NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN PERKAWINAN DAN KUALITAS PERKAWINAN PADA SUAMI ISTRI
Oleh: Ghina Fitria
12320182
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN PERKAWINAN DAN KUALITAS PERKAWINAN SUAMI ISTRI
Ghina Fitria Hepi Wahyuningsih
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan pada pasangan suami istri. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah akan ada hubungan positif antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan pada pasangan suami istri. Subjek dalam penelitian ini adalah 100 orang subjek yang terdiri dari 44 suami dan 56 istri dengan rentang usia 18-63 tahun. Skala yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu skala komitmen perkawinan Sternberg’s Tringular Love Scale (STLS) yang mengacu pada teori Sternberg (1988) dengan nilai α=0,865. Dan skala kualitas perkawinan The Indonesian Moeslim Marital Quality Scale (IMMQS) dari Wahyuningsih (2013) dengan nilai α=0, 772. Metode analisis data dari Spearman. Hasilnya menunjukan ada hubungan positif antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan pada pasangan suami istri (r=0,520).
PENGANTAR
Kualitas perkawinan adalah hal yang sangat penting bagi pasangan suami istri. Karena dengan kualiats perkawinan yang baik maka pasangan suami istri akan merasa bahagia dengan pernikahannya. Pentingnya kepuasan pernikahan ini juga dipertegas oleh Lavenson, Carstensen, dan Gottman (1994) dalam penelitiannya menunjukan bahwa kepuasan bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik. Dengan kata lain, pasangan dari pernikahan yang puas memiliki tingkat kesehatan mental dan fisik lebih baik dari pasangan yang merasa puas dengan pernikahannya.
Kualitas perkawinan dan kepuasan perkawinan merupakan kedua istilah yang mencerminkan hal yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fincham dan Rogge (2010) bahwa istilah kualitas perkawinan, kepuasan perkawinan, penyesuaian perkawinan, keberhasilan perkawinan, dan persahabatan sering digunakan secara bergantian, namun pada kenyataannya istilah tersebut merupakan kualitas dari hubungan.
Meskipun demikian, sejumlah realitas menunjukan bahwa pasangan suami istri yang menikah tidak banyak yang mengalami kualitas perkawinan yang tinggi dalam perkawinannya. Seperti data yang dilansir oleh (DREAM.CO.ID) kementrian agama menemukan temuan meningkatnya perceraian dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Dari dua juta pasangan menikah, sebanyak 15 hingga 20 persennya bercerai, sekitar 300.000 sampai 400.000 pasangan bercerai. Sementara jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia pada 2014 mencapai 382.321 naik sekitar 131.023 kasus
dibandingkan tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus, sementara dalam persentase berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, dalam lima tahun terakhir terjadi kasus gugat cerai mencapai 59 persen hingga 80 persen .
Selain itu, kasus di kota Sukabumi menurut Kementrian Agama pada tahun 2014 kasus perceraian hanya di kisaran 30 hingga 35 kasus setiap bulannya dari 450 pernikahan, namun kini pada tahun 2015 perceraian meningkat rata-rata hingga kisaran 60 kasus tiap bulannya (kemenag.go.id).
Selain masalah perceraian, kualitas perkawinan yang rendah juga ditandai dengan seringnya pasangan suami istri mengalami pertengkaran atau cekcok dalam perkawinannya, karena hal tersebut bisa memicu kepada tindakan kekerasan jika pertengkaran tersebut tidak dapat diatasi. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, sedikitnya ada 8.315 kasus KDRT dalam setahun. Jumlah itu mengalami peningkatan di tahun 2013 yang mencapai 11.719 kasus atau naik 3.404 kasus dari tahun sebelumnya (Sindonews.com).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas perkawinan yaitu terpenuhinya kebutuhan materil akan memberikan kepuasan fisik dan biologis (dan juga memberikan kepuasan psikologis). Kepuasan fisik dan biologis yang terpenuhi, dapat diwujudkan dalam bentuk sadang, pangan dan papan, dan terawatnya kehidupan rumah tangga. Terpenuhinya kebutuhan seksual ditandai dengan kondisi hubungan seksual yang baik dan keharmonisan pasangan dalam rumah tangga. Pemenuhan kebutuhan psikologis untuk mencapai kualitas perkawinan adalah rasa aman, kerjasama, saling pengertian, dapat menerima
perasaan, saling menghormati, saling menghargai, dan adanya komitmen. menurut Saxton (Larasati 2012).
Menurut Weigel (2003) komitmen pada pasangan suami istri ditemui dalam komunikasinya sehari-hari dan motivasi mempertahankan pernikahan, yang kemudian pasangan mengartikan komitmen sebagai kebersamaan, komunikasi, persahabatan, kepercayaan, kesamaan, menepati janji, dan saling memberikan dukungan. Lalu pasangan yang bermaksud melanjutkan hubungannya akan merasa lebih nyaman untuk menginvestasikan sumber dayanya di masa mendatang.
Komitmen adalah bentuk dari adanya kepatuhan pada keputusan yang telah dibuat. Jika individu tidak dapat memelihara komitmen ini, maka dapat dikatakan individu tersebut tidak dapat bertanggungjawab pada keputusan yang telah dibuatnya. Pandangan yang jauh ke depan juga merupakan salah satu faktor dalam membuat suatu komitmen. Jika individu tidak berpikir jauh ke depan sebelum membuat suatu keputusan maka akan mudah bagi seseorang tersebut untuk goyah komitmennya dan merasa tidak cocok dengan keputusan yang telah dibuatnya (A.L. Waterman & S.L. Archer, 1993), dalam hal ini keputusan untuk menikah. Jika komitmen tersebut goyah maka bukan tidak mungkin individu akan mengambil keputusan untuk bercerai.
Sejalan dengan hal di atas, Impett dkk (2008) menyebutkan, bahwa komitmen pernikahan dapat menjaga stabilisasi hubungan, termasuk hubungan pernikahan. Komitmen pernikahan merupakan sejauh mana seorang individu
mengalami orientasi jangka panjang terhadap hubungan, termasuk keinginan untuk mempertahankan hubungan untuk lebih baik atau lebih buruk.
komitmen dalam perkawinan menjadi hal yang sangat penting bagi kelangsungan perkawinan pasangan suami istri, karena jika salah satu dari pasangan suami istri sudah tidak berkomitmen, maka hal yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka adalah komunikasi yang berkurang, tidak ada tanggung jawab seperti suami menafkahi istri atau istri melayani suami, kurangnya waktu untuk bersama, dan yang paling parah bisa terjadi perselingkuhan yang mengakibatkan perceraian pada pasangan suami istri yang akhirnya saling menyakiti satu sama lain. Hal-hal tersebut menjadi faktor rendahnya kualitas perkawinan yang dirasakan oleh pasangan suami istri. Saat ini komitmen perkawinan menjadi sesuatu yang sangat rentan dan nampaknya menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia, karena dilihat dari kasus-kasus perceraian yang semakin meningkat setiap tahunnya begitu pula kasus KDRT. Angka perceraian dan KDRT yang semakin meningkat menunjukan adanya permasalahan-permasalahn dalam pernikahan yang semakin kompleks dan menjadi bukti bahwa tidak tercapainya kualitas perkawinan yang diharapkan oleh pasangan suami istri merupakan masalah yang banyak terjadi saat ini.
METODE PENELITIAN Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini yaitu suami atau istri, berada di Desa Nyalindung Kabupaten Sukabumi, minimal memiliki 1 anak, bersedia menjadi subjek penelitian ini, dan usia antara 18 – 63 tahun.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuantitatif. Metode kuantitatif yaitu metode yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2010). Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Menurut Azwar (2010), kuesioner adalah bentuk instrumen pengumpulan data yang sangat fleksibel dan relatif mudah digunakan serta data yang didapatkan dari kuesioner merupakana data yang dapat dikategorikan sebagai data faktual.
1. Skala Kualitas Perkawinan
Skala kualitas perkawinan dalam penelitian ini menggunakan skala kualitas perkawinan yang dibuat oleh Wahyuningsih (2013). Skala kualitas perkawinan dari Wahyuningsih (2013) mengungkap 3 aspek yaitu persahabatan, kepuasan terhadap anak, dan keharmonisan. Skala kualitas perkawinan terdiri dari 13 aitem. Skala ini menggunakan skala Likert dengan 4 pilihan jawaban dari setiap pernyataan yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skor pada aitem ini yaitu SS=4, S=3, TS=2, STS=1. Kualitas perkawinan subjek dapat dilihat berdasarkan jumlah skor yang diperoleh subjek dari skala ini. Semakin tinggi
skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula kualitas perkawinan subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah pula kualitas perkawinan subjek.
2. Skala Komitmen Perkawinan
Skala komitmen perkawinan dalam penelitian ini menggunakan skala komitmen yang di buat oleh Stenberg (1988), skala komitmen dari Stenberg (1988). Aspek komitmen perkawinan berjumlah 15 aitem , seluruh item pada Tringular Theory of Love ScaleStenberg merupakan aitem favorable. Pada alat ukur aslinya digunakan skala thurstone yang terdiri dari sembilan angka pilihan jawaban, dari pilihan “tidak sama sekali” yang tertulis di bawah angka satu, sampai “sangat” yang tertulis di bawah angka sembilan. Namun untuk kuisioner yang peneliti berikan kepada partisipan, peneliti memodifikasi skala yang ada dengan mengubahnya ke dalam bentul skala likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban saja, yakni STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), S (sesuai), SS (sangat sesuai).
Modifikasi peneliti lakukan berdasarkan penilaian ahli (expert judgement) yang menyatakan bahwa akan lebih mudah bagi partisipan untuk mengisi kuesioner apabila pilihan jawaban yang ditawarkan dipersempit. Disamping itu, modifikasi juga dilakukan karena pada bentuk skala dengan sembilan angka pilihan jawaban, akan sulit bagi partisipan untuk membedakan pilihan jawaban yang jaraknya berdekatan atau tidak terlalu jauh, dan akan sulit pula bagi partisipan untuk mengetahui perbedaan dari angka-angka pilihan jawaban yang tidak ada keterangn tertulis di bawahnya. Setelah partisipan menuliskan
seluruh jawaban, respon partisipan akan dinilai dengan cara menjumlahkan setiap angka pilihan jawaban yang dituliskan oleh partisipan. Untuk mengukur tingkat komitmen, maka yang dijumlahkan hanya item-item yang mewakili komponen komitmen saja.
Hasil Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah suami atau istri dengan total subjek 100 orang. Berdasarkan data yang diperoleh dapat dijelaskan mengenai deskripsi dari subjek penelitian yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1
Deskripsi Subjek Penelitian
Katergori Kelompok Keterangan jumlah persentase
Jenis Kelamin Laki-laki 44 44%
Perempuan 56 56% Usia 18-26 3 3% 27-35 31 31% 36-44 42 42% 45-53 19 19% 54-63 5 5% Pekerjaan Buruh 16 16% Wiraswasta 33 33% PNS 11 11% IRT 40 40% Penghasilan <Rp 1.000.000,00 57 57% >RP 1.000,000,00 43 43%
Berdasarkan data yang diperoleh dari subjek, peneliti menggolongkan subjek dalam lima kategori pada masing-masing variabel yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Berikut ini adalah rumus dari norma kategorisasi:
Tabel 2
Nilai Kategorisasi Persentil
Nilai Persentil Komitmen Perkawinan Kepuasan Perkawinan
20 45,00 39,00
40 47,00 40,00
60 50,00 43,00
80 54,00 45,00
Tabel 3
Rumus Norma Kategorisasi Persentil
Kategorisasi Rentang Nilai
Sangat Rendah X < P20
Rendah P20≤ X < P40
Normal P40≤ X < P60
Tinggi P60≤ X ≤ P80
Sangat Tinggi X > P80
Berdasarkan nilai kategorisasi persentil tersebut, maka subjek penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori pada variabel komitmen perkawinan dan variabel kualitas perkawinan.
a.Tabel 4
Kategorisasi Subjek Pada Variabel Komitmen Perkawina
Variabel Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase
Kualitas X < 45,00 Sangat Rendah 10 10%
Perkawinan 45,00 ≤ X < 47,00 Rendah 28 28%
47,00 ≤ X < 50,00 Sedang 15 15%
50,00 ≤ X ≤ 54,00 Tinggi 29 29%
X > 54,00 Sangat Tinggi 18 18%
b.Tabel 5
Kategorisasi Subjek Pada Variabel Kualitas perkawinan
Variabel Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase
Kualitas X < 39 Sangat Rendah 13 13%
Perkawinan 39,00 ≤ X < 40,00 Rendah 16 16%
40,00 ≤ X < 43,00 Sedang 28 28%
43,00 ≤ X ≤ 45,00 Tinggi 26 26%
X > 45,00 Sangat Tinggi 17 17%
Berdasarkan tabel diatas, menunjukan persentase terbesar dari variabel komitmen perkawinan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 29%. Sementara
itu, pada variabel kualitas perkawinan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 28%.
1. Uji Asumsi
Uji asumsi terdiri dari uji normalitas dan uji linieritas. Uji asumsi dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat normal atau tidaknya sebaran data pada masing-masing variabel penelitian. Nilai dikatakan normal apabila nilai p>0,05. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6
Uji Normalitas
Variabel (p) Keterangan
Komitmen Perkawinan 0,000 Tidak Normal
Kepuasan Perkawinan 0,000 Tidak Normal
Berdasarkan tabel di atas, menunjukan bahwa variabel komitmen perkawinan berdistribusi tidak normal. Variabel komitmen perkawinan memperoleh hasil 0,000 (p < 0,05). Sedangkan untuk variabel kepuasan perkawinan juga memperoleh hasil 0,000 (p < 0,05) yang menunjukan bahwa distribusi tidak normal.
b. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan memiliki hubungan yang linear. Hubungan antara kedua variabel dikatakan linear apabila p < 0,05 sedangkan dapat dikatakan tidak linear apabila kedua variabel memiliki nilai p > 0,05.
Tabel 7 Uji Linearitas Variabel Koefisien Linearitas (F) (P) Keterangan Komitmen Perkawinan
dan Kepuasan Perkawinan 38,858 0,000 Linear
Berdasarkan tabel 12, di dapatkan hasil p = 0,000 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukan bahwa variabel pada penelitian ini memiliki hubungan yang linear. 2. Uji Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah akan ada hubungan positif antara komitmen perkawinan dan kepuasan perkawinan pada suami istri. Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi dari Spearman karena sebaran distribusi data penelitian tidak normal. Kedua varriabel dikatakan berhubungan jika p < 0,05. Hasil uji hipotesis dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:
Tabel 8 Uji Hipotesis
Variabel R r2 (P)
Komitmen perkawinan
dan Kualitas Perkawinan 0,520 0,270 0,000
Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan menunjukan bahwa ada hubungan positif antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan pada pasangan suami istri. Hal ini dilihat dari hasil p=0,000, sehingga p < 0,05 menunjukan bahwa hipotesis yang diajukan diterima. hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan pada pasangan suami istri.
Setelah melakukan uji hipotesis dan diperoleh hasil yang menujukan bahwa adanya hubungan antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan, selanjutnya Peneliti menggunakan analisis tambahan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara kualitas perkawinan ditinjau dari perbedaan jenis kelamin. Hasil analisis yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 9
Hasil analisis tambahan korelasi antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan berdasarkan data demografi
Variabel r r2 (p)
Pada responden laki-laki 0,595 0,354 0,000
Pada responden perempuan 0,477 0,227 0,000
Usia di bawah 40 tahun 0,671 0,450 0,000
Usia di atas 40 tahun 0,432 0,186 0,001
Tabel di atas menunjukan peran komitmen perkawinan terhadap kualitas perkawinan bervariasi menurut faktor genderdan usia responden. r2=0,354 pada laki-laki dan r2=0,227 pada perempuan, yang menunjukan bahwa laki-laki lebih perlu untuk berkomitmen daripada perempuan. Sedangkan hasil analisis yang dilakukan berdasarkan perbedaan usia menunjukan adanya perbedaan tingkat komitmen berdasarkan kategori usia di bawah 40 tahun dan di atas 40 tahun. Hal ini dilihat dari hasil r2=0,450 pada kategori usia di bawah 40 tahun dan r2=0,186 pada kategori usia di atas 40 tahun, yang menunjukan bahwa pada kategori usia di bawah 40 tahun lebih perlu untuk berkomitmen daripada kategori usia di atas 40 tahun.
Pembahasan
Dalam penelitian ini diajukan hipotesis akan ada hubungan positif antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan. Uji hipotesis menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan sehingga hipotesisnya diterima, yang membuktikan bahwa ada korelasi yang artinya semakin tinggi komitmen perkawinan maka semakin tinggi juga kualitas perkawinan yang dirasakan oleh pasangan suami istri.
Dengan diterimanya hipotesis dalam penelitian ini, maka bisa diketahui bahwa komitmen perkawinan berhubungan positif dengan kualitas perkawinan. Dengan adanya komitmen perkawinan yang tinggi maka seseorang akan merasakan kualitas perkawinan yang tinggi pula.
Menurut Wieselquist (Wulandarai, 2014) komitmen perkawinan sudah lama dikenal sebagai faktor yang signifikan dalam perkembangan dan stabilitas yang berkelanjutan dalam sebuah perkawinan. Riset menyatakan bahwa komitmen dalam hubungan dekat merupakan prediktor penting dari sejumlah variabel yang menggambarkan aspek positif dalam hubungan personal. Pasangan yang tingkat komitmennya tinggi cendrung lebih baik hati dan suka menolong satu sama lain.
Dilihat dari kategorisasi subjek penelitian dapat dilihat bahwa hasil penelitian menemukan 28% atau 28 orang dari 100 subjek memiliki tingkat kualitas perkawinan dalam kategori sedang. Sedangkan 26% atau 26 orang memiliki tingkat kualitas perkawinan yang sangat tinggi, 17% atau 17 orang memiliki tingkat kualitas perkawinan yang sangat tinggi. Sisanya, 16% atau 16
orang memiliki kualitas perkawinan yang rendah, dan 13% atau 13 orang memiliki tingkat kualitas perkawinan yang sangat rendah. Data tersebut menunjukan bahwa tingkat kualitas perkawinan di Desa Nyalindung Kabupaten Sukabumi sebagian besar berada pada kategori sedang.
Kemudian penelitian juga melakukan analisis tambahan untuk melihat perbedaan komitmen perkawinan ditinjau dari jenis kelamin dan usia. Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa ada perbedaan tingkat komitmen pada kualitas perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dilihat dari hasil r2=0,354 pada laki-laki dan r2=0,227 pada perempuan, yang menunjukan bahwa laki-laki lebih perlu untuk berkomitmen daripada perempuan. Sedangkan hasil analisis yang dilakukan berdasarkan perbedaan usia menunjukan adanya perbedaan tingkat komitmen berdasarkan kategori usia di bawah 40 tahun dan di atas 40 tahun. Hal ini dilihat dari hasil r2=0,450 pada kategori usia di bawah 40 tahun dan r2=0,186 pada kategori usia di atas 40 tahun, yang menunjukan bahwa pada kategori usia di bawah 40 tahun lebih perlu untuk berkomitmen daripada kategori usia di atas 40 tahun.
Kemudian, hasil penelitian ini menunjukan bahwa komitmen terbukti tinggi pada perkawinan yang usianya singkat, memiliki perbedaan dengan teori yang dikemukakan oleh Sternberg (1986), dimana dinyatakan bahwa pada hubungan yang masih terjalin sebentar, komitmennya masih rendah. Perbedaan hasil penelitian dengan teori ini mengindikasikan bahwa saat ini, suami atau istri yang baru menikah telah menumbuhkan komitmennya dengan kesetiaan hanya mencintai pasangannya.
Papalia, Olson, Feldman (2007) yang menyatakan bahwa kepuasan pernikahan juga di pengaruhi oleh faktor usia, menurut teori perkembangan Santrock (1995) usia 20-40 tahun tergolong dewasa muda (young), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition). Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting. Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan. Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya sehingga komitmen sangan dibutuhkan pada usia ini.
Meskipun dalam uji hipotesis penelitian ini menunjukan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian ini memiliki banyak kekurangan. Dalam skala komitmen perkawinan dan kualitas perkawinan terdapat item-item yang bersifat personal, sehingga subjek enggan menjawab sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dialami, karena takut kerahasiaannya diketahui oleh orang lain atau karena ingin terlihat kehidupan perkawinannya baik-baik saja. Kedua, skala
diisi tanpa adanya pengawasaan langsung dari peneliti, karena skala ditinggal dan diambil pada hari berikutnya.
Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian yang dilakukan, penelitian mengajukan saran berdasarkan hasil yang diperoleh, sebagai berikut:
1. Bagi Subjek Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pentingnya komitmen dalam perkawinan karena dengan komitmen suami maupun istri akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahannya. Karena suami ataupun istri akan peduli terhadap pasangannya, bertanggung jawab, saling percaya, dan tidak akan membiarkan ada orang lain merusak hubungan mereka.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian selanjutnya disarankan untuk lebih memperhatikan faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, seperti pemilihan subjek penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2010). Metode penelitian (edisi 4). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Fishman FD and Rogge R (2010) Understanding relationship quality: Theoretical challenges and new tools for assessment. Journal of Family Theory & Review 2: 227-242.
Larasati A. (2012) Kepuasan perkawinan pada istri ditinjau dari keterlibatan suami dalam menghadapi tuntutan ekonomi dan pembagian peran dalam rumah tangga. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Vol 1, No. 03, Desember
Lavenson, R. W., Carstensen, L.L., & Gottman, J.M (1994). The influence of age and gander on affect, phsychology, and their interrelations: A study of long-term marriages. Journal of Personality and Social Psychology, 67, 56-68.
Monks, F. J., Knoers, A.M.P & Hadinoto S.R. 2001. Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Papalia, D.E. and Olds, S.W. and Feldman, R.D., (2007). Human development. Tenth edition. New York : McGraw – Hill International Edition.
Santrock, W. J., 1995. Life span development.Jilid 1 Edisi ke 5. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Sternberg, R. J., (1986). A tringular theory of love. Psychologycal Review, 93, 119-135.
Sternberg, R. J., (1988). The triangle of love: intimacy, passion, commitment. New York: Basic Book, Inc.
Wahyuningsih H. (2013). The Indonesian moeslim marital quality scale: Development. validation, and realibility, publisher at Osaka, japan
Wulandari, D.A. (2014). Komitmen pada perkawinan ditinjau dari kepuasan dalam perkawinan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP. Purwokerto, 6 September
http://www.dream.co.id/news/angka-perceraian-meningkat-lima-tahun-terakhir-1601200.html.diunduh 05-26-2016 jam 11:55 WIB
http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/awas-angka-perceraian-di-kota-sukabumi-meningkat-tajam#. diunduh 05-26-2016 jam 12:18 WIB
http://daerah.sindonews.com/read/919676/22/angka-kdrt-di-indonesia-meningkat-ini-sebabnya-1415099048. Diunduh 06-02-2016 jam 21:45 WIB