• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN DISKUSI DIKLAT 8 JAM PERHITUNGAN JADWAL SHALAT DAN ARAH KIBLAT PC PEMUDA MUHAMMADIYAH GOMBONG GOMBONG, 24 MEI 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CATATAN DISKUSI DIKLAT 8 JAM PERHITUNGAN JADWAL SHALAT DAN ARAH KIBLAT PC PEMUDA MUHAMMADIYAH GOMBONG GOMBONG, 24 MEI 2009"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

CATATAN DISKUSI

DIKLAT 8 JAM

PERHITUNGAN JADWAL SHALAT DAN ARAH KIBLAT

PC PEMUDA MUHAMMADIYAH GOMBONG

GOMBONG, 24 MEI 2009

Disusun oleh : M. Ma’rufin S

(Trainer) 1. Pertanyaan :

Mengapa hasil hisab Muhammadiyah dengan hasil rukyat yang dilakukan pemerintah dan ormas lain berbeda?

Jawaban :

Hisab itu perhitungan, sementara rukyat itu observasi atau pengamatan. Secara filosofis hasil hisab akan persis sama dengan hasil rukyat. Karena hisab merupakan perhitungan berdasarkan serangkaian persamaan (yang disebut algoritma) yang didasarkan dari hasil rukyat. Sehingga jika misalnya pada hari Minggu 24 Mei 2009 ini dilakukan hisab posisi Matahari dan ketemu tingginya 60o pada misalnya jam 11:00 WIB, maka jika dirukyat pada jam 11:00 WIB nanti tinggi Matahari pun tepat 60o. Demikian juga untuk posisi Bulan. Kondisi ini bisa terjadi karena Bulan baik di masa lalu maupun di masa depan telah dapat diprediksikan dengan demikian teliti sebagai hasil pengamatan Bulan secara terus–menerus selama 20 abad terakhir, khususnya setelah program pendaratan manusia di Bulan.

Persoalannya, awal bulan Qomariyyah didasarkan pada munculnya/terlihatnya hilaal. Sementara terlihatnya (visibilitas) hilaal ternyata bergantung kepada 3 faktor :

¾ posisi Bulan dan Matahari,

¾ dinamika atmosfer Bumi, dan

¾ alat optik yang digunakan untuk mengamati.

Ini menghasilkan kompleksitas tersendiri, sebab jika posisi Bulan misalnya dalam bentuk jarak Bumi–Bulan telah dapat diprediksikan dengan sangat teliti sehingga kemungkinan melesetnya hanya 15 cm atau 3,9 . 10–8 % saja, maka ilmu pengetahuan terkini baru bisa memprediksikan visibilitas hilaal dengan kemungkinan meleset sebesar 25 %. Sebagai konsekuensinya jika ada dua pengamat yang berada di khatulistiwa dan masing–masing terpisah sejauh 2.450 km dalam arah Barat–Timur (atau sebesar 22o bujur) dan keduanya mengaku melihat hilaal, maka kesaksikan mereka belum bisa diterima (secara ilmiah) karena mereka berdua masih ada di wilayah zona ketidakpastian/kemelesetan visibilitas. Padahal jarak 2.450 km itu setara dengan separuh wilayah Indonesia !

Dengan di satu sisi hasil ilmu pengetahuan baru bisa memprediksikan visibilitas hilaal dengan tingkat kemelesetan 25 % sementara di sisi lain Hukum Islam (fiqh) membutuhkan patokan yang pasti (baca : angka) untuk menentukan pergantian bulan Qomariyyah, maka implikasinya kemudian muncul banyak pendapat tentang kriteria visibilitas, yakni batas terendah yang diperlukan agar hilaal sudah teramati (baik dengan mata telanjang maupun alat optik seperti teleskop dan binokuler). Adanya perbedaan di antara Umat Islam mengenai awal bulan Qomariyyah pada saat ini (sebagian besar) lebih disebabkan oleh tiadanya kriteria visibilitas yang disepakati bersama.

Muhammadiyah misalnya, memilih metode hisab dengan bersandar pada kriteria wujudul hilaal. Dalam kriteria ini awal bulan terjadi pada saat Matahari terbenam lebih dulu dibanding Bulan, meskipun selisih terbenam di antara keduanya hanya 2 menit. Dalam bahasa astronomis, Muhammadiyah menggunakan tinggi hilaal minimum 0,5o. Sementara pemerintah dan ormas Islam lain menggunakan metode rukyat dan mendasarkan diri pada kriteria MABIMS/Imkan Rukyat dimana awal bulan terjadi ketika tinggi hilaal minimal 2o saat Matahari terbenam. Konsekuensinya jika ada laporan tentang terlihatnya hilaal minimal dari 3 tempat yang berbeda dan setelah dicek dengan hasil perhitungan menunjukkan tinggi hilaal di tiap tempat lebih dari 2o, maka awal bulan diputuskan sudah terjadi.

(2)

Jadi Muhammadiyah menggunakan angka 0,5o sementara pemerintah menggunakan 2o dan ini belum dicapai titik temunya, meski masing–masing pihak saat ini sudah duduk bersama dalam tim guna merumuskan kriteria visibilitas yang bisa diterima baik oleh Muhammadiyah maupun ormas Islam lainnya.

Masing–masing ada keunggulan dan kelemahannya. Muhammadiyah menggunakan metode hisab sejak dekade 1970–an, karena metode ini menghasilkan prediksi lebih pasti sehingga awal bulan Qomariyyah bisa diputuskan jauh hari sebelumnya tanpa menunggu detik–detik terakhir. KH Muzni, salah satu tokoh sepuh Muhammadiyah Kebumen, pernah menceritakan kalau pada dekade 1970–an itu kerap terjadi informasi mengenai terlihatnya hilaal di suatu tempat datang sangat terlambat, sehingga pernah shalat Ied baru dilaksanakan pada jam 14:00 WIB dan ini membawa implikasi lain terkait sosiologis masyarakat dan fiqh. Demikian juga pada dekade 1990–an pernah terlihatnya hilaal baru diterima takmir masjid pada jam 02:00 dinihari membuat jamaah ‘terpecah’ sehingga hanya sebagian yang melaksanakan shalat Ied pada pagi itu sementara sisanya shalat Ied pada hari berikutnya di masjid lain. Namun kriteria wujudul hilaal yang digunakan mengandung kelemahan karena sejauh ini tidak ada pembuktiannya, alias masih berupa hipotesis. Data hasil pengamatan hilaal selama 2.000 tahun terakhir justru menunjukkan (dengan tingkat kemelesetan 25 % itu) bahwaelongasi/jarak minimum hilaal dari Matahari agar bisa terlihat adalah 7o.

Sementara metode rukyat memiliki kelebihan tersendiri karena mencoba melihat langsung akan hilaal dengan mata. Namun kelemahannya, sebagian besar pengamat/perukyat yang ada pada saat ini melaksanakan rukyat tidak berdasarkan pada standar pengamatan benda langit yang baku dalam dunia astronomi dan data–data yang dihasilkannya pun tidak lengkap (incomplete). Perukyat juga sering terkecoh oleh adanya obyek terang di langit barat, baik obyek terang latar depan seperti cahaya mercusuar, cahaya menara selular, lampu nelayan hingga pantulan sinar Matahari oleh awan unik maupun obyek terang latar belakang seperti keberadaan planet Venus, Merkurius, Mars dan Jupiter. Obyek–obyek tersebut acapkali dianggap sebagai hilaal terutama oleh perukyat yang mengandalkan mata telanjang (mata tanpa alat optik) semata. Sehingga ada kondisi yang sulit dipahami, ketika misalnya satu tim yang menggunakan teleskop yang berkemampuan melacak posisi hilaal secara otomatis (tracking) serta dilengkapi kamera pencitra sensitif sehingga kemampuannya jauh melebihi mata manusia tidak mampu mendeteksi hilaal, namun sebaliknya ada tim yang hanya menggunakan mata telanjang mengaku berhasil melihat hilaal. Kondisi macam ini pula yang membuat Muhammadiyah beranggapan bahwa kriteria MABIMS/Imkan Rukyat (yang didasarkan pada metode rukyat semacam itu) tidaklah ilmiah.

Jadi disitulah letak perbedaan Muhammadiyah dengan pemerintah dan ormas lainnya, semata hanya pada kriteria visibilitas. Dan itu yang sedang dirumuskan ulang oleh satu tim yang dibentuk guna mencari formulasi tentang kriteria visibilitas terpadu/tunggal yang bisa diterima semua kalangan, khususnya di Indonesia. Kita berharap kerja tim ini sudah akan usai menjelang 2011, mengingat hingga 2011 mendatang secara teoritik tidak ada perbedaan dalam melaksanakan Idul Fitri antara Muhammadiyah dengan yang lain.

2. Pertanyaan :

Jadwal Shalat dalam kalender untuk wilayah Kebumen dan Gombong apakah berbeda? Jawaban :

Secara hakiki tentu saja berbeda. Kota Kebumen terletak di bujur 109o 40’ BT sementara kota Gombong di bujur 109o 31’ BT sehingga ada selisih bujur sebanyak 9 menit busur atau 9/60 = 0,15o. Selisih bujur 1o = beda waktu 4 menit, sehingga selisih waktu hakiki antara Gombong dan Kebumen = 0,15 x 4 = 0,6 menit = 36 detik, dimana waktu di Kebumen lebih cepat.

Namun menyusun jadwal shalat untuk sebuah wilayah administratif (seperti kabupaten) dengan cara hakiki seperti itu, dimana setiap titik mempunyai jadwalnya masing–masing, secara teknis merepotkan. Terlebih mengingat jadwal shalat biasanya dipublikasikan, entah di kalender, di radio/televisi, ataupun di surat kabar dan internet. Persoalannya yang kemudian muncul adalah jadwal mana yang digunakan? Sementara radius siaran media elektronik ataupun jangkauan pemasaran media cetak (termasuk kalender) telah melampaui batas–batas setiap titik. Selain itu juga harus diperhitungkan implikasi penyusunan jadwal shalat secara

(3)

hakiki tersebut ke masyarakat luas, yang memiliki tingkat intelegensi heterogen. Ini akan mendatangkan kesulitan tersendiri dan bukan tidak mungkin memiliki potensi merusak meskipun niatnya demi kebaikan. Kaidah ushul fiqh mengajarkan bahwa “mencegah kerusakan adalah lebih baik daripada berbuat kebaikan.”

Atas dasar tersebut maka muncullah ihtiyaat, yakni suatu konsep pengaman waktu shalat yang berlaku untuk semua tempat yang berada dalam satu kesatuan wilayah administratif. Dengan demikian maka Jadwal Shalat di kota Kebumen tidak akan berbeda dengan kota Gombong di sebelah barat maupun Prembun di sebelah timur. Bahkan tidak ada perbedaan antara titik terbarat di Kab. Kebumen, yakni pantai Logending di Kec. Ayah, dengan titik paling timur yang berada di Kec. Mirit.

Ihtiyaat dihitung berdasarkan selisih bujur antara titik paling barat dan titik paling timur di suatu wilayah administratif. Selisih bujur ini kemudian dikonversi menjadi waktu dengan mengalikan 4. Bisa juga dihitung dengan berdasarkan jarak. Karena selisih bujur 1o = selisih waktu 4 menit, maka selisih waktu 1 menit = ¼ o. Di daerah tropis, selisih 1o = selisih jarak 111 km. Sehingga selisih waktu 1 menit = ¼ x 111 = 27,75 km. Sehingga setiap pertambahan jarak sebesar 27,75 km maka terdapat selisih waktu 1 menit. Nah Kab. Kebumen ini dari titik terbarat hingga titik tertimurnya memiliki panjang 57 km, jika berdasarkan buku Kebumen dalam Angka 2008 yang diterbitkan BPS Kebumen. Sehingga dengan demikian ada selisih waktu = 57/27,75 = 2,05 menit yang dibulatkan menjadi 2 menit. Inilah pengaman waktu

(ihtiyaat) untuk Kab. Kebumen. Maka dalam menyusun Jadwal Shalat untuk Kebumen,

cukup kita menghitung di salah satu tempat saja (disini lebih sering diambil titik acuan kota Kebumen), untuk kemudian masing–masing ditambahkan dengan ihtiyaat 2 menit, terkecuali waktu terbitnya Matahari (sunrise) yang harus dikurangi 2 menit. Karena Jadwal Shalat dihitung di kota Kebumen, maka dengan ihtiyaat 2 menit sebenarnya Jadwal Shalat tersebut berlaku dari 55,5 km di sebelah timur kota Kebumen (yakni kota Purworejo bagian timur, yang masuk ke Kab. Purworejo) hingga 55,5 km di sebelah barat kota Kebumen (yakni sebagian wilayah Kab. Cilacap dan Banyumas).

Kesulitan untuk membayangkan konsep ihtiyaat ini? Kita bisa menganalogikannya dengan konsep pembagian zona waktu. Seperti zona waktu WIB misalnya. Mari kita lihat Jakarta dan Surabaya. Jakarta berada di bujur 106o BT sementara Surabaya di 112o BT, sehingga terdapat selisih bujur 6o yang setara dengan selisih waktu 24 menit. Dengan perbedaan ini, maka secara hakiki jika di Surabaya sedang jam 12:00 maka di Jakarta seharusnya baru jam 11:36. Namun selisih waktu seperti ini akan berimplikasi serius terhadap tata administrasi pemerintahan, bisnis dan sosiologis masyarakat. Sehingga dengan konsep zona waktu WIB maka jika di Surabaya sedang jam 12:00 WIB, di Jakarta pun sedang jam 12:00 WIB. Ihtiyaat pun semacam itu, jadi ihtiyaat bisa dianggap sebagai “zona waktu” dalam skala mikro, yang dikhususkan untuk waktu shalat.

Jadi kesimpulannya tidak ada perbedaan antara waktu shalat kota Gombong dengan kota Kebumen.

3. Pertanyaan :

Mohon penjelasan waktu Rasydul Qiblat 27 Juli dalam GMT Jawaban :

Ada yang perlu diluruskan terlebih dulu di sini. Memang ada satu saat dimana posisi Matahari tepat berada di atas Ka’bah. Dalam bahasa astronomisnya, Matahari sedang berada di atas Ka’bah karena deklinasinya bernilai +21o 25’ atau tepat sama dengan lintang Ka’bah (yakni +21o 25’). Dalam bahasa pesantren peristiwa ini disebut Istiwa’ Utama/Istiwa’ Azzam atau Zawal ataupun Rasydul Qiblat (belakangan istilah terakhir yang lebih populer).

Namun Istiwa’ Utama tidak terjadi pada tanggal 27 Juli. Istiwa’ Utama selalu terjadi pada tanggal 27 Mei (untuk tahun basitah/biasa) atau 26 Mei (untuk tahun kabisat) pukul 16:17 WIB. Dan Istiwa’ Utama akan berulang kembali pada tanggal 16 Juli (untuk tahun basitah/biasa) atau 15 Juli (untuk tahun kabisat) pukul 16:27 WIB. Peristiwa ini secara umum digunakan untuk mengukur arah kiblat suatu tempat tanpa harus melakukan perhitungan.

Matahari adalah sebuah bola bercahaya homogen yang memiliki diameter nampak (apparent diameter) 0,5o dilihat dari Bumi. Sebagai konsekuensinya maka pengukuran arah apapun (termasuk Arah Kiblat) yang menggunakan Matahari sebagai patokannya

(4)

mengandung kemelesetan sebesar 0,5o. Dan apparent radius Matahari = 0,25o = selisih waktu 1 menit maka beda waktu + 1 menit masih bisa diterima. Sehingga Istiwa’ Utama terjadi pada 26–28 Mei (untuk tahun basitah/biasa) atau 25–27 Mei (untuk tahun kabisat) pukul 16:16– 16:18 WIB serta tanggal 15–17 Juli (untuk tahun basitah/biasa) atau 14–16 Juli (untuk tahun kabisat) pukul 16:26–16:28 WIB.

Rasydul Qiblat sebenarnya tidak harus menunggu kesempatan bulan Mei dan Juli saja, sebab jika kelamaan bisa saja panitia mesjidnya bubar duluan. Dengan spreadsheet Kalkulator Qiblat, kita bisa mengetahui pada tanggal tertentu kapan Matahari akan tepat di Arah Kiblat dan kapan Matahari tepat tegak lurus dari Arah Kiblat. Sehingga penentuan Arah Kiblat akan terlaksana pada kapan saja sepanjang Matahari sedang terlihat.

4. Pertanyaan :

Bagaimana keberlakuan jadwal shalat sepanjang masa atau jadwal abadi mengingat pernah ada penjelasan (dalam forum lain) bahwa jadwal abadi tidak boleh digunakan karena kedudukan Matahari dari tahun ke tahun selalu berubah–ubah?

Jawaban :

Kedudukan atau posisi Matahari dalam tata koordinat benda langit dinyatakan berdasarkan posisi lintang langit (deklinasi atau δ) dan bujur langitnya (Ascensio Recta atau RA). Nah dari tahun ke tahun secara hakiki δ dan RA Matahari memang selalu berubah, namun laju perubahan itu ordenya cukup kecil. Sehingga jika perubahan tersebut kemudian dikonversikan ke dalam waktu sipil (yakni waktu yang kita pakai di Bumi sehari–hari), selisihnya dari tahun ke tahun cukup kecil. Ilustrasinya bisa dilihat pada gambar di bawah ini, yang membandingkan waktu Dhuhur sepanjang tahun untuk tahun 2010, 2011, 2012 dan 2013 terhadap tahun 2009. Nampak jelas bahwa selisih waktunya berkisar dari –20 detik hingga +10 detik. Dhuhur -40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Hari S e lis ih wak tu (d et ik ) N+1 N+2 N+3 N+4 Mean Gambar 1

Kurva waktu Dhuhur sepanjang tahun selama 4 tahun ke depan untuk N = 2009.

Jika kita menyusun Jadwal Shalat dengan ketelitian hingga satuan detik, maka memang benar bahwa Jadwal Shalat dari tahun ke tahun selalu berubah. Namun dalam realitanya Jadwal Shalat selalu disusun dengan ketelitian hanya sampai satuan menit saja karena praktisnya memang begitu. Nah jika dikonversikan ke dalam satuan menit, selisih waktu sebesar –20 detik hingga +10 detik belum bisa dibulatkan menjadi –1 menit hingga +1 menit bukan? Keduanya hanya bisa dibulatkan ke nol menit.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa jika Jadwal Shalat disusun dengan ketelitian hanya sampai satuan menit, maka tidak ada perbedaan dari tahun ke tahun, sehingga bisa dikatakan sebagai Jadwal Shalat sepanjang masa atau Jadwal Shalat abadi.

Sebagai tambahan, meski δ dan RA Matahari berbeda dari tahun ke tahun, namun setiap 4 tahun sekali terdapat siklus/perulangan, sehingga δ dan RA Matahari untuk tahun 2009

(5)

misalnya, akan sama dengan δ dan RA Matahari untuk tahun 2013. Implikasinya jika dikonversikan ke dalam waktu sipil maka selisihnya amat sangat kecil sehingga mendekati nol detik dan bisa diabaikan, seperti nampak pada gambar berikut ini.

Dhuhur -40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 Hari S e li s ih w a k tu ( det ik ) Gambar 1

Perbandingan waktu Dhuhur tahun 2013, 2017 dan 2021terhadap waktu Dhuhur tahun 2009. Nampak bahwa selisihnya sangat kecil sehingga bisa dianggap identik.

5. Pertanyaan :

Lintang Gombong = 7o 36’ 36” LS dan Bujur Gombong = 109o 31’ 06” BT ini bagaimana

cara menghitungnya dan berasal darimana ? Jawaban :

Lintang dan bujur Gombong itu menunjukkan posisi kota Gombong di permukaan Bumi.

Nah cara menghitungnya bagaimana? Secara filosofis angka lintang 7o 36’ 36” LS itu ditarik

dari garis khatulistiwa (yang melintasi Pontianak itu) ke arah selatan. Pergeseran 1o di

permukaan Bumi itu setara dengan pergeseran jarak 111 km, sehingga lintang 7o 36’ 36” LS

itu menunjukkan garis lintang yang ditarik sejauh 844,7 km ke selatan dari khatulistiwa.

Sama halnya, angka bujur 109o 31’ 06” BT ditarik dari garis bujur 0o (yang melintasi kota

Greenwich di Inggris itu) ke timur sejauh 12.156,5 km.

Hanya saja, untuk mengetahui posisi lintang bujur suatu tempat, kita tak perlu melakukan langkah seperti itu. Cukup buka peta/atlas, tentukan lokasinya dan kemudian lihat saja garis lintang dan bujur yang melintasinya. Jika ternyata tidak ada garis lintang/bujur yang tepat melewati tempat tersebut, bisa dilakukan interpolasi (peramalan pendekatan) dengan berdasar pada dua garis lintang/bujur yang sebelah menyebelah tempat tersebut. Kalau cara yang lebih praktis lagi, terutama di era internet ini, cukup buka situs seperti Wikimapia

(http://www.wikimapia.org) kemudian ketikkan nama tempat yang hendak dicari, atau buka

Google Map (http://map.google.com) dan arahkan saja kursornya (panahnya) ke tempat yang

ingin kita ketahui posisinya dan tinggal dibaca berapa angka lintang bujurnya. Kalau mau yang lebih spesifik lagi bisa nginstall software khusus seperti Google Earth, yang bisa didownload secara gratis dari Google, dan kemudian tinggal dicari lokasi yang kita kehendaki. Semua yang tersebut di atas menggunakan peta berbasis foto satelit, yang diambil dalam kurun waktu 2–3 tahun terakhir, sehingga jika resolusinya cukup tinggi maka ada kesempatan untuk melihat rumah tempat tinggal kita.

Koordinat Gombong yang saya gunakan, yakni 7o 36’ 36” LS 109o 31’ 06” BT, itu pun

sebenarnya merupakan koordinat kompleks Perguruan Muhammadiyah Gombong tempat kita sedang berdiklat siang hari ini. Hanya saja, foto satelit beresolusi tinggi baru meng–cover sebagian wilayah Kabupaten Kebumen saja, termasuk sebagian kota Gombong. Sehingga tempat–tempat penting seperti kompleks RS PKU Muhammadiyah, justru nggak ter–cover, demikian juga kompleks alun–alun Kebumen.

Sebagai tambahan, posisi lintang bujur merupakan identitas suatui tempat dan itu tak akan sama dengan tempat lain meskipun nama kedua tempat itu mungkin saja sama. Misalnya saja nama Kebumen. Itu bisa kita temukan sebagai nama kota Kebumen, ataupun nama desa Kebumen di dekat semarang, ataupun nama satu jalan di dekat Kraton Kasepuhan Cirebon. Demikian juga Gombong, bisa ditemukan ada di sini, juga ada Gombong di dekat Tegal.

(6)

Namun jika kita menggunakan koordinat lintang bujur 7o 36’ 36” LS 109o 31’ 06” BT maka bisa dijamin 100 % bahwa itu adalah kota Gombong yang ada di wilayah Kab. Kebumen. 6. Pertanyaan :

Bagaimana penggunaan jam Matahari atau jam istiwa’ untuk waktu shalat ? Jawaban :

Jam Matahari itu istilah lainnya sundial atau bencet. Di Kebumen jam ini salah satunya ada di di depan Masjid Agung Kauman Kebumen, yang mau direnovasi serambinya itu. Ini jam yang bekerja berdasarkan posisi Matahari dan waktu yang ditunjukkannya dikenal sebagai Waktu Matahari (WM) atau Waktu Istiwa’ Setempat (WIS). Ini sedikit berbeda dengan waktu sipil yang kita gunakan, yakni waktu Indonesia Barat (WIB). Berapa perbedaannya? Untuk Kab. Kebumen, kita gunakan saja bujur kota Kebumen (λKebumen = 109o 40’ BT) yang kemudian dibandingkan dengan bujur acuan WIB (λWIB = 105o BT). Kita hitung selisihnya dengan rumus (λWIB–λKebumen)/15 dan diperoleh –0,311 jam atau –18 menit 40 detik. Tanda minus menunjukkan Waktu Matahari di Kebumen lebih cepat ketimbang waktu WIB. Sehingga misalnya saat ini jam 12:00 WIS maka sebenarnya dalam waktu sipil baru jam 11:41:20 WIB.

Nah karena Jadwal Shalat juga sepenuhnya berdasar pada posisi Matahari, maka waktu shalat pun bisa berdasar ke Jam Matahari, terutama yang terpenting adalah menentukan saat transit. Apa itu transit (kulminasi atas) Matahari? Secara filosofis ini adalah posisi Matahari dimana pusat cakram Matahari tepat berada di atas garis bujur suatu tempat, atau dengan kata lain bayang–bayang Matahari tepat mengarah ke Utara–Selatan sejati (bukan Utara–Selatan magnetis). Nah jam Matahari biasanya sudah diset supaya tepat mengarah ke Utara–Selatan sejati, sehingga ketika bayang–bayang sinar Matahari tepat mulai bergeser dari arah Utara– Selatan sejati, itulah waktu yang tepat untuk mulai melaksanakan Azan Dhuhur. Waktu transit Matahari ini sangat penting, karena semua waktu shalat dihitung merujuk kepada waktu transit.

Waktu transit ini bisa dihitung, namun ini ada namunnya. Kita harus memperhitungkan dulu equation of time atau perata waktunya. Equation of time ini berubah dari hari ke hari, namun siklusnya selalu tetap, seperti ditunjukkan dalam gambar berikut ini :

-20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325 350 Hari E quat io n of T ime ( men it)

Nah equation of time ini memiliki harga dari –15 menit 36 detik hingga +17 menit 27 detik. Equation of time berguna untuk koreksi waktu tambahan antara waktu Matahari dengan waktu sipil. Sehingga dengan harga tersebut, untuk Kab. Kebumen, Matahari akan menjalani transit pada rentang waktu 11:41:20–(00:17:27) = 11:23:33 WIB hingga 11:41:20–(– 00:15:36) = 11:56:56 WIB.

(7)

EoT (menit) = 9,87 sin 2B–7,53 cos B–1,5 sin B

Dengan B = (360/364) x (N–81) dimana N = jumlah hari sejak tanggal 1 Januari tahun tersebut. Rumus ini berlaku baik untuk tahun basitah maupun kabisat. Untuk hari ini misalnya, 24 Mei 2009 memiliki N = 144 dan hasil hitungan EoT = +3,295 menit atau 3 menit 18 detik. Sehingga pada hari ini di Gombong transit Matahari akan terjadi pada jam 11:41:20–00:03:18 = 11:38:02 WIB atau dibulatkan menjadi 11:38 WIB.

7. Pertanyaan :

Pada saat Matahari sedang tergelincir, Rasulullah SAW bersabda tidak boleh melaksanakan shalat. Nah bagaimana implementasinya dengan Jadwal Shalat ?

Jawaban :

Ada teks hadits Nabi SAW yang menyebutkan 3 waktu yang dilarang melaksanakan shalat, yakni :

¾ Saat tergelincirnya Matahari, yang secara astronomis dinyatakan sebagai saat transit/kulminasi atas.

¾ Saat terbitnya Matahari.

¾ Saat terbenamnya Matahari.

Larangan ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa Bangsa Sumeria dan Babilonia dahulu, yang dikenal sebagai bangsa pemuja Matahari, melaksanakan pemujaan terhadap dewa Matahari mereka pada saat–saat tersebut. Nah Islam ini Agama Tauhid, tidak menyembah benda–benda, sehingga agar tidak menyerupai bangsa–bangsa penyembah Matahari itu (yang kini sudah musnah) maka dikeluarkan larangan tersebut.

Nah implikasinya bagaimana? Memang tadi saya menjelaskan bahwa waktu shalat sepenuhnya bergantung kepada waktu transit. Namun waktu shalat kemudian diamankan dengan konsep pengaman waktu alias ihtiyaat seperti telah dijelaskan tadi. Nah disinilah arti pentingnya ihtiyaat, yang tidak sekedar menyeragamkan waktu shalat untuk satu wilayah administratif seperti Kab. Kebumen ini misalnya, namun juga mengamankan waktu shalat dari kemungkinan 3 waktu yang terlarang tadi. Tadi telah saya jelaskan bahwa ihtiyaat untuk Kab. Kebumen itu 2 menit. Dengan menggunakan contoh sebelumnya, kita tahu pada 24 Mei 2009 ini Matahari mengalami transit di garis bujur kota Kebumen pada jam 11:38:02 WIB. Ini di kota Kebumen, kalau kita berpindah ke Prembun yang berjarak + 20 km ke timur Kebumen, maka transit di Prembun terjadi 1 menit sebelumnya yakni pukul 11:37:02 WIB. Sementara di Gombong, yang berada + 21 km sebelah barat Kebumen, transit baru akan terjadi 1 menit kemudian yakni pukul 11:39:02 WIB. Nah sekarang mari kita tambahkan

ihtiyaat 2 menit sehingga awal Dhuhur adalah 11:40 WIB. Bisa dilihat bukan, di Prembun awal Dhuhurnya terjadi (11:40:00–11:37:02) ≈ 3 menit setelah transit. Sementara di Gombong awal Dhuhurnya terjadi (11:40:00–11:39:02) ≈ 1 menit setelah transit? Tak ada yang dilanggar.

Demikian juga untuk terbit dan terbenamnya Matahari. Seperti telah diuraikan tadi, karena pusat–pusat pemukiman di Kab. Kebumen ada di dataran rendah (meski 60 % wilayah Kab. Kebumen adalah pegunungan), maka untuk terbit dan terbenamnya Matahari kita menggunakan tinggi Matahari –1o dari horizon. Nah apa itu terbenamnya Matahari? Secara filosofis adalah ketika cakram teratas Matahari tepat meninggalkan horizon. Pada 24 Mei 2009 ini untuk garis bujur kota Kebumen waktu terbenamnya Matahari pada jam 17:31 WIB. Untuk Prembun, terbenamnya Matahari terjadi pada 17:30 WIB. Sementara untuk Gombong, terbenam Matahari terjadi pada 17:32 menit. Nah kita lihat bahwa awal Maghrib di Kab. Kebumen jatuh pada jam 17:33 WIB. Di sini bisa dilihat bahwa di Prembun awal Maghrib terjadi 3 menit setelah terbenam selesai sementara di Gombong 1 menit setelah terbenam selesai. Jadinya tetap aman bukan?

Untuk terbitnya Matahari, tinggal dibalik saja. Pada 24 Mei 2009 ini Matahari terbit di garis bujur kota Kebumen pada jam 05:46 WIB tadi pagi. Otomatis untuk Prembun terbit Matahari pada jam 05:45 dan di Gombong pada jam 05:47 WIB. Nah dengan ihtiyaat 2 menit, terbit Matahari atau akhir Shubuh di Kab. Kebumen ditetapkan pada jam 05:44 WIB. Nah bisa dilihat bukan, untuk Prembun akhir Shubuh terjadi 1 menit sebelum terbit Matahari yang sesungguhnya, sementara di Gombong terjadi 3 menit sebelum terbit. Jadi tetap aman.

(8)

8. Pertanyaan :

Darimana datangnya nilai sudut Matahari 18o di bawah horizon untuk awal Isya’ ? Jawaban :

Ini pertanyaan menarik! Memang ada beberapa kalangan Umat Islam yang mempertanyakan permasalahan sudut Matahari untuk awal Isya’ dan juga awal Shubuh saat ini dengan mendasarkan pada al–Baqarah ayat 187 berikut :

Artinya :

“...maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

Dalam catatan kaki di al–Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan Departemen Agama RI disebutkan, berdasarkan riwayat al–Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa’id, ayat ini turun berkenaan dengan orang–orang Islam pada masa itu yang di malam hari mengikat kakinya dengan tali hitam dan tali putih. Mereka tetap makan dan minum hingga jelas terlihat perbedaan antara kedua tali itu. Setelah ayat ini turun kemudian mereka mengerti bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah siang dan malam. Jadi tali hitam diibaratkan malam hari dan tali putih itu siang hari.

Nah batas antara siang dan malam hari dalam Islam itu dikenal sebagai fajar dan ghurub. Pada saat itu kondisi masih remang–remang, namun di langit sudah ada kecerahan sehingga bintang–bintang mulai menghilang. Dalam astronomi, langit yang mulai cerah ini dinamakan

twilight (cahaya fajar/senja). Ada 3 macam twilight, yakni :

¾ Astronomical twilight, yakni twilight yang hanya bisa dideteksi dengan alat optik seperti binokuler atau teleskop. Untuk dataran rendah ini terjadi ketika tinggi Matahari –18o dari horizon.

¾ Nautical twilight, yakni twilight yang sudah bisa dideteksi oleh mata manusia sehingga mulai terlihat perbedaan antara langit dan air laut jika kita berada di tengah lautan. Dalam twilight ini horizon sudah mulai bisa dideteksi khususnya di bagian di mana Matahari nantinya akan terbit saat fajar atau tadinya sudah terbenam saat maghrib. Untuk dataran rendah ini terjadi ketika tinggi Matahari – 12o dari horizon.

¾ Civil twilight, yakni twilight yang sangat jelas sehingga cahaya di langit tidak hanya ada di area dimana Matahari akan terbit/baru terbenam saja, namun juga meluas hingga ke bagian langit yang berlawanan dengan posisi Matahari. Untuk dataran rendah ini terjadi ketika tinggi Matahari –6o dari horizon.

Nah angka 18o di bawah horizon yang digunakan untuk awal Isya’ itu ya berasal dari definisi astronomical twilight ini. Angka ini diusulkan oleh satu ilmuwan Muslim terbesar pada masanya, yakni al–Biruni, sebagaimana tertulis dalam bukunya yang termasyhur al– Qanun al–Maqshudi. Sebagai catatan, al–Biruni ini juga termasuk generasi ilmuwan pertama yang menunjukkan bahwa Bumi itu bulat berdasar eksperimennya di pantai Laut Tengah. Al– Biruni juga yang pertama kali mendeduksi bahwa sumbu kutub Bumi ternyata berputar pelan, atau bahasa astronominya mengalami presisi, dengan periode 26.000 tahun. Sehingga jika kita tinggal di belahan Bumi Utara dekat ke kutub, jika pada tahun ini kita menyaksikan bahwa ada satu bintang yang tepat berada di atas Kutub Utara Bumi yakni bintang Polaris, maka pada 13.000 tahun ke depan giliran bintang Vega yang tepat berada di atas Kutub Utara Bumi. Penemuan ini bukan main–main, sebab implikasinya Tahun Masehi (saat itu dikenal sebagai Tahun Julian, karena diberlakukan pada masa kekaisaran Julius Caesar) akan berbeda dengan periode tropis yang digunakan sebagai acuannya sebesar 20 menit.

Saya belum membaca sepenuhnya karya–karya al–Biruni ini, namun beliau nampaknya mengambil ijtihad dengan menafsirkan “benang hitam” dalam ayat tadi sebagai langit malam yang penuh bintang–bintang dan “benang putih” sebagai cahaya fajar/senja. Memang ketika

(9)

astronomical twilight ini mulai terjadi, mayoritas bintang mulai tidak nampak, kecuali bintang–bintang yang paling terang seperti Sirius, Canopus, alfa Centauri dan lain–lain serta planet–planet terang seperti Venus, Mars dan Jupiter.

Nah khusus untuk awal Shubuh, ada kekhasan tersendiri. Hadits Nabi SAW menyebut ada dua fajar, yakni fajar shadiq (fajar nyata) dan fajar kathib (fajar palsu), dimana awal puasa (dan implikasinya juga awal Shubuh) dimulai pada fajar shadiq. Nah fajar kathib itu apa? Secara umum didefinisikan sebagai kondisi ketika suasana masih gelap namun di langit sudah ada cahaya lemah, yang cahayanya tidak menerangi keseluruhan langit, sehingga bintang– bintang yang cahayanya lemah sekalipun masih bisa dilihat. Dalam astronomi fenomena ini terjadi pada munculnya cahaya zodiak, yakni cahaya lemah di langit yang mengikuti ekuator langit dan berasal dari pantulan sinar Matahari oleh debu–debu di sepanjang orbit Bumi. Kecemerlangan cahaya zodiak ini bisa disejajarkan dengan cahaya lemah dari galaksi Bima Sakti. Inilah yang memperkuat pendapat al–Biruni, karena setelah cahaya zodiak muncul, kemudian muncullah astronomicaltwilight.

Ilmuwan Muslim sesudah al–Biruni menambahkan bahwa ada perbedaan sensitivitas pada mata manusia di kala fajar dan senja. Pada prinsipnya, mata manusia jauh lebih awas ketika terjadi perubahan dari suasana gelap ke terang dibanding sebaliknya. Ini bisa bapak–bapak dan ibu–ibu nanti buktikan, silahkan nanti berpanas–panas di bawah cahaya Matahari dan kemudian masuklah ke ruang ini, rasanya kayak nggak bisa melihat untuk sementara alias

blackout. Nah sebagai efek dari perbedaan sensitivitas itu maka untuk awal Shubuh

digunakan tinggi Matahari yang lebih rendah, yakni 20o di bawah horizon.

Memang ada Umat Islam yang menafsirkan ayat tadi secara letterlijk alias apa adanya. Sehingga ada yang mengikatkan tali hitam dan putih di kaki dan kemudian melakukan pengamatan cahaya fajar. Ada yang langsung menyimpulkan bahwa awal Shubuh yang kita gunakan pada saat ini ternyata lebih cepat 24 menit dari yang sebenarnya. Ini bersesuaian dengan sejumlah ilmuwan Muslim masa kini yang mengusulkan untuk menggunakan civil

twilight saja sebagai awal Shubuh. Beda pendapat seperti ini wajar saja dalam Islam. Saya pribadi bukan ahli tafsir, sehingga tidak pada tempatnya menafsirkan ayat tadi seperti apa. Namun kalau kita membaca riwayat hidup al–Biruni, muncul kesan bahwa tokoh ini adalah tokoh yang tekun, teliti dan hati–hati sehingga pendapatnya soal penggunaan astronomical twilight tadi tentu tidak muncul begitu saja tanpa didahului observasi yang panjang dan menembus waktu.

9. Pertanyaan :

Jadwal Shalat Abadi pada prinsipnya berbeda dengan kenyataan. Pernah membuktikan pada tahun 1991 saat masih di Yogya bahwa jadwal shalat abadi justru mendahului fisik sehingga waktu shalat sebenarnya belum masuk.

Jawaban :

Seperti telah dijelaskan, Jadwal Shalat itu disusun berdasarkan posisi Matahari dan jika dikonversi ke dalam waktu sipil dengan ketelitian hingga satuan menit, maka Jadwal Shalat itu bisa diberlakukan sepanjang masa. Dengan jadwal sepanjang masa ini, kita beranggapan bahwa posisi Matahari mengikuti siklus yang tetap dengan kemelesetan posisi paling jauh 0,25o saja dari tahun ke tahun.

Kenapa berbeda dengan kenyataan, dimana jadwal sepanjang masa mendahului kondisi fisik sehingga adzan belum dikumandangkan? Ini bisa terjadi salah satunya karena kita tidak melakukan sinkronisasi waktu terlebih dahulu, yakni menyamakan waktu di jam tangan/jam dinding/jam HP di masjid–masjid kita dengan standar waktu WIB. Terus terang saja, masalah sinkronisasi waktu ini menjadi satu hal yang banyak diabaikan dalam kegiatan peribadahan kita, sehingga bisa saja sebuah masjid memiliki jam yang meleset 3–5 menit dari waktu WIB, atau bahkan lebih! Jadi utnuk menggunakan Jadwal shalat, baik tahunan, bulanan maupun sepanjang masa (abadi), tolong lakukan sinkronisasi waktu terlebih dahulu.

Penyebab kedua, bisa jadi karena jadwal shalat itu dihitung untuk daerah lain sementara antara daerah lain dengan daerah tersebut hanya ditambah/dikurangkan saja waktunya. Padahal kita nggak tahu berapa ihtiyaat yang digunakan di daerah tersebut. Saya pribadi selalu menyarankan bahwa ihtiyat harus disesuaikan dengan karakter daerah, lebih khusus lagi dikaitkan dengan jarak titik terbarat dan titik tertimur daerah tersebut dan juga dikaitkan

(10)

dengan beda ketinggian di daerah tersebut. Kalau tadi di Kab. Kebumen dijelaskan digunakan

ihtiyaat 2 menit, maka Jadwal Shalat di Kebumen bisa digunakan hingga ke ketinggian 575 m dari permukaan laut dan ini melebihi pemukiman paling tinggi di Kab. Kebumen, yakni 400– an meter dpl di Karangsambung. Jadi tidak ditetapkan secara sembarang. Karena memang ada penyusun jadwal shalat yang menggunakan ihtiyaat 5 menit misalnya.

Kesimpulannya, untuk menggunakan Jadwal Shalat sepanjang masa ini, lakukan sinkronisasi waktu terlebih dahulu, kemudian lihat ihtiyaatnya dan lihat juga titik acuan dimana Jadwal shalat tersebut dihitung. Jika Jadwal Shalat abadi ditujukan untuk Kab. Kebumen, maka titik acuannya ya harus ada di dalam Kab. Kebumen, bukan di tempat lain seperti misalnya Yogyakarta, Magelang ataupun Semarang.

10. Pertanyaan :

Bagaimana keberlakuan jadwal shalat sepanjang masa, mengingat bahwa posisi Matahari untuk setiap bulan berubah–ubah, dimana posisi Matahari bulan Januari ada di selatan khatulistiwa sementara bulan Juni ada di utara khatulistiwa ?

Jawaban :

Memang benar bahwa sepanjang tahun posisi Matahari selalu berubah–ubah dan ini dikenal sebagai gerak semu tahunan Matahari. Secara umum digunakan patokan bahwa pada 21 Maret dan 23 September, Matahari tepat ada di atas khatulistiwa (δMatahari = 0o) atau di titik

equinox. Pada 21 Juni, Matahari tepat ada di garis balik utara (δMatahari = +23o 27’) atau di titik summer solstice. Sementara pada 22 Desember, Matahari tepat ada di garis balik selatan (δMatahari = –23o 27’).

Nah keberlakuan Jadwal Shalat abadi bagaimana? Keberlakuannya adalah merujuk pada tanggal, atau bulan. Sehingga jadwal shalat untuk 24 Mei 2009 ini misalnya, akan sama dengan jadwal shalat untuk 24 Mei tahun 2010, 2011 dan seterusnya. Demikian juga jadwal shalat untuk bulan Mei 2009, akan sama dengan jadwal shalat bulan Mei untuk tahun–tahun berikutnya. Namun jadwal shalat bulan Mei 2009 ini tidak bisa digunakan pada bulan lain, misalnya untuk Januari 2009, atau malah Oktober 2009.

Dalam penyusunan Jadwal Shalat abadi, selalu disajikan dalam bentuk jadwal per bulan dimana jadwal per bulannya disusun dalam selang waktu sekian hari. Misalnya 3 hari, atau 5 hari.

11. Pertanyaan :

Adakah program/software/aplikasi Jadwal Shalat dan Arah Kiblat dan Awal Bulan Qomariyyah yang berbentuk Java, sehingga bisa digunakan di HP ?

Jawaban :

Ini pertanyaan menarik sekaligus menantang. Saat ini memang ada aplikasi Java yang menampilkan Jadwal Shalat di HP. Namun aplikasi itu masih disetting secara manual, sehingga jika berpindah ke kota lain misalnya, kita kembali harus merubah posisi kota. Kalau dari saya pribadi, saya juga punya harapan bisa menyusun aplikasi Java semacam itu, yang komplit. Ada Jadwal Shalat harian dan reminder (pengingatnya), juga ada yang menampilkan elemen Bulan (khususnya terbit dan terbenam, serta grafis posisi dan elemen–elemen lain yang diperlukan ketika tiba waktunya untuk mengobservasi hilaal tua dan hilaal) dan juga sebagai kalkulator kiblat secara real place and time, tepat dimana kita berada. Konsepnya tinggal memanfaatkan posisi base transceiver station (BCS) operator ponsel terdekat untuk kemudian diambil koordinat lintang bujurnya dan kemudian dihitung semua tadi. Namun ini masih dipelajari.

12. Pertanyaan :

Masalah perbedaan dalam merayakan Idul Fitri/Idul Adha. Jika Muhammadiyah memfokuskan pada hitungan sementara pemerintah/ormas lain menggunakan pengamatan (rukyat), sementara pengamatan jauh lebih kuat karena ada buktinya, bagaimana ?

(11)

Jawaban :

Seperti telah dijelaskan tadi, metode hisab dan metode rukyat akan memberikan hasil yang sama jika memang bersandar pada kriteria visibilitas yang sama. Persoalannya pada saat ini Muhammadiyah tidak menggunakan kriteria visibilitas yang sama dengan yang digunakan pemerintah maupun ormas lain. Inti permasalahannya sebenarnya disitu.

Memang secara legal, pengamatan memiliki posisi lebih kuat karena bisa menyajikan bukti. Namun seperti tadi telah dijelaskan, dalam realitanya pengamatan (rukyat) di Indonesia tidak dijalankan sesuai standar pengamatan benda langit yang baku di dunia astronomi. Pengamatan yang standar itu yang mencakup pra–pengamatan (seperti penyiapan alat, penyiapan arah mata angin dll) hingga pasca–pengamatan (dalam bentuk pengolahan data). Data yang dihasilkannya harus mencakup posisi (dalam lintang bujur dan elevasi dari permukaan laut), kondisi langit (sebaran awan, suhu, kelembaban), waktu terbenamnya Matahari yang teramati (observed sunset), saat mulai terlihatnya hilaal, orientasi hilaal atau panjang busur cahayanya, hingga waktu saat hilaal menghilang. Jarang sekali yang memegang teguh standar pengamatan seperti ini, kebanyakan pengamat hanya menyatakan “hilaal terlihat” atau “hilaal tidak terlihat” dalam laporan–laporannya. Memang laporan itu sudah diawali dengan sumpah, sehingga secara fiqh sudah sah, namun secara ilmiah belum tentu karena seharusnya sebelum dilakukan sumpah, terlebih dahulu dilakukan verifikasi.

Kami di RHI secara konsisten mencoba melakukan pengamatan dengan standar pengamatan yang baku dan mencatat hasil–hasilnya sejak Januari 2007 hingga sekarang. Dari data–data yang ada dan telah diproses kami bisa mendapatkan gambaran bahwa hilaal baru bisa diamati jika tingginya minimal 4o saat Matahari sudah terbenam selama minimal 10 menit, yang berimplikasi bahwa hilaal baru bisa dilihat jika tingginya minimal 7o di saat Matahari terbenam. Sehingga jika ada yang mengklaim melihat hilaal sangat rendah (misalnya setinggi 3o atau bahkan kurang), ini sulit untuk diterima secara ilmiah karena sifat– sifatnya fisisnya (yakni kecemerlangan dan kontrasnya) sudah jauh berada di bawah nilai ambang batas yang bisa diterima mata manusia.

Apa yang bisa dilakukan? Seperti telah dijelaskan tadi, saat ini sudah ada tim antarormas dan pemerintah yang mencoba membahas kriteria visibilitas tunggal untuk Indonesia. Kita tunggu saja hasil–hasilnya. Yang jelas selagi tim itu bekerja, Muhammadiyah masih tetap berpegangan pada kriteria wujudul hilaal.

Sepanjang masih menunggu itu, ya mari terus belajar. Termasuk belajar untuk mengobservasi (merukyat), karena observasi sudah menjadi bagian integral dari astronomi Islam sejak dibangun oleh ilmuwan–ilmuwan besar Muslim di masa keemasannya. Dalam beberapa forum saya selalu menekankan, rukyat itu bukan sesuatu yang “makruh”, “mubah” apalagi “haram”, sehingga tak masalah untuk dilakukan meski bagi warga Muhammadiyah. Dan sebaliknya, hisab pun demikian meski misalnya kita warga Nahdliyin. Islam itu agama yang rasional, yang dari teologinya saja sudah cukup jelas, Allahu ahad, Tuhan yang esa, yang tidak beranak dan diperanakkan. Dan kita sebagai Umat Islam tentunya musti bersikap rasional pula khususnya ketika berada dalam tataran hablum min–annas. Maka ketika kita punya hipotesa (misalnya kriteria wujudul hilaal ini, ataupun juga kriteria MABIMS/Imkan Rukyat), ya mari buktikan hipotesa itu dengan data yang teruji dan valid sehingga bisa menjadi teori yang dipercaya.

Jadi, memang perbadaannya di sisi kriteria visibilitas itu. Dan menyatukan kriteria visibilitas adalah salah satu tantangan besar di dunia astronomi Islam di Indonesia, selain bagaimana mengkaji ulang awal Shubuh dan awal Isya’ tadi (karena memang belum pernah dilakukan penelitian tentang twilight di Indonesia) serta bagaimana memperkenalkan standar pengamatan baku.

13. Pertanyaan :

Bagaimana caranya melakukan sinkronisasi waktu ? Jawaban :

Sinkronisasi waktu bisa dilaksanakan dengan berbagai cara. Jika bapak–bapak atau ibu– ibu suka mendengarkan siaran radio, silahkan mengikuti siaran berita RRI, karena pada awal

(12)

berita selalu ada penjelasan waktu saat itu. Bisa juga dengan mendengarkan siaran BBC Indonesia. Kedua stasiun radio ini rutin menyiarkan waktu standar untuk WIB.

Bisa juga sinkronisasi dilakukan lewat telfon. Caranya, gunakan telfon rumah/kantor (yang pake kabel itu), ataupun menggunakan HP CDMA namun khusus yang memakai kartu Flexi. Kemudian hubungi nomor 103. Maka dari nomor itu akan keluar suara soal waktu yang sedang berjalan (dalam WIB untuk Kebumen) pada saat ini.

14. Pertanyaan :

Jika Jadwal Shalat dihitung untuk Gombong, sementara saya sedang berada di Purwokerto, apakah jadwal shalat tersebut masih akurat untuk Purwokerto ?

Jawaban :

Seperti tadi telah dijelaskan, jadwal shalat untuk Gombong itu sama dengan Jadwal Shalat untuk Kab. Kebumen. Jadwal Shalat Kab. Kebumen dihitung dengan acuan kota Kebumen, kemudian diamankan dengan ihtiyaat 2 menit. Sehingga dari kota Kebumen hingga 55,5 km ke arah barat, jadwal shalatnya sama.

Nah kota Purwokerto ini, jika kita mengikuti jalan dari Kebumen ke Purwokerto, jaraknya 90 km dari Kebumen. Namun antara garis bujur Purwokerto dengan garis bujur Kebumen selisihnya sekitar 50 km. Ini bisa dipahami karena dari Buntu itu kita harus berjalan ke utara untuk sampai ke Purwokerto. Sehingga secara prinsip Jadwal Shalat di Gombong bisa untuk digunakan di Purwokerto. Ketinggian kota Purwokerto sendiri hanya 75 m dari permukaan laut atau jauh di bawah ambang batas ketinggian 575 m tadi.

Namun jika memang masih ragu–ragu, saya lebih menyarankan untuk menambahkan Jadwal Shalat yang ada di Kab. Kebumen dengan 1 menit jika hendak digunakan di Purwokerto. Insya’ Allah itu lebih aman.

15. Pertanyaan :

Jika pada kalender Syamsiyyah (Masehi) jumlah hari dalam setiap bulannya sudah ada patokannya, bagaimana dengan kalender Qomariyyah ?

Jawaban :

Filosofi kalender Syamsiyyah itu sama dengan kalender Qomariyyah, hanya saja kalender Syamsiyyah berpegang pada pergerakan semu Matahari. Tepatnya kalender Syamsiyyah berpegangan pada periode tropis Matahari, yakni waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi Matahari setelah dikompensasikan dengan gerak presesi Bumi, yang besarnya 365,25 hari. Dari definisi tersebut kemudian dilakukan derivasi (penurunan) dimana 1 tahun Syamsiyyah terdiri dari 12 bulan dengan 1 bulan berumur 31 atau 30 hari terkecuali bulan Februari. Jika angka tahunnya habis dibagi 4 atau angka tahun abadnya habis dibagi 400, maka Februari berumur 29 hari dan jika tidak maka berumur 28 hari.

Sebaliknya, kalender Qomariyyah berpatokan pada gerak Bulan mengelilingi Bumi. Tepatnya berpatokan pada periode sinodis, yakni selang waktu di antara dua kejadian konjungsi (tepat segarisnya Bulan dan Matahari dalam satu garis bujur ekliptika) yang berurutan. Konjungsi itu dikenal sebagai ijtima’, dan dalam waktu–waktu tertentu (seperti misalnya 26 Januari 2009 lalu, dan juga 22 Juli kelak serta 15 Januari 2010 kelak) posisi Matahari dan Bulan sangat berdekatan ketika konjungsi sehingga timbul Gerhana Matahari. Periode sinodis Bulan rata–rata sebesar 29,5 hari. Dari sini dilakukan derivasi bahwa 1 tahun Hijriyyah terdiri dari 12 bulan sehingga memiliki umur 354 atau 355 hari (355 hari jika tahunnya kabisat).

Nah secara garis besar ada dua sistem perhitungan kalender Hijriyyah. Ada sistem yang menyerupai perhitungan kalender Masehi, yang dikenal sebagai sistem urfi. Sementara sistem yang lainnya adalah sistem hakiki, dimana perhitungan sepenuhnya didasarkan pada visibilitas hilaal, baik berdasarkan metode hisab maupun rukyat. Nah dalam sistem urfi, 1 bulan Hijriyyah itu berumur 30 atau 29 hari secara berurutan, terkecuali bulan Zulhijjah. Sehingga menurut sistem urfi, Muharram itu berumur 30 hari, Shaffar berumur 29 hari, Rabiul Awwal 30 hari dan seterusnya hingga Zulhijjah. Jika tahun Hijriiyahnya tergolong tahun kabisat, maka Zulhijjah akan berumur 30 hari dan jika tidak maka 29 hari. Nah bagaimana menentukan tahun kabisatnya? Ada satu patokan, bahwa dalam 30 tahun Hijriiyah

(13)

terdapat 11 tahun kabisat, sehingga untuk menentukannya bagilah angka tahun Hijriyyah dengan 30, kemudian lihat sisanya. Jika sisanya 2, 3, 5 dan seterusnya, maka tahun itu tahun kabisat. Ini memang agak sedikit rumit.

Namun sudah disepakati oleh astronom Muslim, sistem urfi tersebut hanyalah alat bantu dalam memahami kalender Hijriyyah. Yang dipegang tetap sistem hakiki.

16. Pertanyaan :

Jika Arah Kiblat Kab. Kebumen adalah 294o 52’, apakah itu juga berlaku untuk Gombong? Jawaban :

Masalah arah kiblat ini sedikit berbeda dengan Jadwal Shalat. Jika jadwal shalat telah diamankan dengan ihtiyaat sehingga bisa digunakan untuk seluruh Kab. Kebumen, untuk arah kiblat tidak ada “ihtiyaat qiblati.” Arah Kiblat Kab. Kebumen sebesar 294o 52’ itu dihitung untuk titik acuan kota Kebumen. Untuk Gombong ataupun tempat lain, secara hakiki sebenarnya musti dihitung dengan berdasarkan pada lintang bujur Gombong dan tempat tersebut.

Namun, ada cara untuk menjadikan arah kiblat semua tempat di Kebumen menjadi satu kesatuan. Dalam praktiknya, terdapat 3 metode untuk mengukur kiblat:

¾ Metode aproksimasi/pendekatan, yakni yang menggunakan kompas magnetik.

¾ Metode presisi/akurat, yakni yang menggunakan GPS dan posisi Matahari/Bulan.

¾ Metode superpresisi/sangat akurat, yakni yang menggunakan posisi bintang.

Nah kita lebih sering menggunakan kompas ataupun Matahari sebagai panduan untuk mengukur arah kiblat. Jika menggunakan Matahari, harus dipahami bahwa Matahari adalah cakram bercahaya terang yang memiliki apparent diameter 0,5o sehingga setiap pengukuran yang memanfaatkan bayang–bayang sinar Matahari akan menghasilkan kemelesetan maksimum 0,5o atau 0o 30’. Arah Kiblat di kota Kebumen adalah 294o 52’, di Gombong 294o 53’, di Prembun 294o 51’, di Logending 294o 54’ dan di dekat Waduk Wadaslintang 294o 50’. Selisih arah kiblat tempat–tempat tempat tersebut jika dibandingkan dengan kota Kebumen tidak sampai melebihi + 0o 30’ sehingga bisa dikatakan bahwa Arah Kiblat kota Kebumen bisa diberlakukan ke semua tempat di Kebumen. Sehingga Arah Kiblat Kab. Kebumen sebesar 294o 52’.

Kelihatannya 0,5o ini besar. Namun dalam praktiknya sebenarnya cukup kecil. Mari kita lihat ilustrasinya sebagai berikut. Marti kita ambil garis berarah Barat–Timur sepanang 10 m. Nah dari salah satu ujung garis ini, tariklah garis ke utara atau ke selatan sejauh 87 mm dan pasang paku di sana. Nah sekarang berdirilah di ujung garis yang satunya lagi dan cobalah untuk mengarah ke paku tersebut, tidak mengarah menyelusur garis. Apakah bisa dibedakan bahwa bapak–bapak atau ibu–ibu menghadap ke garis atau menghadap ke paku?

17. Pertanyaan :

Apakah Arah Kiblat Kab. Kebumen bisa diterapkan di tempat lain seperti Cilacap ataupun Purworejo dan Semarang?

Jawaban :

Mari kita lihat kemelesetan maksimum 0o 30’ tadi sehingga Arah Kiblat Kab. Kebumen sebenarnya berada pada rentang 294o 22’–295o 22’. Arah Kiblat 294o 22’ ternyata melintas tempat yang berselisih bujur 2o di timur kota Kebumen yakni di wilayah Kab. Madiun (Jawa Timur). Sementara Arah Kiblat 295o 22’ pun melintas tempat yang berselisih bujur 2o di barat kota Kebumen yakni di wilayah Kab. Garut (Jawa Barat). Dengan jangkauan sepanjang ini secara mudah bisa disimpulkan bahwa Arah Kiblat Kab. Kebumen bisa diberlakukan pula untuk Purworejo, Cilacap dan Semarang. Ini bisa dilihat bahwa Arah Kiblat di Cilacap sebesar 295o 03’, di Purworejo 294o 47’ dan di Semarang 294o 30’. Semuanya memiliki selisih arah kiblat terhadap kota Kebumen yang kurang dari 0o 30’. Sehingga untuk alasan praktis, kita bisa memberlakukan Arah Kiblat Kab. Kebumen ke tempat–tempat tersebut.

Hanya saja, kita harus melihat bahwa kota–kota tersebut secara administratif berada di luar wilayah Kab. Kebumen. Saya selalu menekankan bahwa jika sudah berbeda wilayah administratif, silahkan dihitung lagi Jadwal Shalat maupun Arah Kiblat berdasarkan titik acuan untuk wilayah tersebut, tidak semata merujuknya terhadap Kebumen.

(14)

18. Pertanyaan :

Apakah arah kiblat bisa berubah karena gerakan tanah/gempa? Jawaban :

Seperti tadi telah dijelaskan, arah kiblat suatu tempat baru dianggap berubah jika telah meleset melebihi 0o 30’. Telah diperhitungkan bahwa kemelesetan sebesar ini baru terjadi jika kita bergerak sejauh 2o (baik dalam arah Barat–Timur maupun Utara–Selatan). Untuk daerah di khatulistiwa, 2o ini setara dengan jarak = 2 x 111 = 222 km. Sehingga baru jika terjadi pergeseran sejauh 222 km arah kiblat suatu tempat mulai berubah. Nah seberapa besar gempa yang terjadi jika pergeserannya mencapai 222 km? Perhitungan kasar menunjukkan magnitude gempa semacam itu mencapai 17 skala Richter atau 1.000 kali lebih kuat dibanding gempa yang akan terjadi jika Bumi terbelah (magnitude 14 skala Richter).

Gempa terkuat dalam sejarah manusia, seperti misalnya gempa besar di NAD pada 26 Desember 2004 silam (secara teknis dinamakan gempa megathrust Sumatra–Andaman 2004) yang memiliki magnitude 9,2 skala Richter, menyebabkan pergeseran tanah ‘hanya’ sejauh 20 m saja. Jarak tersebut hanya menyebabkan perubahan arah kiblat sebesar 0,6 detik busur. Dengan ilustrasi garis 10 m tadi, gempa ini hanya membuat paku penanda arah kiblat bergeser ke selatan sejauh 0,03 mm dari ujung garis. Sementara Gempa Yogya 2006 yang mengguncang Kab. Bantul dan sekitarnya, telah mengakibatkan pergeseran tanah sejauh 60 cm. Namun perubahan arah kiblat yang ditimbulkannya hanya sebesar 0,019 detik busur. Sama halnya, dengan ilustrasi garis tadi, maka gempa ini hanya membuat paku penanda arah kiblat bergeser ke selatan sejauh 0,0009 mm. Amat sangat kecil sehingga bahkan tidak terdeteksi.

Gerakan lempeng tektonik secara harfiah mempunyai mekanisme yang sama dengan gempa terhadap arah kiblat. Sehingga tidak menghasilkan perubahan arah. Seperti Pulau Jawa misalnya. Karena lempeng Australia membuat Pulau Jawa senantiasa bergerak ke utara dengan kecepatan 6 cm/tahun, maka perubahan arah kiblat yang signifikan bagi Kab. Kebumen (yakni yang selisihnya melebihi 0o 30’) baru akan terjadi dalam 3,6 juta tahun ke depan.

19. Pertanyaan :

Cara mengukur/menetapkan arah kiblat dengan kompas dan Matahari Jawaban :

Hal ini sebenarnya sudah ada dalam manual/panduan, namun tidak apa jika saya ulas. Disini prinsipnya kita menggunakan busur kiblat, seperti gambar berikut :

Skala derajat Skala sudut jam

Skala mil x 100 Skala gon Kompas magnetik

Benang Zona arah kiblat

Indonesia

Zona garis shaff Indonesia

(15)

Kita sudah mengetahui bahwa Arah Kiblat Kab. Kebumen itu 294o 52’. Karena bsuur kiblat ini mempunyai ketelitian hanya sampai satuan derajat saja, maka Arah Kiblat Kab. Kebumen perlu kita bulatkan ke satuan terdekat, yakni 295o.

Letakkan busur di lantai/tanah dalam posisi mendatar, kemudian pasang kompas magnetik. Tunggu hingga jarum kompas berhenti bergerak, kemudian putar busur sedemikian rupa sehingga jarum kompas yang sudah berhenti bergerak itu akan tepat sejajar dengan garis Utara–Selatan dalam busur kiblat. Selanjutnya, kita harus memahami bahwa jarum kompas magnetik itu tidak merujuk ke kutub Utara dan Selatan Bumi, melainkan menunjuk ke kutub magnetis Bumi. Antara Kutub Utara dan Kutub Utara Magnetis Bumi terdapat selisih jarak sebesar 6.000 km. Selisih jarak ini mengakibatkan fenomena yang disebut deklinasi magnetik, yakni penyimpangan arah jarum kompas terhadap arah Utara–Selatan sejati. Deklinasi magnetik untuk Kab. Kebumen, berdasarkan perhitungan software QiblaCalc, besarnya 0o 42’ ke arah timur, yang kita bulatkan saja ke satuan terdekat menjadi 1o ke timur. Sebagai konsekuensinya, maka Arah Kiblat Magnetis sedikit berbeda dengan Arah Kiblat, yakni sebesar 295–1 = 294o. Selanjutnya tarik benang ke angka 294 dalam skala derajat, atau bentangkan benang kasur yang panjang ke di atas angka 294 dan pusat busur ini. Itulah garis kiblat. Selanjutnya ulangi pengukuran seperti tadi minimal di tiga titik yang berbeda di sepanjang benang kasur yang sudah dibentangkan tadi.

Mengapa pengukuran musti diulangi? Sebabnya karena jarum kompas magnet bisa dipengaruhi oleh :

¾ Aktivitas Matahari dalam bentuk badai Matahari (sunstorm). Ini akan mencapai puncaknya dalam 2012–2013 mendatang sebagai bagian dari siklus 11 tahun aktivitas Matahari.

¾ Keberadaan mineral yang mengandung besi di dalam tanah.

Nah jika pengukuran di tiga titik menunjukkan hasil yang sama, bisa disimpulkan bahwa benang kasur tadi sudah menunjuk ke Arah Kiblat.

Bagaimana pengukuran dengan Matahari? Prinsipnya hampir sama. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan di luar ruangan. Disini kompas diangkat saja (tidak digunakan), dan kemudian pasanglah bandul/lot yang digantung pada benang. Usahakan ujung bandul tepat di pusat busur. Kemudian lihat tabel waktu saat Matahari tepat berada di Arah Kiblat, atau tepat tegaklurus Arah Kiblat. Jangan lupa sinkronisasikan/kalibrasikan dulu petunjuk waktu yang digunakan. Tandai bayangan Matahari dengan garis/benang, kemudian letakkan busur kiblat sedemikian sehingga pusatnya tepat berimpit dengan garis/benang ini. Jika menggunakan bayang–bayang Matahari yang tepat di Arah Kiblat, putar busur sedemikian sehingga pusat busur hingga angka 360 di skala derajat tepat sejajar dengan garis/benang tadi. Kemudian tariklah benang di busur pada angka 360 ini hingga masuk ke dalam ruangan. Jika menggunakan bayang–bayang Matahari yang tepat tegaklurus Arah Kiblat, putar busur sedemikian sehingga pusat busur hingga angka 360 di skala derajat tepat sejajar dengan garis/benang tadi. Kemudian tariklah benang di busur pada angka 90 atau 270 hingga masuk ke dalam ruangan.

Bagaimana jika pada jam tersebut Matahari sedang tidak terlihat/mendung? Ya tidak apa– apa. Tinggal cari saja saat Matahari sudah bersinar kembali, kemudian cepat–cepat ditandai dengan garis/benang. Selanjutnya buka Kalkulator Qiblat lewat komputer/laptop dan lihat azimuth Matahari pada jam saat garis/benang tadi ditandai. Anggaplah misalnya azimuth Matahari pada saat itu 62o. Maka tempatkan busur kiblat sedemikian sehingga pusat dan angka 62 pada skala derajat tepat berimpit dengan garis/benang tadi. Selanjutnya tinggal tarik benang busur ke angka 295 dalam skala derajat ke dalam ruangan. Inilah arah kiblat.

Berbeda dengan penggunaan kompas magnetis, jika kita melakukan pengukuran dengan Matahari maka cukup dilakukan sekali saja. Namun tidak ada masalah jika pengukuran hendak diulangi sampai 3 kali.

20. Pertanyaan :

Adakah kasus pengukuran kiblat yang bermasalah di Kebumen? Jawaban :

(16)

Kasus pengukuran kiblat yang bermasalah sebenarnya sudah muncul sejak lama jika kita bicara secara global. Kita ingat dalam sejarah, sekitar 1 abad silam, Mbah Dahlan di Yogyakarta juga mengalami hal serupa. Mushollanya yang dibangun di kampung Kauman (sampai sekarang mushollanya masih ada) dibongkar orang tak dikenal gara–gara arah kiblatnya diluruskan dan kemudian dibuat garis shaff yang ternyata miring terhadap arah bangunan. Ketika langkah yang sama dicoba dilakukan di Masjid Gede Kauman, muncul penentangan begitu keras, yang bahkan membuat Mbah Dahlan sempat mencoba keluar saja dari Yogya. Jika keinginan ini saat itu dituruti, mungkin saja pada saat ini kita tidak bisa duduk bersama dalam kompleks perguruan Muhammadiyah Gombong ini dan melaksanakan diklat. Syukurlah bahwa niat itu diurungkan, mbah Dahlan kembali ke Kauman dan akhirnya mendirikan Muhammadiyah.

Nah masalah semacam itu pun masih ada hingga saat ini. Ada beberapa contoh yang ingin saya uraikan, namun saya batasi pada satu kasus saja yang sempat menyita waktu dan tenaga di Kebumen. Kasus ini mencuat pada 2007 silam dan baru bisa diselesaikan setahun kemudian. Kasus ini terjadi di sebuah desa yang sebenarnya tak jauh dari kota Kebumen, hanya 3–4 km dari pusat kota. Di desa tersebut ada masjid tua peninggalan leluhur desa, yang karena usianya kemudian hendak direnovasi dan sekaligus dikalibrasi Arah Kiblatnya. Saya yang mengukurnya pada pertengahan 2007, menggunakan metode posisi Matahari sehingga sifat pengukuran adalah presisi. Dan untuk menjamin akurasinya, saya mengukurnya sampai 3 kali. Diperoleh data bahwa masjid itu memang tidak menghadap ke kiblat, namun mengarah tepat ke barat (ke azimuth 270o). Sehingga ada simpangan sejauh 24o 52’ dari Arah Kiblat. Karena panitia menghendaki agar hasil pengukuran langsung dipasang ke lantai dalam bentuk garis shaff, saya pun buatkan garisnya. Sampai di sini urusan teknis selesai.

Eh ndak tahunya, seminggu kemudian ada laporan masuk bahwa masjid tersebut jadi “panas”. Ternyata ada dua kubu yang berseberangan dan masing–masing punya pendukung. Satu kubu menghendaki hasil pengukuran tetap digunakan sebagai acuan membentuk garis shaff sehingga jamaah masjid ketika shalat akan tepat menghadap ke kiblat. Sementara satu kubu lainnya menolak dengan alasan leluhur dulu tidak bersikap seperti itu dan mendalilkan arah kiblat itu dzan (cukup didekati). Bahkan secara ekstrim dikatakan, shalat menghadap ke selatan pun tetap syah karena hatinya sudah meniatkan ke kiblat dan kubu ini bahkan berani menjamin bahwa dosa para pengikutnya (karena tidak menghadap ke kiblat ketika shalat) akan ditanggung.

Persoalannya jadi berlarut–larut hingga panitia renovasi mengunbdurkan diri semuanya dan akhirnya Depag Kebumen beserta MUI memutuskan turun ke lapangan untuk menyelesaikannya. Disepakati untuk dilakukan pengukuran ulang, meski kubu yang kontra sempat nggrundel berkepanjangan. Pengukuran dilaksanakan dalam suasana tegang. Kami tim BHR Kebumen harus melakukan pengukuran di hadapan 300–an orang dari kedua kubu, dengan saksi–saksi dari kedua kubu ditambah MUI dan KUA Kec. Alian. Itu juga masih dikawal polisi dan diawasi intel. Ketegangan ini sampai membuat pak Tusah Ihsanuddin, anggota BHR yang juga pegiat Muhammadiyah, sampai berkeringat dingin. Karena tim ahli BHR Kebumen hanya beranggotakan dua orang, saya dan pak Waluyo, dan kebetulan pak Waluyo sedang ada keperluan lain, kembali saya yang kemudian melakukan pengukuran. Untuk show of force, kami membawa teodolit digital, GPS receiver dan juga setumpukan buku yang tebalnya menyamai bantal. Singkatnya, hasil pengukuran memberikan kesimpulan yang sama dengan pengukuran sebelumnya. Ini kemudian diplenokan dan diputuskan untuk tetap dibuat garis shaff sesuai hasil pengukuran.

Setelah semua sepakat dan kami rombongan meninggalkan lokasi untuk beramah tamah dengan MUI, KUA Kec. Alian dan perangkat desa, mendadak kami dilapori bahwa situasi masjid kembali “panas.” Kedua kubu sudah saling berhadapan dan bahkan ada yang menyiapkan pentungan. Sementara masyarakat lain yang mencoba netral jadi gerah dan memberikan ancaman baru: akan mendirikan mesjid sendiri (mufaraqah). Kembali kami turun ke lokasi dan melihat duduk perkaranya. Ternyata sekarang yang dipermasalahkan beralih ke garis shaff yang memotong pintu masuk masjid dari utara. Kubu yang menolak menghendaki agar garis dipindahkan dari tengah–tengah pintu. Saya akhirnya meminta pandangan pak KH Nurshodiq selaku Ketua MUI dan beliau menggarisbawahi yang terpenting adalah kaidah ushul fiqh “mencegah kerusakan lebih baik daripada berbuat kebaikan.” Setelah perhitungan menunjukkan bahwa jika garis digeser ke tepi pintu sebelah

(17)

barat memberikan hasil bahwa simpangannya tidak melebihi 0o 30’ sebagai standar deviasi pengukuran, akhirnya diputuskan garis shaff untuk digeser sedikit ke tepi pintu. Dan masalah berkait dengan arah kiblat pun selesai. Namun konflik intern dalam masjid itu, saya dengar kemudian, bergeser ke topik lain.

Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Kasus semacam ini terjadi karena :

¾ Ada kubu–kubu di antara jama’ah masjid.

¾ Ada keengganan untuk merubah sesuatu yang telah diwariskan oleh para leluhur.

¾ Ada anggapan bahwa kiblat bisa mengarah ke mana saja dan tak perlu dipersoalkan.

Dari kasus ini kemudian BHR Kebumen belajar bagaimana memperbaiki prosedur pengukuran arah kiblat. Sikap BHR Kebumen adalah wait and see, sebelum melakukan pengukuran kami memastikan dulu apakah ada konflik antar jama’ah berkait pengukuran ini apa tidak.

Saya pribadi menekankan, ini sebenarnya lebih ke arah persoalan sosiologis masyarakat, bukan fiqh. Dalam kasus masjid tadi, kubu yang kontra merasa tidak diajak bicara oleh kubu yang pro dalam hal renovasi masjid meskipun ketika diundang ternyata malah tidak datang. Sementara masyarakat yang ada hanya mengikuti kubu mana yang lebih menguntungkan baginya. Disinilah pentingnya memahami persoalan sosiologis ini, melakukan pemetaan sedikit dan kemudian menempatkan diri di tengah–tengah sebagai penengah, bukan bergeser ke satu kubu.

Dalam mengatasi masalah seperti ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil seperti :

¾ Tekankan bahwa arah kiblat untuk Indonesia sifatnya ijtihadiyah, karena kita sangat jauh dari Ka’bah. Dengan arah kiblat ijtihadiyah, maka adanya kemelesetan sejauh 0o 30’ tadi masih bisa diterima secara logis dan rasional.

¾ Coba berpegangan pada al–Baqarah ayat 142–150 tentang seputar pemindahan kiblat. Nabi SAW pun merubah arah kiblatnya secara radikal (dengan berputar separuh lingkaran atau tepatnya 176o) di Madinah ketika ayat ini turun. Dan ketika muncul pertanyaan dari para sahabat tentang status ibadah mereka sebelum pemindahan kiblat, ini dijawab langsung oleh Allah SWT dengan ayat 142 berikut :

Artinya :

Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? Katakanlah: Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".

Ini juga diperkuat oleh hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari al–Barra.

Bagi warga Muhammadiyah, kasus seperti ini mungkin terasa aneh atau menggelikan. Namun harus diakui bahwa kasus–kasus yang terkait masjid di Kebumen ini cukup banyak. Ada misalnya jama’ah masjid yang terpecah dan beralih mendirikan masjid sendiri (yang letaknya hanya berseberangan jalan raya) hanya gara–gara masalah Pilkades. Ada juga jama’ah masjid yang nyaris pecah hanya gara–gara pengelolaan Jum’atan. Ada juga takmir yang “panas” gara–gara ada warga lain yang hendak mendirikan masjid di desa yang sama dan kebetulan berasal dari ormas lain. Semua ini terkait dengan tingkat intelegensia dan kondisi psikologis sosiologis masyarakat kita. Sehingga lebih baik jika kita menempatkan diri dalam posisi persuasif, tidak kontra sekaligus, dan melakukan perubahan secara perlahan–lahan.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen sering diartikan sebagai seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain atau sekelompok orang yang memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola

Menurut survei awal di Puskesmas Binanga pada Bulan Juli 2015 didapat bahwa dari 10 PUS hanya 5 orang yang menggunakan KB Implant, sementara 5 orang lagi tidak

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah melalui angket/kuesioner kepada responden yaitu memberikan pertanyaan tertulis dengan responden yang

Melalui diskusi kelompok, siswa dapat menjelaskan sifat-sifat bangun ruang balok dengan tepat 3.. Melalui diskusi kelas, siswa dapat mengambil kasimpulan tentang sifat-sifat

Peran serta masyarakat dan partisipasinya dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa dari seluruh aspeknya, tidak akan dapat berjalan secara maksimal, bilamana

Kriteria kesesuaian lahan untuk jarak pagar disusun berdasarkan ketersediaan data sumber daya lahan (tanah dan iklim), yaitu: 1) data (peta) sumber daya lahan (tanah) eksplorasi

Sulfat 60% Air 66 Hasil pengamatan terhadap lama penyimpanan menunjukkan perubahan intensitas warna yang tidak begitu di penurunan nilai serapan warna pada beberapa pelarut

Itulah sebabnya, dalam Islam, syariat (sebagai himpunan sistem norma yang memiliki nilai kebenaran mutlak serta sesuai dengan kebutuhan hidup manusia) didudukkan