• Tidak ada hasil yang ditemukan

pelayanan tetap bermutu (Thakur, et al., 2008). Menurut Donabedian (1966), terdapat tiga aspek penting dalam meningkatkan mutu fasilitas pelayanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "pelayanan tetap bermutu (Thakur, et al., 2008). Menurut Donabedian (1966), terdapat tiga aspek penting dalam meningkatkan mutu fasilitas pelayanan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan menjadi salah satu perhatian utama Kementerian Kesehatan Indonesia yang dituangkan di dalam Rencana Kerja Pemerintah 2015 – 2019. Pelayanan gizi merupakan salah satu faktor penting dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pelayanan gizi di rumah sakit dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan, memperbaiki, dan meningkatkan status gizi melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan klien/pasien. Saat ini Rumah Sakit di Indonesia dituntut untuk dapat memenuhi kualitas pelayanan yang disyaratkan. Proses penyelenggaraan pelayanan gizi di rumah sakit memerlukan suatu pedoman sebagai acuan untuk pelayanan bermutu yang dapat mempercepat proses penyembuhan pasien, memperpendek lama hari rawat, dan menghemat biaya perawatan. Dalam proses peningkatan mutu pelayanan di bidang gizi, Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 telah menerbitkan Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) yang disesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang gizi, kedokteran, kesehatan, dan standar akreditasi rumah sakit 2012 untuk menjamin keselamatan pasien. Pedoman ini mengacu pada The Joint Comission International (JCI) for Hospital Accreditation sehingga diharapkan dapat menjadi acuan bagi rumah sakit untuk melaksanakan kegiatan pelayanan gizi yang berkualitas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Pelayanan gizi dapat dikatakan bermutu apabila memenuhi 3 komponen mutu, yaitu 1) pengawasan dan pengendalian mutu untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman, 2) menjamin kepuasan pasien, 3) assessment yang berkualitas. Untuk mengetahui mutu suatu pelayanan kesehatan, diperlukan indikator serta pengawasan dan evaluasi yang berkesinambungan untuk menjaga

(2)

pelayanan tetap bermutu (Thakur, et al., 2008). Menurut Donabedian (1966), terdapat tiga aspek penting dalam meningkatkan mutu fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu input (struktur), proses, dan outcome. Pelayanan yang berkualitas dapat tercipta apabila terjadi umpan balik dari ketiga aspek tersebut.

Indikator mutu pelayanan kesehatan merupakan alat yang penting untuk mengukur mutu pelayanan (Thakur, et al., 2008). Peningkatan biaya dalam pelayanan kesehatan, yang disertai dengan tuntutan agar pelayanan didasari oleh kebijakan evidence-based, tuntutan terhadap akuntabilitas pembiayaan, dan penilaian pengaruh pelayanan kesehatan terhadap kualitas kesehatan masyarakat menyebabkan peningkatan tuntutan terhadap penggunaan indikator sebagai alat ukur kinerja dan mutu (Hussey et al., 2006; Mattke et al., 2006). Beberapa indikator untuk menilai dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan telah banyak dikembangkan berbagai lembaga dan peneliti di luar negeri. Indikator yang didasarkan pada “best practices evidence” terbukti dapat meningkatkan status kesehatan dan dapat digunakan sebagai alat untuk menilai, melacak, dan memonitor kinerja pemberi pelayanan (Hussey, et al., 2006). Di Amerika Serikat, pengembangan indikator mutu bermula dari Intitute of Medicine (IoM) dalam “Crossing the Quality Chasm : A New Health System for the 21st Century” yang menyatakan bahwa diperlukan upaya peningkatan mutu dengan menitikberatkan pada bagaimana suatu sistem kesehatan dapat ditata-ulang melalui inovasi untuk mencapai pelayanan yang optimal (Intitute of Medicine, 2001). Hal ini ditindaklanjuti oleh The Federal Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) yang merupakan pelopor dalam pengembangan indikator mutu pelayanan kesehatan. Indikator mutu pelayanan kesehatan oleh AHRQ dikembangkan dari indikator mutu yang disusun oleh Heathcare Cost and Utilization Project (HCUP) pada tahun 1994 (Hussey, et al., 2006). Saat ini AHRQ telah menyusun 4 set indikator mutu, yaitu, Inpatient Quality Indicators (IQIs), Patient Safety Indicators (PSIs), Prevention Quality Indicators (PQIs), Pediatric Quality Indicators (PDIs).

(3)

Meskipun banyak indikator dikembangkan melalui berbagai penelitian, hanya sedikit kepustakaan mengenai indikator mutu yang menitikberatkan pada pelayanan gizi (Diez-garcia, et al., 2013). Hasil ini disebabkan oleh perspektif yang masih menganggap bahwa gizi merupakan pelayanan yang kurang penting (Diez-garcia, 2006). Dalam suatu penelitian di bidang gizi yang dilakukan oleh Diez-garcia, et al. (2012), indikator pelayanan gizi di rumah sakit dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu, yaitu Nutritional Care Quality (NCQ) dan Food Service Quality (FSQ) dimana masing-masing bagian utama terdiri dari 4 indikator. Indikator lain yang dikembangkan oleh Lisa McDowell dalam “Clinical Nutrition Quality and Patient Outcome” merupakan suatu pengembangan indikator pelayanan gizi berdasarkan prinsip dari Intitute of Medicine (IOM) dalam upaya peningkatan mutu yang dikenal dengan “six quality aim” yaitu patient safety, patient-centeredness, efficiency, effectiveness, timeliness, dan equity di sebuah rumah sakit pendidikan. Ia mengamati beberapa inisiatif yang bersifat spesifik, dalam hal ini adalah dukungan gizi (nutrition support) yang telah dilakukan dan melihat pengaruhnya kepada tindakan klinis, kinerja petugas, dan keluaran (outcome) pasien (McDowell, 2007).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Abdul Aziz adalah rumah sakit tipe B milik pemerintah dimana instalasi gizi masih menggunakan standar pelayanan minimal dalam proses pemantauan kinerja instalasi gizi. Dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit ditetapkan bahwa indikator standar pelayanan gizi meliputi 1) Ketepatan waktu pemberian makanan kepada pasien (100%); 2) Sisa makanan yang tidak dihabiskan pasien (≤20%); dan 3) Tidak ada kesalahan pemberian diet (100%) (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Dengan menggunakan indikator standar pelayanan minimal tersebut telah dilakukan upaya Continous Quality Improvement (CQI) atau upaya peningkatan mutu berkelanjutan terkait pelayanan gizi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Abdul Aziz. Hasil penilaian kinerja instalasi gizi berdasarkan Standar Pelayanan Minimal menunjukkan peningkatan kinerja dari tahun 2014 ke tahun

(4)

2015 melalui upaya Continous Quality Improvement (CQI). Hasil pemantauan kinerja berdasarkan indikator ketepatan pemberian waktu makan pasien meningkat dari 89,35% menjadi 100% melalui upaya perbaikan dengan penambahan jumlah trolley makanan dan peningkatan pengawasan pada proses produksi dan distribusi, karena berdasarkan analisis tahun 2013 diketahui bahwa keterlambatan terjadi karena kekurangan jumlah trolley makanan dan pemantauan yang longgar pada saat produksi dan distribusi. Selain itu, indikator sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien (standar ≤20%) juga mengalami perbaikan, dari 19,57% menjadi 8,6% melalui upaya penggantian alat makan pasien dan inovasi menu untuk pasien kelas III. Kinerja instalasi gizi terkait indikator ‘tidak ada kesalahan pemberian diet’ dapat dipertahankan sebesar 100%, dimana telah sesuai antara pesanan diet, diet yang disajikan, dan rencana asuhan gizi yang ditetapkan oleh ahli gizi.

Berdasarkan hasil pemantauan kinerja instalasi gizi pada tahun 2014 dan 2015, diketahui bahwa kinerja Instalasi Gizi RSUD dr.Abdul Aziz mengalami peningkatan dan telah mencapai standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, maka Instalasi Gizi RSUD dr.Abdul Aziz perlu mengembangkan indikator mutu pelayanan gizi agar tercapai kinerja pelayanan gizi yang optimal, diluar indikator standar pelayanan minimal yang telah digunakan. Beberapa rumah sakit sudah mulai mengembangkan kepuasan konsumen dengan indikator mutu mengingat ruang lingkup pelayanan gizi di rumah sakit yang kompleks meliputi pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, penyelenggaraan makanan, dan penelitian dan pengembangan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

B. Perumusan Masalah

Peningkatan biaya dalam pelayanan kesehatan, yang disertai dengan tuntutan agar pelayanan didasari oleh kebijakan evidence-based, tuntutan terhadap

(5)

akuntabilitas pembiayaan, dan penilaian pengaruh pelayanan kesehatan terhadap kualitas kesehatan masyarakat menyebabkan peningkatan tuntutan terhadap penggunaan indikator sebagai alat ukur kinerja dan mutu (Hussey et al., 2006; Mattke et al., 2006). Untuk mengetahui pencapaian kinerja instalasi maka perlu disusun suatu indikator yang sesuai dengan kondisi masing – masing rumah sakit. Selama ini RSUD Dr. Abdul Aziz tidak memiliki model indikator mutu untuk mengetahui pencapaian kinerja instalasi gizi. Penilaian kinerja hanya berdasarkan Standar Pelayanan Minimal untuk instalasi gizi, yaitu 1) Ketepatan waktu pemberian makanan kepada pasien (100%); 2) Sisa makanan yang tidak dihabiskan pasien (≤20%); dan 3) Tidak ada kesalahan pemberian diet (100%). Hasil penilaian kinerja instalasi gizi berdasarkan Standar Pelayanan Minimal menunjukkan peningkatan kinerja dari tahun 2014 ke tahun 2015 melalui upaya Continous Quality Improvement (CQI), yaitu indikator ketepatan pemberian waktu makan pasien meningkat dari 89,35% menjadi 100%; indikator sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien (standar ≤20%) membaik dari 19,57% menjadi 8,6%; kinerja instalasi gizi terkait indikator ‘tidak ada kesalahan pemberian diet’ dapat dipertahankan sebesar 100%.

Mengingat ruang lingkup pelayanan gizi di rumah sakit yang kompleks meliputi pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, penyelenggaraan makanan, dan penelitian dan pengembangan, maka setiap rumah sakit perlu menetapkan dan mengembangkan indikator mutu pelayanan gizi agar tercapai kinerja pelayanan gizi yang optimal. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : “Bagaimana proses penyusunan indikator mutu di Instalasi Gizi RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat?”

(6)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang berjudul “Proses Penyusunan Indikator Mutu Pelayanan Instalasi Gizi RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat” ini adalah sebuah penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk melakukan deskripsi dan evaluasi terhadap proses penyusunan indikator mutu Instalasi Gizi. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Memahami proses penyusunan indikator mutu

2. Melakukan pengembangan indikator mutu pelayanan instalasi gizi berdasarkan tahapan action research

3. Melakukan uji coba rancangan indikator mutu instalasi gizi 4. Mengevaluasi hasil uji coba indikator mutu yang telah disusun

5. Mengetahui hambatan dan dukungan dalam proses pelaksanaan penyusunan indikator mutu

D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi pihak manajemen, sebagai bahan masukan apabila akan dilakukan penyusunan indikator mutu bagi instalasi yang lain dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja instalasi gizi secara berkala, membantu dalam penentuan kebijakan rumah sakit terkait pelayanan instalasi gizi.

2. Bagi peneliti adalah untuk mengetahui proses pengembangan indikator mutu dan penyusunan instrumen penilaian kinerja dan hasil uji cobanya.

3. Bagi ilmu manajemen pelayanan gizi di rumah sakit, sebagai referensi tentang pengembangan indikator mutu dan instrumen penilaian kinerja instalasi gizi di rumah sakit.

(7)

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian action research. Berikut ini adalah penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait pengembangan indikator mutu :

1. Diez-garcia et al. (2013) dengan judul Food and nutritional care quality indicators in hospital.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengumpulan informasi dengan menggunakan kuesioner pada koordinator Hospital Food and Nutrition Service (HFNS) dari 37 rumah sakit di São Paolo, Brazil. Hasil penelitian ini adalah didapatkan informasi mengenai aktifitas dari clinical dietitians dan administrative dietitians, manajemen dan produksi makanan, serta karakteristik diet rumah sakit. Data kemudian dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu Nutritional Care Quality (NCQ) dan Food Service Quality (FSQ). Masing-masing bagian utama terdiri dari 4 indikator, dan indikator NCQ meliputi inpatient dietary coverage action, evaluation and monitoring of nutritional status actions, actions on integration of nutritional assistance activities within team, dan actions supporting diet therapy, sedangkan indikator FSQ meliputi mediation actions with users and other hospital sectors, autonomy and management control actions, meal production qualification actions, dan staff qualification actions.

2. McDowell (2007) dengan judul Clinical Nutrition Quality Indicators and Patient Outcomes.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan di sebuah rumah sakit pendidikan dan disusun clinical nutrition quality indicators yang berkaitan dengan Six Intitute of Medicine (IOM) Quality Aims yaitu patient safety, patient-centeredness, effectiveness, efficiency, timeliness, equity. Indikator ini disusun sebagai kolaborasi bersama tim medis dan bedah untuk meningkatkan kualitas pelayanan dukungan nutrisi. Registered dietitians

(8)

(RDs) harus dapat memenuhi indikator mutu untuk dapat memenuhi kebutuhan pasien. Beberapa contoh monitor mutu pada indikator telah berhasil disusun misalnya indikator yang terkait dengan patient safety adalah pemberian makan permanen melalui pipa dengan tepat, menghindari pemberian melalui central line bila terapi dukungan nutrisi kurang dari 7 – 10 hari, kontrol glikemik ketat (kadar glukosa serum 90 – 140 mg/dL), dan penetapan kriteria dalam pemberian terapi.

3. Tandrasari (2009) dalam tesis dengan judul “Penyusunan Indikator Klinis” Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan action research dengan tahapan penelitian yang mengikuti teori tahapan pengembangan indikator oleh Wollersheim et al. (2007) dan kemudian disesuaikan dengan tahapan yang terdapat dalam siklus action research yaitu tahap diagnosing, tahap planning action, tahap taking action, dan tahap evaluating action. Subjek penelitian adalah SMF Obstetri dan Ginekologi di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta beserta para dokter spesialis dan dokter yang mengikuti pendidikan spesialisasi obstetri dan ginekologi semester akhir. Berdasarkan hasil kuesioner didapatkan 10 indikator klinis untuk diukur di SMF Obstetri dan Ginekologi dan terdapat satu indikator klinis yang tidak mempunyai data, yaitu numerator dari indikator klinis untuk pelayanan partus normal/vaginal. Pada akhir proses didapatkan kesepakatan dalam workshop finalisasi yaitu perlu perubahan dan perbaikan definisi operasional, nilai standar pencapaian, dan ketersediaan data yang ada.

4. Oetami (2000) dalam tesis dengan judul “Evaluasi proses penyusunan indikator kinerja di Instalasi Laboratorium RS Islam Klaten”

Penelitian ini merupakan studi kasus deskriptif di Instalasi Laboratorium RS Islam Klaten. Pada akhir proses penyusunan indikator kinerja di instalasi laboratorium diketahui bahwa proses yang efektif adalah dimulai dengan brainstorming kepala instalasi dengan staf, pembentukan tim untuk identifikasi indikator potensial, pengambilan kesepakatan terhadap indikator

(9)

yang akan diuji coba, proses uji coba, dan diakhiri dengan rapat penetapan indikator. Pada proses penelitian, diketahui keterbatasan dari proses penyusunan indikator adalah pengetahuan staf yang terbatas, keterbatasan informasi, dan partisipasi yang kurang dari dokter spesialis.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan dengan judul “Proses Penyusunan Indikator Mutu Pelayanan Instalasi Gizi RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat” terletak pada :

a. Desain penelitian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan action research

b. Subjek penelitian adalah karyawan instalasi gizi

c. Jenis indikator mutu yang akan dikembangkan adalah indikator mutu terkait pelayanan instalasi gizi

d. Metode penyusunan dan pengembangan indikator mutu

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan kelompok pengeluaran yang mengalami kenaikan indeks yaitu kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 1,28 persen; kelompok perumahan, air,

Pero, sinabi ni Crispin na hindi maniniwala ang kanilang ina sapagkat ipikikita niya ang maraming latay na likha ng pagpalo ng kura at ang bulsa niyang butas-butas na walang

The researcher SUHVHQWHG WKH UHVXOW RI WKH WHVW VKRZLQJ WKH VWXGHQWV¶ ability. Before the real test is given to the sample class, the tryout was given to the tryout class which

Hasil penghitungan korelasi antara variabel dan koefisien determinasi di atas telah memberikan jawaban terhadap rumusan masalah yang diajikan dalam Bab I, yaitu (1) Apakah

Sebuah aplikasi akuntansi yang dapat digunakan untuk mempermudah proses pencatatan akuntansi dalam suatu perusahaan adalah program aplikasi Zahir Accounting

Faktor penghambat dalam Implementasi Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil (Studi

Oleh karena itu, rangkaian nilai itu dianalisis untuk mengungkapkan teks SWA se- bagai karya yang utuh dalam pem- bentukan karakter anak melalui kar- ya sastra pada

Beranjak dari kenyataan tersebut penelitian yang telah dilakukan ini adalah untuk mengukur secara kuantitatif bagaimana sesungguhnya tingkat pencapaian aspek pemberdayaan