• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Pertanian Tanaman Pangan di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengelolaan Pertanian Tanaman Pangan di"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN

DI INDONESIA BERBASIS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Pengelolaan Sumber Daya Lahan (GG612)

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Prof. DR. Darsiharjo, M.S.

Oleh :

Tri Widodo NIM. 1502307 Kelas A

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN GEOGRAFI SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

(2)

A.Problematika Pengelolaan Lahan Pertanian di Indonesia

Hasil komoditas pertanian Indonesia sudah dikenal sampai ke mancanegara, bahkan jauh sebelum negara Indonesia berdaulat. Komoditas pertanian Indonesia telah mecatatakan sejarah panjang mulai dari masa pra sejarah, kerajaan, kolonialisme Bangsa Eropa, pasca kemerdekaan, dan sampai sekarang bad ke-21. Bahkan hasil komoditas pertanian inilah yang membuat bangsa portugis ingin menguasai nusantara karena kualitas dari komoditas pertanian rempah-rempah yang dihasilkan. Kemudian diikuti oleh perusahaan Hindia Timur Belanda Verenigde Oostindische Compagnie

(VOC) untuk mengelola lahan pertanian Indonesia. Setelah masa kemerdekaan Indonesia mulai berkomitmen untuk melakukan swasembada pangan, dengan melakukan kegiatan intensif di bidang pertanian. Namun seiring kemajuan teknologi saat ini kegiatan pertanian mulai terdegradasi oleh aktifitas industri.

1. Sosial Budaya Petani Indonesia

Kondisi sosial budaya petani merupakan masalah utama dalam sektor pertanian di dalam pembangunan nasional dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing pada masa yang akan datang. Berdasarkan data hasil sensus penduduk oleh BPS tahun 2010, sebagian besar penduduk miskin (64,65 %) bekerja di sektor pertanian, kemudian dari 107,41 juta orang penduduk Indoesia yang bekerja, 42,83 juta (39,88 %) bekerja di Sektor Pertanian. Berikut ini merupakan data tentang profil petani di Inonesia dari hasil sensus pertanian pada tahun 2013.

Tabel 1. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian

No Subsektor Sensus Pertanian Tahun Perubahan %

2003 2013

1 Tanaman Pangan 18.708.052 17.728.162 -5,24 %

2 Hortikultura 16.937.617 10.602.142 -37,40 %

3 Perkebunan 14.128.539 12.770.571 -9,61 %

4 Peternakan 18.595.824 12.969.206 -30,26 %

5 Perikanan 2.489.681 1.975.249 -20,66 %

6 Kehutanan 6.827.937 6.782.956 -0,66 %

7 Jasa Pertanaian 1.846.140 1.078.308 -41,59 %

Jumlah 31.232.184 26.135.469 -16,32 %

Sumber : BPS, 2013

(3)

pertanian di Indonesia. Angka jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia mengalami penurunan sejak empat puluh tahun terkahir hasil sensus pertanian 1983 tercatat sebanyak 19,50 juta rumah tangga, dan sensus pertanian 1993 yang tercatat sebanyak 21,48 juta rumah tangga. Perbedaan pendapatan yang diterima oleh orang yang bekerja di sektor pertanian berkaitan erat dengan produktivitas para petani Indonesia, yang tidak dapat dilepaskan dari berabagai faktor antara lain luas lahan yang dimiliki, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.

Gambar 1.

Grafik Rumah Tangga Usaha Pertanian

Sumber : BPS, 2013

Grafik tersebut menunjukan penurunan angka jumlah rumah tangga usaha pertanian, sehingga usaha rumah tangga Indoesia sudah mulai beralih ke usaha selain sektor pertanian. Berikut ini merupakan data tentang jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai dari hasil sensus pertanian pada tahun 2013.

Tabel 2. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan yang dikuasai, Sensus Pertanian 2003 dan Sensus Pertanian 2013 No Golongan Luas Lahan (m2) Sensus Pertanian Tahun

(4)

Hasil sensus pertanian 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga usaha pertanian paling banyak menguasai lahan dengan luas antara 0,20–0,49 Ha, yaitu sebanyak 6,73 juta rumah tangga. Berbeda dengan yang terjadi pada sensus pertanian 2003 jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak menguasai lahan dengan luas kurang dari 0,10 Ha, yaitu sebanyak 9,38 juta rumah tangga.

Untuk rumah tangga usaha pertanian dengan luas lahan lebih dari 0,50 Ha hasil sensus pertanian 2003 adalah sebanyak 11,43 juta rumah tangga. Angka ini sedikit meningkat (0,70 persen) pada sensus pertanian 2013, yaitu menjadi sebanyak 11,51 juta rumah tangga. Hal yang menarik yang perlu dicermati adalah masih terdapat rumah tangga usaha pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,10 Ha pada sensus pertanian 2013, meskipun jumlahnya menurun tajam dibanding sensus pertanian 2003.

Tabel. 3 Perbandingan Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan Petani Gurem, Sensus Pertanian 2013

No Sensus Pertanian

1

Pengguna Lahan 98.53 %

a. Petani Gurem 55.33 %

b. Bukan Petani Gurem 44.67 %

2 Bukan Pengguna Lahan 1.47 %

Sumber : BPS, 2013

Rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan ternyata mendominasi rumah tangga usaha pertanian di Indonesia. Dari sebanyak 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian di Indonesia, sebesar 98,53 persen merupakan rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan (25,75 juta rumah tangga). Sedangkan rumah tangga usaha pertanian bukan pengguna lahan hanya sebesar 1,47 persen, atau sebanyak 384 ribu rumah tangga.

(5)

Gambar 1.

Grafik Rumah Tangga Petani Gurem

Sumber : BPS, 2013

Grafik tersebut menunjukan penurunan jumlah rumah tangga petani gurem selama empat puluh tahun terakhir, data ini diharapkan dapat memberikan paradigma positif terhadap pembangunan ekonomi sektor pertanian, karena pandangan mengenai petani miskin adalah rumah tangga usaha petani yang tergolong kedalam petani gurem.

Tabel. 4 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Petani Utama, ST2013

No Kelompok Umur|

(tahun) Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 <15 2.842 455 3.297

Sama halnya bila dirinci menurut kelompok umur kepala rumah tangga, kelompok usia produktif (kelompok umur petani utama 15–64 tahun) terlihat mendominasi jumlah rumah tangga usaha pertanian. Tercatat sebanyak 22,80

(6)

juta rumah tangga usaha pertanian yang kelompok umur petani utamanya antara 15–64 tahun. Jumlah rumah tangga usaha pertanian dengan kelompok umur petani utama kurang dari 15 tahun, yaitu sebanyak 3.297 rumah tangga, sedangkan jumlah rumah tangga usaha pertanian kelompok umur petani utama di atas 64 tahun adalah sebanyak 3,33 juta rumah tangga.

Pembanguan sektor pertanian tidak bisa dipisahkan dari kondisi petani, karena merupakan faktor utama (penentu) keberhasilan ketahanan pangan. Sehingga diperlukan kualifikasi khusus bagi petani dalam pengetahuan pengelolaan pertanian, meliputi kemampuan pemeliharaan tanaman, pemasaran hasil panen, maupun pengelolaan produk lanjutan dari hasil pertanian.

2. Alih Fungsi Lahan

Seiring bertambahnya jumlah penduduk dimuka bumi yang memiliki kebutuhan akan tempat tinggal, makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya menuntut untuk memanfaatkan sumber daya alam yang sudah tersedia, tetapi kondisi ini sering tidak diikuti oleh pertambahan kuantitas dan kualitas sumberdaya alam tersebut, sehingga mengakibatkan eksplotasi sumberdaya alam. Kebutuhan akan tempat tinggal serta barang-barang lainnya yang melibatkan kegiatan industri dalam proses produksinya mengkibatkan fenomena alih fungsi lahan menjadi hal yang tidak bisa di hindari. Lahan yang paling sering dialih fungsikan dalam mencukupi kebutuhan manusia tersebut yaitu lahan pertanian. Fenomena ini dikarenakan lokasi lahan pertanian di Indonesia khusunya menempati posisi yang strategis. Sehingga perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan industri dan permukiman merupakan problematika tersendiri dari kegiatan pertanian.

Kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri maupun permukian di Indonesia, tidak sedikit yang melibatkan pemerintah atau unsur pemegang kebijakan lainnya dalam pengambilan sebuah keputusan. Penulis pada kesempatan ini mencoba memberikan sebuah contoh bagaimana proses alih fungsi lahan yang melibatkan pihak pemerintah.

Seorang kepala daerah apabila dihadapkan pada sebuah kondisi tentang persetujuan alih fungsi lahan pertanian (persawahan) seluas 5 ha menjadi kawasan industri padat karya (industri tekstile) apakah akan menyapakatinya atau tidak. Dua keputusan tersebut masing-masing akan menghasilkan konsekensi yang berbeda yaitu:

(7)

Apabila lahan pertanian tersebut tetap dipertahanakan sesuai fungsi asalnya maka :

1) Lahan pertanian tersebut hanya akan mampu menghasilkan produksi 40-50 ton gabah kering per tahun..

2) Menyerap ±50 orang tenaga kerja

3) Mengasilkan pendapatan asli daerah dari sektor pajak sebanyak Rp. 500.000 per tahun.

b. Keputusan ke Dua

Apabila lahan pertanian tersebut dialih fungsikan menjadi kawasan industri maka :

1) Kawasan industri tersebut akan mampu menghasilkan ≥ 5.000.000 potong pakaian per tahun.

2) Kawasan industri tersebut akan mampu menyerap ≥ 5.00 orang tenaga kerja dari daerah asalnya.

3) Mengasilkan pendapapatan asli daerah dari sektor pajak sebanyak Rp. ≥50.000.000 per tahun.

Dua buah pilihan tersebut apabila dihadapkan kepada seorang kepala daerah yang kurang memahami tentang pengelolan sumber daya lahan, pasti akan memilih untuk mengalih fungsikan lahan pertanian tersebut menjadi kawasan industri. Berbeda dengan seorang kepala daerah yang memahami tentang pengolaan sumber daya lahan, pasti akan menolak tawaran untuk mengalih fungsikan lahan pertanian tersebut menjadi kawasan industri. Hal ini dasarai dengan pertimbangan diantaranya :

a. Pembangunan sebuah kawasan industri akan menggunakan banyak sumber daya air, sehingga kebutuhan air untuk kegiatan rumah tangga akan tertanggu

b. Polusi dan limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri akan berakibat kurang baik terhadap lingkungan.

(8)

d. Pemilik industri bisa kapan pun menutup perusahaanya yang mengkibatkan hilangnya lapangan pekerjaan, dan juga meninggalkan kerusakan lingkungan.

Berdasarkan contoh kasus yang disampaikan oleh penulis menggambarkan bahwa pentingnya pengetahuan pengelolaan sumber daya lahan dalam mengambil sebuah kebijakan.

3. Paradigma Industrialisasi

Paradigma pembangunan yang dominan sesudah memperoleh kemerdekaan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah industrialisasi,

selain diharapkan dapat menangkat harkat hidup penduduk di negara-negara yang sedang berkembang, secara politis industrialisasi juga bisa menyamakan kedudukan negara-negara tersebut dengan negara-negara barat, yang sebagaian besar adalah negara-negara yang pernah menjajah mereka. Akibat dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan, maka pembangunan sektor pertanian relatif ditelantarakan. Menjelang berakhirnya abad ke-20, paradigma industrialisasi berubah termasuk di Indonesia yang semula diprediksi akan menjadi negara industi, seketika berkahir pada saat dilanda krisis moneter. Industri yang dibangun dengan investasi besar terpaksa menghentikan produksi, karena meningkatnya ongkos produksi yang disebabkan menurunnya mata uang rupiah terhadap mata uang dolar dan mengakibatkan jutaan buruh industri kehilangan pekerjaan.

Peristiwa krisis moneter mengakibatkan kegagalan diberbagai sektor namun kurang berdampak pada sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan. Para petani coklat di Sulawesi justru mengalami keuntungan karena kenaikan harga coklat dipasar internasinal. Ketahanan sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan perubahan pola pikir dari pembangunan idustrialisasi menjadi pembangunan sektor pertanian. Kemudian untuk membangun sebuah agro-industri yang mamapu menjadi mesin pendorong pembangunan ekonomi dibutuhkan investasi yang tinggi dan pada paraktiknya akan bersaing dengan negara-negara maju.

4. Pertanian dalam Lingkungan Global

(9)

mengeluarkan kebijakan untuk petani pulau jawa menanam jenis tanaman tertentu, yang hasilnya dijadikan komoditas ekspor untuk menghasilkan devisa, dalam membiayai proses industrialisasi negeri Belanda.

Globalisasi yang juga melibatkan petani pada abad ke-21, dalam sistem perdagangan internasional memiliki konsekuensi bahwa Indonesia bukan hanya sebagai penghasil produk-produk pertanian tapi juga akan menjadi pasar dari produk-produk pertanian dari negara lain (pasar bebas). Hal ini berarti bahwa globalisasi adalah persaingan petani antar negara. Globalisasi tidak mengizinkan suatu negara untuk menutup pasar dalam negeri mereka bagi produk-produk partanian dari negara lain. Permasalahan mulai muncul karena pertanian negara maju lebih modern dan efisien jika dibandingkan dengan pertanian di negara-negara berkembang, sehinggga ketika pasar negara berkembang harus membuka diri bagi produk-produk pertanian dari negara maju, maka yang akan terjadi adalah persaingan yang tidak seimbang antara dua jenis sektor pertanian dari dua negara dengan kemampuan ekonomi dan kemajuan teknologi yang berbeda. Sehingga dalm pasar dalam negeri maupun luar negeri produk-produk pertanian dari negara berkembang akan terdesak oleh produk-produk pertanian dari negara maju. Keberhasilan suatu proses pembangunan pertanian dalam era globalisasi akan sangat bergantung pada penguasaaan teknologi pertanian oleh petani dan kemampuan modal dari para petani.

Permasalahan lain di lingkungan perdagangan internasional yang berpengaruh pada pengembangan pertanian negara-negara yang sedang berkembang adalah “hak milik intelektual”, yaitu hak pemilik suatu penemuan atau suatu karya. Hubungannya dengan pengembangan pertanian, akan menyebabkan terjadinya monopoli oleh perusahaan multinasional, terutama dalam hal penyedaiaan bibit unggul yang sangat dibutuhkan oleh petani di negara-negara berkembang yang ingin meningkatkan produktivitas usaha taninya. Sehingga para petani harus menanggung biaya yang tinggi membeli produk dari perusahaan-perusahaan multinasional yang telah memiliki hak intelektual dari produk tersebut.

(10)

menyebabkan negara-negara yang sedang berkembang harus menggantung- kan kebutuhan pangan mereka pada negara-negara industri. misalnya Indonesia, yang semula telah mampu berswasembada pangan, saat ini harus mengimpor produk pertanian, karena banyak lahan petani yang digusur oleh pemilik modal untuk membangun industri, perumahan, perkantoran, lapangan golf dan lain sebagainya. Sehingga penulis memiliki asumsi bahwa liberalisasi ekonomi dapat mengancam ketahanan pangan negara-negara berkembang. Sementara itu, liberalisasi ekonomi/perdagangan dapat menimbulkan kekurangan pangan dan kelaparan, dengan membebaskan tarif impor bahan makanan dan membiarkannya masuk bahan makanan murah akan merugikan petani yang menanam tanaman pangan. Karena harus bersaing dengan bahan makanan yang murah, sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk mengembangkan usaha tani mereka. Kondisi mengenai jumlah ekspor dan impor komoditas pertanian Indonesia bisa dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Ekspor, impor, dan neraca perdagangan komoditas pertanian menurut sub sektor, Januari - Desember 2014

No Sub Sektor

Pangan 367.690 206.174 18.169.821 7.658.856 -17.802.131 -7.452.681 2 Hortikultura 433.342 512.190 1.646.485 1.632.166 -1.213.143 -1.119.975 3 Perkebunan 35.027.211 29.721.915 1.232.500 2.777.185 33.794.711 26.944.729 4 Peternakan 235.200 587.663 1.485.131 3.799.884 -1.249.930 -3.212.221 Total 36.063.443 31.027.942 22.533.937 15.868.091 13.529.506 15.159.851

Sumber : BPS. 2015

(11)

perkebunan sebesar US$ 26,94 milyar, sementara sub sektor lainnya mengalami defisit. Sub sektor tanaman pangan mengalami defisit sebesar US$ 7,45 milyar, sub sektor hortikultura sebesar US$ 1,12 milyar, dan sub sektor peternakan sebesar US$ 3,21 milyar.

Orientasi ekspor sektor pertanian selalu dikatakan baik oleh pejabat pemerintah maupun para pakar ekonomi pertanian di negara-negara berkembang. Salah satu alasan adalah ekspor sektor pertanian dapat menyumbang devisa negara. Selain itu, ekspor hasil komoditas pertanian dapat meningkatkan kehidupan petani. Akan tetapi, dalam era liberalisasi ekonomi, orientasi ekspor sektor pertanian tidak selamanya baik. Kuatnya pendapat tentang ekspor komoditas pertanian dapat menambah devisa negara dikhawatirkan dapat menghilangkan sistem pengelolaan pertanian yang sudah lama dilestarikan oleh penduduk diwilayah tersebut, selian itu juga memiliki potensi yang merusak ekologi pertanian berkelanjutan, sehingga jika pengelolaan sumber daya lahan dalam kegiatan pertanian tidak lakukan secara benar maka dapat membawa kerugian jangka panjang dalam pembangunan pertanian suatu negara.

Sebagai contoh pengembangan pertanian untuk ekspor, misalnya perkebunan kelapa sawit di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang sebagian wilayahnya berasal dari alah fungsi hutan hujan tropis. Sedangkan menurut Jumin (2005, hlm. 241) hutan hujan tropis merupakan wilayah yang perlu dilestarikan keberadaanya, karena

Hampir 90% sumber genetik tanaman buah-buahan berada pada hutan hujan tropis kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pembabatan hutan yang berlebihan akan mengakibatkan punahnya sumber-sumber genetik itu, bila hal itu terus berlanjut maka dikhawatirkan perbaikan genetik masa depan terpaksa dilakukan dengan mengintroduksi varietas dari luar.

(12)

mengalih fungsikan lahan hutan hujan tropis untuk komoditas ekspor dalam jangka pendek memang sangat menguntungkan, tetapi keuntungan tersebut belum dikurangi dengan ongkos yang harus dibayar oleh petani karena keruskan lingkungan maupun hilangnya lahan-lahan pertanian yang dimanfaatkan untuk mempertahankan ketahanan pangan bangsa Indonesia. Ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan pada impor akan menyebabkan setiap saat negara tersebut dapat menghadapi krisis pangan, karena perusahaan penyedia pangan dunia pada umumnya adalah perusahaan multinasional yang setiap saat dapat mempermainkan harga dan supply bahan pangan.

5. Ketahanan Pangan

Salah satu masalah bagi petani di negara berkembang adalah bagaimana memeprtahankan kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sndiri dan bangsa mereka, jika petani tidak mampu mempertahankan ketahanan pangan, berarti negara harus menggantungkan kebutuhan pangan pada perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam sektor produksi pangan. Meurut Sotrisno (2002, hlm. 34) suatu kebijakan pembangunan yang baik harus mengandung tiga unsur, yaitu “ketahanan ekologis, ketahanan mata pencaharian, dan ketahanan pangan”. Suatu pertanian berkelanjutan adalah suatu sistem pertanian yang mendasarakan dirinya pada pemanfaatan sumber alam (tanah, air dan keanekaragaman hayati pertanian) secara lestari. Keanekaragaman hayati merupakan kekuatan petani dalam upaya melestarikan ketahanan pangan. Keanaekaragaman hayati dapat menjadi sumber alternatif dalam penganekaragaman jenis-jenis tanaman budidaya.

(13)

kemungkinan petani untuk mendiversifikasikan usaha tani, serta menghambat terpenuhinya kebutuhan makanan pokok bagi penduduk setempat. Asumsi dalam globalisasi berbeda dengan liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian yang tidak menjadikan proses pembangunan pertanian menjadi lebih bebas, sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat sentralisme pembangunan pertanian.

Pemerintah Indonesia pernah menghimbau kepada petani untuk menanam padi, demi keberhasilan program sasembada pangan. Kemudian setelah memasuku era perdadangan bebas pemerintah Indonesia tidak mengembalikan kekuasaan petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi justru memfasilitasi penyerahan pengusasaan sumber-sumber alam, sistem produksi, serta sistem pemasaran dan perdagangan kepada perusahaan agribisnis global.

Bibit di bidang pertanian merupakan salah satu sarana produksi pertanian yang berkaitan erat dengan ketahanan pangan keluarga, komunitas, dan nasional. Liberalisasi perdagangan telah menutup akses para petani di negara-negara berkembang untuk memperoleh sarana produksi usaha tani mereka. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu keputusan yang dikeluarkan oleh WTO, yakni mengharuskan negara-negara anggota WTO untuk membuka pasar dalam negeri mereka bagi produksi bibit luar negeri, sehingga menimbulkan monopoli perdagangan bibit oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional. Hal ini akan memakasa petani agar tergantung pada perushaan trans-nasional untuk memperoleh bibit yang sangat mereka butuhkan. Sistem ini akan semakin menekan petani, apabila perusahaan trans-nasional juga memonopoli sarana produksi lain, misalnya pupuk, pestisida, dan herbisida.

(14)

Selain kebutuhan akan bibit, para petani juga dihadapakan pada masalah pupuk, probelamatika ini dimulai pada awal program swasembada pangan karena mengharuskan petani untuk menanam jenis komoditas tertentu yang sudah ditetakan oleh pemerintah, sehingga sistem ini menuntut kepada para petani untuk menerapkan pengelolaan lahan susuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah terrmasuk pengggunaan bibit, pada masa itu pemerintah juga memberikan subsidi pupuk. Kemudian setelah program swasemaba pangan tidak menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi susbsidi pupuk mulai diminimalkan dan pemerintah menyerahkan harga pupuk pada mekanisme pasar, hal ini sesuai dengan liberalisasi ekonomi, tetapi berakibat pada ketidakstabilan harga pupuk, karena terjadi persaingan di pasar bebas.

Hasil panen petani Indonesia yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha jarang untuk mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebagai contoh seorang petani jarang dapat menjual padi mereka sesuai dengan standar harga yang di inginkan, karena para petani tersebut harus menjual gabah kering sawah atau basah, untuk membayar hutang pada tengkulak atau pada bank tempat mereka meminjam modal pada saat mulai menanam padi. Meskipun pemerintah menaikan harga gabah kering, harga pupuk yang sebelumnya dipakai oleh petani telah terlanjur melambung tinggi karena adanya faktor monopoli dari prusahaan trans-nasional penghasil pupuk, sehingga hasil panen tidak terlalu memberikan dampak yang berarti terhadap standar ekonomi petani. Pemerintah berusaha memecahkan masalah pupuk tersebut dengan mengimpor pupuk, dan ini berarti bahwa Indonesia akan bergantung pada peruasahaan trans-nasional penghasil pupuk untuk memenuhi kebuthan pupuk bagi sektor pertanian.

(15)

Moderenisasi pertanian di Indonesia yang harus melibatkan pemakaian teknologi terbaru, serta pemaiakan pupuk kimia, insektisida, dan pestisida, menyebabkan ongkos produksi pertanian menjadi mahal bagi petani. Sementara harga jual produk pertanian tetap rendah. Kebijakan pasar bebas ini menghasilkan sebuah pardigma baru yaitu produk pertanian luar negeri menguasai segmen pasar mengah ke atas yang mempunyai daya beli tinggi, produk dalam negeri berada pada segmen pasar mengah ke bawah yang mempunyai daya beli terbatas. Sehingga memaksa petani indonesia dengan harga jual yang rendah. Segmen pasar produk pertanian dalam negeri kemungkinan dapat direbut oelh perusahaan pertanian trans-nasional, karena kemampuan mereka memproduksi produk pertanian denganlebih efisien sehingga dapat menjual dengan harga yang lebih murah dan kemampuan mereka dalam periklanan.

Indonesia memang memiliki keunggulan komparatif sebagai penghasil buah-buahan tropis yang secara teoritis dapat dikembangkan menjadi produk ekspor unggulan. Tetapi dalam praktiknya memiliki bebrapa kendala.

Pertama, dipasaran luar negeri buah-buahan tropika termasuk buah-buahan yang aneh, sehingga memiliki implikasi pada jangkauan konseumen di luar negeri. Karena aneh, maka buah tersebut hanya akan dibeli oleh orang-orang yang telah mengunjugi Indonesia dan pernah makan buah tersebut, sehingga kalah bersaing dengan buah-buahan lokal dari negara tersebut. Kedua, Indonesia bukan satu-satunya penghasil buah tropis Tailand, Malaysia, Filipina juga penghasil buah tropis. Bahkan beberapa negara tersebut telah mampu menembus pasar luar negeri dan mengatasi kendala “musim buah” dengan menggunakan teknologi yang menjamin sebuah pohon dapat terus berbuah sepanjang waktu tanpa berhenti, sehingga supply buah di pasar internasiona dapat terus berjalan sepanjang tahun. Hal ini juga menjamin kelsstarian usaha agribisnis di negara itu. Sementara Indonesia masih tertinggal dalam hal riset mengenai pengembangan hultikultura. Selama ini perhatian kita terpaku pada usaha swasembada pangan, khususnya beras.

(16)

manufaktur, dan berakhir menjadi pekerja di sektor informal. Ketiga, petani kita akan mencoba menanam tanaman yang memiliki potensi pasar besar, misalnya buah tanpa biji. Tetapi dalam pasar bebas ada sebuah ketentuan tentang perlindungan kekayaaan intelektual, sehingga muncul monopoli baru dalam hal bibit unggul, yang akan menghabat pembangunan pertanian di Indonesia, baik yang akan dilakukan oleh perusahaan swasta maupun oleh petani sendiri. Karena buah tanpa biji adalah temuan yang sudah dipatenkan kedalam hak kekayaan intelektual, maka petani Indonesia harus membeli bibit tersebut atau membayar royalti kepada pemegang hak paten tersebut jika akan menjual produknya ke pasar bebas.

6. Perusahaan Trans-Nasional

(17)

Sementara itu semua perusahaan trans-nasional juga mempelopori gene revolution atau bioteknologi yang mampu menciptakan berbagai substitusi dari hasil pertanian, yang selama ini dihasilkan secara tradisional oleh petani di negara-negra yang sedang berkembang. Hal ini akan dapat menggangu kesejahteraan petani di negara-negara yang sedang berkembang, maupun perekonomian nasional di negara-negara tersebut, yang selama ini tergantung pada ekspor hasil-hasil pertanian mereka. Masalah lain yang ditimbulkan oleh genetic revolution adalah ancaman terhadap biosafety. Misalnya para ahli pertanian melihat bahwa upaya untuk menciptakan bibit yang tidak menggunakan herbisida dapat menciptakan jenis gulma baru yang disebut „super gulma”, yang juga tahan terhadap segala jenis herbisida. Bahaya lain dari genetic revolution ini adalah sebagain dari bibit yang sudah diproduksi memiliki kandungan herbisida yang tujuannya untuk mencegah tumbuhnya gulma dan membasmi hama, apabila ada hama yang memakan bagian dari tumbuhan tersebut hama ini akan mati, sehingga apabila hasil dari tumbuhan tersebut dikonsumsi oleh manusia secara terus-menerus maka akan berbahaya bagai kesehatan.

Munculnya bibit-bibit baru yang akan dan sedang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional bertujuan untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan yang dibuat oleh pemulia tanaman pada era revolusi hijau. Namun bibit-bibit baru tersebut dapat mengancam kelstarian dari pertanian di negara-negara yang sedang berkembang, karena rekayasa genetika tanaman tersebut dapat merusak lingkungan sektor pertanain di negara-negara berkembang.

.

B.Desain Pengelolaan Sumber Daya Lahan Pertanian Berkelanjutan di Indonesia

Berdasarkan fakta tentang problematika pertanian di Indonesia maka terdapat tiga poin penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan pertanian di Indonesia.

Pertama, dengan kondisi pertanian Indonesia saat ini hal yang perlu diutamakan yaitu bagaimana menciptakan kebijakan pertanian yang menjamin agar para petani memperoleh hak mereka atas lahan, air dan bibit, yang mereka butuhkan untuk mengelola usaha tani mereka.

Kedua, bagaimana membangun pengelolaan sumber daya lahan

(18)

Ketiga, bagaimana untuk dapat melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam berupa plasma nutfah yang dimiliki oleh Indonesia, tidak hanya untuk kepentingan pembangunan sektor pertanian, tetapi juga sektor-sektor lain dalam perekonomian nsional negara-negara tersebut, demi kesejahteraan rakyat.

Problematika tersebut memerlukan sebuah gagasan-gagasan dan aksi nyata untuk menyelesaikannya, dalam kesempatan ini penulis mencoba untuk memberikan gagasan terhadap sebagian kecil problematika pertanian di Indonesia, diantaranya sebagai berikut :

1. Pandangan Baru Pembangunan Ekonomi Negara

Pembangunan sebuah ekonomi negara adalah pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Kondisi rakyat Indonesia saat ini berdasarkan sensus pendudik tahun 2010 mayoritas masih bekerja di sektor pertanian, sehingga agar tercapainya keberhasilan pembangunan ekonomi negara Indoensia, maka orientasi pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu prioritas utama.

2. Hak Petani Atas Lahan, Air dan Bibit

Munculnya paradigma bahwa pembangunan Indonesia harus bermuara pada terciptanya negara industri mengakibatkan sektor pertanian mendapat pesaing baru mengenai haknya dalam pemakaian lahan dan air. Kemudian fakta yang terjadi saat ini pemerintah dan pemegang kebijakan lainnya di negeri ini mulai mengedepankan kepentingan para industriawan karena sektor industri bisa menambah pendapatan asli daerah. Sehingga perlu adanya jaminan hak petani atas lahan dan air baik dari segi kualitas maupun kuantitas oleh pemerintah.

(19)

3. Peran Sentral Pengetahuan Lokal Masyarakat Tani untuk Membangun Sektor Pertanian

Paul Vidal de la Blache (1845–1918) mengemukakan konsep Genres de vie” (ways of life) atau kebiasaan hidup, yang menggambarkan pola-pola

kehidupan (dengan subjek historis dan budaya). Genres de vie meliputi semua gagasan, kebiasaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan budaya sebagai kesatuan hidup. Hal-hal tersebut meliputi tradisi, rumah adat, aktivitas pertanian, dan kebiasaan nyata lainnya. Berkaitan dengan konsep tersebut terhadap pola perilaku petani Indonesia yang sering mengggunakan pengetahuan lokal dalam aktivitas sektor pertanian diantaranya yaitu budaya masyarakat sunda menyimpan padi pada sebuah lumbung padi (leuit) yang dapat mempertahankan kualitas dari padi tersebut meskipun disimpan selama puluhan tahun, hal tersebut karena mereka menyimpan padi tanpa melepas dari tangkainya, ini berbeda dengan yang saat ini dilakukan oleh masyarakat modern yaitu menyimpan beras bukan padi. Cara menyimpan hasil panen (beras) yang dilakukan oleh masyarakat modern tidak dapat mempertahankan kuliatas dari beras tersebut jika disimpan terlalu lama.

Contoh selanjutnya yaitu penggunaan alat “tunggal” oleh masyarakat asli suku dayak dalam bercocok tanam di lahan gambut dan tidak menggunakan pacul atau traktor. Melalui penggunaan alat tradisional tersebut mereka tidak merusak struktur tanah gambut, sehingga meskipun bercocok tanamnya dilakukan pada lahan gambut tetap memperoleh hasil panen yang efektif. Hal ini berbeda seperti yang dilakukan oleh para transmigran dari pulau jawa, mereka menggunakan cangkul untuk mengolah lahan gambut dan dampat yang ditimbulkan yaitu mereka sering mengalami gagal panen, karena dengan cara mencangkul mereka justru merusak struktur tanah sehingga hanya memperoleh bagian tanah gambut yang tidak subur.

Pengetahuan lokal dalam pengelolaan sektor pertanian merupakan hal penting untuk dipertahankan, karena sistem pertanian ini cukup efektif untuk mendukung ketahanan pangan tanpa dukungan input teknologi modern.

4. Kebijaksanaan dalam Penggunaan Sarana Produksi Pertanian Kimia

(20)

produk pertanian bebas dari kandungan zat kimia. Sehingga dalam kesempatan ini penulis menyarankan agar pemerintah mulai menerapkan kebijakan yang mendukung petani untuk tidak menggunkan pruduk kimia dalam pengelolaan pertaniannya meliputi : pembebasan pajak bagi petani yang melaksanakan usaha non-kimiawi, membuat pasar khusus produk pertanian non-kimawi, pemerintah tidak mengimpor produk-produk kimia untuk pertanian dan menghapus subsisdi produk-produk kimia untuk pertanian.

5. Perlunya Penelitian Pertanian yang Mandiri

Sudah semestinya Indonesia menjadi negara yang mandiri khususnya dalam hal penelitian pertanian, hal tersebut dikarenakan beragam keunggulan komparatif yang dimiliki. Keanekaragaman hayati, keberagaman kondisi geografis, kemajemukan budaya yang dimiliki Indonsia bisa memberikan dua sisi hasil yang berbeda. Kajian penelitian yang perlu dilakukan dalam sektor pertanian diantaranya yaitu pengembangan kultur jaringan tumbuhan tujuannya agar menghasilkan produktivitas pertanian unggul (kuliatas dan kuantitas) tetapi dengan biaya pemeliharaan yang rendah, pengembangan sistem pengemasan dan pemasaran agar produk pertanian Indonesia bisa bertahan lama serta memiliki daya jual tinggi.

6. Pertanian Organik

Perubahan pola konsumsi penduduk negara maju yang mulai beralih ke hasil pertanian organik merupakan variabel penting dalam pengelolaan sistem pertanian di Indonesia karena, negara maju merupakan target utama ekspor produk pertanian negara-negara berkembang (Indonesia). Damayanti (1998) mengemukakan bahwa “pada dasaranya pangkal kesehatan adalah makanan sehat bebas pencemaran” sejalan dengan konsep tersebut maka sudah seharusnya pengelolaan pertanian pada abad ke-21 beralih ke pertanian organik.

7. Program Peningktan Sumber Daya Manusia Sektor Pertanian

(21)

tidak hanya pengetahuan tentang kompetensi cara bercocok tanam, tetapi juga kompetensi dalam mengambil keputusan. Program tersebut bisa dioptimalkan melalui organisasi petani, yang diharapkan dari organisasi ini adalah bisa sebagai wadah pembelajaran bagi para petani agar mereka bisa memiliki kompetensi organisasi yang setaraf dengan orang-orang yang bekerja disektor selain pertanian.

C.Aplikasi Pengelolaan Lahan Pertanian Tanaman Kedelai di Indonesia 1. Latar Belakang

Sektor pertanian masih memegang peranan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, dimana peran ini dapat digambarkan melalui kontribusi yang nyata dalam pembentukan kapital, penyediaan lapangan pekerjaan, sumber devisa negara dan sumber pendapatan serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan. Salah satu peran strategis pertanian adalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia yang berjumlah 237,64 juta jiwa (2010) dengan laju pertumbuhan sebesar 1,25 persen per tahun, dimana tugas ini merupakan tugas yang tidak ringan. Pada kondisi tersebut Kementrian Pertanian selama lima tahun kedepan menempatkan beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula sebagai lima komoditas pangan utama (Kementerian Pertanian, 2010).

Kedelai salah satu komoditas pangan utama, merupakan tanaman palawija yang kaya akan protein dan memiliki arti penting sebagai sumber protein nabati untuk peningkatan gizi masyarakat. Menurut Direktorat Gizi (2001), biji kedelai mengandung gizi yang cukup tinggi, terutama proteinnya yang mendekati protein susu sapi (+ 35-38 %). Pemanfaatan kedelai disamping sebagai sumber protein dan lemak juga mengandung vitamin dan mineral serta merupakan sumber serat sehingga dapat digunakan sebagai makanan penurun kolesterol dan dapat mencegah penyakit jantung serta dapat berfungsi sebagai antioksidan juga dapat mencegah penyakit degenaratif seperti diabetes melitus dan kanker (Astawan, 2009). Oleh karena itu, kebutuhan kedelai akan meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat tentang makanan sehat dan pertambahan jumlah penduduk.

(22)

kecap dan tauco serta aneka olahan kedelai lainnya. IKM kedelai menyerap tenaga kerja sebanyak lebih kurang 273 ribu orang, dengan nilai produksi total sebesar Rp. 1,74 triliun (Ditjen Industri Kecil dan Menengah, 2011). Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Potensi Industri Kecil Pengolahan Kedelai Tahun 2011

No Jenis Industri Perusahaan (Unit Usaha)

Sumber : Ditjen Industri Kecil dan Menengah-Kementerian Perindustrian (2011)

Permintaan kedelai yang terus meningkat tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, padahal Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai pada tahun 1992, namun kemudian produksi dalam negeri terus menurun sehingga dilakukan impor yang cukup besar. Menurunnya produksi kedelai dalam negeri ini antara lain disebabkan oleh rendahnya produktivitas, dimana produktivitas kedelai di Indonesia selama dua belas tahun terakhir hanya berkisar antara 12,01–13,73 ku/ha. Sementara potensi hasil dari berbagai varietas berkisar antara 20,00 – 35,00 ku/ha. Senjang hasil ini terjadi karena para petani belum menerapkan sepenuhnya teknologi budidaya kedelai terutama dalam penggunaan benih unggul (Ditjen Tanaman Pangan, 2012). Pemerintah hingga kini telah melepas sebanyak 73 varietas unggul kedelai dimana 19 varietas unggul tersebut berpotensi hasil antara 21,60– 35,00 ku/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2010).

(23)

Hal lain yang menyebabkan rendahnya produksi kedelai adalah rendahnya penggunaan teknologi budidaya kedelai terutama penggunaan input produksi yaitu pupuk. Mahalnya harga pupuk yang mengakibatkan para petani tidak mampu membeli pupuk tersebut sehingga tidak dapat meningkatkan produksi kedelai. Diharapkan dengan adanya subsidi harga pupuk maka daya beli petani kedelai akan meningkat. Dengan asumsi jumlah anggaran tetap, harga pupuk rendah maka para petani dapat membeli pupuk lebih banyak sehingga dengan penggunaan pupuk yang lebih banyak akan meningkatkan produksi kedelai. Peningkatan produksi ini akan meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani.

Besarnya impor kedelai juga dipicu oleh perubahan kebijakan tata niaga kedelai yakni dengan diberlakukannya pasar bebas mengakibatkan meningkatnya kedelai impor dengan harga murah. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya minat petani untuk melaksanakan usahatani kedelai karena insentif yang diterima rendah. Rendahnya produksi ini diduga selain disebabkan oleh harga kedelai impor yang murah juga berkaitan dengan efisiensi penggunaan input produksi.

Disisi lain struktur pasar kedelai internasional lebih bersifat pasar oligopolistik, sehingga negara importir seperti Indonesia sangat beresiko tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Hal ini menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan peran kedelai sebagai salah satu pangan utama yang merupakan sumber protein bagi masyarakat Indonesia. Walaupun Indonesia mengimpor kedelai, yang harus dihindari adalah sifat ketergantungan kepada impor yang besar pada satu negara seperti Amerika Serikat. Karena Amerika Serikat sering menggunakan instrumen impor untuk menekan negara yang tidak sejalan dengan politik dan kepentingannya (Nuryanti dan Kustiari, 2007).

(24)

Produksi kedelai di Indonesia selama 8 tahun (2000 – 2007) terus menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 6,80 persen. Pada tahun 2000 produksi mencapai 1,02 juta ton dengan luas panen 0,82 juta ha dan produktivitas sebesar 12,34 kuintal/ha, tahun 2007 produksinya hanya 0,59 juta ton dengan luas areal panen 0,46 juta ha dan produktivitas sebesar 12,91 kuintal/ha. Namun pada tahun 2008-2009 produksi kedelai mulai meningkat masing-masing sebesar 30,91 persen dan 24,59 persen dimana kenaikan ini antara lain didorong dengan membaiknya harga kedelai dunia dan dilaksanakannya program peningkatan produksi kedelai. Pada tahun 2010 kebutuhan kedelai domestik sebanyak lebih kurang 2,65 juta ton dengan laju pertumbuhan 2,3 persen setiap tahun, sedangkan produksi dalam negeri pada tahun 2010 hanya 0,91 juta ton atau baru memenuhi 34,21 persen dari total kebutuhan, selebihnya dipenuhi dari impor (Ditjen Tanaman Pangan, 2010). Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional termasuk kedelai tumbuh lambat bahkan stagnan karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air serta stagnasi pertumbuhan produktivitas dan tenaga kerja pertanian. Ketidak seimbangan pertumbuhan permintaan dan kapasitas produksi nasional ini mengakibatkan penyediaan pangan nasional termasuk kedelai yang berasal dari impor cenderung meningkat. Ketergantungan terhadap pangan impor ini sering diterjemahkan sebagai ketidakmandirian dalam penyediaan pangan nasional (Saliem dkk, 2003).

Permintaan kedelai impor selama kurun waktu 1999-2002 terus meningkat dengan laju 14 persen per tahun. Sebaliknya produksi kedelai dalam negeri selama kurun waktu yang sama menurun dengan laju 12 persen. Besarnya permintaan dan besarnya pemenuhan dari impor adalah merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan agribisnis kedelai. Kecenderungan meningkatnya impor kedelai menunjukan bahwa pasar kedelai dalam negeri di masa yang akan datang memiliki prospek yang cukup baik (Kusbini, 2010). Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan yang cukup luas seharusnya mampu mengembangkan produksi kedelai nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tidak tergantung kepada impor (Ditjen Tanaman Pangan, 2007). Upaya pengembangan kedelai di Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar domestik harus dikaitkan dengan pasar kedelai dunia, karena apabila terjadi perubahan-perubahan di pasar dunia akan mempengaruhi pasar kedelai domestik.

(25)

menghapus tata niaga kedelai yang semula hanya dilakukan oleh Bulog menjadi importir umum sesuai kemauan WTO dan IMF dengan alasan untuk membantu pengusaha kecil dan menengah untuk memperoleh bahan baku kedelai. Kebijakan ini kelihatan baik namun dengan besarnya impor kedelai dan tidak adanya bea masuk (0 persen) mengakibatkan pemasukan atau pendapatan negara berkurang dan harga kedelai di pasar domestik menjadi murah sehingga berdampak terhadap penurunan produksi kedelai dalam negeri. Disamping itu negara pengekspor kedelai terbesar dunia seperti Amerika, menyediakan subsidi ekspor, sehingga mendorong para importir kedelai di Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas tersebut.

Kedelai impor telah membuat para petani enggan untuk menanam kedelai. Hal ini terjadi karena kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor dari segi harga maupun kualitas. Dengan demikian petani merasa tidak mendapatkan insentif untuk menanam kedelai, apalagi tidak ada jaminan harga pada saat panen raya. Implikasinya adalah terjadi penurunan produksi kedelai dalam negeri sehingga Indonesia semakin bergantung kepada kedelai impor. Persoalannya selama ini, petani kedelai domestik terjebak dalam jaringan perdagangan importir kedelai yang membuat harga kedelai tidak menentu. Saat petani kedelai panen, selalu bersamaan dengan membanjirnya kedelai impor di pasaran sehingga harga jatuh dan akibatnya petani enggan menanam kedelai. Impor kedelai ini perlu diawasi secara serius agar tujuannya tercapai, yaitu menstabilkan harga dan yang lebih utama adalah membuat petani kembali bergairah untuk menanam kedelai.

Dalam usaha tani kedelai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar bisa mencapai produksi yang optimal untuk memperoleh keuntungan maksimal, diantaranya adalah penggunaan faktor input produksi (Setiabakti, 2013). Oleh karena itu alokasi penggunaan faktor input produksi yang optimal perlu dilakukan untuk mencapai efisiensi khususnya efisiensi alokatif sehingga diperoleh keuntungan maksimal.

2. Budidya Kedelai a. Syarat Tumbuh

(26)

b. Teknik Budidaya

Teknik budidaya kedelai yang dilukakan sebagian besar petani umumnya masih sangat sederhana, baik dalam hal pengolahan tanah, pemupukan dan pemberantasan hama/penyakitnya, sehingga produksinya masih relatif rendah. Sebagian besar petani tidak melakukan pengolahan tanah (TOT = tanpa olah tanah), terutama tanah bekas padi atau tebu. Tanah hanya dibersihkan dari jerami padi dan daun tebu, yang selanjutnya bibit kedelai ditebar atau ditugal terlebih dahulu untuk lubang untuk penanaman biji kedelai. Selain itu kualitas bibitnya kurang baik, sehingga produksinya relatif rendah. Dalam hal pemupukan, sebagian besar petani belum melakukannya secara intensif atau semi intensif. Tidak menggunakan pupuk sama sekali atau minim sekali jumlahnya. Demikian juga dalam hal pemberantasan hama penyakit dapat dikatakan kurang sekali, sehingga banyak kerugian atau rendahnya produksi akibat serangan hama penyakit. Teknik produksi yang cukup intensif adalah sebagai berikut :

1) Seleksi Bibit Kedelai

Bibit yang baik adalah berukuran besar, tidak cacat, berwarna seragam (putih, kekuning-kuningan). Jumlah bibit antara 40-50 kg per ha untuk tanaman monokultur, sedangkan untuk tanaman tumpangsari dengan jagung, yaitu 30 kg biji kedelai dan jagung 20 kg per ha.

2) Pengelolaan Tanah

Di lahan kering dengan tanaman tumpang sari, tanah diolah dua kali dengan alat bajak dan luku, sedangkan di sawah dengan tanaman monokultur, tanah dibersihkan dari jerami, kemudian tanah diolah satu kali.Untuk tanah yang pH-nya rendah, diberi kapur atau dolomit antara 200-300 Kg per ha. Pada saat ini juga tanah diberi pupuk dasar, yaitu pupuk SP-36 sebanyak 100 Kg untuk monokultur, sedangkan bila tumpang sari dengan jagung dosisnya adalah sebanyak 200 kg-250 kg per ha.

3) Penugalan Lubang

Untuk tanaman monokultur, dibuat lubang dengan tugal dengan jarak 20 x 30 cm, sedangkan untuk tumpangsari dengan jagung lubang untuk kedelai 30 x 30 cm dan untuk jagung 90 x 90 cm. Lubang untuk jagung dibuat terlebih dahulu, dan setelah jagung tumbuh 2-3 minggu kemudian dibuat lubang untuk kedelai.

(27)

Untuk tanaman monokultur, biji kedelai dimasukan dalam lubangang telah dibuat. Untuk tanaman tumpang sari, biji jagung ditanam terlebih dahulu dan 2 -3 minggu kemudian baru ditanam kedelai.

5) Penyiangan dan Pemupukan

Penyiangan dilakukan setelah tanaman berumur 30-35 hari, dan setelah itu langsung dipupuk, yaitu untuk tanaman monokultur dengan 50 kg urea dan 50 kg KCl. Bila kondisinya masih kurang baik, maka penyiangan dilakukan lagi pada umur 55 hari. Sedangkan untuk tanaman tumpangsari penyiangan dilakukan pada umur jagung 40-45 hari dan setelah itu diberi pupuk sebanyak 350 kg urea dan 100 kg KCl.

6) Pengairan/Drainase

Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik, maka bila kekurangan air, tanaman perlu diberi pengairan, terutama pada umur 1-50 hari. Demikian pula bila tanahnya terlalu banyak air, perlu adanya drainase.

7) Panen

Panen kedelai dilakukan bila sebagian daunnya sudah kering. Caranya adalah dengan mencabut batang tanaman, termasuk daunnya. Selanjutnya dijemur dan setelah kering, batang berbuah tersebut dihamparkan diatas tikar bambu. Kemudian dipukul-pukul agar bijinya jatuh ketikar. Selanjutnya biji kedelai dimasukkan dalam karung.

8) Penjarangan dan Penyulaman

(28)

Daftar Pustaka

Astawan, M. (2009). Sehat dengan Hidangan Kacang-kacangan dan Biji-bijian. Penebar Swadaya: Jakarta.

Damayanti. R. (1998). Pentingnya Penganekaragaman Bahan Pangan. (Prosiding). SPTN

Direktorat Gizi. (2001). Daftar Komposisi Bahan Makanan. Departemen Kesehatan: Jakarta.

Ditjen Industri Kecil dan Menengah. (2011). Olahan Data Kebutuhan

Kedelai untuk Industri Kecil dan Menengah. Kementerian

Perindustrian: Jakarta.

Ditjen Tanaman Pangan. (2007). Pedoman Umum Percepatan Bangkit Kedelai. Ditjen Tanaman Pangan. Departemen Pertanian: Jakarta. Ditjen Tanaman Pangan. (2010). Road Map Peningkatan Produksi Kedelai

Tahun 2010-2014. Ditjen Tanaman. Kementrian Pertanian. Pangan: Jakarta.

Jumin, HB. (2005). Dasar-Dasar Agronomi. Grafindo Persada: Jakarta. Kementrian Pertanian. (2010). Rencana Strategis Kementrian Pertanian

Tahun 2010-2014. Kementrian Pertanian: Jakarta.

Nuryanti, S & Kustiari R. (2007). Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelai dengan Kebijakan Tarif Optimal. Makalah Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian: Bogor.

Saliem, HP. Mardiyanto S & Pancar S. (2003). Perkembangan dan Prospek Kemandirian Pangan Nasional. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 1 Nomor 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian: Bogor.

Setiabakti, D. (2013). Dampak Kebijakan Pengembangan Kedelai Terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Konsumen dan Produsen Kedelai di Indonesia. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gambar

Gambar 1. Grafik Rumah Tangga Usaha Pertanian
Gambar 1. Grafik Rumah Tangga Petani Gurem
Tabel 6. Potensi Industri Kecil Pengolahan Kedelai Tahun 2011

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik lahan, mengetahui kesesuaian lahan untuk tanaman aktual dan potensial yang dibudidayakan upaya perbaikan

Biaya produksi usahatani lahan tanaman pangan para petani yang dekat kota, sesuai kelembagaan tenaga kerja rata-rata Rp1.272.000,- per ha per tahun oleh para petani yang

Dengan nilai tertinggi Kecamatan Maesaan akan sangat mempengarui daya dukung lahan pada daerah tersebut sehingga bisa swasembada pangan memberikan kehidupan yang

Biaya produksi usahatani lahan tanaman pangan para petani yang dekat kota, sesuai kelembagaan tenaga kerja rata-rata Rp1.272.000,- per ha per tahun oleh para petani yang

Kendala pokok yang dihadapi dalam sistem integrasi tanaman dan ternak adalah sumberdaya lahan, jumlah ternak sapi dan modal. Hasil solusi optimal dengan model analisis LP pada

Nilai daya dukung lahan pertanian pangan yang lebih dari 2.47, yang berarti bahwa di wilayah tersebut, luas lahan untuk swasembada pangannya lebih kecil bila

penelitian ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi faktor kendala utama yang dihadapi petani dalam usaha tani di Desa Pringkuku, (ii) mengidentifikasi teknologi

Skor tingkat pengawasan petani Komponen Pengawasan Srd % Kategori Tingkat kesuburan lahan 96,00 Sangat baik Kesiapan menghadapi serangan HPT 95,33 Sangat baik Kendala terbesar dalam