1 MEMBANGUN SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA YANG
BERKUALITAS DAN BERMARTABAT MELALUI PEMBAHARUAN SISTEM REKRUTMEN POLITIK
Oleh Arod Fandy
A. PROLOG
Berbicara mengenai Pemilihan Umum atau yang sering disingkat dengan Pemilu di
Indonesia tentu membuat pikiran kita terbayang akan biaya yang mahal, sarat akan praktik
curang, korupsi, rekrutmen politik yang amburadul dan sederet hal - hal negatif lain yang
mengikuti dibelakangnya. Setidaknya begitulah kiranya paradigma masyarakat banyak
mengenai kata “Pemilu”, sungguh ironi memang di sebuah negeri yang menjunjung tinggi demokrasi seperti di Indonesia tidak memiliki sistem Pemilu yang memadai untuk mencapai
demokrasi tersebut, malahan sistem Pemilu kita sekarang mengarah pada terciptanya
pemerintahan yang korup oleh sebab biaya yang mahal dalam sebuah Pemilu.
Membenahi sistem Pemilu dan pemahaman masyarakat maupun aparatur negara
mengenai makna yang benar dari sebuah demokrasi serta bagaimana cara mewujudkannya
dalam Pemilu yang demokratis adalah sebuah jawaban dari kebuntuan bobroknya sistem
yang berlaku sekarang ini. Oleh karena itu kiranya sedikit kritik dan rekomendasi yang
dituangkan dalam tulisan ini dapat berguna dan menjadi solusi pada takaran praktik untuk
membangun Pemilu yang lebih baik.
B. RUMUSAN MASALAH
Apa sistem Pemilu yang tepat untuk diterapkan di Indonesia?
C. TUJUAN
Memberikan saran, solusi, rekomendasi sistem Pemilu yang terbaik bagi Indonesia dan juga
memberi kritik yang membangun demi tercapainya Pemilu yang demokratis, berkualitas dan
2 D. PEMBAHASAN
1) Pemahaman Dasar Mengenai Pemilu dan Kedaulatan Rakyat Dalam Sebuah Negara Hukum Formil
Pemilu berdasarkan bunyi Pasal 1 angka (1) Undang - Undang No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memberikan definisi Pemilu sebagai “Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Oleh karena UU memberikan pengertian bahwa Pemilu harus dijalankan berdasarkan
Pancasila (staat fundamental norm) dan UUD NRI 1945 (grundnorm) maka sangatlah
penting untuk mengetahui bagaimana seharusnya Pemilu itu dijalankan dalam sebuah negara
hukum, mengingat juga Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan
“Negara Indonesia adalah negara hukum” yang apabila dihubungkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang - Undang Dasar”, maka dapatlah kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara hukum formil. Oleh karena kedaulatan tertinggi berada ditangan
rakyat, maka Indonesia termasuk ke dalam tipe negara hukum formil yang menjalankan
prinsip demokrasi. Negara hukum formil merupakan negara hukum yang mendapat
pengesahan dari rakyat, dan segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu1,
sedangkan prinsip demokrasi merupakan aktualisasi dari asas kedaulatan rakyat yang
mengandung arti “Idea of democracy as the rule of the people by the people and for the people”2, kedua prinsip tersebut secara praktikal diwujudkan dalam penyelenggaraan Pemilu yang demokratis.
Sekarang ini untuk menyebut Indonesia sebagai negara hukum sungguh ibarat kata
jauh panggang dari api, penting untuk dipahami bahwa negara hukum berbeda maknanya dari
"negara dengan hukum". Tidak bermaksud untuk berpandangan pesimis, hanya saja
kenyataannya sekarang ini Indonesia lebih cocok untuk disebut sebagai "negara dengan
banyak produk hukum". Berbagai peraturan perundang - undangan silih berganti dibuat untuk
1 CST Kansil, Christine S.T. Kansil, 2007, Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 39. 2 John Keane, Democracy : The Rule of Nobody?, Drawn from lectures originally delivered at the
3
mengatur penyelenggaraan Pemilu guna mencapai sebuah Pemilu yang demokratis, hanya
saja sering kali pengaturannya tidak dapat dijalankan pada takaran praktik dan cenderung
mencipatakan ketidakpastian hukum karena seringnya pergantian pengaturan dan perubahan
sistem Pemilu di Indonesia. Oleh karena itu maka sudah saatnya kita memilih sistem Pemilu
yang akan digunakan di Indonesia yang tentunya harus sesuai dengan grundnorm kita yaitu
UUD NRI 1945. Dari pemaparan singkat diatas dapat dipahami bahwa negara Indonesia
harus dijalankan dengan mengimbangkan antara demokrasi dengan nomokrasi yang
diwujudkan melalui penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dimana ukuran demokratis
terletak pada bagaimana kedaulatan rakyat benar - benar dijunjung tinggi dalam pelaksanaan
Pemilu.
2) Sistem Pemilu Yang Tepat Untuk Indonesia
Membicarakan sistem Pemilu maka ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan sistem. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan sistem
sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas. Jadi dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "sistem Pemilu" tidak hanya
menyangkut proses pemilihan orang untuk mengisi jabatan - jabatan politik tertentu seperti
yang dipahami kebanyakan orang, tetapi jauh lebih kompleks lagi juga menyangkut
pelaksanaan Pemilu secara keseluruhan hingga pada permasalahan - permasalahan teknisnya.
Berikut akan dipaparkan rekomendasi, saran, dan kritikan penulis terhadap sistem Pemilu di
Indonesia.
a. Sitem terbaik untuk saat ini adalah sistem proporsional terbuka dengan menetapkan
biaya maksimal kampanye.
Apabila diperhadapkan pada dua sistem besar dalam Pemilu, yaitu sistem distrik dan
sistem proporsional, tentu kita akan memilih sistem proporsional. Sebab, meskipun sistem
distrik sangat efektif digunakan untuk menyederhanakan jumlah partai politik karena kursi
yang diperebutkan hanya satu sehingga mendorong terjadinya integrasi partai politik, namun
bagi masyarakat Indonesia sendiri, sistem distrik ini dianggap sangat tidak demokratis apabila
diterapkan. Sebab, sistem distrik kurang mewakili kepentingan masyarakat heterogen dan
pluralis karena suara minoritas banyak yang terbuang. Oleh karena itu sistem proporsional
4
Sistem proporsional adalah sistem yang melihat pada jumlah penduduk yang
merupakan pemilih, sehingga satu daerah memiliki beberapa wakil. Sistem proporsional lebih
mewakili suara rakyat oleh karena perolehan suara partai sama dengan persentase kursinya di
parlemen, dan lebihnya lagi dalam sistem proporsional setiap suara dihitung dan tidak ada
suara yang terbuang, sehingga partai kecil dan minoritas juga mempunyai kesempatan yang
sama untuk mengirim wakilnya untuk duduk di parlemen.
Lalu mengapa penulis menyarankan untuk memilih sistem proporsional? Jawabannya
sederhana, karena Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang majemuk, dan juga
kelemahan sistem proporsional dalam menekan jumlah pertumbuhan partai politik tidaklah
begitu signifikan karena dapat diatasi dengan parliamentary threshold. Berbeda halnya
dengan sistem distrik yang menempatkan partai besar sebagai pihak yang berkuasa.
Selanjutnya, sistem proporsional dibagi lagi menjadi dua, yaitu sistem proporsional
terbuka dan sistem proporsional tertutup, di Indonesia sekarang ini sistem proporsional
terbuka jauh lebih baik untuk digunakan. Sebab, dalam sistem proporsional tertutup sering
kali ditemukan jual beli nomor urut dan juga sistem ini mengarah pada kedaulatan Partai
Politik dan bukan kedaulatan rakyat. Rakyat sebagai pemilih dihadapkan pada susunan nomor
urut yang sudah ditentukan oleh internal partai politik sehingga pemilih hanya memilih partai
politiknya saja, tentu saja ini menghalangi pemilih untuk memberikan suaranya pada calon
legislatif perseorangan yang diinginkan olehnya, bayangkan saja apabila ternyata masyarakat
memberikan suara bulat kepada A namun A berada pada nomor urut lima sedangkan B yang
tidak mendapat suara berada pada nomor urut satu, dan dengan dalil nomor urut yang
ditentukan secara internal oleh partai politik maka suara kepada A mengalir kepada B, tentu
ini sangat tidak demokratis mengingat makna demokrasi sendiri adalah bagaimana keinginan
rakyat tersalur secara penuh dan terwujud secara utuh.
Berbeda halnya dengan sistem proporsional terbuka yang memberikan kesempatan
bagi setiap caleg, karena caleg yang memperoleh suara terbanyak dan memenuhi syaratlah
yang akan secara otomatis terpilih, terlepas dari di nomor urut mana dia berada, dengan
demikian maka pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada caleg yang
dikehendakinya. Sistem proporsional terbuka inilah yang digunakan dalam Pemilu 2014,
namun tak ayal banyak keluhan datang dan mencaci sistem ini, mereka beranggapan bahwa
Indonesia belum siap menggunakan sistem proporsional terbuka karena sistem kaderisasi
5
dirinya sendiri dan tak segan - segan untuk menjadi kanibal bagi pesaingnya yang masih
dalam satu partai, kompetisi internal yang demikian dapat menyebabkan perpecahan dalam
tubuh partai, selain itu oleh karena tiap - tiap calon berjuang untuk dirinya sendiri maka
banyak ditemui kecurangan terutama banyaknya caleg yang melakukan politik uang.
Diantara semua sistem Pemilu, sistem proporsional terbuka yang paling
mencerminkan prinsip - prinsip dasar demokrasi, sebab setiap suara disalurkan sesuai dengan
kehendak pemberi suara tanpa melalui perantara. Apabila terdapat kekurangan dalam
menjalankan sebuah sistem, janganlah sistemnya yang kita persalahkan melainkan cara kita
dalam menjalankan sistemnyalah yang harus diperbaiki. Politik uang merupakan kelemahan
utama dari sistem proporsional terbuka, solusi untuk mengatasi maraknya penggunaan politik
uang adalah dengan menetapkan aturan main dalam kampanye, karena dari sanalah akar
permasalahan itu tumbuh, maka dari itu yang harus dilakukan adalah membuat politik uang
menjadi sebuah perbuatan yang “sia-sia” dengan menetapkan batas maksimal biaya kampanye bagi caleg dalam jumlah yang wajar dan juga menerapkan prinsip pengawasan
dalam memantau transparansi penggunaan dana kampanye, dengan cara demikian maka
praktik politik uang secara otomatis akan dapat ditekan, karena tidak ada gunanya melakukan
politik uang apabila setiap caleg dibatasi penggunaan biaya kampanyenya dan terlebih lagi
terhadap setiap penggunaan dana kampanye telah diawasi oleh lembaga berwenang.
b. Menciptakan rekrutmen politik yang berkualitas melalui uji kelayakan dan kepatutan
bakal calon legislatif
Sistem proporsional terbuka tidak akan membawa perbuahan apapun apabila orang -
orang yang mencalonkan diri tidak memiliki kualitas dan kapasitas untuk bertindak sebagai
anggota legislatif, tak jarang ditemui calon anggota DPR yang tidak tahu apa saja fungsi DPR
yang tertuang secara jelas dalam Pasal 20A UUD NRI 1945, bahkan pengetahuannya
dibidang legislasi atau legal drafting sangat kurang atau bahkan tidak punya sama sekali,
hanya sekedar bermodal dana tanpa ditunjang ilmu yang mumpuni mereka dengan percaya
diri hendak melenggang ke Senayan tanpa menyadari bahwa banyak jiwa akan dipertaruhkan
dipundaknya nanti, Pemilu yang mahal menempatkan caleg yang hanya bermodal uang pada
urutan nomor satu. High Cost Politic merupakan kelemahan pelaksanaan Pemilu kita
sekarang ini, biaya kampanye dan biaya saksi yang tak sedikit menyebabkan banyaknya caleg
bertaruh akal sehat dalam bursa Pemilu, tak sedikit mereka yang kalah menjadi gila, akal
6
deretan kamar rumah sakit jiwa lantaran frustasi ataupun depresi, sementara bagi yang
menangpun pada akhirnya tak sedikit yang tertangkap lantaran kasus korupsi. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya uang yang dikeluarkan untuk memperoleh kursi DPR sehingga
banyak juga anggota DPR yang menggunakan jabatannya untuk balik modal dengan
merampok anggaran. Sangat fatal apa yang selama ini kita pertahankan dengan menempatkan
caleg pada keadaan "kalah jadi abu menang jadi arang".
Disisi yang lain, banyak akademisi dan praktisi yang mampuni dan memiliki kapasitas
yang pengabdiannya pada masyarakat tidak perlu diragukan lagi malah-malah terhalang oleh
karena biaya untuk mencalonkan diri yang tak sanggup mereka penuhi. Oleh sebab itu
perubahan sistem rekrutmen politik yang berorientasi pada uang seperti sekarang ini adalah
kewajiban. Perubahan ini dapat dilakukan dengan mengadakan uji kelayakan dan kepatutan
bagi bakal caleg dengan teknis sebagaimana berikut.
KPU menunjuk penguji dari kalangan yang berkompeten seperti akademisi dan
praktisi non-partai politik di seluruh daerah pemilihan di Indonesia dengan persyaratan
tertentu untuk kemudian penguji yang terkualifikasi didistribusikan secara silang antar daerah
sehingga penguji yang berasal dari daerah A akan menguji di daerah B dan demikian
seterusnya, dengan demikian maka netralitas para penguji sudah tentu terjamin, meskipun
tidak sepenuhnya.
Ujian dilakukan dengan berbagai materi pokok mengenai legislasi yang wajib
dikuasai oleh seorang calon legislator, hanya bakal caleg yang lulus uji kelayakan dan
kepatutanlah yang dapat menjadi caleg nantinya, dengan demikian maka siapapun yang
menang tentu sudah terjamin kualitasnya, sebab sudah diuji kadar keilmuannya ketika baru
menjadi bakal caleg. Selain itu sistem rekrutmen politik yang berkualitas dan bermartabat
seperti ini juga memungkinkan calon independen non-partai politik untuk menjadi caleg
terutama bagi kaum akademisi dan praktisi.
c. Penyelenggaraan Pemilu yang murah dengan menggunakan E-Voting
Belanja Pemilu sangat besar, Pada tahun 2004, biaya pemilu mencapai Rp 55,909
triliun dan pada tahun 2009 biaya pemilu mencapai Rp 47,941 triliun. Apalagi Pemilu
sekarang menggunakan kertas berwarna dengan ukuran yang besar tentu tidaklah murah.
Oleh karenanya maka penting untuk memikirkan solusi dari mahalnya belanja Pemilu sebagai
7
E-Voting adalah jalan keluar bagi mahalnya biaya belanja Pemilu, penyelenggaraan
Pemilu dengan menggunakan media elektronik, E-Voting pernah digunakan di Pemilukada di
Bantaeng dan terbukti telah membantu pemangkasan biaya belanja Pemilu yang besar, selain
itu hasil dari E-Voting sangat akurat dan bisa langsung diawasi dan dipantau
perkembangannya oleh masyarakat setiap saat.
E. KESIMPULAN
Diantara semua sistem Pemilu, sistem proporsional terbuka yang paling
mencerminkan prinsip - prinsip dasar demokrasi. Sebab, setiap suara disalurkan sesuai
dengan kehendak pemberi suara tanpa melalui perantara. Kelemahan pada sistem ini adalah
maraknya politik uang, solusi untuk mengatasi maraknya penggunaan politik uang adalah
dengan menetapkan aturan main dalam kampanye, karena dari sanalah akar permasalahan itu
tumbuh, maka yang harus dilakukan adalah membuat politik uang menjadi sebuah perbuatan
yang sia – sia, yaitu dengan cara menetapkan batas maksimal biaya kampanye bagi caleg dalam jumlah yang wajar dan juga menerapkan prinsip pengawasan dalam memantau
transparansi penggunaan dana kampanye, dengan demikian maka praktik politik uang akan
menjadi perbuatan yang sia-sia, karena tidak ada gunanya melakukan politik uang apabila
setiap caleg dibatasi penggunaan biaya kampanyenya dan terlebih lagi terhadap setiap
penggunaan dana kampanye telah diawasi. Selain itu, dengan adanya pembatasan
pengeluaran dana Pemilu yang dibatasi bagi setiap caleg akan mempermudah akademisi dan
praktisi yang berkompeten yang selama ini terkendala masalah biaya untuk maju
mencalonkan diri.
Biaya Pemilu yang murah harus diikuti dengan kualitas caleg yang memadai, oleh
karena itu penting untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan bakal caleg yang dilakukan
oleh tim penguji yang netral non-partai politik melalui distribusi penguji secara silang antar
daerah. Hanya bakal caleg yang lulus uji kelayakan dan kepatutanlah yang dapat menjadi
caleg, dengan demikian maka siapapun yang menang tentu sudah terjamin kualitasnya, sebab
sudah diuji kadar keilmuannya ketika baru menjadi bakal caleg, selain itu sistem rekrutmen
politik yang berkualitas dan bermartabat seperti ini juga memungkinkan calon independen
8 Daftar Pustaka
CST Kansil, Christine S.T. Kansil, 2007, Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), Pradnya
Paramita, Jakarta.
John Keane, Democracy : The Rule of Nobody?, Drawn from lectures originally delivered at
the Institute for Management and Planning, Teheran, 5th May 2004 and (in revised form) at
the Wissenschaftszentrum Berlin für Sozialforschung (WZB), 14th July 2004.
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang - Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat