BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Sesuai Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan maka jawaban atas
permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:
5.1.1 Bahwa perilaku concerted action yang merupakan istilah ekonomi telah
diakomodir didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
diinterpretasikan dalam 2 bentuk dalam hukum persaingan usaha, yaitu aspek
bentuk perjanjian dan bentuk perbuatan. Dimana penilaian ditilik dari sisi
bentuk perjanjian, yaitu bentuk perjanjian yang tidak tertulis dan diatur dalam
beberapa pasal dalam Undang-undang serta dalam bentuk perbuatan yang diatur dalam beberapa pasal dengan kalimat ‖dilarang bekerjasama dengan
pelaku usaha lainnya‖ atau‖ dilarang bekerjasama dengan pihak lain‖ tetapi
Concerted action tidak serta merta merupakan bentuk perjanjian tidak tertulis,
karena komunikasi diantara para pihak cukup berupa komunikasi yang tidak
secara langsung mengenai obyek yang dilarang (hal khusus), melainkan cukup
mengenai hal-hal yang sifatnya umum serta tidak menuntut adanya kewajiban
untuk melaksanakan tujuan dari pihak lain. Walaupun concerted action
bukanlah merupakan istilah hukum tetapi secara substansial concerted action
dapat disebut sebagai persekongkolan dan konspirasi yang dijelaskan dalam
arti sempit sesuai pasal 1 angka 8 terkait dengan kegiatan khusus tender.
bersama-sama atas dasar perjanjian mau penyesuaian perilaku dengan tujuan
yang sama, saling mengerti atau bermakna sama dengan melakukan koordinasi
perilaku. Koordinasi perilaku memerlukan komunikasi dua arah baik
merupakan komunikasi yang diartikan secara umum maupun khusus juga
bentuk komunikasi satu arah yang bermakna memberikan signal-signal agar
dapat ditangkap oleh pihak lain.
5.1.2 Apakah concerted action mensyaratkan bentuk perjanjian menurut Pasal 1 UU
No. 5 Tahun 1999?
Definisi tentang perjanjian menurut pasal 1 ayat 7 UU No.5 Tahun 1999 suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-undang No.5
Tahun 1999, dapat diketahui bahwa Undang-Undang No. 5 tahun 1999
merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak
tertulis, kedua-duanya diakui atau digunakan sebagai alat bukti dalam kasus
persaingan usaha. Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap
tidak begitu kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata
yang berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti tertulis
dan otentik sebagai alat bukti yang kuat. Selain itu dalam perjanjian akan
menuntut adanya pelaksanaan atas apa yang telah disepakati bersama dan
adanya sanksi jika kesepakatan tersebut dilanggar. Concerted action dapat
dan bukan bentuk perjanjian tidak tertulis atau gentlemen agreement karena
tidak ada sanksi yang mengikutinya. Sedangkan dihubungakan dengan UU
Nomor 5 Tahun 1999, pengertian concerted action diakomodir secara tidak
langsung atau secara sempit kedalam unsur perjanjian yang dilarang berupa
kartel.
5.1.3 Apakah concerted action dapat dikategorikan sebagai Kegiatan yang dilarang
sesuai UU No. 5 Tahun 1999?
Concerted action diakomodir secara tidak langsung dalam arti unsur perbuatan
secara luas diakomodir dalam beberapa pasal kegiatan yang dilarang terkait
harga, pasokan, penjualan, pemasaran terutama dalam struktur pasar oligopoli.
Tidak adanya definisi secara jelas makna concerted action sebagai hasil dari
suatu kesepakatan bersama dapat dijadikan dalih bagi pelaku usaha untuk
menyatakan tindakan concerted action yang dilakukan adalah bersifat
independen atau conscious parallelism.
5.1.4 Bagaimana pembuktian concerted action dalam beberapa kasus Putusan KPPU
terkait Kartel di Indonesia?
Alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Persaingan Usaha adalah sebagai
berikut, sesuai pasal 42 UU No.5 Tahun 1999: ―Alat-alat bukti pemeriksaan
Komisi berupa a) keterangan saksi, b)keterangan ahli, c)surat dan atau
dokumen, d)petunjuk, e)keterangan pelaku usaha. Berdasarkan pasal 64 ayat 1
Perkom KPPU No. 1 Tahun 2006 yang menyatakan dengan tegas: ―Dalam
menggunakan alat-alat bukti berupa: a) keterangan saksi, b) keterangan ahli, c)
surat dan atau dokumen, d) petunjuk, e) keterangan terlapor. Kalau KPPU
berpendapat bahwa indirect evidence dapat digunakan sebagai alat bukti karena
Pasal 64 (1) Perkom No. 1 Tahun 2006 juncto Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999
tidak melarangnya; maka indirect evidence hanyalah bersifat sebagai
pendukung dan penguat salah satu alat bukti saja.
Pembuktian secara hukum, maka analisa atas pasal yag dilanggar menjadi cek
poin atas kasus yang dihadapi KPPU. Sedangkan dalam kasus concerted action
dapat menggunakan pendekatan pembuktian kasus kartel dimana kemungkinan
besar KPPU akan melihat dampak yang ditimbulkan saja dimana dapat
dijelaskan pembuktian secara hukum sebagai berikut :
a. Unsur-unsur pembuktian kartel dapat digunakan juga dalam pembuktian
concerted action seperti yang tertuang dalam pedoman tentang Kartel dan
pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengharuskan KPPU membuktikan
beberapa unsur seperti (1) Pelaku Usaha, (2) perjanjian, (3) pelaku usaha
pesaing, (4) unsur perbuatan yang bermaksud mempengaruhi harga,
mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, (5) dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli, dan dapat mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat124.
b. Unsur pertama yang harus dibuktikan adalah pelaku usaha, yang
berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 didefinisikan
124
sebagai ―setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, secara bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam hal tindakan
concerted action unsur nomor (2) perjanjian apalagi dalam bentuk tertulis
tidak akan ditemukan sehingga pencarían informasi lebih kepada data
yang mencerminkan baik koordinasi maupun komunikasi. Unsur ke (3)
pelaku usaha pesaingnya adalah pelaku usaha dalam Pasar Bersangkutan,
dimana konsep dan pengertian Pasar Bersangkutan diatur berdasarkan
Peraturan Komisi Nomor 3 Tahun 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka
10 tentang Pasar Bersangkutan.125Terkait informasi jumlah pelaku usaha
dengan pesaingnya serta sektor menjadi informasi dasar struktur pasar
dimasa sektor usaha itu berada, artinya struktur pasar harus berupa pasar
oligopoli. Unsur ke 4 yaitu unsur perbuatan yang perlu dibuktikan adalah
mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa. Pengaturan
produksi diartikan sebagai menentukan jumlah produksi baik bagi
anggota kartel keseluruhan maupun bagi setiap anggota, sedangkan
pengertian mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual
dan atau wilayah mana para anggota menjual produksinya.126 Perlu
125
Ibid, hlmn.20
126
dicermati apakah ada sanksi jika pelaku tidak melaksanakan pengaturan
harga, produksi dan pemasaran.
c. Bagi pembuktian kartel unsur ke 5 yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat tidak
perlu lagi dibuktikan karena pada dasarnya perbuatan kartel dalam pasar
oligopoli adalah bersifat per se illegal, sedangkan dalam kasus concerted
action unsur kelima ini menjadi bukti utama yang harus dianalisa, apakah
dengan perilaku concerted action ini terjadi pemusatan kekuatan ekonomi
dan merugikan konsumen.
Pembuktian unsur perbuatan atau unsur ke 4, maka KPPU membuat
analisa atas:
a. Bukti Ekonomi:
(1)Pendekatan Struktural: terjadi pada struktur pasar oligopoli
dengan tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dan sudah menjadi
sifat dari pasar oligopoli adalah interdependensi, pelaku usaha akan
selalu memantau perilaku pesaingnya, tingkat hambatan masuk
pasar atau barrier to entry, serta tingginya tingkat integrasi vertikal
atau penguasaan dari hulu sampai ke hilir oleh pelaku usaha.
Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan; dengan menggunakan
indikator tingkat konsentrasi pasar seperti misalnya CR4 (Rasio
Konsentrasi Pasar oleh 4 perusahaan terbesar atau dominan) dan
untuk melihat apakah secara struktur, pasar tertentu mendorong
eksistensi kartel. Analisa konsentrasi pasar menggunakan CR4
dikatakan berstruktur oligopoli bila CR4 >40%. Ukuran
perusahaan, homogenitas produk, persediaan dan kapasitas
produksi, keterkaitan kepemilikan, karakter permintaan:
keteraturan, elastisitas dan perubahan, permintaan yang teratur dan
inelastis dengan pertumbuhan yang stabil akan memfasilitasi
berdirinya kartel.
(2)Pendekatan perilaku: dapat diukur dari beberapa indikator
sebagai berikut:
i. Parallel pricing: terjadi kenaikan atau penurunan harga yang
sejajar. Parallel pricing adalah tingkat kenaikan dan
penurunan yang mirip dapat dianalisa dengan menggunakan
metode uji Korelasi Pearson dengan angka korelasi -1<0<1,
sedangkan penafsiran hasil analisis korelasi, meliputi: pertama,
melihat kekuatan hubungan dua variabel; kedua, melihat
signifikansi hubungan; dan ketiga, melihat arah hubungan.
Pergerakan harga yang harmonis dan harga yang berlebihan
ii. Keuntungan yang tidak wajar; jika bertambahnya pesaing
yang masuk pasar tetapi tidak diimbangi dengan penurunan
iii. Pangsa pasar yang stabil yang dimiliki oleh beberapa pelaku
usaha dibandingkan dengan kebutuhan pasar yang
berkembang.
iv. Struktur harga yang rigid; dalam pasar yang kompetitif,
perubahan harga akan berdampak pada perubahan permintaan
dan penawaran, dimana kecenderungan pelaku usaha akan
menurunkan supply – penawaran daripada menurunkan
harga.
v. Sejarah pelanggaran persaingan usaha sebelumnya.
vi. Facilitating devices; merupakan perilaku mempermudah
berjalannya kolusi atau konspirasi merupakan pelengkap
yang menentukan, sebagai berikut:
- Standardisasi produk dan term; semakin homogen dan
seragam produk yang dihasilkan semakin mudah untuk
melakukan kolusi.
- Penetapan harga dasar dan pengiriman; kolusi menjadi
kondusif jika ada penetapan harga dasar dan biaya
pengiriman.
- Transparansi dan Pertukaran Informasi, pertukaran
informasi terkait perubahan harga, kebijakan most
favoured nation, melakukan pendekatan terhadap
b. Bukti komunikasi: Dalam penggunaan bukti komunikasi, perlu untuk
ditentukan beberapa subkategori komunikasi, mungkin didasarkan
pada modus komunikasi atau isinya, penggunaan yang mengarah ada
tidaknya kesepakatan. Subkategori komunikasi dapat dipecah menjadi
pertemuan-pertemuan rutin, wadah asosiasi, pembicaraan per telpon,
berita acara atau notulen pertemuan yang membahas tentang harga dan
strateginya, permintaan, kapasitas produksi, pembagian kuota dan
wilayah. Tingkat intensitas dari bentuk komunikasi telah dijelaskan
dalam lancasan teori terkait arti pentingnya komunikasi dan
pembuktian tidak langsung.
5.1.5 Bagaimana pendapat sehubungan dengan amandemen UU No. 5 Tahun 1999?
Kebutuhan penyempurnaan ketentuan peraturan perundangan semakin
mendesak untuk dilakukan mengingat keterbatasan-keterbatasan akibat
kompromi politis yang melekat dengan sejarah penyusunan UU No. 5 Tahun
1999. Amandemen undang-undang ini, dirasakan menjadi penting terutama
terkait:
- upaya penguatan hak penggeledahan KPPU, kriminalisasi terlapor melalui
penerapan ketentuan pidana atau pelaporan temuan indikasi pidana tipikor
yang selama ini telah dilaksanakan dengan alas hukum memorandum
kesepakatan dengan institusi terkait KPK, POLRI dan Kejaksaan RI, perlu
diperjelas dengan mekanisme kerjasama yang diatur dalam ketentuan
- Pengamatan dari aspek materiil menunjukkan bahwa demi kemudahan
penerapan hukum, maka kritik terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 bertolak dari pengujian dalam penerapan hukum melalui pertimbangan
hukum KPPU maupun putusan-putusan hukum Mahkamah Agung dapat
dipertimbangkan sehubungan dengan (1) Struktur dan rumusan
ketentuan-ketentuan larangan perlu diringkas dan disederhanakan agar tidak terjebak
oleh rumusan aturan yang detail namun terbatas lingkupnya, (2) Pengertian
concerted action atau concerted practices, sebagai alternatif bagi rumusan
Pasal 1 Angka 7 tentang Perjanjian, perlu dimuat ke dalam rumusan
ketentuan umum maupun ke dalam rumusan larangan terhadap tindakan
bersama-sama yang menghambat persaingan untuk menghindari
keterbatasan pengertian Perjanjian bisa menjadi jebakan dalam penerapan
hukum, (3)otoritas persaingan menggunakan kombinasi teknik dan alat
(instrument) untuk mengatur strategi yang tinggi untuk mendeteksi
concerted action dan dimuat dalam aturan hukum yang mendasari kegiatan
pengawasan oleh otoritas persaingan.
5.2 Saran.
Kebutuhan penyempurnaan ketentuan peraturan perundangan semakin
mendesak untuk dilakukan mengingat keterbatasan-keterbatasan akibat kompromi
politis yang melekat dengan sejarah penyusunan UU No. 5 Tahun 1999. Walaupun
kerjasama yang terkoordinasi dengan baik serta diatur dalam ketentuan
undang-undang diantara para penegak hukum yang saling berkaitan menjadi fokus yang tidak
kalah penting. Dari aspek regulasi perlu dipertimbangkan sehubungan dengan
(1)Struktur dan rumusan ketentuan-ketentuan larangan dapat diringkas dan
disederhanakan agar tidak terjebak oleh rumusan aturan yang detail namun terbatas
lingkupnya, (2)Pengertian concerted action atau concerted practices, sebagai
alternatif bagi rumusan Pasal 1 Angka 7 tentang Perjanjian dalam arti sempit saja,
tetapi perlu dimuat kedalam rumusan ketentuan umum maupun kedalam rumusan
larangan terhadap tindakan bersama-sama yang menghambat persaingan secara
umum untuk menghindari keterbatasan pengertian perjanjian bisa menjadi jebakan
dalam penerapan hukum, (3)Otoritas persaingan menggunakan kombinasi teknik dan
alat (instrument) untuk mengatur strategi yang tinggi untuk mendeteksi concerted
action dan dimuat dalam aturan hukum yang mendasari kegiatan pengawasan oleh