• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFISIENSI PAKAN MELALUI PENAMBAHAN MOLASE PADA BUDIDAYA UDANG VANAME SALINITAS RENDAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFISIENSI PAKAN MELALUI PENAMBAHAN MOLASE PADA BUDIDAYA UDANG VANAME SALINITAS RENDAH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Budidaya udang vaname pada salinitas rendah mempunyai prospek cukup baik dan berpeluang dikembangkan, karena selain harga jual udang vaname cukup tinggi juga budidayanya dapat dilakukan pada kolam air tawar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi pakan terhadap produksi udang vaname yang dipelihara pada salinitas rendah. Penelitian dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. Kolam percobaan berupa bak beton sebanyak 4 buah, masing-masing bak mempunyai ukuran panjang, lebar, dan kedalaman secara berurutan adalah 10 m, 1,5 m, dan 1 m. Kolam tersebut juga dilengkapi dengan aerasi sebanyak 10 buah. Perlakuan yang dicoba adalah budidaya udang vaname pada salinitas rendah dengan penambahan molase (A) dan tanpa penambahan molase (B). Ukuran tokolan udang vaname yang dicoba adalah Post Larva (PL–34) dengan padat penebaran masing-masing perlakuan adalah 75 ekor/m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan A memperoleh sintasan sebesar 91,15%, dengan

rata-rata bobot 11,66 g/ekor, kisaran produksi 9,718–14,278 kg/bak atau rata-rata 11,998 kg/bak (7.998,92 kg/ha) dan tanpa molase memperoleh sintasan sebesar 90,61%, dengan rata-rata bobot 12,86 g/ekor, kisaran produksi 11,762–15,540 kg/bak atau rata-rata 13,651 kg/bak (8.767,23 kg/ha). Namun demikian, jumlah pakan pada perlakuan A lebih rendah 35,32% dibandingkan perlakuan B, dengan rasio konversi pakan (RKP), masing-masing pada perlakuan A dan B adalah 0,975 dan 1,325.

KATA KUNCI: pakan, molase, udang vaname, salinitas rendah PENDAHULUAN

Dalam rangka mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan, maka perencanaan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan di masa datang harus menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Hal ini cukup beralasan, karena program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar pada tahun 2015 dengan peningkatan produksi sebesar 353% dari produksi tahun 2010. Untuk mencapai target tersebut perlu upaya mengembangkan komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti udang, karena teknologinya sudah berkembang di masyarakat (Poernomo, 2004; Trobos, 2005). Beberapa tahun terakhir ini produksi udang di Indonesia belum memberikan kenaikan yang signifikan bahkan cenderung menurun. Hal ini disebabkan masih banyaknya tambak udang yang dikelola secara ekstensif dan tambak intensif sebagian sudah tidak beroperasi karena berbagai permasalahan seperti berkembangnya penyakit udang dan mahalnya harga pakan di pasaran yang kadang tidak seimbang dengan produksi (Mangampa & Pantjara, 2008).

Di sekitar tahun 1990-an budidaya udang windu, Penaeus monodon di tanah air sering mengalami kegagalan sehingga produksi menurun tajam. Kegagalan ini utamanya disebabkan oleh adanya serangan penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV). Sehingga untuk mengganti sementara ekspor udang windu, maka udang vaname merupakan pilihan yang tepat (Anonim, 2003; Fegan, 2002; Haliman & Adijaya, 2006). Teknologi budidaya udang vaname di air payau secara ekstensif hingga intensif telah berkembang di masyarakat. Namun akhir-akhir ini budidaya udang vaname juga sering mengalami kegagalan panen. Banyak pembudidaya vaname yang memanen lebih awal untuk menghindari kerugian yang lebih besar karena masalah penyakit patogen seperti White Spot Syn-drome Virus (WSSV) WSSV, Taura SynSyn-drome Virus (TSV), dan mio yang sampai sekarang belum ditemukan teknik penanggulangannya (Chanratchakool et al., 1998; Yu & Song, 2002). Serangan penyakit viral ini umumnya diawali oleh beberapa perubahan kualitas lingkungan yang dapat menurunkan daya tahan udang. Maka dalam pengelolaan dan penanganan sesuai dengan penerapan sistem tertutup yang berwawasan lingkungan.

EFISIENSI PAKAN MELALUI PENAMBAHAN MOLASE PADA

BUDIDAYA UDANG VANAME SALINITAS RENDAH

Brata Pantjara dan Rachmansyah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: bpantjara@yahoo.com

(2)

Budidaya udang vaname di tambak salinitas rendah (air tawar) mempunyai prospek untuk dikembangkan. Menurut Sugama (2002), bahwa budidaya udang vaname pada salinitas rendah dapat mencegah terserangnya penyakit terutama virus dan bakteri. Namun dijumpai kendala dalam budidaya udang vaname terutama dalam ketersediaan bibit udang yang siap tebar pada kondisi salinitas rendah. Budidaya udang vaname pada salinitas rendah telah dicoba di beberapa negara seperti Thailand, Amerika, dan beberapa negara di kawasan Amerika Latin dengan tingkat keberhasilan yang memuaskan (Areneda et al., 2008; Wyban, 2002) sehingga berpeluang untuk dikembangkan pada lahan yang jauh dari jangkauan pasang surut atau lahan sawah yang terbengkalai dan tidak dapat ditanami padi karena terintrusi air laut. Budidaya udang vaname di air tawar dengan sistem tradisional juga sudah dilakukan oleh para pembudidaya di beberapa lokasi seperti di Lamongan, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan, dan daerah lainnya. Pembudidaya biasanya memanfaatkan persawahan dengan menggunakan pola tanam bersama bandeng dan padi.

Permasalahan yang sering dihadapi dalam pengelolaan kualitas air pada budidaya intensif adalah air cepat mengalami kekeruhan. Kekeruhan ini terutama disebabkan oleh adanya bahan-bahan halus yang melayang dalam air yang berupa bahan organik dari kumpulan plankton, jasad renik, detritus, kotoran udang, dan sisa pakan (Graslund & Bengston, 2001; Izquierdo et al., 2006). Kekeruhan partikel organik tersebut lambat laun dapat membahayakan udang, karena bahan organik akan terdekomposisi menjadi senyawa yang bersifat racun seperti amoniak, nitrit, dan hidrogen sulfida (Lin & Chen, 2001). Menurut Avnimelech et al. (2008), bahwa proses penguraian bahan organik oleh bakteri aerobik, akan menyebabkan turunnya kandungan oksigen dalam air dan penumpukan bahan organik dalam tambak akan meningkatkan populasi bakteri dalam air tambak. Untuk itu, perlu upaya mengubah senyawa nitrogen yang bersifat racun (amonia) menjadi bakteri yang mengandung protein, bisa dimakan udang. Menurut Ju et al. (2008), bahwa pemberian molase dapat meningkatkan keberadaan bakteri, alga plankton membentuk flok yang kaya protein. Lebih lanjut dilaporkan Pantjara (2008) bahwa pemberian C pada kolam yang banyak cemaran limbah organik, terutama amoniak dapat dikonversi menjadi protein bioflok, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai subsitusi pakan bagi udang yang dibudidayakan.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan molase terhadap efisiensi pakan terhadap produksi udang vaname yang dibudidaya pada salinitas rendah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di kolam percobaan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. Wadah budidaya berupa bak beton ukuran panjang 10 m dan lebar 1,5 m serta kedalaman 1 m. Persiapan kolam sebelum penelitian meliputi pembersihan kolam dan pengisian air dari sumur dengan menggunakan pompa serta pemasangan selang aerasi untuk mensuplai oksigen selama pemeliharaan. Jarak antar selang aerasi satu dengan lainnya adalah 1 m.

Penelitian ini menggunakan tokolan vaname ukuran PL–34 yang sudah diaklimatisasi hingga salinitas 2 ppt. Untuk mendapatkan tokolan tersebut dengan cara melakukan aklimatisasi dimulai dari ukuran Post Larva (PL–11) bebas penyakit (hasil uji PCR) pada salinitas 33 ppt yang setiap harinya diturunkan sekitar 1–2 ppt. Proses aklimatisasi dilakukan selama 20 hari hingga salinitas mencapai 2 ppt selanjutnya masih di dalam bak yang sama dan salinitas tetap dipertahankan 2 ppt tokolan tersebut kemudian diadaptasi selama 3 hari hingga mencapai PL–34 dan sebagian diambil sampelnya untuk di uji PCR kembali dan dari hasil uji dinyatakan negatif. Penggunaan tokolan vaname dalam penelitian ini dimaksudkan agar udang lebih sehat dan tidak stres pada media salinitas rendah serta waktu panennya lebih singkat. Beberapa sumber menginformasikan bahwa semakin lama udang di aklimatisasi semakin besar kemungkinan udang untuk hidup di kolam pembesaran. Dari hasil aklimatisasi dan adaptasi tersebut dihasilkan sintasan sebesar 94%. Hal ini mengindikasikan bahwa udang yang diaklimatisasi sebagian besar adalah udang yang tahan terhadap salinitas rendah dan siap untuk dipindahkan di kolam pembesaran dengan salinitas yang sama (2 ppt). Salinitas ini dapat diturunkan sedikit demi sedikit melalui penambahan air tawar (kurang lebih 1 bulan pemeliharaan di kolam pembesaran) hingga salinitas mencapai 0 ppt.

(3)

Perlakuan yang dicoba adalah A. penambahan molase dan B. tanpa molase. Selama pemeliharaan udang dilakukan pemberian pakan komersial (mengandung protein 35 %) dan diberikan sebanyak 3% dari bobot badan per hari. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali yaitu pada pagi hari (30%), siang hari (30%), dan sore (40%). Untuk perlakuan A dosis pakan dikurangi 20% dari jumlah pakan yang diberikan. Karena ada penambahan molase sebanyak 60%–70% dari jumlah pakan yang diberikan. Dosis molase di dasarkan atas jumlah kandungan protein pakan yang diberikan setiap hari, jumlah nitrogen dari protein sisa pakan yang terbuang (diperkirakan 75% dengan asumsi retensi protein sekitar 25%), serta kandungan total amoniak nitrogen (TAN) air dan kandungan C-organik pada molase. Komposisi kandungan molase yang digunakan diperoleh hasil uji Laboratorium Farmasi, Universitas Airlangga adalah C-organik 31,5%; protein kasar 1,6%; abu 7,3%.

Penambahan kalium dan silikat dengan NPK dan abu sekam dengan dosis 2 mg/L diberikan setiap1– 2 minggu atau tergantung dari kondisi hujan. Sedangkan penambahan natrium dan kalsium dilakukan pada saat hujan deras atau penambahan air dari sumur dengan mengaplikasi air laut sebanyak 5–10 L/petak dan garam (NaCl) sebanyak 1–2 mg/L untuk menjaga keseimbangan osmotik dalam air dan dolomit (10–20 mg/L).

Analisis proksimat meliputi kandungan abu total (destruksi kering), kandungan protein total (Kjeldahl), kandungan lemak total (ekstraksi ether), dan serat kasar (Fibretex). Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. Variabel kualitas air yang diamati adalah suhu, salinitas, oksigen (setiap hari), amonia, nitrit, fosfat, dan Fe (setiap minggu) yang mengacu pada APHA (2005). Pertumbuhan diamati setiap minggu, sedangkan sintasan dan produksi dilakukan pada akhir penelitian. Data kualitas air dianalisis secara deskriptif, sedangkan data pertumbuhan dan sintasan udang windu dianalisis statistik dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) menggunakan program SPSS 15.

HASIL DAN BAHASAN Kualitas Air

Pengelolaan air untuk budidaya udang vaname merupakan persyaratan yang harus dilakukan karena menentukan keberhasilan budidaya. Hasil analisis kualitas air selama penelitian ditampilkan pada Tabel 1.

Suhu pada kedua perlakuan mempunyai kisaran yang hampir sama dengan rata-rata 29°C. Kisaran suhu tersebut masih dalam kategori yang stabil untuk budidaya udang. Menurut Poernomo (1992), suhu optimum sebagai persyaratan tambak udang berkisar 29°C–31°C. Pada kisaran suhu 30°C– 31°C, kecepatan dan besarnya konsumsi oksigen meningkat dan udang tumbuh agak cepat. Demikian pula dengan kemasaman air yang relatif mempunyai kisaran dan rata-rata nilai pH yang hampir sama (Tabel 1). Kemasaman air dapat menyebabkan udang menjadi kropos dan selalu lembek karena tidak dapat membentuk kulit karena kurangnya kalsium dari kulit udang, sebaliknya pH yang tinggi menyebabkan peningkatan kandungan amonia yang secara tidak langsung membahayakan udang. pH yang optimum untuk udang windu pada kisaran 8,0–8,5, sedangkan nilai pH yang merupakan persyaratan untuk budidaya adalah (Poernomo,1992). Kandungan oksigen pada penambahan molase sedikit lebih rendah daripada tanpa molase. Oksigen terlarut yang rendah (< 3 mg/L) diperoleh pada pengukuran pagi hari.

Tabel 1. Pengaruh penambahan molase terhadap suhu, pH, dan oksigen pada budidaya udang vaname di salinitas rendah

Penambahan molase Tanpa molase

Suhu (°C) 26,2–32,1 (x=29,0) 26,4–32,0 (x=29,0)

pH 6,8–7,8 (x=7,5) 7,0–7,8 (x=7,6)

Oksigen terlarut (mg/L) 2,7–6,2 (x=4,5) 2,9–6,5 (x=4,7)

Perlakuan Variabel

(4)

Penambahan molase pada media air budidaya dengan aerasi cukup dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dalam media tersebut dan dapat meningkatkan konsumsi oksigen yang digunakan untuk proses dekomposisi limbah organik sisa pakan dan kotoran udang yang terakumulasi di dasar kolam (Verschuere et al., 2000). Udang dapat tumbuh normal dengan kandungan oksigen terlarut dalam batas optimum yaitu 4–7 mg/L. Menurut Adiwidjaya et al. (2003), bahwa perbedaan kandungan oksigen pada siang dan malam atau pagi lambat laun dapat mempengaruhi pertumbuhan udang. Hal ini juga dilaporkan oleh Boyd (1990), bahwa kandungan oksigen yang terlarut terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mengganggu kesehatan udang sehingga pertumbuhannya menjadi lambat. Jika kandungan oksigen terlarut sekitar 2 mg/L pada suhu 30°C, udang sudah mulai menunjukkan gejala abnormal yaitu berenang di permukaan.

Amoniak (NH3-N) lebih beracun daripada yang berbentuk NH4+, daya racun amoniak semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pH, suhu, dan kesadahan air tambak yang rendah (Hopkin et al., 1993). Kandungan amonia pada semua perlakuan berfluktuasi, namun masih tergolong rendah (< 0,1 mg/L). Kandungan NH3-N 0,45 mg/L dapat menghambat laju pertumbuhan udang sampai 50%, sedangkan kandungan NH3-N 1,29 mg/L sudah membunuh beberapa jenis udang penaeus. Kandungan NH3-N sebesar 0,05–0,2 mg/L sudah menghambat laju pertumbuhan organisme akuatik pada umumnya (Boyd, 1990; Poernomo, 1992). Menurunnya kandungan amoniak diduga disebabkan keberadaan oksigen dan kepekatan air media dalam kolam. Bila pH < 7 sebagian besar amoniak akan mengalami ionisasi, sebaliknya pada pH > 7 berada dalam jumlah yang lebih banyak. Sama halnya dengan amonia, kisaran nitrit (NO2-N) selama penelian juga tergolong rendah (Gambar 1).

Persyaratan kandungan nitrit pada udang adalah < 0,25 mg/L (Poernomo, 1992). Namun nitrit dapat menjadi meracuni udang bila dalam air kandungannya mencapai 0,5 mg/L. Menurut Herbert (1999) dan Sower (2008), bahwa nitrat (NO3-N) merupakan produk akhir dari proses nitrifikasi sebagai sumber unsur N yang mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan alga dan fitoplankton. Kandungan nitrat selama penelitian mencapai rata-rata 0,0155 dan 0,0277 mg/L (Gambar 1). Rendahnya nitrat diduga disebabkan nitrat tersebut dimanfaatkan plankton dan alga lainnya. Menurut Boyd (1990), keberadaan nitrat yang tinggi diperlukan untuk menstimulir pertumbuhan klekap, plankton, dan lumut sebagai pakan alami utama bagi udang, tetapi untuk penerapan tambak udang intensif, nitrat kurang diperlukan karena dapat menyebabkan eutrofikasi dalam tambak yang akan menurunkan kualitas air tambak.

Tingkat kesuburan air tambak yang mempengaruhi kualitas air juga ditentukan dari banyaknya kandungan bahan organik dan anorganik serta keberadaannya di dalam air yaitu melayang-layang atau langsung mengendap ke dasar tambak (Wahab et al., 2003). Kandungan fosfat (PO42-) selama penelitian mencapai rata-rata 0,5813 dan 0,957 mg/L pada penambahan molase, sedangkan tanpa penambahan molase mencapai rata-rata mencapai 0,650–0,818 mg/L (Gambar 1). Menurut Boyd (1990), bahwa kandungan fosfat yang baik untuk budidaya udang berkisar antara 0,1–0,5 mg/L. Lebih lanjut dilaporkan bahwa fosfat umumnya dalam bentuk anorganik sebagai sumber unsur P esensial untuk pertumbuhan klekap, plankton, dan lumut. Kandungan fosfat selama penelitian masih dalam nilai dengan kategori cukup untuk kegiatan budidaya udang vaname.

Kelarutan Fe2+ dalam air disebabkan oleh proses oksidasi-reduksi dalam air. Dalam penelitian ini walaupun menggunakan air sumur (air tanah), namun selama penelitian kandungan Fe2+ masih dalam batas yang bisa ditolelir untuk budiaya udang vaname. Menurut Poernomo (1992), bahwa batas ambang konsentrasi besi untuk budidaya udang windu adalah < 0,01 mg/L.

Proksimat Udang Vaname

Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti Avnimelech et al. (2008); De Shryever et al. (2008); Ekasari (2008); dan Pantjara (2008), bahwa penambahan molase pada udang vaname intensif dapat meningkatkan perkembangan bakteri pengurai. Hal ini diduga disebabkan molase mengandung kalsium, magnesium, potasium, dan besi. Selain itu, molase mengandung kalori yang cukup tinggi, karena terdiri atas glukosa, fruktosa, dan vitamin. Menurut Ju et al. (2008) dan De Shryever et al. (2008), bahwa pada proses biokonversi limbah organik dilakukan berbagai kelompok mikroba heterotrof membentuk sekumpulan jasad hidup (bioflok). Mikroba yang berperan dalam proses

(5)

tersebut mulai dari bakteri, jamur aktinomisetes, dan protozoa. Peranan mikroba yang bersifat selulolitik dan ligninolitik sangat besar pada proses dekomposisi sisa pakan yang banyak mengandung lignoselulosa. Selama peruraian terjadi proses oksidasi C-organik menjadi CO2 yang dapat membebaskan energi dalam bentuk panas. Bioflok sebagai suplemen mengandung protein yang cukup tinggi dan flok tersebut baik untuk udang vaname. Menurut Chamberlain et al., 2001, bahwa pembentukan flok pada budidaya udang yang diberi pakan dengan kandungan protein 22,5%–31,5% (27%) menghasilkan floks yang mempunyai komposisi antara lain bahan organik 66%–78% (×=72,0%), Abu 21%–32% (×=26%), Protein 35%–51% (×=43%), lemak 10%–15% (×=12,5%). Lebih lanjut dilaporkan Ekasari (2008) dan Verstraete et al. (2008), kumpulan mikroba ini mengandung nutrisi seperti protein (19%–32%), lemak (17%–39%), karbohidrat (27%–59%), dan abu (2%–7%).

Komposisi proksimat yang tinggi pada floks dapat menggantikan pemberian pakan sehingga dosis pakan dapat dikurangi. Tampak pada penelitian ini bahwa proksimat yang ada pada udang vaname mempunyai nutrisi yang sama dengan floks. Hasil analisis proksimat udang dari kedua perlakuan ditampilkan pada Tabel 2.

Menurut Schneider et al. (2005) dan Wilson (2000), bahwa protein dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Protein tubuh terdiri atas rantai panjang asam-asam amino. Lemak merupakan

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pengamatan (minggu) N O 3 2- (p pm ) C1 C2 K1 K2 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pengamatan (minggu) N H 3 (p pm ) C1 C2 K1 K2 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pengamatan (minggu) N O 2 - (p pm ) C1 C2 K1 K2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pengamatan (minggu) P O 4 2-C1 C2 K1 K2 Gambar 1.

Pengaruh penambahan molase pada budidaya udang vaname intensif di salinitas rendah pada setiap petak kolam (C= penambahan molase dan K = tanpa penambahan molase)

0 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005 0,006 0,007 0,008 0,009 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pengamatan (minggu) Fe 2+ (p pm ) C1 C2 K1 K2

(6)

konstituen pakan yang merupakan sumber kalori tinggi dan mengandung vitamin yang dapat larut dalam lemak serta mengandung asam lemak esensial. Pada udang lemak berfungsi untuk menjaga plastisitas selaput sel yang kaya akan fosfolipida (Evans, 2000).

Walaupun dalam penelitian ini tidak diteliti secara detail proses peruraian oleh mikroorganisme, namun beberapa literatur memberikan informasi bahwa mikroorganisme berperanan aktif mendaur karbon antara CO2 anorganik dan macam-macam bahan organik penyusun sel hidup. Menurut Burford et al. (2004) dan De Shryever et al. (2008), bahwa metabolisme ototrof dari bakteri fotosintetik dan khemolitotrof menghasilkan produksi primer dari perubahan CO2 anorganik menjadi C-organik. Metabolisme respirasi dan fermentasi mikroba heterotrof mengembalikan CO2 anorganik ke atmosfer. Lebih lanjut dilaporkan Pantjara (2008), bahwa proses perubahan dari C-organik menjadi anorganik pada dasarnya adalah upaya mikroba dan jasad lain untuk memperoleh energi. Proses peruraian bahan organik melalui beberapa tahapan proses seperti amonifikasi, nitrifikasi dan nitrafikasi. Menurut Ekasari (2008), enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba merubah senyawa organik secara kimia, hal ini ditandai adanya bahan organik yang mengalami proses peruraian dan kandungan zat organik yang mudah terurai akan menurun dengan cepat. Selanjutnya limbah pakan tersebut dirombak oleh mikroba. Pemberian oksigen dalam media air menambah O2 dan digunakan untuk mengoksidasi senyawa organik dan membebaskan CO2. Selama proses peruraian, mikroba mengasimilasi sebagian karbon, nitrogen, fosfat, sulphur, dan unsur lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar antara 10%– 70% tergantung kepada sifat-sifat bahan organik limbah dan jenis-jenis mikroba yang aktif. Dengan demikian C-organik yang dibebaskan dalam bentuk CO2 dalam keadaan aerobik hanya 60%–80% dari seluruh kandungan karbon yang ada. Selanjutnya dilaporkan Burford et al. (2004) dan Ju et al. (2008), bahwa hasil perombakan mikroba proses aerobik meliputi CO2, NH4, NO3, SO4, H2PO4. Pada proses anaerobik dihasilkan asam-asam organik, CH4, CO2, NH3, H2S, dan zat-zat lain yang berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna.

Pertumbuhan dan Produksi Udang Vaname

Pertumbuhan udang vaname pada salinitas rendah selain ditentukan oleh faktor lingkungan dan kesediaan pakan dalam kolam. Hasil pertumbuhan bobot udang vaname ditampilkan pada Gambar 2.

Pertumbuhan bobot udang vaname dalam penelitian ini meningkatkan pertumbuhan bobot rata-rata udang vaname dari 0,44 g/ekor menjadi 11,66 g/ekor selama 80 hari pada perlakuan penambahan molase (A), sedangkan tanpa penambahan molase (B) pertumbuhan bobot rata-rata lebih tinggi yaitu mencapai 12,86 g/ekor. Namun demikian, dalam uji statistik menunjukkan bahwa penambahan molase terhadap pertumbuhan bobot tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan dan udang yang dipelihara selama penelitian masih tergolong normal terhadap pertumbuhan.

Pada salinitas rendah dapat menurunkan kandungan oksigen, kekeruhan, pelapisan air, dan kematian plankton terutama setelah turun hujan sehingga menurunkan pH atau meningkatkan kemasaman dalam air. Kemasaman air di kolam dapat menyebabkan udang cenderung berkulit tipis karena alkalinitasnya rendah. Untuk mengantisipasi hal tersebut kolam tersebut ditambahkan air

Tabel 2. Analisis proksimat udang vaname yang dibudidaya pada salinitas rendah dengan penambahan molase

Keterangan: BETN: Bahan ekstrak tanpa nitrogen

Badan Daging Karapas Badan Daging Karapas

Abu (%) 10,34 5,0 19,68 10,44 5,12 19,74

Protein (%) 56,68 55,24 44,92 57,06 55,25 44,62

Lemak (%) 3,83 2,15 3,01 4,0 2,23 2,52

Serat kasar (%) 1,97 0,92 2,16 1,22 1,0 2,21

BETN (%) 27,18 36,69 30,23 27,28 36,4 30,91

(7)

laut segar atau yang berkandungan garam tinggi dan menambah dolomit (CaMg(CO3)2) dan ion K+ serta silikat.

Pertumbuhan bobot udang rata-rata pada penambahan molase mencapai kisaran 9,68–13,64 g/ ekor dengan rata-rata 11,66 g/ekor, sedangkan tanpa molase mencapai kisaran 12,28–13,45 g/ekor dengan rata-rata 12,86 g/ekor. Produksi pada penambahan molase mencapai kisaran 9,718–14,278 kg/petak (6.478,82–9.519,02 kg/ha) dengan rata-rata 11,998 kg/petak (7.998,92 kg/ha), sedangkan tanpa molase mencapai kisaran 11,762–15,540 kg/petak (7,841,39–9.693,08 kg/ha) dengan rata-rata 13,651 kg/petak (8.767,23 kg/ha) (Tabel 3).

Pada aplikasi molase sintasan mencapai kisaran 89,24%–93,05% atau rata-rata 91,15%, sedangkan tanpa molase mencapai kisaran 85,14%–96,09% atau rata 90,61%. Sintasan yang dihasilkan rata-rata tergolong tinggi pada semua perlakuan. Hal ini diduga disebabkan selama penelitian udang tumbuh sehat dan normal serta tidak ditemukan penyakit yang menyerang udang vaname. Beberapa pakar melaporkan bahwa salah satu keuntungan budidaya vaname di salinitas rendah (air tawar) adalah mengurangi serangan penyakit. Selain itu, padat penebaran 75 ekor/m2 dalam penelitian ini masih rendah sehingga belum terjadi persaingan ruang dan makanan yang berlebihan. Dilaporkan oleh Araneda et al. (2008), bahwa pada budidaya udang vaname di salinitas rendah dengan padat penebaran 90 ekor/m2 masih memberikan sintasan yang tinggi dan menurun sintasan pada padat penebaran 180 ekor/m2.

Gambar 2. Pertambahan bobot udang vaname melalui aplikasi molase setiap 10 hari di media air tawar 0 2 4 6 8 10 12 14 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Pengamatan (hari) Pe rt u m b u h a n b e ra t (g /e ko r) C-Molase Tanpa C-Molase

Tabel 3. Pengaruh penambahan molase terhadap respons udang vaname pada salinitas rendah

Huruf yang sama dalam baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% RKP = Rasio Konversi Pakan

Penambahan molase Tanpa molase

Bobot awal (g/ind.) 0,44a 0,44a

Bobot akhir/Final weight (g/ind.) 11,66a 12,86a

Pertambahan bobot (%) 2.550,0 2.823,4

Sintasan (%) 91,15a 90,61a

Konversi pakan 0,975a 1,325b

Jumlah pakan (kg/petak) 11,698a 18,087b

Produksi (kg/petak) 11,998 13,651

Produksi (kg/ha) 7.998,92 8.767,23

Perlakuan Variabel

(8)

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan molase pada media salinitas rendah untuk budidaya udang vaname (perlakuan A) menghabiskan pakan komersial sebanyak 11,698 kg/petak (7.798,67 kg/ha) dengan RKP 0,975 dan jumlah pakan tersebut lebih rendah dibandingkan tanpa molase (perlakuan B) yang mencapai 18,087 kg/petak (12.058 kg/ha) dengan RKP 1,325. Dengan demikian, penambahan molase pada media air bersalinitas rendah untuk udang vaname dapat mengurangi jumlah pakan sebesar 6,389 kg/petak (4,259,3 kg/ha) atau dapat efisiensi pakan komersial sebanyak 35,32%.

KESIMPULAN

Penambahan molase pada budidaya udang vaname salinitas rendah menghasilkan sintasan sebesar 91,15%; rata-rata bobot 11,66 g/ekor; produksi 11,998 kg/bak (7.998,92 kg/ha) dan tanpa molase memperoleh sintasan sebesar 90,61%; rata-rata bobot 12,86 g/ekor; produksi 13,651 kg/bak (8.767,23 kg/ha).

Penambahan molase pada budidaya udang vaname di salinitas rendah dapat mengurangi jumlah pakan. Rasio konversi pakan (RKP) terendah pada penambahan molase (A) dengan RKP 0,975 dan efisiensi pakan sebesar 35,32%.

DAFTAR ACUAN

Adiwidjaya, D., S. P. Raharjo., E. Sutikno dan Subiyanto. 2003. Petunjuk Teknis budidaya udang Vannamei sistem tertutup yang ramah lingkungan. Dirjen. Perikanan Budidaya, 29 hlm.

Anonim. 2003. Litopenaeus vannamei sebagai alternatif budidaya udang saat ini. PT Central Proteina Prima. (Charoon Pokphand Group) Surabaya, 16 hlm.

APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for Examination of Water and Waste-water. 20th edition. APHA, AWWA, WEF, Washington, 1,085 pp.

Araneda, M., Perez, E.P., & Gasca-Leyva, E. 2008. White shrimp Pennaeus vanamei culture in freshwater at three densities: Condition state based on leng and weight. Aquaculture, 283: 13–18.

Avnimelech, Y., Verdegem, M.C.J., Kurup, M., & Keshavanath, P. 2008. Sustainable land-based aquac-ulture: rational utilization of water, land and feed resources. Mediterranean Aquaculture J., 1: 45– 55.

Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama, Birmingham Publishing Co USA., 482 pp.

Burford, M.A., Thompson, P.J., Mcintosh, R.P., Bauman, R.H., & Pearson, D.C. 2004. The contribution of floculated material to shrimp (Litopenaeus vannamei) nutrition in high-intensity, zero-exchange system. Aquaculture, 232: 525–537.

Chamberlain, G., Avnimelech, Y., McIntosh, R.P., & Velasco, M. 2001. Advantages of aerated microbial reuse system with balanced C/N. In : Nutrient Transformation and water quality benefit. Global Aquac-ulture Alliance Advocate, 4:53–56.

Chanratchakool, P., Turnbull, J.F., Funge-Smith, S.J., MacRae, F.H., & Limsuwan, C. 1998. Health Man-agement in Shrimp Ponds, 3rd ed. Aquatic Animal Health Research Institute, Kasetsart University Campus, Bangkok, Thailand, 152 pp.

De Shryever, P., Crab, R., Defoirah, T., Boon, N., & Verstraete, W. 2008. The basic of bioflocs technol-ogy: the added value for aquaculture. Aquaculture, 277: 125–137.

Ekasari, J. 2008. Bio-flok technology: The effect different carbon source, salinity and the addition of probiotics on the primary nutritional value of the bio-flocs. Thesis. Ghent University, Belgium, 72 pp.

Evans, D.H. 2000. The Physiology of fishes. CRC Press, 592 pp.

Fegan, D. 2002. Is vannamei fever sustainable in Asia? Global Aquaculture Advocate, December 2002, 15–16 pp.

Graslund, S. & Bengston, B. 2001. Chemicals and biological products used in South-East Asian shrimp farming, and their potential impact on the enviroment a review. The Science of the total envinronment, 280: 93–131.

(9)

Herbert, R.A. 1999. Nitrogen cycling in coastal marine ecosystems. FEMS Microbiology Review, 23(5): 563–590.

Hopkins, J.S., Hamilton II, R.D., Sandifer, P.A., Browdy, C.L., & Stokes, A.D. 1993. Effect of water exchange on production, water quality, effluent characteristics and nitrogen budgets of intensive shrimp ponds. J. World.

Izquierdo, M., Forster, I., Divakaran, S., Conquest, L., Decamp, O., & Tacon, A. 2006. Effect of green clear water and lipid source on survival, growth and biochemical composition of Pasific white shrimp Litopenaeus vannamei. Aquaculture Nutrition, 12: 192–202.

Ju, Z.Y., Forster, I., Conquest, L., & Dominy, W. 2008. Enhanced growth effects on shrimp (Litopenaeus vannamei) from the inclusion of whole shrimp floc or floc fractions to a formulated diet. Aquacul-ture Nutrition, 14: 533–543.

Lin, Y.C. & Chen, J.C. 2001. Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei boone juveniles at different salinity levels. J. of Experimental Marine Biology and Ecology. Elsevier Science Ltd. ISSN 0022-0981, 259(1): 109–119.

Mangampa, M. & Pantjara, B. 2008. Polikultur udang windu (Penaeus monodon), rumput laut (Gracilaria verrucosa) dan bandeng (Chanos chanos) di lahan marginal. Prosiding Seminar dan Konferensi Nasional Bidang Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, I: 160–165. Pantjara, B. 2008. Efektivitas sumber C terhadap dekomposisi bahan organik limbah tambak udang

intensif. Seminar Nasional Kelautan IV Universitas Hangtuah, Surabaya, hlm. II-195–II-199. Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan, Seri Pengembangan

Hasil Penelitian No. PHP/KAN/PATEK/004/1992. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta, 40 hlm.

Poernomo, A. 2004. Teknologi probiotik untuk mengatasi Permasalahan tambak udang dan lingkungan budidaya. Makalah seminar “The National Symposium on Development and Scientific and Technology Innovation in Aquaculture, Semarang, 27–29 Januari 2004, 24 hlm.

Sower, A.D., Gatlin, D.M., Young, S.P., Browdy, C.L., & Tomasso, J.E. 2008. Responses of Litopenaeus vannamei (Boone) in water containing low concentration of total dissolved solids. Blackwell Pub-lishing. Aquaculture Research, 36(8): 819–823.

Saha, S.B., Bhattacharyya, S.B., & Choudhury, A. 1999. Preliminary observation on culture of Penaeus monodon in low-saline waters. NAGA, ICLARM Q., 22: 30–33.

Sangamaheswaran, A.P. & Jeyaseelan, M.J.P. 2001. White spot viral disease in penaeid shrimp–a re-view. NAGA, ICLARM Q., 24: 16–22.

Schneider, O., Sereti, V., Eding, E.H., & Verreth, J.A.J. 2005. Analysis of nutrient flows in integrated intensive aquaculture systems. Aquaculture Engineering, 32: 379–401.

Sugama, K. 2002. Status budidaya udang introduksi Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris suatu prospek pengembangan dalam tambak air tawar. Warta Pen. Perik. Indonesia, 8(3): 19–22. Trobos. 2005. Udang tidak lagi di balik batu. (Edisi khusus World Aquaculture 2005). PT Permata Wacana

Lestari, 14 hlm

Verschuere, L., Rombaut, G., Sogeloos, P., & Verstraete, W. 2000. Probiotic bacteria as biological con-trol agents in aquaculture. Mic. Mol Biol Rev., 64(4): 655–671.

Wahab, A.M, Bergheim, A., & Braaten, B. 2003. Water quality and partial mass budget in extensive shrimps ponds in Bangladesh. Aquaculture, 218: 413–423.

Wyban, J. 2002. White shrimp boom continues. Global Aquaculture Advocate, 18–19 p.

Wilson, R.P. 2000. Amino acids and proteins. In Halver, J.E. & Hardy, R.W. (Eds). Fish Nutrition. New York: Academic Press, p. 143–179.

Yu, C.I. & Song, Y.L. 2000. Outbreaks of Taura syndrome in pacific white shrimp Penaeus vannamei cultured in Taiwan. Fish Pathology, 35(1): 21–24.

Gambar

Tabel 1. Pengaruh penambahan molase terhadap suhu, pH, dan oksigen pada budidaya udang vaname di salinitas rendah
Tabel 2. Analisis proksimat udang vaname yang dibudidaya pada salinitas rendah dengan penambahan molase
Gambar 2. Pertambahan bobot udang vaname melalui aplikasi molase setiap 10 hari di media air tawar

Referensi

Dokumen terkait

Kondensor merupakan salah satu peralatan penting dalam sebuah proses di power plant khususnya pada sistem PLTU Bukit Asam yang fungsinya adalah untuk mengkondensasikan uap

Tujuan Mampu memperbaiki dan mempertahankan system sirkulasi sehingga penderita dapat dibebaskan dari ancaman kematian atau kerusakan organ/cacat lebih lanjut dengan

Banyak universitas memilih siswa untuk menjadi komite disiplin (komdis), biasanya komdis ada saat pelaksanaan orientasi kampus untuk menertibkan mahasiswa baru. Dalam

Pengabdian masyarakat ini menghasilkan suatu percontohan menarik bahwa budidaya jahe merah sebenarnya memiliki prospek bisnis yang baik di masa depan, mudah untuk ditanam dalam

LAMPIRAN 8 SENARAI INDUK BORANG PEMERIKSAAN PEMBINAAN.. Bidang Tajuk

Guna memenuhi semua kebutuhan bayi, maka ASI perlu ditambah dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Setelah berumur 1 tahun, meskipun ASI hanya bisa memenuhi 30% dari

resentasi Menampilkan sli'e presentasi !erisi &gt;i'eo tentan&#34; lan&#34;ka%-lan&#34;ka% 'an perinta% 'alam instalasi sistem operasi. RPP - Teknik Komputer