• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN HUKUM Bahan Ajar, Pengantar Hukum Pajak, DTSD II Angkatan III, Tahun 2014 Agus Suharsono, Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAFSIRAN HUKUM Bahan Ajar, Pengantar Hukum Pajak, DTSD II Angkatan III, Tahun 2014 Agus Suharsono, Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENAFSIRAN HUKUM

Bahan Ajar, Pengantar Hukum Pajak, DTSD II Angkatan III, Tahun 2014 Agus Suharsono, Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak

Kodifikasi membuat hukum menjadi beku, statis, dan sukar berubah. Hakim yang harus menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat yang bersifat dinamis sehingga perlu penafsiran hukum. Tidak semua kalimat yang tertulis dalam perundang-undangan mudah dipahami oleh semua orang. Untuk itu dalam ranah ilmu hukum dikenal beberapa penafsiran hukum.1 Ada beberapa penafsiran yaitu:

a. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti kata dalam kalimat undang-undang (Batang tubuh, Pasal dan ayat).

Contoh:

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Artinya penghasilan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh tersebut yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

b. Penafsiran sahih (autentik, resmi), yaitu penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, biasanya dalam penjelasan.

Contoh:

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 Pertanyaan: Apa saja pemeriksaan untuk tujuan lain itu?

1

(2)

 Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita bisa menggunakan penafsiran sahih dengan jalan mencari dalam penjelasannya. Penjelasan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP menyebutkan bahwa pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:

a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;

c. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;

e. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; f. pencocokan data dan/atau alat keterangan;

g. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;

h. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; i. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;

j. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau

k. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Pertanyaan hukum lain yang dapat dijawab dengan penafsiran sahih adalah apakah dapat dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mengajukan keberatan? Jawabannya adalah ya, berdasarkan penjelasan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang KUP salah satu pemeriksaan untuk tujuan lain adalah dalah hal Wajib Pajak mengajukan keberatan.

c. Penafsiran historis, yaitu sejarah hukumnya yang dapat diselidiki berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut dari memori penjelasan, laporan perdebatan di DPR, surat menyurat antara menteri dengan komisi DPR, naskah akademis. Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki adalah pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang.

Contoh:

Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP mengatur bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).

Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan

(3)

sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif seusai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelumnya diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Kasus

 Tuan AA mempunyai penghasilan kena pajak sejak tahun 2010 misalnya sebesar Rp200 juta. Bulan Mei 2014 dengan sukarela (self assessment) Tuan AA mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Apakah atas penghasilan Tuan AA untuk tahun 2010 dapat diterbitkan SKPKB?

 Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengunakan penafsiran historis sebagai berikut.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP mengatur sebagai berikut.

Pasal 2: Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan dirinya pada Direktorat Jenderal Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 12: Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.

Penjelasan umum: anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (self assesment).

Pasal 13 ayat (1): Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Ketentuan ini tidak mengaitkan antara NPWP dengan SKPKB, tetapi dengan sesudah saat terutangnya pajak yang dalam literature dikenal sebagai taatbestand.

 Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sejak tahun 1983 Wajib Pajak harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan membayar sendiri pajak yang terutang tanpa mengantungkan adanya ketetapan.

Pasal 2 ayat (4a) dan Pasal 13 ayat (1) huruf e muncul pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU KUP 1983.

Jadi secara historis terhadap Tuan AA dapat diterbitkan SKPKB untuk tahun 2010 walaupun mendaftarakan diri secara self assessment pada tahun 2014.

(4)

d. Penafsiran sistematis (dogmatis), yaitu penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang itu maupun dengan undang-undang yang lain.

Contoh:

 PT Baruna Jaya Perkasa menyampaikan SPT Masa PPN masa Februari 2014 pada tanggal 30 Maret 2014. Apakah penyampaian SPT Masa PPN PT Baruna Jaya Perkasa tersebut dianggap terlambat dan harus diterbitkan STP?

 Untuk menjawab kasus tersebut kita tidak bisa hanya mendasarkan Pasal 7 Undang-Undang KUP saja tetapi harus secara sistematis sebagai berikut.

Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang PPN 1984 mengatur bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

Pasal 3 ayat (3) huruf a Undang-Undang KUP mengatur bahwa batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

 Jika hanya berdasarkan ketentuan tersebut maka penyampaian SPT Masa PPN PT Baruna Jaya Perkasa dianggap terlambat, tetapi penafsiran juga harus merujuk pajak Pasal 15A ayat (2) Undang-Undang PPN tahun 1984 yang mengatur bahwa Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan penafsiran sistematis penyampaian SPT Masa PPN PT baruna Jaya Perkasa tidak terlambat karena batas waktu penyampaiannya tanggal 31 Maret 2014, sehingga tidak bisa diterbitkan STP dengan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang KUP.

e. Penafsiran nasional, yaitu penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.

(5)

Contoh:

 Istilah Pelaporan dan Pengaduan sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai berikut.

Pasal 1 angka 24 KUHAP mendefinisikan Pelaporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Pasal 1 angka 25 KUHAP mendefinisikan Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Karena Pasal 1 Undang-Undang KUP tidak mendefinisikan laporan dan pengaduan maka kita bisa melakukan penafsiran nasional bahwa yang dimaksud laporan dan pengaduan dalam Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang KUP adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 dan angka 25 KUHAP.

f. Penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Penafsiran ini penting karena kebutuhan dan keadaan masyarakat berubah, sedangkan bunyi undang-undang sama.

Contoh:

 Penafsiran teleologis diserap dan diatur dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi meskipun besaran PTKP sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang PPh tidak berubah tetapi harus ditafsirkan berubah jika sudah diatur dalam PMK.

 Penafsiran teleologis juga diserap dan diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang KUP bahwa perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa kontribusi pendapatan dari segmen data terhadap total pendapatan Telkomsel Area Sumatera hanya mencapai paling tinggi sebesar 20 persen

Hal ini akan menjadi kesempatan baik bagi KPS B maupun Pemerintah pada umumnya yaitu memanfaatkan fasilitas KPS A terutama jaringan pipa transmisi untuk digunakan dalam beberapa

dapat meningkatkan keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan metode tadabbur qurani. Adapun sisi kelemahan metode tadabur qurani dalam pembelajaran agama

Islamiyah (JI) Ansharut Tauhid Jamaah (JAT) Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Mujahidin Indonesia Barat (MIB) Tipe Serangan Kelompok Teror.

BCA berupaya meningkatkan koordinasi di antara unit kerja terkait dalam melakukan evaluasi atau kajian terhadap proses, sistem dan prosedur untuk mengembangkan maupun

Ga boleh makan lewat dari jam 6, harus pakai sandal kaus kaki terus, sebenarnya masih banyak pantangan lainnya kalau kita perawatan traditional tapi tidak semua kakak

Dalam protokol harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang mungkin timbul dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu intervensi harus dihentikan,

Oleh karena itu ketentuan pasal 156a jo UU No. 1/PnPs/1965 dan pasal 156, 157 KUHP yang terkait juga dengan pengaturan tindak pidana penodaan agama telah membuktikan