• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pembuktian Terhadap Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana ( Putusan Pengadilan Negeri No.1359 PID.B 2014 PN.JKT.PST)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Pembuktian Terhadap Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana ( Putusan Pengadilan Negeri No.1359 PID.B 2014 PN.JKT.PST)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERANAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

BERENCANA DAN PENGANIAYAAN BERENCANA

A. Pengaturan Mengenai Pembunuhan Berencana dan Penganiayaan

Berencana dalam KUHP

1. Pengaturan Mengenai Pembunuhan Berencana dalam KUHP

Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan objek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu : (1) atas dasar unsur kesalahannya dan (2) atas dasar objeknya (nyawa). Atas dasar kesalahannya ada 2 kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah :

a. Kejahaatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338 s/d 350.

b. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven), dimuat dalam Bab XXI (khusus pasal 359).

Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 macam, yakni:

(2)

b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam pasal 341,342,dan 343.

c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam pasal 346,347,348 dan 349.32

Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan terhadap nyawa merupakan suatu tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang sebagai perbuatan yang anti sosial atau suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menyebabkan hilangnya kehidupan manusia (mati), sehingga tidak dapat melaksanakan aktivitas sebagaimana manusia normal yang hidup.

KUHP menjelaskan mengenai kejahatan terhadap nyawa dirumuskan dalam Bab XIX secara lengkap. Kejahatan terhadap nyawa dirumuskan melalui tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Perbuatan dan niat menggolongkan tindak pidana pembunhan kedalam tindak pidana tertentu, maksudnya mengenai tindak pidana pembunuhan telah dibagi berdasarkan perbuatan dan niat bagi pelaku kejahatan dalam menjalankan aksinya.

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu dalam KUHP yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain tersebut.33

Istilah "pembunuhan berencana" pertama kali dipakai dalam pengadilan pada tahun 1963, pada sidang Mark Richardson, yang dituduh membunuh

32Ibid., hlm. 55-56

33P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan

(3)

istrinya. Pada sidang itu diketahui bahwa Richardson berencana membunuh istrinya selama tiga tahun.

Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam pasal 340 yang rumusannya adalah : “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.34

Rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur : a. Unsur Subyektif :

Dengan Sengaja dan Dengan rencana terlebih dahulu b. Unsur Obyektif:

Perbuatan yaitu menghilangkan nyawa orang lain. Dan yang menjadi objeknya adalah nyawa orang lain.

Pasal 340 dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam pasal 338, kemudian ditambah dengan satu unsur lagi yakni “dengan rencana terlebih dahulu”. Oleh karena dalam pasal 340 mengulang lagi seluruh

unsur pasal 338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri (een zelfstanding misdrijf) lepas dan lain dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (338).

34Himpunan Peraturan Perundang-undangan KUHAP & KUHP (Jakarta: Fokusmedia,

(4)

Apalagi pembunuhan berencana itu dimaksdukan oleh pembuntuk dari UU sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, seharusnya tidak dirumuskan dengan cara demikian , melainkan dalam pasal 340 itu cukup disebut sebagai pembunuhan saja, tidak perlu menyebut seluruh unsur pasal 338 lagi. Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya, mengandung 3 unsur, yaitu :

a. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.

b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.

c. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.35

Pembunuhan berencana merupakan pemberatan dari pembunuhan biasa yang diatur dalam pasal 338 KUHP. Dimana yang membedakannya adalah adanya unsur “direncanakan terlebih dahulu”. Pembunuhan berencana diatur dalam pasal 340 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :

Terhadap isi dari pasal 340 KUHP diatas, R.Soesilo dalam bukunya memberikan sedikit penjelasan dalam bukunya yaitu kejahatan ini dinamakan sebagai pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (moord). Boleh dikatakan bahwa ini adalah suatu pembunuhan biasa (doodslag) dalam pasal 338 KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.

Direncanakan lebih dahulu (voorbedacbte rade) = antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah

35Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh (Jakarta: Raja Grafindo,

(5)

pembunuhan itu akan dilakukan. Tempo ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah didalam tempo itu si pembuat dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan. Pembunuhan dengan mempergunakan racun hampir semua merupakan “moord”.36

Menurut memori penjelasan, untuk “berencana” diisyaratkan “saat untuk

menimbang dengan tenang dan berpikir secara mantap”. Untuk itu, dianggap cukup kalau pembuat sebelum melaksanakan kejahatan mempunyai waktu untuk mempertimbangkan apa yang hendak dilakukannya. Juga, adanya bagian subyektif ini, sering kali disimpulkan oleh hakim dari “keadaan objektif”

kejadian. Demikian Hoge Raad. Membenarkan konklusi dari Pengadilan Tinggi Den Haag mengenai rencan terlebih dahulu yang dianggap terbukti, yaitu “Karena

beberapa hari sebelumnya, ketika banyak pemuda menjalani milisi, terdakwa mengenakan pakaian seragam, pada hari pembunuhan menggunakan kacamata gelap, dan dengan alasan palsu membujuk korban untuk keluar dari rumahnya.

Rencana terlebih dahulu itu mendahului pelaksanaan perbuatan, jadi mendahului perbuatan dengan sengaja. Ciri “menimbang dengan tenang dan berpikir secara mantap” tidak sesuai dengan kenyataan. Ketenangan dan

kemantapan itu sering tidak besar. Selain itu, yang menjadi persoalan tidak begitu mengenai keadaan kebatinan, tetapi mengenai persiapan. Apa yang membedakan pembunuhan berencana dari pembunuhan biasa adalah adanya suatu perencanaan,

36R.Soesilo. KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal

(6)

persiapan, pemilihan waktu yang tepat, dan pemandangan yang rendah terhadap nyawa orang lain.37

2. Pengaturan Mengenai Penganiayaan Berencana Dalam KUHP

Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen bet liff) ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada 2 macam, ialah :

1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebgai penganiayaan (mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 s/d 358.

2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.38

Kejahatan terhadap tubuh dalam KUHP hal ini disebut dengan “penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut.

Ilmu pengetahuan (doktrine) mengartikan penganiayaan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain

Jelaslah bahwa kata penganiayaan tidak menunjuk pada perbuatan tertentu, misalnya kata mengambil dalam pencurian. Maka dapat dikatakan bahwa kini pun tampak pada perumusan secara material. Akan tetapi, tampak secara jelas

37 D. Schaffmeister, Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 96. 38

(7)

apa wujud akibat yang harus disebabkan. Menurut penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan pasal 351 KUHP dirumuskan antara lain:

1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain;

2. Setiap perbuatan yang dilakukan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain. Dengan demikian, unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud tujuan (oogmerk), tidak seperti unsur kesengajaan dari pembunuhan.39

Berdasarkan unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada 2 macam yaitu kejahatan terhadap tubuh dengan sengaja dan kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian. Berikut dibawah ini adalah penjabaran mengenai penggolongan disertai mengenai penjelasan dari kejahatan terhadap tubuh.

KUHP mengatur mengenai tindak pidana penganiayaan yang disengaja dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:

a. Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP. b. Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP. c. Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP. d. Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP.

e. Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP.

f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu.

39http://wwwqolbu27.blogspot.co.id/2010/06/tindak-pidana-terhadap-tubuh.html.

(8)

Penganiayaan berencana diatur dalam Pasal 353, mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai berikut:

1. Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun;

2. Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidan penjara paling lama 7 tahun;

3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Ada 3 macam penganiayaan berencana, yakni :

1. Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian; 2. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat;

3. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian

Kejahatan yang dirumuskan pasal 353 dalam praktik hukum diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berencana, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voorbedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan. Direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah bentuk khusus dari kesengajaan (opzettelijk) dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subyektif dan yang juga terdapat pada pembunuhan berencana.40

Ada persamaan dan perbedaan antara penganiayaan biasa bentuk a (351 ayat 1) dengan penganiayaan berencana bentuk a. Persamaannya, ialah pada kedua penganiayaan :

40

(9)

1. Masing-masing tidak mengakibatkan luka berat atau kematian

2. Memiliki kesengajaan yang sama terhadap perbuatan beserta akibatnya, maksudnya baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan berupa rasa sakit tubuh orang lain sama diinginkan petindak

3. Bila mengakibatkan luka, haruslah berupa bukan luka berat (dalam arti luka ringan sebagai kebalikan dari luka berat).

4. Sama berlaku faktor yang memperberat pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 356

Sedangkan perbedaannya adalah, bahwa pada penganiayaan biasa bentuk : 1. Tidak terdapat unsur direncanakan lebih dahulu.

2. Dapat terjadi pada penganiayaan ringan, yakni bila penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.

3. Dipandang sebagai bentuk pokok/standar dari penganiayaan. 4. Percobaannya tidak dapat dipidana.

Sedangkan penganiayaan berencana bentuk a adalah :

1. Adanya faktor pemberat pidana berupa direncanakan lebih dulu ;

2. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan ringan, karena pasal 353 disebut sebagai perkecualian dari penganiayaan ringan ;

3. Dipandang sebagai penganiayaan yang dikualifisir (gequalificeerde mishandeling) ;

(10)

Pada penganiayaan berencana bentuk b dan c, (sama pula halnya dengan penganiayaan biasa bentuk b dan c), penganiayaan berencana itu menimbulkan akibat luka berat dan kematian. Akibat luka berat dan kematian adalah faktor/alas an pemberat pidana yang bersifat obyektif

Kesengajaan petindak tidak ditunjukkan pada akibat luka berat dan atau kematian, sebab apabila akibat luka berat yang dikehendaki, maka bukan penganiayaan yang berencana yang menimbulkan luka berat (ayat 2) yang terjadi, akan tetapi penganiayaan berat berencana (355). Apabila kesengajaan ditujukan pada akibat kematian, maka bukan penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian (ayat 3) yang terjadi, tetapi pembunuhan berencana (340).

Perbedaan antara penganiayaan biasa bentuk b dan c dengan penganiayaan berencana bentuk b dan c lainnya, pada dasarnya adalah sama dengan perbedaan antara penganiayaan biasa bentuk a dengan penganiayaan berencana bentuk a yang sudah disinggung dibagian muka, dengan tambahan bahwa faktor pemberat pidana pada penganiayaan biasa bentuk b dan c hanyalah pada akibat perbuatan (luka berat dan atau kematian) saja, akan tetapi pada penganiayaan berencana bentuk b dan c selain pada akibat (luka berat dan atau kematian, faktor obyektif), juga pada faktor direncanakan terlebih dahulu. Ada alasan pemberat pidana pada penganiayaan, yakni akibat perbuatan berupa luka berat (ayat 2) dan kematian ayat (3).41

41

(11)

3. Perbedaan Antara Pembunuhan Berencana dan Penganiayaan Berencana Dalam hal ini penulis akan membahas lebih mendalam mengenai pembunuhan berencana dan penganiayaan berencana secara khusus. Mengenai perbedaan antara pembunuhan berencana dan penganiayaan berencana yang berakibat kematian memiliki perbedaan yang sulit untuk dibedakan, dikarenakan tidak adanya suatu rumusan yang sangat jelas dalam membedakan kedua hal tersebut.

Mengenai perbedaan antara kejahatan terhadap nyawa dan kejahatan terhadap tubuh dalam prakteknya, terdapat sedikit kerumitan dalam penerapan perbedaan keduanya, terutama pada pembunuhan berencana dan juga penganiayaan yang berakibat pada kematian yang telah direncanakan terlebih dahulu. Karena pada dasarnya ada akibat dari tindakan tersebut yaitu hilangnya nyawa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan dari pelaku. Sehingga perlu dibuktikan terlebih dahulu mengenai makna berencana yang terkandung dalam pembunuhan berencana serta penganiayaan berat dan berencana. Kemudian harus dibuktikan kembali niat awal dari pelaku kejahatan, hal tersebut dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku.

Serta perlu dikaji mengenai pembuatan surat dakwaan. Jenis tindak pidana yang dalam frekuensi menyusul adalah tindak pidana mengenai tubuh dan nyawa orang, yaitu terutama penganiayaan dan pembunuhan. Kedua macam tindak pidana ini sangat erat hubungannya.42

42

(12)

Perbedaan antara Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian dengan Tindak Pidana Pembunuhan adalah terletak pada unsur-unsurnya. Adapun yang menjadi unsur penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah:

1. Unsur Kesengajaan

Hukum pidana akan melihat unsur kesengajaan berdasarkan kasus perkasus (animus ad se omne jus ducit). Terkadang, kesengajaan lebih diperhitungkan dibandingkan dengan kejadiaannya atau fakta yang sesungguhnya (in maleficiis voluntas spectator, non exitus). Dalam konteks ini, penting kiranya kita memahami jenis-jenis kesengajaan yang akan diulas sebagai berikut :

a. Kesengajaan Sebagai Maksud.

Kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk adalah kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan. Artinya, antara motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar terwujud. b. Kesengajaan Sebagai Kepastian

Berbeda dengan kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn) adalah kesengajaan yang menimbulkan dua akibat. Akibat pertama dikehendaki oleh pelaku, sedangkan akibat kedua, tidak dikehendaki oleh pelaku, sedangkan akibat kedua, tidak dikehendaki namun pasti atau harus terjadi.

c. Kesengajaan Sebagai Kemungkinan

(13)

terjadilah kesengajaan dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan atau (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn).43

Tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sebagai sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan.

Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa ogmerk), maka seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan kepada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh.

Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud , namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan44. Hal ini pernah dilakukan Hooge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934 , yang menyatakan :

“Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk

43 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka,

2014), hlm. 136-137.

44Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan

(14)

melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi”.45

Bertolak dari Arrest Hoge Raad diatas tersimpul, bahwa kemungkinan terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pelaku tetapi tidak dilakukannya sehingga karena perbuatan yang dilakukannya itu menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya, tetapi ia tetap dianggap melakukan penganiayaan atas pertimbangan, bahwa mestinya ia sadar bahwa perbuatan yang dilakuaknnya itu sangat mungkin akan menimbulkan rasa sakit.

Namun demikian, penganiayaan itu dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan , tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, sengaja sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah merupakan tujuan dari si pelaku kejahatan tersebut.

2. Unsur Perbuatan

Yang dimaksud sebagai perbuatan dalam penganiayaan adalah suatu perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya

45

(15)

penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya.

Dalam hal melakukan suatu perbuatan dalam hal ini, haruslah dilihat bahwa, walaupun disadari bahwa perbuatan yang sengaja dilakukan, menimbulkan rasa sakit ataupun luka, tetapi bila bukan itu yang menjadi tujuannya melainkan sebagai sarana yang patut, maka disini tidak ada penganiayaan. Dengan demikian pada perbuatan yang yang mengandung tujuan lain yang patut itu menjadi kehilangan sifat terlarangnya (melawan hukum), dengan karenanya tidak dipidana.46

3. Akibat perbuatan yang dituju, berupa rasa sakit atau luka pada tubuh

Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderiataan. Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya suatu perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misanya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh. Dalam hal ini kematian dapat terjadi, namun kematian bukanlah menjadi tujuan dari pelaku, dimana kematian menjadi suatu hal yang tidak dikehendaki oleh pembuat tindak pidana tersebut. Kematian akibat perbuatan pelaku hanya sebagai pemberat dalam pemberian hukuman bagi pelaku. Karena apabila kematian yang menjadi salah satu tujuan pelaku, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai

46

(16)

penganiayaan melainkan pembunuhan.47

4. Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya

Unsur ini mengandung pengertian bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelaku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku.

Apabila akibat yang berupa rasa sakit atatu luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan. Dalam praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa yang menjadi ukuran atau kriteria dari tujuan yang patut itu? Persoalan itu mudah dijawab, sebab tidak ada ukuran atau kriteria umum baku yang dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang bersifat yang secara umum dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria patut atau tidak patut itu diserahkan pada akal pikiran dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, sifatnya sangat kasuistis dan tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat setempat.

Muncul suatu pertanyaan yaitu siapakah yang berhak menentukan mengenai perihal suatu perbuatan, dari sudut akal pikiran dan kebiasaan yang wajar dalam masyarakat sebagai mempunyai tujuan yang patut ataukah tidak patut dalam arti sudah dipandang sebagai suatu perbuatan yang berlebihan? Maka

47

(17)

jawabannya bukanlah korban maupun pelaku, melainkan hakim itu sendiri. Akal pikiran hakim harus mampu menangkap secara baik nilai-nilai kewajaran dalam masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan seperti itu.48

Melihat dari uraian diatas maka telah diketahuilah mengenai unsur-unsur dalam penganiayaan. Kemudian perlu lah untuk menjelaskan unsur dari Pembunuhan Berencana, sebagai berikut :

1) Unsur Subjektif : Dengan sengaja; Dengan rencana terlebih dahulu 2) Unsur Objektif : Perbuatan yang diwujudkan dengan menghilangkan

nyawa orang lain, sedangkan objeknya adalah nyawa orang lain .

Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti pasal 338 ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Lebih berat ancaman pidana pada pembunuhan berencana, jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam pasal 338 maupun 339, diletakkan pada adanya unsur dengan rencana lebih dahulu itu.

Pasal 340 dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam pasal 338, kemudian ditambah dengan satu unsur lagi yakni “dengan rencan terlebih dahulu”. Oleh karena dalam pasal 340 mengulang lagi seluruh

pasal 338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri, lepas dan lain dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (338).

Apalagi pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk UU sebagai bentuk pembunuhan khusus yang memberatkan, seharusnya tidak

48

(18)

dirumuskan dengan cara demikian, melainkan dalam pasal 340 itu cukup disebut sebagai pembunuhan saja, tidak perlu lagi mengulang seluruh unsur pasal 338. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa merumuskan pasal 340 dengan cara demikian, pembentuk UU sengaja melakukannya dengan maksud sebagai kejahatan yang berdiri sendiri.49

Terdapat perbedaaan mengenai maksud dari penggunaan istilah dengan “rencana terlebih dahulu” dalam pasal 340 dan pasal 353 KUHP. Penggunaan kata “voorbedachte raad” yang telah dibicarakan dalam pasal 351 ayat (1) KUHP

itu mempunyai kedudukan yang “tidak sama” dengan “voorbedachte raad

didalam pasal 340 KUHP. Jika didalam rumusan pasal 340 KUHP, “voorbedachte raad” itu ‘merupakan unsur” dari tindak pidana “moord”, maka didalam rumusan

pasal 353 ayat (1) KUHP “voorbedachte raad” “bukan merupakan unsur”dari

tindak pidana “penganiayaan” melakinkan ia hanya merupakan suatau “keadaaan yang memberatkan pidana” (strafverzwaarende omstandigheid) dari tindak pidana

pidana penganiayaan seperti yang dimaksud dalam pasal 351 KUHP.

Pengetahuan mengenai perbedaan kedudukan dari “voorbedachte raad” di

dalam rumusan pasal 340 KUHP dengan ini dalam rumusan pasal 353 ayat (1) KUHP itu sangat penting, yakni berkenaan dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 58 KUHP. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai perbedaan antara unsur berencana dalam pasal 340 KUHP dan 353 KUHP maka, dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Voorbedachte raad dalam rumusan ketentuan pidana seperti yang diatur

49

(19)

dalam pasal 340 itu merupakan suatu “keadaan pribadi yang membuat pelakunya dapat dipidana” (karena telah melakukan suatu moord) atau

yang di dalam bahasa Belanda juga disebut sebagai “persoonlijke omstandigheid die de straftbaarheid bepaalt”. Ini berarti bahwa yang

dapat dipersalahkan telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu (met voorbedachte raad) itu bukan hanya dadernya

(pelakunya) saja, melainkan juga orang yang telah “membantu” (madeplichtige) dan orang yang “turut melakukan” (mededader) tindak

pidana yang bersangkutan tanpa mereka itu harus ikut merencanakan lebih dulu tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu tersebut.

b. Voorbedachte raad dalam rumusan ketentuan pidana seperti yang dimaksud dalam pasal 353 KUHP itu merupakan suatu “keadaan pribadi yang memperberat pidana” yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya atau

yang di dalam bahasa Belanda juga disebut sebagai strafverhogende omstandigheid, hingga sesuai dengan dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 58 KUHP tersebut diatas itu, yang dapat dipersalahkan telah melakukan penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu “hanyalah pelakunya sendiri”, atau dalam hal penganiayaan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan dengan “mendapat bantuan” dari orang lain, maka orang lain “yang membantu” (medeplichtige) melakukan itu juga dapat

(20)

“dengan direncanakan terlebih dahulu”50 .

Mengetahui perbedaan arti kata yang dimaksud dalam “direncanakan terlebih dahulu” dalam Pasal 340 KUHP dan Pasal 353 KUHP, memunculkan

kembali hal lain mengenai perbedaan diantara pasal 340 serta 353 KUHP, yakni mengenai bisa atau tidaknya seorang “mededader” (orang yang turut melakukan)

diberi suatu hukuman pidana. Untuk memudahkan menemukan perbedaannya, maka akan dijabarkan sebagai berikut :

A. Untuk dapat mempersalahkan seseorang yang telah “turut melakukan” (medeplegen) tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu atau untuk dapat mendakwa orang tersebut sebagai “mededader

(orang yang turut melakukan) dalam tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan itu, orang tersebut tidak perlu harus ikut merencanakan tindak pidana yang bersangkutan. Jika orang itu ternyata telah “turut melakukan” suatu pembunuhan yang telah direncanakan lebih dulu oleh

seorang atau lebih dari seorang pelaku yang lain, maka ia dapat didakwa telah “turut melakukan” suatu tindak pidana pembunuhan dengan

direncanakan lebih dulu atau dapat dituntut karena melanggar ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 55 ayat (1) angka 1 juncto pasal 340 KUHP.51

B. Sedangkan untuk dapat mempersalahkan seseorang “telah turut

melakukan” (medeplegen) tindak pidana “penganiayaan dengan

50P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan

Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan (Bandung: Binacipta, 1986), hlm.127-128.

51

(21)

direncanakan lebih dulu”, atau untuk dapat mendakwa orang tersebut sebagai “mededader” dalam suatu tindak pidana “penganiayaan dengan direncanakan lebih dulu” itu, orang tersebut “harus turut merencanakan”

tindak pidana penganiayaan itu sendiri. Tentunya hal ini dikarenakan kesesuaiaan dengan Pasal 58 KUHP bahwa voorbedachte raad dalam penganiayaan berencana adalah keadaan pribadi yang memberatkan pidana. Voorbedachte raad itu hanya berlaku bagi pelakunya sendiri seperti yang ditentukan dalam pasal 353 KUHP. Ini berarti bahwa agar orang lain yang “turut melakukan” penganiayaan seperti yang dimaksud

dalam pasal 353 KUHP itu dapat dipidana dengan pidana-pidana yang ditentukan di dalamnya, maka dengan sendirinya ia harus “ikut merencanakan” tindak pidana yang bersangkutan52

.

B. Peranan Pembuktian Dalam Mengarahakan Putusan Hakim Dalam

Tindak Pidana Pembunuhan dan Penganiayaan Berencana

1. Ketentuan umum mengenai pembuktian

Mengenai perbedaaan antara Pembunuhan Berencana dan juga Penganiayaan Berencana belum memiliki hal yang menjadi pembeda yang jelas, karena adanya kerumitan dalam menentukan tujuan awal dari pelaku kejahatan tersebut. Dikarenakan akibat daripada dua jenis kejahatan ini adalah matinya korban. Sehingga harus dibuktikan jika niat dari si pelaku adalah membunuh sejak awal atau hanya menganiayalah yang menjadi tujuan awalnya, sehingga kematian

52

(22)

bukanlah hal yang dikehendaki namun terjadi. Untuk itulah dibutuhkan suatu pembuktian di dalam persidangan yang dapat merujuk kepada niat daripada terdakwa, melalui alat-alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum atau Penasehat Hukum terdakwa. Sehingga melalui bukti-bukti yang ditampilkan dalam persidangan semua orang dapat melihat mengenai sudah tepatkah dakwaan Jaksa dan apakah sudah tepatkah putusan Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

Untuk memperoleh suatu kebenaran atas suatu peristiwa yang terjadi diperlukan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan ukuran dan pemikiran yang layak dan rasional. Kegiatan pembuktian dalam hukum acara pidana pada dasarnya diharapkan untuk memperoleh kebenaran, yakni kebenaran dalam batasan-batasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak karena kebenaran yang mutlak yanhg sukar untuk diperoleh. Pembuktian dalam hukum acara pidana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Menurut Bambang Poernomo tentang pembuktian adalah :

“Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana”.

(23)

membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.53

Mengenai pembuktian ini penting sekali untuk diketahui oleh karena tugas utama dari hukum pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya tentang :

a. Perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh si terdakwa.

b. Apakah si terdakwa bersalah atau tidak dan lain daripada itu adalah mencari bukti-bukti.

Pada hakekatnya kepentingan mencari bukti-bukti ini terletak pada :54 a. Tingkat pengusutan (opsporing)

Pada tingkat ini dicari dulu bahan-bahan bukti setelah terkumpul semua bahan-bahan bukti tadi lalu menuju kepada :

b. Tingkat Penuntutan (vervolging)

Pada tingkat ini akan akan menentukan pada : c. Pemeriksaan disidang (berechting)

Ketiga tingkat diatas adalah berdasarkan pembuktian semua, karena itu soal pembuktian merupakan hal yang penting. Mengenai istilah “pembuktian” atau “bewijs” dapat digunakan dalam beberapa arti sebagai berikut:

a. Sebagai Kata Kerja :

Mencari dan mendapat kebenaran selengkap-lengkapnya, apakah suatu tindak pidana dilakukan dan siapa yang melakukannya

b. Sebagai Kata Benda :

53 Rusli Muhammad. Hukum Acara Pidana Kontemporer (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2007), hlm 185

54

(24)

Artinya ialah hasil dari mencari kebenaran tentang sesuatu hal.

c. Juga dapat digunakan dalam susunan kata yang bersangkut erat pada : 1) Bewijs theorie atau bewijsleer (aliran tentang pembuktian)

2) Bewijs-middel (daya upaya pembuktian), yang dapat diartikan sebagai berikut :

a) Keterangan saksi b) Pengakuan Terdakwa c) Surat-surat

d) Petunjuk-petunjuk (aanwijzingen) d. Bewijsvoering

Adalah cara menyampaikan alat pembuktian pada hakim pada sidang pengadilan

e. Bewijsgronden

Adalah dasar-dasar dari pembuktian, artinya dalam putusan hakim harus disebut-sebut dasar-dasar pembuktiannya.

f. Bewijskracht

Adalah kekuatan pembuktian daripada alat-alat pembuktian. 55

Dalam hal tersebut pembuktian di persidangan melalui alat bukti yang diajukan oleh Penuntut umum lah yang harus dapat membuktikan bahwasanya dari bukti-bukti yang ada tergambar jelas bahwa hal tersebut merupakan pembunuhan berencana ataukah penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian. Dalam sistem Peradilan di Indonesia dikenal salah satu asas umum

55

(25)

peradilan Indonesia yaitu yang dikenal sebagai “Asas Praduga Tak bersalah

(persumption of innocence)” yang dirumuskan dalam butir c penjelasan umum KUHAP.

Tersangka/Terdakwa dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya. “Kesalahan”

tersangka/terdakwa berdasarkan pendapat pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebgai berikut :

“Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”

“Pendapat pengadilan” yang tercantum dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP,

berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut.

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali bila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”56

Kata-kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” diperoleh berdarkan pemeriksaan di pengadilan, sedang pemeriksaan di persidangan didasarkan atas surat dakwaan yang dirumuskan Penuntut Umum yang dilimpahkan ke Pengadilan. Hal diatas berdasarkan ketentuan dalam Pasal 143 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :

56 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),

(26)

“Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan

permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.

Dalam persidangan harus ada hal-hal yang dibuktikan oleh Jaksa Penuntut umum dalam persidangan untuk memberikan keyakinan tambahan kepada hakim untuk mengambil keputusan yang tepat. Disamping hal tersebut ternyata ada hal-hal yang tidak perlu dibuktikan. Hal ini tercantum dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang tercantum sebagai berikut :

“ Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan “

Mengenai hal tersebut Mr. H.H Tirtaamidjaja menjelaskan hal ini sebagi berikut :

“ Peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang telah diketahui umum

tidak memerlukan pembuktian, hal itu bukanlah dianggap telah diketahui oleh hakim, misalnya hal, bahwa anjing adalah binatang, atau bahwa hidup manusia itu tidak kekal ataupun bahwa emas kuning warnanya”

Alat bukti sah yang diajukan bertujuan untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang perbuatan-perbuatan terdakwa. Tugas ini diemban oleh Penuntut Umum, hakim karena jabatannya juga mencari tambahan bukti. Karena tujuan pemeriksaan Pengadilan di persidangan adalah untuk mencari kebenaran materiil. Dengan demikian, hal yang diketahui hakim, tidak memerlukan alat bukti sah. 57

Mengenai sumber-sumber hukum pembuktian adalah :

57

(27)

a. Undang-undang b. Doktrin atau ajaran c. Yurisprudensi

Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum yang utama dalam pembuktian adalah Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam tambahan Lembaran Negara Indonesia Republik Indonesia Nomor 3209. Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.58

Membahas mengenai pembuktian maka perlu juga lah membahas mengenai Sistem Pembuktian yang ada diberbagai negara. Hal ini diperlukan untuk memahami cara pembuktian dalam persidangan yang dapat mengarahkan keyakinan hakim terhadap peristiwa yang terjadi. Sistem pembuktian dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni sebagai berikut :

a. Sistem keyakinan (conviction In Time)

Aliran ini sangat sederhana. Hakim tidak terikat atas alat-alat bukti apa pun. Putusan diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, walaupun hakim secara logika mempunyai alasan-alasan, tetapi hakim tersebut tidak diwajibkan menyebut alasan-alasan tersebut. Penilaian subyektif dari hakim tersebut. Kecuali

58

(28)

ada sistem ini adalah bahwa pengawasan terhadap putusan hakim, sangat teliti. Mengenai sistem ini dulu dianut di Pengadilan Distrik dan Pengadilan Kabupaten.

b. Sistem Positif (Positief Wettelijk)

Sistem ini berdasarkan undang-undang yang mengatur jenis dan alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan perkataan lain, jika alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan dipergunakan menurut ketentuan undang-undang maka hakim wajib menetapkan hal “sudah terbukti” meskipun bertentangan dengan keyakinan hakim itu sendiri

dan sebaliknya. Keyakinan hakim dalam hal ini tidak boleh berperan.

c. Sistem negatif (negatief wettelijk)

Hakim ditentukan/dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telaah ditentukan oleh undang-undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai/menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur dalam undang-undang. Akan tetapi, ini pun masih kurang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran”. Meskipun alat-alat bukti sangat banyak, jika hakim tidak berkeyakinan atas “kebenaran” alat-alat bukti

atau atas kejadian/keadaan, hakim akan membebaskan terdakwa. Sistem ini diatur oleh KUHAP/UU No. 8 Tahun 1981 yang dirumuskan dalam Pasal 183 yakni :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

(29)

Dahulu, dimasa berlakunya HIR (sebelum KUHAP), site mini pun dianut, yang diatur dalam pasal 294 HIR yang berbunyi sebagai berikut :

a. Tidak seorang pun dapat dikenakan hukuman pidana, kecuali apabila hakim dengan mempergunakan alat-alat bukti yang termuat dalam undang-undang mendapat keyakinan bahwa sungguh-sungguh terjadi suatu peristiwa itu.

b. Tidak seorang pun dapat dikenakan hukuman pidana berdasarkan atas suatu persangkaan belaka atau asas pembuktian yang tidak sempurna. d. Sistem Pembuktian Bebas (Vrijbewijs/conviction raissonnee)

Sistem ini membebaskan hakim dari keterikatan alat-alat bukti. Hakim menjatuhkan putusan berdarkan “keyakinan” atas dasar alasan-alasan yang logis

yang dianut dalam putusan. Jadi, keyakinan hakim tersebut disertai alasan-alasan yang berdasarkan logika. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP (lihat butir 3 bab ini) maka KUHAP memakai “Sistem Negatif”, yakni adanya alat bukti minimal dan

adanya keyakinan hakim. Bukti minimal tersebut adalah sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”. Pengertian “dua alat bukti sah” dapat terdiri atas

misalnya 2 orang atau saksi atau 1 orang saksi dan satu surat, atau 1 orang saksi dan keterangan ahli, dan sebagainya. Rumusan adalah “dua alat bukti” bukan dua

jenis alat bukti.59

Sangat jelas kiranya, bahwa sistem pembuktian dalam sistem peradilan pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, dengan demikian syarat untuk menjatuhkan pidana selain harus

59

(30)

memenuhi alat bukti sebgaimana yang ditentukan oleh KUHAP juga ditentukan dengan keyakinan hakim yang diperoleh pada saat pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 183 KUHAP. Jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa. Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP sebagaimana tersurat dalam pasal 183 KUHAP memadukan unsur obyektif dan subyekif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut, keduanya saling berkaitan. Akan tetapi kedudukan keyakinan hakim dalam sistem ini seolah-olah sebagai penentu segalanya. Jika perkara tersebut terbukti secara sah (sah dalam arti alat bukti menurut undang-undang) tetapi tidak meyankinkan hakim akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pidana.

Sistem pembuktian dalam KUHP dapat dikatakan menganut sistem pembuktian yang dianut oleh Belanda. Pada awalnya terdapat perbedaan pendapat mengenai sistem yang dianut oleh Belanda, yaitu antara sistem pembuktian

(31)

terdakwa telah terbukti. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 183 KUHAP tentang kekuatan pembuktian di Indonesia.60

Jika melihat kebelakang dalam HIR, terhadap asas negatief wettelijk bewijstheorie ini disusun secara positif dalam Pasal 294 ayat (1) HIR. Dan Pasal 294 ayat (2) HIR, azas ini ditekankan lagi bahwa bersandarkan sangkaan-sangkaan (vermoendens) saja atau alat pembuktian yang tidak lengkap (onvolkomen bewijs), hakim tidak boleh menghikum. Juga walaupun hakim yakin, kan tetapi bila tidak ada alat pembuktian yang sah, maka hakim tidak boleh menghukum.

Onvolkomen bewijs artinya sama dengan onvoldoende bewijs yaitu alat pembuktian yang tidak lengkap, jadi disamping harus ada alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, juga alat pembuktian tersebut harus cukup lengkap. Dan bila tidak demikian menurut Pasal 294 ayat (2) HIR siapapun tidak boleh dihukum.

Azas negatief wettelijk bewijstheorie (be wijsleer) ini diulangi dan ditekankan lagi dalam Pasal 298 HIR. Makna dari pasal ini adalah untuk menekankan lagi, bahwa tidak ada alat pembuktian dapat dipergunakan untuk menghukum terdakwa, apabila disamping adanya alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, hakim tidak yakin bahwa siterdakwa yang bersalah. Azas ini dikenal juga dengan nama “de leer van helt minimum bewijs” yang

berarti bahwa sedikit-sedikitnya harus ada alat pembuktian yang sah menurut

60

(32)

undang-undang dan berdasarkan pada alat pembuktian yang sah itu harus ada keyakinan daripada hakim.61

2. Alat Bukti Dalam KUHP

Mengenai pembuktian dalam persidangan dibutuhkan alat bukti yang dipergunakan dalam persidangan untuk dapat membuktikan apakah si terdakwa memang telah memenuhi suatu delik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Mengenai alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan dalam proses pembuktian ini diatur oleh pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang membagi alat bukti menjadi 5 (lima) yaitu sebagai berikut:

a. Keterangan Saksi b. Keterangan Ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

a. Keterangan Saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu berdasarkan pemeriksaan saksi.62

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan keterangan saksi

61 R.Atang Ranoemihardja, Op.cit ., hlm 67 62

(33)

adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.63

Jika melihat pengertian terhadap saksi diatas maka kita dapat menguraikan unsur tentang saksi sebagai berikut :

1) Orang yang langsung menjadi korban kejahatan.

2) Orang-orang yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan adanya perbuatan kejahatan.

3) Orang yang secara tidak langsung mengetahui adanya perbuatan kejahatan.

Dalam perihal kesaksian, kita mengenal adanya saksi-saksi sebagai berikut:

1) Saksi biasa yaitu kesaksian yang diberikan oleh orang umum.

2) Saksi ahli yaitu kesaksian yang diberikan oleh orang yang mempunyai keahlian.

3) Saksi A charge yaitu saksi yang dipilih dan diajukan oleh Jaksa dikarenakan kesaksiannya bersifat memberatkan terdakwa

4) Saksi A de charge yaitu saksi yang dipilih dan diajukan atas permintaan terdakwa.64

Jika diteliti dalam KUHAP, maka mengenai keterangan saksi ini diatur dalam Pasal 108,116,160 s/d 165, 167 s/d170, 173, 174, 185 KUHAP. Dari pasal-pasal diatas, yang terutama diketahui adalah orang yang dapat menjadi saksi. Pada

63 Rusli Muhammad, Op.Cit., hlm. 11. 64

(34)

umumnya, semua orang dapat menjadi saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 184 ayat (1) a KUHAP atau sebagai “petunjuk”

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) d KUHAP. Hal ini tercantum pada Pasal 185 ayat (7) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

“ Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan

yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah”.65

Pengecualian terhadap orang yang dapat menajdi saksi di dalam persidangan diatur di dalam Pasal 186 KUHAP, sebagai berikut :

1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Disamping mengenai karena adanya hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan dalam Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena

65

(35)

pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika terhadap hal tersebut tidak diatur maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.

Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah pastor agama Katolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.66

Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian di bawah sumpah ialah :

1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin ;

2) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), dimana ditentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebgai alat bukti. Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib

66

(36)

mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamnya masing-masing, bahwa ia akan member keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah itu merupakan syarat mutlak, dapat dibaca dalam67 Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP.

Jika diruntut dari beberapa hal diatas maka dapat disimpulkan bahwa agar suatu keterangan saksi tersebut sah menurut hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Pasal 160 ayat (3) KUHAP saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan).

2) Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya (testimonium de auditu – keterangan yang diperoleh dari orang lain tidak mempunyai nilai pembuktian).

3) Keterangan saksi harus diberikan di muka sidang Pengadilan ( kecuali yang ditentukan dalam Pasal 162 KUHAP).

4) Pasal 185 ayat (2) keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (usus testis nullus testis).

5) Kalau ada beberapa saksi terhadap beberapa perbuatan, kesaksian itu sah menjadi alat bukti dan apabila saksi satu dengan yang lain terhadap perbuatan itu bersangkut paut dan bersesuaian, untuk nilainya diserahkan hakim.

67

(37)

Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah mempunyai kekuataan pembuktian bebas. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak menentukan atau mengikat nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi bergantung pada penilaian hakim, sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti lain berupa saksi a de charge ataupun keterangan ahli.68

Dalam keterangan saksi haruslah diperhatikan juga mengenai keterangan dari saksi de auditu, yakni keterangan yang didengar dari orang lain. Ada yang menagatakan bahwa hal itu tidak dapat digunakan. Sebagian ahli lagi mengatakan bahwa keterangan de auditu tidak boleh begitu saja dikesampingkan karena dapat digunakan untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian. Kedua pendapat ini sesungguhnya tidak salah. Penafsiran yang tepat terhadap keterangan de auditu

ialah keterangan tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat bukti sah “keterangan saksi”.

Dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP member pedoman terhadap Hakim untuk menilai keterangan saksi, untuk lengkapnya pasal tersebut sebagai berikut :

Ayat (6) : Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti;

68

(38)

3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu;

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dapat dipercaya;69

Mengenai saksi yang dapat juga ditemukan mengenai saksi mahkota. Dalam praktek, antara seorang terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain. Saksi yang diajukan seperti tersebut diatas, disebut saksi mahkota, yang pada saat yang lain ia menjadi terdakwa. Berkas perkara dari terdakwa tersebut dipisah (splitsing).

Splitsing dilakukan karenan kurangnya saksi untuk menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga harus ditempuh cara mengajukan sesama tersangka yang lain. Namun kelemahan dari pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi palsu, sehingga ada kemungkinan saksi diancam atau dikenakan dengan pasal 224 KUHP. Kemungkinan yang timbul adalah bahwa para terdakwa yang diperiksa seperti ini akan saling memberatkan atau meringankan satu sama lain.70

b. Keterangan Ahli

Pengertian mengenai keterangan ahli dapatlah kita lihat dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, dimana yang dimaksud keterangan ahli adalah :71

69 Leden Marpaung, Op.Cit., hlm.33. 70 Hari Sasangka, Op. Cit., hlm. 52. 71

(39)

“ Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahliam

khusus hal yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan ”.

Pengertian mengenai keterangan ahli juga dapat dilihat dalam Pasal 186 KUHAP yang bunyinya sebagai berikut :

“Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Peradilan ”

Dalam penjelasan resmi Pasal 186 KUHAP tercantum :

“ Keterangan ahli ini juga dapat sudah diberikan pada waktu pemeriksaan

oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan “72

Berpijak dari Pasal 179 ayat (1) KUHAP maka dapat dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli lain-lainnya. Syarat sahnya keterangan ahli, yaitu :

1. Keterangan diberikan kepada ahli

2. Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu 3. Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya 4. Diberikan di bawah sumpah

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan cara meminta keterangan ahli pada taraf penyidikan oleh aparat penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 133 KUHAP. Menurut pasal ini,

72

(40)

keterangan ahli diberikan secara tertulis melalui surat. Atas permintaan ini ahli menerangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk laporan. Cara kedua, seperti yang ditentukan dalam Pasal 179 dan Pasal 186 KUHAP, yaitu keterangan ahli diberikan secara lisan dan langsung di Pengadilan. Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keteranga ahli sama dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrijn bewiskracht. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Namun, penilaian hakim ini harus benar-benar bertanggung jawab atas landasan moril demi terwujudnya kebenar-benaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.73

c. Alat Bukti Surat

Terhadap pengertian surat terdapat berbagai pandangan mengenai hal tersebut. Yang dapat disimpilkuan sebagi berikut :

1) Menurut Sudikno Merto Kusumo

Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dal;am pengertian alat bukti tertulis atau surat.

73

(41)

2) Menurut Asser-Anema

Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.

3) Menurut Mahkamah Agung

Dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman RI tanggal 14 Januari 1988, nomor 39/TU/88/102/Pid, berpendapat bahwa microfilm atau

microfiche dapat dipergunakan 74sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di Pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) sub c KUHAP, dengan catatan baik microfilm atau microfiche itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Terhadap perkara-perkara perdata berlaku juga hal yang sama.

Menurut Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah adalah yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat seperti itu antara lain :

1) Berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang tentang kejadian atau keadaan yang dialami, didengar, atau dilihat pejabat itu sendiri, misalnya akta notaris.

2) Surat yang berbentuk “menurut undang-undang” atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk tata laksana yang

74

(42)

menjadi tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan.

3) Surat keterangan dari seorang ahli, seperti yang telah dijelaskan. 4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungan dengan isi dari

alat bukti lain, misalnya selebaran.

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat adalah bebas, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mengikat atau menentukan penilaian sepenuhnya dari keyakinan hakim. Alasan kekuatan pembuktian bernilai bebas adalah atas proses perkara pada pembuktian mencari kebenaran materi keyakinan (sejati) atas keyakinan hakim ataupun dari sudut minimum pembuktian. 75

Pada umumnya “surat” yang dimaksud oleh Pasal 187 KUHAP adalah surat yang termasuk akta autentik yang tercantum pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya. Misalnya akta notaris, putusan/penerapan hakim, berita acara, dan sebagainya.76

Walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi (otentik) yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun niali kesempuranaannya, pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri.Bagaimanapun sifat kesempurnaan sormal yang melekat pada dirinya, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap

75Ibid., hlm.196. 76

(43)

memerlukan dukungan dari alat bukti lain. Berarti sifat kesempurnaan formalnya, harus tunduk pada asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.

Perlu diingat 2 hal mengenai kekuatan alat bukti surat yaitu :

1) Bahwa bagaimanapun kekuatan pembuktian yang diberikan terhadap bukti-bukti surat dalam perkara perdata, namun surat-surat tersebut dalam perkara pidana dikuasai oleh aturan, bahwa mereka harus menentukan keyakinan hakim. Dengan demikian maka, dalam perkara perdata hakim adalah berkewajiban untuk memutus suatu perkara menurut kekuatan bukti dari suatu akta otentik yang tidak dilemahkan oleh bukti sangkalan, tetapi dalam perkara pidana, akta yang sama dapat saja dikesampingkan oleh hakim.

2) Bahwa pembuktian dalam perkara perdata adalah bertujuan untuk memutuskan apa yang oleh kedua belah pihak yang berperkara dianggap benar (kebenaran formal) sedang tujuan dari pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran material.77 d. Petunjuk

Hal ini diatur dalam Pasal 188 KUHAP yang bunyinya :

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadiaan atau keadaan, yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi

77

(44)

suatu tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

a. Keterangan saksi ; b. Surat ;

c. Keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Jika diperhatikan pada Pasal 188 KUHAP, khususnya ayat (2) maka dari ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang mewajibkan saksi mengucapkan sumpah atau janji sebelum member keterangan, ternyata ada saksi-saksi yang didengar tanpa mengucapkan sumpah atau janji, yakni antara lain :

1) Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun 2) Sakit ingatan/ sakit jiwa.

Saksi yang memberi keterangan tapi tidak disumpah, merupakan suatu petunjuk.78 Demikian halnya dengan Pasal 188 ayat (2) b, yakni “surat” berbeda dengan “surat yang dimaksud oleh Pasal 187 KUHAP. Surat berdarsakan Pasal

187 KUHAP termasuk klasifikasi autentik. Surat-surat yang bukan akta autientik disebut “surat di bawah tangan”, sebagaimana diatur dalam pasal 187

78

(45)

KUHPerdata. Surat-surat inilah yang dimaksud pasal 188 ayat (2) b sebagai alat bukti yang sah, yakni “petunjuk”.

Pada Pasal 188 ayat (3) c tercantum mengenai “keterangan terdakwa” yang termasuk dalam alat bukti sah sebagai “petunjuk” bukan sebagai “keterangan terdakwa” dimaksudkan dalam hal ini adalah berkenaan dengan tanggapan

terdakwa atas keterangan-keterangan saksi yang tidak disumpah atau keterangan terdakwa mengenai surat-surat dibawah tangan.79

Dalam mempergunakan alat bukti petunjuk, tugas hakim akan lebih sulit, ia harus mencari hubungan anatara perbuatan, kejadian atau keadaan, menarik kesimpulan yang perlu serta mengkombinasikan akibat-akibatnya dan akhirnya sampai pada suatu keputusan tentang terbukti atau tidaknya sesuatu yang telah didakwakan. Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 KUHAP, kiranya orang dapat mengetahui bahwa bahwa pembuktian yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk didalam berbagia alat bukti itu, tidak mungkin akan dapat diperoleh oleh hakim tanpa mempergunakan suatu redenering atau suatu pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara keyakinan yang satu dengan kenyataan yang lain, atau antara suatu kenyataan dengan tindak pidananya sendiri. Dari perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang yang dijumpai oleh hakim didalam keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa seperti itulah, KUHAP dapat membenarkan hakim membuat suatu pemikiran, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa hakim membuat konstruksi untuk memandang suatu kenyataan sebagai terbukti. Dalam penerapannya kepada

79

(46)

hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan merupakan petunjuk. Semuanya harus dipertimbangkan secara cermat dan teliti.

Melihat akan adanya syarat yang satu dengan yang lainnya harus terdapat persesuaian, maka dengan demikian berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada 2 (dua) petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah atau sebuah alat bukti petunjuk dengan satu buah bukti lain ada persesesuaian dalam keseluruhan yang dapat menimbulkan alat bukti.80

e. Keterangan Terdakwa

Pengaturan mengenai keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan padanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

80

(47)

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan karena disertai dengan alat bukti yang lain. 81

Pengertian tentang keterangan terdakwa adalah lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Sehingga dengan memakai keterangan terdakwa dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa. Keterangan terdakwa ada kemungkinan berisi pengakuan terdakwa, keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan terdakwa. Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti harus mempunyai syarat-syarat mengaku bahwa ia melakukan delik didakwakan ataupun ia mengaku bersalah. Namun ada juga kemungkinan bahwa terdakwa memberikan pengakuan untuk sebagian yaitu terdakwa mengaku melakukan delik yang didakwakan tetapi ia tidak mengaku bersalah.82

Dapatlah dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi. Tetapi suatu hal yang jelas berbeda anta “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dengan “pengakuan terdakwa” yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa

keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.

81 Leden Marpaung, Op.Cit., hlm. 40. 82

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mempertahankan dan tidak mempertahankan lahan sawah, menaksir proyeksi luas

User adalah pengguna (orang) yang akan mengakses aplikasi doa ini. Pertama-tama user memilih kategori doa terlebih dahulu kemudian pilih doa yang ingin dilihat

Perubahan kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur adalah berupa pengurangan luas pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi di mana luas pengurangan yang paling besar

Hasil pengujian hipotesis menunjukan remunerasi berpengaruh signifikan positif terhadap komitmen organisasi, sehingga dapat diinterpretasikan semakin baik remunerasi yang diberikan

Perbedaan hasil penelitian – penelitian terdahulu mengenai faktor – faktor yang berpengaruh terhadap underpricing yang diukur dengan Initial Return (IR) perusahaan mendorong

Melihat dunia lewat tubuh merpati balap, membingkai lanskap tepian kota Surabaya dari ekspansi properti habis-habisan, meliuk-liuk seperti jet tempur yang hilang kendali menuju

Hasil analisis data menunjukkan bahwa keadilan prosedural berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja, yang berarti bahwa semakin pegawai

Perancangan campuran beton ( mix design ) merupakan upaya untuk menentukan besarnya jumlah semen, agregat halus, agregat kasar, dan air yang akan digunakan dalam