• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGASAN ISTILAH

A. Definisi Postmodernisme

Postmodernisme adalah gerakan pemikiran dan filsafat baru yang pengaruhnya dalam teori dan praktik pendidikan cukup besar.

Postmodernisme (postmodernism) berasal dari dua kata “post” dan ”modernism”. Istilah “post” bisa diartikan “pasca” atau “setelah”, bisa juga diartikan “tidak”. Sementara modernisme merujuk pada filsafat dan gaya berpikir

modern yang bercirikan rasionalisme dan logisme atau oleh kaum postmodernis

dicurigai bergaya pikir “positivisme”. Jika “post” diartikan “setelah” (pasca),

maka postmodernisme merupakan gaya berpikir yang lahir sebagai reaksi terhadap pikiran modernisme yang dianggap mengalami banyak kekurangan dan menyebabkan berbagai masalah kemanusiaan.

Sementara, jika kata “post” diartikan tidak, maka postmodern mengandung

arti yang lebih luas. Jika mengingat tahapan masyarakat linear seperti tradisional, modern, postmodern, maka yang tidak postmodern bisa saja tradisional maupun modern. Jadi, postmodernisme bukanlah tradisionalisme maupun modernisme. Meskipun demikian, tampaknya benar jika ada yang mencurigai bahwa postmodernisme adalah kebangkitan lagi tradisionalisme, yakni membangkitkan lagi cara-cara tradisional untuk mereaksi modernisme (Soyomukti, 2015: 321- 322).

Awalan “post” pada istilah ini banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari

segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekadar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan yang telah sadar diri. Sementara Habermas, satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai. Menurut Tony Cliff,

psotmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori. Akhiran “isme” berarti

gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern (Maksum, 2016: 262).

Yang mengakibatkan kekaburan makna istilah “postmodern” itu kiranya

terutama adalah akhiran “isme” dan awalan “post”-nya. Sehubungan dengan

akhiran „isme‟ itu, postmodernisme biasanya dibedakan dari postmodernitas.

Yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan idologi-ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Dalam banyak pembicaraan tentang gejala postmodernisme dan postmodernitas sering bercampur baur. Tentu saja sebenarnya antara kedua hal itu terdapat saling keterkaitan erat, namun justru keterkaitan itulah yang mengakibatkan pembicaraan tentangnya kadang menjadi kabur. Betapa pun juga dimensi teoritis memiliki sosok yang lebih jelas ketimbang tatanan praksis sosial yang serba ambigu.

Catatan lain, akhiran “isme” itu juga memberi kesan seolah ia adalah sistem pemikiran tunggal tertentu, sementara nyatanya istilah yang bertebaran di segala

bidang itu merupakan label untuk bermacam-macam pemikiran yang kadang saling bertabrakan (Sugiharto, 2016: 24).

Postmodernisme adalah “pemberontakan” terhadap –isme sebelumnya. Apabila modernisme menekankan kesadaran subjek sebagai referensi makna realitas, maka postmodernisme menekankan bahwa makna tidak hanya ditentukan oleh kesadaran dan subjek, tetapi oleh ketidaksadaran dan intersubjektivitas. Makna berada di luar kehendak subjektif pada individu atau sebuah kelompok yang berkuasa. Dengan kata lain, makna berada di luar dominasi sebuah sistem rasional. Dengan kata lain, rasionalitas postmodernisme bersifat plural, bukan tunggal, maka menjadikan kesadaran subjek dalam arti Kantian ditolak (Poespowardojo & Alexander, 2016: 214).

Jika kita mencari istilah postmodernisme melalui internet, maka akan ditemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menggunakan istilah postmodern itu seperti: postmodern art, postmodern anthropology, postmodern architecture, postmodern archeology, postmodern dance, postmodern film, postmodern philosophy, postmodern political science, postmodern school, dan lain-lain. Berbagai istilah yang digunakan dalam bidang ilmiah ini membuktikan bahwa penggunaan postmodern bukan hanya menjadi pembahasan di bidang ilmu pengetahuan (terutama ilmu sosial-budaya) (Lubis, 2016: 2).

Munculnya pasca-modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap, dan progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, karena modernisme berkaitan dengan

empirisme, industri dan kecanggihan teknologi. Dengan ciri-cirinya tersebut, modernisme menyuguhkan suatu keadaan yang selalu berubah dan tidak pasti. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana urusan materi atau kebutuhan jasmani akan terpenuhi, tidak akan ada lagi kelaparan atau kekurangan material, itulah janjinya. Teknologi akan membawa kita ke kehidupan yang serbamudah, cepat, dan lebih baik. Teknologi berikrar akan membuat kehidupan menjadi lebih baik, membuat kita lebih pintar, meningkatkan kinerja kita, dan membuat kita bahagia (Maksum, 2016: 265).

Namun demikian, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan disorientasi. Para pemikir, seperti Max Horkheimer, Adorno, dan Herbert Marcuse yang tergabung dalam Madzhab Frankfurt, mengkritik bahwa pencerahan bukannya melahirkan kemajuan, tetapi justru memunculkan penindasan dan dominasi. Akal mengarah bukan pada pemenuhan kebutuhan material atau pencerahan filosofis, melainkan pada kontrol dan perusakan. Teori kritis ingin membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern (Maksum, 2016: 266).

Modernisme dan postmodernisme, tidak sekedar sebagai aliran filsafat dan teori sosial yang hanya berorientasi pada konsep, sistem, dan metode saja. Bukan juga sekedar strukturalisme dan postrukturalisme dalam pengertian Strauss dan Foucault. Lebih dari itu, menurut Habermas, modernisme atau modernitas telah mulai dikembangkan oleh Hegel (1770-1831) karenanya ia menganjurkan kita kembali kepada Hegel jika ingin memahami lebih jauh hubungan internal antara

modernitas dan rasionalitas. Para pemikir modernisme kontemporer seperti Karl Popper, Houston Smith, dan Habermas, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan postmodernisme. Mereka tetap yakin akan kehidupan kontemporer sampai jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Lebih dari itu, modernisme mempunyai akar filosofis yang lebih jelas (Maksum, 2016: 297).

Dalam filsafat Barat modernisme diacukan pada pemikiran yang berkembang setelah Renaisans dan Pencerahan (Rene Descartes dan Immanuel Kant). Modernisme adalah peningkatan kesadaran tentang aspirasi kemajuan, dan rasionalitas yang dipahami dalam konteks modern itu adalah sebagai salah satu wujud penerapan rasionalitas tersebut. Descartes dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern karena posisinya yang penting dengan pandangan dunianya yang mekanis

serta menempatkan “rasio” atau “subjek” sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan

dan kebenaran. Kant adalah tokoh penting era Pencerahan dan filsuf terkemuka di era Modern yang membahas masalah: etika, metafisika, epistemologi, yang pemikirannya memengaruhi berbagai bidang ilmu pengetahuan modern. Meskipun Kant disebut sebagai pemikir besar era Modern, beberapa gagasannya cukup mewanai pemikiran postmodern seperti ia dianggap orang pertama yang membicarakan masalah persaudaraan global umat manusia yang sekarang menjadi pembicaraan dalam ilmu pengetahuan dengan munculnya era Informasi dan globalisasi yang mnenyertainya. Sementara itu, tokoh eksistensialis dan fenomologi seperti Husserl memperkuat dukungannya pada peran rasio (aspek rasionalitas) manusia dan cenderung mengabaikan yang lain. Pemikir modern

merupakan gambaran objektif-universal dari objek yang diteliti. Dalam perspektif ini, teori dianggap sebagai copy realitas atau penggambaran esensi realitas (esensialisme). Rasionalitas dan subjek (kesadaran) dalam pemikiran modern dilihat sebagai substansi transendental-ahistoris sehingga dianggap sama di mana saja.

Pemikir postmodernis (seperti Derrida) justru mengkritik pemikiran modern itu sebagai satu bentuk nostalgia. Bagi para pemikir postmodernis tidak ada rasio murni, tidak ada subjek universal dan transendental, karena rasio dan subjek sendiri dikonstruksi oleh faktor sosial-budaya. Karena itu, tidak mengherankan, jika Derrida menyatakan bahwa pemikir modern menerima logosentrisme dan metafisika kehadiran dan Derrida tidak memercayainya dan mendekonstruksi cara berpikir logosentris itu. Atau dengan menggunakan istilah Francois Lyotard, filsuf dan ilmuwan modern itu memercayai metanarasi untuk menjelaskan berbagai permasalahan tanpa membedakan perbedaan ruang dan waktu (Lubis, 2014: 16).

Postmodernisme tidak mempunyai pandangan fundasionalisme keilmiahan (seperti paradigma positivisme) yang dominan pada era Modern. Paradigma positivisme menuntut adanya kesatuan metode ilmu pengetahuan, kesatuan bahasa ilmiah serta kepercayaan bahwa teori merupakan penggambaran realitas (mirror of nature) secara objektif. Masyarakat postmodern tidak lagi percaya pada model penjelasan dan pemahaman totalitas dan universal seperti itu, yang dalam bahasa Lyotard itu disebut cerita agung (grand-narrative). Masyarakat postmodern lebih

memercayai penjelasan narasi-narasi kecil, penjelasan yang konteks lokal, sehingga bersifat plural dan kontekstual (Lubis, 2016: 19).

Sementara itu pada postmodernisme, seperti yang diungkapkan Jean Baudrillard, terjadinya perubahan besar dari model mekanis dan produksi metalurgi ke suatu industri informasi dan dari produksi ke konsumsi sebagai fokus utama ekonomi. Era postmodernisme adalah era dimana berbagai perspektif media baru cenderung mengaburkan perbedaan tajam antara realitas dan fantasi (simulacra) sehingga meruntuhkan suatu keyakinan pada suatu realitas objektif. Dikotomi modern tentang realitas objektif versus citra (images) atau citra-citra subjektif misalnya, di era postmodernisme digantikan dengan suatu hiperialitas

(“self-referential signs”/tanda-tanda referensi diri). Di sini tampak bahwa pemikir postmodern menggantikan konsepsi tentang adanya suatu realitas independen dari pengamat (observer) dengan gagasan keterkaitan subjek dengan dunia (subjek dengan objek) (Lubis, 2016: 20).

Lalu bahasa. Pada postmodernisme bahasa dilihat bukan sekadar bersifat denotatif, bahasa tidak hanya penting dengan fungsi logis/epistemologisnya saja. Postmodern menempatkan persoalan bahasa pada titik pusat (linguistic turn)

seperti pada pergeseran pemikiran Wittgenstein dari “picture theory” ke filsafat

bahasa sehari-hari (language games) atau teori “speech-act” dan pendekatan

pragmatis pada Austin, Grice, dan Searle, dan dekonstruksi pada Derrida.

Pembahasan bahasa ini berkaitan dengan pertanyaan: apakah bahasa hanya pernyataan tentang/realitas? Apakah bahasa merupakan sistem dan struktur tanda

yang dinamis (post-strukturalisme)? Apakah bahasa memiliki keanekaragaman sesuai dengan berbagai tujuan dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari? Pembahasan tentang bahasa juga berkaitan dengan bagaimana hubungan antara penalaran, makna, kebenaran, dan bahasa. Adapun Derrida dan Roland Barthes sebagai tokoh postmodernisme dan post-strukturalisme melihat bahasa sebagai sistem tanda yang sangat dinamis, sementara Richard Rorty, yang juga tokoh postmodernisme, melihat peran bahasa yang sifatnya kontingen. Bahasa dan strukturnya adalah hasil konstuksi sosial, karenanya tidak ada kesamaan antara bahasa, pikiran, dan realitas (Lubis, 2016: 20).

Jika dilihat, postmodernisme menunjuk pada paham berupa kritik-kritik

filosofis atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi modern.

Postmodernisme sebagai suatu ekspresi kultural mencakup karya seni instalasi (collage) dan pastiche karya pop art, gaya arsitektur Las Vegas, pengaburan batas realitas dengan citraan (images) lewat media. Collage, parody, dan pastiche

adalah istilah yang akrab dalam seni postmodern. Collage adalah membuat satu karya dengan menggabungkan potongan-potongan bagian-bagian dari berbagai karya, mode (klasik, modern, postmodern) menjadi satu karya baru. Parodi adalah sebuah komposisi sei atau sastra yang mempermainkan dan memplesetkan gaya, gagasan atau ungkapan khas seorang tokoh/seniman sehingga tampaknya menjadi absurd. Sedangkan pastiche adalah parodi yang kosong, netral, dan tanpa norma, seperti berbicara tanpa bahasa, sejarah tanpa periode historis. Tidak ada lagi realitas yang representatif (parodi yang ditiru); dalam pastiche yang ditiru adalah imajinasi kita sendiri. Kebudayaan postmodern meninggalkan rasionlitas,

universalitas, kepastian dan keangkuhan kebudayaan modern. Unsur-unsur lain yang ditolak adalah menolak ilmu pengetahuan sebagai filsafat utama dan pengetahuan sebagai keseluruhan dari apa yang kita ketahui. Tidak ada paradigma mutlak sebab ia akan berubah dan berganti. Postmodern juga merupakan reaksi

atas filsafat “subjektivitas” atau „kesadaran ahistoris” dan transendental model Cartesian dan Husserlian. Dalam pandangan kaum postmodernis “subjek” dan “rasio” tidak terbebas dari pengaruh lingkungan sosial-budaya dan historis. Karena subjek dan rasionalitas itu terkait dengan faktor sosial budaya, maka postmodernis mengakui bahwa subjek dan rasionalitas itu tidak satu/seragam. Subjek dan rasionalitas dalam pandangan modern merupakan kostruksi manusia yang mengandaikan kehadiran objek dan dunia lingkungannya, tidak ada subjek tanpa objek dan demikian pula sebaliknya. Jadi, ada keterkaitan antara perkembangan sosial-budaya dengan cara berpikir manusia (Lubis, 2016: 21).

Jadi, kesimpulan pengertian postmodernisme bahwa postmodern (isme) adalah perubahan budaya (mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir) yang terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Konsekuensi perubahan yang luar biasa itu adalah (salah satu) paradigma modern tidak cukup relevan atau memadai lagi untuk memahami dan menjelaskan kebudayaan yang tengah tumbuh (postmodern). Karena itu, berbagai kritik terhadap aspek-aspek kebudayaan dan paradigma modern bermunculan dan itu menggunakan pemikiran baru yang disebut dengan postmodernisme.

subjektivitas, objektivitas, aspek sosial-historis (budaya), aspek bahasa, paradigma dan kerangka konseptual (yang semuanya berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan). Postmodernisme juga mengkritik contohnya pendekatan strukturalisme yang mendambakan makna objektif teks dalam analisis teks. Untuk ini, postmodernisme meninggalkan pendekatan strukturalisme tersebut dan menggantinya dengan pendekatan post-strukturalisme dan hermeneutika yang lebih memberikan kebebasan penafsiran.

Salah satu ciri yang terpenting dari postmodernisme adalah penolakan terhadap fundasionalisme. Pandangan fundasionalisme ini tampak salah satunya misalnya dari pandangan kaum positivisme logis dengan unifierd science-nya. Postmodernisme juga menolak ilmu pengetahuan yang dianggap bebas nilai, ilmu pengetahuan yang tidak mengakui keterlibatan subjek dalam penemuan dan pengembangannya, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin realitas. Postmodernisme sebaliknya mengakui keterlibatan objek dan subjek dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan (partisipasi/diakletis), mengakui pengaruh faktor sosial-historis pada subjek, mengakui “kekayaan kosakata” seseorang dalam memahami dan menafsirkan berbagai fenomena kehidupan manusia dan sosial-budaya (teks) dan menerima keanekaragaman (pluralitas) paradigma ilmiah. Dan ketika postmodernisme menerima keanekaragaman paradigma (perspektif dalam mengobservasi realitas), maka kebenaran ilmu pengetahuan pun tidak lagi tunggal, tidak tetap, akan tetapi plural dan berubah, serta berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Dan ini juga

berarti bahwa dalam postmodernisme, berbagai paradigma dan perspektif dapat tampil dengan ciri-ciri atau “aturan permainan” mereka masing-masing.

Dokumen terkait