• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK NEUROANATOMI DAN IMPLIKASI KLINIS SINDROM BALINT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASPEK NEUROANATOMI DAN IMPLIKASI KLINIS SINDROM BALINT"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Sindrom Balint adalah suatu sindrom klinis yang terdiri dari tiga gejala utama yaitu simultanagnosia, apraksia okuli, dan ataksia optik. Simultanagnosia adalah ketidakmampuan untuk memberikan perhatian pada lebih dari satu objek pada satu waktu. Apraksia okuli adalah ketidakmampuan untuk menggerakkan mata untuk melihat objek yang dituju. Gerak bola mata, lapangan pandang, dan refleks gerak mata intak. Ataksia optik berarti ketidakmampuan untuk menggapai benda dibawah tuntunan visual seperti menggenggam dan meraba benda yang disebabkan karena terganggunya proses integrasi visual dengan koordinasi tangan untuk meraih benda.1,2,3

Sindrom Balint pertama kali dilaporkan oleh dokter neurologi Hungaria Rezco Balint pada tahun 1909, yang memiliki pasien dengan keterbatasan dalam penglihatan, tidak dapat melihat lebih dari satu objek pada waktu bersamaan, disertai ataksia

optik, dan ketidakmampuan pasien untuk menjangkau objek yang ada didepannya.4,5 Sindrom ini dapat terjadi pada semua umur dan gejala klinis yang ditimbulkan terkadang lama setelah penyakit dasar muncul. Pernah dilaporkan ditemukan pada anak laki-laki pada usia 10 tahun, akibat stroke hemoragik yang dideritanya saat berusia 3 tahun. Begitu pula yang ditemukan pada tentara Hungaria pada laporan pertama Balint.6,7 Salazar dkk tahun 2016 melaporkan kasus dan menuliskan review tentang sindrom Balint akibat cedera kepala pada laki-laki usia 61 tahun.8

Gejala klinis yang ditemukan pada sindrom ini merupakan akibat lesi yang terjadi pada lobus parietal oksipital bilateral, mengganggu hubungan kortek visual dan area motorik pre-rolandik, sensorik primer, dan integrasi sensorimotor. Aliran visual pada jalur dorsal dan ventral terganggu, akibat kemampuan untuk mengidentifikasi persepsi dan spasial suatu objek terganggu. Pasien tidak mampu

ASPEK NEUROANATOMI DAN IMPLIKASI

KLINIS SINDROM BALINT

NEUROANATOMY ASPECT AND CLINICAL IMPLICATION OF

BALINT’S SYNDROME

Restu Susanti,* Yuliarni Syafrita*

ABSTRACT

Balint’s syndrome is a neuropsychological disorder cause by bilateral posterior parietal lobe damage. This disorder can be caused by infarction of the watershed area caused by stroke, head trauma, hypoxia, encephalopathy, Alzheimer’s, or other cerebral lesions. The clinical features of this syndrome consists of simultanagnosia, optic ataxia and apraxia oculi. It can also be accompanied with inferior visual field disturbances and bilateral hemineglect. Balint’s syndrome patients have impaired visual perception, cognition and visual memory. In daily life the patient will look like a blind man, can not read, view pictures, recognizing the environment and the difficulty of dealing with the speaker frontally so as to be not a good psychological state and rely on the help of others. There is no specific method to treat this syndrome, only by correcting the underlying disease and rehabilitation, as well as the reported the prognosis is also poor.

Keywords: Apraxia oculi, Balint’s syndrome, optic ataxia, simultanagnosia

ABSTRAK

Sindrom Balint adalah suatu kelainan neuropsikologi akibat kerusakan lobus parietal posterior bilateral. Kelainan ini dapat disebabkan oleh infark pada watershed area akibat stroke, trauma kepala, hipoksia, ensefalopati, penyakit alzheimer ataupun lesi serebral lainnya. Gambaran klinis sindrom ini terdiri dari simultanagnosia, ataksia optik dan apraksia okuli. Dapat juga disertai dengan gangguan lapangan pandang inferior dan hemineglect bilateral. Pasien pada sindrom Balint mengalami gangguan persepsi visual, kognisi dan visual memori. Dalam kehidupan sehari–hari pasien akan tampak seperti orang buta, tidak bisa membaca, melihat gambar, mengenali lingkungan, dan kesulitan untuk berhadapan dengan lawan bicara secara frontal, sehingga keadaan psikologinya menjadi tidak baik dan bergantung pada bantuan orang lain. Tidak ada suatu metode khusus untuk mengobati sindrom ini, hanya dengan memperbaiki penyakit yang mendasarinya dan melakukan rehabilitasi, serta dilaporkan prognosisnya juga buruk.

Kata kunci: Apraksia okuli, ataksia optik, simultanagnosia, sindrom Balint

(2)

mengenali bentuk objek dan terganggu bila melihat objek yang bergerak, sehingga tidak mampu untuk berinteraksi dengan keadaan sekelilingnya. Hal ini akan mempengaruhi fungsi keseharian dan kondisi psikologisnya.9,10 Mereka kesulitan untuk makan, mandi, berjalan, melihat dua benda dalam satu waktu, membedakan dua benda, hingga meraih dan memegang suatu objek. Oleh karena itu suatu usaha mengetahui gejala lebih awal dan rehabilitasi yang baik diharapkan mampu melaksanakan kegiatan harian dengan baik.

Sindrom ini sangat menarik untuk dibahas karena beberapa hal yaitu sindrom ini sulit untuk didiagnosa dengan pemeriksaan neuropsikologi standar, gejala yang muncul pada masing-masing individu berbeda, lokasi lesi yang dilaporkan kadang berbeda dengan kasus pertama sindrom Balint yaitu di parietal bilateral dan etiologinya sangat beragam. Sindrom ini masih jarang dilaporkan, oleh karena tiap kasus mempunyai gambaran kognitif dan neuropsikologi yang unik.8,11

PEMBAHASAN

Etiologi dari sindrom Balint meliputi cedera serebrovaskuler, trauma kepala, ensefalopati HIV, leukoensefalopati multifokal progresif, anoksia/ hipoksia, keracunan karbonmonoksida, atrofi kortikal posterior, dan penyakit Alzheimer. Stroke berulang yang mengenai kedua hemisfer otak dalam distribusi cabang parietal dan posterior arteri serebrimedia adalah penyebab umum lainnya, karena sambungan parietooksipital terletak dalam teritori antara arteri serebri media dan posterior. Patologi otak pada pasien dengan gejala sindroma Balint selalu memiliki kerusakan pada kortek parietooksipital inferior bilateral. Walaupun demikian, gejala ini juga dapat muncul pada kerusakan pada region lain atau jalur kortikal yang melibatkan korteks prefrontal atau pulvinar.12

Sindrom Balint disebabkan oleh lesi pada sambungan parietooksipital bilateral. Karakteristik lesi ini melibatkan daerah dorsorostral lobus oksipital (area Broadmann 19), atau pada girus angularis,

Gambar 2. Jalur Visual Dorsal dan Ventral.

Jalur oksipitofugal dorsal dari kolikulus superior dan pulvinar terus ke korteks visual melalui nukleus genikulatum lateral.16

Gambar 1. Gambaran Lateral Hemisfer Serebri Lokasi Lesi Pasien yang Dilaporkan oleh Balint padaTahun 1909.16,25

(3)

hingga girus supramarginal dan girus temporal superior. Girus supramarginal dan bagian posterior girus temporalis superior terkena pada hemisfer kanan, tetapi tidak pada hemisfer kiri. Lobulus parietal superior sedikit mengalami lesi baik pada hemisfer kiri maupun kanan. Lesi melibatkan sambungan parietooksipital dan bagian dari girus angularis dari kedua hemisfer otak, tetapi terpisah dari lobus temporal dan girus supramarginalis. Juga dilaporkan sebuah sindrom Balint lainnya yang menekankan keterlibatan lobus parietal posterior dan sambungan parietooksipital.7,13,14,15

Gambar 2 menunjukkan informasi visual diproses oleh otak manusia melalui beberapa tahap yang dilakukan secara hirarki. Mulai dari bagian V1 dimana objek terkecil yang sudah tidak bisa dibagi lagi (atomik) disimpan berupa edge/corner, selanjutnya akan masuk ke dalam V2 dalam bentuk gambaran terkelompok yang sudah memiliki bentuk objek (intermediate visual forms) dan terakhir akan masuk ke dalam lobus temporal inferior (IT). Pada bagian temporal inferior ini objek sudah dapat diidentifikasi bentuknya (high level object). 12

Pada Gambar 3 tampak bahwa jaringan saraf kortikal mengolah input visual untuk diubah menjadi

keluaran motor: substrat yang akan dipisahkan dan berinteraksi antara jalur ventral dan dorsal akan membawa informasi dari korteks visual primer (V1) ke korteks motor utama (M1). Jalur dorsal diberi warna hijau sedangkan jalur ventral berwarna merah, keduanya merupakan jalur efferen. Panah biru berasal dari area penerima input ventral dan dorsal baik langsung maupun tidak langsung. Proyeksi lanjut dan gabungan kedua input ini juga diberi warna biru. Meskipun korteks parietal posterior dan korteks temporal inferior menerima proyeksi tunggal langsung satu sama lain, namun bukan daerah penerima campuran. Sebaliknya, lobus frontal menerima proyeksi paralel input dorsal, ventral dan campuran.20

Simultanagnosia

Sebagian besar informasi visual yang berasal dari nukleus genikulatum lateral pada talamus melintas menuju korteks visual utama pada korteks oksipital yang dikenal dengan nama area V1. Area ini bertanggungjawab terhadap tahap pertama pengolahan informasi visual, area ini berperan pada penglihatan sadar. Jika kita memejamkan mata dan membayangkan sebuah peristiwa visual, terjadi peningkatan aktivitas pada area V1. Individu yang

Gambar 3. Ikhtisar Jalur Visual Motor

(AIP: Anterior intraparietal area, BS: brainstem, Cing: cingulate motor areas, d dorsal, FEF: frontal eye field, FST: floor of the superior temporal sulcus, Hipp: hippocampus, LIP: lateral intraparietal area, MIP: mesial intraparietal area, PIP: posterior intraparietal area, MST: medial superior temporal area, MT: mediotemporal area, PF: prefrontal cortex, PM: premotor cortex, SC: superior colliculus, SEF: supplementary eye field, SMA: supplementary motor area, STS: superior temporal sulcus, STP: superior temporal polysensory area, TE: temporal area, TEO: temporo-occipital area, v: ventral, VIP: ventral intraparietal area).

(4)

buta karena kerusakan mata akan terus mengalami mimpi visual jika korteks visualnya masih utuh. Individu yang mengalami kerusakan pada area V1 memperlihatkan fenomena penglihatan buta (blindsight).16,17,18 Setelah terjadi kerusakan pada area V1, cabang lain saraf optik menghantarkan informasi visual ke kolikulus superior (pada otak tengah) dan beberapa area lain, termasuk sebagian korteks serebri. Tetapi tidak semua pasien dengan kerusakan ini mengeluhkan buta karena ada beberapa area kecil yang sehat. Dapat disimpulkan untuk mempertahankan persepsi visual sadar diperlukan aktivitas tinggi area V1.18

Dari korteks visual utama kemudian informasi dikirimkan ke korteks visual sekunder (area V2) yang mengolah informasi lebih lanjut dan mentransmisikannya ke area lain. Area V1 akan mengirimkan informasi melalui dua jalur yang disebut dengan alirandorsal (oksipitooksipital) dan aliran ventral (oksipitotemporal). Aliran ventral ber-peran untuk identifikasi persepsi objek (perceptual

identification of objects), yang berupa bentuk, ukuran, warna, dan tekstur (object vision). Sedangkan aliran dorsal berperan untuk mengolah informasi spasial objek (spatial vision). Bagian dorsal inilah yang menyebabkan kita dapat melihat objek bergerak.

Melalui jalur ventral, informasi akan dilanjutkan masuk kedalam area V2, dan selanjutnya masuk kedalam area visual 4 (V4) dan berakhir pada bagian lobus temporal inferior (IT). Sedangkan melalui jalur dorsal, informasi akan dilanjutkan masuk ke dalam V2 dan masuk kedalam area dorsomedial dan temporal media (MT) area V5.17

Gambar 4. Tes Boston the Cookie Theft untuk

Menilai Kemampuan Melihat Gambar dalam Waktu Bersamaan (menilai adanya simultanagnosia)16

Ataksia Optik

Ataksia optik berarti ketidakmampuan untuk menggapai benda dibawah tuntunan visual sedangkan apraksi okuli adalah gangguan gerakan sakadik mata

untuk melihat suatu benda.19 Dalam konteks anatomi

aliran visual dari dorsal (oksipitoparietal) versus ventral (oksipitotemporal). Defisit visuomotor pada optik ataksia merupakan kelainan dari bagian dorsal. Di sisi lain, pasien dengan lesi kortek inferotemporal (aliran ventral) terganggu pada pengenalan objek (visual agnosia) namun tetap mampu mencapai dan memahami benda-benda tersebut walaupun tidak bisa menjelaskannya. Pola timbal balik gangguan pada ataksia optik dan agnosia visual merupakan gabungan gangguan disosiasi fungsional jalur visual dorsal (arah dan panduan) dan jalur visual ventral (persepsi). Pasien dengan ataksia optik murni dapat melakukan kegiatan sehari-hari, sedangkan pasien dengan visual agnosia sangat terganggu dalam melakukan kegiatan sehari-hari mereka.20,21

Gambar 5. Observasi Balint untuk Ataksia Optik

dengan Pemeriksaan Visual Berdasarkan Tuntunan dan Usaha Memegang Benda3

Ataksia optik dan agnosia visual dikatakan terlibat untuk terjadinya disosiasi ganda yang menimbulkan asimilasi perbedaan anatomi antara aliran visual ventral dan dorsal yang menimbulkan perbedaan fungsional antara persepsi dan aksi. Balint dan Holmes menggambarkan pasien dengan lesi luas di korteks parietal posterior yang menunjukkan pola kompleks gangguan, termasuk ketidakmampuan mencapai atau memahami objek visual.

Garcin dkk (1967) menyebutkan beberapa kondisi yang diperlukan untuk mendiagnosis ataksia

(5)

optik: (1) bidang visual harus terpisah dari area yang berhubungan dengan defisit visuomotor, (2) proprioseptif harus dipisahkan, (3) tidak terdapat deficit oculomotor dan defisit cerebellar. Interpretasi ataksia optik sebagai gangguan visuomotor diperkuat oleh studi oleh Vignetto (1980) serta studi Perenin dan Vighetto (1988) yaitu ataksia optik muncul sebagai penurunan modalitas spesifikasi dan diskriminasi verbal dengan lesi pada lobulus parietalis superior, sulkus intraparietal, dan lobus parietal inferior yang dikaitkan dengan gangguan aliran visual dorsal.21

Akibat adanya ataksia optik ini muncul gangguan dalam mengambil benda misreaching. Gambaran gejala misreaching (Gambar 5 dan 6), yaitu: a) pada kedua tangan terhadap area kontralateral lesi yang terdapat diskoneksi pada informasi visual dari hemisfer yang rusak menuju kedua area motorik (kontralateral dan ipsilateral); b) tangan kontralateral lesi terhadap area kontralateral lesi akibat diskoneksi pada informasi visual dari area motorik hemisfer yang rusak; c) tangan ipsilateral lesi terhadap area kontralateral lesi disebabkan diskoneksi pada informasi visual dari hemisfer yang rusak menuju area motorik pada hemisfer sebelahnya; d) kedua tangan pada kedua area penglihatan diskoneksi pada informasi visual dari kedua hemisfer menuju area motorik kedua hemisfer (kerusakan pasa persambungan parietooksipital bilateral).20,21

Gambar 6. Demontrasi Pemeriksaan Ataksia Optik

pada Pasien Sindrom Balint7

Apraksia Okuli

Proses okulomotor juga terganggu pada sindrom Balint, dengan gangguan utama pada fiksasi, inisiasi

sakadik dan akurasi, serta gerakan halus gerak bola mata. Pasien mungkin tidak dapat mempertahankan fiksasi, muncul gerakan mata sakadik acak, dan tidak mampu melakukan gerakan halus mata. Gangguan gerakan mata pada sindrom Balint ini terbatas pada gerakan mata terarah. Pasien dapat melakukan gerakan mata yang tepatapabila mereka dipandu oleh suara atau sentuhan.

Holmes dan Horax mengatakan bahwa gangguan okulomotor yang terlihat pada sindrom Balint yang merupakan akibat sekunder dari disorientasi spasial. Semua gejala ini merupakan sekunder dan tergantung pada hilangnya orientasi visuospasial. Ketika sebuah benda yang sedang ditatap dipindahkan lambat-lambat pasien masih bisa menjaga tatapannya, tetapi jika itu disentakkan atau dipindahkan tiba-tiba, tatapan itu cepat menghilang.7

Jadi, hipotesis dasar gejala sindrom Balint berdasarkan gangguan pada substrat anatomi mekanisme atensi yaitu: atensi visuospasial dan atensi temporal bergantung pada struktur jaringan di oksipital area 17,18, dan 19 (jalur ventral dan dorsal), koneksi dengan lobus parietal dan temporal (terutama lobus parietal inferior kanan), lapangan pandang frontal dan korteks pre-frontal; jalur ventral sangat penting untuk representasi bagian atas objek dan memori; kemampuan untuk persepsi objek pada tampilan visual serial dan cepat bergantung pada jalur dorsal (psikofisikal transient) dan koneksi parietalnya; kontrol eksekutif atensi antara objek visual dan tindakan bergantung pada korteks pre-frontal yang mempengaruhi jalur dorsal dan ventral untuk menentukan atas dan bawah benda.3

Implikasi Sindrom Balint pada Pemahaman Visual Kognisi

Sindrom Balint penting dipelajari untuk memahami proses saraf yang terlibat dalam proses mengendalikan atensi, memahami ruang, dan mem-berikan koherensi dan kontinuitas dalam melakukan proses visual yaitu, (1) atensi membuat pilihan untuk memahami objek dalam ruang, (2) mekanisme saraf independen bekerja dalam orientasiatensi paralel dalam dan antara objek, (3) objek menjadi pusat perhatian dilihat dengan lebih seksama, dan (4) atensi yang diberikan disadari penuh untuk arahan tindakan yang tepat dan terfokus.7,20,22

(6)

Apresiasi simultanagnosia pada sindrom Balint telah terbukti berpengaruh dalam membantu menyelesaikan salah satu kontroversi teoritis utama dalam penelitian visual atensi. Masalah disini adalah apakah visual atensi itu penting dalam menentukan lokasi atau objek. Michael Posner dkk (1980) menunjukkan bahwa mengalokasikan perhatian pada objek di bidang visual meningkatkan pengolahan sinyal visual yang muncul pada objek tersebut.7

Representasi atensi spasial ditentukan oleh benda atau “calon” benda, yang berasal dari berbagai kelompok gambaran pada penglihatan awal dan tidak terpusat pada ruang kosong pengamatan. Humphreys (1998) mengemukakan bahwa perhatian pada representasi spasial ditentukan oleh objek, dan terdapat mekanisme terpisah, yang bekerja secara paralel, untuk mengalihkan perhatian dalam objek dan antar objek. Mengalihkan perhatian dalam suatu objek berarti mengalihkan perhatian antara lokasi dalam objek.7

Interaksi representasi spasial dan objek dalam menentukan alokasi perhatian mengatakan bahwa kandidat objek ditentukan oleh proses preatentif dilanjutkan tanpa adanya kesadaran. Gangguan proses pengolahan informasi visual diluar kesadaran pada sindrom Balint, yaitu gangguan pada representasi rreatentif mengenai ruang, keragaman dan kesegarisan serta dalam memaknai kata-kata.7

Pada penderita sindrom Balint objek yang dilihat hanya satu dan dalam satu waktu, mereka tidak mampu megingat objek tersebut. Mereka tidak memiliki masa lalu atau masa depan. Setiap objek yang bergerak menghilang. Selain itu, benda yang terlihat pada saat itu dapat membingungkan bagi pasien, karena benda-benda lain tidak dapat dilihatnya. Untuk penderita sindrom Balint, semua lokasi yang sama, dan semua fitur yang memengaruhi kesadaran pasien yang perseptual bercampur pada objek tersebut.

Friedman-Hill dkk (1995) menunjukkan pada penderita Balint beberapa pasang huruf berwarna dan memintanya untuk melaporkan huruf yang ia lihat dan warnanya. Pasien melihat jumlah yang banyak, tetapi ia tidak melihat sebagai huruf berwarna. Mereka tidak mampu untuk melihat warna dan tidak mampu untuk menyebutkannya masing-masing. Dengan demikian, ada bukti implisit bahwa kata dan

warna berhubungan erat, dan penderita Balint tidak mampu menelaah gambaran ini.7

Diagnosis dan Tatalaksana

Penegakan diagnosis sindrom Balint berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan neuropsikologi, dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui lesi serebral akibat penyakit yang mendasarinya. Pada anamnesis ditanyakan keluhan dari trias sindrom Balint yaitu adanya simultanagnosia, ataksia optik, dan apraksia okuli. Pemeriksaan neuropsikologi untuk mengetahui defisit pada sindrom Balint meliputi tes untuk pemeriksaan motorik okular, kemampuan visuospasial, dan visuomotor, termasuk pemeriksaan kontruksional praksis, gestural praksis, dan menggapai benda dengan tuntunan visual. Juga dilakukan pemeriksaan orientasi, verbal dan memori kerja, bicara, dan bahasa (kontrol untuk melihat huruf, pemahaman, penamaan). Pemeriksaan tersebut meliputi: Wide Range Achievement Test, Wecshler Adult Intelegence Scale IV (WAIS IV), The Cookie Theft picture dari Boston Diagnostic Aphasia Examination (Gambar 4), menilai dua gambar pada satu waktu dan pemeriksaan gangguan menggapai benda “misreaching”.3,16,23

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui kelainan di otak yang menjadi dasar sindrom ini yaitu pemeriksaan Brain CT scan dan MRI untuk melihat injuri serebral yang terjadi pada gangguan vaskuler, trauma, infeksi dan penyakit degenerative. Dapat juga dilakukan pemeriksaan PET untuk melihat hipometabolisme pada kedua lobus parietal.3 Sindrom Hemineglect, sindrom Gerstmann, sindrom Anton, dan ataksia tabetik neurosifilis digunakan sebagai diagnosis banding.7,15,24

Terapi sindrom ini sangat tidak spesifik, karena harus berawal dari penyakit yang mendasarinya, sehingga diharapkan manifestasi klinis yang timbul dapat hilang.25 Terdapat tiga pendekatan usaha rehabilitasi defisit perseptual pada sindrom ini, yaitu: pendekatan adaptif (fungsional), pendekatan pengulangan dengan pelatihan keterampilan persepsi aktivitas sehari-hari dan pendekatan multikonteks melibatkan strategi latihan dalam lingkungan beragam dengan variasi tugas dan gerakan yang disadari.24,25

Prognosis yang dimiliki akan sangat tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan sindroma ini terjadi, namun biasanya dikarenakan pasien

(7)

sudah dalam stadium lanjut waktu memeriksakan penyakitnya, prognosis biasanya buruk.4,15

KESIMPULAN

Sindrom Balint merupakan suatu kelainan fungsi visual kortikal tinggi yang timbul akibat kerusakan pada lobus parietal posterior bilateral. Gambaran klinisnya adalah simultanagnosia, ataksia optik, dan apraksia okuli. Penegakan diagnosis melalui anamnesis gambaran klinis, pemeriksaan neurooftalmologi, dan fungsi luhur serta pemeriksaan penunjang untuk mengetahui adanya lesi otak bilateral. Tatalaksana disesuaikan dengan penyebab utama kelainan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dalrymple KA, Bischof WF, Cameron D, Barton JJ, Kingston A. Simulating simultanagnosia: spatially constricted vision mimics local capture and the global

processing deficit. Exp Brain Res.

2010;202(2):445-55.

2. Mc Monagle P, Kertest A. Cognition in corticobasal degeneration and progressive supranuclear palsy. Dalam: Miller BL, Broove BF, editor. In the behavioral neurology of dementia. Cambridge:Cambridge University Press; 2009. hlm. 294-310.

3. Rizzo M, SP Vecera. Psychoanatomical substrates of Balint’s syndrome. Nosological entities? J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2002;72(2):162-78.

4. Liu GT, Newman NJ. Cranial nerve II and afferent visual pathway. Dalam: Goetz CG, Pappert EJ, editor. Textbook of clinical Neurology. Edisi ke-2. Philadelpia: Elsevier; 2003.

5. Mendez MF. Corticobasal ganglionic degeneration with Balint’s syndrome. J Neuropsychiatry Clin Neurosci. 2000;12(2):273-5.

6. Gillen JA, Dutton GN. Balint’s syndrome in a 10-year-old male. Developmental Medicine and child neurology. 2003;45:349-52.

7. Rafal R. Balint’s syndrome: a disorder of visual cognition. Dalam: D’Esposito M, editor. Neurological Foundations of Cognitive Neuroscience. London: The MIT Press Cambridge. 2003. hlm. 27-38.

8. Salazar LRM, Miranda WGC, Meza ZAC, Miranda

HRA, Churio NZ, Cerra GA, dkk. Post-traumatic

Balint’s syndrome: a case report and review the literature. Bull Emer Trauma. 2016;4(2):113-5. 9. Kalat JW. Biopsikologi. Edisi ke-9. Jakarta. Penerbit

Salemba Humanika; 2010.

10. Al Khawaja I, Haboubi NHJ. Neurovisual rehabilitation in Balint’s syndrome. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2001;70(3):416.

11. Chechlacz M, Humpreys GW. The enigma of Balint’s syndrome: neural substrates and cognitive deficits.

Front Hum Neurosci. 2014;8(123).

12. Zgaljardic DJ, Sybil Yancy, Levinson J, Morales G,

Masel BE. Balint’s syndrome and post-acute brain injury rehabilitation: a case report. Brain injury. 2011;25(9):909-17.

13. Baehr M, Frotscher M. Duus topical diagnosis in neurology. Anatomy, physiology, signs, symptoms. Edisi ke-5. New York: Thieme Stuttgart; 2005. 14. Chechlacz M, Rotshtein P, Hansen PC, Riddoch JM,

Deb S, Humphreys GW. The neural underpinings of simultanagnosia: disconnecting the visuospatial attention network. Journal of cognitive neuroscience. 2011;24(3):718-35.

15. Goodale MA, Milner David. Separate visual pathways for perception and action. Trends Neurosci. 1992;15(1):20-5.

16. Girkin CA, Miller NR. Central disorders of vision in humans. Surv Ophthalmol. 2001;45 (5):379-405. 17. Filley CM. Neurobehavioral anatomy. Edisi ke-3.

Colorado. University Press of Colorado; 2011. 18. Battaglia-Mayer A, Caminiti R. Optic ataxia as

aresult of the breakdown of the global tuning fields of

parietal neurones. Brain. 2002;125(Pt2):225-37. 19. Andersen RA, Andersen KN, Hwang EJ, Hauschild

M. Optic ataxia: from Balint’s syndrome to the parietal reach region. Neuron. 2014;81(5):967-83. 20. Rosetti Y, Pisella L, Vignetto A. Optic ataxia revisited:

visually guided action versus immediate visuomotor control. Exp Brain Res. 2003;153(2):171-9.

21. Robertson L, Treisman A, Friedman-Hill S, Grabowecky M. The interaction of spatial and object pathways: evidence from Balint’s syndrome. J Cogn Neurosci. 1997;9(3):295-317.

22. Jackson GM, Swainson R, Mort D, Husain M, Jackson SR. Attention, competition, and the parietal lobes: insights from Balint’s syndrome. Psychol Res. 2009;73(2):263-70.

23. Vallar G. Spatial neglect, Balint-Holmes’ and Gerstmann’s syndrome, and other spatial disorders. CNS Spect. 2007;12(7):527-36.

24. Kerkhoff G. Neurovisual rehabilitation: recent developments and future direction. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2000;68(6):691-706.

25. Riessenhuber M, Poggio TA. How visual cortex recognizes object: The tale of the standard model (short title: Computational Object Vision). The Visual Neurosciences; 2002.

26. Roselli M, Ardila A, Beltran C. Rehabilitation of Balint’s syndrome: a single case report. Appl Neuropsychol. 2001;8(4):242-7.

Gambar

Gambar 1. Gambaran Lateral Hemisfer Serebri Lokasi Lesi Pasien  yang Dilaporkan oleh Balint padaTahun 1909
Gambar 2 menunjukkan informasi visual  diproses oleh otak manusia melalui beberapa tahap  yang dilakukan secara hirarki
Gambar 4. Tes Boston the Cookie Theft untuk  Menilai Kemampuan Melihat Gambar dalam Waktu
Gambar 6. Demontrasi Pemeriksaan Ataksia Optik  pada Pasien Sindrom Balint 7

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan secara jarak jauh, hal ini dikarenakan, adanya fitur moodle dalam bukunya Imaroh 11 mengatakan fitur-fitur lain yang terdapat dalam moodle adalah: [1]

Jika jaringan tujuan tidak terhubung langsung di badan router, Router harus mempelajari rute terhubung langsung di badan router, Router harus mempelajari rute terbaik yang

Sesuai namanya, kategori Information Display merupakan penyebutan bagi produk elektronik media penampil (display) yang dibuat khusus bagi kebutuhan pelaku usaha untuk

Pada skenario ini akan dianggap terjadinya kondisi cuaca buruk tersebut terjadi selama satu bulan dalam setahun sehingga kemungkinan terjadinya adalah 8,33%

Bentuk bentuk atap (kecuali : Peta lokasi objek amatan di desa Sepakung dan sekitarnya.. Pramono yang hanya diatapi 1 bentuk), bagian depan atap kampung dengan sosoran

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa penggunaan obat hipertensi pada pasien rawat jalan, berdasarkan jumlah item jenis obat hipertensi yang paling banyak diresepkan yaitu

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAI KONSEP BILANGAN MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Selanjutnya setelah dilakukan refleksi terhadap siklus I, guna mengevaluasi pembelajaran dan menyusun solusi terhadap kendala selama siklus I maka diketahui