikiran kritis dan maju secara intelektual. Di
pesantren inilah Nurcholish Madjid masuk ke KMI (Kulliyatul Mu‟alimien al
-Islamiah) selama enam tahun. Pada tahun 1960 Nurcholish Madjid
almamaternya. Kurikulum Gontor ditempuh untuk jangka waktu 6 tahun
dengan tiga tahun yang terakhir mempelajari metode-metode pengajaran.
Maka sangat lazim bahwa alumni Gontor masih menetap di pesantren paling
tidak untuk satu tahun lagi mengajar. Adapun kelangsungan ekonomi para
guru di pesantren ini sepenuhnya bergantung kepada pesantren, bahwa
guru-guru mendapat jatah makan dan rumah pondokan, tidak lebih. Pondok
pesantren Gontor dan orang tuanyalah yang merupakan unsur yang cukup
berpengaruh dalam perkembangan intelektual Nurcholish Madjid (Barton,
1999: 36).
4. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan
seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam
mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut
menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Nurcholish
yang fenomenal itu, diperhatikan oleh KH. Zarkasyi, salah satu pengasuh
pesantren Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud
mengirimkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Karena waktu itu di
Mesir terjadi krisis politik akibat problem Terusan Suez, keberangkatan
Nurcholish ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu Nurcholish
mengajar di almamaternya. Ketika terbetik kabar bahwa di Mesir sulit
memperoleh visa, sang guru tahu bahwa Nurcholish sangat kecewa dan untuk
di IAIN tersebut, Nurcholish bisa diterima, meski tanpa ijazah negeri. Ijazah
Gontor waktu itu secara resmi tidak diakui oleh pemerintah Indonesia
(Barton, 1999: 77).
Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah Nurcholish Madjid
meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pada awal tahun 1961, Nurcholish masuk ke Fakultas Adab (Sastra
Arab), karena minatnya sangat besar di bidang ini. selain karena soal minat,
pilihan ke fakultas ini juga karena pertimbangan bahwa di situ ada dosen
alumnus Gontor, Abdurrahman Partosentono, yang memudahkan jalan
Nurcholish masuk IAIN (Gaus AF, 2010: 26).
Pilihannya terhadap IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkaitan erat
dengan minatnya yang besar terhadap pemikiran keislaman. Pemikirannya
yang kritis dan keberanian pengembaraan intelektualitasnya ditunjukkan
ketika ia menulis skripsi yang berjudul Al-Qur‟an „Arabiyun Lughatan Wa
„Alamiyun Ma‟nan (Al-Qur‟an secara Bahasa adalah Bahasa Arab, secara
Makna adalah Universal). Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish
Madjid tersebut setidaknya telah menyiratkan kekritisan dan corak berfikir
keislaman yang inklusif. Kuliahnya diselesaikan pada tahun 1968 dengan
prediket cumlaude. Kemampuan berbahasa Asing Nurcholish, bukan hanya
berbahasa Arab, tetapi ia juga fasih dalam berbahasa Inggris, Perancis dan
fasih pula dalam berbahasa Persia. Untuk kursus Bahasa Perancis, Nurcholish
Ketika di Jakarta, sembari kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah,
Nurcholish Madjid tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru dan
sedemikian Akrab dengan Buya Hamka dan ia sedemikian kagum terhadap
dakwah Buya yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan
budaya dan semangat al-Qur‟an sehingga paham keislaman yang ditawarkan
Buya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota (Hidayat,
1995: vii).
Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keislaman semakin
mengkristal dengan keterlibatannya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode
berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Pada saat Nurcholish
Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), satu
periode di mana Republik Indonesia sedang bergejolak dan merupakan masa
transisi dari rezim lama ke rezim baru yang membawa paradigma baru,
termasuk paradigma dalam membangun Indonesia ke depan saat itu yang
kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit banyak menjadi variabel
signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran keislaman Nurcholish Madjid
yang relatif “asing” bagi umat Islam saat itu (Sofyan dan Madjid, 2003: 73).
Nurcholish sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat ternyata
menyampaikan pandangan yang keras menentang kebijakan PB HMI.
Alasannya, tidak perlu menjilat penguasa, katanya. Tentu saja para koleganya
kasus itu tetap baik. Fatwa menghormati Nurcholish karena
intelektualitasnya; sementara Nurcholish menghargai Fatwa karena
ketokohannya yang cemerlang di organisasi PII dan HMI (Gaus AF, 2010:
31).
Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara
(PERMIAT) periode 1967-1969 (Barton, 1999: 78). Organisasi ini
merupakan gabungan dari HMI, PKPIM (Persatuan Kebangsaan
Pelajar-Pelajar Islam Malaysia), dan USMS (University ot the Singapore Moslem
Society). Permiat dibentuk di Umiversiti Malaya, Petaling Jaya, dan
menunjuk Nurcholish menjadi Ketua Umumnya yang pertama dengan Wakil
Ketuanya Islami Daud, Ketua Umum PKPIM. Sedangkan dari USMS
diwakili oleh Muhammad bin Abdullah yang duduk di jajaran kepengurusan.
Kegiatan Permiat yang paling penting adalah menyelenggarakan
training-training perkaderan, yang dalam praktiknya lebih sering diadakan di
Indonesia. Training-training itu diselenggarakan secara aksidental, tidak
periodik, di mana para pemberi materinya kebanyakan adalah para aktivis
Indonesia, termasuk Nurcholish sendiri. Salah seorang peserta yang kemudian
menjadi tokoh di Malaysia dalam training-training itu adalah Anwar Ibrahim,
yang pernah mengikuti training di Pekalongan, Jawa tengah (Gaus AF, 2010:
42).
Kesadaran politik Nurcholish terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang
sangat aktif dalam urusan pemilu. Pengalamannya bertambah saat ia menjadi
organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde
Baru, Nurcholish Madjid tidak menonjol di lapangan yang tajam, ia menilai
ada yang kurang dalam sistem pengkaderan di HMI, yaitu segi materi
keislaman. Masa itu yang menarik adalah gagasan Islam dan sosialisme,
namun argumen pembahasannya banyak yang dilakukan dengan gaya
apologetis. Berangkat dari situlah Nurcholish Madjid merasa tepanggil
merumuskan dasar-dasar sebagai pijakan pengkaderan HMI (Aziz, 1999: 22).
Ketika Nurcholish terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun
1966, para pemimpin Masyumi menaruh harapan baru kepada HMI,
walaupun Nurcholish terpilih antara lain dengan mengalahkan calon yang
mereka jagokan, yang bernama Farid Wajni. Harapan mereka pertama-tama
didasarkan pada kenyataan bahwa Nurcholish berasal dari sebuah keluarga
anggota Masyumi yang sangat taat kepada agama. Dan yang mungkin lebih
penting lagi, ia adalah calon sarjana dari sebuah lembaga pendidikan agama,
yakni IAIN Jakarta. Harapan mereka itu memang tidak sama sekali meleset.
Nurcholish sangat condong kepada para pemimpin Masyumi, dan berusaha
untuk memasukkan sebanyak mungkin gagasan dan aspirasi mereka ke dalam
tubuh HMI. Tidak heran bahwa pada mulanya Nurcholish pun mendukung
upaya mereka untuk menghidupkan kembali partai Masyumi (Gaus AF, 2010:
49).
Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat
yakni kunjungannya ke Timur Tengah. Di Timur Tengah, tepatnya di Irak,
Nurcholish bertemu dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang waktu itu
kuliah di Baghdad University, setelah mrotol dari al-Azhar yang dinilai oleh
Gus Dur sangat tradisional dan konservatif, dan sejak itu keduanya
sedemikian akrab dan sama-sama memiliki tendensi pemikiran yang liberal
neo-modernis.
Nurcholish Madjid juga melakukan kunjungan ke Amerika Serikat.
Lawatan ke Amerika Serikat Nurcholish Madjid terjadi karena diundang
USIS (United State of Islamic Student). Di AS, Nurcholish belajar lebih
banyak tentang gagasan-gagasan Barat seperti Liberalisme, Sekularisme dan
Demokrasi, sehingga sejak itu Nurcholish mengalami perubahan dan
perkembangan pemikiran. Kunjungan tersebut semakin mematangkan
petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat itulah, Nurcholish Madjid
melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat kalangan
Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam
Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No. Yang dimaksud dengan
Islam Politik adalah upaya penyaluran nilai-nilai Islam melalui pendekatan,
aspirasi dan representasi partai politik Islam, yang waktu itu sedemikian
kental untuk konteks Indonesia disuarakan oleh eks tokoh-tokoh Masyumi
semisal M. Natsir. Visi ini acapkali diidentifikasi sebagai Islam struktural
yang dalam perspektif para ahli dikontraskan dengan pendekatan kultural.
Untuk kasus Indonesia, gerakan struktural diwakili oleh Masyumi, Parmusi
semisal Front Pembela Islam, Laskar Islam Ahlussunnah wal Jama‟ah dan
partai-partai politik Islam (pada zaman Reformasi). Sedangkan gerakan
kultural acapkali diidentifikasi sebagai gerakan yang ditempuh oleh NU
dengan tokoh kentalnya KH. Abdurrahman Wahid dan pemikiran Nurcholish
Madjid.
Kunjungan Nurcholish ke Amerika disponsori oleh Council on
Leaders and Specialists (CLS) yang berpusat di Washington. Waktu
kunjungan yang hanya sekitar satu setengah bulan itu dimanfaatkan dengan
baik oleh Nurcholish untuk menemui tokoh-tokoh penting, berdiskusi dengan
kalangan kampus dan mendatangi komunitas-komunitas religius. Hampir
seluruh penjuru negeri itu ia kunjungi. Kendati demikian pikirannya tetap saja
ke Timur Tengah. Karena itu, selama di Amerika, ia menjalin hubungan cepat
dengan orang-orang dari Timur Tengah dan mengatakan kepada mereka
bahwa ia akan menemui mereka di sana dalam waktu dekat.
Banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya, namun dia tak
bergeming, bahkan semakin aktif dengan gagasan-gagasannya, dengan
mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun
1974-1976 (Nadroh, 1999: 36-37). Di Yayasan inilah Cak Nur terlibat
intensif berdiskusi dengan Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Syu‟bah
Asa dan Abdurrahman Wahid. Ketika itu pula, bersama-sama
kawan-kawannya tersebut Nurcholish menerbitkan majalah Islam yang sedemikian
yang tidak sepaham dengannya. Atas dasar itu, dalam perspektif Majalah
Tempo hingga batas tertentu pemikiran Nurcholish Madjid telah
menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima asas tunggal
(Pancasila) merasa lebih damai karena telah menemukan kebenaran (Barton,
1999: 83-84).
Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi
mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor,
tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja
berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi
keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk
menguasai materi pelajaran di kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor
merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara
berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.
Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan
dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu
berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan
roda organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen
ke-KMIannya yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya. Seperti sikap
disiplin, kejujuran, keuletan, kreatif dan persiapan (Al- I‟dal Wal Isti‟dad),
ketegasan dalam bertindak (Barton, 1999: 65).
Dasawarsa 1960-an merupakan periode penting dan menentukan bagi
ia meraih gelar sarjana muda (BA) bidang Sastra Arab di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN), Jakarta. Tiga tahun kemudian (1968), ia menuntaskan studi
strata satu (S1)-nya dengan menyandang gelar doktorandus di bidang Sastra
Arab di lembaga yang sama (Gaus AF, 2010: 79).
Masa kepemimpinan Nurcholish di PB HMI akan berakhir pada bulan
Mei 1969. Setelah nanti tidak lagi menjadi Ketua Umum HMI, pikirnya, ia
akan menunaikan tugas hidupnya yang lain: menikah. Saat itu Nurcholish
genap 30 tahun-usia yang cukup untuk membina hidup berumah tangga. yiga
tahun sebelumnya, pada 1966, ia pernah meminta kepada gurunya di Gontor,
Abdullah Mahmud, untuk dicarikan teman hidup. Abdullah Mahmud saat itu
tinggal di rumah seorang aktivis pergerakan Syarikat Islam dan pengusaha
bioskop di Madiun. Namanya H. Kasim. Dia juga menjadi donatur PII, karena
itu sebagai aktivis PII Nurcholish sudah sangat akrab dengan nama H. Kasim.
Dan memang, pesan Nurcholish itu segera ia sampaikan kepada H. Kasim
yang ditindak-lanjuti dengan mengirimkan pasfoto seorang putrinya bernama
Qomarijah kepada Nurcholish (Gaus AF, 2010: 55).
Tahun itu juga Nurcholish berkunjung ke Madiun untuk melihat orang
yang ada di foto itu. Namun, di mata Nurcholish, anak perempuan itu terlalu
muda (17 tahun), sehingga ia mengatakan kepada H. Kasim untuk menunda
lamaran, dan ia akan berjuang dulu, H. Kasim menyetujuinya. Dua tahun
kemudian. Pada akhir tahun 1968, Nurcholish kembali menghubungi ustadz
Qomarijah. Pada saat itu Qomarijah sedang berada di Solo, karena ia sudah
kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (sekarang Universitas
Sebelas Maret). Akhirnya Qomarijah pun menerima lamaran Nurcholish. Ada
dua alasan mengapa Qomarijah menerima lamaran orang yang belum ia kenal
itu. Pertama, untuk menyenangkan orang tua sebagai balas budi kepada
mereka yang telah melahirkan dan mendidiknya. Kedua, ia teringat kejadian
seminggu yang lalu, yang ia yakini sebagai petunjuk Tuhan, yaitu setelah
sembahyang istikharah ia bermimpi melihat bintang-bintang turun di atas
kepalanya, dan ada satu bintang yang meluncur dengan cepatnya ke arah Barat
(Gaus AF, 2010: 56).
Setelah memperoleh kepastian tentang kesediaan anaknya, H. Kasim
kemudian menjawab positif lamaran Nurcholish. Ia juga memberitahu
keberadaan putrinya di Solo. Maka Nurcholish segera menuju ke Solo. Tetapi
ia lupa dengan wajah Qomarijah, sehingga meminta bantuan temannya yang
saat itu menjadi Ketua Umum HMI Cabang Solo, Miftah Faridl. Kemudian
mereka bertemu di sebuah apotek dan mengajak Qomarijah untuk jalan-jalan.
Di tengah perjalanan, Miftah pamit pulang karena masih ada keperluan.
Sehingga tinggal berdua, Nurcholish dan Qomarijah. Nurcholish menyebut
semua proses yang dilaluinya dari awal hingga bertemu Qomarijah di Solo
dengan istilah “santri connection” (Gaus AF, 2010: 57).
PB HMI menggelar kongresnya yang ke-9 di kota Malang pada
tanggal 3019 Mei 1969. Sebagai Ketua Umum PB HMI, Nurcholish
dan berkonsentrasi mengurus rencana pernikahannya dengan Qomarijah.
Namun, tanggung jawab tampaknya belum akan berakhir. Kongres memberi
mandat kepadanya untuk menyempurnakan naskah Nilai-Nilai Dasar
Perjuangan (NDP) yang ua rumuskan. Bukan hanya itu, Kongres ternyata
memilih kembali Nurcholish Madjid sebagai Ketua Umum PB HMI untuk
periode 1969-1971 (Gaus AF, 2010: 58).
Setelah Kongres Malang itu Nucholish ke Madiun menemui
Qomarijah. Kendatipun kesibukan sebagai Ketua Umum PB HMI kembali
menyita waktu, Nurcholish rupanya tidak ingin menunda lagi rencananya
menikahi Qomarijah. Pada 30 Agustus 1969, mereka menuju pelaminan
diiringi suatu pesta di gedung bioskop milik H. Kasim. Setelah itu, Nurcholish
pergi ke Jakarta sendirian. Ia baru memboyong Qomarijah ke Jakarta ketika
istrinya itu hamil lima bulan (Gaus AF, 2010: 59).
5. Universitas Chicago Amerika Serikat
Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral
(Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cumlaude. Adapun disertasinya ia
mengangkat pemikiran Ibnu Taymiah dengan judul Ibn Taymiyah dalam ilmu
kalam dan filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam (Ibn Taymiyah in
Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in Islam). Disertasi
doktoral yang dilakukan ini menunjukkan atas kekaguman dirinya terhadap
tokoh tersebut. Kekaguman ini pun menjadi pengakuan yang
Pada saat Nurcholish Madjid melaksanakan pendidikan di Chicago,
Amerika Serikat, beliau menjadi murid seorang ilmuan muslim ternama
neo-modernisme dari Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Di perguruan inilah Fazlur
Rahman mengotak-atik pemikiran Nurcholish Madjid untuk dibawa ke
bidang kajian keislaman. Pengaruh Fazlur Rahman terhadap gerakan
intelektual Nurcholish Madjid bukan untuk mengubah pola pemikiran
Nurcholish Madjid. Hanya saja, bukan mengatakan sama sekali, Fazlur
Rahman telah begitu berpengaruh dalam mengantarkan pemikiran Nurcholish
Madjid untuk kembali kepada warisan klasik kesarjanaan Islam.
Nurcolish Madjid bukan hanya memiliki prestasi akademik yang
menakjubkan, tapi sebagai seorang aktivis-pun ia dipercaya untuk menempati
posisi penting pada berbagai organisasi kepemudaan. Ini menyiratkan
dedikasinya dalam me-manage waktu antara aktivitas akademik dengan
aktivitas organisasinya, hal mana sulit dilakukan oleh rekan-rekan aktivis
lainnya. Pada saat yang bersamaan Nurcholish Madjid telah mampu
membuktikan integritasnya sebagai intelektual yang produktif.
Dunia formal yang ia jalani selama kurun waktu 36 tahun sejak tahun
1984, penuh dengan segudang pengalaman dan prestasi akademik yang
sanggat memuaskan. Hal tersebut dibuktikan oleh Nurcholish Madjid dengan
prediket cumlaude yang setidaknya dapat dijadikan tolak ukur dari kapasitas
intelektualnya. Karir Nurcholish Madjid semakin sempurna tatkala ia
dinobatkan sebagai Guru besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai rasa
keilmuan pada tangggl 10 Agustus 1998. Adapun pidato pengukuhannya
sebagai guru besar berjudul “Kalam Kekhalifahan Manusia Reformasi: Suatu
Percobaan Pendekatan Sistematis Terhadap Konsep Antropologis Islam”
(Barton, 1999: 66-67)
C. Karya-Karya
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif.
Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986
mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Nama Paramadina menurut Nurcholish,
berasal dari Parama (Paramount) artinya Unggul atau ekselen, sedangkan Dina
maksudnya adalah din al-Islam, sehingga makna filosofi nama yayasan tersebut
adalah bahwa Islam merupakan agama yang unggul dan keunggulannya harus bisa
dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai pembawa rahmat (Cahyo, 2014: 224).
Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:
1. Khazanah Intelektual Islam (Madjid, 1984). Karya ini menurut penulisnya
dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu aspek kekayaan Islam
dalam bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan
teologi. Dalam buku ini dibahas pemikiran Kindi, Farabi, Ibn Sina,
al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Jamal al-Din al-Afghani,
dan Muhammad Abduh.
2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Madjid, 1987). Dalam buku ini,