• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim

A. PENGANTAR

Sengaja istilah yang digunakan “Pendidikan bagi Calon pengantin” bukan “Kursus Calon Pengantin“ karena pendidikan1

mempunyai makna yang luas dan memberikan implikasi dalam berbagai aspek. Pada intinya, pendidikan bagi calon pengantin adalah bagaimana mempersiapkan warga Negara Indonesia yang akan melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga, dapat mewujudkan keluarga yang bahagia lahir dan batin, melahirkan generasi yang berkualitas dan bermartabat. Bentuk pendidikan bagi calon pengantian, atau pendidikan pra nikah, bisa dimasukkan dalam pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Oleh sebab itu, Kursus Calon Pengantin (SUSCATIN) menjadi bagian dari Pendidikan bagi Calon Pengantin.

Pengertian Pendidikan sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Peserta didik, sebagaimana tersebut di atas, mempunyai makna yang luas, tidak hanya dalam arti siswa di sekolah/madrasah atau mahasiswa di perguruan tinggi, akan tetapi meliputi seluruh anggota masyarakat, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 4 bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Calon pengantin menjadi bagian dari peserta didik dengan karakteristik tersendiri, yaitu fase yang sangat potensial dalam mengembangkan pengetahuan dan kecakapannya dalam membina keluarga.

Mengacu pada pengertian tersebut, maka pendidikan bagi calon pengantin perlu dilakukan secara terencana dan sistematis, serta melalui berbagai jenjang dan jalur pendidikan, sehingga akan memberikan hasil dan manfaat yang optimal. Dengan demikian, diharapkan fungsi pendidikan dapat terwujud. Fungsi Pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

Tulisan ini hendak memperluas cakupan dan materi “ Kursus bagi Calon Pengantin” atau disingkat SUSCATIN. yang selama ini telah dilaksanakan oleh BIMAS

(2)

2

Islam. Di samping itu, dijabarkan pula persiapan yang harus dilakukan oleh calon pengantin dan stakeholder yang berperan dalam pendidikan bagi calon pengantin/pendidikan pra nikah.

B. PENTINGNYA PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN

Menurut UU No 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Tidak mudah untuk medefinisikan keluarga bahagia, sebagian menyamakan keluarga bahagia dengan keluarga harmonis. Secara umum keluarga bahagia dimaknai dengan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah wa maslahah, yang merupakan tujuan perkawinan.

Perkawinan merupakan langkah awal untuk membentuk sebuah keluarga. Oleh karenanya pembahasan tentang perkawinan tidak akan lepas dari pembahasan tentang keluarga. Fakta dalam satu keluarga hampir bisa dipastikan adanya konflik antara suami dan isteri maupun antar orang tua dan anak. Dengan adanya konflik tersebut kondisi rumah tanggah akan goyah dan mengalami guncangan. Suasana rumah tangga yang guncang ada yang bisa pulih dan normal kembali karena kedua suami istri telah siap menghadapi problematika hidup, sehingga menemukan solusinya. Namun tidak jarang dijumpai pasangan suami isteri yang tidak siap menghadapi konflik dalam rumah tangga dan menemui jalan buntu, hingga akhirnya berujung pada perceraian.

Setiap tahun lebih dari 2,2 juta pasangan menikah yang tercatat oleh Kantor Urusan Agama seluruh Indonesia.

Tabel 1

Perkawinan dan Perceraian di Indonesia tahun 2009-20133

Tahun Nikah Cerai %

2009 2,162,268 216, 286 10

2010 2,207,364 285, 184 13

2011 2,319,821 158, 119 6,8

2012 2,291,265 372, 577 16

2013 2,218,130 324,527 14,6

Dari data tabel 1 tentang Perkawinan dan Perceraian di Indonesia menunjukkan menurunnya perkawinan tercatat berbanding berbalik dengan tingginya angka kasus perceraian. Menurunnya angka pasangan pengantin yang tercatat menjadi pertanyaan tersendiri, hal ini menguatkan hasil penelitian Balitbang Kemenag RI tahun 2013 yang mengungkapkan masih banyaknya kasus perkawinan tidak tercatat dan perkawinan anak

(3)

3

(dibawah umur 18 tahun). Penurunan pencatatan nikah berbanding berbalik dengan kasus perceraian. Artinya tiap tahun terjadi peningkatan kasus perceraian. Pada tahun 2012 tercatat 297,841, sementara tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak 324,527 perceraian.

Tabel 2

Daftar Penyebab Perceraian4

No Penyebab Perceraian 2009 2010 2011 2012 2013 1 Tidak ada keharmonisan 72,274 91,841 51,882 91,388 97,615 2 Tidak ada tanggung jawab 61,128 78,407 42,701 81,227 81,266 3 Ekonomi 43,309 67,891 35,480 70,427 74,559 4 Gangguan pihak ketiga 16,077 20,199 12,082 23,690 25,310 5 Cemburu 8,284 10,029 5,824 10,524 9,338 6 Krisis ahlak 6,486 7,641 4,217 8,537 10,649 7 Kawin paksa 2,064 2,185 1,140 2,071 3,380 8 KDRT 1,965 2,191 1,605 3,697 4,439 9 Poligami tidak sehat 1,196 1,389 758 1,876 1,951 10 Cacat biologis 865 678 440 737 1,247 11 Menyakiti mental 587 560 432 1,108 1,491 12 Dihukum 459 418 143 392 714 13 Politis 402 334 327 423 2,094 13 Kawin di bawah umur 384 550 184 432 600 15 Lain lain 806 871 364 1,312 4,413 Jumlah 216,286 285,184 158,119 297,841 324,527

Data di atas menujukkan beragam faktor yang menyebabkan perceraian. Kasus yang dominan adalah karena tidak ada keharmonisan dalam keluarga dan tidak ada tanggung jawab. Oleh sebab itu perlu diberikan bekal bagaimana mewujudkan keharmonisan dalam keluarga dan tanggung jawab suami istri dalam keluarga. Dengan bekal yang memadai, diharapkan pasangan yang hendak menikah siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga, siap menghadapi masalah yang mungkin terjadi serta sudah siap dengan solusinya.

Salah satu tujuan pernikahan adalah melahirkan generasi yang berkualitas, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an surat Al-nisa (4): 1

(4)

4

Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan

kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Tugas mulia orang tua adalah melahirkan generasi penerus. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak dijumpai kasus kekerasan yang dihadapi oleh anak, termasuk di dalamnya kekerasan pada anak dalam keluarga 5. Data KPAI menujukkan tiap tahun mengalami peningkatan kasus kekerasan pada anak. Pada Tahun 2012 terdapat 3.332 laporan kasus, dengan 62% di antaranya merupakan kekerasan seksual kepada anak-anak yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang terdekat. Sementara, tahun 2013, dari Januari-Maret 2013 tercatat 919 kasus pengaduan tindak kekerasan pada anak.

Kekerasan anak meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan sosial dan kekerasan/eksploitasi ekonomi. Sedangkan lingkungan kekerasan menurut Study on Violence Against Children Outline terbagi menjadi 5 (lima) yaitu:

1. Kekerasan di lingkungan rumah dan keluarga (Violence in the home and family); 2. Kekerasan di lingkungan sekolah dan lingkungan pendidikan (Violence in school

and education settings);

3. Kekerasan di dalam Institusi lain, seperti perawatan/pengasuhan termasuk anak yang berkonflik dengan hukum (Violence in other institusional settings, orphanages, including children in conflict with the law);

4. Kekerasan di komunitas dan jalan (Violence in the community and on the streets); 5. Kekerasan di lingkungan kerja (Violence in work situation).

Kekerasan yang dialami oleh anak di lingkungan keluarga antara lain dilakukan oleh ayah, ibu dan saudara. Secara terperinci kasus kekerasan anak yang sering terjadi dalam keluarga, berdasarkan pengaduan kepada KPAI, dapat dilihat dalam grafik sebagai berikut:

Grafik 1.

(5)

5

Data di atas menunjukkan beragam bentuk kekerasan psikis anak, dan sebagian besar pelakunya adalah ibu. Sedangkan kekerasan psikologis yang sering dilakukan dengan kekerasan verbal, seperti menyebut anak bodoh, nakal, pemalas dan lainnya lebih banyak dilakukan oleh ayah. Relasi suami istri dalam keluarga yang tidak harmonis akan memunculkan diskriminasi dan dapat mengakibatkan kekerasan.

Ketimpangan pendidikan laki-laki-laki dan perempuan memberikan dampak dalam pola asuh anak. Seringkali pendidikan anak diserahkan kepada istri/ibu, sedangkan suami/ayah hanya mencari nafkah keluar rumah, dengan demikian sangat beralasan apabila ibu yang banyak menjadi pelaku kekerasan ringan, karena setiap hari berhadapan langsung dengan anak.

Maria Ulfah Anshor, Komisioner KPAI, menyebutkan beberapa faktor penyebab kekerasan pada anak dalam keluarga, yaitu:

1. Disfungsi keluarga, dimana peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi, tidak ditemukan dalam keluarga.

2. Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi atau kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi.

3. Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga, Orang tua dan saudara sekandung terutama kakak sering menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa.

Orang tua perlu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai terkait dengan tugas dan perannya sebagai ayah dan ibu. Pembekalan bagi calon orang tua menjadi penting dan mendesak untuk ditangani secara serius, sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap anak bisa diminimalisir. Oleh karena itu perlu persiapan tersendiri bagi calon orang tua (calon pengantin) dalam menjalani kehidupan berumah tangga.

0 10 20 30 40 50 60 Mencubit Membandingkan dng saudara / anak lainnya Membentak dng suara keras dan

kasar Menyebut, bodoh, pemlas, nakal Ayah 32 37.3 48.1 35.3 Ibu 51.1 43.4 45.5 29.9 Saudara 28.7 20 31.7 22 32 37.3 48.1 35.3 51.1 43.4 45.5 29.9 28.7 20 31.7 22

(6)

6

C. PERSIAPAN BAGI CALON PENGANTIN

Sebelum membahas isi materi yang diberikan kepada calon pengantin, maka ada beberapa persiapan khusus bagi calon pengantin

1. Persiapan Fisik

Pertumbuhan jasmani dalam fase kehidupan manusia akan mengalami perkembangan yang sangat signifikan ketika memasuki usia remaja, karena pada usia remaja sudah mulai tumbuh dan berfungsi organ reproduksinya. Pertumbuhan fisik akan semakin kuat saat mengakhiri usia remaja, demikian pula dengan fungsi organ reproduksi akan berjalan dengan baik saat berakhir usia remaja, dan semakin matang ketika memasuki fase dewasa. Menurut ilmu kesehatan, fase terbaik untuk melahirkan adalah usia 20-30 tahun.

Faktor usia menjadi prasyarat dalam melangsungkan pernikahan yang salah satu tujuannya adalah melanjutkan generasi penerus. Usia ideal menikah untuk laki-laki antara usia 25-30 tahun dan perempuan antara usia 20-25 tahun. Ini adalah usia ideal,dimana usia calon pengantin sudah cukup dewasa. Sangat beralasan ketika BKKBN membagi tiga fase terkait upaya mewujudkan generasi yang berkualitas dengan 3 hal:

a) Menunda perkawinan dan kehamilan di bawah usian 20 tahun b) Masa menjarangkan kehamilan pada usia 20-35 tahun

c) Masa mencegah kehamilan di atas usia 35 tahun

Selain usia yang cukup, perlu pula dilakukan pemeriksaan kesehatan pranikah, antara lain:

a) Penyakit genetik, misalnya : talasemia, buta warna, hemofilia, dan lain-lain. b) Penyakit tertentu yang diturunkan, misalnya kecenderungan diabetes mellitus

(kencing manis), hipertensi (tekanan darah tinggi), kelainan jantung, dan sebagainya.

c) Penyakit infeksi, misalnya, penyakit menular seksual (PMS), Hepatitis B, dan HIV/AIDS

d) Vaksinasi. Hal ini dilakukan untuk kekebalan terhadap virus rubella. Infeksi rubella pada kehamilan dapat menimbulkan kelainan pada janin seperti kepala kecil, tuli, kelainan jantung, bahkan kematian. Perlu pula pemeriksaan virus herpes karena dapat menyebabkan cacat janin dan kelahiran prematur.

e) Suntik Tetanus Toxoid (TT)

Tidak hanya kesiapan fisik yang dibutuhkan, akan tetapi juga perlu memahami fungsi dan peran reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi perempuan, karena dapat mempengaruhi keturunan yang akan melanjutkan generasi ke depan. Dengan demikian pendidikan kesehatan reproduksi bagi calon pengantin menjadi wajib diberikan. Idealnya, pendidikan kesehatan reproduksi dimulai sejak dini, antara lain dengan mengenal organ reproduksi, merawat dan menjaganya, dan hanya difungsikan sesuai dengan syariat.

(7)

7

2. Persiapan Mental

Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, tentram dan bahagia, perlu persiapan mental, antara lain:

a) Harus seiman

b) Adanya pemahaman yang sama tentang tujuan pernikahan.

c) Berkepribadian yang matang, termasuk dalam kriteria ini adalah: tabiat, budi pekerti, minat dan kebiasaan.

d) Memiliki pengetahuan dan wawasan yang seimbang, hal ini terkait dengan pendidikan, termasuk di dalamnya pengetahuan dan pengamalan agama. Selain itu perlu pengetahuan tentang pengasuhan anak, komunikasi, pengendalian diri, memahami perbedaan antara laki-laki dan perempuan,

e) Bekal yang harus pula dipersiapkan adalah ilmu parenting (pola asuh anak oleh orang tua), sehingga orang tua dapat memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya, baik pendidikan dalam keluarga (pendidikan informal), pendidikan di sekolah/madrasah (formal), dan pendidikan di lingkungan masyarakat.

f) Konseling untuk mengubah perilaku yang tidak sehat seperti : merokok, minum alkohol, atau memakai narkoba. Seringkali calon suami yang perokok, tidak paham bahwa asap rokok sangat berbahaya bagi ibu maupun janin.

.

3. Persiapan Sosial dan ekonomi

Selain persiapan fisik dan mental (psikis), maka harus pula dipersiapkan secara sosial dan ekomoni. Diantara persiapan dalam lingkup sosial, menurut Sururin dkk adalah:

a) Latar belakang sosial keluarga. Latar belakang keluarga dapat dilihat dari pendidikan dalam rumah, bukan pendidikan di sekolah, seringkali ditanya hanya latar belakang sekolah, bukan bagaimana pendidikan dalam keluarga. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui kebiasaan calon pasangan ketika telah menjadi pasangannya kelak.

b) Latar belakang budaya.

c) Pergaulan. Dengan mengetahui lingkungan, teman pergaulan dan aktifitas memudahkan calon suami dan isteri beradaptasi dengan anggota keluarga kedua belah pihak, tetangga, masyarakat dan lingkungan.

d) Calon suami dan isteri sebaiknya telah mandiri secara ekonomi, dan ulet mengais rizki.7

e) Persiapan lain terkait dengan ekonomi adalah mempunyai ketrampilan. Calon pasangan suami istri perlu mempunyai ketrampilan, antara lain: memasak, menjahit, mengurus rumah tangga, membersihkan dan memperbaiki kerusakan peralatan dan barang-barang.

D. MATERI PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN

Peraturan Dirjen Bimas Islam tentang kursus calon pengantin No. DJ.II/491 Tahun 2009 menyebutkan suscatin diselenggarakan dengan durasi 24 jam pelajaran yang meliputi :

(8)

8

1. tatacara dan prosedur perkawinan selama 2 jam 2. pengetahuan agama selama 5 jam

3. peraturan perundangan di bidang perkawinan dan keluarga selama 4 jam 4. hak dan kewajiban suami istri selama 5 jam

5. kesehatan reproduksi selama 3 jam 6. manajemen keluarga selama 3 jam

7. psikologi perkawinan dan keluarga selama 2 jam.

Susunan materi tersebut cukup lengkap, walaupun belum ada materi terkait dengan parenting. Demikian pula waktu yang harus disediakan durasinya bisa 3 hari (satu hari 8 jam), sedikit memadai. Akan tetapi dalam prakteknya, berdasar pada hasil penelitian Rahima dengan BP4 tahun 20138, materi-materi yang disampaikan dalam SUSCATIN yaitu: UU Perkawinan, Fiqh Munakahat, PKK (Kesejahteraan Keluarga), kesehatan reproduksi dan KB. Materi-materi tersebut hanya disampaikan sekitar 4-5 jam waktu efektif. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa waktu untuk menyampaikan materi kurang efektif, karena hanya 4-5 jam. Dengan demikian materi yang disampaikan hanya pengantar saja, atau garis besarnya saja, kurang mendalam dan tidak menyeluruh. Bila dilihat dari penyebab perceraian, sebagaimana tersebut pada tabel 2 yaitu karena tidak ada keharmonisan, akan tetapi tidak ada materi terkait dengan cara mengatasi konflik dalam keluarga, berikut contoh-contohnya. Tambahan kesimpulan dari penelitian tersebut adalah penyampaian materi SUSCATIN masih bias, karena materi yang diberikan lebih banyak menyebutkan tugas dan kewajiban istri dari pada haknya, dan sebaliknya lebih banyak berbicara hak suami dari pada kewajibannya.

Terdapat banyak hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan SUSCATIN. Dari sekian banyak hal itu yang paling dominan diantaranya adalah belum menjadi kewajiban bagi pasangan calon pengantin untuk mengikuti kursus bagi pra nikah, sehingga waktu yang ada sangat terbatas dan mengikuti jadwal calon pengantin. Tidak adanya ijin dari tempat kerja menjadi salah satu alasan tidak hadirnya pasangan calon pengantin mengikuti SUSCATIN. Jalan keluar yang ditawarkan adalah pihak KUA memberikan kursus singkat dengan istilah face to face. Yaitu, saat calon pengantin mendaftar pada saat itu pula diberikan penasehatan dan pengetahuan terkait pernikahan.

E. STRATEGI PELAKSANAAN PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN

Berdasar pada permasalahan tersebut, perlu dirumuskan berbagai strategi pendidikan bagi calon pengantin, tidak hanya terbatas pada lembaga penyelenggaranya, akan tetapi juga memperluas lingkup dan cakupannya.

1. Butuh Keseriusan Pemerintah: Advokasi tiada Henti

Pemerintah mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan bagi calon pengantin. Persiapan fisik bagi calon pengantin akan mempengaruhi proses dalam menjalankan fungsi reproduksinya. Sebagaimana dikemukaan di atas, bahwa usia ideal menikah perempuan minimal usia 20 tahun, sedangkan laki-laki 25 tahun. Akan tetapi dalam aturan perundangan yang ada, yaitu UU No 1 tahun 1974 membolehkan perempuan menikah usia 16 tahun. Dalam UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa usia batasan usia anak 18 tahun. Dengan demikian, perlu terus diperjuangkan adanya perubahan

(9)

9

usia menikah bagi perempuan dan laki-laki yang tercantum dalam UU tersebut. Berbagai gerakan telah dilakukan, termasuk diantaranya “Gerakan Nasional Stop Pernikahan pada Anak” yang pada tanggal 3 Oktober 2014 kerjasama KPP-PA, BKKBN, Plan Indonesia dan berbagai Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan, dilakukan seminar, diskusi, pengajian, dan sebagainya, akan tetapi kasus pernikahan usia anak masih tinggi di Indonesia karena peraturan yang ada, UU No 1 tahun 1974, masih berlaku. Butuh keseriusan pemerintah untuk merevisi UU tersebut, khususnya terkait dengan batas minimal usia perempuan menikah.

Kebijakan lainnya—terkait dengan tidak efektifnya SUSCATIN selama ini—Pemerintah hendaknya mewajibkan seluruh calon pengantin untuk mengikuti pendidikan pra nikah. Kebijakan tersebut akan memberikan konsekwensi pada peraturan lainnya, antara lain berupa edaran tentang kewajiban lembaga/instansi memberikan ijin bagi karyawan/pegawainya untuk mengikuti pendidikan bagi calon pengantin secara intensif. Selama ini SUSCATIN terkendala pelaksanaannya karena tidak adanya ijin dari perusahaan/instansi tempat bekerja. Pemerintah perlu menyusun kurikulum SUSCATIN yang ideal dengan memberikan ruang bagi pengembangan bagi penyelenggara SUSCATIN. Walaupun selama ini sudah ada aturan akreditasi lembaga penyelenggara SUSCATIN, akan tetapi belum berjalan.

Peran pemerintah akan kuat apabila memasukkan pendidikan pra nikah dalam kurikulum pendidikan formal. Dengan catatan, materi-materi nya tidak hanya UU perkawinan dan fiqh munakahat, akan tetapi diseimbangkan dengan materi tentang ketrampilan hidup, termasuk di dalamnya parenting, sehingga memenuhi tujuan dari penyelenggaraan pendidikan bagi calon pengantin.

2. Pendidikan Informal (Peran Orang Tua)

Orang tua menjadi model bagi anaknya, termasuk dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang dibinanya. Pola asuh dan kehidupan dalam keluarga akan terekam dalam kehidupan anak. Apabila kehidupan yang dialami seseorang dalam keluarga bahagia, damai penuh kasih sayang maka ia akan berusaha mewujudkan kehidupan keluarganya kelak sebagaimana kehidupan orang tuanya saat kecil, Akan tetapi, bila kehidupan yang dilalui dalam suasana konflik, banyak masalah dan kurang kasih sayang, maka dua altenatif yang muncul. Pertama dia akan mengalami kehidupan yang sama dengan masa kecilnya, artinya meniru apa yang sudah dilakukan orang tua. Dia akan berprilaku bagaimana dia diperlakukan.

Kedua, pengalaman pahit dalam kehidupan akan menjadi cambuk dan pelajaran

berharga, sehingga dia tidak akan mengulangi pengalaman pahit dalam hidupnya. Oleh sebab itu orang tua berpengaruh terhadap kehidupan keluarga anaknya.

Orang tua tidak hanya memberi teladan, akan tetapi juga doktrin (ajaran) dan pemahaman terkait membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa

(10)

10

rahmah. Prinsip-prinsip hidup akan ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya.

Demikian juga ketrampilan hidup menjadi salah satu “materi” yang diberikan dalam kehidupan dalam keluarga, salah satunya dengan pembiasaan.

Tidak mudah mengubah pola asuh dan kebiasaan yang sudah terbina dalam keluarga, maka langkah awal yang paling strategis adalah melalui pendidikan bagi calon orang tua, dalam hal ini para calon pengantin. Sebelum melangsungkan ikrar (aqad ijab qobul) calon pengantin perlu diberikan pendidikan yang akan menjadi bekal dalam mengarungi rumah tangga yang akan dibinanya

3. Pendidikan Formal (Peran Sekolah/Perguruan Tinggi)

Terdapat dua cara untuk memasukkan materi pendidikan pra nikah:

pertama menjadi satu mata pelajaran/mata kuliah yang berdiri sendiri. Mata

kuliah yang terkait langsung dengan persiapan pra nikah adalah Psikologi Keluarga. Sementara untuk menjadi satu mata pelajaran khusus, perlu dipikirkan dan didiskusikan kembali. Belum menjadi perhatian dari para pemikir pendidikan Indonesia untuk memasukkan pendidikan dalam rangka membangun keluarga dalam satu mata pelajaran tersendiri. Kedua, dimasukkan (insert) dalam mata kuliah/pelajaran tertentu. Mata pelajaran terkait dengan pendidikan pra nikah: biologi, PkN, IPS, Fiqh, Ekonomi, sosiologi, dan lain lain: Mata kuliah yang terkait dengan pendidikan pra nikah: Psikologi Perkembangan, Psikologi Agama, Psikologi Anak, Psikologi Perempuan, Bimbingan Konseling, Fiqh, Tafsir, Hadits, dll. Perlu diberikan orientasi khusus bagi penyusun kurikulum dan penulis buku untuk memasukkan pentingnya pendidikan pra nikah. Dengan demikian diharapkan pendidikan pra nikah dapat masuk dalam kurikulum yang dirancang untuk semua peserta didik.

Perlu persiapan khusus dalam menyusun perangkat pendukung pelakanaan pendidikan bagi calon pengantin (pendidikan pra nikah), baik dari aspek kurikulum, metode, media, penyelenggara, dan sebagainya.

Pada sisi lain, strategi yang bisa dilakukan adalah dengan membuka pusat studi yang mengkaji tema terkait dengan keluarga atau anak. Sebagai contoh, menurut Statuta yang baru, di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya PTAIN, terdapat Pusat Studi Gender dan Anak. PSGA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, misalnya, mempunyai tugas dan fungsi menciptakan lingkungan ramah anak. Lingkungan ramah anak diawali dari keluarga ramah terhadap anak, sekolah ramah anak, dan masyarakat (lingkungan) ramah anak. Untuk itu para orang tua perlu dibekali pendidikan dalam keluarga yang ramah anak. Pembekalan tersebut dapat diberikan kepada mahasiswa dan masyarakat lainnya yang hendak membangun keluarga.

(11)

11

4. Pendidikan Non Formal (Peran Masyarakat)

Selama ini pendidikan bagi calon pengantin hanya dilaksanakan dalam bentuk pendidikan non formal, yaitu Kursus bagi Calon Pengantin SUSCATIN. Pelaksanaan SUSCATIN didominasi oleh KUA..

Karena jalur non formal yang digunakan, maka istiulah yang digunakan adalah Kursus bagi Calon Pengantin (SUSCATIN). Istilah kursus, yaitu satuan pendidikan luar sekolah yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental tertentu bagi warga belajar. Kursus merupakan pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang

Memang, pendidikan luar sekolah memiliki keleluasaan jauh lebih besar dari pada pendidikan sekolah untuk secara cepat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah. Menurut pasal 14 UU Nomor 73 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Sekolah, Kursus diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan bekal untuk mengembangkan diri, bekerja, mencari nafkah dan/atau melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian, penggunaan istilah kursus tersebut diartikan bahwa hanya bagi orang yang memerlukan bekal untuk mengembangkan diri yang perlu kursus, tidak menjadi kewajiban untuk melaksanakannya. Hal ini berbeda dengan istilah pendidikan, yang mempunyai makna lebih luas, dan dapat mengikat warga bangsa bahkan mewajibkannya, misalnya dikenal istilah wajib belajar (wajar) 7 tahun, wajar 9 tahun, bahkan wajar 12 tahun

Konsekwensi lainnya bila menggunakan istilah pendidikan adalah bisa masuk dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Dampak lainnya adalah akan lebih luas pihak penyelenggara, tidak hanya dibatasi oleh Dirjen Bimas Islam, dalam hal ini penghulu, penyuluh dan BP4, akan tetapi bisa dilakukan oleh berbagai kalangan.

Pendidikan bagi calon pengantin atau pendidikan pra nikah belum menjadi kewajiban dan belum menjadi gerakan nasional, sehingga penganggarannya pun masih menjadi kendala

Selain BIMAS ISLAM, KUA dan BP4, organisasi keagamaan sudah melakukan konseling pra nikah (pendidikan pra nikah), akan tetapi pelaksanaannya pun belum optimal. Berbagai kajian telah dilakukan, akan tetapi belum terimplementasikan dengan baik. Sebagai contoh: Rahima (salah satu LSM yang aktif memperjuangkan aspirasi perempuan) telah melaksanakan program konseling bagi calon pengantin, demikian pula Fatayat NU, pada periode 2006-2010 mengembangkan program Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Calon Pengantin, dan mulai tahun 2013 memperluas program, tidak hanya sebatas kesehatan reporduksi akan tetapi memberikan bekal bagi calon pengantin secara luas, termasuk relasi dalam keluarga.

(12)

12

Pendidikan bagi calon pengantin merupakan upaya untuk mempersiapkan individu yang akan melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga, sehingga dapat mewujudkan keluarga yang harmonis, bahagia lahir dan batin, melahirkan generasi yang berkualitas dan bermartabat.

Keharmonisan dalam rumah rumah tangga selalu menjadi dambaan bagi setiap calon pengantin. Namun selama mengarungi bahtera kehidupan tidak sedikit hambatan yang menghadang sehingga suasana harmonis tinggal angan-angan belaka. Oleh sebab itu perlu diberikan bekal bagaimana mewujudkan keharmonisan dalam keluarga dan tanggung jawab suami istri dalam keluarga. Dengan bekal yang memadai, diharapkan pasangan yang hendak menikah siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga, siap menghadapi masalah yang mungkin terjadi serta sudah siap dengan solusinya.

Bentuk pendidikan bagi calon pengantin, atau pendidikan pra nikah, bisa dimasukkan dalam pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal.

Begitu pentingnya problema di atas, dirasa perlu untuk menyusun .strategi pendidikan bagi calon pengantin yang tidak hanya terbatas pada lembaga penyelenggaranya, akan tetapi juga memperluas lingkup dan cakupannya.

*Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Bimas Islam Volume 07 No 02 tahun 2014

1 UU no 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara

2

Ibid, Pasal 1 ayat 4

3

Prof. Dr. Abdul Jamil, MA, Bimas Islam dan Majlis Ta’lim, paparan materi dipresentasikan dalam Musyawarah Kerja Nasional Himpunan Daiyah dan Majlis Ta’lim Muslimat NU (HIDMAT MNU), Jakarta, 31 Mei 2014

4

Ibid

5

Menurut UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13 menyebutkan: Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking jual-beli anak.

6 Data dikutip dari: Maria Ulfah Anshor, Stop Kekerasan pada Anak secara Sistematis, disampaikan dalam

diskusi Kelas Gender PSGA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 4 Juni 2014.

7

Sururin, dkk, Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Calon Pengantin, (Jakarta: PP Fatayat NU, cet. III, 2010)

8

Tim Peneliti Rahima dan BP4, Peran BP4 dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah, Hasil Penelitian di 6 Wilayah, (Jakarta: Rahima, 2013)

Referensi dari internet

http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13662/nprt/538/uu-no-20-tahun-2003-sistem-pendidikan-nasional

(13)

13

1) Sururin, dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi PP Muslimat NU, Sekretaris HIDMAT Muslimat NU, email: sururin@uinjkt.ac.id

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara untuk meminimalisir terinfeksinya anak anak dari Covid-19 adalah dengan menerapkan pola asuh yang mengedukasi perilaku hidup bersih dan sehat terhadap

Laporan akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Diploma III di Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri

Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa semua variabel memiliki hubungan positif dalam mempengaruhi tingkat loyalitas pengguna e- commerce dengan variabel

yang luas untuk penulis untuk melakukan penelitian di perusahaan tersebut, khususnya kepada Ibu Peggy selaku direktur operasional yang telah menjadi pembimbing yang membantu

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses Implementasi Program Pembangunan Insfrastruktur Pedesaan Oleh Aparatur Pemerintah Desa di Desa Darmacaang Kecamatan Cikoneng

i) Sekiranya baki pembayaran tidak di jelaskan dalam tempoh 30 hari sebelum tarikh penerbangan, pihak syarikat berhak membatalkan pakej yang di tempah dan caj RM400 seorang akan

Uji ini merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi diterima atau tidak oleh konsumen pada suatu makanan.Walaupun nantinya jika warna dan tekstur