III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran Penelitian
Pembangunan dan pengelolaan hutan telah menjadi suatu usaha (business) yang
dikelola secara khusus guna menghasilkan kayu untuk pasokan bahan baku industri pengolahan kayu (INPAK). Pernyataan tersebut relevan dengan ungkapan Davis (1966) bahwa “…the status of forest management in a country is to recognize it as a business, as a segment of the total business community”. Sebagai suatu usaha
komersial maka produktifitas berkelanjutan sistem usaha yang dikelola merupakan tujuan utama produsen. Usaha pembangunan dan pengelolaan hutan akan lestari jika tercapai produktifitas berkesinambungan (sustained productivity).
Kelestarian hutan adalah pengusahaan untuk kontinyuitas produksi berdasarkan keseimbangan pertumbuhan dan pemanenan secara periodik, sehingga distribusinya menggambarkan hutan normal dan diistilahkan sebagai hutan lestari (Daniel et al.,
1987; Simon, 1993; Hardjanto, 2003). Istilah kelestarian pada hutan tanaman adalah hutan tertata penuh (fully-regulated forest) yang dicapai pada suatu waktu tertentu,
khususnya pada akhir daur, sehingga diperlukan pengaturan sistem silvikultur dan pengaturan hasil hutan (penentuan rotasi dan teknik penebangan) yang tepat untuk mencapainya (Simon, 1993; 2007).
Rotasi atau daur adalah suatu periode dalam tahun yang diperlukan untuk menanam dan memelihara suatu jenis pohon sampai mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan tertentu. Untuk memasok kebutuhan bahan baku industri digunakan daur teknik, yang disesuaikan dengan teknologi pengolahan dan tujuan pemanfaatannya. Umur yang dianggap memenuhi daur teknik untuk tanaman berdaur pendek (fast growing species atau FGS) adalah antara 4–10 tahun (Masripatin dan
Priyono, 2006). Rentang waktu tunggu tersebut memunculkan tindakan petani untuk berinovasi melakukan tumpangsari dengan tanaman lain, dan/atau bekerjasama dengan pihak lain dalam membangun hutan. Kerjasama ekonomi tersebut dilakukan untuk mengatasi kendala permodalan dan akses pasar, sekaligus upaya mengoptimalkan faktor produksi milik petani yaitu lahan dan tenaga kerja.
42
Lazimnya suatu usaha sistem komoditas, maka petani selaku produsen berupaya mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien guna menghasilkan output dengan nilai tinggi/optimal, sehingga memperoleh keuntungan maksimum (maximizing profit). Adanya manfaat yang diterima tersebut mendorong kesediaan
petani menginvestasikan kembali sebagian keuntungan yang diperoleh untuk memelihara hutan yang sudah ada atau membangun yang baru, sehingga menjamin sediaan (stock) kayu bundar di masa mendatang. Terus tersedianya pohon/tegakan
memberikan jaminan keberlanjutan hasil panen (kayu) sehingga memberikan keberlanjutan penghasilan.
Pada sisi lain, kelangkaan pasokan kayu bundar (dari hutan alam) mendorong beberapa INPAK untuk melakukan inovasi, merestrukturisasi mesin dan industrinya sehingga mampu mengolah kayu bundar jenis FGS atau kayu lunak yang dihasilkan dari hutan tanaman. INPAK, dengan kendala keterbatasan lahan yang dimilikinya, juga melakukan hubungan kemitraan bersama pelaku lainnya untuk membangun hutan guna memberikan jaminan kepastian pasokan kayu.
Hubungan kemitraan merupakan suatu bentuk kelembagaan dimana pelaku individu mengkombinasikan faktor produksi yang dimiliki dalam suatu proses produksi secara bersama karena adanya kepentingan pihak yang satu dan pihak lainnya (Kasper dan Streit, 1998). Partisipasi sukarela, khususnya dari petani, dapat terwujud karena adanya pemahaman umum bahwa hubungan kelembagaan adalah sesuai dan memberikan hasil memadai bagi para pelakunya (Ostrom, 2005). Artinya kemitraan harus menjamin bahwa petani diuntungkan (better off) dan tidak ada pihak
yang dirugikan (worse off) sehingga kemitraan (kerjasama ekonomi) layak untuk
dilakukan secara berkesinambungan (Just et al., 1982).
Kajian hubungan yang terjalin diantara para pelaku dalam teori kemitraan (agency theory) menurut Jensen dan Meckling (1986) dapat dianalisis dengan
pendekatan hubungan kemitraan (agency relationship) yaitu menganalisis hubungan
kontrak antara satu pihak (principal) yang menugaskan atau memberikan kepercayaan
kepada pihak lain (agents). Tarik ulur dan saling ketergantungan antara para pelaku
tersebut yang menjadi dasar dilakukannya penelitian mengenai kelembagaan kemitraan antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) di Pulau Jawa.
Kemitraan sebagai suatu institusi merupakan kesepakatan petani dan INPAK untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar para pelaku terhadap sesuatu, kondisi atau situasi. Kemitraan bervariasi penerapannya di lapangan, yaitu unik untuk suatu situasi kondisi tertentu. Kondisi tersebut terjadi karena hubungan kemitraan dipengaruhi oleh berbagai faktor (karakteristik penduduk dan sifat/kondisi lingkungan setempat, dan aturan yang dipergunakan) dalam pelaksanaannya, sehingga sekaligus merupakan sinergi kekuatan yang dimiliki para pelakunya. Sinergi kekuatan untuk membangun hutan tanaman yang dilakukan INPAK (yaitu modal dan akses/jaminan pasar) bersama rakyat (yaitu ketersediaan lahan dan tenaga kerja) bertujuan untuk menghasilkan kayu, guna menjamin kontinyuitas pasokan bahan baku, sekaligus memiliki kinerja yang memberikan manfaat positif bagi pelaku yang terlibat.
Kinerja ekonomis atau tingkat efisiensi mencerminkan kemampuan suatu sistem untuk mengalokasikan faktor produksi secara efisien guna meningkatkan produksi sekaligus memberikan keuntungan optimal dari komoditas tersebut (Soekartawi, 2002). Dampak diterapkannya kemitraan terhadap kinerja kelembagaan KIBARHUT dikaji kelayakannya dengan analisis finansial dan policy analysis matrix atau PAM
(Pearson et al., 2005). Metode PAM digunakan untuk membuktikan bahwa usaha
pembangunan hutan KIBARHUT mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. Kinerja pasar pada kelembagaan KIBARHUT dikaji melalui pendekatan terhadap lembaga dan sistem pasar yang berlaku (Carlton dan Perloff, 2000). Dalam analisis ini, kelembagaan KIBARHUT diduga mempengaruhi struktur pasar kayu, dan selanjutnya mempengaruhi perilaku para pelaku kemitraan termasuk para middle–men
(usaha mikro/kecil industri pemasaran kayu bundar). Struktur dan perilaku mempengaruhi kinerja pemasaran dan akhirnya berpengaruh kembali pada komponen struktur dan perilaku. Analisis pasar dilakukan karena selain melalui peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi, maka manfaat yang diperoleh petani dapat ditingkatkan dengan terciptanya kondisi pemasaran yang efisien dan saling menguntungkan (Yin et al., 2003; Tukan et al., 2004). Pasar yang kompetitif adalah
jika kelembagaan KIBARHUT menjamin kesediaan pelaku untuk memproduksi, mengkonsumsi dan mengalokasikan komoditas, bercirikan kemampuan melarang penggunaan oleh yang tidak berhak (excludability), dapat dibagi dan
44
dipindahtangankan secara mudah (easily divisible and transferable), dan dapat
diinternalisasikan oleh semua pelaku yang terlibat (Ostrom, 2005).
Pemanfaatan output dapat berkelanjutan jika hutan (resources) tetap ada, maka
harus ada keuntungan (benefit) yang diinvestasikan kembali untuk memperbaharui dan memelihara tegakan. Artinya terdapat kesediaan pengelola hutan untuk
menyediakan faktor-faktor produksi yang diperlukan dalam rangka membangun hutan. Kesediaan berinvestasi sangat bergantung pada tingkat efisiensi pemasaran output, ditunjang kinerja kelembagaan kemitraan yang prospektif dan layak secara finansial dan ekonomi. Secara ringkas kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian adalah sebagaimana Gambar 4.
Gambar 4 menunjukkan bahwa secara sederhana konstruksi kerangka analisis adalah (arena aksi) Kelembagaan KIBARHUT dapat menjamin kesediaan pelaku untuk bekerjasama, yaitu adanya mekanisme kesepakatan yang menjamin distribusi manfaat dan biaya yang tidak merugikan pihak manapun (Just et al., 1982; Darusman
dan Wijayanto, 2007), sehingga berlangsung secara berkelanjutan. Kelembagaan KIBARHUT dapat terwujud dan berkelanjutan, jika mampu memberikan insentif positif bagi pelakunya. Insentif positif tersebut selanjutnya berdampak dan memberikan umpan balik ke pelaku yang terlibat, sehingga bersedia menginvestasikan kembali sebagian manfaat yang diterimanya untuk membangun dan mengelola hutan KIBARHUT secara berkelanjutan.
•kondisi dan ciri umum sekitar
•aturan dan norma (rules) yang diterapkan
Kelembagaan KIBARHUT Aktor/Pelaku KIBARHUT deskripsi (situasi aksi) KIBARHUT Keberlanjutan KIBARHUT - insentif positif Gambar 4 Kerangka pemikiran analisis kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa
Evaluasi Kinerja KIBARHUT analisis fungsi produksi
analisis finansial policy analysis matrix lembaga-struktur pasar
B. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan 2 (dua) tahapan. Tahapan pertama merupakan penelusuran awal pada Oktober–November 2007, dan tahap kedua merupakan penelitian di lapangan pada April–Oktober 2008. Penelitian merupakan suatu studi kasus yang secara purposive dilakukan di Pulau Jawa dengan pertimbangan bahwa : (i) sekitar
77,45% dari total petani di seluruh Indonesia (Dephut dan BPS, 2004) atau sebagian besar petani yang membangun dan mengelola hutan tanaman berbasis kerakyatan berada di Pulau Jawa; (ii) usaha membangun hutan berbasis kerakyatan dan/atau hutan rakyat di Pulau Jawa terus berkembang dan merupakan potensi penggerak ekonomi pedesaan, ditunjang semakin besarnya permintaan pasar akibat tumbuhnya berbagai jenis dan skala industri perkayuan di setiap daerah kabupaten dan propinsi di Pulau Jawa (Hardjanto, 2003).
C. Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Contoh
Industri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah IPHHK yang mengolah kayu bundar dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Namun, dikarenakan industri pengolahan kayu bahan baku serpih (atau dikenal juga sebagai industri kertas dan bubur kertas) di Pulau Jawa tidak menggunakan kayu bundar/bahan baku serpih sebagai bahan baku19, maka pengamatan penelitian difokuskan pada IPHHK yang mengolah kayu bundar atau INPAK.
Proses pemilihan lokasi penelitian dilakukan melalui berbagai tahapan yaitu pemilahan dan verifikasi INPAK terindikasi melakukan KIBARHUT. Pelaksanaannya dengan telaah data sekunder, komunikasi (surat, telepon, dan fax), dan survey awal. Pendekatan pemilihan lokasi contoh selanjutnya dilakukan dengan pengklasifikasian tipologi KIBARHUT berdasarkan kriteria (i) kontrak formal atau non-formal, (ii) lahan milik atau lahan negara (bukan lahan milik) sebagaimana pada Gambar 5.
19 Informasi lisan Priyo Hutomo (2007), Kasubdit pada Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Departemen Perindustrian.
46
Salim (2002) menyatakan bahwa kontrak formal adalah perjanjian yang penyusunannya memerlukan bentuk dan cara-cara tertentu sehingga dapat menjadi akta autentik pengakuan di muka sidang pengadilan. Dengan demikian, kontrak formal memiliki fungsi ekonomis dan yuridis. Sedangkan kontrak non-formal merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk yang lazim atau informal serta hanya memiliki fungsi ekonomis.
Hak kepemilikan merupakan sumber kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, yang dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah, atau melalui pengaturan administrasi pemerintah (Kartodihardjo, 2006b). Berdasarkan rejim hak kepemilikan yang diungkapkan Schlager dan Ostrom (1996) dalam Ostrom (2000) maka pada lahan milik terdapat strata kepemilikan yang paling lengkap karena memiliki hak untuk memasuki (access) dan memanfaatkan (withdrawal), hak
menentukan bentuk pengelolaan (management), hak menentukan keikutsertaan atau
mengeluarkan pihak lain (exclusion), dan memperjual-belikan hak (alienation). Pada
bukan lahan milik, pemegang kuasa hutan negara dan HGU kebun (proprietors)20
memiliki kumpulan hak yang lebih tinggi dibandingkan petani penggarap. Petani merupakan penggarap (authorised users) dengan hak memasuki dan memanfaatkan,
atau pihak yang memiliki strata hak kepemilikan paling rendah berdasarkan batasan Schlager dan Ostrom tersebut.
Artinya, petani yang terlibat pada KIBARHUT Tipe 1 mempunyai karakteristik hak kepemilikan tinggi tetapi tidak memiliki kepastian kontrak secara hukum formal.
20 Jenis hak kepemilikan tersebut cenderung disebut sebagai
quasi private propertyrights (seolah milik
pribadi), karena hanya ada satu kewenangan yang tidak dimiliki yaitu kewenangan untuk memperjualbelikan (alienation) penguasaan terhadap sumberdaya milik negara tersebut (Nugroho, 2003; Kartodihardjo, 2006b).
Lahan Milik
Gambar 5 Tipologi KIBARHUT di lokasi penelitian Tipe 2 Tipe 1 Tipe 3 Kontrak Formal Kontrak non-Formal Lahan Negara (bukan Lahan Milik)
Tipe 2 adalah tipologi yang mempunyai karakteristik hak kepemilikan tinggi dan memiliki kepastian kontrak secara hukum formal bagi petani. Tipe 3 adalah tipologi yang mempunyai karakteristik hak kepemilikan rendah bagi petani tetapi memiliki kepastian kontrak secara hukum formal.
Berdasarkan hasil pemilahan dan verifikasi data, hasil survey awal, dan klasifikasi tipologi maka pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive non random sampling) dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut: (i)
ketersediaan dan kelengkapan data yang dimiliki, (ii) luasan lahan kemitraan yang terdapat di suatu lokasi/wilayah, serta (iii) memperhatikan keterwakilan pada tipologi KIBARHUT. Berdasarkan kriteria tersebut, lokasi pengumpulan data dilaksanakan di 3 (tiga) provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada setiap provinsi contoh, selanjutnya dipilih secara sengaja 1 (satu) kabupaten contoh, dan pada setiap kabupaten contoh dipilih 1 (satu) kecamatan contoh. Jumlah petani contoh dan lokasi pengumpulan data penelitian disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 6. Tabel 6 Lokasi dan jumlah petani contoh
Tipologi
KIBARHUT Karakteristik kontrak/ Lokasi contoh per lokasi Jumlah Petani contoh per Tipe
Tipe 1 Kontrak non-formal di lahan milik
Kec. Bawang, Batang, Jawa Tengah 30 orang
30 orang Bawang
Tipe 2 Kontrak formal di lahan milik 30 orang
a.Sukaraja Kec. Sukaraja, Tasikmalaya, Jawa Barat 15 orang
b.Krucil Kec. Krucil, Probolinggo, Jawa Timur 15 orang
Tipe 3 Kontrak formal di lahan Negara 30 orang
a.Sukaraja Kec. Sukaraja, Tasikmalaya, Jawa Barat 15 orang
b.Krucil Kec. Krucil, Probolinggo, Jawa Timur 15 orang
Gambar 6 Lokasi penelitian
Jumlah petani contoh peserta KIBARHUT ditetapkan sebanyak 30 petani untuk setiap tipe35, sehingga jumlah keseluruhan responden penelitian ini adalah 90 petani hutan yang dipilih secara sengaja (purposive), yaitu petani yang bermitra dengan
INPAK dalam rangka pembangunan hutan. Guna mendapatkan gambaran selengkapnya pelaksanaan kelembagaan KIBARHUT di lapangan, kelengkapan data dan informasi penelitian juga diperoleh dari informan kunci yang dipilih dengan metode bola salju (snow ball sampling).
D. Sumber Data dan Metode Pengambilan Data
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup keadaan umum daerah, surat perjanjian kerjasama (kontrak KIBARHUT), aturan dan bentuk kemitraan, kelompok tani, pengaturan kontrak kemitraan, pembangunan dan pengelolaan hutan serta hasil panen KIBARHUT, harga, dan dokumen lainnya. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber informasi yaitu Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan (Provinsi dan Kabupaten), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Provinsi dan Kabupaten), Kantor Statistik, Kantor Kecamatan dan Desa, INPAK, Perum Perhutani, koperasi, asosiasi, dan institusi lain yang terkait.
Data primer yang dikumpulkan berupa data usaha KIBARHUT, karakteristik sosial ekonomi petani contoh, sarana/faktor produksi, produksi dan saluran pemasaran kayu bundar, struktur biaya, dan lainnya. Pengambilan data primer dilakukan dengan metode survey (sample survey method) yaitu mengumpulkan data yang diambil dari
contoh (responden) dengan teknik wawancara langsung secara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang bersifat terbuka.
Penelitian mengumpulkan data dan informasi yang terinci tentang usaha membangun hutan secara kemitraan antara INPAK bersama rakyat. Namun karena pelaksanaan KIBARHUT memerlukan proses produksi dengan rentang waktu lebih dari 1 tahun, sehingga untuk mempersingkat waktu penelitian, maka tahapan waktu
35 Gulo (2002) menyatakan bahwa klasifikasi populasi dilakukan agar anggotanya lebih homogen dan selanjutnya dari setiap klasifikasi diambil jumlah yang sama sebagai sampel. Gay (1997) dalam Sevilla et al. (2006) menyarankan besaran jumlah responden setidaknya 10 contoh per kelompok pada studi yang bersifat survey. Namun, besaran tersebut bukan angka pasti yang harus diikuti karena semakin homogen karakteristik populasi maka semakin kecil unit sampel yang dibutuhkan (Singarimbun dan Effendi, 1989). Irawan (2006) menyatakan bahwa kajian penelitian kualitatif bersifat kasuistis maka sampel dipilih secara purposive dengan pertimbangan pada kemampuan sampel (responden) memasok informasi selengkap mungkin. Maka, memperoleh dan dan informasi dari sampel yang sedikit tetapi lebih tahu tentang obyek penelitian adalah lebih berharga, dibandingkan mencari informasi dari sangat banyak sampel tetapi tidak memberi arti pada tambahan data dan informasi yang bermanfaat.
50
pelaksanaan KIBARHUT tidak diambil pada obyek yang sama melainkan pada obyek yang berbeda (Faisal 2006; Irawan, 2006).
Guna memperoleh informasi lebih mendalam, dilakukan juga teknik wawancara tidak terstruktur atau wawancara mendalam pada individu atau kelompok dan tokoh kunci lainnya yang dipilih secara sengaja. Tokoh kunci yang dimaksud adalah kelompok tani/koperasi, petugas teknis dari INPAK, pejabat kantor Dinas terkait, usaha mikro/ kecil industri pemasaran kayu (middle men), Camat dan petugas teknis
di kecamatan, Kepala Desa, aparat desa dan pemerintahan lainnya, pemilik lahan non-petani, serta tokoh masyarakat yang dianggap memahami persoalan. Pemilihan menggunakan metode bola salju (snow ball sampling) sehingga jumlah contoh untuk
wawancara mendalam bervariasi di setiap kelompok sesuai dengan kebutuhannya. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara (i) Observasi; teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan di lapangan; (ii) Wawancara; suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan responden (petani contoh) dan informan yang diambil sebagai contoh penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaaan yang telah disiapkan; (iii) Pencatatan; mencatat semua data sekunder dari dinas atau instansi yang berkaitan dengan penelitian.
E. Metode Analisis
Analisis penelitian dilakukan untuk dapat membuktikan bahwa kelembagaan kemitraan yang dilakukan melalui KIBARHUT memiliki peluang untuk mewujudkan kelangsungan usaha, dan keberlanjutan hubungan kemitraan.
1. Analisis karakteristik dan pelaku KIBARHUT
Adanya kelembagaan KIBARHUT berdampak terhadap interdependensi antara pelaku (petani, mitra antara, INPAK) untuk menjamin keberlanjutan usaha. KIBARHUT menimbulkan keterlibatan pihak dari luar sistem sosial petani serta diterapkannya aturan dan cara yang mungkin berbeda dengan aturan sebelumnya.
Identifikasi data dan analisis dilakukan secara deskriptif, tabulasi dan grafis berdasarkan hasil olahan data yang diberikan responden atau hasil survey, data yang teridentifikasi dari kontrak atau surat perjanjian kerjasama, dan dokumen tertulis
lainnya yang berkaitan36. Analisis dilakukan terhadap: (i) perjanjian dan kerjasama KIBARHUT; (ii) kondisi fisik dan ciri umum lokasi pelaksanaan KIBARHUT; (iii) aturan yang diterapkan; (iii) bentuk dan jenis konflik (ingkar janji atau perilaku oportunis) yang mungkin dan sudah terjadi. Indikasi perilaku oportunis selanjutnya menjadi cerminan komitmen pelaku menegakkan kontrak (Salim, 2002; Nugroho, 2003; Gibbons, 1998; 2005; Ostrom, 2005; Yustika, 2006).
2. Kinerja kelembagan KIBARHUT
Analisis ditujukan untuk membuktikan bahwa KIBARHUT mempunyai kinerja yang menunjukkan kelayakan usaha, dan menguntungkan bagi para pelaku yang terlibat (actors). Kelayakan usaha dan keuntungan memungkinkan para pelaku,
khususnya petani, bersedia terus berinvestasi untuk membangun hutan, sehingga ketersediaan stock (kelestarian sumberdaya hutan) dan kesinambungan pasokan kayu
bundar untuk keberlangsungan proses produksi INPAK dapat terus terjamin. Analisis kinerja kelembagaan KIBARHUT terdiri atas: analisis fungsi produksi, analisis kelayakan finansial, dan analisis keunggulan kompetitif dan komparatif.
a. Analisis fungsi produksi
Fungsi produksi adalah model hubungan (fisik) penggunaan faktor produksi (input) dengan keluaran produksi (output) atau komoditas yang dihasilkan (Soekartawi, 2002). Secara matematis, fungsi produksi ditulis sebagai berikut:
, , , … , (1)
dimana : Y = output atau komoditas yang dihasilkan (variabel terikat atau dependent variable)
Xn = variabel bebas (independent variables) yaitu input atau
faktor-faktor produksi yang dipergunakan dalam memproduksi komoditas yang dihasilkan (Y)
f = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam
output (komoditas)
Analisis fungsi produksi sering dilakukan, karena peneliti menginginkan informasi bagaimana sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja, dan modal
36 Metode tersebut dikenal sebagai kajian isi (content analysis), yaitu teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya, dan selanjutnya dilaporkan hasilnya secara deskripsi, tabulasi dan grafis (Irawan, 2006; Pratiwi, 2008).
52
dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum dapat diperoleh. Analisis fungsi produksi dalam penelitian ini dilakukan guna mengetahui tingkat efisiensi input (faktor-faktor) produksi terhadap output produknya (kayu bundar) yang dihasilkan kelembagaan KIBARHUT. Model fungsi produksi yang dipergunakan adalah model
fungsi produksi Cobb-Douglas, dan secara matematis dirumuskan sebagai berikut: (2)
Untuk mempermudah pendugaan maka persamaan Cobb-Douglas tersebut diatas (persamaan 2) diubah menjadi bentuk linier berganda dengan melogaritmakannya. Logaritma persamaan (2) tersebut adalah :
(3)
Keterangan :
Q = Output kayu dihasilkan KIBARHUT yang direpresentasikan dengan jumlah kayu bundar yang diproduksi (m³/satuan luas lahan)
Xn = input/faktor produksi yang dipergunakan per satuan luas lahan
a = intersep/konstanta
= koefisien regresi variabel bebas ke-i
μ = kesalahan pengganggu
Persamaan tersebut dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi linier berganda. Pada persamaan (3) terlihat bahwa nilai adalah tetap walau variabel yang terlibat telah dilogaritmakan, karena pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan elastisitas. Karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka beberapa asumsi yang harus dipenuhi (Soekartawi, 2002) adalah sebagai berikut:
1) Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari bilangan nol adalah bilangan yang besarannya tidak diketahui.
2) Setiap variabel input ( ) dalam persaingan sempurna, artinya menggunakan faktor produksi yang dapat dibeli di pasar bebas.
3) Tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan.
4) Perbedaan lokasi (iklim, topografi dan lain sebagainya) telah ditampung dalam faktor kesalahan, .
Tiga alasan mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas banyak dipergunakan untuk menganalisis oleh para peneliti (Soekartawi, 2002), yaitu:
1) Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas lebih mudah dianalisis dibandingkan dengan fungsi yang lain dan mudah ditransfer ke bentuk linier. 2) Hasil pendugaan garis dari fungsi Cobb-Douglas menghasilkan koefisien regresi
yang menunjukkan besaran elastisitas.
3) Besaran elastisitas tersebut menunjukkan tingkat besaran Return to Scale,
dengan 3 (tiga) kemungkinan, yaitu :
• Decreasing Return to Scale (b1 + b2 < 1) berarti proporsi penambahan faktor-faktor produksi melebihi proporsi penambahan output produksi (komoditas yang dihasilkan).
• Constant Return to Scale (b1 + b2 = 1) berarti proporsi penambahan input produksi proporsional dengan penambahan output yang diperoleh.
• Increasing Return to Scale (b1 + b2 > 1) berarti proporsi penambahan input produksi menghasilkan tambahan output yang proporsinya lebih besar. Kelemahan fungsi Cobb-Douglas adalah tidak pernah tercapai tingkat produksi maksimum, sulit menghindari multicolinearity, dan data tidak boleh nol atau negatif
(karena fungsi menggunakan bentuk logaritma). Analisis guna memperoleh model fungsi produksi dilakukan dengan software pengolah data Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) ver 17.0 (Sulaiman, 2004; Pratisto, 2009; Rafiudin dan
Saefudin, 2009). Selanjutnya, dugaan perilaku produsen dalam upaya mengefisienkan penggunaan dan alokasi input produksi untuk mengoptimumkan output menjadi terbukti, jika fungsi berbentuk cekung tegas (strictly concave function) sebagaimana
diungkapkan oleh Henderson dan Quandt (1980), Sugiarto et al. (2002), dan Nugroho
(2003). Fungsi produksi berbentuk cekung tegas jika (i) fungsi produksi memenuhi syarat pertama yang diperlukan (first order necessary conditions–FONC) dan syarat
kedua yang mencukupkan (second order sufficient conditions–SOSC) sehingga syarat
negatif terbatas terpenuhi. Uji FONC untuk membuktikan bahwa fungsi tersebut mempunyai titik ekstrim, sedangkan uji SOSC untuk membuktikan bahwa titik ekstrim tersebut adalah titik optimum maksimisasi produksi; (ii) elastisitas input produksi dari masing-masing pelaku bernilai 0 – 1 (0< <1 dan 0< <1 serta 0
1) dan jumlah besaran kedua variabel bebas pada tiap fungsi produksi adalah <
1 ( 1).
b. Analisis kelayakan finansial
Analisis finansial untuk mengetahui kelayakan KIBARHUT di Pulau Jawa dilakukan dengan menyusun proyeksi aliran kas (cash flow), yaitu suatu tabel yang
54
memuat aliran dana masuk (inflow) dan keluar (outflow) dalam suatu periode tertentu
(Gittinger, 1982). Proyeksi aliran kas tersebut dievaluasi pada suatu titik waktu tertentu (yaitu saat proyek direncanakan), dengan mempertimbangkan nilai waktu terhadap uang (time value of money) atau discounted valuation. Evaluasi berdasarkan
kriteria keberterimaan proyek (Gittinger, 1982) yaitu: (i) nilai manfaat bersih atau net present value (NPV), (ii) rasio manfaat dan biaya atau benefits/costs ratio (B/C Ratio),
dan (iii) tingkat pengembalian atau internal rate of return (IRR). Secara matematis
model analisisnya adalah sebagai berikut:
1) Net Present Value (NPV); dinyatakan layak jika NPV > 0
1
2) Benefits/Costs ratio (B/C Ratio); dinyatakan layak jika B/C Ratio ≥ 1
∑ 1
∑ 1
0
0
3) Internal Rate of Return (IRR); dinyatakan layak jika IRR ≥
dimana:
Bt = pendapatan dari KIBARHUT pada waktu ke-t
Ct = biaya kegiatan KIBARHUT pada waktu ke-t i = tingkat suku bunga yang berlaku
t = jangka waktu (i = 1,2,…n)
n = periode analisis
c. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif (model PAM)
Kerangka analisis ekonomi yang lebih lengkap untuk menganalisis keadaan ekonomi dari sudut usaha swasta (private profit) sekaligus memberi ukuran tingkat
kinerja ekonomi usaha (social profit) adalah “matriks analisis kebijakan” atau Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis PAM digunakan untuk mengkaji keunggulan
komparatif dan kompetitif kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Analisis menggunakan model PAM yang dikembangkan oleh Pearson et al. (2005).
3. Analisis pasar kayu KIBARHUT
Analisis yang menjadi cakupan penelitian adalah kajian mengenai struktur dan lembaga pemasaran berkaitan dengan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Cakupan penelitian tersebut didasarkan hasil penelusuran awal bahwasanya kegiatan pemanenan belum dilakukan pada saat pengambilan data penelitian pada tahun 2008. Analisis deskripsi struktur pasar dilakukan pada setiap tahap pemasaran yang terbentuk, dengan indikator yang digunakan untuk menentukan struktur pasar sebagaimana pada Tabel 7.
Analisis perilaku pelaku pasar kayu KIBARHUT mendeskripsikan para pelaku yang terlibat dalam tataniaga kayu, peran dan fungsi masing-masing pelaku, serta informasi dan akses yang dimilikinya. KIBARHUT diduga membentuk struktur pasar yang khusus sesuai aturan main yang disepakati. Karenanya, selain mencermati indikator umum struktur pasar sebagaimana Tabel 7, analisis juga mengkaji perilaku pelaku pasar dan aturan berkaitan pemasaran kayu hasil KIBARHUT.
Tabel 7 Karakteristik struktur pasar
Karakteristik Struktur Pasar
Penjual/Pembeli Produk Informasi
PASAR OUTPUT
Banyak Penjual Standard/homogen Sempurna Persaingan sempurna
Banyak Penjual Diferensiasi Mudah Persaingan monopolistis
Sedikit Penjual Diferensiasi/spesifik Sulit Oligopoli
Satu Penjual Unik Sangat sulit Monopoli
PASAR INPUT
Banyak Pembeli Standard/homogen Sempurna Persaingan sempurna
Banyak Pembeli Diferensiasi Mudah Persaingan monopsonistis
Sedikit Pembeli Diferensiasi/spesifik Sulit Oligopsoni
Satu Pembeli Unik Sangat sulit Monopsoni
Sumber: Carlton dan Perloff (2000), Nicholson (2002), Sugiarto et al. (2003)
4. Keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT
Keberlanjutan hubungan kelembagaan terwujud jika tingkat harapan manfaat dan keuntungan (rewards) para pelaku yang terlibat sesuai (proporsional) dengan
korbanan (biaya) yang dikeluarkan masing-masing pelakunya. Artinya, terdapat insentif positif yang dinikmati pelaku terhadap keterlibatannya dalam suatu kelembagaan sebagaimana diungkapkan Jensen dan Meckling (1986), Kasper dan Streit (1998), Maskin (2001), Gibbons (1998; 2005), Ostrom (2005). Berdasarkan kriteria dimaksud, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah kelembagaan
56
KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai peluang berlangsung secara berkelanjutan.
Pengujian untuk mensintesa hipotesis utama tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kesatu: Adanya komitmen pelaku KIBARHUT untuk menegakkan kontrak
sehingga menjamin diperolehnya manfaat (pendapatan) sesuai korbanan (biaya) yang dikeluarkan, diuji dengan:
: komitmen penegakan kontrak tinggi tercermin berdasarkan tingkat indikasi oportunis rendah atau sedang;
: komitmen penegakan kontrak rendah tercermin berdasarkan tingkat indikasi oportunis tinggi.
b. Kedua: Kelembagaan KIBARHUT menghasilkan manfaat (benefit) bagi
pelakunya yang dapat menjadi insentif (positif) untuk keberlangsungan investasi pembangunan hutan KIBARHUT, diuji dengan:
: alokasi input produksi efisien (fungsi produksi dapat diturunkan 2 kali, dan memenuhi syarat negatif terbatas), layak secara finansial (nilai NPV positif, B/C ratio ≥ 1, IRR ≥ i% secara total dan sudut pandang
masing-masing pelaku), memiliki keunggulan kompetitif (PP positif, PCR < 1) dan komparatif (SP positif, DRC < 1);
: alokasi input tidak efisien, tidak layak secara finansial, tidak mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif.
c. Ketiga: Output produksi (kayu KIBARHUT) dialokasikan pada pasar kayu yang
kompetitif sehingga mendukung kesediaan pelaku untuk terus membangun hutan KIBARHUT. Hipotesis diuji dengan:
: pelaku termotivasi memproduksi (membangun hutan KIBARHUT) dan ada jaminan pasar yang bekerja secara efektif dan mudah;
: pelaku tidak termotivasi membangun hutan KIBARHUT dan jaminan pasar kayu KIBARHUT tidak memberikan manfaat tambahan bagi pelaku. Berdasarkan hasil sintesis terhadap ketiga hipotesis tersebut di atas, maka hipotesis utama “kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai peluang berlangsung secara berkelanjutan” adalah sesuai dugaan semula jika , , dan atau ketiga hipotesis pendukung adalah terbukti sesuai dugaan semula. Hipotesis utama adalah tidak sesuai dugaan semula jika atau atau atau ada salah satu atau lebih hipotesis pendukung yang terbukti tidak sesuai dengan dugaan semula.