• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYESUAIAN DIRI IBU YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL SEDANG. Fraline Kayandi, Denrich Suryadi, & Mardiana The *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYESUAIAN DIRI IBU YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL SEDANG. Fraline Kayandi, Denrich Suryadi, & Mardiana The *)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENYESUAIAN DIRI IBU

YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL SEDANG

Fraline Kayandi, Denrich Suryadi, & Mardiana The

*)

ABSTRACT

Mother whose child with moderate mental retardation will feel disappointed and sad. Mother as primary caretaker must give more attention and do self adjustment with child`s condition. Self adjustment is a dynamic and natural process in order to change individual`s behavior to be adjust with it’s environment. Moderate mental retardation was classified as a child can take up arms and has of IQ limited about 35-40 to 50-55. This research was using interviewing technique and observation. Interview process was begun at April, 10, 2008 to November, 5, 2008. The research involves four subjects samples. The research result was shown that self adjustment was done by four subjects, however not all the subjects can be identified as having a good self adjustment. Two subjects feels getting success in self-adjustment by child and environment, because they have support from their family and environment. While two other subjects feel no success in self-adjustment by child and environment, because they have less support from their family and environment.

Keywords: Self-adjustment, Mothers, and Moderate Mental Retardation.

Anak merupakan buah pertautan cinta suami istri yang sangat didambakan kehadirannya, yang ditunggu-tunggu. Saat-saat menggembirakan tersebut dapat berubah menjadi kekecewaan, manakala suami istri menyaksikan proses perkembangan anaknya tidak sesuai dengan anak normal lainnya karena anak tersebut mengalami kelainan, baik fisik maupun mental, salah satunya adalah retardasi mental atau tunagrahita. Anak yang mengalami retardasi mental adalah mereka yang perkembangan intelektualnya terhambat, sehingga bila dilakukan pengukuran terhadap potensi kecerdasan akan menghasilkan skor IQ 70 sampai dengan kurang dari 20. Ada 4 klasifikasi retardasi mental, menurut DSM-IV-TR (2000) sebagai berikut:

Tabel 1

Klasifikasi Retardasi Mental menurut DSM-IV-TR Klasifikasi Rentangan IQ Mild 50-55 hingga 70 Moderate 35-40 hingga 50-55 Severe 20-25 hingga 35-40 Profound < 20-25

Penelitian ini secara khusus berfokus pada anak-anak yang menyandang retardasi mental sedang (moderat). Anak yang menyandang retardasi mental sedang biasanya mengalami kerusakan otak dan berbagai gejala lain yang sering

*) Penulis pertama adalah alumnus Program Studi S1 Psikologi Universitas Tarumanagara (email:f_k310585@yahoo.com), penulis kedua adalah staf pengajar tetap pada Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara (email: angiedenrich@yahoo.com), penulis ketiga adalah staf pengajar tidak tetap pada Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara (email: mardiana_tan@yahoo.com)

(2)

terjadi. Mereka memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat motorik halus dan motorik kasar (Davison et al., 2004). Mereka sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti menulis, membaca, dan berhitung (Somantri, 2006). Selain itu mereka juga menampakkan gangguan pada fungsi berbicara (Mangunsong, 1998). Maka di samping struktur kalimat yang disampaikan cenderung tidak teratur, dalam pengucapannya juga seringkali terjadi pengurangan kata maupun kekacauan (Efendi, 2006).

Anak retardasi mental sedang masih dapat dididik mengurus diri seperti mandi, berpakaian, makan minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, dan sebagainya (Somantri, 2006). Mereka juga termasuk anak yang mampu latih, dapat dilatih untuk beberapa keterampilan tertentu. Anak retardasi mental sedang biasanya dimasukkan ke SLB bagian C1 yang dikhususkan untuk mereka yang mampu latih (Mangunsong, 1998). Setelah ibu mengetahui keadaan anaknya yang terlahir retardasi mental, reaksi umum yang terjadi adalah sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak atau marah,

shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan

kecacatan yang diderita anaknya, sebelum akhirnya menerima keadaan anak (Mangunsong, 1998).

Menurut Cumming, ibu dari anak retardasi mental umumnya lebih bersifat depresif, lebih merasakan berbagai masalah yang menimbulkan kemarahan, merasa lebih disibukkan daripada disenangkan oleh anak tersebut (dikutip dalam Budiantini, 1997). Ibu kerapkali tidak mau menerima keadaan anaknya yang terlahir cacat karena tekanan sosial maupun tekanan pribadi. Stereotip kultural mengenai anak yang ideal menyebabkan ibu mengharapkan anaknya dapat berperan sebagaimana anak normal lainnya. Bahkan tak jarang ibu merasakan penurunan harga diri disebabkan oleh kelahiran anak yang tidak sesuai dengan harapannya (Mangunsong, 1998). Pada umumnya ibu tidak hanya merasa kecewa, karena anaknya tidak dapat memenuhi sebagian harapannya, tetapi juga merasa bingung bagaimana mengatasi kecemasan dan frustrasi yang mungkin dialami anak, terutama pada masa-masa awal pengasuhan (Daengsari, 2005). Keadaan keterlambatan perkembangan mental atau retardasi mental anak membuat ibu menjadi pasrah atau menganggap anak yang mengalami retardasi mental sebagai suatu aib dalam keluarga. Ibu biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang mengalami retardasi mental/tunagrahita sedang (moderate). Mereka tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat (Somantri, 2006).

Reaksi ibu terhadap kecacatan anak dapat berbeda-beda tergantung pada penyebab kecacatan (Mangunsong, 1998). Reaksi-reaksi yang dialami ibu karena keadaan anaknya tersebut, merupakan suatu proses awal penyesuaian diri ibu untuk dapat menerima terlebih dahulu keadaan anak. Namun demikian proses penerimaan ini juga membutuhkan waktu, karena dalam melakukan proses tersebut ada saja hambatan atau rintangan yang dialami oleh ibu (Mangunsong, 1998). Setelah ibu dapat menerima keadaan anak, ibu mulai mencari informasi tentang keterbatasan mental yang dialami anaknya, cara pengasuhan anak seperti itu, dan mencari informasi tentang para ahli profesional yang dapat membantu dalam program pendidikan anak tersebut. Selain itu ibu juga akan mencari tahu keadaan anaknya dengan mencoba memperoleh berbagai diagnosis dari dokter maupun terapis yang dapat memberikan prognosis yang lebih positif (Mangunsong, 1998). Tenaga dokter memiliki tanggung jawab penting untuk membimbing orangtua, khususnya ibu, dalam bereaksi terhadap berita kecacatan anak dan hal ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah diagnostik terhadap anak (Mangunsong, 1998). Hal ini memang perlu dilakukan oleh ibu yang mempunyai anak yang mengalami retardasi mental/tunagrahita sedang (moderate), agar anak yang memiliki kekurangan juga mempunyai pendidikan dan keterampilan.

(3)

Seorang ibu perlu menerima terlebih dahulu keadaan anaknya dan pada akhirnya diharapkan mampu menyesuaikan diri. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan juga mengorganisasikan respons-respons sedemikian rupa, sehingga dapat mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara efektif (Fatimah, 2006).

Haber dan Runyon (1984) mengemukakan lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif. Pertama, memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik, melihat sesuatu apa adanya adalah sangat penting. Individu hidup sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada dan merubah tujuan tersebut di dalam kehidupan sehari-harinya. Kedua, kemampuan untuk mengatasi stres dan kecemasan. Individu yang mempunyai penyesuaian diri yang baik mampu untuk mengatasi kecemasan dan stres. Individu mampu untuk mencari pemecahan dari masalah yang sedang dihadapi, tidak terpaku pada satu cara penyelesaian saja, tetapi mencoba untuk membuat alternatif lain, berusaha untuk meminimalkan stres atau kecemasan dengan berbagai cara dan mensyukuri keadaan. Penyesuaian yang efektif adalah jika individu dapat mengatasi kecemasan dan stres ini, yaitu dengan cara membuat tujuan jangka pendek yang lebih mudah dicapai sehingga dapat menimbulkan perasaan puas dan bahagia. Ketiga, memiliki citra diri/self image positif. Walaupun citra diri positif sangat diperlukan dalam penyesuaian diri yang efektif, individu tidak boleh kehilangan jati diri. Individu dapat mempersepsikan dirinya, baik kekurangan dan kelebihan dirinya sesuai dengan kenyataan dan sesuai dengan persepsi individu lain terhadap dirinya, maka individu tersebut akan dapat menerima dirinya apa adanya. Selain itu individu yang mengetahui kelemahan dari dirinya dan tidak terpaku pada kekurangan yang ada, tetapi berusaha untuk memperbaiki dan terbuka terhadap kritik dari lingkungan merupakan individu yang memiliki citra diri yang positif. Keempat, memiliki kemampuan untuk mengekspresikan perasaan. Individu yang sehat mampu merasakan dan mengekspresikan emosi dan perasaannya dengan realitas dan pada umumnya masih terkontrol. Ketika seseorang merasa kesal, ia dapat mengekspresikan dengan cara yang tidak melukai orang lain. Beberapa individu tidak dapat mengekspresikan emosinya secara bebas, tetapi ada juga individu yang terlalu mengekspresikan perasaan secara bebas. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik memerlukan keseimbangan di antara keduanya. Kelima, memiliki hubungan interpersonal yang baik. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mampu mencapai derajat keakraban yang sesuai dalam hubungan sosialnya. Mereka mampu dan merasa nyaman berhubungan dengan orang lain. Selain itu mereka menyadari bahwa kehidupan tidak selalu berjalan baik dan lancar. Hubungan yang baik pun dapat menyakitkan dan kadang-kadang membuat frustrasi.

Untuk melewati konflik, kesulitan, dan frustrasi, ibu juga memerlukan dukungan, salah satunya dukungan dari lingkungan keluarga karena keluarga merupakan media sosialisasi (Fatimah, 2006). Penyesuaian diri di dalam keluarga meliputi komunikasi dan partisipasi di dalam keluarga (Mangunsong, 1998). Selain mendapatkan dukungan dari keluarga, dukungan juga dapat diperoleh dari lingkungan sekitar (Efendi & Tjahjono, 1999). Ibu yang memiliki anak yang menyandang retardasi mental dan mampu menerima kehadiran anaknya dengan cara-cara yang baik akan menciptakan suasana hangat, menyenangkan, dan rasa aman bagi anak dan ibu itu sendiri, sehingga ibu dapat menyesuaikan diri dan kemudian berusaha mendidik anaknya dengan tepat.

Permasalahan

(4)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh ibu yang memiliki anak yang mengalami retardasi mental, baik dengan dirinya sendiri, keluarga maupun lingkungan sekitar. Penelitian ini juga ingin mengetahui cara ibu mengasuh, mendidik, dan memberi perhatian pada anak yang menderita retardasi mental. Peneliti juga ingin mengetahui apakah proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh ibu dalam menghadapi anaknya dapat dikatakan berhasil sehingga membantu proses pendidikan anak agar dapat mandiri secara maksimal.

Metode Subyek

Subyek dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak yang menyandang retardasi mental sedang (Moderate) yang IQ-nya berada pada taraf 35-40 hingga 50-55. Usia ibu yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi antara 22-40 tahun. Usia anak yang mengalami retardasi mental juga dibatasi antara 6-12 tahun. Pada penelitian ini saudara kandung dari anak yang menyandang retardasi mental juga ditentukan, yaitu yang memiliki kakak dan adik yang keadaannya normal. Ibu yang menjadi subyek penelitian tidak dibatasi agama, ras atau suku, dan status ekonomi maupun tingkat pendidikannya, untuk lebih melihat keragaman proses penyesuaian dirinya. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah judgmental

sampling. Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan dan mengolah data adalah

dengan In-Depth Interview.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk membantu proses penelitian ini adalah pedoman wawancara yang sudah tersusun dengan rapi, informed consent untuk diisi oleh subyek penelitian sebelum proses wawancara dimulai, alat perekam (tape

recorder) dan beberapa kaset kosong yang digunakan untuk merekam pada saat

wawancara berlangsung antara peneliti dengan partisipan, alat tulis, dan kertas kosong.

(5)

Hasil

Tabel 2 Data Subyek

Data Ibu Kaka Ibu Tike Ibu Hana Ibu Fefe

Usia ibu 39 tahun 40 tahun 39 tahun 27 tahun

Usia ibu mengandung

28 tahun 30 tahun 29 tahun 21 tahun

Pendidikan SMA SMA SMA SMEA

Agama Kristen Islam Islam Islam

Domisili Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta

Pekerjaan Pekerjaan suami Usaha salon Usaha salon Ibu RT Pegawai Negeri Ibu RT swasta Ibu RT Office Boy (OB)

Usia anak 11 tahun 11 tahun 10 tahun 6 tahun

Jenis kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Urutan lahir Anak Anak kedua dari dua bersaudara (Kembar) Anak keempat dari lima bersaudara Anak pertama dari dua bersaudara Anak pertama dari dua bersaudara Nilai IQ (Berdasarkan tes inteligensi yang pernah dilakukan) 50 40 41 48

Karakteristik Penyesuaian Diri Subyek berdasarkan Teori Penyesuaian Diri Haber dan Runyon (1984)

Karakteristik penyesuaian diri Ibu Kaka Ibu Tike Ibu Hana Ibu Fefe Memiliki persepsi yang akurat

terhadap realitas

Mengatasi stres dan

kecemasan

Citra diri/self image positif x x

Kemampuan untuk

mengekspresikan perasaan

Hubungan interpersonal yang

baik

x x

Pemenuhan Karakteristik Penyesuaian Diri (Haber & Runyon, 1984) Memiliki Persepsi yang Akurat Terhadap Realitas

(6)

Ibu Kaka dan Ibu Tike dapat menerima keadaan anaknya dengan melihat perkembangannya secara bertahap dan walaupun kondisi anak ibu Kaka memiliki kekurangan, namun ibu Kaka merasa bersyukur dengan kondisi anaknya karena masih ada yang lebih parah lagi dari kondisi anaknya. Ibu Hana dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya karena ibu Hana memiliki harapan anaknya dapat berbicara dan menganggap anaknya sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga. Ibu Fefe mulai dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya karena ibu Fefe melihat di sekolah SLB masih ada yang lebih parah dari kondisi anaknya. Keempat subyek tetap mengusahakan untuk memberikan pendidikan serta terapi yang terbaik bagi anaknya.

Mengatasi Stres dan Kecemasan

Keempat partisipan memiliki stres dan cemas pada masa depan anaknya masing-masing dan mengatasi stresnya dengan cara mereka masing-masing-masing-masing. Ibu Kaka ingin anaknya memiliki kemandirian untuk masa depannya dan mengupayakan anaknya untuk mampu bekerja sendiri. Ibu Tike sempat merasa stres dan malu dengan keadaan anaknya, tetapi karena ibu Tike melihat ada lagi anak lain yang sama dengan anaknya bahkan ada yang lebih parah lagi, ibu Tike mulai dapat menghilangkan stres tersebut dan dapat menerima keadaan anaknya karena ibu Tike melihat ini semua adalah titipan dari Tuhan dan untuk melatih kesabaran ibu Tike dan keluarga. Demikian pula dengan ibu Hana yang sempat merasa kecewa terhadap kondisi anaknya namun ia mencoba berpikir bahwa ini adalah ujian dari Tuhan dengan berusaha memiliki kesabaran yang lebih. Lain halnya dengan Ibu Fefe yang menghilangkan stres dan malunya yaitu melihat ibu lain yang mempunyai anak yang keadaannya sama dengan anaknya tetapi ibu tersebut tidak malu dengan keadaan anaknya dan merasa terhibur dengan kehadiran anaknya tersebut karena wajah anaknya tampan dibandingkan dengan anak lainnya.

Citra Diri/Self Image Positif

Citra diri yang positif terlihat pada ibu Kaka dan ibu Hana, mereka dapat bersikap terbuka dengan kondisi anaknya. Ibu Kaka dan ibu Hana dapat menceritakan kekurangan yang dimiliki anaknya yang sebenarnya kepada keluarga dan lingkungan sekitar. Ibu Kaka dan ibu Hana tidak menutup-tutupi keadaan anaknya. Sedangkan ibu Tike walaupun sudah dapat menerima kondisi anaknya tetapi ibu Tike masih memiliki rasa minder kalau membawa anaknya pergi. Ibu Tike juga terbawa emosi kalau ada orang yang membicarakan anaknya. Citra diri yang positif pada ibu Tike masih belum terlihat. Citra diri yang positif juga tidak terlihat pada ibu Fefe. Ibu Fefe tidak berkata jujur tentang kondisi anaknya yang sebenarnya. Ibu Fefe akan berkata yang sebenarnya tentang kondisi anaknya hanya kepada orang tertentu saja. ibu Fefe menganggap tidak semua orang perlu mengetahui kondisi anaknya yang sebenarnya. Walaupun citra diri yang positif ibu Tike dan ibu Fefe belum terlihat, tetapi mereka bersedia untuk diwawancara.

Kemampuan untuk Mengekspresikan Perasaan

Keempat partisipan yaitu ibu Kaka, ibu Tike, ibu Hana dan ibu Fefe melampiaskan rasa kesal dan emosi mereka kepada anak-anak mereka. Selain melampiaskan kepada anaknya ibu Kaka kalau sedang kesal memilih diam, ibu Tike memilih untuk berjalan-jalan, ibu Hana memilih untuk mencari kesibukan lainnya. Hanya ibu Fefe saja yang memendam perasaan kesal dan emosi sendiri.

Hubungan Interpersonal yang baik

Ibu Kaka dan ibu Hana mereka sudah dapat menjalin hubungan interpersonal yang positif dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Sedangkan ibu Tike dan ibu Fefe mereka masih belum sepenuhnya terjalin hubungan interpersonal yang positif. Ibu Tike hubungan interpersonal yang positif terjalin di dalam keluarga tetapi tidak di lingkungan sekitar. Sedangkan ibu Fefe masih belum terjalin hubungan interpersonal yang positif dengan keluarga maupun lingkungan sekitar. Hanya untuk orang tertentu saja ibu Fefe dapat menjalin hubungan interpersonal yang positif.

(7)

Partisipan yang tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif adalah ibu Kaka dan ibu Hana. Ibu Kaka dan ibu Hana dapat dikatakan mampu melakukan penyesuaian diri secara positif karena mereka mampu untuk mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi dan mereka mampu bersikap realistis terhadap masalah yang sedang mereka hadapi. Lain halnya dengan ibu Tike dan ibu Fefe mereka masih belum dapat melakukan penyesuaian diri secara positif. Ibu Tike menceritakan bahwa ia melarang anaknya untuk bermain di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dan Ibu Fefe masih belum dapat menerima keadaan anaknya kalau ada orang yang mengejek anaknya.

Penelitian ini memperlihatkan adanya karakteristik penyesuaian diri yang dimiliki oleh keempat subyek, namun tidak semua subyek dapat memiliki karakteristik penyesuaian diri tersebut secara menyeluruh. Dari keempat subyek, ada dua subyek, yaitu ibu Kaka dan ibu Hana, yang sudah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan baik, sedangkan dua subyek lainnya yaitu ibu Tike dan ibu Fefe, belum berhasil melakukan penyesuaian diri dengan baik. Ibu Kaka dan ibu Hana berhasil dalam melakukan penyesuaian diri dengan keluarga dan lingkungan, sedangkan ibu Tike dan ibu Fefe mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keluarga dan lingkungan. Ibu Tike dan ibu Fefe belum berhasil melakukan penyesuaian diri karena tidak memenuhi karakteristik penyesuaian diri, yaitu pada karakteristik citra diri/self image positif dan hubungan interpersonal yang baik.

Dalam kenyataannya, tidak selamanya individu akan berhasil dalam melakukan penyesuaian diri. Hal itu disebabkan adanya rintangan atau hambatan tertentu yang menyebabkan ia tidak mampu melakukan penyesuaian diri secara optimal. Dalam hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut, ada individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif, tetapi ada pula yang melakukan penyesuaian diri secara tidak tepat (Fatimah, 2006).

Dalam melakukan proses penyesuaian diri Ibu Kaka dan Ibu Hana mengalami konflik dan kesulitan yang berasal dari diri sendiri, kondisi anak, keluarga, lingkungan, dan kondisi ekonomi keluarga. Namun ibu Kaka dan ibu Hana dapat mengatasi konflik tersebut. Sedangkan ibu Tike dan ibu Fefe belum dapat mengatasi konflik yang mereka hadapi dengan baik. Mereka masih belum dapat mengontrol emosi mereka dengan baik jika sedang menghadapi masalah. Menurut Mangunsong (1998), kekhawatiran ibu kerap muncul karena masalah-masalah lain, misalnya masalah finansial, kesempatan di masa depan anak, serta realitas yang akan dihadapi anak pada saat dewasa kelak. Selain itu ibu yang memiliki anak yang menyandang retardasi mental sedang seringkali merasa khawatir dengan masalah emosional yang akan muncul serta mempertanyakan kemampuannya dalam menyediakan kebutuhan anak.

Dua subyek yaitu ibu Kaka dan ibu Hana berhasil dalam menyesuaikan diri dengan kondisi anak, diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sehingga ibu Kaka dan ibu Hana merasa puas dalam menerima kondisi anaknya. Ibu Kaka dan ibu Hana dapat melewati konflik-konflik tersebut dan dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik karena mendapat dukungan penuh dari keluarga dan lingkungan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi anak, merawat dan memberi perhatian pada anak. Ibu Kaka dan ibu Hana juga dapat bersikap realistik dan obyektif dalam menerima keadaan anak mereka.

Selain merawat dan memberi perhatian kepada anak, dalam meningkatkan perkembangan anaknya, ibu Kaka membawa anaknya untuk melakukan terapi bicara, namun karena kondisi keuangan ibu Kaka menghentikan terapi tersebut. Walaupun tidak mengikuti terapi, ibu Kaka dan suami tetap berusaha untuk meningkatkan perkembangan anaknya dengan mengajarkan atau melatih sendiri di rumah dan menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa atau SLB. Ibu Hana tidak mengikuti anaknya terapi karena dokter tidak menyarankan anaknya untuk terapi, namun dokter menyarankan agar anak ibu Hana diberi kebebasan untuk bersosialisasi agar bicaranya lancar. Oleh karena itu ibu Hana menyekolahkan

(8)

anaknya ke sekolah luar biasa atau SLB yang disesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.

Walaupun keadaan ekonomi mereka kurang mendukung untuk pendidikan yang lebih baik untuk anak mereka, namun mereka tetap mengusahakan pendidikan yang terbaik untuk anak mereka yang sesuai dengan keadaan ekonomi mereka. Ibu Kaka dan ibu Hana juga sudah dapat mengelola emosi ketika ada orang yang membicarakan kekurangan anaknya dan memberikan pengertian kepada orang yang belum mengetahui kondisi anaknya. Selain itu ibu Kaka dan ibu Hana juga merasa puas dengan perkembangan anaknya yang mulai terlihat dan juga sudah dapat menerima keadaan anaknya baik di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar. Dua subyek lainnya yaitu ibu Tike dan ibu Fefe belum berhasil menyesuaikan diri dengan kondisi anak dan lingkungan, sehingga perasaan puas dalam menerima kondisi anaknya belum benar-benar dirasakan. Ibu Tike belum berhasil dalam menyesuaikan diri dengan baik karena lingkungan sekitar tempat tinggal ibu Tike masih ada yang belum mengerti kondisi anaknya. Ibu Tike juga belum dapat mengontrol emosi ketika ada orang yang membicarakan kekurangan anaknya. Sama halnya dengan ibu Fefe yang belum berhasil dalam menyesuaikan diri karena kurang mendapat dukungan baik dari keluarga maupun lingkungan tempat tinggalnya. Di dalam lingkungan keluarga, suami ibu Fefe kurang membantu dalam penyesuaian diri ibu Fefe dengan kondisi anak dan juga dalam pengasuhan anak mereka yang mengalami retardasi mental sedang. Ibu dan anggota keluarga Ibu Fefe yang lain pun masih kerapkali mengejek anak ibu Fefe. Hal tersebut membuat ibu Fefe tidak dapat mengontrol emosinya ketika ada orang yang mengejek atau membicarakan kekurangan anaknya. Ibu Fefe juga tidak bersikap terbuka dengan lingkungan sekitar tentang kondisi anaknya, karena masih merasa malu dengan kondisi anaknya. Ibu Fefe akan menceritakan hal yang sebenarnya tentang kondisi anaknya hanya kepada orang tertentu saja. Tidak semua orang perlu mengetahui kondisi yang sebenarnya tentang kondisi anaknya. Dengan demikian, ibu Fefe masih belum bersikap realistis terhadap kondisi anaknya dan belum dapat menerima sepenuhnya kondisi anaknya.

Dalam lingkungan keluarga, ibu Tike mendapat dukungan dalam merawat dan memberi perhatian pada anak. Ibu Tike mengusahakan yang terbaik untuk perkembangan anaknya dengan menyekolahkannya ke sekolah SLB yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga. Ibu Fefe juga mengusahakan perkembangan anaknya dengan membawanya terapi konsentrasi dan terapi bicara, namun karena faktor ekonomi ia tidak melanjutkan terapi tersebut. Selain itu, ibu Fefe juga menyekolahkan anaknya ke sekolah umum. Ibu Fefe sudah memasukkan anaknya ke beberapa sekolah umum. Namun karena memang kondisi anaknya yang tidak dapat mengikuti proses belajar di sekolah umum, akhirnya ibu Fefe memasukan anaknya ke sekolah SLB yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga.

Walaupun banyak konflik yang mereka lalui dalam melakukan penyesuaian diri dengan kondisi anak, diri sendiri, dan lingkungan, namun ibu Tike dan ibu Fefe merasa puas dengan perkembangan yang diperlihatkan oleh anak mereka, karena mereka merasa bahwa usahanya dalam membuat anaknya berkembang tidak sia-sia. Walaupun keadaan ekonomi keluarga kurang mendukung untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, namun mereka tetap mengusahakan yang terbaik untuk pendidikan dan perkembangan anak mereka dan menyesuaikan dengan keadaan ekonomi mereka.

Diskusi

Penelitian ini memberikan gambaran yang jelas bahwa dukungan dari seluruh anggota keluarga sangat berarti bagi penyesuaian diri orangtua serta rasa penerimaan diri pada anak tersebut. Pada saat melakukan proses penyesuaian diri,

(9)

keempat subyek mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan. Menurut Sarafino (1996), bentuk dukungan sosial dapat dibedakan menjadi: (a) dukungan emosional, (b) dukungan penghargaan, (c) dukungan instrumental, dan (d) dukungan informasi. Ibu Kaka, ibu Tike, dan ibu Hana mendapatkan dukungan emosional, sedangkan ibu Fefe tidak mendapatkan dukungan emosional sebab suaminya tidak membantu pengasuhan secara langsung (cenderung merasa malu dan enggan terlibat dalam pengasuhan anak dan lingkungan keluarga besarnya masih belum menerima kekurangan anaknya dengan menghina atau menghindari anak Ibu Fefe). Ibu Kaka, ibu Tike dan ibu Hana mendapat dukungan instrumental dari suami dan keluarganya, sedangkan ibu Fefe tidak mendapatkan dukungan instrumental dari keluarganya dalam bentuk bantuan untuk mengasuh anak baik dari suami maupun lingkungan keluarganya. Keempat subyek mendapatkan dukungan finansial dan informasi dari keluarga maupun lingkungan mereka.

Saran

Saran bagi penelitian selanjutnya. Peneliti mengharapkan adanya suatu penelitian lebih lanjut mengenai penyesuaian diri ibu yang memiliki anak retardasi mental berat (severe) dengan batasan usia anak sudah memasuki usia remaja awal dan usia ibu dewasa tengah, sehingga dapat diperoleh hasil bagaimana dan berapa lama penyesuaian diri ibu yang memiliki anak retardasi mental berat (Severe) pada usia remaja.

Saran untuk ibu. Ibu yang memiliki anak yang menyandang retardasi mental sedang harus dapat menerima keadaan atau kondisi anak. Walaupun kondisi anak berbeda dari anak lainnya, mereka tetap memerlukan kasih sayang dan perhatian ibu. Dalam merawat dan membesarkan anak, sebaiknya ibu tidak mudah merasa putus asa. Walaupun mereka memiliki kekurangan, namun mereka juga memiliki kelebihan yang dapat dibanggakan apabila dilatih dan diasa dengan baik. Ibu disarankan mencari informasi sebanyak-banyaknya dalam merawat anak tersebut sangat penting, karena agar tidak salah dalam cara merawat anak tersebut. Walaupun memiliki kekurangan, mereka pun berhak mendapatkan pendidikan yang terbaik. Ibu yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus perlu juga mendekatkan diri kepada Tuhan agar diberikan kekuatan dan kesabaran dalam merawat dan menerima kondisi anak ibu.

Saran untuk ayah. Selain ibu yang merawat anak, ayah juga berperan dalam merawat anak, apalagi anak tersebut memiliki kebutuhan khusus. Peran kedua orangtua sangat dibutuhkan. Peran ayah selain mencari nafkah, juga sangat dibutuhkan dalam mengasuh anak dan memberi dukungan penuh kepada ibu. Ayah dapat membantu mencari informasi tentang sekolah untuk anaknya. Ayah juga dapat membantu anaknya dalam mengulang pelajaran di sekolah atau membantu mengerjakan tugas yang diberikan dari sekolah.

Saran untuk saudara kandung. Saudara kandung perlu belajar memahami kondisi saudaranya yang memiliki kebutuhan khusus. Dukungan moril juga diperlukan untuk perkembangan dan kemajuan saudaranya yang memiliki kebutuhan khusus. Sedapat mungkin hindari perasaan malu terhadap kondisi saudaranya dan berusahalah menerima kondisi saudara yang memiliki kebutuhan khusus apa adanya. Walaupun kondisi saudara kandung memiliki kekurangan, mereka tetap adalah saudara kandung yang harus disayang, dibantu, dan dijaga.

Saran untuk keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang memiliki kekurangan, tidak seharusnya menjauhi. Kiranya anggota keluarga yang berkebutuhan khusus ini tidak dilihat kekurangnanya saja, tetapi perhitungkanlah juga kelebihan mereka seandainya mendapat perhatian dan dukungan dari keluarga. Dukungan keluarga untuk ibu juga sangat dibutuhkan dalam merawat anak tersebut. Saran untuk masyarakat dan institusi yang terkait. Seorang ibu yang memiliki anak yang mengalami kekurangan atau kebutuhan khusus, akan mencari informasi

(10)

tentang kekurangan yang dialami anaknya dalam merawat, membesarkan dan memberikan pendidikan kepada anak tersebut. Sebaiknya lembaga masyarakat atau sekolah luar biasa tetap memberikan pelayanan dengan baik agar anak tersebut dapat berguna bagi diri sendiri, orang tua dan masyarakat. Selain itu juga mungkin dapat dilakukan penyuluhan oleh pihak rumah sakit ibu dan anak bagi ibu-ibu yang nantinya akan memiliki anak, sehingga mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk mendeteksi gejala yang timbul sebelumnya agar mereka dapat mencari jalan keluar yang terbaik dan mereka siap untuk menerima keadaan tersebut. Selain itu juga mereka dapat mengetahui bagaimana cara penanganan dan merawat anak yang memiliki kebutuhan khusus.

Saran untuk lembaga pendidikan (sekolah) bagi anak retardasi mental. Lembaga pendidikan anak retardasi mental atau SLB merupakan tempat yang dipercaya oleh para orangtua yang memiliki anak yang menyandang retardasi mental untuk mendidik anak mereka agar memiliki pendidikan, keterampilan, dan kemandirian. Oleh karena itu para pekerja di lembaga pendidikan sekolah luar biasa perlu memberi informasi dan kerjasama dengan orangtua anak supaya pendidikan anak lebih optimal lagi, karena selain anak mendapat pendidikan di sekolah, anak juga mendapat pendidikan di rumah oleh keluarga. Dalam lembaga pendidikan retardasi mental, perlu diadakan pelatihan atau seminar untuk orangtua untuk meningkatkan pengetahuan orangtua tentang anak yang menyandang retardasi mental serta informasi tentang cara mendidik dan merawat anak mereka yang menyandang retardasi mental, sehingga orangtua dapat mengoptimalkan perkembangan dan keterampilan anak retardasi mental.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., & Asrori, M. (2004). Psikologi remaja: Perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4thed., text revision). Washington, DC: Author.

Beck, R. C. (2000). Motivation, theories, and principles (4thed). London: Prentice- Hall.

Budiantini (1997). Stres dan perilaku coping pada ibu yang memiliki anak tunagrahita: Studi pada ibu dari anak-anak penyandang tuna grahita tingkat ringan). Skripsi. Universitas Indonesia, Depok.

Daengsari, D. P. (2005). Menyikapi anak berkelainan dengan bijak. Diambil tanggal 10 Juli 2007, dari http://badepok.blog.com/2005/2/

Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2004). Abnormal psychology (9th ed). New York: John Wiley & Sons.

Efendi, M. (2006). Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.

Effendi, R. H., & Tjahjono, E. (1999). Hubungan antara perilaku coping dan

dukungan sosial dengan kecemasan pada ibu hamil anak pertama. Anima,

Indonesian Psychological Journal, 54(14), 214-227.

Fatimah, E. (2006). Psikologi perkembangan: Perkembangan peserta didik. Bandung: Pustaka Setia.

Kayandi, F., Suryadi. D., & Mardiana. (2008). Penyesuaian diri ibu yang memiliki

anak retardasi mental sedang (skripsi tidak diterbitkan) Jakarta: Fakultas

Psikologi Universitas Tarumanagara.

Gunarsa, Y. S. D. (1995). Psikologi untuk keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. D. (1995). Psikologi perkembangan anak dan

remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Haber, A., & Runyon. R. P. (1984). Psychology of adjustment. Homewood, IL: The Dorsey Press.

(11)

Lazarus, R, S. (1976). Patterns of adjustment (3rd ed). Kogakusha, Japan: McGraw-Hill.

Mangunsong, F. (1998). Psikologi dan pendidikan anak luar biasa. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI. Mar`at, S. (2006). Psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Papalia, D. E., Wendkos-Olds, S., & Duskin-Feldman, R. (2004). Human

development (9th ed.). New York: McGraw-Hill.

Somantri, T. S (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: Refika Aditama. Sundari, S. (2005). Kesehatan mental dalam kehidupan. Jakarta: Rineka Cipta.

Gambar

Tabel 2  Data Subyek

Referensi

Dokumen terkait

Malang Nomor 7 Tahun 2010 yo Pasal 4 Peraturan Bupati Malang Nomor 7 Tahun 2012 terkait dengan rekomendasi Dokumen UKL- UPL yang dihadapi oleh Badan

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ada tiga hal yang berpengaruh pada kesenjangan digital di Kabupaten Wakatobi yaitu infrastruktur TIK yang tidak memadai

Judul : Kandungan Serat Kasar, Bahan Kering, dan Air daun Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) yang Difermentasi dengan EM-4 pada level dan waktu yang berbeda.. Penelitian

[r]

Salah satu penyembuhan non farmakologis untuk menurunkan nyeri pemasangan infus dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan aromaterapi lavender dan aromaterapi

Adapun implikasi dalam penelitian ini yaitu dengan penggunaan Bahan Ajar Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)

Zonasi tempat hiburan malam dapat dengan mudah mengawasi dan mengontrol dampak negatif yang ditimbulkan dari penyelenggaraan tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik,

Dari pengamatan karakter morfologi tanaman hasil silangan antara salak pondoh dengan salak jantan indegenous Sumatera yang terdiri dari pan- jang pelepah daun, jumlah anak daun,