• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bangunan tradisional Bali serta fungsinya - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Bangunan tradisional Bali serta fungsinya - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

j: ·~

'

~··~

I

..

Cl ~

,..

~·~

Bangunan Tradisional

Bali

Serta Fungsinya

..

Oleh

Ida Bagus Oka Windhu, BA dkk.

Diterbitkan Oleh

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

(

!

*

~~

~'

Q

~·'-1

I•

,~

I ~

I

I

~·=~

I*

~~

! .•.

l

'l,1

. Direktorat Jenderal Kebudayaan •

Proyek Pengembangan Kesenian Bali

§jr;

Th. 1984/1985

-~ ~

(2)
(3)

Bangunan Tradisional

Bali

Serta Fungsinya

(4)

DI RE KTORAT KESENIAN

SUB .

D I R t:! ~ TOR AT PEN<:'.E M S.ANGAN APRESl/\!='I DAN Pf'.' !:S T AS I SENI

SFf-' Sl DOKUME NT A SI

Klas/

koci:

1

__

o_._r_nd_u_k _ :

__...9_/_? ....

/c_~-

--- ---~

I

l<J

,.

Ta nra al :

cl-

- 1 -

~ _...,

'f 1?

---··

· - -~_

... __ __;;...._

f7 Pa~af ___, _ _ ...

(5)

Bangunan Tradisional Bali

Dan

Ketua . Sekretarls Anggota

Ketua Anggota

Fungsinya

Tim Penyusun

: Ida Bgs. Oka Wlndhu, BA

: Ow. Putu Ardana, BA

: I Wayan Slmpe°n, AB Drs. Made Taro Ors. P.N. Wardana Pande Made Purnatha Ida Bagus Gde Agastia Ida Bagus Anom Ranuara

Tim Penyuntlng

: Ors. I G.B.N. Pandjl : Dr. Made Bandem

o.-s. Bagus Nyoman Putra Drs. Gung Wayan Cldra Drs. Ida Bagus Raka

I

tA

I

L

I

K

Dt~l\.110

RA 1

K£S£HIAll

l. ~. ____ . ,.

__

,,

Oleh

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dlrektorat Jenderal Kebudayaan Proyek Pengembangan Kesenian Ball

(6)
(7)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... . Sambutan Ka. Kan. Wil. Depdikbud Propinsi Bali ... ..

BABIPENDAHULUAN ... 8

BAB II TINJAUAN FILOSOFIS : A. Isi dan Wadah ... 12

B. Berbagai variasi gambaran Bhuana Agung Bangunan Pura ... 16

BAB ill TATA RUANG DAN FUNGSI RUANG : A. Tata Ruang ... 18

B. Fungsi Ruang ... ... 19

C. Dasar-dasar Kontruksi . .... .. ... 20

BAB IV TINJAUAN SOSIAL BUDAYA : A. Bentuk-bentuk bangunan ... 26

B. Beberapa macam ukuran yang dipakai pada bangunan tradisional ... 27

C. Macam-macam bangunan ... ... ... ... ... ... 27

D. Bangunan-bangunan suci ... 36

E . Bangunan Umum ... 39

BAB V PERANAN BANGUNAN TRADISIONAL (ADAT BALI) DALAM PARIWISATA BUDAYA : A. Masa Depan . .. .... ... ... .... .. . ... ... .. . .... ... ... .. ... .... .. ... ... ... ... .. ... ... ... ... . 41

B. Masalah pemeliharaan dan pembinaan ... 43

C. Kemungkinan bangunan tradisional menyemarakan Sarana Kepariwisa-taan ... ... 45

BAB VI PENUTUP ... ... ... 48

(8)

Kata Pengantar

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Proyek Pengembangan Kesenian Bali tahun anggaran 1984/1985 berhasil mener-bitkan beberapa naskah terbitan yang ke I dengan judul

1. Hubungan Tari dengan Karawitan Bali.

2. Kakawin Siwaratri Kalpa sebagai karya Sastra. 3. Serba Neka Wayang Kulit Bali.

4. Teater di Bali Dari Masa Ke Masa.

5. Pengaruh Pariwisata terhadap Perkembangan Seni Rupa di Bali 6 . Bangunan Tradisional Bali dan Fungsinya.

7. Pengetahuan Karawitan Bali.

8. Sekelumit Cara-cara pembuatan Gamelan Bali.

Kami menyadari bahwa naskah-naskah ini masih jauh dari sempurna, karena itu melalui prakata ini kami mohonkan harapan, semoga para ahli dan cerdik-Cendekiawan dapat memberikan saran-saran seperlunya demi kesempurnaan naskah-naskah terbitan di atas.

Akhirnya atas bantuan semua pihak, para penyusun naskah ini, terutama atas bimbingan, pengarahan dan sambutan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali kami ucapkan banyak terima kasih.

Semoga berguna bagi generasi penerus pecinta Budaya Bangsa.

Denpasar, 10 Desember 1984

(9)

SAMBUTAN

KEPALA KANTOR WILAYAH DEPDIKBUD PROPINSI BALI

Saya menyambut gembira dengan berhasil diterbitkan buku ini, karena dengan demikian makin lengkap buku-buku yang mengungkapkan berbagai aspek kebu-dayaan daerah Bali.

Kebijaksanaan nasional di bidang kebudayan berbunyi, "Nilai Budaya Indonesia yang mencerminkan nilai luhur bangsa, harus dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional serta memperko-koh jiwa kesatuan".

Amanat GBHN tahun 1983 seperti saya kutip di atas, harus kita laksanakan dengan penuh kreatif dan tanggung jawab. Hal ini disebabkan bahwa tujuan pembangunan nasional kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya di seluruh wilayah tanah air, maka pengertian seutuhnya ini tidak boleh lain daripada lahir dan batin, material-spiritual berdasarkan Pancasila.

Kebudayaan dan kesenian yang merupakan unsur pembangunan rohaniah bangsa, jelas berperan amat besar dalam usaha menyelaraskan, menyerasikan kehidupan bangsa dengan hasil-hasil pembangunan materi yang telah berhasil dilaksanakan Pemerintah selama ini.

Karena itu saya menghimbau para seniman, para peneliti, para penulis seni budaya, untuk terus berkarya, menggali, menginventarisasi serta mengembangkan segala potensi seni budaya daerah dan nasional.

Hal seperti ini amat penting kita lakukan, di samping dalam usaha pelestarian nilai-nilai budaya bangsa dari gene.rasi yang satu ke generasi yang berikutnya, juga untuk lebih menjamin ketahanan nasional kita dari berbagai pengaruh luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

Bali dikenal dunia luar adalah karena keunikannya. Unik tidaklah harus berarti lebih baik dari pada yang lain. Dalam penilaian unik terkandung suatu maksud bahwa Bali lain dari pada yang lain, Bali mempunyai suatu nilai-nilai khusus dan di daerah lain tidak dijumpai hal semacam itu. Apanya yang unik ?

Keunikan itu terutama terletak dalam bidang kebudayaannya. Kebudayaan sebagai suatu gejala sosial, Maka itu ia mencakup segala aspek kehidupan masyarakat Bali yang beragama Hindu antara lain

1. Kesenian

2. Struktur sosialnya 3. Struktur perumahannya 4. Struktur pertaniannya 5. Lain-lain.

Oleh karena keistimewaan Bali terletak dalam keunikan Budayanya maka seharusnya Bali dikembangkan secara khusus; dalam arti pola-pola dasar masyarakat Hindu di Bali hendaknyalah tetap menjadi pola dasar pengembangan Bali dalam mengikuti modernisasi. Maka itu penulis berpendapat untuk tetap menjaga keunikan Budaya Bali hendaknyalah jangan terlalu latah para pejabat-pejabat daerah Bali ini meniru sesuatu pola kemasyarakatan yang di suatu daerah di Indonesia ini berhasil, terus diterapkan di Bali.

Sebagai contoh struktur organisasi Desa di Jawa yang -bernama RT./RK./ RW. yang ternyata berhasil baik di sana tidak perlu secara tergesa-gesa pejabat kita di Bali ihi mewajibkan pada masyarakat Bali untuk segera merubah struktur organisasi banjar yang kelihatan tradisional. Dan yang tradisional berbau kolot dan pasti jelek dan harus meniru yang datang dari luar dan pasti lebih baik. Rupa-rupanya pola pengemtangan Indonesia secara menyeluruh bukanlah harus sama untuk seluruh wilayah. Karena kita sama-sama memaklumi bahwa kita memang berbhineka Tunggal Ika. Dan justru Kebhinekaan itu kita ini mendapat tempat yang sewajarnya. Tak ubahnya sebagai "Taman Raya", biarlah semua jenis kembang dan bunga tumbuh dengan suburnya dan "Penga-tur" taman raya itu melindungi dan memberikan fasilitas dan membim-bing perkembangan setiap pohon bunga supaya subur dengan masing-masing karakternya.

Salah satu segi keunikan Bali yang penulis uraikan adalah mengenai st ruktur dan pola perumahan.

(11)

Masyarakat luar begitu memasuki sudah mehdapat kesan bahwa peru-mahan masyarakat Bali yang beragama Hindu memang lain dengan perumahan suku-suku lainnya di Nusantara kita ini.

Berdasarkan beberapa informasi dari pada pemadu wisata yang sempat penulis wawancarai, menyatakan bahwa perumahan Bali cukup menarik untuk dikunjungi.

Maka itu tidaklah mengherankan daerah-daerah Bali yang benar-benar terlibat dalam gelanggang Industri Pariwisata secara aktip berusaha untuk membangun kembali bangunan-bangunan tradisional sekalipun fungsinya bertambah lagi dari fungsi pokoknya yaitu sebagai daya tarik bagi para touris. Sehingga sepanjang jalur wisata penting di Bali ini masyarakat tetap memelihara bangunan-bangunan tradisionalnya. Sekalipun memang untuk memenuhi keperluannya akan rumah-rumah modern ye.ng berbeton yang dipakai untuk tempat tinggalnya sehari-hari. Sehingga bangunan tradisionalnya akan tetap terpelihara rapi dan bersih.

Memang bangunan-bangunan tradisional Bali tidak mungkin dibangun dengan mendukung berjenis-jenis fungsi. Dan bangunannya kecil-kecil. Tetapi menurut pengalaman bahwa bangunan itu sangat tepat untuk daerah Bali yang terletak dalam daerah gempa.

Sebagai pelengkap penulis petikkan keterangan dari BIC. Bali dalam warta BIC. Bali No. 5.6/7. tahun 1976 tentang bangunan tahan gempa sebagai berikut :

1. Dianjurkan untuk memakai struktur bangunan berbadan kerangka.

2. Bila toh membutuhkan ruangan-ruangan yang tergabung dalam satu bangunan usahakanlah kerangkanya jelas dan sederhana.

3. Pakailah tembok-tembok yang tidak terlalu tebal tetapi dengan bahan dan adukan yang baik.

4. Dianjurkan membuat tembok paling tinggi setinggi lambang atas pintu, selanjutnya dipakai bahan ringan seperti gedeg, bilah bambu ata11 papan. Luas bidang tembok diantara kolom-kolom (pilar-pilar penguat) sebagai kerangka badan bangunan tidak lebih luas dari 12 m2.

Anjuran dari pihak BIC. ini benar-benar sejalan dengan Hasta Kosali. Dan banyak sudah terbukti bahwa bangunan adat Bali tahan terhadap gempa dibanding dengan bangunan-bangunan beton yang kelihatannya megah. Memang bangunan adat Bali kelihatannya lebih sederhana dari bangunan-bangunan beton tetapi di balik kesederhanaannya tersembu-nyi nilai-nilai dan kekuatan tertentu sehingga ia menjadi lebih unggul untuk dibangun di Bali. Sebagai bahan informasi penulis akan petikkan ketentuan dalam lontar Hasta Kosali yang berlaku bagi undagi (arsitek) mengenai tata cara penggarapan bangunan-bangunan Bali.

(12)

1. Undagi harus menyucikan diri secara ritual terlebih dahulu (map-rayascita)

2. Membuat sanggah diisi dengan pejati ( daksina, peras, sodan, canang dan segehan) dihaturkan ke hadapan Bhagawan Wisma Karma sebagai gurunya para Undagi (arsitek).

Setelah itu dilakukan beberapa upacara-upacara bertalian dengan acara pembuatan rumah itu.

a. Membuat gegulak yaitu satu kesatuan ukuran pokok yang diambil dari ukuran orang yang membangun rumah seperti : depa, guli, tapak kaki dan lain-lainnya. Untuk itu dibuatkan sesajen "Banten Pejati". Dalam pembuatan gegulak itu dibuat : tiang pemakuhan, sunduk pemakuhan, lait pemakuhan "sat-sat" (unsur-unsur kehidupan dan diisi kain putih sebagai lambang dari pada kebersihan dan selanjut-nya diolesi darah ayam hitam sebagai simbul dari pada Wisnu, manivestasi Tuhan sebagai pemelihara.

b. Sebelum bangunan (kerangka) didirikan Undagi mengatur upacara pendahuluan yang dinamakan "Nasarin"' (peletakan batu pertama). Upacara ini dilakukan dengan membuat lubang sebesar "sahasta musti" (kira-kira sepanjang ukuran dari ujung siku sampai ujung jari dengan tangan di rentangkan). Sebagai bahan ritual untuk upacara ini dipakai sebuah batu merah (bata) dengan gambar Bedawang Nala (sebagai simbul dasar dunia sesajennya ialah : a. tumpeng merah, b. Kawangen, c. Canang.

c. Setelah bangunan selesai diadakan upacara "Melaspas" yaitu berinti-kan pada upacara yang bertujuan membersihberinti-kan kotoran-kotoran yang terjadi selama Undagi dan tukang lainnya mengerjakan bangu-nan itu. Karena waktu mengerjakan banyak terjadi perbuatan-perbuatan yang membuat bahan bangunan itu "Leteh" (ternoda secara ritual). Maka itu sering disebut dengan istilah sederhana "Ngusap tain sepat" menghapuskan bekas-bekas garis yang dibuat oleh undagi. Memperhatikan peristiwa tersebut di atas kelihatan bahwa nilai bangunan adat Bali ini terletak pada kemampuan pribadi undagi. Undagi sebagai seorang tukang harus :rnempunyai kemanta-pan rohaniah karena dia bertugas sebagai murid Bhagawan Wisma K3rma membuat bangunan dengan kekuatan bathin yang tinggi seperti kekuatan bathin yang dimiliki oleh Bhagawan Wisma Karma waktu membuat bangunan di Keindraan. Undagi sebagai muridnya harus mempelajari "dharma" yaitu ajaran-ajaran kebathinan sebagai seorang tukang bangunan. Undagi harus dapat membuat bangunan perumahan sebagai simbul Bhuwana Agung yang harus selaras dengan pemiliknya sebagai Bhuwana Alit.

Ketimpangan/ketidak seimbangan antara bhuwana alit yaitu pemilik dengan bhuwana agung yaitu rumahnya akan menimbulkan

(13)

guan. Maka itu tugas undagi cukup berat karena dia harus bertang-gung jawab dalam 2 hal :

a. Sebagai seorang tukang ia harus mampu membuat bangunan yang bernilai indah (arsitek)

b. Sebagai murid Bhagawan Wisma Karma ia harus mampu membuat bangunan yang menjamin keselarasan antara hubungan bhuwana alit dengan bhuwana agung.

Tugas yang belakangan inilah sangat berat dirasa. Memang ukuran-ukuran, ketentuan-ketentuan tentang bangunan sudah diuraikan secara jelas dalam lontar Hasta Kosali. Tetapi yang sulit ialah memetik dan merangkaikan nilai-nilai magis yang tercantum dalam ketentuan itu. Sebagai contoh disebutkan bahwa meletakkan bangu-nan Lumbung (tempat penyimpabangu-nan padi) sejauh 17 tampak dengan pengurip 1 tempel ke utara atau ke timur dari dapur dengan mengucapkan Asta Wara. (1. <;ri, 2. Indra, 3. Guru, 4. Yama, 5. Ludra, 6. Brahma, 7. Kala, 8. Uma). Dan hitungan ke 17 jatuh pada <;ri yaitu sebagai saktinya Tuhan sebagai pemelihara. Dalam hal itu undagi sudah tepat memakai ketentuan ini. Sekarang soalnya sampai sebe-rapa jauh nanti makna dari pada ucapan ini akan terwujud dalam kenyataan.

(14)

BAB II

Tinjauan Filosofis

A. Isi dan Wadah

Menurut pandangan Hindu Dharma, bahwa semua makhluk sudah dititahkan hidup dalam alamnya masing-masing.

Setiap mahluk sudah merupakan kesatuan yang harmonis dengan alamnya. Sehingga makhluk dengan alam tempatnya hidup dapatlah kita namakan, kiaskan isi dengan wadah. Seperti misalnya ikan dengan air , burung dengan udara, ikan belut dengan lumpur. Betapa serasinya hubungan mereka itu. Lalu bagaimana halnya dengan manusia yang merupakan keluarga besar dari pada isi alam ini. Apakah manusia sudah puas menerima anugrah alam raya ini dari pa da penciptanya. Manusia sebagai makhluk berakal apakah anugrah ini akan dimanfaat-kan begitu saja. Manusia mengatur, mengolah alam ini sesuai dengan tuntutan Tri gunanya (satwa, rajah, tamah). Sesuai dengan tuntutan Triguna ini manusia akan membentuk wadah khusus selaras dengan keperluannya sebagai makhluk sosial yang berbudaya tinggi. Maka itu diciptakanlah wadah-wadah khusus bagi manusia seperti itu, bangunan rumah, banjar, desa. Jadi manusia tidak puas dengan wadah alami, sehingga mereka menciptakan wadah sesuai de ngan keperluannya. Atas dasar konsep-konsep filosofis yang dihayatinya.

Orang Bali yang sangat taat pada agama serta adat akan selalu berusaha supaya perbuatan perilakunya diberkahi oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu merek a di dalam membentuk wadah-wadah sebagai bagian dari pada perilakunya selalu berusaha mempedomani ajaran-ajaran kepercayaannya. Dalam hal membuat rumah mereka akan berusa ha berpegang pada ajaran-ajaran yang tercantum dalam berbagai lontar antara lain : hasta kosali, hasta bumi, widhi Tatwa dan sebagainya. Dengan demikian bangunan-bangunan yang dibentuk sesuai dengan kegunaan fungsiny a, akan dibuat sesuai petunjuk-petunjuk lontar-lontar tersebut.

Dalam ajaran agama Hindu disebutkan bahwa tujuan t erakhir dari pada umatnya ialah kembali ke asalnya alam raya ini dengan mulus (moksa) dalam arti :

a. Elemen-elemen badan manusia hendaknya dapatlah menunggal kem-bali ke asalnya yaitu semesta alam ini (Panca Maha Bhuta). b. Atma manusia diharapkan pula untuk manunggal dengan "atmanya"

semesta alam (Paramatma - Sang Hyang Widhi Wasa).

(15)

hakekat; nilai dan unsur-unsur antara bhuwana alit dengan bhuwana agung yaitu manusia dengan alam raya ini.

Namun ukuran dan kedudukannya terdapat perbedaan, yaitu yang satu kecil dan berstatus selaku isi dan yang lain berukuran 'besar dan berperan sebagai wadah bagi yang pertama. Dalam konsep ini dinama-kan Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung. Berkaitan dengan konsep ini dalam salah satu aspeknya diwujudkan sebagai wadah (bangunan-bangunan) dalam berbagai jenisnya seperti bangunan perumahan, bangunan keagamaan, bangunan sosial; sebagai bhuwana alit dimohon-kan supaya mempunyai nilai-nilai dan selaras dengan bhuwana agung. Maksud ini dikerjakan dengan mengatur sebaik-baiknya dan setepatnya, semua unsur, tata palihan, tata letak, tata ruang dan tata cara pensucian seperti yang berlaku pada manusia sebagai bhuwana alit. Inilah rupa-rupanya dasarnya apa sebab pembuatan rumah (wadah buatan ) itu mengambil ukuran dari orang yang memilikinya (mekardi). Bahkan dalam lontar hasta kosali disebutkan peraturannya dan sekaligus juga sangsinya kalau dilanggar. Ukuran rumah harus menggunakan kesatuan ukuran pemiliknya, seperti depa, ruas, tapak kaki dan lain sebagainya. Ajaran Tri Hita Karana juga diwujudkan dalam membangun wadah buatan seperti perumahan, dan desa pekraman sebagai berikut :

1. Sanggah/pemerajan dan parhayangan sebagai tempat suci perorangan

dan desa pekraman.

-2. Halaman dan palemahan desa (tumbuh-tumbuhan, bangunan-bangunan) di dalamnya selaku stula sarira (badan kasar) dari pada Perumahan dan Desa pakraman.

3. Penghuni perumahan dan Pawongan (orang-orang warga desa), me-rupakan daya kemampuan desa, guna dapat berbuat dan berlaksana.

Konsep Tri Hita Karana diterapkan dalam isi dan alam semesta antara lain sebagai berikut :

1. Manusia (Bhuwana Alit) :

a. Kepala - Utama angga

M

b. Badan - Madya angga '

I l I K

c. Kaki - Nistama angga .

DEqEKTOr?A

r

2. Bhuwana Agung (Alam Semesta·-. - ...

KfESf1'1AN

a . Swah loka (alam dewa) "

b. Buah loka (alam manusia) c. Bhur loka (alam hewan/bhuta)

3. Desa dan Perumahan

a. Karang Pura desa Pakraman dan karang sanggah, pemerajan perorangan

(16)

Demikian meresapnya ajaran Tri Hita Karana itu sampai kamar tempat tidurpun mengambil sarinya ajaran ini dengan memakai pelang-kiran (tempat suci), tempat tidur yang teratur clengan jelas ulu clan belakangnya. Tempat menyampirkan pakaian tidak boleh sembarangan, demikian juga kalau dalam satu bangunan terdapat WC, tidak boleh seenaknya menempatkannya.

Pembagian secara jelas mana kepala, badan, kaki, juga kita dapati dalam tata cara menghias rumah-rumah tradisional, seperti : pedepa penghias kaki; langse penghias badan dan ider-ider sebagai clestar bale. Betapa ajaran Tri Hita Karana cliterapkan dalam bangunan traclisional dapat kita lihat sebagai berikut :

Bangunan tradisional benar-benar dianggap dan cliperlakukan sebagai makhluk hiclup, sehingga baginya dianggap memiliki kepala, badan dan kaki, atap dengan kerangkanya sebagai kepala, kerangka tiang, tembok merupakan bagian tengah sebagai baclannya, dan fonclasi dengan lantai dengan konstruksi bagian bawah sebagai kaki. Sebagai makhluk hidup ia juga dianggap memiliki atma, jiwa dan tenaga, maka dari itu ia perlu dihidupkan melalui proses "pengurip" yaitu suatu proses dengan upacara keagamaan. Setelah melalui proses itu bangunan dianggap sudah hidup seperti makhluk lainnya.

Karena ia dianggap hidup maka tindakan yang mengarah pada perusa-kan (pemotongan) pada bagian-bagiannya harus melalui proses upacara keagamaan pula. Bahkan setelah terjadi pemotongan, penggantian elemen-elemennya seperti lambangnya, sakanya, pemucunya dan seba-gainya. Bahan bekas atau sisa itu tak boleh be&itu saja pada bangunan lain. Hal ini sangat erat hubungannya dengan Konsep Tri Hita Karana ..ryang mendasari hiclup dari pacla para undagi dan masyarakat pacla umumnya. Tata cara pemakaian bahan-bahan bangunan sehubungan 'dengan klasifikasi bangunan dikaitkan fungsinya bagi pemilik clan masyarakat juga ada ketentuan antara lain clisebutkan sebagai berikut :

1. Kayu-kayu yang clipakai untuk paryangan (tempat upacara) dikenal penggolongan dari yang utama sampai pada yang kurang utama. a. Prabu kayu cendana

b. Patih kayu menengen c. Arya kayu cempaka d. Demung kayu majagau e. Temenggung kayu suren

2. Kayu yang dipakai untuk umah patemon (rumah keluarga)

a. Prabu kayu nangka b . Patih kayu jati

c. Pengalasan kayu sentul d. Arya kayu teep

(17)

3. Kayu yang dipakai untuk pawon (dapur) dan lumbung

a . Prabu kayu wangkal b. Patih kayu kutat c. Arya kayu blalu d. Demung kayu bentenu e . Temenggung kayu endep

Penentuan kwalifikasi kayu ini adalah atas dasar pertimbangan filosofis, bukan semata-mata pertimbangan mutu intrensik dari pada kayu-kayu tersebut.

Kayu-kayu yang bernilai filosofis tertinggi bagi setiap kelompok penggu-naannya, biasanya jumlahnya cukup terbatas, maka itu untuk bisa juga memakai konsep pengelompokan kayu tersebut ditempuh cara "sample" saja yaitu kayu terbaik, misalnya untuk parhyangan seperti kayu cendana dipakai untuk tiang pemakuhan saja, yang biasa ditempatkan di timur laut, sedangkan untuk tiang-tiang lainnya dipakai jenis yang lebih rendah nilai filosofisnya. Jadi disini sebuah kayu jenis terbaik yang menempati posisi utama dan kedudukan utama sebagai tiang yang menjadi pusat upacara penyucian, penguripan dan upacar<t-upacara lainnya sudah dianggap mengangkat tingkat kayu lainnya yang lebih rendah itu menjadi lebih tinggi lagi.

Tata cara pembinaan dan pemantapan nilai-nilai bhuwana alit dan bhuwana agung.

Bhuwana alit dan bhuwana agung supaya tetap mempunyai nilai-nilai yang dapat diharapkan perlu dilakukan pembinaan dan pemantapan : bisa dilakukan dengan berbagai cara antara lain :

1. Ngeruwak , ngendag, atau nasarin; yaitu upacara awal dari pada pembangunan rumah dengan mengupacarakan tanah dasar dari pada bangunan tersebut.

2. Memakuh, adalah upacara yang bertalian dengan usaha-usaha mem-bersihkan bahan-bahan yang dipakai dan sekaligus memberikan kekuatan jiwa dari pada bangunan itu, sehingga ia dapat berjiwa sebagai makhluk lainnya.

3. Pemelaspasan adalah upacara panglukatan dan peresmian sehingga ia sebagai "makhluk" dapat dan dianggap sah memiliki suatu kekuatan-kekuatan lainnya yang ada dalam alam raya ini.

Semua upacara-upacara tersebut di atas akan dimantapkan lagi dengan berbagai macam caru yaitu jenis pengorbanan kepada alam semesta dengan pemujaan sekurang-kurangnya kepada Panca Dewata yaitu :

(18)

4. Utara - Hitam - Wisnu 5. Tengah - Panca warna - <;iwa

Bahkan caru pemantapan untuk Desa lebih dibesarkan lagi menjadi tingkat pemujaan kepada Dewata Nawa Sanga.

Sebagai suatu bangunan (wadah) buatan yang bernilai suci maka untuk tetap menjaga kesucian dan menjamin tetap berfungsi sebagaimana yang diharapkan, maka segala noda, leteh kotor dan cemar menurut ukuran agama dan kepercayaan perlu dihindari dan dijaga. Maka itu untuk tetap memelihara supaya tetap berfungsi dan sekaligus menetrali· sir noda dan cemar, gangguan alam perlu dilakukan :

1. Upacara keagamaan (piodalan dengan caru, tawur, ngusaba dan lain-lainnya)

~

2. Menepati ketentuan-ketentuan Sasana (ethika) yaitu mentaati disip· lin tentang perilakti, yang mana boleh dan yang mana terlarang.

B. Berbagai variasi Gambaran Bhuwana Agung Bangunan Pw:a.

Komplek pura dibagi atas beberapa bagian, tergantung dari pada kecil besarnya pura serta kedudukan pura bersangkutan di masyarakat. Inti pokok pembagian itu didasari oleh konsepsi masyarakat Hindu di Bali terhadap Bhuwana Agung itu sendiri sebagai berikut :

1. Pembagian 3

a. Jaba sisian, b. Jaba tengah, c. Jeroan; melambangkan Tri Loka (Bhur - Bhwah - Swah)

2. Eka Bhuwana : di sini pura hanya mengenal 1 (satu) bagian saja yaitu langsung tempat suci (melambangkan eka bhuwana penunggalan alam atas dengan alam bawah)

3. Pembagian 2

a. Jaba Pura, b. Jeroan

Melambangkan alam bawah pertiwi d~n alam atas akasa 4. Pembagian 7

Yaitu melambangkan Sapta Loka ; a Bhur Loka, b. Bhwah Loka, c. Swab Loka, d. Maha Loka, e. Jana Loka. f. Tapa Loka, g. Setia Loka. Pura yang memakai pembagian 7 (tujuh) adalah Pura Agung Besakih.

Pura dikelilingi oleh tembok dengan memakai 4 paduraksa pada keempat sudut-sudutnya dan mempunyai pintu gerbang yang membagi kompleks pura itu menjadi beberapa bagian :

1. Pintu Gerbang I Candi bentar yalah simbul puncaknya Gunung

Kaila~a tempat <;iwa bertapa. Di luar Candi bentar ini biasanya balai kulkul, wantilan. Pintu II biasanya merupakan Candi Kurung (Kuri

(19)

Agung) adalah pintu untuk memasuki halaman dalam (Jeroan) di sebelahnya dibuatkan "Babetelan" (pintu masuk keeil) dengan diha-laman kirinya diisi area-area Dwara pala.

Pada bagian atas kuri agung itu diisi hiasan Kala sebagai putra <;iwa. Candi bentar simbul mulut ternganga dan eandi kurung simbul klep (c:adik kerongkongan) yang disebut juga dengan istilah "Rahasia Muka" yang ada di dalam mulut sebelum meneapai bagian yang lebih di dalam lagi untuk mendapatkan rahasia yang ada di dalamnya.

Di dalam halaman jeroan terdapat pelinggih sebagai berikut :

1. Meru (Maha Meru) tempat para dewa beristana

2. Gedong adalah stana dari pada sakti-sakti dari pada dewa disebut dewi (Bhatari) seperti : gedong untuk Dewi <;ri, Dewi Danuh dan lain sebagainya

3. Manjangan Sluang untuk mengenang dan menghubungkan kita dengan Mpu Kuturan (Manjangan, salu-balai, wong-orang)

4. Padmasana, stana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) 5. ·Pengaruman, tempat suei/stana sementara untuk diaturi aci-aei (turun

dari pelinggihnya masing-masing)

6. Piyasan, tempat menghias area-area dalam rangkaian upaeara 7. Bale Paselang, untuk menghaturkan sesajen

8. Bale Pawedan, tempat pendeta melakukan pemujaan dalam memim-pin upaeara

(20)

BAB Ill

Tata Ruang dan Fungsi Ruang

A. Tata Kuang

Pola ruang dalam arsitektur tradisional berlaku dari lingkungan terbesar sampai ke tingkat ruang terkecil. Konsep Tri Hita Karana, jiwa, physik dan tenaga masing·masing disediakan ruangan, sepeni ternpat ibadah keagamaan, ternpat aktifitas kehidupan dan ternpat-ternpat pelayanan um um.

Tata nilai ruang didasarkan pada trianggafkepala, badan, kaki. Parhya-ngan sebagai ternpat ibadah keagarnaan, PawoParhya-ngan sebagai ternpat aktifitas kehidupan dan palernahan sebagai ternpat pelayanan urnurn masing-masing dinilai sebagai kepala, badan dan kaki. Dilingkungan desa kayangan tiga Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalern untuk tempat-tempat persernbahyangan desa pekrarnan sebagai teritorial desa tempat pernukirnan warga desa. Kuburan rnerupakan ternpat yang bernilai rendah dari tingkatan tata nilai utarna, rnadia, nista sebagai kepala, badan dan kaki.

Orientasi dibagi dua yaitu : Kangin kauh sebagai surnbu religi dan kaja -kelod sebagai sumbu burni. M.asing-rnasing dengan nilai utarna untuk kaja dan kangin, nilai rnadia di tengah dan nista untuk arah kelod dan kauh (selatan dan barat ).

Ke arah vertikal, bhur loka alam bawah, bhwah loka alarn tengah dan Swab loka alarn atas. Masing-masing dengan nilai nista, madia dan utarna. Bila pembagian tiga zone ke arah kangin kauh disilangkan dengan pembagian tiga zone kearah kaja kelod (utara selatan), terjadi sembilan zone dengan nilainya masing-masing. Dalam suatu pekarangan perurnahan tradisional susunan ruangnya dibagi tiga. Zone utarna kaja kangin (tirnur laui) untuk paryangan tempat suci pernerajan/sanggah. Zone rnadia di tengah untuk pawongan, ruang-ruang perumahan . Zone nista kelod kauh (barat-daya) untuk pelayamin yang disebut palemahan atau lebuh.

Susunan ruangan pada zone rnadia di tengah rnerupakan natah sebagai halarnan tengah dikelilingi bangunan-bangunan.

Bale rneten letaknya kaja untuk tempat tidur, bale semanggen letaknya kangin untuk ruang upacara dan serba guna.

Bale paon letaknya kelod kauh untuk dapur dan bale dauh untuk jineng (lurnbung) letaknya kauh. Bila sisi kauh (barat) diternpati oleh bale dauh yang difungsikan untuk ruang tidur rnaka jineng sebagai lurnbung menernpati bagian zone kelod kauh atau kelod kangin.

(21)

Sumur clan tempat mandi ditempatkan kaja kauh (barat laut). Bagian pekarangan rumah disebut teba, fungsinya untuk tempat ternak clan tanaman buah-buahan. Tanaman halaman merupakan tanaman fungsio-nal untuk keperluan upacara adat keagamaan, obat-obatan clan keper-luan dapur.

Susunan ruangan dalam bangunan disesuaikan dengan fungsi masing-masing bangunan. Bale paon, ruang-ruangnya perapian yang disebut dengan perapen jalikan untuk tungku memasak, bale untuk saji clan punapi untuk menyimpan hasil pertanian yang diawetkan di atas perapian. Jineng untuk lumbung menyimpan padi ruang diatasnya clan tempat-tempat duduk, balai-balai di bawahnya.

Bale sumanggen untuk ruang upacara adat keagamaan, ruang tamu, clan ruang serba guna. Ruangnya terdiri dari balai-balai clan pelataran. bale meten sekutus atau gunung rata fungsinya untuk tempat tidur. Dalam ruang ini ada dua bale-bale tempat tidur pada delapan tiang bangunan dengan pamelang sebagai ruang tengah antara kedua bale-bale. Untuk bale meten dengan type gunung rata (atau bandung) dibagian depan difungsikan untuk ruang duduk. Susunan ruang dalam atau ruang Iuar disesuaikan pula dengan peranan penghuni sebagai petani, nelayan, pedagang atau pekerja-pekerja lainnya.

B. Fungsi Kuang

Bentuk clan penempatan masa-masa bangunan disesuaikan dengan fungsinya masing-masing urutan membangun; sanggah atau pemerajan dalam bentuknya yang sementara, dipermanenkan. Setelah bangunan perumahan selesai selanjutnya di bangun bale meten, paon, sumanggen, jineng clan bale dauh.

Fungsi pekarangan di dalam batas tembok penyengker untuk penempa-tan massa bangunan clan ruang-ruang luar sekitarnya. Natah merupakan ruang tengah yang dikelilingi massa-massa bangunan untuk pusat orientasi clan pusat sirkulasi. Natah juga berfungsi sebagai ruang tamu sementara dengan a tap sementara sewaktu ada upacara adat, juga untuk ruang jemuran.

Lebuh, halaman di depan kori pintu pekarangan ada yang langsung ke gang atau ke jalan di depannya ada pula dengan menempatkan kori mundur ke belakang sehingga terjadi ruang yang disebut "cangkem kodok".

(22)

C. Dasar-dasar Konstruksi (Akit-akitan)

1. Latar belakang.

Arsitektur tradisional Bali, adalah sejumlah arsitektur dari beberapa zaman dan tempat dari suatu/beberapa lingkungan masyarakat tradi-sional Bali, termasuk di dalamnya ·alam lingkungan, nilai tradisi yang hidup serta merupakan gambaran kesatuan yang bulat dan utuh yang menunjukkan pola-pola tertentu. Bangunan-bangunan Bali merupa-kan suatu karya dari orang-orang Bali yang sangat banyak dipenga-ruhi oleh Agama Hindu. Mengingat bangunan harus dapat menunjang peri kehidupan yang kompleks maka bangunan tersebutpun dibuat sejalan dengan tujuan-tujuan itu.

aerdasarkan kegunaan bangunan itu dapat digolongkan menjadi beberapa macam :

a . Bangunan-bangunan keagamaan b. Bangunan-bangunan perumahan

c. Bangunan-bangunan yang berfungsi sosial.

Sebenarnya pengaruh Hindu dalam bidang arsitektur ini dibawa oleh Mpu Kuturan dan Rsi-Rsi lainnya dari Jawa pada waktu penyebaran-penyebaran Hindu dari Jawa ke Bali.

Sebelumnya orang Bali sudah juga mempunyai suatu pola perumahan tersendiri. Dengan dibawanya konsep bangunan oleh para Rsi itu berlangsunglah percampuran antara konsepsi Hindu Jawa dan Bali. Seberapa jauh pengaruh-pengaruh itu memberi corak pada bangunan Bali secara garis besar dapat kita golongkan sebagai berikut :

a . Daerah Bali yang sedikit kena pengaruh Hindu, seperti daerah-daerah Pinggan, Trunyan, Sukawana dan sebagainya.

b. Daerah-daerah yang sebagian kena pengaruh Hindu, seperti Tenga-nan, Pengotan, Kayu Bihi, Kayu Ambua, Buwungan dan sebagainya.

c. Daerah-daerah yang sebagian terbesar kena pengaruh Hindu, seperti daerah dataran pada umumnya.

Guna mendapatkan gambaran yang lebih lengkap kiranya perlu kami uraikan pola-pola perumahan sebelum datangnya Empu Kuturan ke Bali.

1). Sebelum kedatangan Empu Kuturan

Pola-pola perumahan zaman ini agak sulit kita cari.

Karena kita hanya menjumpai data-data sejarah berupa peninggalan berbentuk pertapaan-pertapaan di tebing-tebing sungai atau bukit-bukit. Sekalipun kita belum menjumpai peninggalan pada zaman itu sudah ada pola perumahan menetap. Maka itu sudah pasti ada bangunan-bangunan sekalipun masih sederhana.

Rumah-rumah rakyat merupakan bangunan-bangunan tertutup yang terbuat dari kayu dan bambu. Bangunan ini sekaligus berfungsi

(23)

2.)

3).

sebagai tempat tidur semua keluarga, dapur dan penyimpanan-penyimpanan barang hak milik yang letaknya belum beraturan. Tempat tempat suci masih merupakan onggokan batu yang diatasnya sering terdapat lingga. Pada akhir zaman ini mulai dibuat tempat-tempat pertapaan, seperti Goa Gajah, Gunung Kawi, Telaga Waja dan sebagainya.

Zaman Pengaruh Empu Kuturan

Pada Pemerintahan Erlangga tahun 1019 - 1042 datang ke Bali seorang Rsi yang sekaligus arsitek (undagi besar) Beliau mengajar-kan membuat kayangan tiga dengan bentuk-bentuk pelinggih bangu-nan-bangunan suci tempat pemujaan lainnya. Pola-pola perumahan sudah diajarkan menurut ketentuan Hasta Kosali. Dengan sendirinya disesuaikan dengan pola-pola perumahan sebelumnya proses pente-rapan ketentuan yang tercantum dalam Hasta Kosali berjalan bertahap sehingga masyarakat dapat menerima secara baik.

Zaman Pengaruh Majapahit

Bali ditundukkan Gajah Mada tahun 1343 dan orang-orang Bali yang tak mau tunduk pergi ke sekitar pegunungan Batur (Desa Bintang Danu). Raja pertama Majapahit di Bali ialah Sri l(resna Kepakisan, Raja ini belum sempat mengatur pola perumahan rakyat Bali sesuai dengan pola Majapahit.

Raja berikutnya Dalem Ketut Ngelesir mulai mengajarkan pola-pola perumahan menurut penggolongan masyarakat yang diuraikan da-lam lomtar "Hasta Bhumi".

Raja ini diganti oleh Dalem Baturenggong sekitar abad ke XVI dan merupakan puncak kejayaan dinasti Kresna Kepakisan.

Pada zaman ini datang Rsi Dang Hayang Niratha yang lebih menyempurnakan lagi pola perumahan dan khususnya tempat-tempat pemujaan.

Kesimpang-siuran mengenai pelinggih, mana untuk arwah leluhur dan pelinggih mana untuk Sang Hyang Widhi Wasa, mulai dimantap-kan penggunaan meru, dan Padmasana. Dan zaman inilah mulai dimantapkan betul penggunaan Padmasana Sang Hyang Widhi Wasa.

2. Konstruksi (akit-akitan dan pepasangan)

Akit-akitan dan pepasangan (konstruksi) bangunan Bali tradisional umumnya sangat sederhana. Hal ini dapat dimaklumi karena bangu-nan Bali mendukung fungsi yang sederhana pula. Dengan adanya pembagian fungsi secara mendetail maka bangunan Bali tidak perlu terlalu besar.

Material disusun sedemikian rupa sehingga material itu juga menang-gung fungsi dekorasi Dengan memperlihatkan karakter alamiahnya secara teratur masing-masing material dapat memberi nilai-nilai artistik yang khusus.

(24)

kelihatan, bahwa konstruksinya sangat jujur. Dengan kepolosan konstruksinya maka elemen-elemen konstruksi juga berfungsi orna-men yang dapat orna-menjelaskan antara fungsi pokok yang didukungnya dengan tambahannya sebagai ornamen. Seperti misalnya "Tugeh" bale murda menunjukkan sikap perkasa dari Singa Ambara yang meman-dang tajam-tajam ke bawah sehingga mendukung konsepsi balai penangkilan. Disamping memang fungsi utamanya sebagai penyangga bagian atasnya. Dapat dikatakan secara keseluruhan teknik konstruk-si bangunan-bangunan Tradikonstruk-sional merupakan kesatuan konstrukkonstruk-si yang tetap memberikan kebebasan kepada masing-masing momen pembentuknya.

Seperti misalnya konstruksi rangka atap, terdiri dari unsur pemade, pemucu, iga-iga yang dirangkaikan dalam satu ikatan menjadi satu disebelah atas dengan "petaka", "dedeleg", ditengah-tengah oleh 'apit-apit" dan di sebelah bawah oleh "kolong" atau "tadalas". Kalau kita perhatikan benar-benar, maka terlihatlah bahwa konstruk-si itu merupakan konstrukkonstruk-si bidang dengan pertemuan di puncak dan di sudut-sudut pada "pemucu".

Bagian-bagian rangka atap benar-benar tersusun stabil tetapi masing-masing bagian dapat dilepaskan dari ikatannya tanpa mengganggu hubungan lainnya. Sebagai contoh beberapa batang iga-iga rusak, ia dapat dilepaskan dari 'ikatannya dan diganti dengan bambu yang lainnya . Sehingga pergantian setiap bagian konstruksi dapat dilak-sanakan dengan melepaskannya dan memasang bagian yang baru sebagaimana keadaan elemen konstruksi yang digantinya.

Demikian juga konstruksi bagian-bagian lainnya berlaku sama seperti misalnya hubungan tiang dengan sunduk, tiang dengan lambang, lambang dengan tadapaksi dengan tugeh, tugeh dengan kancut, kancut dengan dedeleg dan lain sebagainya masing-masing merupa-kan kesatuan ikatan konstruksi yang tetap menjamin kebebasan bagi elemen-elemen pembentuknya. Guna mendapat gambaran secara menyeluruh tentang konstruksi bangunan itu dapat kita bagi menjadi beberapa unit konstruksi sebagai berikut:

(1) Konstruksi Atas (Kepala) yaitu atap (2) Konstruksi Tengah (Badan) yaitu tiang

(3) Konstruksi Bawah (Kaki) yaitu pondasi.

Ad. (1). Konstruksi rangka atap

Struktur rangka atap adalah s1stim bidang, pembebanannya merupakan pelengkap tiga sendi. Sedangkan prinsip kesatuan hubungannya adalah konstruksi payung dengan elemen-elemen pokok pembentuk konstruksi terpusat ke tengah. Suatu konsep yang cukup sederhana, praktis, dan artistik, adalah hubungan di titik pusatkan pada petaka a tau dedeleg yang hanya merupa-kan hubungan purus dengan lam bang tan pa pasak. Sedangmerupa-kan

(25)

gulungan iga-iga yang bukunya diatur sedemikian rupa, mem-bentuk karang kembang teratai dengan empat pemade empat pemucu. Hubungannya hanya merupakan sisipan-sisipan antara satu dengan lainnya tanpa pasak. Rangkaian batang iga-iga dan pemade menjadi struktur bidang disatukan oleh apit-apit atas, tengah dan bawah yang ujung-ujung bawahnya distabilkan oleh kolong atau tadalas, demikian pula pada konstruksi geranta-ngan. Hubungan jepit antar apit-apit dengan iga-iga diperkuat

dengan tali apit-apit dan pasak apit-apit dimanfaatkan pula sebagai elemen-elemen penghias dengan memasang bentuk-bentuk "tapuk manggis" pada kepala pasak dan bentuk-bentuk-bentuk-bentuk simbar, karang manuk, ataupun karangsae pada kepala pasak pemade dan pemucu.

ad. (2). Kerangka Tiang

Konstruksi bagian dan bawah merupakan bagian-bagian tersen-diri ya ng dihubungkan dengan pancung-pancung (sejenis pasak besar da ri kayu/bambu) pada hubungan pemade usuk dengan lam bang.

Konstruksi ini merupakan prinsip-prinsip portal. Sedangkan konstruksi rangka atas/konstruksi bagian atas adalah peleng-kung t iga sendi dengan sendi masing-masing pada petaka/ dedeleg dan pada pancung hubungannya dengan konstruksi tengah.

Kelebihan pada konstruksi tradisional adalah ketidak mutlakan prinsip-pr insip tersebut.

Seperti misalnya konstruksi portal pada dang masih disertai dengan canggah wang (sanggahwang), kancut pada hubungan tiang dengan lambang, adanya sunduk pada hubungan tiang dengan balai-balai dan purus bunda,r pada hubungan tiang dengan sendi alas tiang yang meneruskan beban kepada pondasi "Jongkok asu" di bawahnya dan selanjutnya diteruskan ke bawah tanah. Hubungan tiang dengan tiang yang menyangga balai-balai dirangkaikan dengan sunduk yang hubungannya memakai sesuatu sistim "baji" antara lubang pada tiang purus pada sunduk, hubungan tiang dengan lambang memakai purus rangkap sedangkan hubungan tiang dengan tadapaksi dihu-bungkan dengan konstruksi "dukung netral" berupa kancut yang sesungguhnya hanya ornamen/tidak menerima beban karena tadapaksi menerima beban tarik akibat bidang atap yang diteruskan oleh pancung.

Sebagai bukti bahwa kancut bebas dapat kita lihat betapa ia memikul balok tadapaksi yang sedemikian besar. Bagi bangu-nan adat Bali disamping menggunakan sanggawang pada hubu-ngan tiang dehubu-ngan lambang ada juga bentuk "kupu-kupu".

(26)

terpisah yaitu sebagai pondasi pendukung tiang dan pondasi sebagai pendukung tembok. Dalam prakteknya pondasi pendu-kung tiang sebelum kerangka dipasan~, sedangkan pondasi tembok dipasang sesudah kerangka dan atap selesai. Karena jarak kedua pondasi ini ditentukan oleh gerantang di luar tiang. Dengan memasang sepat gantung di sudut tadalas didapatkan sudut-sudut lantai/pondasi tembok.

Pokok-pokok stabilitas pada konstruksi tiang adalah "pasak lait" (pasak yang bisa ditarik menurut keperluan).

Dengan memepetkan "lait" rapat-rapat seluruh konstruksi menjadi stabil dan bila lait dilonggarkan konstruksi menjadi labil dan mudah dibongkar.

Beberapa contoh konstruksi

1. Konstruksi Atap

Atap yang umum dipakai pada bangunan pawongan (perumahan) adalah alang-alang yang dikerjakan dalam lembar-lembar yang dise-but "ikatan".

Untuk bangunan kwalitas baik, ikatan dirangkaikan dengan tali

pengika~ ijuk sedangkan untuk bangunan sederhana tali pengikatnya dibuat dari pilihan-pilihan serat bambu. Hubungan "ikat an" atap dengan rangka atap dipakai "tali tutus" yang diatur sedemikian rupa sehingga lingkaran puntiran tali dan sisipan ujung tali merupakan garis-garis keindahan sedangkan garis-garis horison ikatan yang melintang halus-halus tercipta dari garis-garis alang-alang yang dapat juga merupakan garis-garis yang indah.

2. Konstruksi Tembok

Pada bangunan tradisional, fungsi t embok hanya sebagai pemisah ruangan, tidak berfungsi sebagai pemikul beban. Pondasi tembok di luar pondasi tiang hanya memikul berat tembok dan menanggul urugan lantai. Behan bangunan diteruskan ke tanah oleh tiang-tiang lewat pondasi.

(27)

umumnya ke arah hulu (luanan). Sedangkan ke arah hilir (tebenan) dan luar terbuka sehingga antara natah (natar) dan ruang-ruang dalam seakan-akan menyatu. Selain prinsip konstruksi yang berlaku secara umum pada semua bangunan maka kita kenal pula ciri khusus bagi masing-masing bangunan.

Misalnya :

1. Bangunan Dapur (Pawon) selalu dibentuk dengan konstruksi atap kampiah dengan adanya "Kong" (lubang di sudut ujung-ujung atas atap yang berfungsi sebagai cerobong asap)

2. Lumbung dengan atap tinggi melengkung sehingga air hujan cepat jatuh sehingga padi terhindar dari kelembaban. Lengkungan yang vertikal lebih mempersulit tikus masuk ke ruangan padi. Masuk dari bawah juga sulit karena antara konstruksi tiang dengan sunduknya dilengkapi dengan "langki" yang di samping berfungsi hiasan juga bertujuan memutuskan/menghalangi jalan tikus,

Bentuk sendi begitu besar karena selain menerima beban bangunan, juga menerima beban padi yang menjadi isi bangunan.

3. Bale semanggen bangunan terbuka penuh ke arah natah dan terbuka sebagian ke arah dapur dan jineng (lumbung). Karena berfungsi serbaguna dan berhubungan erat dengan semua bangunan.

4. Bale meten (bangunan untuk tempat tidur ).

Lantainya paling tinggi diantara bangunan-bangunan lainnya dengan tangga-tangga yang paling banyak pula. Suatu kekhasan bale meten yang dirasa sangat ganjil ialah konstruksi temboknya tidak dilengkapi dengan jendela untuk sinar masuk. Tetapi karena sangat tinggi, dan antara tembok dan atap ada antara.

(28)

BAB IV

Tinjauan Sosial Budaya

Dalam tinjauan ini akan cliketengahkan beberapa bentuk, ukuran serta dasar-dasar konstruksi yang cliterapkan clalam pembuatan clari pacla sebuah bangunan. Berbicara mengenai fungsi, kita akan jurnpai fungsi bangunan clalarn arti yang sangat luas, karena masyarakat traclisional akan membebankan fungsi pacla bangunannya sesuai clengan kebutuhan jasmani clan rohaninya. Keperluan jasmani meliputi kebutuhan terhaclap tempat iidur, ternpat bertecluh serta kebutuhan jasmani lainnya. Seclang-kan keperluan/kebutuhan rohani meliputi pemuasan terhaclap keaga-maan, aclat istiaclat. Sehingga bertitik clari berbagai keperluan tersebut bangunan tradisional mempunyai fungsi tempat tinggal, keperluan aclat, dan keperluan agama.

A. Bentuk-bentuk bangunan

Bangunan traclisional Bali sangat konsekwen clalam mengikuti petunjuk-petunjuk lontar Hasta Kosali. Konsepsi "Beclawang Nala" yang meng-gambarkan bahwa clasar bumi setiap saat clapat bergerak clan bergoyang benar-benar cliperhitungkan clalam pengaturan bentuk-bentuk bangunan tradisional Bali yang sangat seclerhana. Hal ini clapat clilihat clari struktur dan bentuk-bentuk bangunan seperti clibawah ini :

1. Bangunan-bangunan traclisional Bali tercliri clari gugus-gugus kecil, seclerhana clan seimbang.

2. Konstruksi kap

Kerangka-kerangka kap yang tercliri clari unsur-unsur pemacle, pe-mucu, langit-langit, lambang, sineb clan beberapa buah bentangan balok tarik, merupakan suatu kesatuan yang sangat tahan terhaclap goncangan. Kerangka atap ini cliperkuat clengan aclanya unsur-unsur yang rnenyebar ke seluruh lambang maupun sine b clan terus clijepit dengan apit-apit . Hubungan ini ticlak mati sehingga clapat main dengan baik kalau keaclaan memerlukan.

3. Konstruksi Baclan

Bagian baclan bangunan traclisional Bali clapat clibagi menjacli bagian kerangka clan bagian clincling. Kerangka baclan mene ruskan beban-beban ke fonclasi melalui tiang-tiangnya, untuk mengokohkan bercliri-nya bangunan konstruksi bagian baclanbercliri-nya merupakan bagian bangu-nan yang menentukan.

Bangunan traclisional rnempergunakan sistim pengukuh 2 jenis yaitu :

(29)

a. Pengukuh dengan sunduk-sunduk yang diperketat dengan pasak. b. Pengukuh dengan sanggawang (skur) yang juga diperkuat dengan

pasak

4. Konstruksi fondasi (kaki bangunan)

Agar dapat bergoyang dengan bebas kaki tiang dihubungkan dengan sendi yang meneruskan beban dengan fondasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan, kerangka badan bangunan tradisional dapat bergoyang dengan baik karena :

a . Hubungan beban bangunan dengan fondasi dan dengan kap adalah hubungan engsel.

b. Bahan-bahan kayu yang dipergunakan sebagai badan bangunan dapat melentur dengan baik

B. Beberapa macam ukuran yang dipakai/pada bangunan tradisional Bali Bangunan tradisional Bali memakai ukuran dari bagian tubuh manusia (biasanya yang membangun). Bagian tubuh itu bisa berupa tangan dengan berbagai jenis ukuran, kaki, serta kaki dengan tangan, ruas tangan, le bar telapak kaki dan lain sebagainya ( dimensi tradisional untuk konstruksi bangunan).

Untuk pengenalannya kami akan terangkan dengan gambar yang terlukis pada gambar-gambar berikut :

1. Gambar no .. 1 berupa dimensi tradisional untuk konstruksi bangunan. 2. Gambar no. 2 : dimensi tradisional konstruksi khusus tapak untuk

halliman. 3. Gambar no. 3 4. Gambar no. 4 5. Gambar no. 5 6. Gambar no. 6

dimensi tradisional untuk pekarangan

dimensi tradisional Modul-modul dasar konstruksi Detail sebuah tiang

Detail hubungan lambang

+

sineb dengan tiang

C. Macam-macam bangunan. 1. Rumah tempat tinggal

Rumah tempat tinggal merupakan unit-unit perumahan yang diatur dalam kelompok-kelompok "banjar" sebagai unit -sub lingkungan dalam sebuah desa.

Tingkatan-tingkatan kasta, status sosial serta peranannya di masyara-kat merupakan faktor yang menentukan perwujudan rumah tempat tinggal : utama, madia, nista (sederhana).

Pengelompokan rumah-rumah tempat tinggal ke dalam tingkatan utama ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang, type bangunan, fungsi, bentuk, bahan dan penyelesaiannya.

Ditinjau dari nama rumah tempat tinggal sesuai tingkat kasta yang menempatinya.

(30)

kemungkinannya nista (sederhana). Kubu atau pondok atau Pakubon tergolong nista (sederhana).

2. Nama rumah tempat tinggal

a. Geria rumah tempat tinggal untuk kasta Brahmana yang biasanya menempati zoning utama dari tata zoning suatu pola lingkungan. Sesuai dengan peranan brahmana selaku pengembangan bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang geria sebagai rumah tempat tinggal disesuaikan dengan keperluan-keperluan aktifitasnya.

2. Puri

Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang

Peme-rintahan disebut Puri yang umumnya menempati zoning "kaja kangin" di sudut perempatan agung di pusat desa. Penghuni Puri berperanan sebagai pelaksana pemerintahan serta Puri itu sendiri sebagai pusat pemerintahan. Untuk itu Puri dibangun sesuai dengan keperluan ruang, pola serta suasana ruang yang dapat menunjang kewibawaan pemerintah.

Pada umumnya Puri dibangun dengan tata zoning yang berpola "Sanga Mandala" semacam papan catur berpetak sembilan. Bangu-nan-bangunan puri sebagian besar mengam.bil type utama. Antara zone satu dengan lainnya dari petak ke petak dihubungkan dengan pintu "Kori". Fungsi masing-masing zoning antara lain :

1). Ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri masuk ke Puri, di bagian kelod kauh (barat daya)

2). Semanggen bangunan di zoning kelod (selatan) untuk areal upacara "Pitra Yadnya"/kematian.

3). Rangki bangunan di zoning kauh (barat) untuk area tamu-tamu, paseban/persiapan untuk sidang, pemeriksaan dan peng-umuman.

4). Pewaregan bangunan di zoning kelod kangin (tenggr.ra) untuk area dapur dan perbekalan.

5). Lumbung bangunan di zoning kaja kauh (barat laut) untuk area penyimpanan dan pengolahan bahan perbekalan/padi dengan segala jenis prosesnya.

6). Saren kaja bangunan di zoning kaja (utara) untuk area tempat tinggal istri raja-raja

7). Saren kangin bangunan di zoning kangin (timur) di sebut pula saren agung untuk tempat tinggal raja.

8). Paseban bangunan di zoning tengah untuk area pertemuan/ sidang kerajaan

9). Pemerajan Agung bangunan di zoning kaja kangin (timur laut) untuk area tempat suci/perorangan/keluarga.

(31)

c. Jero

Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang Pemerintahan secara langsung. Pola ruang dan tata zoning, juga bangunan-bangunannya lebih sederhana dari puri. Sesuai fungsi-nya pola ruang jero dirancang dengan triangga. Pemerajan sebagai peryangan, jeroan sebagai area r~~ah te~pat tingga ~ dan jabaa~1

sebagai arena pelayanan umum. D1hhat dan status sosial penghum, sebagai akibat dari kasta serta peranannya di masyarakat Geria, Puri dan Jero umumnya merupakan rumah tempat tinggal utama. Identitas kasta dan peranannya cendrung diperlihatkan lewat bangunan tempat tinggalnya.

d .Umah

Rumah tempat tinggal dari kasta wesia atau mereka yang bukan dari kasta brahmana atau kesatria disebut umah. Lokasi uinah ' dalam perumahan disuatu desa dapat menempati sisi-sisi utara selatan, timur atau barat, dari jalan desa. Pusat-pusat orientasi adalah perapatan agung pusat desa, atau bale banjar di pusat-pusat

bagian lingkungan (desa). ·

Unit-unit umah dalam perumahan berorientasi ke natah (natar) sebagai halaman pusat aktifitas rumah tangga.

Umah di dalam perumahan tradisional merupakan susunan massa-massa bangunan di dalam suatu pekarangan yang dikelilingi tembok penyengker (batas pekarangan) dengan kori pintu masuk kepakarangan. Masing-masing ruangan dapur, tempat kerja, lum-bung dan tempat tidur merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa-massa bangunan umah tempat tinggal menempati bagian-bagian utara, selatan, timur, barat membentuk halaman natah (natar) di tengah .

Orientasi massa-massa bangunan ke natah di tengah. Dari k ori masuk pekarangan menuju natah barulah menuju ke bangunan yang akan dimasuki. Demikian sirkulasi balik keluar rumah. Sebagaimana penjelasan fungsi pada Geria aktivitas ritual, Puri dan Jero aktivitas pengayomannya, a t au sebagai pusat-pusat pemerinta-han pada masa ker ajaan . Uma h menonjol pada fungsinya menam-pun g aktivitas kehidupan peta ni a tau nelaya n di beberapa desa di pant ai. Sesuai dengan status sosial dari penghuninya yang sebagian besar adalah petani, maka umah tempat tinggalnya yang disebut umah umumnya berada pada t ingkat madia.

e .Ku bu

R umah tempat tinggal di luar pusa t pemukiman, diladang, di perke bunan, a t a u tempat-tempa t kehidupan disebut kubu atau p akubon.

(32)

Hubungan antar kubu dan tempat-tempat kerja atau tempat lainnya umumnya dengan berjalan kaki melalui jalan setapak. Pola ruang kubu sebagai tempat tinggal serupa pula dengan pola umah. Komposisi bangunan, pemakaian bahan dan penyelesaiannya se-derhana dan umumnya tidak permanen.

3. Type rumah tempat tinggal

a. Sekepat : Bangunan sakepat dilihat dari luas ruang tergolong bangunan nista (sederhana), luasnya sekitar 3,00 m X 2,50 m, bertiang empat, denah segi empat. Suatu balai-balai pengikat tiang. Atap dengan konstruksi kampiah atau limasan.

Pariasi dapat ditambah dengan satu tiang parba satu atau dua tiang pendek. Bisa juga tanpa balai-balai dalam fungsinya yang tidak memerlukan adanya balai-balai.

Kostruksinya cecanggahan, sunduk, atau sanggahwang. Di dalam pekarangan perumahan, letak sakepat di timur yang berfungsi sebagai semanggen, di sisi barat sanggah/pemerajan dengan fungsi sebagai piyasan, kelod kauh (barat daya) bila difungsikan sebagai paon. Penyelesaian ruang dan perlengkapan disesuaikan dengan fungsi kegunaanya.

b.Sekenem

Bangunan sakenem dalam perumaqan tergolong sederhana bila bahan penyelesaiannya sederhana. Dapat pula di golongkan madia bila penyelesaiannya sakenem yang dibangun dengan bahan penye-lesaian madia. Bentuk sakenem segi empat panjang, dengan pan-jang sekitar tiga kali lebar. Luas bangunan lebih kurang 6 m x 12 m. Konstruksi bangunan terdiri dari enam tiang berjajar tiga-tiga pada kedua sisi panjang. Keenam tiang disatukan dengan balai-balai atau 'hanya empat tiang yang disatukan dengan balai-balai serta 2 tiang di teben dengan memakai dua saka (tiang) pendek disatukan dengan balai-balai. Hubungan tiang-tiang dengan balai-balai konst-ruksi perangkai sunduk, waton, likah dan galar.

Dalam pariasinya dapat pula sakenem dengan satu balai-balai yang hanya mengikat empat tiang dan dua tiang diteben memakai sanggahwang karena tidak ada sunduk pengikat. Dalam komposisi bangunan perumahan, sakenem menempati bagian kangin atau kelod untuk difungsikan sebagai sumanggen.

Bila sakenem difungsikan untuk paon di tempatkan di bagian kelod kauh (barat daya). Sakenem yang difungsikan untuk bale piyasan disanggah atau di pemerajan ada pula yang disederhanakan. Dua tiang di tengah diganti satu tiang dengan sanggahwang panjang-panjang disebut bale panca sari. Konstruksi atap dengan kampiah atau -limasan. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan tingkat kwalitasnya.

c. Sakutus

(33)

Bangunan dikwalifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi tunggal untuk tempat tidur yang disebut meten.

Letaknya dibagian kaja (utara) menghadap kelod (selatan) ke natah berhadapan dengan semanggen. Dalam proses membangun rumah, sakutus merupakan bangunan awal yang disebut paturon. Jaraknya delapan tapak kaki dengan pangurip angandang, diukur dari tembok pekarangan sisi utara (kaja). Selanjutnya bangunan lainnya di tentukan letaknya dengan jarak-jarak diukur dari bale meten sakutus. Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 5 m x 2,5 m . Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkaikan empat-empat menjadi dua balai. Masing balai-balai memanjang kaja kelod (utara selatan) dengan kepala ke arah luanan kaja. Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk, waton/ selimar, likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistim lait pada pangurus sunduk dengan lubang tiang.

Sanggahwang tidak ada pada sakutus. Konstruksi atap dengan sistim kampiyah bukan limasan, difungsikan untuk sirkulasi udara selain udara yang melalui celah antara atap dan kepala tembok. Selain dalam bentuk sakutus ada pula bangunan bertiang delapan, empat pada sudut-sudut dan empat pada ke empat sisi masing-masing. Untuk lumbung-lumbung yang besar selain jineng dengan empat tiang juga ada kelingking atau gelebeg dengan enam atau delapan saka/tiang.

Dalam pariasinya sakutus diberi atap tonjolan di atas depan pintu. Ada pula dilengkapi dengan emper empat tiang jajar di depan dengan lantai emper yang lebih rendah dari lantai pokok. Lantai baial. sakutus lebih tinggi dari bangunan lainnya (estitika, filosofis dan fungsinya).

d. Astasari

(34)

~~--

---

...

._

tiang dan rangka atap kayu, kayu kelas untuk bangunan rumah tinggal. Rangka tiap iga-iga dari bambu dan penutup atap dari alang-alang. Seluruh konstruksi menampakkan ketelanjangan war- . na alam warna aslinya. Dalam fungsinya yang lain, sebagai bale piyasan dan Pemerajan dan di Pura baleasta saridisebut bale asta resi. Bentuk dan konstruksinya sama, hanya nama berbeda, karena fungsinya yang berbeda.

Dalam peranannya sebagai bangunan utama, bahan, konstruksi dan penyelesaiannya dengan mengutamakan segi keindahan se-suai dengan fungsinya.

e. Tiangsanga

Bangunan utama untuk perumahan utama. Bahan bahgi:man, konstruksi dan penyelesaiannya sesuai peranannya.

Bentuk dan fungsinya serupa dengan astasari, sedikit lebih luas dan tiangnya sembilan di teben tiga tiang sedangkan astasari di teqen dua tiang. Letak tiang masing-masing pada keempat sudut, tengah-tengah ke empat sisi dan di tengah dengan kancut sebagai kepala tiang. Satu balai-balai mengikat empat tiang dan lima tiang lainnya dengan sanggahwang sebagai stabilitas ikatan konstruksi atap limasan dengan puncak dedeleg, penutup alang-alang. Fungsi utama untuk semanggen letaknya di bagian kangin atau kelod disebut juga balai dangin atau bale delod. Dinding tembok. pada dua atau tiga sisi terbuka kearah natah.

Bangunan tiang sanga dapat pula difungsikan sebagai ruang tidur dengan tembok tengah ke arah luan balai-balai untuk ruang tidur dan kearah teben untuk ruang duduk. Untuk tiang sanga yang difungsikan untuk tempat tidur umumnya menempati bagian barat menghadap ke timur.

f. Saka roras

Bangunan utama untuk perumahan. Bahan bangunan, konstruksi dan penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bentuk bangunan dengan bujur sangkar dengan konstruksi atap limasan berpuncak satu. Petoka sebagai titik ikatan konstruksi di puncak a tap. Jumlah tiang 12 buah, empat-empat tiga deret dari luan ke teben. Letak tiang empat buah masing-masing sebuah di sudut-sudut, empat buah masing-masing dua buah di sisi luan dan teben. Dua buah masing-masing dari sisi samping d':!.n dua buah di tengah dengan kancut sebagai kepala tiang.

Dua balai-balai masing-masing mengikat empat-empat tiang de-ngan sunduk, waton/slemar dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat .tiang sedere t di teben dengan sanggahwang sebagai stabili-tas konstruksi tiang.

Bangunan tertutup dua sisi terbuka ke arah natah. Kearah teben tertutup atau dengan tembok setengah terbuka dan ada pula yang terbuka. Letak bangunan di bagian kangin (timur) atau kelod

(35)

(selatan), terbuka kearah natah. Fungsi bangunan sakaroras untuk semanggen atau kegiatan adat dan serbaguna. Luas bangunan sekitar 6 m X 6 m mendekati enam kali luas sakepat, atau tiga kali luas sakepat, atau tiga kali luas sakenem atau satu setengah kali luas tiangsanga.

Menurut typenya bangunan perumahan tradisional sakepat dengan balai-balai sisi panjang sepanjang tiang dan sisi lebar dtia pertiga panjang tiang merupakan modul dasar. Panjang tiang ditentukan. oleh sisi-sisi penampang tiang dan pengurip untuk masing-masing jenis kasta, peranan penghuni dan kecendrungan yang ingin dicapainya.

Penyelesaian detail konstruksinya b1mgunan sakaroras, tiangsanga dan Astasari atau Astasari dihias dengan ornamen-ornamen deko-ratif.

Tiang dihias dengan kekupakan paduraksa, tagok, caping dan ulur/lelengisan atau diukir. Pementang, tada paksi dan tugeh juga dengan hiasan kekupakan lelengisan atau ukiran. Puncak atap bagian dalam ruang dengan petaka atau dedeleg juga dengan hiasan lelengisan atau ukiran, sendi tugeh ukiran pepindan (me-nyerupai) Garuda Wisnu atau Singa ambara raja. Kepala tiang dengan hiasan kancut lelengisan atau ukiran. Bangunan sakaroras juga disebut bale Murda bila hanya satu balai-balai mengikat empat tiang dibagian tengah. Disebut gunung rata atau bandung bila difungsikan untuk bale meten dengan dedeleg sebagai puncak atap. Letaknya dibagian kaja (utara) menghadap ke natah.

g. Kori

Pintu masuk pekarangan disebut kori atau kori agung un~::.i<.

tempat-tempat yang diagungkan. Di beberapa tempat ·disebut bintang arug atau angkul-angkul. Sesuai fungsinya untuk pintu masuk atau keluar, maka disebut pula pemesuan dalam bentuknya yang sederhana atau pamedal untuk perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria .

(36)

untuk upacara-upacara resmi sebagai pintu sehari-hari disamping pintu utama yang disebut bebetelan. Untuk pekarangan yang luas atau perumahan utama atau madia juga dibangun kori untuk pintu bebetelan ke arah belakang atau samping. Letak kori pada bagian tertentu di sisi pekarangan menghadap ke jalan di depan rumah.

4. Letak Kori, Ukuran Karang, Penyengker dan Paduraksa

Ada beberapa ketentuan dalam menempatkan kori serta ukuran pekarangan rumah sebagai berikut

a. Letak Kori

1). Kori menghadap ke timur harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut. Bagilah lebar batas pekarangan dari arah utara (timur laut) dengan sebutan-sebutan :

a). Wekasing perih f). Dana Werdi

b ). Kina bakten g). N ohan

c). Suka mageng h). Stri Jahat

d). Dana teka i). Dirga yusa

e). Kebrahman

2). Kori menghadap ke selatan di atur sebagai berikut diukur dari ujung timur (tenggara)

a). Baya agung b ). Tan panak c). Suka mageng d). Brahma Stana e). Dana werdi

f). Tan werdi sugih g). Tan werdi h). Kapaten paten i). Kegeringan

3). Kori menghadap ke utara dengan memperhatikan perhitungan sebagai berikut :

Diukur dari sudut barat (barat laut) ke arah timur dengan sebutan

a). Tan panak b ). Kawikanan c). Nohan d). Kadalih

f). Kapihutangan g). Suka mageng h). Kawisesan i). Kawignan e). Danawan

4 ). Kori menghadap ke barat diatur dengan cara mengukur dari ujung utara ke selatan dengan perhitungan yang bermakna :

a). Baya agung f). Brahma stana

b ). Musuh makweh g). Suka mageng

c). Werdi emas h). Kapyatangan

d). Werdi guna i). Karogan kala

e). Denawan

(37)

b. Ukuran karang

Mengukur karang dipakai ukuran "depa" yaitu ukuran yang dipakai dari ujung tangan sebelah kanan sampai ujung tangan sebelah kiri yang direntangkan (lihat kesatuan ukuran bangunan tradisional Bali)

1). Ukuran gajah _,,

a). Dari utara ke selatan sepanjang 15 depa b). Dari Timur ke Barat sepanjang 14 depa.

2. Ukuran Dwaja

a). Dari utara ke selatan 14 depa b). Dari timur ke barat 1~ depa 3). Ukuran singa

a). Dari utara ke selatan 13 depa b). Dari timur ke barat 12 depa

4 ). Ukuran Wreksa

a). Dari utara ke selatan 12 depa b). Dari timur ke barat 11 depa

5). Ukuran Gajah

a). Dari utara ke selatan 11 depa b). Dari timur ke barat 10 depa

6). Ukuran Dwaja

a). Dari utara ke selatan 10 depa b ). Dari timur ke barat 9 de pa 7). Ukuran Singa

a). Dari utara ke selatan 9 depa b). Dari timur ke barat 8 depa

8). Ukuran Wreksa

a). Dari utara ke selatan 8 depa b ). Dari Timur ke barat 7 depa

c. Penyengker dan Paduraksa

Batas pekarangan pada ke empat sisi disebut penyengker karang. Untuk penyengker bisa dengan pagar hidup atau dengan pagar tembok pasangan.

Untuk bangunan suci pemujaan pekarangan memanjang kangin-kauh sedangkan untuk pekarangan perumahan memanjang kaja-kelod. Selisih panjang dan lebar satu atau dua depa ditambah palebih sebagai pangurip. Untuk rumah-rumah tempat tingal di pakubuan, padukuhan batas pekarangan biasanya pagar hidup. Pintu masuk juga dengan pohon hidup, Geria, Puri, Jero daQ umah batas pekarangannya dengan bangunan tembok penyengker

(38)

dari pekarangan yang disengkernya. Bangunan tembok penyeng-ker dibangun dengan fondasi sebagai kaki tembok, badan tembok dan atap sebagai kepala tembok. Tinggi tembok rata-rata apenga-deg, setinggi badan. Untuk tembok-temok purinya tingginya apa-nyuhjuh atau lebih tinggi sesuai dengan keagungan Puri yang disengker. Sudut-sudut pekarangan, pertemuan tembok penyeng-kernya dibangun pilar-pilar sudut dengan namanya masing-masing yang letaknya kaja kangin di sebut Sariraksa, kelod kangin disebut Aji raksa, kelod kauh Rudra raksa, dan kaja kauh Kala raksa. Bahan bangunan untuk tembok penyengker batu bata, atau batu-batu alam lainnya.

D. Bangunan-bangunan suci.

Untuk memuja kebebasan Tuhan Yang Maha Esa dan Dewa-dewa sebagai manifestasi dari pada Tuhan dalam berbagai peranannya dibangun tempat-tempat suci (tempat pemuj aan).

Tempat pemujaan dibangun di tempat-tempat suci a t au disucika n. Dalam berbagai bentuk serta fungsi tempat pemujaan disebut Pura dengan tingkatan-tingkatan utama, madia dan nista (sederhana ). Pura dalam berbagai bentuk dan fungsi pemujaan terdiri dari pekarangan yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian utama disebut jeroan tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan. Bagian tengah disebut jaba tengah tempat persiapan dan pengiring upacara. Bagian depan disebut jaba tempat peralihan dari luar ke dalam Pura. Dalam bentuknya yang sederhana hanya ada jeroan atau jeroan dan jabaan.

Sedangkan pura yang besar ada pula yang dibagi menjadi beberapa bagian. Pekarangan Pura dibatasi tembok penyengker batas peka-rangan. Pintu masuk di depan atau dijabaan memakai kori agung. - Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai macam bentuk perisai dan kreasi sesuai dengan keindahan arsitek-turnya. Bangunan pura umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persemba-hyangan menghadap ke timur ke arah matahari terbit. Komposisi massa-massa bangunan pura berjajar utara selatan (kaja kelod) di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi kaja menghadap kelod (selatan). Bale pawedan dan bale piyasan di sisi barat menghadap ke timur, halaman pura di tengah.

Nama-nama tempat pemujaan a. Pura

Pura sebagai tempat pemujaan melaksanakan ibadah agama ada dari keluarga terkecil sampai lingkungan wilayah terbesar. Sesuai fungsinya sebagai tempat memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai manifes-tasinya ada beberapa Pura. Pura untuk pemujaan keluarga, Pura untuk pemujaan Desa, Pura untuk pemujaan profesi dan Pura untuk pemujaan Umat dari seluruh wilayah.

(39)

b. Pemerajan

Pura untuk tempat pemujaan dari satu keluarga rumah tangga sampai keluarga besar disebut Pamerajan atau Sanggah.

Untulc tempat pemujaan keluarga dari kasta brahmana atau ksatrya disebut Pemerajan dan untulc keluarga kasta lainnya disebut sanggah. Ukuran pekarangan bangunan-bangunan dan tata letaknya serupa antara pemerajan dan sanggah, perbedaannya pada pengurip dan tingkatan utama untuk pemerajan. Untulc pemujaan tingkat keluarga di tiap rumah tangga ada pemerajan atau sanggah yang terletak di bagian pekarangan kaja kangin. Pemerajan/sanggah alit untuk keluarga kecil atau rumah tangga dan pemerajan agung atau sanggah gede keluarga besar. Pemerajan Agung atau sanggah gede disebut juga pemerajan atau sanggah kawitan atau dadia, untuk keturunan keluarga besar sampai lebih kurang 40 kepala keluarga. Untuk jumlah keluarga yang lebih besar dari 40 kk disebut Panti atau Paibon. Dengan pertambahan pendudulc yang sangat pesat, ukuran besar kk 40 bukan merupakan suatu keharusan lagi, yang penting sanggah/pemerajan untuk sl!atu k eluarga dan untuk keluarga besar tetap ada. Untuk pemerajan/sanggah alit terdiri dari kemulan dan taksu. Tempat pemujaan untuk keluarga besar yang disebut kawitan, dadia, paibon atau panti. Bangunan-bangunannya juga terdiri dari kemulan dan taksu ditambah dengan p elinggih atau bangunan-bangunan lainnya sebanyak 7 sampai 11 buah bangunan pelinggih.

Bangunan-bangunan gedoog uotuk pesimpangan disesuaikan deogan Pura Sad kayangan Jagat yang dipuja dari Pemerajan atau Sanggah Sad Kayangan Jagat yang dipuja dari Pemerajao atau Sanggah yang ada. Tempat pemujaan kelua rga pekarangannya, umumnya satu halaman. J abaannya adalah pekarangan perumahan. Uotuk perumahan sederhana sanggah

Gambar

Gambar Ill < i5 ~

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa data yang digunakan dalam Tugas Akhir ini antara lain: data umum pelabuhan pada rute yang telah ditentukan, dimensi kapal dari perusahaan pelayaran

Model konsiderasi tidak hanya dapat diterapkan pada mata Pelajaran Agama Islam (PAI) saja, tetapi model ini dapat juga diterapkan pada mata pelajaran umum. Tujuan dari

Tujuannya adalah untuk merancang sistem manajemen jasa yang baik dan menganalisa kelayakan usaha restaurant ayam goreng tersebut.. Penelitian ini dilakukan di kawasan

Adapun hasil penelitian tentang tanggapan responden terhadap indikator Penggerakan yang terdiri dari pertanyaan: Dalam melakukan penggerakan pimpinan maupun bawahan

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk Menganalisis pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Way Kanan

Atas kehendak-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ ANALISIS POTENSI PARIWISATA WADUK MULUR DAN ARAH PENGEMBANGANNYA TAHUN 2017 (Sebagai Bahan Pengayaan

Those 4 building typologies are represented by GKJW Sidotopo (building I) which is a one-storey building with a rectangular layout, GKJW Ngagel (building II) a two- storey building

piutang, tertagih atau tidak tertagihnya piutang tergantung dari system apakah berjalan sesuai standar atau tidak, disini juga diatur mengenai pengelolaan piutang yang baik