• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN LEPAS SAPIH PASCA INOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN YANG DIBERI KOBALT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN LEPAS SAPIH PASCA INOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN YANG DIBERI KOBALT"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

1

STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN

FRIESIAN HOLSTEIN

LEPAS SAPIH PASCA INOKULASI

BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN

YANG DIBERI KOBALT

SKRIPSI AYU PUSPITA SARI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

2 RINGKASAN

AYU PUSPITA SARI. D24061842. 2010. Status Fisiologis dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Lepas Sapih Pasca Inokulasi Bakteri Pencerna Serat dengan Pakan yang Diberi Kobalt. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc

Pedet merupakan ternak muda yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Pada periode awal, pencernaan hanya terjadi di dalam alat pencernaan pasca rumen. Pencernaan fermentatif oleh mikroba masih sangat terbatas karena mikroba dalam rumen pedet belum berkembang sempurna sehingga pedet belum mampu memanfaatkan nutrien selain susu. Keterbatasan kemampuan pencernaan fermentatif dapat mempengaruhi konsumsi pakan, produktivitasnya dan kondisi fisiologis nya jika pakan non-susu mulai diberikan sebagai pengganti susu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi bakteri selama periode menyusu terhadap status fisiologis, pertumbuhan, konsumsi dan kadar Co dalam darah pada pedet peranakan FH lepas sapih. Perlakuan pada periode pra sapih yaitu kontrol (P0) dan pemberian inokulasi isolat bakteri pencerna serat (P1). Selama periode pra sapih pedet diberi susu dan calf starter. Pada saat memasuki periode lepas sapih, inokulasi isolat bakteri pencerna serat dihentikan. Kedua kelompok pedet mendapatkan pakan pertumbuhan yang sama dan disuplementasi Co. Pedet dipelihara di dalam kandang individu beralaskan kayu dengan peralatan berupa wadah pakan, wadah minum, stopwatch, timbangan, dan termometer digital. Setiap pagi dan sore, pedet diberi makan dan minum ad libitum. Suhu dan kelembaban kandang diukur setiap hari pagi dan sore. Setiap minggu pada pagi dan sore hari, dilakukan pengukuran terhadap suhu rektal, laju respirasi, dan denyut jantung. Data hasil pengamatan dibandingkan secara statistik menggunakan t-Test.

Selama enam minggu masa pemeliharaan, suhu lingkungan kandang pada pagi hari berkisar antara 24,70-29,40 °C dengan rataan sebesar 26,44 °C. Sedangkan pada sore hari, suhu berkisar antara 24,9-32,00 °C dengan rataan sebesar 27,88 °C. Kelembaban pada pagi hari berkisar antara 85-99 % dengan rataan sebesar 97,12 %. Sedangkan kelembaban pada sore hari berkisar antara 64-99 % dengan rataan sebesar 83,6 %. Kondisi lingkungan kandang bukan termasuk kondisi yang ideal untuk memelihara pedet peranakan FH.

Inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi (P>0,05) suhu rektal. Namun, selisih suhu rektal antara 0,2–1,0°C antara perlakuan dapat mempengaruhi kondisi fisiologis. Perbedaan suhu menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap metabolisme nutrien. Suhu rektal P1 lebih besar daripada P0, hal ini menjelaskan bahwa proses metabolisme yang terjadi pada kelompok P1 lebih meningkat dibandingkan P0. Inokulasi isolat bakteri juga tidak mempengaruhi (P>0,05) laju respirasi dan denyut jantungnya. Peningkatan frekuensi respirasi merupakan cara untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh saat suhu udara dalam kandang meningkat. Pernapasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya. Peningkatan denyut jantung merupakan

(3)

3 respon tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin. Pemberian inokulan bakteri tidak menyebabkan perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan pedet sapi FH.

Semakin lama masa pemeliharaan, konsumsi bahan kering ransum dan pertambahan bobot badan semakin meningkat baik pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri ataupun kelompok pedet kontrol. Konsumsi BK ransum pada P1 terlihat ada perbedaan dibandingkan dengan konsumsi BK P0 pada minggu ke-1, 5, dan 6. Namun bila dilihat dari pertambahan bobot badannya, yang nyata baruperbedaan pertumbuhan baru nyata terlihat pada minggu ke-6 masa pemeliharaan. Hal ini diduga bakteri yang diinokulasikan pada rumen pedet sudah mulai berkembang pada minggu ke-1 dan 5 sehingga mampu mencerna pakan berserat namun belum mampu untuk memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhan lebih baik. Pada minggu ke-6 bakteri rumen baru berkembang secara sempurna sehingga lebih mampu untuk memanfaat nutrien untuk pertumbuhannya.

Konsumsi Co dan kadar Co darah tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan dan kontrol. Walaupun konsumsi Co cukup rendah, kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri mampu mengkonsumsi Co lebih banyak dibandingkan kelompok pedet kontrol. Pada periode lepas sapih mikroba dalam rumen diperkirakan sudah berkembang sempurna sehingga vitamin B12 lebih mampu

disintesis secara maksimal dan meningkatkan absorpsi Co. Peningkatan absorpsi Co sejalan dengan adanya pertumbuhan yang lebih baik, hal ini menggambarkan bahwa inokulasi isolat bakteri pencerna serat berpotensi meningkatkan metabolisme energi pada pedet.

(4)

4 ABSTRACT

Physiological Status and Performance of Post-Weaning Friesian Holstein Calves Offered Diet Supplemented with Cobalt and Inoculated Previously with

Cellulolitic Bacterial Isolate

Sari, A. P., T. Toharmat, and Kartiarso

Calves in post-weaning period are succeptable to weather condition. Their digestive system and its rumen bacteria have not completely developed. The calves have a limited ability to digest the fibre component of feed and to maintain the optimum body temperature. This experiment was aimed to determine the effect of cellulolitic bacterial isolates inoculation during pre-weaning period on physiological status, weight gain, cobalt (Co) content in blood in the post weaned calves offered diet supplemented with Co. Nine of eight weeks old calves with an average initial body weight of 43.11±7.13 kg were reared for 7 weeks pre-weaning period and 6 weeks post weaning period in individual cages with wooden floor. The calves were offered fresh milk for 7 weeks and calf starter for 5 weeks. The four calves were inoculated with cellulolitic bacteria isolates for 5 weeks and another 5 calves were the control group. A single grower diet was offered to the all weaned calves for 6 weeks. Body weight, rectal temperature, respiration and heart beat were determined weekly. Blood Co content was determined in blood sample obtained in the last day of the experimental period. Means of the treatments were compared using t-Test. Inoculation of cellulolitic bacteria isolates had no significant effect (P>0.05) on the rectal temperature, respiration rate, heart beat and blood Co content, but improved weight gain after 6 weeks post weaing. Physiological response of calves and Co utilization were not influenced by inoculation of bacteria. Inocullation of cellulolitic bacteria was potention way to improve the metabolism of dietary energy.

(5)

5

STATUS FISIOLOGIS DAN PERFORMA PEDET PERANAKAN

FRIESIAN HOLSTEIN

LEPAS SAPIH PASCA INOKULASI

BAKTERI PENCERNA SERAT DENGAN PAKAN

YANG DIBERI KOBALT

AYU PUSPITA SARI D24061842

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(6)

6 Judul : Status Fisiologis dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Lepas Sapih Pasca Inokulasi Bakteri Pencerna Serat dengan Pakan yang Diberi Kobalt

Nama : Ayu Puspita Sari NIM : D24061842

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.) (Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc.) NIP: 19590902 198303 1003 NIP: 19460416 197403 1001

Mengetahui: Ketua departemen,

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr) NIP: 19670506 199103 1001

(7)

7 RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Ayah Ardiansyah, SE, AAAIK dan Ibu Rusnawati di Kota Samarinda, Kalimantan Timur pada tanggal 24 Mei 1989.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Lowokwaru VIII Malang, pendidikan lanjutan tingkat menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SMPN 2 Mataram, dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 3 Tegal. Setelah lulus SMA tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Kemudian, pada tahun 2007 penulis terdaftar di Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan , Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah penulis pernah mengikuti organisasi KSR PMI (Korps Suka Rela Palang Merah Indonesia), BEM-D (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan) masa 2008 / 2009, dan sampai sekarang aktif dalam Teater Kandang Fakultas Peternakan. Penulis pernah mengikuti program magang di laboratorium lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

(8)

8 KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT karena atas segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Status Fisiologis dan Performa Pedet

Peranakan Friesian Holstein Lepas Sapih Pasca Inokulasi Bakteri Pencerna Serat Dengan Pakan yang Diberi Kobalt” yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dari bulan November 2009 sampai dengan Januari 2010 di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat dengan pakan yang disuplementasi kobalt terhadap status fisiologis, pertumbuhan, konsumsi BK, konsumsi Co, kadar Co dalam darah serta hematologi darah meliputi sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit pada pedet peranakan Friesian Holstein lepas sapih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, September 2010

(9)

9 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... ii ABSTRACT ... iv LEMBAR PERNYATAAN ... v LEMBAR PENGESAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI. ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Sapi Peranakan Friesian Holstein ... 3

Anatomi dan Perkembangan Saluran Pencernaan Pedet ... 3

Kondisi Fisiologis Pedet ... 4

Probiotik ... 5

Fungsi dan Kebutuhan Kobalt... 6

Darah ... 7

Eritrosit (Butir Darah Merah) ... 7

Hemoglobin ... 8

Hematokrit ... 8

MATERI DAN METODE ... 10

Waktu dan Tempat ... 10

Materi ... 10

Ternak Percobaan ... 10

Kandang dan Peralatan ... 10

Isolat Bakteri ... 10

Metode ... 11

Susunan Ransum Penelitian ... 11

Penerapan Perlakuan.. ... 11

Pengambilan Sampel Darah. ... 12

Analisa Kandungan Kobalt dalam Darah dan Pakan ... 12

(10)

10

Analisis Data ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Suhu dan Kelembaban Kandang ... 16

Suhu Rektal ... 18

Laju Respirasi ... 19

Denyut Jantung ... 20

Konsumsi BK ... 21

Pertambahan Bobot Badan ... 22

Profil Darah ... 23

Sel Darah Merah ... 24

Hemoglobin ... 24

Hematokrit ... 25

Konsumsi Co da Kadar Co dalam Darah ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

Kesimpulan ... 28

Saran ... 28

UCAPAN TERIMA KASIH ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(11)

11 DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum...……….. 11 2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian ... 11 3. Rataan Suhu Rektal (°C) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama

Penelitian ... 18 4. Laju Respirasi (kali/menit) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama

Penelitian ... 19 5. Denyut Jantung (kali/menit) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama

Penelitian ... 20 6. Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum Selama Pemeliharaan ... 21 7. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Selama Periode Penelitian ... 22 8. Profil Darah Pedet yang Mendapat Ransum yang Disuplemen-

tasi Co Tanpa atau dengan Inokulasi Bakteri ... 23 9. Konsumsi Co dan Kadar Co Darah Pedet yang Mendapat

Ransum yang Disuplementasi Co tanpa atau dengan Inokulasi

(12)

12 DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pola Suhu Kandang Selama Penelitian……… 16 2. Kelembaban Kandang Selama Penelitian... 17

(13)

13 DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Selama Masa

Penelitian...………... 33

2. Contoh Perhitungan Uji-t Pada Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari)... 33

3. Contoh Perhitungan Uji-t Pada Konsumsi ... 34

4. Contoh Perhitungan Uji-t Pada Suhu Rektal Pagi Hari (°C) ... 35

5. Contoh Perhitungan Uji-t Pada Suhu Rektal Sore Hari (°C) ... 36

6. Contoh Perhitungan Uji-t Pada Laju Respirasi Pagi Hari (kali/menit) ... 37

7. Contoh Perhitungan Uji-t Pada Laju Respirasi Sore Hari (kali/menit) ... 38

8. Contoh Perhitungan Uji-t Pada Denyut Jantung Pagi Hari (kali/menit) ... 39

9. Contoh Perhitungan Uji-t Pada Denyut Jantung Sore Hari (kali/menit) ... 40

(14)

14 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pedet merupakan ternak muda yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Bakteri pada rumen pedet belum berkembang secara sempurna sehingga pedet belum mampu untuk memanfaatkan energi yang terkandung dalam pakan non susu. Sehingga pada periode awal, pencernaan hanya terjadi di dalam alat pencernaan pasca rumen. Disamping itu kemampuan termoregulasi ternak terhadap suhu lingkungan masih terbatas. Bila kondisi lingkungan terlalu dingin pedet dapat mengalami hypothermia dan bila terlalu panas dapat mengalami cekaman panas (heat stress) sehingga dapat mempengaruhi konsumsi makanan, produktivitas, dan kondisi fisiologis nya.

Suplementasi mineral juga dibutuhkan oleh pedet untuk memenuhi kebutuhan pedet dan mikroba rumen. Unsur Co merupakan salah satu mineral yang diperlukan. Ruminansia membutuhkan Co bagi mikroorganisme rumen untuk sintesis vitamin B12 (cyanocobalamin), namun perkembangan mikroba rumen dalam rumen pedet

masih terbatas sehingga bakteri di dalam rumen pedet belum mampu untuk mensintesis vitamin B12. Vitamin B12 sangat diperlukan tubuh ternak khusunya

dalam sintesis sel darah merah (Frandson, 1992). Darah merah merupakan salah satu komponen tubuh yang berperan dalam proses termoregulasi (Frandson, 1992). Unsur Co dalam pakan digunakan oleh mikroorganisme dalam rumen untuk mensintesa vitamin B12, sehingga apabila kekurangan Co maka akan terjadi

defisiensi vitamin B12 pada ternak. Kecukupan vitamin B12 berhubungan dengan

proses sintesa darah karena merupakan prasyarat untuk proses pematangan sel darah merah secara normal. Kekurangan Co atau vitamin B12 dapat menyebabkan anemia

(Stangl et al., 2000). Secara tidak langsung, kekurangan Co juga dapat mempengaruhi kondisi fisiologis pedet.

Upaya manipulasi peningkatan ketersediaan vitamin B12 perlu dilakukan

terhadap rumen pedet agar bakteri rumen cepat berkembang. Salah satu cara agar rumen pedet dapat bekerja lebih awal adalah dengan cara inokulasi mikroba ke dalam rumen pedet. Upaya ini memungkinkan terjadinya perkembangan rumen menjadi lebih cepat dan fermentasi rumen menjadi lebih optimal. Oleh karena itu kajian perkembangan mikroba rumen ini sangat diperlukan terkait dengan inokulasi

(15)

15 bakteri rumen dan suplementasi Co pada periode menyusu dan pengaruhnya terhadap kondisi fisilologis lepas sapih yang merupakan periode kritis dalam pertumbuhan pedet.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat selama pra sapih dan pengaruhnya pada kondisi fisiologis, pertumbuhan, konsumsi BK, konsumsi Co, kadar Co darah serta hematologi pedet Friesian Holstein pasca sapih dengan pakan yang disuplementasi Co.

(16)

16 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Peranakan Friesian Holstein

Sapi FH atau Friesian Holstein berasal dari Propinsi Belanda Utara dan Propinsi Friesland Barat. Sutardi (1981) menyatakan bahwa sapi FH tergolong ke dalam bangsa sapi yang paling rendah daya tahan terhadap panas, sehingga perlu dipertimbangkan iklim yang ada di daerah pemeliharaan. Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa rata-rata bobot lahir anak sapi keturunan Friesian Holstein adalah 42 kg. Bobot lahir anak dipengaruhi antara lain oleh jenis kelamin, bangsa dan keturunan. Menurut Roy (1980), anak sapi yang baru lahir, seperti sapi dewasa, memiliki perut yang terbagi menjadi empat walaupun hanya abomasum yang berfungsi, abomasum memiliki kapasitas dua kali lebih besar daripada bagian perut yang lain.

Sapi peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan bangsa sapi hasil persilangan antara sapi peranakan ongole atau sapi lokal dengan sapi Friesian Holstein. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1984), sapi FH dan PFH (Peranakan Friesian Holstein) mempunyai ciri-ciri yang sama yaitu tubuhnya berwarna hitam dengan belang putih ataupun berwarna putih dengan belang hitam dan ekor berwarna putih.

Anatomi dan Perkembangan Saluran Pencernaan Pedet

Pada periode pedet, abomasum mempunyai kapasitas dua kali lebih besar dibandingkan dengan kapasitas total tiga bagian lambung lainnya. Proporsi jumlah bahan kering (BK) ingesta dalam duodenum menurun sejalan dengan semakin bertambahnya umur yaitu dari 76% turun menjadi 58% dan 46%, masing-masing pada umur 6, 7, dan 13 minggu. Pada umur 6 minggu proporsi isi rumen-retikulum sekitar 60% dan pada umur 3–4 bulan hampir menyamai ternak dewasa yaitu lebih dari 80% (Parakkasi, 1999).

Perkembangan rumen adalah penentu kesuksesan penyapihan dan pertumbuhan pasca-sapih. Ada lima hal yang menentukan perkembangan rumen yaitu: a) Keberadaan bakteri dalam rumen; b) Adanya cairan dalam rumen; c) Aliran material ke dalam rumen (aktifitas muskuler); d) Kemampuan absorbsi oleh jaringan; dan e) Adanya substrat (Quigley, 2001). Rumen berfungsi baik setelah anak sapi

(17)

17 berumur dua bulan atau jika anak sapi telah makan makanan padat atau kering (Williamson dan Payne, 1993).

Roy (1980) menyatakan bahwa pada anak sapi, air susu maupun pakan dalam bentuk cair dapat langsung masuk ke dalam abomasum melalui saluran khusus yang disebut oesophageal groove. Saluran ini terbentuk secara refleks saat protein susu terlarut diberikan. Sebelum anak sapi berumur delapan minggu, refleks pembentukan oesophageal groove dapat dirangsang menggunakan air sebaik menggunakan air susu, akan tetapi setelah anak sapi berumur lebih dari delapan minggu maka efeknya akan berkurang.

Umur saat terjadinya transisi dari periode pre ruminan menjadi ruminansia sejati bervariasi, tergantung pada jenis pakan yang dikonsumsi. Pedet yang diberi susu berlimpah, sebagai contoh pada produksi veal, sampai dengan umur 3 bulan kira-kira hanya mampu mengkonsumsi 3 kg hay. Dengan dikonsumsinya pakan sumber serat, bakteri rumen dan mikroba lainnya akan memulai aktivitasnya untuk mengubah serat atau karbohidrat menjadi VFA, sintesis vitamin B dan membentuk protein dari senyawa Non Protein Nitrogen (Parakkasi,1999).

Kondisi Fisiologis Pedet

Kondisi fisiologis sapi dalam keadaan tidak beraktivitas, sebagaimana disebutkan dalam Frandson (1992) adalah: suhu rektal (°C) pada umur kurang dari 1 tahun adalah 38,5–40,0 ; Frekuensi denyut nadi (kali/menit) pada umur kurang 2 bulan adalah 64–76 dan pada umur 3-6 bulan adalah 64–76. Frekuensi respirasi (kali/menit) pada umur 14 hari adalah 50 dan pada umur 5 minggu adalah 37. Frekuensi denyut nadi, frekuensi respirasi, dan suhu rektal pada ternak muda lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang lebih tua.

Salah satu cara untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh pada saat suhu udara dalam kandang meningkat adalah dengan cara meningkatkan frekuensi respirasi (Frandson, 1992). Selanjutnya Prayitno (1999) menyatakan bahwa peningkatan suhu dan kelembaban udara di dalam kandang dapat menyebabkan kenaikan frekuensi respirasi guna menyesuaikan dirinya terhadap suhu dan kelembaban udara yang tinggi. Untuk mengimbangi pengaturan panas tubuh dilakukan melalui pengaturan frekuensi respirasi. Respirasi sangat dipengaruhi oleh sikap badan, kerja fisik, dan macam-macam rangsangan. Respirasi sangat

(18)

18 dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh dalam suasana tertentu sehingga kebutuhan nutrien, O2, panas, dapat terpenuhi dan zat-zat yang tidak diperlukan akan dibuang.

Fluktuasi denyut nadi ataupun denyut jantung rata-rata pada siang hari secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada malam hari. Hal ini sebagai akibat tingginya suhu udara pada siang hari. Sejalan dengan pendapat Chestnut dan Houston (2002) bahwa naiknya suhu lingkungan menyebabkan berbagai macam perubahan reaksi fisiologis hewan yaitu meningkatnya suhu rektal, bertambahnya frekuensi pernafasan serta dipercepatnya denyut nadi.

Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrem. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, maka akan timbul panas dalam tubuh dan temperatur tubuh akan meningkat (Guyton and Hall, 1997). Frandson (1992) menyatakan bahwa suhu rektal pada ternak sapi sebesar 38,0-39º C. Hasil penelitian Wikantadi et al,. (1978) memperlihatkan bahwa dengan kisaran fluktuasi suhu udara dari 24,11 - 35,45° C tidak berpengaruh nyata terhadap suhu rektal, frekuensi denyut nadi, konsumsi pakan dan air, namun berpengaruh nyata terhadap frekuensi respirasi. Menurut Ma'sum (1986), perubahan unsur-unsur iklim diantaranya adalah suhu lingkungan tidak menyebabkan perbedaan suhu rektal. Menurut Lee dan Keala (2005), penambahan kecepatan angin akan membantu sapi FH menurunkan cekaman panas pada saat malam hari karena pada malam hari metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk mempertahankan suhu tubuh

Probiotik

Pengertian probiotik secara umum adalah suatu bahan pakan suplemen berupa jasad hidup mikrobial yang mempunyai pengaruh menguntungkan bagi induk semangnya dengan meningkatkan keseimbangan mikroba usus halus (Parakkasi,1999). Mikroorganisme yang sering digunakan adalah kultur ragi (yeast culture) dan bakteri.

Penggunaan probiotik bertujuan untuk memanipulasi ekosistem rumen sehingga dapat mempertinggi efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikrobial serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein, dan fermentasi pati di dalam

(19)

19 rumen (Parakkasi, 1999). Melihat manfaat probiotik, penggunaan probiotik dapat membantu terjadinya penyapihan dini karena bisa memanipulasi bakteri rumen.

Mikroorganisme yang dijadikan sebagai probiotik, perkembangannya harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu (1) Mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi asam sehingga koloni bakteri aktif akan tetap banyak pada saat sampai di duodenum maupun usus halus, (2) Bersifat non patogenik, (3) Bersifat gram positif karena gram positif lebih tahan terhadap pengrusakan kelenjar pencernaan, sehingga bertahan sampai ke usus halus, (4) Tidak terserap selama dalam saluran pencernaan serta tidak menimbulkan residu dan tidak menyebabkan mutasi, dan (5) Bersifat antagonis terhadap Escherichia coli karena bakteri probiotik sebagai penghasil asam (Shortt, 1999).

Probiotik yang diberikan sebagai suplemen mempunyai dampak menguntungkan seperti perbaikan performan, produksi dan kesehatan ternak. Probiotik yang ada dalam saluran pencernaan berguna dalam menetralisir racun yang dihasilkan bakteri patogen, menghambat pertumbuhan bakteri patogen, meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan laju pertumbuhan ternak, memperbaiki konversi pakan, dan memperbaiki serta meningkatkan kualitas susu. Penggunaan probiotik dapat dicampur dalam ransum, melalui air minum, dibuat kapsul, dan dicekok langsung ke ternak (Shortt, 1999).

Fungsi dan Kebutuhan Kobalt

Kobalt (Co) paling banyak didapatkan dalam ginjal, kelenjar adrenal, limpa, dan pankreas. Co didapatkan pula dalam jumlah cukup banyak dalam limfoglandula, sumsum tulang, dan empedu. Konsentrasi normal Co dalam hati ruminan yaitu sekitar 0,15 ppm. Hanya sedikit Co yang dapat ditemukan dalam darah dan air susu. Dalam isi rumen secara normal, Co didapatkan dalam jumlah sekitar 0,4-0,7 mcg/100gr (Parakkasi, 1999). Mikroba rumen menggunakan Co untuk pembentukan molekul sianokobalamin atau vitamin B12. Pemberian Co dapat meningkatkan

penampilan karena adanya proses recycle ke dalam rumen via saliva ataupun dinding rumen.

Hewan muda membutuhkan lebih banyak Co dibanding hewan dewasa. Kebutuhan sapi lebih tinggi dibanding kebutuhan domba. Secara menyeluruh untuk ruminan di pastura kebutuhannya adalah 0,1 ppm. Kebutuhan ruminan akan Co

(20)

20 relatif cukup tinggi karena ketidakefisienan penggunaan Co dalam pembentukan B12

dan penyerapan vitamin tersebut. Untuk anak sapi, B12 merupakan kebutuhan namun

untuk ruminan dewasa cukup disuplai Co yang cukup (Parakkasi, 1999). Gejala yang terlihat bila ternak kekurangan Co adalah nafsu makan menurun, pertumbuhan terganggu, nafsu makan berkurang, cepat kurus, adanya lakrimasi, anemia parah (sekunder) dan kemudian hewan dapat mati. Penurunan nafsu makan yang dimulai dari yang sederhana sampai yang lebih parah dengan segala akibatnya terhadap penampilan erat hubungannya dengan perubahan populasi mikroba rumen terutama yang membentuk B12 dari Co.

Darah

Darah merupakan kumpulan sel yang terdapat di dalam cairan transparan berwarna kuning yang disebut plasma darah. Volume darah hewan dipengaruhi oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui, derajat aktivitas, dan faktor lingkungan (Frandson, 1992).

Menurut Ganong (1995) beberapa fungsi darah adalah: (1) pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh. (2) membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan CO2 dari jaringan ke paru-paru untuk

dibuang. (3) membawa sisa metabolisme tubuh untuk dibuang melalui urine (ginjal). (4) membawa hormon ke organ lain dalam tubuh. (5) sebagai penyeimbang asam-basa serta penyeimbang kandungan air tubuh. (6) sebagai pembeku darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebih pada waktu luka.

Menurut Guyton dan Hall (1997), jika tubuh hewan mengalami gangguan fisiologis maka profil darah dapat mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dapat disebabkan faktor internal seperti pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stress, siklus estrus, dan suhu tubuh.

Eritrosit (Butir Darah Merah)

Eritrosit adalah sel darah merah yang membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan hematokrit, selain itu juga dipengaruhi umur, jenis kelamin, aktivitas, nutrisi, volume darah, bangsa, panjang hari, suhu lingkungan, dan faktor iklim (Swenson, 1984). Dalam tubuh, eritrosit adalah sel darah terbanyak dan hampir mendekati jumlah seluruh volume sel

(21)

21 darah pada hewan. Menurut Swenson (1993), eritrosit pada sapi berjumlah sekitar 46-54 µm3.

MCV (Mean Corpuscular Volume) merupakan volume eritrosit rata-rata di dalam darah. Peningkatan jumlah MCV di atas normal dapat mengindikasikan anemia makrositik, sedangkan nilai MCV yang kecil di bawah normal dapat mengindikasikan adanya anemia akibat defisiensi zat besi, thalasemia, dan anemia sekunder (Swenson, 1993)

Fungsi utama dari eritrosit adalah mengangkut oksigen dan karbon dioksida yang berasal dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 1996). Jumlah eritrosit dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : umur, jenis kelamin, latihan, keadaan gizi, laktasi, kebuntingan, pelepasan epinefrin, siklus estrus, bangsa, volume darah (hemodilusi dan hemokonsentrasi), temperatur lingkungan, ketinggian dan faktor lainnya. Faktor-faktor ini tidak hanya mempengaruhi eritrosit tetapi juga mempengaruhi kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan konsentrasi kandungan darah lainnya (Swenson, 1993).

Hemoglobin

Hemoglobin adalah pigmen eritrosit berisi besi dan tersusun atas protein konjugasi dan protein sederhana. Rendahnya oksigen dalam darah menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan jumlah eritsosit (Swenson, 1984). Menurut Ganong (1995), hemoglobin pada sapi berkisar antara 8-15 g/100 ml. Sedangkan menurut Swenson (1984), MCHC pada sapi berjumlah sekitar 32-39 g/dl. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) merupakan konsentrasi hemoglobin rata-rata tiap sel eritrosit. Sifat dasar rantai hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen, tetapi jika ada gangguan akan merubah sifat-sifat fisik molekul hemoglobin (Guyton, 1996).

Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan suatu persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Nilai hematokrit akan bertambah jika terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia yaitu jumlah eritrosit lebih banyak di bandingkan dengan jumlah normal (Guyton, 1996). Nilai hematokrit ternak berkisar antara 38-45 %. Rataan nilai hematokrit untuk sapi perah laktasi adalah 33,5 % (Swenson, 1984).

(22)

22 Besarnya nilai hematokrit ternak dipengaruhi oleh dehidrasi, penyakit yang merusakkan eritrosit serta adanya gangguan pada fungsi ginjal (Swenson, 1984). Pada masa awal kehidupan ternak, nilai hematokrit merupakan yang terbesar kemudian menurun pada minggu-minggu berikutnya dan mencapai titik terendah pada saat hewan mencapai usia dewasa dan selama masa produktif, selanjutnya meningkat kembali mendekati titik tertinggi dengan semakin tuanya usia ternak.

(23)

23 MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai bulan Januari 2010 di Laboratorium lapang dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Ternak Percobaan

Penelitian ini menggunakan pedet peranakan Friesian Holstein lepas sapih sebanyak sembilan ekor yaitu tiga jantan dan enam betina. Rataan bobot badan awal mencapai 43,11±7,13 kg dengan umur ± 2 bulan. Ternak percobaan kemudian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan perlakuan. Rataan bobot badan kelompok P0 adalah 39±5,15 kg, dan kelompok P1 adalah 48,25±6,08 kg.

Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang individu sebanyak sembilan buah, dengan ukuran 100 x 100 cm dan tinggi 150 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Peralatan yang digunakan berupa wadah pakan, wadah minum, stopwatch, timbangan, dan termometer digital untuk mengukur suhu dan kelembaban kandang.

Isolat Bakteri

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian isolasi mikroba rumen pencerna serat (Gayatri, 2010 dan Astuti, 2010). Penelitian tersebut meliputi isolasi dan pengujian 12 isolat yang diketahui mempunyai aktifitas selulolitik. Pemilihan isolat bakteri dilakukan dari 12 isolat bakteri menjadi 6 isolat bakteri berdasarkan produksi bahan kering (BK) sel isolat bakteri dan nilai CMC-ase. Tahap berikutnya dilakukan kajian pertumbuhan 6 isolat bakteri terpilih di dalam media susu dan calf starter yang disuplementasi mineral (Co, Cu, Zn, dan Mn) berkonsentrasi tinggi. Kajian aplikasi lapang isolat bakteri, isolat bakteri telah dikembangbiakkan di dalam media susu. Isolat bakteri yang digunakan diyakini mampu hidup dalam kadar Co konsentrasi tinggi dan diperkirakan mempunyai kemampuan mensintesis vitamin B12

(24)

24 Metode

Susunan Ransum Penelitian

Bahan pakan yang digunakan dalam penyusunan ransum adalah jagung giling, bungkil kedelai, pollard, bungkil kelapa, molases, onggok, vitamin A, dan CoCl2.6.H2O. Bahan baku dan komposisi ransum percobaan disajikan pada Tabel 1.

Kandungan nutrien dari ransum basal tersaji pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum

Bahan Pakan Komposisi dalam ransum

Jagung giling(%) 9,5 Bungkil kedelai (%) 14,8 Onggok (%) 40,1 Pollard(%) 14,5 Bungkil kelapa(%) 13,8 Molases(%) 7,3 Vitamin A(IU/Kg) 2200 Co(ppm) 0,10 Total (%) 100

Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

Nutrien Persentase dalam ransum

Bahan kering, % 80,55 Protein kasar, %BK 19,30 Lemak kasar, %BK 0,86 Serat kasar, %BK Abu, %BK BETN, %BK 15,52 5,21 46,60

*) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2009)

Penerapan Perlakuan

Selama empat minggu periode prasapih, setiap pagi sebanyak empat ekor pedet diberi isolat bakteri (P1) koleksi Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dengan cara dicekok langsung sebanyak 20 ml per pedet dengan konsentrasi bakteri 4,56 x

(25)

25 109 CFU/ml dan sebanyak lima ekor pedet berlaku sebagai kontrol (P0). Pemberian susu dan isolat bakteri dihentikan setelah pedet mendapat perlakuan selama lima minggu. Pada periode lepas sapih, penerapan perlakuan dihentikan. Ternak dipelihara dalam kandang individu selama enam minggu. Pakan pertumbuhan yang berserat dan disuplementasi Co mulai diberikan pada periode lepas sapih. Pemberian pakan dan air minum diberikan ad libitum pada pukul 07.00–08.00 WIB dan pada pukul 15.00–16.00 WIB. Setiap hari dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan dengan menggunakan termometer digital. Setiap akhir minggu dilakukan penimbangan bobot badan dan pengukuran status fisiologis ternak yang meliputi suhu rektal, denyut jantung, dan laju respirasi. Pada minggu terakhir masa pemeliharaan, diambil sampel darah untuk mengukur hematologi dan kadar Co dalam darah.

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan pada minggu terakhir masa pemeliharaan. Darah diambil di bagian vena jugolaris dengan menggunakan jarum suntik No. 19 G dan tabung vakum venoject 10 ml yang mengandung heparin. Volume darah yang diambil sebanyak ± 9 ml. Tabung vakum yang berisi sampel darah segera dimasukkan dalam wadah berisi es yang sebelumnya telah dipersiapkan. Setelah itu sampel dibawa ke Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi FKH IPB untuk dihitung jumlah butir darah merah, hematokrit, dan konsentrasi hemoglobin nya.

Analisa Kandungan Kobalt dalam Darah, dan Pakan

Proses analisa kandungan Co dalam darah, dan pakan dilakukan di Pusat Penelitian Tanah (PUSLITAN) dengan menggunakan metode Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS). Sebelum di analisa, dilakukan preparasi wet ashing terlebih dahulu d Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

a. Pengabuan Basah (Wet Ashing)

Sebelum dilakukan pengukuran kadar mineral sampel terlebih dahulu dilakukan wet ashing (Restz et al 1960). Sampel ditimbang dalam Erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan HNO3 pekat 5 ml lalu dibiarkan selama  1 jam sampai sampel

(26)

26 jam di atas hot plate, setelah itu didinginkan. Larutan yang telah dingin ditambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat dan panaskan kembali. Pada saat terjadi

perubahan warna, diteteskan larutan campuran HClO4 + HNO3 (2:1). Segera

setelah penambahan perekas tersebut terjadi perubahan warna coklat menjadi kuning lalu bening. Sampel dipanaskan kembali selama 15 menit. Setelah itu ditambahkan 2 ml aquadest bersamaan dengan ditambahkannya 0,6 ml HCl pekat pada sampel. Sampel dipanaskan kembali sampai larut dan didinginkan, lalu dilarutkan dengan aquadest menjadi 100 ml dalam labu takar dan disiapkan untuk dianalisis dengan Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS).

b. Pengukuran Mineral

Sampel hasil wet ashing ditambahkan 0,05 ml larutan (LaCl3.7H2O) 1000 ppm,

lalu disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan AAS pada panjang gelombang sesuai dengan jenis mineral yang dibaca.

Peubah yang Diamati 1. Suhu dan Kelembaban

Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan setiap pagi hari sekitar pukul 07.00 selama penelitian. Pencatatan suhu dan kelembaban dilihat dari layar termometer digital.

2. Bobot Badan Mingguan

Penimbangan pedet dilakukan setiap akhir minggu pada pagi hari sekitar pukul 07.00 sebelum pakan dan air minum diberikan.

PBBH / minggu = PBBn – PBB(n – 1)

7 hari

Keterangan: PBBn = Pertambahan Bobot Badan minggu ke-n

PBBn – 1 = Pertambahan Bobot Badan minggu ke-(n – 1)

3. Konsumsi BK

KBK = KR x % BK ransum

Keterangan: KBK = Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) KR = Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)

(27)

27 4. Suhu Rektal

Pengukuran suhu rektal (°C) dilakukan dengan cara memasukkan termometer digital ke dalam anus pedet. Pengukuran dilakukan setiap akhir minggu pada pagi sekitar pukul 07.00 dan sore hari sekitar pukul 15.00.

5. Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi dilakukan dengan cara mengamati pergerakan perut pedet pada saat bernafas selama satu menit. Pengukuran dilakukan setiap akhir minggu pada pagi sekitar pukul 07.00 dan sore hari sekitar pukul 15.00.

6. Denyut Jantung

Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan menghitung denyut jantung pada bagian dada pedet sebelah kiri di dekat jantung, selama satu menit. Pengukuran dilakukan setiap akhir minggu pada pagi sekitar pukul 07.00 dan sore hari sekitar pukul 15.00.

7. Analisa Konsumsi Co dan Kadar Co dalam Darah

Pembacaan kadar Co dalam sampel darah dan pakan hasil pengabuan basah dilakukan di Pusat Penelitian Tanah (Puslitan) dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).

8. Analisa Hematologi Darah

Proses analisa darah meliputi analisa butir darah merah (BDM), haemoglobin (Hb), dan hematokrit dilakukan di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pengukuran BDM menggunakan hemositometer Neubauer, pengukuran hemoglobin menggunakan spectrophotometer, dan pengukuran hematokrit menggunakan metode mikrohematokrit.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji-t dengan rumus sebagai berikut: Hipotesis uji: H0: R1 = R2 H1: R1 ≠ R2 t hitung = ŷ1 - ŷ 2 √ S2 (1/n1 + 1/n2)

(28)

28 Keterangan: ŷ 1 = rataan perlakuan ke-1

ŷ 2 = rataan perlakuan ke-2

S = simpangan baku, dimana S = √S2 S2 = (n1 - 1) S12 + (n2 -1) S12

n1 + n2 – 2

t tabel = t (1 -1/2a); (n1 + n2 – 2)

(29)

29 HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu dan Kelembaban Kandang

Suhu dan kelembaban merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap tingkat konsumsi dan kondisi fisiologis suatu ternak. Jika suhu lingkungan terlalu rendah, pedet akan mengalami hypothermia dan bila terlalu panas dapat mengalami heat stress. Suhu lingkungan yang cocok bagi ternak harus berada dalam kisaran suhu thermoneutral zone pedet. Gambar 1 merupakan pola suhu lingkungan selama 6 minggu penelitian berlangsung.

Gambar 1. Pola Suhu Kandang Selama Penelitian

Selama enam minggu masa pemeliharaan, suhu lingkungan kandang cukup fluktuatif pada pagi hari berkisar antara 24,70 - 29,40 °C dengan rataan sebesar 26,44 °C. Sedangkan pada sore hari, suhu berkisar antara 24,90 - 32,00 °C dengan rataan sebesar 27,88 °C. Terlihat bahwa rataan temperatur lingkungan pada pagi ataupun sore hari selama enam minggu masa pemeliharaan cukup tinggi padahal menurut Sutardi (1981), diantara bangsa sapi perah, sapi FH tergolong kedalam bangsa sapi yang paling rendah daya tahan panasnya. Untuk sapi FH yang dipelihara di kawasan tropika, penampilan produksi sapi tidak akan berbeda jauh dengan sapi yang dipelihara di lingkungan sejuk apabila temperatur lingkungan berkisar antara 18,30-21,10 °C (Sutardi, 1981).

(30)

30 Secara alamiah, kondisi tersebut kurang sesuai dengan suhu thermoneutral pedet, terutama pedet peranakan Friesian Holstein. Kondisi suhu yang tinggi pada pagi maupun sore hari dapat menyebabkan stress pada ternak. Menurut Sutardi (1981), cekaman panas dapat mempengaruhi suhu tubuh dan metabolisme karena dapat menimbulkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak. Jika keadaan seperti ini terus berlangsung, maka akan terjadi peningkatan frekuensi pernapasan dan proses metabolisme yang tidak mendukung kondisi kesehatan dan pertumbuhan yang optimum. Pedet juga akan membutuhkan oksigen lebih banyak dan metabolisme energi meningkat. Akibatnya perlu diberikan pakan dengan nutrisi yang baik untuk mencegah terjadinya penurunan pertumbuhan dan kondisi tubuh. Gambar 2 merupakan kelembaban lingkungan sekitar kandang selama penelitian.

Gambar 2. Kelembaban Kandang Selama Penelitian

Kelembaban lingkungan selama 6 minggu masa pemeliharaan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 2. Kelembaban lingkungan pada pagi hari berkisar antara 85-99 % dengan rataan sebesar 97,12 %. Sedangkan kelembaban pada sore hari berkisar antara 64-99 % dengan rataan sebesar 83,6 %. Seperti suhu lingkungan, kelembaban pada pagi dan sore hari selama masa penelitian sangat tinggi dan kurang cocok untuk kehidupan pedet FH yang optimum. Menurut Sutardi (1981), penampilan produksi sapi FH yang dipelihara di kawasan tropis tidak akan berbeda jauh dengan sapi yang dipelihara di lingkungan sejuk bila dipelihara dalam

(31)

31 lingkungan dengan kelembaban udara sekitar 55 %. Kelembaban tinggi di tempat penelitian dapat menyebabkan perkembangan mikroba yang kurang menguntungkan di sekitar kandang. Kemungkinan lain yang berkembang dalam suhu dan kelembaban yang tinggi adalah gangguan pernapasan.

Status Fisiologis Pedet Pakan yang diberi Kobalt dan mendapat Inokulasi Bakteri Pencerna Serat

Suhu Rektal

Suhu rektal dapat menjadi indikator untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Secara normal, suhu rektal ternak pada pagi hari akan lebih rendah daripada suhu rektal pada siang atau sore hari karena suhu rektal ternak akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu lingkungan. Rataan suhu rektal pada pagi dan sore hari selama masa penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Rataan suhu rektal pada pagi dan sore hari pada P0 dan P1 tidak menunjukkan adanya perbedaan.

Suhu rektal tidak dipengaruhi oleh inokulasi isolat bakteri selama periode penelitian. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas, maka akan timbul panas dalam tubuh dan temperatur tubuh akan meningkat. Secara keseluruhan, selama masa pemeliharaan dengan temperatur lingkungan yang cukup tinggi, suhu rektal ternak berada di kisaran normal baik pedet kontrol maupun pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri karena suhu rektal ternak berumur kurang dari satu tahun berkisar antara 38,50-40,00 °C.

Secara fisiologis terdapat perbedaan suhu rektal antara pedet kontrol dan pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri. Terlihat bahwa rata-rata pedet yang

Tabel 5. Rataan Suhu Rektal (°C) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian

Minggu Pagi Sore

P0 P1 P0 P1 1 39,04 ± 0,57 38,75 ± 0,29 39,44 ± 0,68 39,18 ± 0,15 2 39,06 ± 0,53 39,70 ± 1,00 39,62 ± 0,55 39,73 ± 0,29 3 38,26 ± 0,54 38,45 ± 0,81 38,76 ± 0,60 39,28 ± 0,39 4 38,78 ± 0,36 39,03 ± 0,23 39,50 ± 0,22 39,43 ± 0,15 5 39,16 ± 0,40 39,23 ± 0,38 40,00 ± 0,19 40,27 ± 0,21 6 39,24 ± 0,21 39,47 ± 0,21 39,78 ± 0,52 40,30 ± 0,20 Rataan 38,92 ± 0,43 39,11 ± 0,48 39,52 ± 0,46 39,70 ± 0,23

Keterangan: P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat

(32)

32 mendapatkan isolat bakteri, suhu rektalnya lebih tinggi. Selisih suhu rektal antara pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri dengan kelompok pedet kontrol berkisar antara 0,2–1 °C. Walaupun selisih tidak terlalu besar, perbedaan suhu tubuh tersebut dapat menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap metabolisme nutrien. Proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh pedet yang diinokulasi isolat bakteri lebih meningkat dibandingkan dengan kelompok pedet kontrol. Perubahan unsur-unsur iklim seperti suhu lingkungan dapat menyebabkan perbedaan pada suhu rektal. Namun dalam kondisi ini suhu lingkungan sama pada semua kelompok pedet. Suhu tubuh yang lebih tinggi menunjukkan adanya metabolisme energi yang lebih tinggi pada kelompok pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri. Hewan homeotherm mampu untuk mempertahankan dan mengeluarkan panas tubuh dalam upaya untuk menjaga agar suhu tubuh tetap dalam kisaran normal (Berman, 2005).

Laju Respirasi

Respirasi adalah proses pertukaran udara dengan cara menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Sistem respirasi mempunyai dua fungsi utama yaitu untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbon dioksida dari dalam darah. Rataan respirasi pedet selama masa penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Rataan respirasi pada pagi dan sore hari pada pedet dengan perlakuan kontrol (P0) dan pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri pencerna serat (P1) tidak menunjukkan perbedaan. Laju respirasi semua kelompok pedet pada sore hari lebih tinggi daripada pagi hari. Hal ini dikarenakan suhu lingkungan pada sore hari lebih Tabel 6. Laju Respirasi (kali/menit) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian

Minggu Pagi Sore

P0 P1 P0 P1 1 49,60 ± 7,13 41,75 ± 1,71 59,00 ± 3,32 55,50 ± 4,43 2 41,40 ± 4,22 43,75 ± 8,81 45,60 ± 6,35 44,75 ± 5,62 3 39,00 ± 4,06 38,50 ± 3,42 44,60 ± 3,65 45,00 ± 1,63 4 41,20 ± 1,92 39,67 ± 3,21 55,20 ± 5,97 54,00 ±4,36 5 44,80 ± 4,55 45,67 ± 5,86 64,00 ± 10,75 66,00 ± 10,58 6 46,20 ± 3,90 44,67 ± 2,08 57,20 ± 2,59 55,33 ±4,16 Rataan 43,70 ± 4,30 42,33 ± 4,18 54,27 ± 5,44 53,43 ± 5,13

Keterangan: P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat

(33)

33 tinggi daripada suhu pagi hari. Namun, laju respirasi pagi dan sore hari pada pedet P0 sama dengan pedet P1. Hal ini menunjukkan bahwa laju pelepasan panas tubuh pedet melalui pernafasan pada kedua perlakuan sama.

Pelepasan panas tubuh bisa terjadi melalui saluran pernafasan pada saat respirasi. Pelepasan panas tubuh ternak akan semakin tinggi bila laju respirasi semakin meningkat. Menurut Esmay (1982), laju respirasi normal pada pedet sebanyak 15 – 40 kali/menit. Peningkatan frekuensi respirasi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh pada saat suhu udara dalam kandang meningkat. Suhu dan kelembaban udara yang tinggi dalam kandang akan menyebabkan kenaikan frekuensi respirasi guna menyesuaikan dirinya terhadap suhu dan kelembaban udara yang tinggi sehingga untuk mengimbangi pengaturan panas tubuh dilakukan melalui pengaturan frekuensi respirasi. Nilai laju respirasi kedua kelompok tersebut dapat dikatagorikan dalam kondisi normal.

Denyut Jantung

Fluktuasi denyut nadi ataupun denyut jantung rata-rata pada siang atau sore hari secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada pagi hari. Hal ini sebagai akibat tingginya suhu udara pada siang hari. Denyut jantung pedet selama masa penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tidak terdapat perbedaan antara P0 dan P1 terhadap denyut jantung. Menurut Berman (2005) frekuensi denyut jantung pada umur kurang 2 bulan adalah 64–76 kali/menit dan pada umur 3-6 bulan adalah 64–76 kali/menit. Secara keseluruhan, inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi denyut jantung. Inokulasi isolat bakteri pada pedet yang ransumnya disuplementasi Co tidak menyebabkan perbedaan dalam Tabel 7. Denyut Jantung (kali/menit) Pedet Pada Pagi dan Sore Selama Penelitian

Minggu Ke- Pagi Sore

P0 P1 P0 P1 1 80,4 ± 4,56 77,0 ± 2,58 86,0 ± 7,07 79,5 ± 3,00 2 74,8 ± 5,76 77,0 ± 5,29 84,4 ± 9,10 77,0 ± 4,76 3 75,2 ± 4,60 73,3 ± 5,00 78,4 ± 2,61 76,5 ± 3,00 4 81,6 ± 1,67 79,3 ± 2,31 81,6 ± 1,67 80,0 ± 0,00 5 78,8 ± 3,35 79,3 ± 3,06 94,8 ± 7,43 97,3 ± 3,06 6 80,8 ± 2,28 79,3 ± 9,24 87,2 ± 4,82 87,3 ± 1,15 Rataan 78,6 ± 3,71 77,57 ± 4,58 85,4 ± 5,45 82,94 ± 2,50

Keterangan: P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat

(34)

34 distribusi nutrien oleh darah. Berman (2005) menyatakan bahwa peningkatan suhu lingkungan akan menyebabkan berbagai macam perubahan reaksi fisiologis hewan seperti meningkatnya suhu rektal, frekuensi pernafasan serta denyut nadi. Walaupun kondisi suhu lingkungan dan kelembaban cukup tinggi namun denyut jantung pedet pada kedua kelompok perlakuan berada dalam kondisi normal.

Pengaruh Inokulasi Bakteri Pencerna Serat dan Pakan yang diberi Kobalt Terhadap Performa Pedet

Konsumsi BK

Konsumsi ransum merupakan dasar untuk mencukupi hidup pokok dan menentukan tingkat produksi. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terdiri dari hewan, pakan yang diberikan, dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi, 1999).

Banyaknya serat yang dikonsumsi oleh pedet, dapat menjadi indikator perkembangan bakteri rumen. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pada minggu ke-1, 5, dan 6 pedet yang telah diinokulasi isolat bakteri pencerna serat pada saat pra sapih mampu mengkonsumsi pakan berserat lebih banyak daripada pedet kontrol. Namun bila dilihat pertambahan bobot badan, PBB kelopok pedet pada perlakuan P0 dan P1 pada minggu ke-1 dan 5 tidak ada perbedaan. Walaupun isolat bakteri yang diinokulasikan telah berkembang cukup baik, namun kelompok pedet P1 belum Tabel 4. Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum Selama Pemeliharaan

Minggu Perlakuan P0 P1 ---(g/ekor/hari)--- 1 618,62 ± 274,87a 1163,02 ± 250,15b 2 801,65 ± 495,70 1460,1 ± 515,72 3 1059,2 ± 501,25 1589,8 ± 966,01 4 1530,23± 647,04 2726,56 ± 1404,93 5 1849,48 ± 676,74c 2962,45 ± 488,81d 6 1903,75 ± 583,16e 3111,43 ± 278,99f

Keterangan: Nilai dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata (P<0.05), P0 =kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat

(35)

35 mampu untuk memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhan meskipun sudah mampu untuk mencerna pakan berserat yang diberikan. Pada minggu ke-6, inokulasi isolat bakteri baru menunjukan pengaruh yang berbeda. Konsumsi pakan berserat pada kelompok pedet P1 meningkat melebihi kelompok pedet P0 dan bila dilihat dari perbedaan PBB dapat disimpulkan bahwa P1 sudah lebih mampu memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhan.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu indikator pertumbuhan suatu ternak dan keberhasilan manajemen pemeliharaan. Pengaruh perlakuan terhadap bobot badan selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 3.

Semakin lama masa pemeliharaan, pertambahan bobot badan terus meningkat. Selama enam minggu masa pemeliharaan, pada minggu ke-6 pertambahan bobot badan pedet yang mendapat inokulasi isolat bakteri baru terlihat nyata perbedaannya dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa setelah inokulasi bakteri dihentikan, bakteri pada rumen berkembang terus secara sempurna pada minggu terakhir sehingga lebih mampu untuk mencerna pakan berserat dan memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhan.

Inokulasi isolat bakteri diperkirakan memacu perkembangan rumen pedet khususnya bakteri rumen pencerna serat. Perkembangan rumen adalah penentu kesuksesan penyapihan dan pertumbuhan pasca-sapih. Hal yang menentukan perkembangan rumen yaitu: a) perkembangan bakteri dalam rumen; b) ketersediaan

Tabel 3. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Selama Periode Penelitian

Minggu Perlakuan P0 P1 ---PBB (g/ekor/hari)--- 1 57,14 ± 127,78 535,71 ± 472,01 2 128,57 ± 511,1 178,57 ± 243,98 3 328,57 ± 444,93 428,57 ± 521,64 4 385,71 ± 186,26 428,57 ± 742,31 5 357,14 ± 397,7 809,52 ± 436,44 6 428,57 ± 174,96 a 761,90 ± 82,48 b

Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama berarti berbeda (P<0,05), P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat

(36)

36 nutrien; c) tingkat absorpsi dan pemanfaatan nutrien oleh tubuh atau jaringan (Quigley, 2001).

Isolat bakteri yang diinokulasikan mempunyai kemampuan dalam memperbaiki performan, produksi dan kesehatan pedet. Bakteri yang diinokulasikan mampu menciptakan suasana yang memungkinkan pertumbuhan mikroba lain berkembang lebih baik. Inokulasi bakteri juga memungkinkan meningkatkan proses pencernaan dalam saluran pencernaan pedet secara keseluruhan. Mikroba yang diinokulasikan dapat juga berguna dalam menetralisir racun yang dihasilkan bakteri patogen, menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan merubah hasil metabolismenya, meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan laju pertumbuhan ternak, dan memperbaiki konversi pakan (Parakkasi, 1999).

Profil Darah

Darah mempunyai peranan yang sangat penting sebagai media sirkulasi nutrien dalam internal tubuh ternak sehingga secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ternak. Jika tubuh hewan mengalami gangguan fisiologis maka profil darah dapat mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dapat disebabkan faktor internal seperti pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stress, siklus estrus, dan perubahan suhu tubuh. Profil darah pedet yang diamati saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Profil Darah Pedet yang Mendapat Ransum yang disuplementasi Co tanpa atau dengan inokulasi Bakteri

Perlakuan Eritrosit (juta/mm3) Hemoglobin (%) Hematokrit (%) P0 7,63 9,09 27,65 P1 7,98 7,74 26,08

Keterangan : P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat

(37)

37 Eritrosit atau sel darah merah merupakan sel darah dengan spesialisasi untuk pengangkutan oksigen. Adanya hemoglobin dalam eritrosit, memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab timbulnya warna merah pada darah. Jumlah eritrosit pada pedet percobaan dapat dilihat pada Tabel 8. Inokulasi bakteri pada pedet selama periode menyusu tidak menyebabkan perubahan eritrosit setelah pedet lepas sapih. Salah satu fungsi Co adalah untuk mematangkan sel darah merah. Penambahan Co pada ransum tidak mendorong perbedaan dalam pembentukan eritrosit. Konsumsi BK pada kelompok pedet P1 lebih banyak, sehingga Co yang dikonsumsi lebih banyak dari kelompok pedet P0. Hal ini menggambarkan bahwa Co dalam ransum P0 telah mencukupi kebutuhan pedet.

Menurut Frandson (1992), eritrosit pada sapi berjumlah sekitar 7 juta/mm3. Besar kecilnya tubuh ternak tidak mempengaruhi jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit hanya dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, latihan, keadaan gizi, laktasi, kebuntingan, pelepasan epinefrin, siklus estrus, bangsa, volume darah (hemodilusi dan hemokonsentrasi), temperatur lingkungan, ketinggian dan faktor lainnya. Faktor-faktor ini tidak hanya mempengaruhi eritrosit tetapi juga mempengaruhi kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan konsentrasi kandungan darah lainnya. Konsentrasi eritrosit pada kedua kelompok pedet percobaan berada dalam kondisi normal.

Hemoglobin

Hemoglobin merupakan bagian dari eritrosit yang berfungsi dalam mengangkut oksigen di dalam darah. Hemoglobin bergabung dengan oksigen yang terdapat di dalam paru-paru sehingga terbentuk oksihemoglobin yang selanjutnya akan melepaskan oksigen ke sel-sel jaringan di dalam tubuh. Karena adanya hemoglobin, darah dapat mengangkut sekitar 60 kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama.

Hasil pengamatan hemoglobin selama enam minggu masa penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Kadar hemoglobin tidak berbeda nyata antara dua perlakuan. Menurut Ganong (1995), hemoglobin pada sapi berkisar antara 8-15 g/100 ml. Walaupun tidak berbeda nyata, hemoglobin pada kedua kelompok pedet P0 dan P1 berada dalam kadar yang mendekati rataan terendah kadar hemoglobin. Hal ini

(38)

38 menunjukkan bahwa pedet kemungkinan masih membutuhkan tambahan unsur Fe dan protein dalam ransumnya.

Hematokrit

Hematokrit merupakan persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Pengamatan nilai hematokrit pada masa pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 8. Terlihat bahwa hematokrit pada dua perlakuan tidak berbeda jauh, hanya selisih 1 %. Walaupun begitu hematokrit pada P0 lebih besar daripada P1. Menurut Frandson (1992), hematokrit pada sapi dapat berjumlah hingga sekitar 40 %. Hematokrit pada kedua kelompok pedet perlakuan sebesar 26–27 %. Menurut Guyton (1996), nilai hematokrit akan bertambah jika terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia yaitu jumlah eritrosit lebih banyak di bandingkan dengan jumlah normal. Hal ini menunjukkan bahwa pedet pada kedua kelompok perlakuan berada dalam kondisi normal.

Konsumsi Co dan Kadar Co dalam Darah

Konsumsi Co dan kadar Co darah tidak berbeda antara pedet kelompok P0 dan P1.

Pada Tabel 9, antara pedet yang mendapatkan perlakuan dan kontrol memperlihatkan konsumsi Co yang cukup rendah. Ransum yang diberikan kepada pedet mengandung 0,10 ppm Co. Walaupun ransum telah disuplementasi Co, ransum menunjukkan kadar Co yang sangat kritis. Walaupun konsumsi Co cukup rendah, kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri mampu mengkonsumsi Co lebih banyak karena konsumsi BK ransum nya juga lebih banyak dibandingkan kelompok pedet kontrol. Peningkatan konsumsi pada kelompok pedet P1 terkait dengan peningkatan konsumsi bahan kering ransum. Peningkatan konsumsi Co tidak menyebabkan perubahan kadar Co darah. Hal tersebut Tabel 9. Konsumsi Co dan Kadar Co Darah Pedet yang Mendapat Ransum yang

Disuplementasi Co tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri.

Pengukuran P0 P1

Konsumsi Co (mg) 0,83 ± 0,23 1,34 ± 0,13

Kadar Co Darah (ppb) 73,97 ± 43,35 75,57 ± 10,69

Keterangan: P0 = kelompok pedet kontrol dan P1 = kelompok pedet yang mendapatkan inokulasi isolat bakteri pencerna serat

(39)

39 menggambarkan bahwa kadar Co ransum telah memenuhi kebutuhan pedet. Peningkatan konsumsi Co belum dapat menggambarkan terjadinya peningkatan status nutrien terkait dengan Co, karena manfaat Co terkait dengan sintesis vitamin B12. Peningkatan konsumsi Co nampaknya baru dapat diekspresikan oleh pedet

kelompok pedet P1 pada akhir penelitian. Peningkatan pemanfaatan Co diperkirakan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan pertambahan bobot badan pedet kelompok P1 pada akhir pengamatan.

Selama masa pemeliharaan yang cukup singkat, suplementasi yang diberikan belum mampu mendorong sintesis vitamin B12 dan penyerapan Co yang optimum.

Pengaruh suplementasi kemungkinan baru akan terlihat secara nyata bila suplementasi diberikan dengan masa pemeliharaan yang cukup panjang. Mikroba dalam rumen sapi lepas sapih sudah berkembang sehingga vitamin B12 mampu

disintesis lebih banyak namun tingkat perkembangan mikroba rumen pada setiap kelompok pedet perlakuan tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun peningkatan konsumsi pada kelompok pedet yang mendapat inokulasi bakteri merupakan salah satu indikator perkembangan rumen yang lebih baik.

Mikroorganisme, terutama bakteri merupakan satu-satunya organisme yang menghasilkan vitamin B12. Bakteri-bakteri tersebut hidup di air, tanah dan saluran

pencernaan ternak. Dryden dan Hartman (1970) menguji sejumlah strain mikroorganisme rumen untuk melihat kemampuannya dalam memproduksi vitamin B12. Diantara strain yang diujikan, Selenomonas ruminantium dan

Peptostreptococcus (Megasphaera) elsdenii merupakan spesies yang utama menghasilkan vitamin B12 dalam medium rumen. Selain itu strain Butyrivibrio

fibrisolvens dan Peptostreptococcus elsdenii juga termasuk dari beberapa strain mikroorganisme rumen yang dapat mensintesis vitamin B12.

Kobalt (Co) merupakan unsur mineral esensial untuk pertumbuhan hewan dan merupakan bagian dari molekul vitamin B12. Vitamin B12 mengandung 4% kobalt

sebagai bagian esensial dari vitamin tersebut. Tubuh hewan rata-rata mengekresikan Co dari dalam tubuhnya sekitar 0,02 - 0,10 mg (McDonald et al.,1988). Unsur Co dalam pakan domba dan sapi dapat ditemukan dalam vitamin B12. Sapi dan domba

tidak membutuhkan vitamin B12 dari pakan karena rumen flora dapat mensintesis

(40)

40 sebagian besar vitamin akan rusak dan tidak berguna bagi ternak. Apabila Co tersebut disuplementasikan ke dalam pakan maka kebutuhan Co untuk vitamin B12

tercukupi.

Pada hewan ruminansia pemakan rumput yang kurang mengandung Co akan menunjukan gejala defisiensi setelah beberapa bulan kemudian, karena hewan memiliki cadangan vitamin B12 dalam hati dan ginjal sebagai sumber Co. Namun

bila keadaan ini terus berlanjut, ternak akan mengalami defisiensi Co sehingga nafsu makan berkurang, bobot badan menurun, pika, anemia, dan akhirnya mati (Stangl et al., 2000). Anemia terjadi karena jumlah sel darah merah menurun. Penurunan sel darah merah tersebut akan mempengaruhi proses pengangkutan O2 dari paru-paru ke

jaringan dan pengeluaran CO2 dari jaringan ke paru-paru. Apabila ternak kekurangan

Co sehingga mengalami anemia, laju respirasi ternak akan meningkat sebagai upaya mengikat O2 lebih banyak. Selain itu denyut jantung pun akan ikut meningkat karena

jantung akan bekerja lebih keras dalam memompa darah. Penyebab utama timbulnya gejala defisiensi Co pada ternak ruminansia adalah terkait dengan kekurangan vitamin B12 karena sintesis vitamin tersebut dalam rumen menurun. Unsur Co juga

memiliki peran penting dalam pertumbuhan bakteri dan rumen. Oleh karena itu pemberian pakan yang mengandung Co dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen dan mencegah kekurangan Co pada ternak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Inokulasi isolat bakteri pencerna serat selama periode menyusu yang dibarengi dengan suplementasi Co dalam ransum meningkatkan konsumsi bahan kering, tidak mempengaruhi kondisi fisiologis, namun mampu meningkatkan pertambahan bobot badan pada periode lepas sapih.

Saran

Pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat perlu dkaji dari sisi pengaruhnya terhadap perubahan dan perkembangan populasi dan jenis mikroba rumen. Keterkaitan antara inokulasi isolat bakteri dengan laju sintesis vitamin B12 perlu

(41)

41 UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Maha suci Allah atas segala sesuatu ciptaan-Nya, atas berkah dan karunia-ciptaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc selaku pembimbing utama dan Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc. sebagai pembimbing anggota dan pembimbing akademik yang telah mengalokasikan banyak waktu atas bimbingan, saran, dan nasehat yang sangat berharga.

Sembah bakti dan ucapan terima kasih yang tulus dan tak terkira penulis haturkan kepada Ayahanda Ardiansyah dan Ibunda Rusnawati serta adikku, Indah Permata Sari yang selalu mencurahkan kasih sayang yang tiada hentinya, do’a, kesabaran, dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis. Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik.

Terima kasih kepada Pak Iwan Prihantoro, SPt. Msi dan teman-teman sepenelitian Desra, Ninuk, Hadziq, Iki, dan Ina yang telah memberikan pengertian, kerjasama, kekeluargaan, dan bantuan pemikiran kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terimakasih disampakan kepada Nissa, Miko, Ayu, dan Kharis yang telah memberikan dukungan moril berupa semangat yang tak terhingga, keceriaan, pertemanan, dan kebersamaan nya selama ini. Kepada teman-teman di laboratorium Danu dan Dicky yang berjuang bersama dan saling memberikan support di masa penelitian, serta terima kasih kepada seluruh teman-teman Nutrisi 43 atas kebersamaannya. Tanpa dukungan semua pihak, penulis tidak akan bisa menyelesaikan tugas akhir dengan baik.

Bogor, Agustus 2010

Gambar

Gambar 1. Pola Suhu Kandang Selama Penelitian
Gambar 2. Kelembaban Kandang Selama Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Fasihtas pendukung yang dimaksud disini adalah peraiatan yang mendukung berlangsungnya aktivitas pekerjaan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan peraiatan meliputi kapasitas

Rencana Kebutuhan Sarana Tahun 2030 : • Lokomotif Penumpang : 50 unit • Lokomotif Barang : 120 unit • Kereta : 470 unit Fisheries and  Marine 

Meclis istemiyordu, Atatürk’ün Ordunun başına geçmesini, fakat Fevzi Paşa ile arası çok iyiydi.. Fevzi Paşa Genel Kurmay

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan produksi hijauan arbila (Phaseolus lunatus L.) sebagai dampak dari penambahan bokashi gulma pasture seperti Chromolaena

 Founder Revitalisasi Tambak Rakyat Model Kampung Vannamei (KaVe)  Re-Design Rumah tangga Vannamei (RtVe)..  Grand Design Republik

yang direkomendasikan Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk

yang berlaku sejak ditutupnya Rapat ini, kecuali: pengangkatan Loh Niap Juan yang berlaku sejak tanggal lulus Uji Kemampuan dan Kepatutan ( Fit and Proper Test ) dari

Setelah diberikan perlakuan bimbingan kelompok teknik remedial teaching dengan metode mind maping , hasil post-test menunjukkan adanya penurunan tingkat kesulitan