• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Multimedia dalam Pengajaran M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penggunaan Multimedia dalam Pengajaran M"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN MULTIMEDIA DALAM PENGAJARAN MUATAN

LOKAL BAHASA DAERAH

Iqbal Nurul Azhar1

Abstraksi: Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2005, sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedang puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini juga terancam punah. Untuk mengatasi ini pemerintah memasukkan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran resmi yang berbentuk muatan lokal. Namun sayangnya, banyak dijumpai kelemahan dalam pengajaran muatan lokal ini, salah satunya adalah masih monotonnya sistem pengajaran bahasa daerah di kelas. Penerapan metode mengajar yang beragam yang disertai dengan penggunaan multimedia yang bervariasi diyakini mampu menutupi kelemahan ini. Artikel ini mencoba mengulas tuntas hal tersebut.

Kata-kata kunci: muatan lokal, Bahasa daerah, multimedia, kelas

Abstract: Based on a research conducted in 2005, it was found that 10 local languages had already been extinct, and another hundred languages were endangered. To solve this problem, our government placed local languages subject in the group of the official subjects that had to be studied in schools. Unfortunately, there are so many weaknesses can be found related to the teaching processes of the subject in classrooms. The monotonousness of teaching and learning activities is one of the weaknesses. The implementation of various teaching methods accompanied by the usage of multimedia in classrooms, are considered to be the best solution to solve the problem. This article discusses all about this matter.

Keywords: schools’ subject, local languages, multimedia, classroom activities.

1

(2)

A. PENDAHULUAN

Bahasa daerah adalah bahasa komunikasi sehari-hari yang dipakai oleh

masyarakat lokal. Bahasa ini telah bertahan melewati berbagai macam perubahan zaman

dan telah sering bersinggungan dengan bahasa lain seperti bahasa daerah lain, bahasa

asing maupun bahasa Indonesia. Akibat dari berinteraksinya bahasa ini dengan berbagai

macam kondisi dan stuasi, maka muncullah berbagai macam jenis dialek dan logat yang

berbeda. Akibatnya, bahasa daerah yang di ucapkan oleh satu masyarakat, meskipun

secara akar dan rumpun sama, tetapi dalam prakteknya memiliki perbedaan dengan

bahasa daerah yang diucapkan oleh masyarakat daerah lain. Kita ambil contoh yaitu

bahasa Jawa Solo. Meskipun secara rumpun sama, namun dalam beberapa aspek, jelas

berbeda dengan bahasa Jawa Banyuwangi. Demikian pula yang terjadi di Madura.

Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Madura, orang Madura akan dapat terlihat

jelas apakah dia berasal dari Bangkalan atau Sumenep ketika mereka berbicara.

Perbedaan ini bisa dilihat dari perbedaan aksen dan intonasi yang diucapkan oleh dua

masyarakat yang berbeda tapi sama tersebut.

Meskipun berbeda, bahasa daerah ini memiliki kesamaan yang tidak dapat

dibantahkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan sastra. Peribahasa adalah

contoh nyata dari hal ini. Antara masyarakat Malang maupun masyarakat Yogyakarta

pasti tidak akan berbeda pendapat untuk mengartikan Tut Wuri Handayani yang

memiliki makna dari belakang memberikan motivasi untuk maju. Demikian juga

peribahasa Madura Akantha belling kaojanan, yang memiliki makna seseorang yang

tidak mempan untuk dinasehati, pastilah orang Madura Sampang maupun Madura

Jember tidak akan berbeda persepsi untuk mengartikannya. Ada puluhan atau ratusan

bahasa sastra dan peribahasa yang ada di masyarakat daerah yang mungkin akan sayang

sekali apabila bahasa ini hilang hanya karena masyarakat daerah tidak menggunakan

atau bahkan mungkin tidak mempelajarinya sama sekali.

Kekhawatiran ini memang cukup berasalan. Sebuah temuan mengejutkan yang

didapat dari hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi

menjelaskan bahwa sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah,

sedang puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini juga terancam punah

(www. tempointeractive.com). Pada tahun 2005, berdasarkan penelitian Pusat Bahasa

(3)

bahasa, karena 5 bahasa diantaranya mati (www.elbud.or.id.htm). Untuk

menyelamatkan bahasa daerah dari kebinasaan inilah, maka Kurikulum Pendidikan

Dasar dan Menengah mencantumkan Bahasa Daerah sebagai muatan lokal yang harus

dan wajib dipelajari.

Dalam sejarah pengajaran bahasa daerah, seperti survei tahun 1999 (Rusyana

dalam Rosidi ‘ed.’, 1999: 72-75), bahasa daerah diajarkan di lima belas propinsi, yaitu

Aceh, Sumatra Utara, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa

Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Bali. Propinsi lain yang menyusul

mengajarkannya, yaitu Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jakarta, Iirian Jaya, dan Nusa

Tenggara Timur. Bahasa daerah yang diajarkan adalah bahasa Aceh, Gayo, Batak

Mandaliling, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Melayu, Rejang,

Lampung, Sunda, Cirebon, Madura, Dayak Simpang, Dayak Kanayatan, Banjar, Kutai,

Tombulu, Tonsawang, Mongondow, Bugis, Makasar, Mandar, Toraja, Tolaki. Muna,

Wolio, dan Bali. Bahasa-bahasa daerah itu diajarkan di semua SD dan SLTP. Untuk

tingkat SLTA, seperti bahasa Jawa baru diajarkan di sekolah guru dan SMU Bahasa.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang pada substansinya adalah

kurikulum berbasis kompetensi, menawarkan setitik asa terhadap peningkatan kualitas

pembelajaran bahasa daerah sebagai salah satu muatan lokal. Bahasa daerah yang

dulunya posisinya masih belum pasti karena tidak ada aturan jelas tentang tata laksanya,

kini mulai mendapatkan perhatian. Perhatian ini setidaknya akan meminimalisir

bervariasinya perlakuan daerah terhadap mata pelajaran ini.

KTSP (Depdiknas, 2006) memberikan arahan tentang posisi bahasa daerah

dalam proses pembelajaran di sekolah. Mata pelajaran ini merupakan kegiatan kurikuler

untuk mengembangkan kompetensi siswa yang disesuaikan dengan potensi daerah

beserta ciri khasnya, termasuk di dalamnya keunggulan daerah, corak kehidupan lokal

daerah tersebut yang kesemuanya dikelompokkan ke dalam topik atau subtopik yang

bervariasi. Inti dari mata pelajaran bahasa daerah ini ditentukan oleh Satuan Pendidikan.

Keberadaan mata pelajaran bahasa daerah merupakan bentuk penyelenggaraan

pendidikan yang tidak terpusat. Inilah wujud nyata desentralisasi pendidikan yang

(4)

Muatan lokal (mulok) sebagai salah satu unsur muatan Kurikulum 1994 mulai

diterapkan sejak tahun 1994. Status mulok sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib

diajarkan di sekolah (dasar dan menengah) kemudian diperkuat posisinya dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang

disahkan pada tanggal 8 Juli 2003 (pos kupang.com). Sayangnya, meskipun sudah lama

diterapkan, hasilnya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal mendasar

yang mungkin dapat dijadikan alasan adalah bahwa bahasa daerah adalah bukan bahasa

official/resmi yang wajib dipakai di dalam segala kegiatan formal. Bahasa daerah

hanyalah bahasa komunikasi sehari-hari yang ketika dipakaipun kadang kurang

memenuhi standard penggunaannya karena sering dicampur adukkan dengan bahasa

lain. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi negara Indonesia dipakai sebagai

bahasa formal yang kegunaannya akhir-akhir ini menjadi “trend” dan mampu

“mengalahkan” penggunaan bahasa daerah dalam masyarakat.

Sebagai bukti nyata ada dalam pelaksanaan Festival Duta Wisata di Madura. Dari

hasi pengamatan penulis2, tidak kurang dari 40 persen peserta festival tidak bisa

berbahasa daerah, 60 persen sisanya bisa berbahasa daerah dengan catatan bahasa yang

mereka pakai adalah bahasa kasar3. Hanya 3 persen dari keseluruhan peserta festival

tersebut yang mampu secara lancar mengungkapkan idenya dengan menggunakan

bahasa halus secara tepat dan lancar. Fenomena ini dapat menjadi pukulan telak

terhadap masyarakat Madura, karena para calon duta wisata yang diharapkan mampu

mewakili nama baik kota tempat kelahiran mereka ternyata memiliki kelemahan yang

mungkin bagi sebagian masyarakat yang masih memegang teguh budaya sebagai cacat

yang tidak termaafkan. Berkaca dari pengalaman tersebut, maka timbul sebuah

pertanyaan yang perlu kita kaji secara mendalam. Mengapa semua itu bisa terjadi?

Secara logis, satu pertanyaan tersebut muaranya berasal dari dua hal. Yang

pertama adalah dari faktor keluarga sebagai basis pendidikan terkecil dari masyarakat,

dan yang kedua adalah dari tempat mereka menimba ilmu yaitu sekolah. Dan andaipun

kita diminta untuk membandingkan keduanya, lebih besar manakah pengaruh keluarga

dan sekolah yang menyebabkan fenomena ini mampu terjadi, maka kita dengan yakin

dapat menunjuk sekolah sebagai bagian yang menyumbang tangan terhadap adanya

2

Penulis pernah menjadi juri Story Telling dalam Festival Kacong-Jebbing Bangkalan 3

(5)

fenomena ini terjadi. Mengapa Sekolah? Karena jelas lembaga ini memiliki perangkat

formal yang sebenarnya sangat mampu menanggulangi masalah tersebut. Perangkat

pertama adalah sistem, yang kedua adalah kurikulum. Sistem dapat memaksa anak-anak

untuk belajar bahasa daerah dengan baik dan benar melalui pelaksanaan pembelajaran

formal sehari-hari yang kemudian secara formal pula dikhiri dengan ujian, sedangkan

kurikulum adalah kerangka dan pedoman nyata akan kemana mata pelajaran muatan

lokal ini diarahkan.

Sistem dan kurikulum ini memang telah diimplementasikan oleh sekolah-sekolah

yang mengajarkan muatan lokal bahasa daerah. Namun sayangnya ada banyak sekali

kelemahan yang dijumpai, diantara lain: (1) materi pengajaran bahasa daerah lebih

banyak menekankan pada pembahasan peribahasa, arti kosakata, isi dari sebuah teks,

perubahan bahasa kasar ke bahasa halus, dan bagaimana menulis dengan huruf kuno

(honocoroko, hanacaraka), sedang pembahasan tentang tata bahasa daerah yang baik

dan bagaimana mengucapkan satu kata lewat metode menyimak, jarang dilaksanakan.

Padahal tidak semua siswa di sekolah tersebut adalah asli orang daerah tersebut.

Mereka butuh kaset atau media lainnya yang bisa mereka pelajari di rumah yang berisi

kosakata dan bagaimana cara mengucapkannya. (2) kegiatan pembelajaran masih

menggunakan gaya lama, yaitu ceramah dan jarang melibatkan kegiatan praktek seperti

presentasi menggunakan bahasa daerah halus, atau memberikan sambutan dengan

menggunakan bahasa daerah. (3) Guru jarang atau bahkan mungkin tidak pernah

memakai peralatan multimedia seperti tape, dan TV untuk mengajarkan bahasa daerah

di kelas. Padahal sumber belajar anak-anak tidak hanya ada di buku diktat mereka saja.

Kelemahan yang dipaparkan di atas menyebabkan pengajaran bahasa daerah

terkesan monoton dan membosankan, sehingga banyak diantara siswa yang malas untuk

belajar dengan sungguh-sungguh ketika pengajaran bahasa ini dilaksanakan.

Dari apa yang telah disebutkan di atas, maka tulisan ini mencoba menawarkan

konsep pengajaran muatan lokal bahasa daerah dengan memanfaatkan multimedia

sebagai salah satu sarana untuk menarik minat siswa untuk lebih tekun belajar bahasa

daerah mereka sendiri. Fokus diskusi dari konsep yang ditawarkan dalam artikel ini

akan dibagi ke dalam empat poin penting yaitu; (a) bagaimana membuat pembelajaran

bahasa daerah bermakna dan menarik (b) manfaat media dalam pengajaran bahasa

(6)

(d) bagaimana memanfaatkan sarana belajar multimedia dalam pengajaran bahasa

daerah.

B. MEMBUAT PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH BERMAKNA DAN MENARIK

Pembelajaran bahasa daerah hendaknya berlangsung tidak sekedar meaning

getting, tetapi berupa proses meaning making, sehingga akan terjadi internalisasi

nilai-nilai dalam diri siswa. (wibawa, sutrisna, 2007). Dengan pola ini, siswa tidak dipaksa

bekerja keras menggunakan aspek kognitif mereka untuk memahami seperangkat

kaidah. Energi mereka lebih diarahkan kepada pengembangan aspek afektif, sesuai

dengan sifat bahasa daerah itu sendiri yang sebagian besar bersubstansikan nuansa

afektif. Konsep pembelajaran seperti ini akan dapat diimplementasikan dengan baik

pada semua pengajaran bahasa daerah di daerah manapun, karena pada dasarnnya

bahasa-bahasa daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang sama, yaitu penuh

dengan substansi afektif.

Belajar dari pelaksanaan pembelajaran muatan lokal kurikulum 1994, guru

sebagai manajer, team leader, pendidik dan sutradara kegiatan kelas terkesan kurang

memahami apa yang ditulis dalam GBPP mereka. Tanpa pemahaman penuh terhadap

apa yang tertulis dalam GBPP tersebut, mereka melaksanakan kegiatan

belajar-mengajar. Dengan penuh ketidakyakinan, mereka menjelaskan apa saja yang mereka

ketahui. Kesulitan ini menyebabkan guru kehilangan fokus karena perhatian mereka

terpecah. Selain guru harus dapat memahami GBPP, guru juga harus dapat menyiapkan

skenario pembelajaran yang baik. Karena masalah inilah, guru hanya menjelaskan saja

kepada siswa beberapa teori verbalistik (aspek kognitif saja) dan bukan berusaha

membuat mereka memahami dan mengarahkan mereka kepada mencintai (salah satu

aspek afektif). Tentu keadaan ini dapat dijadikan sebagai cermin berharga untuk

berkaca terhadap kelemahan pembelajaran bahasa daerah saat ini yang dapat digunakan

untuk pembenahan pembelajaran bahasa daerah di tahun-tahun yang akan datang.

Pola pembelajaran bahasa daerah dengan KBK didasarkan atas pendekatan

kontekstual atau yang dikenal dengan pola pembelajaran CTL (Contextual Teaching and

Learning). Pembelajaran kontekstual sebagai dijelaskan dalam KTSP (Depdiknas,

(7)

atau topik yang diajarkannya dengan keadaan di kehidupan nyata dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam

kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran

efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan

(inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi

(reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Dengan konsep itu, hasil

pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung

alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer

pengetahuan dari guru ke siswa.

Untuk pelaksanaan pembelajaran, dapat digunakan pendekatan “penyatukaitan

diri dengan yang dipelajari” (immerison, mencelupkan diri ke dalamnya) (wibawa,

sutrisna, 2007). Penerapan dari pendekatan ini, dalam pembelajaran bahasa daerah,

siswa harus dibawa secara langsung dengan cara melibatkan diri mereka ke dalam

pembelajaran bahasa tersebut secara utuh. Siswa diajak menggunakan bahasa daerah

secara langsung untuk menulis atau mengarang, berbicara, membaca, dan menyimak.

Kebiasaan guru menguasai kelas dengan ceramahnya yang panjang lebar tentang bahasa

daerah hendaknya perlu dikurangi atau bahkan mungkin dihindari. Yang diperlukan

guru di dalam kelas hanyalah memberikan instruksi seperlunya untuk mengarahkan

siswa bagaimana seharusnya mereka belajar bahasa daerah di kelas tersebut.

Selebihnya, diserahkan kepada siswa karena merekalah sebenarnya pusat pembelajaran.

Namun apabila diperlukan, guru dapat tetap menggunakan metode lama yaitu ceramah,

dan itupun hanya dilaksanakan ketika benar-benar dibutuhkan, seperti ketika guru

menjumpai sebuah pertanyaan yang tidak mungkin dijawab tanpa melakukan penjelasan

secara klasikal di depan kelas.

Proses immersion ini dapat diimplementasikan ke dalam berbagai macam

kegiatan kelas. Kita ambil contoh dalam pembelajaran berbicara, siswa secara langsung

belajar untuk berbicara (berkomunikasi dengan orang lain, berpidato, bercerita, dan

menyanyi). Mereka diberi kesempatan untuk berekspresi menggunakan bahasa daerah

mereka. Tugas guru hanyalah membetulkan jika ada kesalahan penggunaan kata dan

tata bahasa. Pembelajaran menulis juga demikian. Siswa diajak menulis atau mengarang

secara langsung (mengarang puisi, cerita pendek, cerita bebas, atau lainnya). Dalam

(8)

untuk membangkitkan semangat siswa dalam belajar. Multimedia ini digunakan untuk

menampilkan penggunaan bahasa secara langsung yang ada di masyarakat seperti

tayangan ketoprak, ludruk, lagu-lagu campur sari, pentas wayang, panembrama,

karawitan, dan lomba puisi berbahasa daerah.

Menggunakan permainan individu atau kelompok dalam pengajaran bahasa

daerah juga dianjurkan. Selain menghindari pembelajaran yang monoton, permainan

juga dipakai untuk melatih kreatifitas mereka. Semakin dini kreatifitas ini diasah,

semakin bagus dan jelas hasilnya.

Yang tak kalah pentingnya adalah penggunaan media. Raharjo (1991

menyatakan bahwa visualisasi mempermudah orang untuk memahami suatu pengertian.

Sebuah pemeo mengatakan bahwa sebuah gambar “berbicara“ seribu kali dari yang

dibicarakan melalui kata-kata (a picture is worth a thousand words). Hal ini tidaklah

berlebihan karena sebuah wayang atau gambarnya akan lebih menjelaskan barangnya

(atau pengertiannya) daripada definisi atau penjelasan dengan seribu kata kepada orang

yang belum pernah mengenalnya.

Media pembelajaran sebagai faktor eksternal dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan efisiensi belajar karena mempunyai potensi atau kemampuan untuk

merangsang terjadinya proses belajar. Misalnya, (a) menghadirkan obyek langka:

seperti kereta kencana, jenis-jening tembang (b) konsep yang abstrak menjadi konkrit:

peribahasa, sistem masyarakat, (c) mengatasi hambatan waktu, tempat, jumlah dan

jarak: siaran radio atau televisi pendidikan, (d) menyajikan ulangan informasi secara

benar dan taat asas tanpa pernah jemu: buku teks, modul, program video atau film

pendidikan berbahasa daerah,. (e) memberikan suasana belajar yang santai, menarik,

dan mengurangi formalitas.

C. MANFAAT MEDIA DALAM PENGAJARAN BAHASA DAERAH.

Multimedia dalam pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakan

komunikasi audio visual. Media ini semula dilihat sebagai teknologi peralatan, yang

berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan sarana untuk mencapai tujuan

pendidikan atau dengan kata lain mengajar dengan alat bantu audio-visual. Multimedia

(9)

media dalam pendidikan, psikologi pembelajaran dan pendekatan sistem dalam

pendidikan.

Media memiliki multimakna, baik dilihat secara terbatas maupun secara luas.

Munculnya berbagai macam definisi disebabkan adanya perbedaan dalam sudut

pandang, maksud, dan tujuannya (www. didikwirasamodra.wordpress.com). NEA

(National Education Association) dalam mustolih (2008) memaknai media sebagai

segala benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca, atau dibincangkan

beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut.

Raharjo dalam dickywirasamodra (2008) menyimpulkan beberapa pandangan

tentang media. Raharjo menempatkan media sebagai komponen sumber, dan

mendefinisikannya sebagai “komponen sumber belajar di lingkungan peserta didik yang

dapat merangsangnya untuk belajar.” Dari definisi ini kita dapat melihat bahwa media dalam peroses pengajaran bahasa daerah dapat digunakan untuk merangsang minat belajar siswa.

Dalam definisi yang lain, Rahardjo menyatakan bahwa media dalam arti yang

terbatas, adalah sebagai alat bantu proses kegiatan pembelajaran.

(www. didikwirasamodra.wordpress.com). Hal ini berarti bahwa media sebagai alat bantu, dapat digunakan guru bahasa daerah untuk memotivasi belajar peserta didik, memperjelas informasi/pesan pengajaran, serta memberikan tekanan pada bagian-bagian yang penting, memberi variasi pengajaran dan memperjelas struktur pengajaran. Di sini media memiliki fungsi yang jelas yaitu memperjelas, memudahkan dan membuat menarik pesan kurikulum yang akan disampaikan oleh guru

kepada peserta didik sehingga dapat memotivasi belajarnya dan mengefisienkan proses

belajar. Di samping itu dikemukakan bahwa kita hanya dapat mengingat 20% dari apa

yang kita dengar, namun dapat mengingat 50% dari apa yang dilihat dan didengar.

Karenanya, penggunaan multimedia, yaitu media yang melibatkan indera pendengaran

atau penglihatan sangat berperan penting dalam proses pembelajaran bahasa daerah.

D. PEMILIHAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH D.1. Kriteria Memilih Media

Tiap jenis media mempunyai karakteristik atau sifat-sifat khas tersendiri.

(10)

menentukan media yang akan dipakai, seorang guru akan mempertimbangkan banyak

hal sebelum menggunakan media tersebut. Terdapat 6 hal yang biasanya dijadikan

pertimbangan oleh guru dalam memilih media, antara lain: jangkauan, keluwesan,

ketergantungan, kendali/kontrol, atribut, dan biaya operasional penggunaan media

tersebut. (www. didikwirasamodra.wordpress.com).

1. Jangkauan

Beberapa media tertentu lebih sesuai untuk pengajaran individual misalnya buku teks,

modul, program rekaman interaktif (audio, video, dan program komputer). Jenis yang

lain lebih sesuai untuk pengajaran kelompok di kelas, misalnya media proyeksi

(OHT, Slide, Film) dan juga program rekaman (audio dan video). Ada juga yang

lebih sesuai untuk pengajaran massal , misalnya program siaran ( radio, televisi, dan

konferensi jarak jauh dengan audio).

2. Keluwesan :

Dari segi keluwesan, media ada yang praktis mudah dibawa kemana-mana,

digunakan kapan saja, dan oleh siapa saja, misalnya media cetak seperti buku teks,

modul , diktat , dll.

3. Ketergantungan Media :

Beberapa media tergantung pemakaianya pada sarana/fasilitas tertentu atau hadirnya

seorang penyaji/guru.

4. Kendali / control :

Kadang-kadang dirasa perlu agar kontrol belajar ada pada peserta didik sendiri

(pelajar individu), pada guru (pelajaran klasikal), atau peralatan.

5. Atribut :

Penggunaan media juga dapat dirasakan pada kemampuanya memberikan rangsangan

suara, visual, warna maupun gerak.

6. Biaya :

Alasan lain untuk menggunakan jenis media tertentu ialah karena murah biaya

pengadaan atau pembuatanya. Media transparansi (OHT ) adalah sarana visual berupa

huruf, lambang, gambar, grafis maupun gabungannya yang dibuat pada bahan tembus

(11)

menggunakan alat yang disebut “overhead projector “ atau OHP. Sebagaimana halnya

dengan semua jenis media proyeksi, OHT mempunyai kemampuan untuk

membesarkan bayanganya di layar atau didinding sejauh kekuatan lensa dan sinar

proyeksinya dapat mendukung. Oleh sebab itu, OHT sangat sesuai untuk kegiatan

seminar, lokakarya, pengajaran maupun latihan yang melibatkan kelompok sasaran

yang cukup besarnya sampai efektif 60 orang.

D.2. Jenis-Jenis Multimedia

Untuk mengemas pembelajaran agar lebih menarik dan tidak membosankan,

guru dapat memanfaatkan sarana teknologi yang ada disekitar. Pemanfaatan teknologi

ini selain membantu guru untuk menyampaikan materi dapat juga meningkatkan

konsentrasi, perasaan ingin tahu dan kreatifitas anak.

Media cukup banyak macamnya, Raharjo (1991) menyatakan bahwa ada media

yang hanya dapat dimanfaatkan bila ada alat untuk menampilkannya. Ada pula yang

penggunaannya tergantung pada hadirnya seorang guru, tutor atau pembimbing (teacher

independent). Media yang tidak harus tergantung pada hadirnya guru lazim tersebut

media instruksional dan bersifat “self contained”, maknanya: informasi belajar, contoh,

tugas dan latihan serta umpan balik yang diperlakukan telah diprogramkan secara

terintegrasi.

Dari berbagai ragam dan bentuk dari media pengajaran, pengelompokan atas

media dan sumber belajar ekonomi dapat juga ditinjau dari jenisnya, yaitu dibedakan

menjadi media audio, media visual, media audio-visual, dan media serba neka.

1. Media Audio: radio, piringan hitam, pita audio, tape recorder, dan telepon .

2. Media Visual

a. Media visual diam : foto, buku, ansiklopedia, majalah, surat kabar, buku referensi

dan barang hasil cetakan lain, gambar, ilustrasi, kliping, film bingkai/slide, film

rangkai (film stip) , transparansi, mikrofis, overhead proyektor, grafik, bagan,

diagram, sketsa, poster, gambar kartun, peta, dan globe.

b. Media visual gerak : film bisu .

3. Media Audio-visual

a. Media audiovisual diam : televisi diam, slide dan suara, film rangkai dan suara ,

(12)

b. Media audiovisual gerak : video, CD, film rangkai dan suara, televisi, gambar dan

suara. .

4. Media Lain

a. Papan dan display : papan tulis, papan pamer/pengumuman/majalah dinding,

papan magnetic, white board, mesin pangganda.

b. Media tiga dimensi : realia, sampel, artifact, model, diorama, display.

c. Media teknik dramatisasi : drama, pantomim, bermain peran, demonstrasi,

pawai/karnaval, pedalangan/panggung boneka, simulasi.

d. Sumber belajar pada masyarakat : kerja lapangan, studi wisata, perkemahan.

e. Komputer

D.3. Multimedia Yang Cocok Dipakai Dalam Pembelajaran Bahasa Daerah

Semua media yang disebutkan di atas sebenarnya dapat dipakai dalam

pembelajaran bahasa daerah. Tergantung dari sekreatif apa guru pengajar muatan lokal

tersebut. Semakin kreatif seorang guru, maka media yang digunakan selama proses

belajar akan semakin bervariasi. Tidak ada batasan berapa jumlah maksimal media yang

dapat dipakai di dalam kelas. Asalkan memiliki keterkaitan kuat dengan tujuan

pembelajaran, dan tujuan pembelajaran tersebut tercapai maka berapapun jumlahnya,

media tersebut dapat diterima

Beberapa media yang sangat bermanfaat untuk digunakan di dalam kelas namun

jarang dipakai oleh guru pengajar muatan bahasa daerah adalah:

a. Media alat elektronik seperti VCD/DVD atau video berisi berbagai program bahasa,

sastra, dan budaya daerah seperti pertunjukan wayang, berbagai upacara tradisional,

lagu-lagu daerah (tembang, campur sari, karawitan) dapat dipakai di dalam kelas.

Pemanfaatan alat elektronik sangat membantu anak-anak terutama yang memiliki

gaya belajar Auditory dan Visual. Apabila materi yang ditayangkan dalam media

tersebut kemudian di evaluasi dengan menggunakan evaluasi yang berwujud

product atau performance, maka anak-anak yang memiliki gaya belajar Kinestetik

akan terbantu.

b. pemanfaatan program komputer dalam bentuk software yang berhubungan dengan

bahasa dapat juga dipakai di dalam kelas atau sebagai sahabat siswa ketika mereka

(13)

Propinsi DIY telah menghasilkan program komputer hanacaraka yang dapat

digunakan untuk pembelajaran membaca dan menulis Aksara Jawa.

c. Model pembelajaran bahasa daerah dengan memanfaatkan media pertunjukan

seperti wayang atau pertunjukan tradisional lainnya kiranya dapat

direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran bahasa daerah di

sekolah.

d. Kegiatan ekstrakurikuler untuk mendukung kegiatan kurikuler juga perlu

digalakkan, misalnya majalah dinding yang memuat karya siswa, sanggar sastra,

karawitan, dan berbagai lomba bahasa, sastra, dan kesenian daerah. Kegiatan

menggunakan bahasa daerah dalam waktu-waktu khusus juga perlu digalakkan,

misalnya kegiatan sehari berbahasa Jawa (hari bahasa Jawa) di beberapa sekolah di

DIY perlu diperluas ke sekolah-sekolah lain. Kegiatan pemerintahan yang

menerapkan kegiatan hari bahasa Jawa juga perlu didukung dan perlu diperluas ke

daerah-daerah lain.

e. pemanfaatan internet (apabila ada) sangat dianjurkan di sekolah. Internet adalah

gudang informasi. Melalui internet, jutaan informasi yang berhubungan dengan

bahasa daerah dapat diakses dengan cepat. Beberapa website berbahasa daerah

(utamanya Jawa) juga dapat digunakan untuk media pembelajaran. Situs-situs itu,

antara lain:

1. www.familiazam.com/bahasa_jawa.htm

2. www.geocities.com/mohdsabilan/

3. www.jawapalac.org/subsastra.htm/

4. http://jv.wikipedia.org/wiki/Kaca_Utama

5. http://jonggringsaloka.org

6. http://padhang-mbulan.blogspot.com

7. www.seasite.niu.edu/Indonesian/jawa/unit1jawa.htm

E. MEMANFAATKAN MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DI KELAS.

Esensi pembelajaran muatan lokal diarahkan pada realitas penggunaan bahasa

daerah dengan ragam dan laras selengkapnya yang didasarkan indeks postur batin

(14)

contoh kegagalan DVC (diksi, verbositas, gramatika) yang harus dihindari, (4)

antisipasi perkembangan kosakata dan (5) istilah bidang iptek. (Sunoto, 2008)

Gagasan yang mengacu pada pendekatan komunikatif tersebut tersaji dalam

bentuk Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang disesuaikan dengan kebutuhan

daerah. Secara utuh, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang diharapkan dapat

dicapai lewat pembelajaran ini dirumuskan dalam bentuk kemampuan untuk

mendengaran dan memehami, berbicara, membaca dan memahami, memberikan respon

secara tulisan berbagai bentuk wacana non sastra maupun sastra baik lisan maupun

tulisan, dan yang terakhir adalah mampu mengapresiasi sastra daerah tersebut dalam

bentuk yang lebih konkret yaitu mencintai karya sastra daerah. Dari gambaran ini kita

dapat membedakan subsatansi pengajaran bahasa daerah ke dalam dua siklus besar yaitu

siklus lisan dan tulisan. Dengan pemetaan ini maka kita dapat menentukan jenis

multimedia pembelajaran yang akan dipakai guru di dalam kelas.

E.1 Pemakaian Multi Media Elektronik dalam Siklus Lisan dan Tulisan a. Siklus Lisan

Siklus lisan terbagi dalam dua ranah yaitu ranah menyimak dan berbicara.

Ketika materi belajar telah sampai pada ranah ini maka multimedia yang cocok adalah

multimedia yang mampu memaksimalkan kemampuan audio dan visual siswa yaitu

mata dan pendengaran mereka. Tidak hanya itu, andaikata memungkinkan, kemampuan

psikomotorik mereka harus juga bisa dioptimalkan melalui kegiatan yang melibatkan

pergerakan tubuh siswa, minimal gerak otot lidah dan mulut dalam bentuk pelafalan.

Misalnya pada mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa, ketika materi telah

masuk pada topik Kareman (hobby) seperti sepedhahan (bersepeda), maka sebaiknya

guru tidak memulai membuka kelas dengan meminta siswa membaca teks, karena

kegiatan membaca teks tidak berada dalam ranah lisan. Sebaiknya guru memulai

membuka kelas dengan cara memberikan informasi-informasi pengantar yang

berhubungan dengan topic (Building Knowledge of the Topic) seperti menanyakan

kepada mereka apakah mereka punya sepeda, sepeda apa yang mereka punya, kapan

(15)

juga dapat membuka kelas dengan memutarkan kaset yang di dalamnya terdapat teks

yang dibacakan dengan menggunakan narasi bahasa jawa, atau guru juga dapat

memutarkan film yang berhubungan dengan hobby bersepeda dan alangkah lebih

baiknya kalau hobi tersebut berhubungan dengan sepeda kuno karena lebih bernuansa

tradisional.

Disini akan terlihat betapa besar peranan multimedia. Selain karena siswa akan

dapat mendengar dan melihat secara langsung apa sepeda itu, bagian-bagiannya seperti

apa, dan cara bersepeda yang sehat itu bagaimana, perhatian mereka akan sepenuhnya

tersita untuk mendengar dan melihat media yang diputar.

Perhatian dari mereka inilah yang sangat penting didapatkan dalam proses

belajar mengajar. Tingkat perhatian mereka dapat diukur dari hasil respon mereka

terhadap pertanyaan yang diajukan oleh guru yang berkaitan dengan topik. Semakin

besar perhatian terhadap media, maka semakin besar pula tingkat kebenaran jawaban

mereka terhadap pertanyaan.

Karena aktifitas yang dilaksanakan berada dalam siklus lisan, maka selain

kegiatan menyimak, terdapat pula kegiatan berbicara. Guru dapat mensetting kegiatan

ini dalam bentuk kegiatan presentasi perorangan tentang hobby bersepeda, atau

andaikata guru ingin kegiatan tersebut lebih menantang lagi, guru dapat membuat

kegiatan roleplay seperti seminar tentang sepeda, atau kegiatan pidato individu dengan

topik budayakan hidup sehat dengan sepeda. Kegiatan presentasi ini jelas melibatkan

aspek psikomotorik yaitu kegiatan menggerakkan mulut dan bagian-bagian tubuh

lainnya. Ketika siswa presentasi, guru dapat menggunakan media seperti pengeras suara

WA (Wireless Amplifier) untuk membantu siswa presentasi dan untuk merekam

presentasi tersebut. Guru dapat memberikan penjelasan bahwa hasil pidato tersebut akan

diputar di kelas sebelah, sehingga dengan adanya penjelasan ini, para siswa akan lebih

bersungguh-sungguh mempersiapkan pidato bahasa daerah mereka. Hasil rekaman

tersebut dapat bermanfaat banyak untuk pembelajaran bahasa daerah tersebut di masa

depan. Selain dapat dijadikan model tentang pidato, hasil pidato tersebut dapat dijadikan

bahan pengajaran yang berhubungan dengan tata ukara maupun kosakata.

Kesalahan-kesalahan kosakata maupun tata bahasa yang ada di dalam pidato dapat ditampilkan dan

dijadikan bahan untuk evaluasi agar tidak diulang untuk dilakukan lagi oleh siswa

(16)

Andaikata guru bermaksud untuk melanjutkan topik tersebut dan

mengarahkannya pada pembahasan tata ukara (tata bahasa), misalnya tentang pola

jejer-wasesa (Subjek-Predikat) maka guru dapat melakukan penjelasan itu dengan

menggunakan slides yang ditampilkan melalui LCD ataupun lewat OHP. Penggunaan

LCD maupun OHP jauh lebih efektif dari pada hanya menggunakan media tulisan di

papan tulis. Selain karena menghemat waktu karena guru tidak perlu menuliskannya di

papan tulis, slide yang ditampilkan dapat jauh lebih menarik karena penuh warna dan

gambar. Di dalam slide juga dapat ditampilkan suara-suara unik yang mampu

mengundang perhatian siswa. Andaikata guru mampu, guru dapat menambahkan slide

dengan informasi tentang contoh pemakaian kata yang benar dalam kalimat, serta

bagaimana intonasi yang bener cara mengucapkan kalimat tersebut.

Media seperti yang sudah disebutkan di atas besar sekali peranannya dalam

menumbuhkan rasa senang dan cinta terhadap bahasa daerah melalui kegiatan apresiatif

dan rekreatif. Selain dengan mendengarkan berita seputar topik, siswa bisa diajak untuk

menikmati lagu-lagu campursari, keroncong, dan langgam Jawa (bahasa Jawa) serta

memahami makna syairnya. Menikmati acara ketoprak humor, ketoprak jampi stres, dan

ludruk humor yang telah direkam dari siaran televisi sangat baik untuk dilaksanakan

dalam siklus lisan ini asalkan sesuai dengan Tujuan Pembelajaran.

Guru juga dapat memprogramkan kegiatan ektrakulikuler yang berhubungan

dengan bahasa daerah dengan cara mengajak mereka secara langsung menikmati

wayang kulit hasil garapan baru seperti yang dipentaskan oleh Ki Enthus Susmono, Ki

Joko Hadiwijoyo ("dalang edan'') sampai ke wayang serius oleh Ki Anom Suroto dan Ki

Manteb Soedharsono. Kegiatan melihat dan menikmati secara langsung ini sangat

sesuai dengan apa yang disebutkan sutrina wibaya sebagai immersion “penyatukaitan

diri dengan yang dipelajari” (wibawa, sutrisna, 2007).

b. Siklus Tulisan

Siklus tulisan sebagai siklus kedua terbagi dalam dua ranah yaitu ranah

membaca dan menulis. Pada dua ranah ini multimedia yang cocok adalah multimedia

yang mampu memaksimalkan kemampuan visual-kognitif dan psikomotorik siswa yaitu

mata dan kemampuan gerak tangan mereka. Karena fokus dari siklus ini adalah

(17)

dalam kelas adalah teks. Karena melibatkan teks tulis, maka penggunaan LCD, buku

modul, komputer, internet, dan alat tulis sangatlah optimal dalam siklus ini.

Untuk membuka siklus ini guru dapat bermain-main dalam fase Building

Knowledge of the Topic (memberikan pengantar informasi yang berhubungan dengan

topic). Kita ambil contoh misalnya dalam pengajaran bahasa Madura. Topik yang akan

diangkat adalah Namen Salak (menanam salak). Guru dapat menggunakan LCD untuk

menampilkan gambar salak dan mengundang mereka untuk membuat kalimat satu saja

di papan tulis yang berhubungan dengan salak. Yang dikoreksi bukan isi dari tulisan itu,

tapi bagaimana bentuk tulisan tersebut, apakah terdapat kesalahan kosa kata atau salah

tata bahasa. Tulisan anak-anak kemudian diberikan koreksi seperlunya. Tidak perlu

terlalu detail, karena focus pembahasan bukan pada tata bahasa, tetapi pada membaca.

Menuliskan satu kalimat hanya pengantar saja sebelum masuk pada materi.

Setelah pengantar, guru masuk pada inti materi yaitu membaca. Ada banyak cara

untuk melaksanakan kegiatan ini. Guru bisa menyuruh siswa membuka buku mereka

dan membacanya jika memang guru siswa punya, atau guru memberikan foto kopi teks

membaca tersebut satu persatu, atau guru bisa menampilkan teks tersebut lewat LCD

atau OHP. Teks yang ada pada buku maupun slide berfungsi sebagai model bacaan bagi

mereka. Model ini yang akan menjadi contoh ketika mereka akan masuk pada fase

menulis.

Jika guru ingin kelas menjadi lebih meriah, siswa dibagi kedalam

kelompok-kelompok kecil dan tiap kelompok-kelompok itu diberikan amplop yang di dalamnya terdapat

kertas-kertas yang berisi sebuah teks yang di potong-potong tiap paragraph. Teks

tersebut berisi segala hal yang berhubungan dengan Namen Salak. Kelompok tersebut

kemudian diminta menyusun potongan paragraph menjadi sebuah teks lengkap.

Kelompok yang tercepatlah yang menang.

Jika jumlah siswa di kelas tidak terlalu banyak, guru dapat memainkan game

running dictation, yaitu permainan perkelompok yang tujuannya adalah untuk

memindahkan teks ke dalam selembar kertas tulis. Untuk memainkan permainan ini,

guru hanya cukup menyiapkan kertas model yang jumlahnya sesuai dengan jumlah

kelompok. Kertas tersebut kemudian ditempelkan di luar kelas. Satu perwakilan siswa

dari tiap kelompok dimainta keluar untuk membaca teks tersebut dan menceritakan apa

(18)

Perwakilan tersebut kemudian digantikan oleh yang lain secara bergiliran untuk

mendapatkan keseluruhan isi teks. Kelompok yang telah dapat menyusun dengan tepat

dan tercepat dari teks yang ditempelkan di luar kelas, kelompok itulah yang menang.

Untuk meningkatkan semangat berkompetisi yang sehat, guru dapat menyiapkan

hadiah yang menarik yang bisa dinikmati bersama-sama oleh anggota kelompok yang

telah memenangkan lomba. Hadiahnya cukup yang murah saja, seperti buku atau

camilan. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan antusiasme siswa dan mempererat

kekerabatan diantara mereka, dapat pula meningkatkan jiwa sportivitas mereka.

Untuk mengoptimalkan kemampuan psikomotorik mereka terutama dalam hal

menulis, guru juga dapat memberikan tugas menulis apa saja tentang salak dengan

menggunakan bahasa daerah. Siswa diberikan keleluasaan untuk mendapatkan inspirasi

dengan mengajak mereka ke lab komputer dan memberikan kesempatan kepada mereka

untuk browsing di internet mencari informasi tambahan tentang salak. Apabila waktu

tidak mencukupi, tugas mereka menulis dapat dibawa pulang sebagai PR.

Dari pembelajaran yang melibatkan kegiatan membaca dan menulis dengan

topik namen salak ini, kita bisa menghitung berapa banyak media yang dipakai. Ada

lebih dari 7 media yang digunakan dalam kegiatan ini, dan semua media yang

digunakan berfungsi untuk mendukung kegiatan pembelajaran agar lebih menarik.

F. SIMPULAN

Dari paparan tentang penggunaan multimedia dalam pengajaran muatan lokal

bahasa daerah di sekolah, dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Bahasa daerah berada dalam situasi yang memprihatinkan, karena banyak

penggunanya yang telah meninggalkan bahasa ini. Untuk mengatasi bertambahnya

bahasa daerah yang mati, maka pemerintah memberlakukan bahasa daerah sebagai

muatan lokal yang dipelajari di sekolah.

2. Meskipun menjadi muatan lokal dan diajarkan di sekolah, mata pelajaran bahasa

daerah masih kurang diminati siswa. Hal ini disebabkan mata pelajaran bahasa

daerah diajarkan dengan cara monoton dan klasikal.

3. Untuk mengatasi masalah ini, metode pengajaran bahasa daerah perlu

dikembangkan, pengembangan ini bias lewat penerapan metode CTL, dan

(19)

4. Penggunaan multimedia juga berperan penting. Selain untuk menumbuhkan

semangat belajar pada siswa, penggunaan media yang bervariasi dapat membantu

dan melayani siswa dengan gaya belajar yang berbeda, Audio, Visual dan

Konestetik.

5. Berbagai macam permainan dapat dimainkan dalam proses belajar siswa. Permainan

ini jika di dukung oleh multimedia akan menghasilkan hasil yang luar biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional RI, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP): Bahan Sosialaisasi. htpp//:www.depdiknas.id.org.

Rosidi, Ajip (editor). 1999. Bahasa Nusantara suatu Pemetaan Awal. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Sunoto, L. Daya Tarik Pelajaran Bahasa Jawa. http://groups.yahoo.com.

Wibawa, Sutrisna. 2007. Implementasi Pembelajaran Bahasa Daerah Sebagai Muatan Lokal. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya Yogyakarta, 8 September 2007

www. didikwirasamodra.wordpress.com. Multimedia Dalam Pembelajaran. Diakses Jumat, 12 September 2008

www. elbud.or.id.htm. Memperbicangkan Nasib Bahasa Madura. Diakses Kamis, 11 September 2008

www. mustolihbrs.blogspot.com. Multi Media dalam Pembelajaran. Diakses Jumat, 12 September 2008

www.pos kupang.com. Kurikulum Mulok Masih Terseok-seok. Diakses Kamis, 18 September 2008

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Kultivar White Fiji dan Yellow Fiji mempunyai respon yang sama terhadap la- ma penambahan cahaya buatan sehingga tidak terdapat perbedaan yang nyata pada semua

Sesuai dengan hasil perhitungan prosentase di atas dapat disimpulkan bahwa aktifitas belajar siswa di kelas kontrol pada materi agama Islam di SMA Al-Bakriyah Lomaer Blega

FPKB berpendapat bahwa Kebijakan Belanja Negara di tahun 2018 yang diperkirakan sebesar 15,1 - 16,0 persen dari PDB harus dapat menciptakan kemaslahatan warga

Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran langsung meliputi pengukuran suhu, kelembaban dan angka total mikrobiologi udara dalam gedung serta data mengenai

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk dijadikan bahan kajian untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh scientific approach terhadap

Dari hasil analisis data yang dapat dilihat pada tabel hasil uji korelasi product moment di atas, menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan pada 53 subjek dengan

Analisa yang digunakan untuk mengevaluasi kelayakan investasi harga air irigasi bagi petani dibatasi hanya dengan metode Benefit Cost Rato (BCR) dan NPV saja,