• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Kualitas

Jasa

Industri jasa pada saat ini merupakan sektor ekonomi yang sangat besar dan tumbuh sangat pesat. Pertumbuhan tersebut selain diakibatkan oleh pertumbuhan jenis jasa yang sudah ada sebelumnya, juga disebabkan oleh munculnya jenis jasa baru, sebagai akibat dari tuntutan dan perkembangan teknologi. Dipandang dari konteks globalisasi, pesatnya pertumbuhan bisnis jasa antar negara ditandai dengan meningkatnya intensitas pemasaran lintas negara serta terjadinya aliansi berbagai penyedia jasa di dunia. Perkembangan tersebut pada akhirnya mampu memberikan tekanan yang kuat terhadap perombakan regulasi, khususnya pengenduran proteksi dan pemanfaatan teknologi baru yang secara langsung akan berdampak kepada menguatnya kompetisi dalam industri (Lovelock, 2004). Kondisi ini secara langsung menghadapkan para pelaku bisnis kepada permasalahan persaingan usaha yang semakin tinggi. Mereka dituntut untuk mampu mengidentifikasikan bentuk persaingan yang akan dihadapi, menetapkan berbagai standar kinerjanya serta mengenali secara baik para pesaingnya.

Zeithaml and Bitner (2003) menyatakan bahwa pemasaran jasa adalah mengenai janji-janji, janji yang dibuat kepada pelanggan dan harus dijaga. Kotler and Keller (2006) mengemukakan pengertian jasa (service) sebagai berikut: “A service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or may not be tied to a physical product.” (Jasa

(2)

adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan.

Menurut Zeithaml and Bitner (2003), jasa memiliki empat ciri utama yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu sebagai berikut:

1. Tidak berwujud. Hal ini menyebabkan konsumen tidak dapat melihat, mencium, meraba, mendengar dan merasakan hasilnya sebelum mereka membelinya. Untuk mengurangi ketidakpastian, konsumen akan mencari informasi tentang jasa tersebut, seperti lokasi perusahaan, para penyedia dan penyalur jasa, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan serta harga produk jasa tersebut. Beberapa hal yang dapat dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan calon konsumen, yaitu sebagai berikut: a. Meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud, b. Menekankan pada manfaat yang diperoleh, c. Menciptakan suatu nama merek (brand name) bagi jasa, atau d. Memakai nama orang terkenal untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.

2. Tidak terpisahkan (inseparability). Jasa tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu perusahaan jasa yang menghasilkannya. Jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan. Jika konsumen membeli suatu jasa maka ia akan berhadapan langsung dengan sumber atau penyedia jasa tersebut, sehingga penjualan jasa lebih diutamakan untuk penjualan langsung dengan skala operasi terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan dapat menggunakan strategi-strategi, seperti bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, serta melatih pemberi jasa supaya mereka mampu membina kepercayaan konsumen.

3. Bervariasi (variability). Jasa yang diberikan sering kali berubah-ubah tergantung siapa yang menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa tersebut dilakukan. Ini mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa berdasarkan suatu standar. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan dapat

(3)

menggunakan tiga pendekatan dalam pengendalian kualitasnya, yaitu sebagai berikut: a. Melakukan investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik. b. Melakukan standarisasi proses produksi jasa. c. Memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survei pelanggan, dan comparison shopping, sehingga pelayanan yang kurang baik dapat diketahui dan diperbaiki.

4. Mudah musnah (perishability). Jasa tidak dapat disimpan sehingga tidak dapat dijual pada masa yang akan datang. Keadaan mudah musnah ini bukanlah suatu masalah jika permintaannya stabil, karena mudah untuk melakukan persiapan pelayanan sebelumnya. Jika permintaan berfluktuasi, maka perusahaan akan menghadapi masalah yang sulit dalam melakukan persiapan pelayanannya. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan produk, penetapan harga, serta program promosi yang tepat untuk mengantisipasi ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran jasa.

Di dalam struktur industri, khususnya jasa, menurut Michael Porter (1985) ada lima kekuatan persaingan yaitu: a. Ancaman pendatang baru (Threat of new entrants); b. Persaingan di antara pesaing yang ada (Rivalry among competitor); c. Ancaman produk pengganti (Threat of substitute products); d. Kekuatan tawar menawar pembeli (Bargaining power of buyers); dan, e. Kekuatan tawar-menawar supplier (Bargaining power of suppliers).

Dalam hal ini, akan ditinjau yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu powers of buyers. Kelompok pembeli (Bargaining power of buyers) disebut kuat apabila:

a. Kelompok pembeli tersebut terpusat atau membeli dalam jumlah besar terhadap penjualan pihak penjual.

Jika sebagian besar hasil penjualan merupakan pembelian dari satu pembeli tertentu maka ini akan mempertinggi pentingnya bisnis pembeli. Pembeli jumlah besar khususnya merupakan kekuatan yang ampuh jika biaya tetap yang besar menjadi ciri industri tersebut.

(4)

b. Produk yang dibeli dari industri adalah produk standar atau tidak terdiferensiasi.

Apabila suatu produk yang ditawarkan oleh industri tersebut adalah produk standar atau tidak terdiferensiasi maka yang terjadi adalah keragaman produk sehingga pembeli dapat menentukan pemasoknya sendiri.

c. Pembeli memiliki biaya peralihan yang kecil.

Pembeli yakin bahwa mereka selalu dapat menemukan pemasok alternatif, dapat membandingkan pemasok yang satu dengan yang lainnya. Biaya peralihan mengikat pembeli pada penjual tertentu, sebaliknya posisi pembeli menjadi kuat jika penjuallah yang menghadapi biaya peralihan.

d. Pembeli mempunyai informasi yang lengkap

Bila pembeli mempunyai informasi lengkap tentang permintaan, harga pasar yang aktual dan bahkan biaya pemasok, biasanya posisi tawar-menawar mereka lebih kuat daripada bilamana informasi yang mereka miliki tidak lengkap. Dengan informasi lengkap pembeli berada dalam posisi yang lebih baik untuk menjamin bahwa mereka mendapatkan harga yang paling menguntungkan dibandingkan dengan yang lain dan dapat menentang dugaan pemasok bahwa kelayakan kehidupan mereka terancam.

e. Pembeli menujukan ancaman untuk melakukan integrasi balik

Jika pembeli sudah terintegrasi sebagian atau menunjukan ancaman yang menyakinkan untuk integrasi balik, mereka berada dalam posisi untuk menuntut kosesi-kosesi. Kekuatan pembeli dapat dinetralisasikan sebagian bila perusahaan dalam industri memberikan ancaman untuk melakukan integrasi maju ke dalam industri pembeli.

f. Produk industri tidak penting bagi mutu produk atau jasa pembeli

(5)

pembeli kurang peka harga.

2.2 Kepuasan

Pelanggan

2.2.1 Pengertian kepuasan pelanggan

Konsumen mengharapkan untuk senantiasa memaksimumkan manfaat atau nilai yang diperolehnya dari waktu, upaya dan uang yang telah dikeluarkannya dan konsumen juga mencari manfaat atau nilai yang menjadi ujian bagi kekuatan kompetitif suatu perusahaan jasa dipasarnya. Konsumen merasakan bahwa bekerja sama denagn kelompok atau perusahaan tertentu adalah merupakan kewajiban moral. Peruasaahan yang telah membangun reputasi untuk pelayanan masyarakat dapat menciptaklan kulaitas konsumen. Konsumen menghendaki kenikmatan personal, seperti pengakuan dan perlindungan dari pengalaman jasanya.

Kepuasan yang diterima pelanggan timbul setelah konsumen memperoleh hasil dari pelayanan. Konsumen akan merasa puas bila hasil yang mereka terima sesuai dengan apa yang mereka harapkan sedangkan bila hasil yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan maka akan muncul ketidakpuasan pada pihak konsumen

Menurut Philip Kotler (1997) kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja(atau hasil)suatu produk dan harapan-harapannya. Sementara Menurut Tse dan Wilton yang dikutip oleh Fandi Tjiptono (1997) menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi mengenai apa yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kerja lainnya) dan kinerja actual produk yang diraskan setelah pemakaian.

Dari defenisi-defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsumen menyangkut komponen harapan dan kinerja atau hasil yang dinyatakan, dimana umumnya harapan konsumen

(6)

merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterima bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa . Sedangkan kinerja yang dirasakan adalah persepsi Pelanggan terhadap apa yang akan diterima setelah mengkonsumsi produk atau jasa yang dibeli.

Pelanggan memasuki situasi jual-beli dengan harapan-harapan tertentu. Pelanggan mempunyai angan-angan tentang perasaan yang ingin mereka rasakan ketika mereka menyelesaikan suatu transaksi atau ketika mereka menggunakan barang yang mereka beli maupun ketika menikmati pelayanan yang telah mereka bayar. Mencapai tingkat kepuasan pelanggan tertinggi adalah tujuan utama pemasaran. Pada kenyataannya, akhir-akhir ini banyak perhatian tercurah pada konsep kepuasan “total,” yang implikasinya adalah mencapai kepuasan sebagian saja tidaklah cukup untuk membuat pelanggan setia dan kembali lagi.

Ketika pelanggan merasa puas akan pelayanan yang didapatkan pada saat proses transaksi dan juga puas akan barang atau jasa yang mereka dapatkan, besar kemungkinan mereka akan kembali lagi dan melakukan pembelian-pembelian yang lain dan juga akan merekomendasikan pada teman-teman dan keluarganya tentang perusahaan tersebut dan produk-produknya. Juga kecil kemungkinannya mereka berpaling ke pesaing-pesaing perusahaan. Mempertahankan kepuasan pelanggan dari waktu ke waktu akan membina hubungan yang baik dengan pelanggan. Hal ini dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang. Namun demikian, perusahaan harus berhati-hati agar tidak terjebak pada keyakinan bahwa pelanggan harus dipuaskan tak peduli berapapun biayanya.

Tidak semua pelanggan memiliki nilai yang sama bagi perusahaan. Beberapa pelanggan layak menerima perhatian dan pelayanan yang lebih dibandingkan pelanggan lain. Ada pelanggan yang tidak akan pernah memberikan umpan balik tak peduli berapa banyak perhatian yang kita berikan pada mereka, dan tak peduli berapa puasnya mereka. Dengan demikian,

(7)

antusiasme tentang kepuasan pelanggan harus didukung oleh analisa-analisa yang tajam.

Beberapa penulis memberikan definisi mengenai kepuasan pelanggan. Seperti halnya

Spreng et al. (1996) menyatakan bahwa perasaan puas pelanggan timbul ketika konsumen

membandingkan persepsi mereka mengenai kinerja produk atau jasa dengan harapan mereka.

Tse and Wilson (1988) menyatakan kepuasan dan ketidakpuasan adalah respon pelanggan

terhadap ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya.

Lebih jauh lagi Tse and Wilson (1988) menguraikan dua variabel utama yang menentukan kepuasan pelanggan, yaitu expectations dan perceived performance. Apabila

perceived performance melebihi expectations maka pelanggan akan puas, tetapi apabila sebaliknya maka pelanggan merasa tidak puas. Kotler and Keller (2006), menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kekecewaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Dari beberapa uraian tersebut dapat diketahui bahwa kepuasan pelanggan dihasilkan dari proses perbandingan antara kinerja yang dirasakan dengan harapannya, yang menghasilkan disconfirmation paradigm.

Fornell et al. (1996) dalam temuannya menyebutkan bahwa (1) kepuasan pelanggan

secara menyeluruh adalah hasil evaluasi dari pengalaman konsumsi sekarang yang berasal dari keandalan dan standarisasi pelayanan; (2) kepuasan pelanggan secara menyeluruh adalah hasil perbandingan tingkat kepuasan dari usaha yang sejenis, dan (3) bahwa kepuasan pelanggan secara menyeluruh diukur berdasarkan pengalaman dengan indikator harapan secara keseluruhan, harapan yang berhubungan dengan kebiasaan, dan harapan yang berhubungan dengan keterandalan jasa tersebut.

(8)

adanya suatu transaksi khusus antara produsen dengan konsumen yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan ketika faktor emosi mendorong harapan (expectations) dan disesuaikan dengan pengalaman mengkonsumsi sebelumnya (perception). Selain itu menurut Zeithaml et al. (1996) kepuasan pelanggan merupakan perbandingan antara layanan yang diharapkan (expectations) dengan kinerja (perceived performnce)

Selain teori expectacy disconfirmation model yang sudah dikenal, masih ada beberapa teori tentang kepuasan yakni equity theory dan atribution theory. Menurut teori equity, seseorang akan merasa puas bila rasio hasil (outcome) yang diperolehnya dibandingkan dengan input yang digunakan, dirasakan fair atau adil. Dengan kata lain, kepuasan terjadi apabila konsumen merasakan bahwa rasio hasil terhadap inputnya (outcome dibandingkan dengan input) proporsional terhadap rasio yang sama yang diperoleh orang lain (Oliver and De Sarbo, 1988), sedangkan atribution theory berasal dari teori Weiner (1971) yang dikembangkan oleh Oliver

and De Sarbo (1988) dan Engel et al. (1990). Teori ini menyatakan bahwa ada tiga dimensi yang menentukan keberhasilan atau kegagalan outcome, sehingga dapat ditentukan apakah suatu pembelian memuaskan atau tidak memuaskan. Ketiga dimensi tersebut adalah:

a. Stabilitas atau variabilitas. Apakah faktor penyebabnya sementara atau permanen.

b. Locus of causality. Apakah penyebabnya berhubungan dengan konsumen (external atribution) atau dengan pemasar (internal atribution). Internal atribution seringkali dikaitkan dengan kemampuan dan usaha yang dilakukan oleh pemasar, sedangkan external atribution

dihubungkan dengan berbagai teori seperti tingkat kesulitan suatu tugas (task difficulty) dan faktor keberuntungan.

c. Controllability. Apakah penyebab tersebut berada dalam kendali ataukah dihambat oleh faktor luar yang tidak dapat dipengaruhi.

(9)

2.2/2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan

Menurut Zheithaml and Bitner (2003) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, antara lain:

a. Fitur produk dan jasa. Kepuasan pelanggan terhadap produk atau jasa secara signifikan dipengaruhi oleh evaluasi pelanggan terhadap fitur produk atau jasa. Dalam melakukan studi kepuasan, banyak perusahaan menggunakan kelompok fokus untuk menentukan fitur dan atribut penting dari jasa dan kemudian mengukur persepsi pelanggan terhadap fitur tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa pelanggan jasa akan membuat trade-off antara fitur jasa yang berbeda (misalnya, tingkat harga dengan kualitas, atau dengan keramahan karyawan), tergantung pada tipe jasa yang dievaluasi dan tingkat kekritisan jasa.

b. Emosi pelanggan. Emosi juga dapat mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa. Emosi ini dapat stabil, seperti keadaan pikiran atau perasaan atau kepuasan hidup. Pikiran atau perasaan pelanggan (good mood atau bad mood) dapat mempengaruhi respon pelanggan terhadap jasa. Emosi spesifik juga dapat disebabkan oleh pengalaman konsumsi, yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap jasa. Emosi positif seperti perasaan bahagia, senang, gembira akan meningkatkan kepuasan pelanggan. Sebaliknya, emosi negatif seperti kesedihan, duka, penyesalan dan kemarahan dapat menurunkan tingkat kepuasan. c. Atribusi untuk keberhasilan atau kegagalan jasa. Atribusi – penyebab yang dirasakan dari

suatu peristiwa – mempengaruhi persepsi dari kepuasan. Ketika pelanggan dikejutkan dengan hasil (jasa lebih baik atau lebih buruk dari yang diharapkan), pelanggan cenderung untuk melihat alasan, dan penilaian mereka terhadap alasan dapat mempengaruhi kepuasan.

(10)

dipengaruhi oleh persepsi pelanggan terhadap kewajaran dan keadilan. Dugaan mengenai

equity dan fairness adalah penting bagi persepsi kepuasan pelanggan terhadap produk atau jasa.

e. Pelanggan lain, keluarga, dan rekan kerja. Kepuasan pelanggan juga dipengaruhi oleh orang lain.

Untuk jasa yang tidak berwujud (intangible), konsumen umumnya menggunakan atribut (Parasuraman et al., dalam Zeithaml and Bitner, 2003) seperti berikut:

a. Reliability, yakni kemampuan untuk melakukan pelayanan yang dijanjikan secara handal dan akurat.

b. Responsiveness, yaitu keinginan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat kepada pelanggan

c. Assurance, yakni pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki karyawan.

d. Empathy, yakni perhatian, pelayanan pribadi yang diberikan kepada pelanggan. e. Tangibles, meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, personalia, dan bahan tertulis.

Para peneliti menyatakan bahwa atribut yang mempengaruhi kepuasan pelanggan disesuaikan dengan produknya. Misalnya, untuk produk mobil, atribut yang dipertimbangkan seperti, reliabilitas, serviceability, prestise, durability, functionality, dan mudah digunakan. Sementara untuk makanan yang dipertimbangkan misalnya rasa, kesegaran, aroma dan sebagainya ( Zeithaml and Bitner, 2003).

(11)

Shergill dan Li (2005) mendefinisikan loyalitas sebagai niat dari konsumen untuk kembali menggunakan suatu produk atau jasa berdasarkan pengalaman dan harapan mereka di masa lalu. Menurut Dharmmesta (1999), tahap-tahap loyalitas terbagi 4, yaitu:

1. Tahap pertama: loyalitas kognitif, pada tahapan ini konsumen menggunakan basis informasi yang secara memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya. Jadi loyalitasnya didasarkan pada keyakinan konsumen terhadap basis informasi yang dicerminkan oleh kualitas merek. Loyalitas tahap pertama ini bukan merupakan bentuk loyalitas yang kuat.

2. Tahap kedua: loyalitas afektif, tahap ini berkaitan sikap konsumen yang didorong oleh kepuasan dan kesukaan konsumen. Loyalitas tahap ini jauh lebih sulit berubah karena loyalitasnya sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai sikap. Namun demikian loyalitas afektif ini masih tetap belum menjamin adanya loyalitas. Loyalitas tahap ini dicerminkan oleh tingkat kesukaan, tingkat kepuasan pelanggan.

3. Tahap ketiga: loyalitas konatif merupakan kondisi konsumen yang loyal yang dipengaruhi oleh niatan untuk melakukan sesuatu (dimensi konatif) yang mencakup niat atau komitmen yang tinggi untuk melakukan pembelian. Jenis komitmen pada tahap ini sudah melampaui loyalitas afektif. Niat untuk melakukan pembelian ulang dapat dianggap sebagai tanda awal munculnya loyalitas.

4. Tahap keempat: loyalitas tindakan yaitu tahap dimana aspek konatif atau niat melakukan telah mengalami perkembangan, yaitu dikonversi menjadi perilaku atau tindakan.

Penjelasan Dharmmesta mengenai 4 tahap loyalitas ini juga didukung oleh Oliver (1997) serta Harris dan Goode (2004). Kepercayaan dalam suatu produk atau jasa dipercaya meningkatkan loyalitas pelanggan (Ribbink et al. 2004). Perusahaan yang berhasil menjaga agar

(12)

konsumennya selalu puas akan lebih mudah untuk mempertahankan bahkan mengembangkan usahanya karena konsumennya lebih setia, sehingga konsumen tersebut kerapkali melakukan pembelian ulang dan rela membayar lebih. (Johnson, 1997). Memuaskan konsumen merupakan hal yang terbaik dalam menghadapi persaingan. Badan usaha yang berhasil menjaga agar konsumen selalu puas menyebabkan konsumen menjadi lebih setia, dalam arti konsumen tersebut lebih sering membeli, rela membayar lebih banyak untuk menggunakan layanan badan usaha itu dan akan tetap menjadi konsumen meski badan usaha itu sedang mengalami kesulitan. Loyalitas pelanggan tidak terbentuk dalam waktu yang singkat, tetapi melalui suatu proses belajar dan berdasarkan pengalaman masa lalu dari konsumen itu sendiri dalam melakukan penggunaan layanan yang konsisten sepanjang waktu. Bila dari pengalaman tersebut konsumen tidak mendapatkan layanan yang memuaskan maka konsumen tidak akan berhenti untuk mencoba jasa-jasa layanan lainnya sampai mendapatkan layanan yang memenuhi kriteria.

Konsumen yang mempunyai loyalitas jasa terhadap suatu merek yang tinggi dapat dilihat dari penggunaan suatu jasa tertentu secara terus-menerus meskipun ada layanan jasa pesaing yang ditawarkan dengan harga, kenyamanan dan bentuk yang lebih baik. Loyalitas pelanggan seperti itu harus dibina dan ditingkatkan secara konsisten, sehingga loyalitas pelanggan tidak hanya pada satu layanan untuk satu merek yang sama, tetapi dapat juga setia pada layanan lain.

2.3.1 Atribut-Atribut Loyalitas pelanggan

Sedang atribut-atribut pembentuk customer loyalty menurut Griffin (1995) adalah sebagai berikut :

a. Makes regular repeat purchase

(13)

ulang terhadap jasa badan usaha dalam suatu periode waktu tertentu. b. Purchases across product and service line

Dimana konsumen yang setia tidak hanya membeli satu macam jasa badan usaha melainkan jasa lainnya juga.

c. Refers other

Menunjukkan bahwa konsumen yang setia akan merekomendasikan hal-hal yang positif mengenai jasa badan usaha kepada rekan lainnya dan menyakinkan konsumen, sehingga konsumen ikut membeli jasa dari badan usaha tersebut.

d. Demonstrates an immunity to the pull of competition

Konsumen yang setia akan menolak untuk memakai jasa dari badan usaha lain karena konsumen yakin jasa yang konsumen pakai adalahyang paling baik.

Konsumen yang mempunyai loyalitas yang tinggi dapat dilihat dari pengunaan layanan tertentu secara terus-menerus meskipun ada layanan pesaing yang ditawarkan dengan harga, kenyamanan, dan bentuk yang lebih baik. Loyalitas pelanggan seperti itu harus dibina dan ditingkatkan secara konsisten, sehingga loyalitas pelanggan tidak hanya pada satu layanan untuk satu konsumen yang sama, tetapi dapat juga setia pada layanan lain untuk konsumen yang sama.

Pada awalnya konsumen hanya mengenali suatu konsumen jasa layanan melalui simbol, nama, logo dan dapat melalui tayangan iklan untuk memposisikan layanan, sehingga persepsi konsumen dapat diterima oleh konsumen. Bila layanan tersebut mempunyai persepsi atau image

yang baik, maka dibenak konsumen akan timbul preferensi terhadap layanan, bahwa layanan tersebut lebih unggul daripada layanan konsumen lainnya dan preferensi berlanjut pada penggunaan layanan dan seandainya konsumen merasa puas maka konsumen akan melakukan pembelian ulang terhadap layanan tersebut pada saat konsumen membutuhkan layanan yang

(14)

dibutuhkan. Apabila proses ini berkelanjutan, akan timbul loyalitas pelanggan terhadap layanan tersebut di mana konsumen akan berusaha untuk melakukan penggunaan layanan tertentu yang memuaskan bila tersedia pada suatu tempat yang telah dipercaya.

2.3.2 Pengukuran Loyalitas pelanggan

Untuk mengetahui apakah konsumen setia atau tidak terhadap konsumen, maka perlu suatu pengukuran loyalitas pelanggan. Menurut Aaker (1996) pengukuran loyalitas pelanggan terdiri dari :

a. Repurchase Rate

Yaitu persentase konsumen yang akan membeli produk yang sama pada pembelian berikutnya. Percent of Purchase yaitu : Persentase produk lain yang dibeli. Number of brand purchase yaitu konsumen yang membeli dan menggunakan satu produk, dua produk atau lebih.

b. Switching Cost

Perbedaan pengorbanan, atau resiko kegagalan biaya, energi, dan fisik yang dikeluarkan konsumen karena memilih salah satu alternatif. Switching Cost tidak hanya mencakup resiko

financial yang ditanggung konsumen, tetapi juga resiko yang ditanggung secara langsung berkaitan dengan konsumen sebagai akibat konsumen berganti produk, sebagai contoh dalam hal ini adalah hotel, apabila konsumen berganti dari satu hotel ke hotel lain, bukan hanya resiko financial saja yang ditanggung tetapi juga resiko bila ternyata hotel tersebut kurang menyenangkan.

c. Commitment

(15)

loyal terhadap suatu produk, maka semakin stabil pangsa pasar produk tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Mowen (1995) yang dikenal dengan “Double Joe Pardy” yaitu: “The less popular brand, as define market share, also has lower brand loyality among its customer”, yang menunjukkan hubungan antara kesetiaan konsumen dan pangsa pasar.

d. Liking of the brand

Pada dasarnya terdapat rasa suka atau minat besar yang berbeda dari atribut-atribut spesifik yang mendasarinya. Konsumen bisa saja sekadar suka pada suatu merek, dan rasa suka tidak bisa dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi dan kepercayaan konsumen mengenai atribut-atribut merek. Rasa suka itu lebih mungkin dijelaskan dengan pernyataan-pernyataan umum mengenai rasa suka akan suatu merek.

2.3.3 Menciptakan dan Memelihara Loyalitas Pelanggan

Ada beberapa cara untuk menciptakan dan memelihara loyalitas pelanggan, menurut Aaker (1996), yaitu : “Treat to customer right, stay close to the customer, manage customer satisfaction, creating switching cost, provides extras”, yang artinya bahwa memperlakukan konsumen dengan baik, dekat dengan konsumen, menciptakan kepuasan pelanggan, menciptakan

switching cost dan menyediakan fasilitas ekstra. a. Treat to customer right

Memperlakukan konsumen dengan baik atau benar merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kesetiaan konsumen. Dalam hal ini, maksudnya adalah fungsi layanan yang ditawarkan sesuai dengan yang diinginkan atau yang diharapkan oleh konsumen. Ini merupakan dasar kesetiaan konsumen dan juga suatu alasan agar konsumen tidak beralih ke

(16)

jasa layanan lainnya, karena konsumen memerlukan suatu alasan untuk pindah dari suatu produk ke produk lainnya.

b. Stay close to the customer

Dekat dengan konsumen merupakan salah satu cara menciptakan dan memelihara kesetiaan konsumen terhadap suatu produk. Bila badan usaha dapat dekat dengan konsumen, maka dapat membuat badan usaha tersebut untuk memperoleh informasi tentang badan usaha dan konsumen itu sendiri. Dalam hal ini, badan usaha mendapat umpan balik tentang layanan dan kebutuhan apa yang belum terpenuhi dan memantau perubahan selera konsumen, sehingga badan usaha akan berusaha untuk memuaskan konsumen dengan caramemenuhi kebutuhan konsumen dan memperbaiki kekurangan-kekurangan layanan yang ada sekarang

c. Manage customer satisfaction

Memelihara dan menciptakan kepuasan pelanggan melalui layanan dapat menciptakan dan mempertahankan kesetiaan konsumen terhadap suatu produk, karena bila konsumen merasa puas dengan sesuatu layanan, maka konsumen akan semakin setia pula terhadap jasa layanan tersebut. Selanjutnya, perlu ditingkatkan kualitas layanan tersebut sehingga dapat mem enuhi kebutuhan konsumen. Pemberian bonus dapat meningkatkan dan menciptakan kesetiaan konsumen terhadap suatu produk. Bonus tersebut dapat berupa cindera mata untuk pengunaan jasa layanan tersebut.

d. Creating Switching Cost

Menciptakan switching cost dapat menjadikan konsumen mempersepsikan bahwa biaya untuk memilih produk yang baru adalah lebih besar dibandingkan dengan potensial benefit yang diperoleh konsumen. Switching cost ini biasanya dipengaruhi oleh pengaruh psikologi konsumen pada saat melakukan pemilihan suatu produk.

(17)

e. Provides extras

Provides extras biasanya dilakukan dengan menyediakan sedikit layanan tambahan bagi konsumen yang dapat merubah perilaku konsumen tersebut agar menyukai layanan yang diberikan badan usaha secara keseluruhan dengan ketertarikan yang tinggi.

2.4 Switching

Cost

Porter (1998) mendefinisikan switching cost sebagai biaya yang dikeluarkan oleh pembeli ketika berpindah dari satu pemasok produk ke lainnya. Selain biaya moneter yang terukur secara objektif, switching cost juga berkaitan dengan waktu dan usaha psikologis dari pelanggan dalam menghadapi ketidakpastian untuk menentukan penyedia layanan baru (Bloemer et al., 1998, Klemperer, 1987). Oleh karena itu, switching cost dianggap sebagai konsumen-spesifik (Shy, 2002). Untuk alasan ini, switching cost sebagai hal yang mempengaruhi pelanggan untuk beralih ke produk perusahaan lain. Jackson (1985) menggambarkan switching cost sebagai hasil nilai ekonomi, psikologis dan fisik. Ekonomis switching cost merupakan biaya yang muncul ketika pelanggan beralih ke produk/jasa lain, misalnya biaya penutupan rekening di satu Bank dan membuka kembali di bank pesaing, biaya peralihan dari satu layanan telepon jarak jauh (Klemperer, 1987) atau peralihan yang mempengaruhi pelanggan dari penggunaan operator GSM.

Switching cost secara prosedural berasal dari proses pembelian pelanggan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan keputusannya. Pada proses pembelian (Etzel et al., 1997) berisi tahap-tahap berikut: (1) perlu pengakuan; (2) pencarian informasi; (3) evaluasi alternatif; (4) keputusan pembelian, dan (5) perilaku pasca pembelian.

(18)

Misalnya, jika konsumen ingin beralih operator, mereka harus mengevaluasi operator alternatif dengan kriteria yang berbeda, seperti cakupan area, tagihannya, customer service, pelayanan tambahan, dan lainnya. Melengkapi prosedur untuk pembelian layanan GSM yang baru , dan akhirnya memberitahukan nomor barunya.

Biaya psikologis dianggap sebagai biaya yang berasal dari ikatan sosial (misalnya hubungan keryawan dengan pelanggan, dan yang lainnya) yang muncul selama suatu produk/jasa sudah tidak digunakan. Pelanggan merasakan risiko tinggi mengenai merek yang belum pernah digunakannya (Patterson and Sharma, 2000). Terutama di bidang jasa, di mana pelanggan lebih memilih penyedia layanan baru, risiko ada karena kualitas layanan tidak dapat dievaluasi sebelum membeli (Sharma et al., 1997).

Seorang pelanggan yang telah mengumpulkan informasi dalam rangka mengurangi kecemasan mereka tentang keputusan pembelian yang salah akan menggunakan semua pengalaman pembelian sebelumnya. Hal ini disebut “post-purchase cognitive dissonance” (Etzel et al., 1997). Dalam proses ini, jika pelanggan tersebut ingin beralih merek, dia akan membandingkan merek yang akan dipilih dengan merek sebelumnya yang digunakan. Oleh karena itu, semakin baik kinerja merek yang digunakan, semakin tinggi ketidakpastian pelanggan. Sehingga, pelanggan yang ingin mengurangi disonansi kognitif lebih suka merek yang mereka telah gunakan sebelumnya (Klemperer, 1995).

Burnham et al. (2003) telah menyajikan berbagai jenis switching cost, bahwa pelanggan mungkin menghadapi masalah prosedural termasuk switching cost, finansial switching cost, dan relasional switching cost. Dari beberapa perbedaan pada switching cost yang dihadapi oleh pelanggan, relasional switching cost atau biaya psikologis menjadi salah satu fokusnya. Relasional switching cost terdiri dari hilangnya hubungan antar pribadi dan hubungan biaya pada

(19)

merek, yang melibatkan ketidaknyamanan psikologis atau emosional akibat hilangnya identitas (Burnham et al., 2003). Patterson and Sharma (2000) mengemukakan bahwa pada suatu saat ikatan-ikatan sosial dapat menjadi penghalang untuk keluar dari suatu hubungan antara pelanggan dengan merk. Keluar dari suatu hubungan berarti kehilangan keramahan dan kenyamanan. Dwyer (1997) juga mengamati bahwa peralihan suplier dapat menyebabkan set-up costs dan termination costs. Set-up costs termasuk biaya untuk mencari penrgantian pemasok yang dapat menyediakan kinerja yang sama atau lebih baik dibandingkan dengan pemasok sebelumnya. Sementara termination costs mencakup hubungan istimewa tertentu dari investasi yang dilakukan oleh pelanggan yang tidak mempunyai nilai di luar hubungannya.

Porter (1998) dalam Aydin dan Ozer (2004) mendefinisikan switching cost sebagai biaya yang akan dihadapi oleh pelanggan ketika berpindah dari supplier satu ke supplier lain. Dengan pengukuran secara objektif, switching cost juga menyinggung waktu dan beban psikologis yang harus didapatkan untuk menghadapi ketidakpastian dengan supplier atau provider yang baru (Bloemer et al, 1998). Switching cost bisa dilihat sebagai biaya yang menghalangi pelanggan dari kebutuhan akan merek pesaing.

Aydin dan Ozer (2004) menyatakan Switching cost adalah penjumlahan dari biaya ekonomis, psikologis dan fisik. Biaya ekonomis atau financial switching cost adalah sunk cost yang kelihatan ketika pelanggan mengubah mereknya, sebagai contoh yaitu biaya menutup

provider lama dan membuka account untuk provider baru. Switching cost berawal dari proses pengambilan keputusan membeli dari pelanggan dan implementasi dari keputusannya tersebut. Dimana proses pembelian berisi tahap sebagai berikut:

1. Need recognition 2. Information search

(20)

3. Evaluation of alternatives 4. Purchase desicion

5. Post purchase behaviour

Sebagai contoh, jika pelanggan berharap mengganti operator telepon mereka, maka mereka harus melakukan evaluasi terhadap alternatif pilihan penggantinya yang berkaitan dengan coverage area, penagihan, pelayanan, pelayanan tambahan, dan sebagainya, kemudian melengkapi prosedur pembelian nomor baru, dan akhirnya memberikan informasi ke semua orang mengenai nomor barunya tersebut. Jika pelanggan berpindah, perbandingan akan terjadi antara merek yang baru dan merek yang lama, karena itu kinerja merek baru yang lebih tinggi akan menaikkan ketidakpastian pula. Dengan demikian, untuk menurunkan disonansi kognitif, pelanggan lebih menyukai merek yang telah mereka gunakan dan merasa puas dengan yang sebelumnya

2.5 Keterkaitan Antar Konsep

2.5.1 Keterkaitan Antara Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction) Dengan Loyalitas Pelanggan (Customer Loyalty)

Dalam upaya untuk memahami pembentukan kepuasan pelanggan telah menghasilkan beberapa pemahaman penting. Anderson dan Sullivan (1993) juga menunjukkan kepuasan untuk menjadi fungsi disconfirmation dan kualitas yang dirasakan. Walaupun diasumsikan bahwa tingkat kepuasan yang tinggi sangat berkorelasi dengan peningkatan loyalitas pelanggan, para peneliti telah mencoba mengukur loyalitas pelanggan secara terpisah. Kadang kesetiaan pelanggan telah dianggap sebagai perilaku dan disisi lain sebagai sebuah sikap. Sebagai perilaku,

(21)

loyalitas pelanggan telah diukur sebagai pilihan jangka panjang yang memungkinkan bagi sebuah merek Pendekatan sikap difokuskan pada rekomendasi merek, penolakan terhadap produk-produk unggulan, niat pembelian kembali (Anderson dan Sullivan, 1993), dan kesediaan untuk membayar harga premium.

2.5.2 Keterkaitan Hubungaan Kepuasan-Loyalitas dan Switching Cost

Fornell (1992) mencatat bahwa pandangan industri berbeda-beda mengenai bagaimana kepuasan pelanggan mempengaruhi bisnis dan kesetiaan pelanggan. Dia mencatat bahwa hubungan antara kepuasan dan loyalitas pelanggan tergantung pada faktor-faktor seperti peraturan pasar, switching cost, ekuitas merek, adanya program-program loyalitas, teknologi eksklusif, dan diferensiasi produk di tingkat industri. Hauser et al. (1994) juga menunjukkan bahwa konsumen menjadi kurang sensitif terhadap tingkat kepuasan sebagai meningkatnya

switching cost. Switching cost memainkan peran penting dengan membuatnya mahal bagi pelanggan untuk mengubah penyedia layanan (Fornell, 1992). Hasil Anderson dan Sullivan (1993) juga mendukung peran switching cost dengan memperhatikan kepuasan dan retensi rata-rata elastisitas untuk perusahaan yang dipilih pada tahun 1989. Mereka berpendapat bahwa elastisitas harus meningkatkan kualitas sebagai kepuasan rata-rata menjadi berkurang. Hasilnya mendukung pentingnya switching cost pelanggan dan kualitas elastisitas. Dalam hal ini, temuan ini menunjukkan bahwa switching cost mempengaruhi hubungan antara kepuasan dan loyalitas dari pelanggan.

2.5.3 Dampak Keterkaitan Hubungan Antara Kepuasan Dan Loyalitas Pelanggan

(22)

Dampak switching cost pada hubungan antara kepuasan dan loyalitas dipengaruhi oleh struktur pasar. Jika pasar memiliki satu atau banyak penyedia atau produsen besar, maka terdapat efek switching cost pada hubungan antara kepuasan dan loyalitas pada suatu merek. Artinya, terdapat pelanggan yang tidak puas dengan switching cost yang tinggi tidak akan beralih; atau, akan terdapat pelanggan yang tidak puas dengan switching cost yang rendah , karena tidak ada alternatif. Switching cost menjadi penting ketika setidaknya hanya terdapat beberapa provider alternatif di pasar. Jika kriteria ini terpenuhi, maka switching cost akan mempengaruhi keberadaan off-diagonal grup (Jones dan Sasser ,1995). Jadi, jika switching cost rendah, kita harus menemukan sangat sedikit pelanggan loyal, karena ketidakpuasan akan berakibat pada perubahan. Tetapi mungkin akan ditemukan banyak pelanggan yang puas, tetapi tidak setia karena rendahnya switching cost membuat perubahan begitu mudah. Sebaliknya, jika biaya beralih tinggi, kita cenderung melihat banyak pelanggan setia palsu, bahkan sekalipun mereka tidak puas, switching cost membuat mereka kurang cenderung berubah.

Referensi

Dokumen terkait

Konsumen yang mempunyai loyalitas yang tinggi dapat dilihat dari penggunaan layanan tertentu secara terus – menerus meskipun ada layanan pesaing yang ditawarkan dengan

DINAS PENDAPATAN, PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH Berdasarkan UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

MIF, TNF- α dan IL-6 berperan pada proses patologis hepatitis kronik dan sirosis, bahwa IL-6 berperan penting pada pembentukan asites, dan kadar serum MIF, TNF- α dan

Selanjutnya disebutkan pengertian tanah dalam Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa atas dasar

Menurut Bell, Menguc and stefani (2004), keluhan dari pelanggan adalah sebuah pengalaman berupa umpan balik yang bersifat negatif dari pelanggan yang dapat

APLIKASI PENUNJUKAN LOKASI HALTE BUSWAY DENGAN AUGMENTED REALITY BERBASIS ANDROID Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) Dengan Hak Bebas Royalti ini Universitas

Termasuk dalam kategori produk yang elastis terhadap perubahan harga adalah barang atau jasa yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, misalnya: barang atau jasa

Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rafiqa (2018) mencetuskan bahwa persepsi pelaku UMKM untuk menerapkan SAK EMKM juga dipengaruhi oleh besarnya