• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN APRESIASI SASTRA DALAM NOVEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDEKATAN APRESIASI SASTRA DALAM NOVEL"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDEKATAN APRESIASI SASTRA DALAM NOVEL “DU CONTRAT

SOCIAL” KARYA JEAN JACQUES ROUSSEAU

Rohayu (2311415051)

Universitas Negeri Semarang

Abstrak

Pemaparan ini ditulis sebagai bentuk apresiasi terhadap karya sastra penting dan bersejarah abad ke-19 di Perancis yaitu “Du Contrat Social, 1762” (Kontrak Sosial, 1986) karya Jean Jacques Rousseau. Dalam karya sastra ini, kita dapat mengamati, menelusuri dan mengkaji lebih lanjut serta lebih dalam melalui berbagai pendekatan yang sesuai dengan karya sastra beraliran filsafat ini, diantaranya: pendekatan parafrastis, emotif, analitis, historis, sosiopsikologis dan didaktis. Novel ini menarik untuk dikaji karena membahas tentang hakikat manusia mulai dari paling dasar yaitu sejak lahir sampai dengan keterikatan individu dalam dunia sosial, politik, agama dan sedikit menyinggung tentang budaya Perancis. Manusia terlahir sebagai individu yang bebas, namun seiring perkembangan zaman dan peradaban, mereka penuh dengan segala tuntutan dan mengharuskannya melepaskan hak-hak dasar yang telah melekat dalam dirinya sejak lahir demi memenuhi kebutuhan hidup itu sendiri dalam hal ini termasuk juga kebebasan, dan Kontrak Sosial serupa hukum alam yang mengikat.

Kata kunci : apresiasi sastra, du contrat social

A. PENDAHULUAN

Karya sastra dibedakan dalam tiga genre, yaitu puisi, prosa dan drama (Panuti-Sudjiman, 1991:11). Karya sastra yang akan digunakan dan dibahas dalam makalah penelitian ini adalah sebuah novel. Novel adalah bagian dari prosa yang merupakan salah satu karya

(2)

2 berbeda dari hasil ciptaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra tersebut mengembangkan aksen liris dalam deskripsi lanskap, adegan panjang, padat dan konkrit. Pada umumnya, setiap novel memiliki dialog dalam cerita maupun narasinya. Namun tidak dengan

novel “Du Contrat Social, 1762” ini.

Karya sastra ini adalah sebuah buku atau novel beraliran filsafat yang di dalamnya terkandung unsur-unsur filosofis, politik, hukum dan hak-hak manusia serta lain-lain yang dipaparkan dengan begitu terinci dan nyata berdasarkan kisah hidup sang penulis itu sendiri yaitu J.J. Rousseau.

Dalam pengapresiasian karya sastra, kita dapat menikmati novel melalui berbagai pendekatan. Diantaranya: pendekatan parafrastis (pendekatan dengan mencari padanannya dimana gagasan sama namun penyampaian dalam bentuk berbeda namun tidak mengandung kepaksaan makna) pendekatan emotif (pendekatan emosional dan perasaan bergejolak yang mampu membuat pembaca merasakan alur sebuah cerita), pendekatan analitis (pengetahuan berkaitan dengan hal-hal dalam karya sastra seperti unsur instrinsik dan ekstrinsik), pendekatan historis (latar belakang pengarang secara

murni), sosiopsikologis (latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap penagarang terhadap lingkungan kehidupannya maupun zamannya pada saat cipta sastra itu diciptakan), didaktis (pendekatan dengan berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan). Seperti yang terdapat dalam

novel “Du Contrat Social, 1762”

(Kontrak Sosial, 1986) karya Jean Jacques Rousseau, disitu kita akan mendapati ada banyak pendekatan dan sudut pandang yang dapat dikaji.

(3)

3 ‘Emile’ terbit dan ditolak di negaranya (Jenewa, Swiss) setelah buku ‘Du Contrat Social’ terbit.

BIOGRAFI JEAN JACQUES ROUSSEAU

Jean Jacques Rousseau lahir di Geneva pada tahun 1712. Sejak semula, seperti yang dilaporkan dalam bukunya Confessions, ia bernasib buruk. Ibu Rousseau meninggal ketika melahirkannya. Ayahnya sejak saat itu tidak dapat lagi menjadi sandaran pelipur lara, dan sekalipun ia tidak pernah memeluk Jean Jacques. Namun keluh kesahnya, tekanan lengannya yang kaku kejang, menjadi saksi penyesalan yang pahit yang menggaulkan dirinya dengan belaiannya. Kesehatan anak itu tidak baik dan tetap tidak baik sepanjang hidupnya. Satu hal diantara semua anugerah yang telah ia wariskan kepada

orang tuannya, yakni “sebuah hati yang berperasaan”, dan bahkan “hati yang berperasaan” itulah yang menjadi

sumber kebahagiaan oran tuanya. Sebagaimana dijumpainya kemudia, menjadi sumber dari semua nasibnya yang buruk.

Kehidupan masa muda Rousseau tidaklah menentu. Ia sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain.

(4)

4 Dalam lingkungan masyarakat Rousseau tidak hanya merasa janggal, tetapi dengan segala kecenderungannya yang mendalam ia juga merupakan seorang laki-laki yang senang hidup menyendiri. Ia berpendapat kehidupan sosial sebagai sesuatu yang mengganggu, dan ia dapat bekerja dengan sebaik-baiknya bila ditinggal seorang diri. Masyarakat, demikian Diderot, bagi seorang filsuf merupakan seorang dewa di bumi kita ini. Philosophus merasa sulit memahami mengapa seorang filsuf bisa begitu a-sosial. Atau mengapa ia dapat memikirkan permasalahan masyarakat tanpa ada kemauan untuk hidup di dalamnya. Barangkali kegagalan imajinasi simpatik yang terdapat pada diri philosophus, dan yang bagi Rousseau tampak sebagai kekuarangan keseimbangan (complementary) kemerdekaan pribadi mereka, inilah yang pertama-tama membuatnya tidak menaruh kepercayaan pada mereka.

Pada tahun 1756, Rousseau meninggalkan Paris untuk hidup mengasingkan diri dari negeri itu. Rangkaian karya kesusasteraan yang diterbitkan dari pengasingannya pada tahun 1762 memuncak dengan terbitnya dua karya besar Rousseau, yaitu Kontrak

Sosial, dan pandangannya menegnai pendidikan dalam karyanya, Emile. Penerbitan kedua buku tersebut segera mengganggu semua rencana Rousseau untuk hidup dengan tenang. Dalam waktu sebulan sesudah Emile terbit ia telah ditolak di Paris. Pada suatu ketika seorang laki-laki menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya orang di Perancis yang percaya kepada Tuhan, telah dipaksa melarikan diri oleh para pembela agama; ia adalah Rousseau. Ia mencari perlindungan di Swiss, tetapi negeri ini tidak menawarkan tempat pelarian yang tetap. Kota aslinya, Geneva, dimana ia telah mendapatkan pukulan yang terberat, bukan hanya menolak Emile akan tetapi juga Kontrak Sosial. Penguasa di Swiss menerbitkan surat perintah untuk menahan Rousseau bila ia memasuki wilayah Geneva. Kota lainnya di Swiss mengikuti jejak Geneva. Rousseau terpaksa menghabiskan waktunya selama empat tahun berikutnya sebagai pelarian yang senantiasa berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat yang lain.

(5)

5 menjelaskan serta mempertahankan kebenaran pandangannya, yang pada akhirnya dikenal dengan Confessions (Pengakuan). Karyanya dalam periode ini mengalami kegoncangansecara aneh diantara posisinya, yang tetap dipertahankannya dengan tenang atas dasar percaya diri dan dialektika yang tajam. Sehingga penganiayaan terhadap dirinya adalah suatu peristiwa bekerjanya kekauatan sosial yang tidak bersifat pribadi, dan keyakinan yang tidak wajar itu meningkat serta menjurus pada pilihan untuk menjadi buron. Di satu sisi, ia menanggapi tindakan kota asanya yang secara resmi menolak kewargaannya. Dalam karyanya Surat dari Gunung, ia menulis suatu analisis secara cermat dan terhormat tentang sejarah kota Geneva yang terakhir, dimana pengejaran terhadap dirinya muncul hanya sebagai peristiwa dalam pola yang lebih besar, yaitu penindasan demokrasi yang oligarkis. Di sisi lain, Rousseau semakin membuka rahasia tentang keyakinannya yang kian tebal bahwa shabat kemerdekaan yang bersifat pura-pura itu, yang dipimpin oleh Volatire, telah bersekongkol melawannya dan berulang kali mengkhianatinya bagi kepentingan penguasa.

Pada tahun 1766, kepada Rousseau ditawarkan perlindungan oleh David Hume di Inggris. Kehadiran Rousseau disambut gembira di Inggris. Dalam perjumpaannya yang pertama Hume tampak sangat meladeni keinginan tamunya, dan berlangsung hanya beberapa bulan sampai pada saatnya kedua orang itu berselisih. Pada tahun 1767 Rousseau meninggalkan Inggris dan kembali ke Paris sampai ajalnya pada tahun 1778. Pada tahun 1794, Republik Perancis yang baru menganugerahi penghormatan kepadanya sebagai pahlawan nasional serta memindahkan jenazahnya ke makam nasional.

B. PEMBAHASAN

Pendekatan dalam Apresiasi Sastra Pendekatan adalah suatu cara, prinsip atau landasan yang digunakan oleh seorang pembaca maupun pengkaji dalam mengapresiasi karya sastra. Berikut adalah beberapa pendekatan yang dapat dilihat dan dikaji dalam novel

“Du Contrat Social, 1762” karya

J.J.Rousseau, diataranya sebagai berikut:

a. Pendekatan parafrastis

(6)

6 namun penyampaian dalam bentuk berbeda sehingga tidak mengandung kepaksaan makna. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu karya sastra seperti pada teks dalam Buku 1 (Bab 1 Pokok Pembicaraan Buku Pertama):

“L'homme est né libre.” (page: 9)

“Manusia dilahirkan bebas.” (hal: 5)

“Et partout il est dans les fers, Tel se croit le maître des autres, qui ne laisse pas d'être plus esclave qu'eux.” (page: 9)

“Kendatipun demikian kita melihat dimanapun mereka hidup terbelenggu.” (hal: 5)

“Tant qu'un peuple est contraint d'obéir et qu'il obéit, il fait bien ; sitôt qu'il peut secouer le joug, et qu'il le secoue, il fait encore mieux” (page: 9)

“Bila rakyat dipaksa untuk patuh dan mereka benar-benar patuh, itu baik. Tetapi, segera sesudah rakyat

merasa mampu untuk melemparkan penindasan atas dirinya dan mereka benar-benar melakukannya, itu lebih baik lagi.” (hal:6)

“Car, recouvrant sa liberté par le même droit qui la lui a ravie, ou il est fondé à la reprendre, ou on ne l’était point à la lui ôter.” (page: 9)

“Untuk memperoleh kembali kebebasannya, sudah tentu rakyatpun boleh menggunakan hak yang sama yang dahulu dipakai untuk mencabut kebebasan itu dari tangan mereka. Kebebasan itu dibenarkan untuk dikembalikan kepada rakyat, atau kebebasan itu dibenarkan untuk direnggut dari tangan rakyat. Tertib sosial merupakan hak keramat untuk melayani semua kepentingan.” (hal: 6)

Kutipan dalam Buku 1 (Bab 4 Perbudakan):

“Un peuple, pourquoi se vendil ? Bien loin qu'un roi fournisse à ses sujets leur subsistance, il ne tire la sienne que d'eux.”

(7)

7 qu'il leur reste à conserver.”

(page: 12)

“Suatu pertanyaan: mengapa dan untuk apa orang sampai mau menjual dirinya? Sampai sekarang seorang raja bukannya melengkapi hambanya dengan nafkah hidupnya justru dari hambanya.”

“Apakah si hamba memberikan dirinya dengan syarat bahwa sang pangeran atau raja bersedia pula dengan ramah-tamah menerima harta kekayaan miliki hambanya? Setelah memberikan upeti semacam itu, jelas bagi si hamba bahwa pada dirinya tidak lagi ada sesuatu sedikitpun yang tertinggal bagi keperluan hidupnya.” (hal: 9)

Kutipan dalam Buku 1 (Bab 5 Kita Harus Selalu Kembali Pada Perjanjian Pertama):

“Un peuple, dit Grotius, peut se donner à un roi. Selon Grotius, un peuple est donc un peuple avant de se donner à un roi. Ce don même est un acte civil ; il suppose une délibération publique. Avant donc que d'examiner l'acte par lequel un peuple élit un roi, il serait bon d'examiner l'acte par lequel un peuple est un peuple ; car

cet acte, étant nécessairement antérieur à l'autre, est le vrai fondement de la société.” (page: 16)

“Rakyat, kata Grotius, dapat memberikan dirinya kepada seorang raja. Jadi, menurut Grotius, sebelum mereka memberikan dirinya kepada raja, mereka itu adalah rakyat. Pemberian itu sendiri merupakan perjanjian sipil dan dianggap sebagai konsultasi umum. Oleh karena itu akan lebih baik bila kita hendak memilih seorang raja, kita harus meneliti terlebih dahulu bagaimana keadaan raja itu ketika menjadi rakyat. Tindakan iu sangat penting dilakukan lebih dahulu karena ia adalah fundasi yang sebenarnya dari sebuah masyarakat.” (hal: 13-14)

Kutipan dalam Buku 1 (Bab 6 Kesepakatan Sosial (Social Compact)):

(8)

8 comme partie indivisible du tout. »” (page : 17)

“Jika kita meniadakan atau menyingkirkan segala yang tidak penting dari kesepakatan sosial, maka kita akan mengembalikannya pada kalimat berikut: «Setiap kita menempatkan diri dalam kebersamaan, semua daya kekuatan ditempatkan dibawah tujuan utama dari kehendak umum, dan sebagi satu kelompok itu kita semua menerima karena setiap anggota merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan. »”

“Cette personne publique, qui se forme ainsi par l'union de toutes les autres, prenait autrefois le nom de cité (a), et prend maintenant celui de république ou de corps politique,, lequel est appe- lé par ses membres État quand il est passif, souverain quand il est actif, puissance en le comparant à ses semblables. À l'égard des associés, ils prennent collectivement le nom de peuple, et s'appellent en particulier ci- toyens, comme participant à l'autorité souveraine, et sujets, comme soumis aux lois de l'État. Mais ces termes se confondent souvent et se prennent

l'un pour l'autre ; il suffit de les savoir distinguer quand ils sont employés dans toute leur précision.” (page : 18)

(9)

9 Kutipan dalam Buku 2 (Bab 5 Hak untuk Hidup dan Mati):

“Tout homme a droit de risquer sa propre vie pour la conserver. A-t-on ja- mais dit que celui qui se jette par une fenêtre pour échapper à un incendie soit coupable de suicide ? a-t-on même jamais imputé ce crime à celui qui périt dans une tempête dont en s'embarquant il n'ignorait pas le danger ?” (page : 31)

“Setiap orang berhak mengambil resiko dalam hidupnya demi mempertahankan hidupnya sendiri. Pernahkah ada orang yang mengatakan bahwa ia bermaksud bunuh diri dengan melompat dari suatu jendaela karena hanya untuk menghindari kobaran api? Apakah seseorang dapat dipersalahkan telah melakukan khjahatan ketika ia tewas di laut yang sedang membadai karena sebelum ia berangkat berlayar telah mengetahui adanya bahanya itu?” (hal:29)

Kutipan dalam Buku 3 (Bab 9 Tanda Pemerintah yang Baik):

“Quand donc on demande absolument quel est le meilleur

gouvernement, on fait une question insoluble comme indéterminée ; ou, si l'on veut, elle a autant de bonnes solutions qu'il y a de combinaisons possibles dans les posi- tions absolues et relatives des peuples. ” (page : 70)

“Pertanyaan, “Pemerintah yang bagaimanakah sebenarnya yang paling baik?“ merupakan masalah yang sama tidak terpecahkan dengan yang tidak dapat ditentukan; atau bila anda menghendaki, ada sebanyak jawaban dengan banyaknya kemungkinan kombinasi dari keadaan bangsa yang mutlak dan relatif.” (hal: 73)

b. Pendekatan emotif

(10)

10 “Si un particulier, dit Grotius, peut aliéner sa liberté et se rendre esclave d'un maître, pourquoi tout un peuple ne pourrait-il pas aliéner la sienne et se rendre sujet d'un roi ? Il y a là bien des mots équivoques qui auraient besoin d'explication ; mais tenons-nous-en à celui d'aliéner. Aliéner, c'est donner ou vendre. Or, un homme qui se fait esclave d’un autre ne se donne pas ; il se vend tout au moins pour sa subsistance : mais un peuple, pourquoi se vend- il ? Bien loin qu’un roi fournisse à ses sujets leur subsistance, il ne tire la sienne que d’eux ; et, selon Rabelais, un roi ne vit pas de peu. Les sujets donnent donc leur personne, à condition qu'on prendra aussi leur bien ? Je ne vois pas ce qu'il leur reste à conserver.” (page : 12)

“Grotius mengatakan bila seorang individu dapat mengorbankan kebebasanya utnuk menjadi budak bagi tuannya, mengapa seluruh penduduk tidak dapat pula mengorbankan kekebasannya untuk menjadi hamba seorang raja? Ada beberapa kata yang samar-samar dalam kalimat ini yang memerlukan penjelasan, tetapi saya akan

membatasi diri pada arti kata “Memindahkan” (alienate). Memindahkan adalah memberi atau menjual. Tetapi seorang yang menjadi budak orang lain tidak mungkin memberikan dirinya sendiri. Ia harus menjual dirinya dengan maksud paling tidak untuk sekedar nafkah hidupnya. Suatu pertanyaan: mengapa dan untuk apa orang sampai mau menjual dirinya? Sampai sekarang seorang raja bukannya melengkapi hambanya dengan nafkah hidupnya justru dari hambanya. Menurut Rabelais, penghidupna seorang raja tidaklah kecil. Apakah si hamba memberikan dirinya dengan syarat bahwa sang pangeran atau raja bersedia pula dengan ramah-tamah menerima harta kekayaan miliki hambanya? Setelah memberikan upeti semacam itu, jelas bagi si hamba bahwa pada dirinya tidak lagi ada sesuatu sedikitpun yang tertinggal bagi keperluan hidupnya.” (hal: 9)

(11)

11 “Jikalau setiap individu dapat memindahkan kekebasan dirinya, maka ia tidak bisa membebaskan keturunannya. Karena dilahirkan sebagai seorang yang bebas, maka kekebasan itu menjadi miliknya sendiri yang paling hakiki dan tidak

seorangpun berhak

menghilangkannya, kecuali dirinya sendiri.” (hal: 10)

“Renoncer à sa liberté, c'est renoncer à sa qualité d'homme, aux droits de l’humanité, même à ses devoirs. Il n’y a nul dédommagement possible pour quiconque renonce à tout. Une telle renonciation est incompatible avec la nature de l'homme ; et c'est ôter toute moralité à ses actions que d'ôter toute liberté à sa volonté.” (page : 13)

“Menyerahkan kebebasan kita kepada orang lain berarti melenyapkan kualitas kita sebagai manusia, yaitu hak dan kewajiban kemanusiaan. Tidak mungkin ada suatu kompensasi yang cukup untuk pengorbanan yang sedemikian lengkap itu. Tindakan mengorbankan kebebasan seperti itu bertentangan dengan sifat manusia. Sekali haknya

dicabut dari kemauannya untuk bebas, orang pasti terjerumus ke dalam lembah kemiskinan moralitas.” (hal: 10)

Kutipan dalam Buku 3 (Bab 11 Matinya Negara Hukum):

“Le corps politique, aussi bien que le corps de l'homme, commence à mourir dès sa naissance et porte en lui-même les causes de sa destruction. La constitution de l'homme est l'ouvrage de la nature ; celle de l'État est l'ouvrage de l'art. .” (page : 73)

“Negara hukum seperti layaknya tubuh manusia, mulai mati sejak ia lahir dan dalam dirinya terkandung sebab-sebab kehancurannya. Sebagaimana kita ketahui, kadaan tubuh manusia adlaah karya alam, sedangkan keadaan negara adalah produk suatu karya seni.” (hal: 77)

Kutipan dalam Buku 3 (Bab 15 Utusan dan Wakil Rakyat):

(12)

12 services personnels en argent.” (page : 77)

“Ketergesaan perdagangan dan kesenian, kerakusan yang haus akan keuntungan, kelembutan sifat seperti perempuan dan cinta pada hidup mewah, kesemuanya ini menyebabkan adanya permainan uang demi pelayanan pribadi.” (hal: 81)

c. Pendekatan historis

Terkait dengan latar belakang pengarang secara nyata (Terlampir di biografi J.J.Rousseau terkait penciptaan karya sastra ini). Berikut adalah kutipan yang dapat dianalisis menggunakan pendekatan historis yang ditulis oleh J.J.Rousseau pada Buku 1 (Bab 2 Masyarakat Pertama):

“Le raisonnement de ce Caligula revient à celui de Hobbes et de Grotius. Aristote, avant eux tous, avait dit aussi que les hommes ne sont point natu- rellement égaux, mais que les uns naissent pour l'esclavage et les autres pour la domination.” (page : 10)

“Cara berpikir Cligula ini sejalan dengan pandangan Grotius dan Hobbes. Sebelumnya, Aristoteles

telah menegaskan, bahwa manusia itu secara alami mempunyai nasib yang tidak sama : sebagian dilahirkan untuk menjadi budak dan sebagian lainnya untuk berkuasa.” (hal : 7)

“Aristote avait raison ; mais il prenait l'effet pour la cause. Tout homme né dans l’esclavage naît pour l’esclavage, rien n’est plus certain. Les esclaves perdent tout dans leurs fers, jusqu'au désir d'en sortir ; ils aiment leur servitude comme les compagnons d'Ulysse aimaient leur abrutissement (b). S'il y a donc, des esclaves par nature, c’est parce qu’il y a eu des esclaves contre nature. La force a fait les premiers esclaves, leur lâcheté les a perpétués.” (page : 10)

(13)

13 mereka kehilangan semangat utnuk mematahkan belenggu itu. Mereka bahkan lebih menyukai perhambaan, seperti halnya para rekan Ulyses yang lebih menyukai perilaku kasar. Apabila ada beberapa budak alami, sebab pokoknya ialah manusia dijadikan budak untuk melawan alam. Kekuatanlah yang telah menciptakan perbudakan yang pertama dengan jalan merendahkan serta menyalahgunakan para korbannya, dan mengabadikan belenggu mereka.” (hal: 7)

“Je n’ai rien dit du roi Adam, ni de, l’empereur Noé, père de trois grands monarques qui se partagèrent l'univers, comme firent les enfants de Saturne, qu'on a cru reconnaître en eux. J'espère qu'on me saura gré de cette modération ; car, descendant directement de l’un de ces princes, et peut-être de la branche aînée, que sais-je si, par la vérification des titres, je ne me trouverais point le légitime roi du genre humain ? Quoi qu'il en soit, on ne peut discon- venir qu’Adam. N’ait été souverain du monde, comme Robinson de son île, tant qu'il en fut le seul habitant, et ce qu'il y avait de commode dans cet em- pire était que le monarque,

assuré sur son trône, n’avait à craindre ni rébel- lion, ni guerres, ni conspirateurs.” (page : 11)

(14)

14 “Les combats particuliers, les duels, les rencontres, sont des actes qui ne constituent point un état ; et à l'égard des guerres privées, autorisées par les Établissements de Louis IX, roi de France, et suspendues par. la paix de Dieu, ce sont des abus du gouvernement féodal, système absurde, s'il en fut jamais, contraire aux principes du droit naturel et à toute bonne politie.” (page : 14)

“Perkelahian, duel dan bentrokan bersenjata antar pribadi bukanlah tindakan yang melahirkan suatu keadaan perang. Perang kecil yang dibenarkan oleh ‘Establishment’ dari Raja Louis IX yang kemudian dihentikan oleh perdamaian Tuhan (Peace of God) merupakan kejahatan pemerintah feodal, suatu sistem pemerintahan yang sangat tidak masuk akan dan bertentangan dengan prinsip hak azasi dans etiap suara masyarakat yang berpemerintahan.” (hal: 11)

“La guerre n'est donc point une relation d'homme à homme, mais une relation d’État à État, dans laquelle les particuliers ne sont ennemis

qu’accidentellement, non point comme hommes, ni même comme citoyens (a), mais comme soldats ; non point comme membres de la patrie, mais comme ses défenseurs. Enfin chaque État ne peut avoir pour ennemis que d'autres États, et non pas des hommes, attendu qu’entre choses de diverses natures on ne peut fixer aucun vrai rapport.” (page : 14)

“Perang bukan suatu urusan antara orang dengan orang, tetapi antara negara dengan negara. Dalam perang setiap individu hanya menjadi musuh secara kebetulan, bukan sebagai semacam manusia atau sesame warganegara, tetapi sebagai serdadu. Bukan sebagai anggota suatu negara, tetapi sebagai pembela negara. Dalam masalah denda, negara hanya dapat memandang negara lain sebagai musuh dan bukan orang karena tidak mungkin terdapat hubungan antara segala hal yang mepunyai perbedaan sifat dasar.” (hal: 11)

(15)

15 “Nous n'avons nuls monuments bien assurés des premiers temps de Rome ; il y a même grande apparence que la plupart des choses qu'on en dé- bite sont des fables (a) et, en général, la partie la plus instructive des annales des peuples, qui est l'histoire de leur établissement, est celle qui nous manque le plus. L’expérience nous apprend tous les jours de quelles causes naissent les révolutions des empires : mais, comme il ne se forme plus de peuple, nous n'avons guère que des conjectures, pour expliquer comment ils se sont formés.” (page : 91)

“Kita tidak memiliki catatan atau dokumen otentik tentang masa awal berdirinya Roma; bahkan sangat dimungkinkan bahwa sebagian besar laporan yang diserahkan kepada kita dari periode yang sangat jauh itu hanyalah suatu dongeng; dan bagian dari buku sejarah mereka yang paling menarik dalam sejarah tiap rakyat, yang saya maksudkan sebagai laporan tentang lembaga mereka, seluruhnya terlepas dari kita. Pengalaman membuat kita setiap hari berkenalan dengan sebab-musabab dari mana

awal munculnya revolusi kerajaan. Karena sekarang tidak ada kesempatan bagi dibentuknya satu rakyat baru, maka kita dapat berbuat agak lebih banyak daripada menerka bagaimana mereka dibentuk.” (hal: 97)

Kutipan dalam Buku 4 (Bab 8 Agama Sipil) :

“Les hommes n'eurent point d'abord d'autres. Rois que les dieux, ni d'autre gouvernement que le théocratique.” (page : 105)

“Pada zaman awal perkembangan dunia, orang tidak mengenal raja melainkan dewa-dewa, dan tidak mengenal pemerintah selain theokrasi (pemerintah berdasar agama))” (hal: 112)

d. Sosiopsikologis

(16)

16 “La plus ancienne de toutes les sociétés, et la seule naturelle, est celle de la famille : encore les enfants ne restent-ils liés au père qu’aussi longtemps qu’ils ont besoin de lui pour se conserver. Sitôt que ce besoin cesse, le lien naturel se dissout. Les enfants, exempts de l’obéissance qu’ils devaient au père ; le père, exempt des soins qu'il devait aux enfants, rentrent tous égale- ment dans l'indépendance.”

(page : 9)

“Masyarakat yang paling awal dan satu-satunya yang bersifat alami adalah keluarga. Anak tetap terikat pada sang ayah selama masih membutuhkan perlindungannya. Segera setelah tiba waktunya kebutuhan itu berhenti, berakhirlah ikatan yang bersifat alami itu. Anak menjadi bebas dari kewajiban untuk taat pada ayahnya. Sebaliknya sang ayah pun bebas dari tugas kewajiban terhadap anaknya. Kedudukan keduanya sama-sama menjadi bebas.” (hal: 6)

“La famille est donc, si l’on veut, le premier modèle des sociétés poli- tiques : le chef est l'image du père, le peuple est l'image des enfants ; et

tous, étant nés égaux et libres, n'aliènent leur liberté que pour leur utilité. Toute la différence est que, dans la famille, l'amour du père pour ses enfants le paye des soins qu'il leur rend ; et que, dans l'État, le plaisir de commander supplée à cet amour que le chef n'a pas pour ses peuples.” (page : 10)

“Karena itu, keluarga merupakan model pertama masyarakat politik : penghulu mencerminkan seorang ayah dalam keluarga dan sama bebas, dan demi memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat mereka hanya memisahkan kekebasannya ke dalam dua macam masyarakat. Perbedaannya ialah : dalam keluarga, rasa puas karena kasih sayang pihak ayah yang menghasilkan kesadaran yang bermanfaat bagi anaknya dan sebaliknya si anak pun membalas budi bagi derita sang ayah selama memeliharanya. Sedangkan dalam negara, kepuasan memerintah telah menggantikan rasa cinta yang tidak dimiliki penguasa terhadap rakyatnya.” (hal: 6)

(17)

17 centaine d’hommes, ou si cette centaine d’hommes appartient au genre hu- main : et il paraît, dans tout son livre, pencher pour le premier avis : c'est aussi le sentiment de Hobbes. Ainsi voilà l’espèce humaine divisée en trou- peaux de bétail, dont chacun a son chef, qui le garde pour le dévorer.” (page : 10)

“Karena itu Grotius menyangsikan apakah seluruh manusia itu menjadi milik seratus orang saja, ataukah justru seratus orang itu menjadi milik seluruh ras manusia. Dari semua isi bukunya, Grotius cenderung pada pendapat yang pertama, sama halnya dengan pendapat Hobbes : Mereka sependapat bahwa masyarakat manusia terbagi seperti kelompok ternak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya sendiri yang melindungi ternaknya untuk kemudian dilahap olehnya.” (hal: 7)

“Comme un pâtre est d’une nature supérieure à celle de son troupeau, les pasteurs d'hommes, qui sont leurs chefs, sont aussi d'une nature supérieure à celle de leurs peuples. Ainsi raisonnait, au rapport de

Philon, l'empereur Caligula, concluant assez bien de cette analogie que les rois étaient des dieux, ou que les peuples étaient des bêtes.” (page: 10)

“Penggembala secara alami lebih unggul bila dibandingkan dengan ternaknya, dan demikian pula yang berlaku bagi kelompok manusia. Para penghulu secara alami juga lebih unggul daripada rakyatnya. Menurut pendapat Philo, dengan alasan itulah Kaisar Caligula telah menarik kesimpulan yang sangat tepat dari suatu analogi bahwa raja adalah dewa dan rakyat adalah hewan belaka.” (hal: 7)

Kutipan dalam Buku 2 (Bab 9 Tentang Rakyat Lanjutan):

(18)

18 politique, un maximum de force qu'il ne saurait passer, et duquel souvent il s'éloigne à force de s'agrandir. Plus le lien social s'étend, plus il se relâche ; et en général un petit État est proportionnellement plus fort qu'un grand.” (page : 40)

“Sebagaimana alam menetapkan ukuran seorang manusia yang dibentuk secara baik, diluar itu alam hanya membuat manusia kerdil dan raksasa. Demikian pula ada batas terntentu bagia keadaan serta susunan suatu neagra. Jika tidak saling berpautan antara satu dengan yang lain, ia tidak akan menjadi yang terbaik. Bila terlampau besar, ia tidak dapat mendukung dirinya sendiri. Dalam semua negara hukum ada kekuatan maksimum tertentu yang tidak dapat mereka lampaui, dan hanya akan hilang dengan jalan memperbesar kekuatan itu lagi. Ikatan sosial menjadi kian melemah dengan perluasan; dan suatu negara kecil secara proporsional lebih kuat bila dibandingkan dengan yang lebih besar.” (hal: 40)

e. Didaktis

Pendekatan dengan berusaha menemukan dan memahami gagasan,

tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Berikut adalah kutipan yang dapat diilhami dalam mengevaluasi atau mendapatkan makna tersendiri terhadap pembelajaran mengenai sebuah kekuasaan dibawah sistem Kerajaan (Monarki) dalam Buku 3 (Bab 6 Kerajaan (Monarki)):

“C'était un mot très sensé que celui du jeune Denys à qui son père, en lui reprochant une action honteuse, disait : « T’en ai-je donné l’exemple ? Ah ! Répondit le fils, votre père n'était pas roi. »” (page : 63)

(19)

19 Suatu negara monarki akan dapat diperintah dengan baik apabila kebesaran serta luasnya disesuaikan dengan kecerdasan pangeran yang memerintahnya. Lebih mudah menaklukkan daripada memerintah.

C. PENUTUP Kesimpulan

Setelah meletakkan prinsip hak politik yang sebenarnya dan berusaha membangun negara atas dasar yang tepat, ia tinggal menyokongnya dengan hubungan luar yang memahami hukum tentang bangsa, perdagangan, hak perang dan penaklukkan, hak rakyat, lembaga, gabungan, perundingan perjanjian dan lain sebagainya. Tetapi, semua ini membentuk satu pokok permasalahan baru yang terlalu luas untuk pandangan saya yang terbatas, yang saya harus selalu menahannya dalam satu lingkungan yang lebih sempit.

D. DAFTAR PUSTAKA

Rousseau, Jean Jacques. 1986. Kontrak Sosial (edisi terjemahan oleh Sumardjo). Jakarta: Erlangga. Rousseau, Jean Jacques. 1762. Du

Contrat Social. Paris: Union

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah dan masyarakat dapat memperkuat upaya perlindungan hak-hak penyandang disabilitas dengan mengadopsi perspektif Sila Kelima Pancasila. Sebab, prinsip keadilan sosial menjadi landasan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh negara Indonesia. Semangat keadilan sosial dalam penerapan nilai-nilai Pancasila tercermin dalam kesetaraan, pengakuan hak, dan partisipasi penuh penyandang disabilitas di segala bidang kehidupan. Dalam perspektif Sila Kelima Pancasila, sekolah inklusif berfungsi sebagai sarana untuk mengamalkan prinsip keadilan sosial dan memberikan layanan pendidikan kepada anak penyandang disabilitas, tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, atau lainnya. Gagasan ini menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas pendidikan yang bebas dari diskriminasi. Pembelajaran, pengajaran, kurikulum, sarana dan prasarana, serta sistem penilaian, semuanya diciptakan dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Hal ini untuk memastikan mereka dapat menyesuaikan diri dan mendapatkan pendidikan terbaik berdasarkan kemampuan unik mereka. Sekolah inklusif tidak hanya memperhatikan berbagai keadaan siswanya, tetapi juga memperlakukan mereka dengan layak, memperhatikan minat, jiwa, serta aspek masyarakat dengan segala kreatifitas, empati, dan pemberdayaan