• Tidak ada hasil yang ditemukan

IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

B. Pendidikan Nurcholish Madjid

4. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Nurcholish yang fenomenal itu, diperhatikan oleh KH. Zarkasyi, salah satu pengasuh pesantren Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud mengirimkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Karena waktu itu di Mesir terjadi krisis politik akibat problem Terusan Suez, keberangkatan Nurcholish ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu Nurcholish mengajar di almamaternya. Ketika terbetik kabar bahwa di Mesir sulit memperoleh visa, sang guru tahu bahwa Nurcholish sangat kecewa dan untuk menghiburnya, KH. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta meminta agar

di IAIN tersebut, Nurcholish bisa diterima, meski tanpa ijazah negeri. Ijazah Gontor waktu itu secara resmi tidak diakui oleh pemerintah Indonesia (Barton, 1999: 77).

Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah Nurcholish Madjid meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada awal tahun 1961, Nurcholish masuk ke Fakultas Adab (Sastra Arab), karena minatnya sangat besar di bidang ini. selain karena soal minat, pilihan ke fakultas ini juga karena pertimbangan bahwa di situ ada dosen alumnus Gontor, Abdurrahman Partosentono, yang memudahkan jalan Nurcholish masuk IAIN (Gaus AF, 2010: 26).

Pilihannya terhadap IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkaitan erat dengan minatnya yang besar terhadap pemikiran keislaman. Pemikirannya yang kritis dan keberanian pengembaraan intelektualitasnya ditunjukkan ketika ia menulis skripsi yang berjudul Al-Qur‟an „Arabiyun Lughatan Wa „Alamiyun Ma‟nan (Al-Qur‟an secara Bahasa adalah Bahasa Arab, secara Makna adalah Universal). Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish Madjid tersebut setidaknya telah menyiratkan kekritisan dan corak berfikir keislaman yang inklusif. Kuliahnya diselesaikan pada tahun 1968 dengan prediket cumlaude. Kemampuan berbahasa Asing Nurcholish, bukan hanya berbahasa Arab, tetapi ia juga fasih dalam berbahasa Inggris, Perancis dan fasih pula dalam berbahasa Persia. Untuk kursus Bahasa Perancis, Nurcholish kursus di Alliance Francaise yang selesai pada tahun 1962.

Ketika di Jakarta, sembari kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Nurcholish Madjid tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru dan sedemikian Akrab dengan Buya Hamka dan ia sedemikian kagum terhadap dakwah Buya yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan

budaya dan semangat al-Qur‟an sehingga paham keislaman yang ditawarkan

Buya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota (Hidayat, 1995: vii).

Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keislaman semakin mengkristal dengan keterlibatannya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Pada saat Nurcholish Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), satu periode di mana Republik Indonesia sedang bergejolak dan merupakan masa transisi dari rezim lama ke rezim baru yang membawa paradigma baru, termasuk paradigma dalam membangun Indonesia ke depan saat itu yang kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit banyak menjadi variabel signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran keislaman Nurcholish Madjid

yang relatif “asing” bagi umat Islam saat itu (Sofyan dan Madjid, 2003: 73). Nurcholish sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat ternyata menyampaikan pandangan yang keras menentang kebijakan PB HMI. Alasannya, tidak perlu menjilat penguasa, katanya. Tentu saja para koleganya di HMI Ciputat tersentak. Fatwa yang lebih senior di HMI langsung menegur

kasus itu tetap baik. Fatwa menghormati Nurcholish karena intelektualitasnya; sementara Nurcholish menghargai Fatwa karena ketokohannya yang cemerlang di organisasi PII dan HMI (Gaus AF, 2010: 31).

Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PERMIAT) periode 1967-1969 (Barton, 1999: 78). Organisasi ini merupakan gabungan dari HMI, PKPIM (Persatuan Kebangsaan Pelajar- Pelajar Islam Malaysia), dan USMS (University ot the Singapore Moslem Society). Permiat dibentuk di Umiversiti Malaya, Petaling Jaya, dan menunjuk Nurcholish menjadi Ketua Umumnya yang pertama dengan Wakil Ketuanya Islami Daud, Ketua Umum PKPIM. Sedangkan dari USMS diwakili oleh Muhammad bin Abdullah yang duduk di jajaran kepengurusan. Kegiatan Permiat yang paling penting adalah menyelenggarakan training- training perkaderan, yang dalam praktiknya lebih sering diadakan di Indonesia. Training-training itu diselenggarakan secara aksidental, tidak periodik, di mana para pemberi materinya kebanyakan adalah para aktivis Indonesia, termasuk Nurcholish sendiri. Salah seorang peserta yang kemudian menjadi tokoh di Malaysia dalam training-training itu adalah Anwar Ibrahim, yang pernah mengikuti training di Pekalongan, Jawa tengah (Gaus AF, 2010: 42).

Kesadaran politik Nurcholish terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Pengalamannya bertambah saat ia menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Meskipun memimpin

organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish Madjid tidak menonjol di lapangan yang tajam, ia menilai ada yang kurang dalam sistem pengkaderan di HMI, yaitu segi materi keislaman. Masa itu yang menarik adalah gagasan Islam dan sosialisme, namun argumen pembahasannya banyak yang dilakukan dengan gaya apologetis. Berangkat dari situlah Nurcholish Madjid merasa tepanggil merumuskan dasar-dasar sebagai pijakan pengkaderan HMI (Aziz, 1999: 22).

Ketika Nurcholish terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun 1966, para pemimpin Masyumi menaruh harapan baru kepada HMI, walaupun Nurcholish terpilih antara lain dengan mengalahkan calon yang mereka jagokan, yang bernama Farid Wajni. Harapan mereka pertama-tama didasarkan pada kenyataan bahwa Nurcholish berasal dari sebuah keluarga anggota Masyumi yang sangat taat kepada agama. Dan yang mungkin lebih penting lagi, ia adalah calon sarjana dari sebuah lembaga pendidikan agama, yakni IAIN Jakarta. Harapan mereka itu memang tidak sama sekali meleset. Nurcholish sangat condong kepada para pemimpin Masyumi, dan berusaha untuk memasukkan sebanyak mungkin gagasan dan aspirasi mereka ke dalam tubuh HMI. Tidak heran bahwa pada mulanya Nurcholish pun mendukung upaya mereka untuk menghidupkan kembali partai Masyumi (Gaus AF, 2010: 49).

Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat nasional tersebut merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualisme

yakni kunjungannya ke Timur Tengah. Di Timur Tengah, tepatnya di Irak, Nurcholish bertemu dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang waktu itu kuliah di Baghdad University, setelah mrotol dari al-Azhar yang dinilai oleh Gus Dur sangat tradisional dan konservatif, dan sejak itu keduanya sedemikian akrab dan sama-sama memiliki tendensi pemikiran yang liberal neo-modernis.

Nurcholish Madjid juga melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Lawatan ke Amerika Serikat Nurcholish Madjid terjadi karena diundang USIS (United State of Islamic Student). Di AS, Nurcholish belajar lebih banyak tentang gagasan-gagasan Barat seperti Liberalisme, Sekularisme dan Demokrasi, sehingga sejak itu Nurcholish mengalami perubahan dan perkembangan pemikiran. Kunjungan tersebut semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat itulah, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No. Yang dimaksud dengan Islam Politik adalah upaya penyaluran nilai-nilai Islam melalui pendekatan, aspirasi dan representasi partai politik Islam, yang waktu itu sedemikian kental untuk konteks Indonesia disuarakan oleh eks tokoh-tokoh Masyumi semisal M. Natsir. Visi ini acapkali diidentifikasi sebagai Islam struktural yang dalam perspektif para ahli dikontraskan dengan pendekatan kultural. Untuk kasus Indonesia, gerakan struktural diwakili oleh Masyumi, Parmusi (pada masa Orde lama dan awal Orde Baru), gerakan Islam kontemporer

semisal Front Pembela Islam, Laskar Islam Ahlussunnah wal Jama‟ah dan

partai-partai politik Islam (pada zaman Reformasi). Sedangkan gerakan kultural acapkali diidentifikasi sebagai gerakan yang ditempuh oleh NU dengan tokoh kentalnya KH. Abdurrahman Wahid dan pemikiran Nurcholish Madjid.

Kunjungan Nurcholish ke Amerika disponsori oleh Council on

Leaders and Specialists (CLS) yang berpusat di Washington. Waktu

kunjungan yang hanya sekitar satu setengah bulan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Nurcholish untuk menemui tokoh-tokoh penting, berdiskusi dengan kalangan kampus dan mendatangi komunitas-komunitas religius. Hampir seluruh penjuru negeri itu ia kunjungi. Kendati demikian pikirannya tetap saja ke Timur Tengah. Karena itu, selama di Amerika, ia menjalin hubungan cepat dengan orang-orang dari Timur Tengah dan mengatakan kepada mereka bahwa ia akan menemui mereka di sana dalam waktu dekat.

Banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya, namun dia tak bergeming, bahkan semakin aktif dengan gagasan-gagasannya, dengan mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun 1974-1976 (Nadroh, 1999: 36-37). Di Yayasan inilah Cak Nur terlibat

intensif berdiskusi dengan Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Syu‟bah

Asa dan Abdurrahman Wahid. Ketika itu pula, bersama-sama kawan- kawannya tersebut Nurcholish menerbitkan majalah Islam yang sedemikian provokatif dalam menyebarkan gagasan pembaruan yakni Mimbar Jakarta.

yang tidak sepaham dengannya. Atas dasar itu, dalam perspektif Majalah Tempo hingga batas tertentu pemikiran Nurcholish Madjid telah menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima asas tunggal (Pancasila) merasa lebih damai karena telah menemukan kebenaran (Barton, 1999: 83-84).

Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk menguasai materi pelajaran di kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.

Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen ke- KMIannya yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya. Seperti sikap disiplin, kejujuran, keuletan, kreatif dan persiapan (Al- I‟dal Wal Isti‟dad), ketegasan dalam bertindak (Barton, 1999: 65).

Dasawarsa 1960-an merupakan periode penting dan menentukan bagi perjalanan karier Nurcholish sebagai intelektual dan aktivis. Pada tahun 1965

ia meraih gelar sarjana muda (BA) bidang Sastra Arab di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Jakarta. Tiga tahun kemudian (1968), ia menuntaskan studi strata satu (S1)-nya dengan menyandang gelar doktorandus di bidang Sastra Arab di lembaga yang sama (Gaus AF, 2010: 79).

Masa kepemimpinan Nurcholish di PB HMI akan berakhir pada bulan Mei 1969. Setelah nanti tidak lagi menjadi Ketua Umum HMI, pikirnya, ia akan menunaikan tugas hidupnya yang lain: menikah. Saat itu Nurcholish genap 30 tahun-usia yang cukup untuk membina hidup berumah tangga. yiga tahun sebelumnya, pada 1966, ia pernah meminta kepada gurunya di Gontor, Abdullah Mahmud, untuk dicarikan teman hidup. Abdullah Mahmud saat itu tinggal di rumah seorang aktivis pergerakan Syarikat Islam dan pengusaha bioskop di Madiun. Namanya H. Kasim. Dia juga menjadi donatur PII, karena itu sebagai aktivis PII Nurcholish sudah sangat akrab dengan nama H. Kasim. Dan memang, pesan Nurcholish itu segera ia sampaikan kepada H. Kasim yang ditindak-lanjuti dengan mengirimkan pasfoto seorang putrinya bernama Qomarijah kepada Nurcholish (Gaus AF, 2010: 55).

Tahun itu juga Nurcholish berkunjung ke Madiun untuk melihat orang yang ada di foto itu. Namun, di mata Nurcholish, anak perempuan itu terlalu muda (17 tahun), sehingga ia mengatakan kepada H. Kasim untuk menunda lamaran, dan ia akan berjuang dulu, H. Kasim menyetujuinya. Dua tahun kemudian. Pada akhir tahun 1968, Nurcholish kembali menghubungi ustadz Gontornya, Abdullah Mahmud, melalui surat untuk melanjutkan proses

Qomarijah. Pada saat itu Qomarijah sedang berada di Solo, karena ia sudah kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (sekarang Universitas Sebelas Maret). Akhirnya Qomarijah pun menerima lamaran Nurcholish. Ada dua alasan mengapa Qomarijah menerima lamaran orang yang belum ia kenal itu. Pertama, untuk menyenangkan orang tua sebagai balas budi kepada mereka yang telah melahirkan dan mendidiknya. Kedua, ia teringat kejadian seminggu yang lalu, yang ia yakini sebagai petunjuk Tuhan, yaitu setelah sembahyang istikharah ia bermimpi melihat bintang-bintang turun di atas kepalanya, dan ada satu bintang yang meluncur dengan cepatnya ke arah Barat (Gaus AF, 2010: 56).

Setelah memperoleh kepastian tentang kesediaan anaknya, H. Kasim kemudian menjawab positif lamaran Nurcholish. Ia juga memberitahu keberadaan putrinya di Solo. Maka Nurcholish segera menuju ke Solo. Tetapi ia lupa dengan wajah Qomarijah, sehingga meminta bantuan temannya yang saat itu menjadi Ketua Umum HMI Cabang Solo, Miftah Faridl. Kemudian mereka bertemu di sebuah apotek dan mengajak Qomarijah untuk jalan-jalan. Di tengah perjalanan, Miftah pamit pulang karena masih ada keperluan. Sehingga tinggal berdua, Nurcholish dan Qomarijah. Nurcholish menyebut semua proses yang dilaluinya dari awal hingga bertemu Qomarijah di Solo

dengan istilah “santri connection” (Gaus AF, 2010: 57).

PB HMI menggelar kongresnya yang ke-9 di kota Malang pada tanggal 3019 Mei 1969. Sebagai Ketua Umum PB HMI, Nurcholish menyampaikan pidato pertanggungjawaban. Setelah itu, ia akan merasa lega

dan berkonsentrasi mengurus rencana pernikahannya dengan Qomarijah. Namun, tanggung jawab tampaknya belum akan berakhir. Kongres memberi mandat kepadanya untuk menyempurnakan naskah Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang ua rumuskan. Bukan hanya itu, Kongres ternyata memilih kembali Nurcholish Madjid sebagai Ketua Umum PB HMI untuk periode 1969-1971 (Gaus AF, 2010: 58).

Setelah Kongres Malang itu Nucholish ke Madiun menemui Qomarijah. Kendatipun kesibukan sebagai Ketua Umum PB HMI kembali menyita waktu, Nurcholish rupanya tidak ingin menunda lagi rencananya menikahi Qomarijah. Pada 30 Agustus 1969, mereka menuju pelaminan diiringi suatu pesta di gedung bioskop milik H. Kasim. Setelah itu, Nurcholish pergi ke Jakarta sendirian. Ia baru memboyong Qomarijah ke Jakarta ketika istrinya itu hamil lima bulan (Gaus AF, 2010: 59).

Dokumen terkait