INTEGRITAS PENDIDIK PROFESIONAL DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN TANGGUNG JAWABNYA PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Iswantir M Abstrak
Guru/Dosen adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Munculnya berbagai persoalan yang berkaitan dengan pendidik, menandakan bahwa intgeritas pendidik dalam melaksanan tugas dan tanggung jawabnya belum maksimal. Di sisi lain, masyarakat sangat membutuhkan pendidik yang profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Pendidik yang profesional akan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional, akan tetapi sebaliknya pendidik yang tidak profesional tidak akan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Pendidik profesional dituntut dengan berbagai persyaratan, memahami tugas dan tanggung jawab, menguasai berbagai kompetensi, serta memahami etika profesi dalam menjalankan tugas-tugas secara profesional.
Harapan yang tinggi dari masyarakat harus dijawab oleh para pendidik dengan melaksanakan tugas dan tanggung jawab keguruan dan kependidikan secara profesional. Apalagi dengan adanya peningkatan kesejahteraan pendidik, diharapkan adanya peningkatan mutu dan kualitas pendidik secara menyeruluh, sehingga mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia meningkat. Akan tetapi, masih muncul berbagai pertanyaan tentang pendidik di Indonesia, setelah adanya peningkatan kesejahteraan dari para pendidik, apakah peningkatan penghasilan yang diterima oleh para pendidik mampu meningkatkan profesionalistas pendidik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya ?
Pendidik profesional adalah orang yang menguasai ilmu pengetahuan sekaligus mampu melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliah (implementasi); mampu menyiapkan peserta didik agar dapat tumbuh dan berkembang kecerdasan dan daya kreasinya untuk kemaslahatan diri dan masyarakatnya; mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri dan konsultan dan moral-spritual serta mampu mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik; dan mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang diridhai oleh Allah
didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang diridhai oleh Allah SWT berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW.
Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibaan; kejujuran.1 Integritas adalah
sebuah konsep konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan hasil. Dalam etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan, dalam yang menganggap konsistensi internal sebagai suatu kebajikan, dan menyarankan bahwa pihak-pihak yang memegang nilai-nilai yang tampaknya bertentangan harus account untuk perbedaan atau mengubah keyakinan mereka. Kata “integritas” berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter.2 Dengan demikian, seseorang
dapat dikatakan “memiliki integritas pendidik” sejauh ia bertindak sesuai dengan, nilai, etika, norma dan prinsip-prinsip keguruan.
Secara umum pendidik itu harus memenuhi dua kategori yaitu memiliki capability dan
loyality, yakni pendidik itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritis tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi, dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal terhadap tugas-tugas keguruan yang tidak semata di dalam kelas, tetapi sebelum dan sesudah kelas. 3 Pendidik yang memiliki integritas
tinggi apabila dapat memenuhi kedua kategori tersebut, baik capability maupun loyality dalam melaksanakn tugas dan tanggung jawabnya.
Pendidik yang memiliki integritas yang penuh dalam melakukan tugas-tugas keguruan, apabila memiliki beberapa hal, yakni: (1) Seorang pendidik benar-benar berkeinginan untuk menjadi pendidik yang baik. (2) Seorang pendidik berani mengambil resiko, mereka berani menyusun tujuan yang sangat muluk, lalu mereka berjuang untuk mencapainya. (3) Seorang pendidik memiliki sikap positif. (4) Seorang pendidik selalu tidak pernah punya waktu yang cukup. (5) Pendidik berpikir bahwa mengajar adalah sebuah tugas menjadi orang tua peserta didik, yakni pendidik punya tanggung jawab terhadap peserta didik sama dengan tanggung jawab orang tua terhadap putra putrinya sendiri dalam batas-batas kompetensi keguruan, yakni pendidik punya otoritas untuk mengarahkan peserta didiknya sesuai basis kemampuannya. (6) Pendidik harus selalu mencoba membuat peserta didiknya percaya diri, karena tidak semua peserta didik memiliki rasa percaya diri yang seimbang dengan prestasinya. (7) Seorang pendidik juga selalu
1 Depdiknas, Op. Cit., h. 437
2http://indrasetiawan17.wordpress.com/2011/08/02/definisi-integritas-dan pengertianintegritas-indolibrary/ diakses tanggal 1 Juni 2011
membuat posisi tidak seimbang antara peserta didik dengan dirinya, yakni dia selalu menciptakan jarak antara kemampuannya dengan kemampuan peserta didiknya, sehingga mereka senantiasa sadar bahwa perjalanan menggapai kompetensinya masih panjang, dan membuat mereka terus berusaha untuk menutupi berbagai kelemahannya dengan melakukan berbagai kegiatan dan menambah pengalaman keilmuannya. (8) Seorang pendidik selalu mencoba memotivasi peserta didiknya untuk hidup mandiri, lebih independent, khususnya untuk sekolah-sekolah menengah atau college, mereka harus sudah mulai dimotivasi untuk mandiri dan independent. (9) Seorang pendidik tidak percaya penuh terhadap evaluasi yang diberikan peserta didiknya, karena evaluasi mereka terhadap pendidiknya bisa tidak objektif, walaupun pernyataan-pernyataan mereka itu penting sebagai informasi, namun tidak sepenuhnya harus dijadikan patokan untuk mengukur kinerja keguruannya. Dan (10) seorang pendidik yang baik senantiasa mendengarkan terhadap pernyataaan-pernyataan peserta didiknya, yakni pendidik itu harus aspiratif mendengarkan dengan baik permintaan-permintaan peserta didiknya, kritik-kritik peserta didiknya, serta berbagai saran yang mereka sampaikan.4
Integritas pendidik profesional sangat ditentukan oleh pendidik itu sendiri dalam mempersiapkan diri menjadi seorang pendidik, kemampuan secara akademik, loyalitas, pelaksanaan pembelajaran, kompetensi, serta keinginan dan kemauan yang kuat menjalankan tugas-tugas keguruan secara baik. Di samping itu, pendidik selalu mengembangkan keilmuannya dalam rangka meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Pendidik juga harus mampu menerima kritaan dan masukan dari berbagai pihak, termasuk peserta didik dalam rangka memperbaiki proses dan hasil pembelajarannya. Dengan demikian ukuran integritas pendidik profesional dapat di lihat dari segi pribadinya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik, dengan memperhatikan kompetensi, kode etik, serta memenuhi kriteria pendidik yang baik di atas. Dengan demikian dapat dipahami bahwa integritas pendidik profesional dalam Islam adalah pendidik yang memiliki konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan hasil dalam pelaksaan pendidikan Islam berdasarkan norma-norma yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Pendidik profesional memiliki integritas yang tinggi diukur dengan etika-etika profesi berdasarkan norma-norma yang terdapat dalam Islam.
A. Pendahuluan
Pendidikan Islam sebagai sistem meliputi: (1) Tujuan : kristalisasi nilai yang ingin diwujudkan dalam pribadi peserta didik. (2) Pendidik: bertanggung jawab, terhadap
perkembangan potensi peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. (3) Peserta didik: anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun psikologis, untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. (4) Kurikulum: rencana dan pengaturan isi dan bahan pelajaran dan cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. (5) Pembelajaran : proses interaksi peserta didik dengan pendidik menggunakan metode yang relevan. (6) Sumber daya: segala yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan : tenaga, dana, sarana. Dan (7) lingkungan: faktor dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi.5 Dalam pendidikan Islam sangat dibutuhkan para pendidik yang profesional
dengan integritas tinggi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Guru/Dosen adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Mereka ini, tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru/dosen. Hal ini itupun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang pendidik/sekolah karena tidak sembarang orang dapat menjabat guru/dosen.6 Ini menandakan
bahwa para orang tua sangat selektif memilih tempat pendidikan anaknya, terutama dengan melihat apakah pendidik yang ada di sekolah tersebut adalah para pendidik profesional yang mampu mengembangkan potensi.
Pendidikan di Indonesia, memang menghadapi dua masalah besar sekaligus, yakni persoalan internal dan ekstenal. Secara internal pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada lemahnya synergy berbagai regulasi yang telah dihasilkan, dan lemahnya synergy berbagai kebijakan sistem yang telah dihasilkan oleh pemerintah, sementara secara eksternal, berbagai tantangan dan peluang justru menunggu peningkatan kualitas hasil pendidikan agar mereka kompetitif, karena pasar negara-negara ASEAN akan diserbu ramai-ramai oleh tenaga muda energik dan berbakat dari berbagai Negara di Asia Tenggara ini.7 Akhir-akhir ini masalah
profesionalisme pendidik banyak diperbincangkan di berbagai media (cetak atau elektronik) dan forum-forum kajian atau seminar-seminar. Ada apa dengan profesionalisme pendidik ? Apakah profesionalisme pendidik merosot, mundur, dan tertinggal dengan negara-negara lain ? Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan benar adanya bahkan banyak pakar mengamati indikasi profesionalisme pendidik di Indonesia yang masih sakit keras, baik pada aspek input, distribusi, mutu akademik, aktivitas ilmiah maupun kelayakan atau penguasaan bidangnya.8
5 Marwan Saridjo (Ed), Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2009, h. 229
6 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996, h. 39 7 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta, Kencana, 2007, h. 7
Munculnya berbagai persoalan yang berkaitan dengan pendidik, menandakan bahwa intgeritas pendidik dalam melaksanan tugas dan tanggung jawabnya belum maksimal. Di sisi lain, masyarakat sangat membutuhkan pendidik yang profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Pendidik yang profesional akan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional, akan tetapi sebaliknya pendidik yang tidak profesional tidak akan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Pendidik profesional dituntut dengan berbagai persyaratan, memahami tugas dan tanggung jawab, menguasai berbagai kompetensi, serta memahami etika profesi dalam menjalankan tugas-tugas secara profesional.
Harapan yang tinggi dari masyarakat harus dijawab oleh para pendidik dengan melaksanakan tugas dan tanggung jawab keguruan dan kependidikan secara profesional. Apalagi dengan adanya peningkatan kesejahteraan pendidik, diharapkan adanya peningkatan mutu dan kualitas pendidik secara menyeruluh, sehingga mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia meningkat. Akan tetapi, masih muncul berbagai pertanyaan tentang pendidik di Indonesia, setelah adanya peningkatan kesejahteraan dari para pendidik, apakah peningkatan penghasilan yang diterima oleh para pendidik mampu meningkatkan profesionalistas pendidik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya ?
Dalam makalah ini akan digambarkan apa yang dimaksud dengan pendidik profesional, apa saja tugas dan tanggung jawab pendidik, kriteria pendidik profesional, kompetensi pendidik profesional dan etika pendidik profesional. Di samping itu, juga melihat bagaimana integritas pendidik profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam perspektif pendidikan Islam ? Pandangan ini dengan menggali berbagai pendapat para pakar pendidikan Islam tentang pendidik dalam perspektif pendidikan Islam.
B. Pembahasan
1. PengertianPendidik Profesional
Dalam konteks pendidikan Islam “pendidik” sering disebut dengan Murabbi, Mu’allim, Mua’dib, Mudarris, dan Mursyid. Mu’allim9 adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi dan implementasi.
Murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapeta bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral indentifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultas bagi peserta didiknya.
Mudarris10 adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaruhi
pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan
9 Di antara para ahli pendidikan Islam yang menggunakan kata al-alim atau al-mu’allim adalah Imam al-Ghazali, Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Abd al-Amir Syam al-Din, Aminah Ahmad Hasan, dll
kemampuannya. Mu’adib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan .11
Selain itu terdapat pula istilah ustadz untuk menunjuk kepada arti pendidik yang khusus mengajar bidang pengetahuan agama Islam. Istilah ini banyak digunakan oleh masyarakat Islam Indonesia dan di Malaysia. Sedangkan kata-kata ustadz dalam buku-buku pendidikan Islam yang ditulis para ahli pendidikan jarang digunakan.Istilah tersebut di Mesir digunakan untuk menunjuk kepada pengertian dokter.12 Ustad adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang
melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen thdp mutu proses dan hasil kerja, serta sikap
continuous improvement.13 Selain itu terdapat pula istilah syaikh yang digunakan untuk merujuk
kepada pendidik dalam bidang tasawuf. Dan ada pula sebutan Kyai, Ajengan, dan Buya. Dan ada pula istilah tuanku yang menunjukkan pada pendidik atau ahli agama untuk masyarakat Minangkabau Sumatera Barat.14
Beragamnya penggunaan istilah pendidik dalam literatur pendidikan Islam, secara tidak langsung telah memberikan pengaruh terhadap penggunaan istilah untuk pendidik. Hal ini tentunya sesuai dengan kecendrungan dan alasan masing-masing pemakai sitilah tersebut. Bagi mereka yang cenderung memakai istilah tarbiyah, tentu murabbi adalah sebutan yang tepat untuk seorang pendidik. Dan bagi yang merasa bahwa istilah ta’lim lebih cocok untuk pendidikan, sudah pasti ia menggunakan istilah mu’allim untuk menyebut seorang pendidik. Begitu juga haknya dengan mereka yang cenderung menggunakan term ta’dib untuk mengistilahkan pendidikan, tentunya mu’addib menjadi pilihannya dalam menggungkapkan atau mengistilahkan seorang pendidik. Namun demikian, tampaknya istilah mu’allim lebih sering dijumpai dalam berbagai literatur pendidikan Islam, dibandingkan dengan yang lainnya.15 Dalam literatur
pendidikan Islam ditemukan istilah pendidik yang beragam dan bervariatif, ini menandakan bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki makna yang lebih kaya dibandingkan dengan pendidikan lain.
Pendidik dalam pendidikan Islam ialah setiap orang dewasa yang karena kewajibannya agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain.16 Pendidik dalam Islam
adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).17 Dalam Undang-Undang No. 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,
11 Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2010, Cet. Ke-3., h. 92
12Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, Jakarta, Rajawali Pers, 2001, h. 42 13 Abdul Mujib, Loc. Cit
14 Abudin Nata, Op. Cit. h.42,
15 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2011, Cet. ke-9, h. 57 16 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1999, h. 83
dosen, konselor, pamong belajar, wudyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Dari berbagai defenisi pendidik di atas, dapat dipahami bahwa pendidik dituntut untuk mampu memberikan layanan professional bukan hanya mengandung makna kegiatan untuk mencari nafkah atau mata pencaharian, tetapi juga tercakup pengertian calling profession, yakni panggilan terhadap pernyataan janji yang diucapkan di muka umum untuk ikut berkhidmat guna merealisasi terwujudnya nilai mulia yang diamanatkan oleh Tuhan dalam masyarakat melalui usaha kerja keras, cerdas, kreatif dan inovatif.18
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah profesionalisasi ditemukan sebagai berikut: Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Profesional adalah (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Profesionalisasi ialah proses membuat suatu badan organisasi agar menjadi profesional”.19 Menurut Sikun Pribadi, seperti yang dikutip oleh Oemar Hamalik, bahwa profesi
itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.20
Istilah profesional berasal dari kata “profesi”. Profesi sebagai berikut: “wewenang praktek kejuruan yang bersifat pelayanan pada kemanusiaan secara intelektual spesifik yang sangat tinggi, yang didukung oleh penguasaan pengetahuan keahlian serta seperangkat sikap dan keterampilan tehnik, yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus, yang penyelenggaraannya dilimpahkan kepada lembaga pendidikan tinggi, yang bersama memberikan izin praktek dan kelayakan praktek dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang diawasi langsung oleh Pemerintah maupun oleh asosiasi profesi yang bersangkutan.
Profesi adalah suatu keahlian (skill) dan kewenangan dalam suatu jabatan tertentu yang mensyaratkan kompetensi (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) tertentu secara khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif.21 Profesionlisme adalah paham yang
mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang professional. Orang professional adalah orang yang memiliki profesi.22 Selanjutnya, Walter Jhonson mengartikan
petugas (profesionalis) sebagai “seseorang yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunyai tingkat kesulitan lebih dari biasa, dan mempersyaratkan waktu persiapan dan
18 Muhaimin, Op. Cit., h. 123
19Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Depdiknas, 2007, Cet. ke-3, h. 897 20 Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta, Bumi Aksara, 2003, h. 2 21 Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta, Rajawali Pers, 2008, h. 46
pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang berkadar tinggi.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.23 Menurut Nyron Leiberman, seperti yang dikutip
Jusuf Amir Feisal, bahwa tekanan utama profesi terletak pada pengabdian yang harus dilaksanakan ketimbang pada keuntungan ekonomi, sebagai dasar organisasi (profesi), penampilan, dan pengabdian yang dipercayakan oleh masyarakat kepada kelompok profesi.24
Pada umumnya setiap manusia mempunyai okupasi atau suatu jenis pekerjaan sebagai mata pencaharian. Di dalam melaksanakan okupasi tersebut ada tingkat-tingkat kemahiran yang dimiliki. Tingkat yang paling rendah ialah apa yang disebut delitan artinya yang mempunyai suatu keterampilan tertentu berdasarkan pengalaman atau dengan mencontoh kepada orang lain. Mereka tidak mempunyai dasar-dasar ilmiah dalam melakukan pekerjaannya. Selanjutnya, para amatir adalah orang-orang yang mempunyai okupasi tertentu yang sangat terampil namun tidak mempunyai latar belakang ilmiah atau pembinaan yang khusus. Para amatir dapat lahir karena turun-temurun, karena hobi. Tingkat yang paling tinggi ialah apa yang disebut profesional.25
Dalam setiap pekerjaan secara ideal diharapkan dilakukan oleh orang-orang yang profesional, bukan amatiran, sehingga hasil yang dicapai bisa maksimal.
Profesionalisasi berkmakna proses untuk mewujudkan kriteria kompetensi professional pada seorang guru. Profesionalisme merupakan sikap yang lahir dari keyakinan terhadap pekerjaan yang diegang sebagai sesuatu yang bernilai tinggi sehingga dicintai secara sadar, yang tampak dari upaya terus menerus dan berkelanjutan dengan melakukan perbaikan. Pendidik professional berupaya untuk mewujudkan sikap dan prilaku kearah menghasilkan peserta didik yang mempunyai hasrat, tekap dan kemampuan memajukan profesi yang berdasarkan ilmu dan teknologi. Dengan sikap dan perilaku, pendidik melakukakn perbaikan berkelanjutan, meningkatkan efisiensi secara kreatif melalui peningkatan produktivitas dan optimalisasi pendayagunaan sumber daya pendidikan.26 Pendidik harus selalu terus menerus meningkatkan
profesionalisme dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan profesinya, sehingga mampu mewujudkan pengembangan potensi peserta didik secara maksimal.
Kegiatan atau pekerjaan itu dikatakan profesi bila ia dilakukan untuk mencari nafkah dan sekaligus dilakukan dengan tingkat keahlian tinggi. Agar suatu profesi dapat menghasilkan mutu produk yang baik, maka ia perlu dibarengi dengan etos kerja yang mantap pula. Ada tiga cirri dasar yang selalu dapat dilihat pada setiap professional yang baik mengenai etos kerjanya, yaitu:
23Undang-Undang Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Tahun 2005), Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 3 24 Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, h. 174 25H.A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, 2000, h. 137
(1) keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pekerjaan (job quality); (2) menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan; dan (3) keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya. Ketiga ciri dasar tersebut merupakan etos kerja yang seharusnya melekat pada setiap pekerjaan professional.27 Ciri-ciri ini membedakan dan menjadi acuan dalam
setiap kerja-kerja profesional dengan etos kerja yang tinggi.
Pendidik professional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ade Suryani menunjukkan bahwa pendidik yang bermutu dapat diukur dengan lima indicator, yaitu: pertama, kemampuan professional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah, pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya professional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar, pengabdian, dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan professional (teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and match) , sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak. Dan kelima, tingkat kesejahteraan (prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya. 28
Pendidik professional juga didefenisikan dengan pendidik yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi disini meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan professional, baik yang bersifat pribadi, social, maupun akademis. Dengan kata lain, pengertian pendidik professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai pendidik dengan kemampuan maksimal. Pendidik yang professional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.29 Pendidik profesional merupakan orang yang telah menempuh program
pendidikan profesi dan memiliki tingkat pengetahuan serta mendapatkan ijazah serta telah berpengalaman dalam mengajar.30
Pendidik profesional adalah orang yang menguasai ilmu pengetahuan sekaligus mampu melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliah (implementasi); mampu menyiapkan peserta didik agar dapat tumbuh dan berkembang kecerdasan dan daya kreasinya untuk kemaslahatan diri dan masyarakatnya; mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri dan konsultan dan moral-spritual serta mampu mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik; dan mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang diridhai oleh Allah.31
27 Muhaimin, Op., Cit., h. 123
28 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2011., h. 251 29 Kunandar, Op. Cit., h. 47
30 Oemar Hamalik,Op. Cit., h. 27
Pendidik professional amat berarti bagi pembentukan sekolah unggulan. Pendidik professional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketakwaan, disiplin, tanggung jawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, terampil, kreatif, memiliki keterbukaan professional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karier peserta serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.32
Menurut Surya, seperti yang dikutip oleh Kunandar, bahwa pendidik yang professional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Selain itu, juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Pendidik yang professional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai pendidik kepada peserta didik, orang tua, masyarakat,bangsa, negara dan agamanya. Pendidik professional mempunyai tanggung jawab pribadi, social, intelektual, moral dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, mengendalikan dirinya, dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Tanggung jawab social diwujudkan melalui kompetensi pendidik dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan social serta memiliki kemampuan interaktif dan efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan pendidik sebagai makhluk beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dan moral.33
Pendidik profesional adalah pendidik yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Pendidik dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, pendidik terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya. Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluagkan waktu untuk menjadi pendidik. Seorang pendidik kerasan dan bangga menjadi pendidik. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi pendidik yang profesional.34
Figur ideal pendidik profesional dalam Islam adalah Nabi Muhammad SAW, sebab Nabi SAW merupakan teladan bagi umatnya, sekaligus sosok pendidik yang ideal, karena Nabi SAW membina aspek material-spiritual manusia. Maka, pendidik dalam pandangan Islam mengikuti pola pendidikan prophetic yang merefleksikan nilai-nilai ketuhanan (teo-sentris) dengan inti
32 Abd. Rahman Assegaf, Op. Cit., h. 254 33 Kunandar, Op. Cit., h. 48
tauhid. Pendidikan yang tauhidik ini ketika dimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak bisa diremehkan aspek antroposentris, sehingga dimensi pendidikan Islam mencakup totalitas teo-antroposentris. Pembenaran terhadap aspek ketuhanan, atau teo-sentris tadi, diambil oleh pendidik dari sumber wahyu, atau (revealed and perennial knowledge), sementara konsepsinya terhadap kealaman dan kemanusiaan dicapai melalui sumber rasional (aquired knowledge). Ringkasnya, seorang pendidik itu memadukan dimensi materil dengan spiritual, jasmani dengan rohani, lahir dan batin, dan duniawi dengan ukhrawi.35
Jadi, seorang pendidik dalam Islam mempunyai nilai tambah (added value), bila dibandingkan dengan pendidik pada umumnya, dari aspek kapasitas keberagamaannya (religious competency). Untuk alasan inilah, pendidik dipersyaratkan tidak hanya berperan sebagai terpelajar, melainkan juga sebagai orang yang berkepribadian utama, yakni seorang yang perilakunya menjadi teladan bagi para peserta didiknya. Soalnya bukan sekedar apa yang diajarkan, tetapi juga apa yang dikerjakan, cara ia melakukan, dan sikapnya baik di dalam maupun di luar kelas, di mana semua itu mestilah bersesuaian dengan perilaku ideal yang dapat diterima oleh peserta didiknya tanpa ragu.36
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidik profesional dalam Islam adalah pendidik yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan sekaligus mampu melakukan transfer ilmu/ pengetahuan, internalisasi, serta amaliah (implementasi); mampu menyiapkan peserta didik agar dapat tumbuh dan berkembang kecerdasan dan daya kreasinya untuk kemaslahatan diri dan masyarakatnya; mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri dan konsultan dan moral-spritual serta mampu mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik; dan mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang diridhai oleh Allah SWT berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW.
2. Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Pada dasarnya terdapat seperangkat tugas dan tanggung jawab harus dilaksanakan oleh pendidik berhubungan dengan profesinya. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik, sangat terkait dengan kompetens-kompetensi yang dimilikinya, baik tugas yang berhubungan dengan tugas utamanya, maupun tugas secara tidak langsung berhubungan dengan tugas utamanya, akan tetapi sangat mempengaruhi dan menunjang keberhasilannya untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugas pendidik secara professional, seorang pendidik harus memperhatikan prinsip-prinsip profesionalitas, yakni; pertama; memiliki bakat memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealism, kedua; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, ketiga; memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, keempat; memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, kelima; memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, keenam; memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesonalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, ketujuh; memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan dan kedelapan; memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan denga tugas keprofesionalan guru.37
Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalaui pengembangan diri dilakukakn secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, berkelajutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.38
Dalam Islam, tugas seorang pendidik dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia. Posisi ini menyebabkan mengapa Islam menempatkan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan lebih tinggi derajatnya bila dibanding dengan manusia lainnya39, seperti yang terdapat dalam Q.S.
al-Mujadalah: 11:
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. al-Mujadalah: 11)
Tugas pendidik secara umum adalah “warasat al-anbiya’”, yang pada hakikatnya mengemban misi rahmat li al-‘alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah SWT, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi. Selain itu tugas pendidik yang utama adalah, menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk ber-taqarrub kepada Allah SWT. 40
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Adapun dosen adalah
37Ibid., h. 6 38Ibid
pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama menstranformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.41
Dalam paradigma Jawa pendidik diidentikan dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu
dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam kehidupan ini. Dikatan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar transformasi ilmu, tapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta didiknya. Pada tataran ini terjadi singkroniasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya ( dilihat oleh peserta didik).42
Dalam perkembangan berikutnya, paradigma pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, yang mendoktrin peserta didiknya untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan skill tertentu. Pendidik hanya bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar. Keaktifan sangat tergantung pada peserta didiknya sendiri, sekalipun keaktifan itu akibat dari motivasi dan pemberian fasilitas dari pendidiknya. Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik bisa menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga Negara, dan pendidik sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya.43
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen pasal 2 ayat 1 dan 2, dinyatakan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tanaga professional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Adapun kedudukan dosen sebagai tenaga professional dinyatakan dalam pasal 3 ayat 1 dan 2, bahwa dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.44
Kedudukan guru sebagai tenaga professional sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk
41Undang-Undang Guru dan Dosen (UU RI. No. 14 Tahun 2005), Jakarta, Sinar Grafika, 2006, h. 2 42 Abdul Mujib, Op. Cit., h. 90
43Ibid., h. 90
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Adapun kedudukan dosen sebagai tenaga professional sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahun, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.45
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab.46
Apabila dikelompokkan ada tiga tugas pendidik, yakni tugas dalam bidang profesi, dan tugas dalam bidang kemanusiaan. Tugas pendidik sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan.47
Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan. Adapun sebagai pendidik (educator) bertugas mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakan. Pendidik sebagai pemimpin (managerial) bertugas memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.48
Tugas pendidik dalam bidang kemanusiaan adalah dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Pendidik harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola peserta didiknya. Tugas kemanusiaan salah satu segi dari tugas pendidik. Sisi ini tidak bisa pendidik abaikan, karena pendidik harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi social. Pendidik harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada peserta didik. Dengan begitu peserta didik mendapatkan didikan agar mempunyai sifat kesetiakawanan social. Pendidik harus dapat menempatkan diri sebagai orang tua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan orang tua kandung/wali peserta didik dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu pemahaman terhadap jiwa dan watak peserta didik diperlukan agar dapat dengan mudah memahami jiwa dan watak peserta
45Ibid 46Ibid, h. 6
didik. Begitulah tugas pendidik sebagai orang tua kedua, setelah orang tua peserta didik di dalam keluarga di rumah.49
Tugas pendidik dalam bidang kemasyarakatan merupakan tugas pendidik yang juga tidak kalah pentingnya. Tugas bidang kemasyarakatan ini pendidik mempunyai tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga Negara Indonesia yang bermoral Pancasila. Dengan perkataan lain bahwa pendidik bertugas mencerdaskan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, bahwa pendidik memiliki berbagai tugas dan tanggung jawab, yakni tugas dan tanggung jawab sebagai pengajar, tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik dan pembimbing, tugas dan tanggung jawab sebagai administrator kelas. Di samping itu, pendidik juga memiliki tugas dan tanggung jawab tentang upaya pengembangan kurikulum, tugas dan tanggung jawab pengembangan profesi dan tugas dan tugas dan tanggung jawab dalam membina hubuungan dengan masyarakat.50
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: (a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, (b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status social ekonomi peserta didik dalam pembelajaran, (e) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika, dan (f) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.51
Dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan berkewajiban, (a) melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, (b) merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, (c) meningkatkan dan mengembangan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (d) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang social ekonomi peserta didik dalam pembelajaran, (e) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika, dan (f) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.52 Menurut E. Mulyasa ada beberapa peran guru
dalam pembelajaran, yakni sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu (innovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit
49Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interkasi Edukatif, Jakarta, Rineka Cipta. 2000., h. 37 50 Abdur Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembinaan Watak Bangsa, Jakarta, Rajawali Pers, 2005, h. 292 51UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, h. 12
pandangan, pekerja rutin, pemidah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pengawet dan kulminator.53
Menurut Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, mengemukakan bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaan-Nya. Para pendidik dituntut untuk dapat mensucikan jiwa peserta didiknya. Hanya dengan melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dekat dengan khaliq-Nya.54
Abdullah ‘Ulwan, seperti yang dikutip oleh, Hery Noer Aly, berpendapat bahwa tugas pendidik ialah melakukan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kerpibadian dan emansipasi harkat manusia. Sebegai pemegang amanat orang tua dan sebagai salah satu pelaksana pendidikan Islam, pendidik tidak hanya bertugas memberikan ilmiah. Tugas pendidik hendaknya merupakan kelanjutan dan sinkron dengan tugas orang tua, yang juga merupakan tugas pendidik muslim pada umumnya, yaitu member pendidikan yang berwawasan manusia seutuhnya.55
Dalam kaitan dengan tugasnya, sebagaimana dikemukakan Abdurrahman al-Nahlawi, pendidik hendaknya mencontoh peranan yang telah dilakukan para nabi dan pengikutnya. Tugas mereka, pertama-tama, ialah mengkaji dan mengajarkan ilmu Ilahi, sesuai dengan firman Allah SWT yang menyatakan:
Artinya: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S. Ali Imran : 79)
Allah SWT juga mengisyaratkan bahwa tugas pokok Rasulullah SAW ialah mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah kepada manusia serta mensucikan mereka, yakni mengembangkan dan membersihkan jiwa mereka.
Artinya: Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau,
53 E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2009, h. 37-64 54Samsul Nizar, Op. Cit., h. 44
dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Baqarah: 129)
Berdasarkan firman Allah di atas, al-Nahlawi menyimpulkan bahwa tugas pokok pendidik dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Tugas pensucian. Pendidik hendaknya mengembangkan dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjauhkannya dari keburukan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya.
b. Tugas pengajaran. Pendidik hendaknya menyampaika berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.56
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab pendidik profesional, al-Ghazali menyebutkan beberapa hal sebagai berikut: (a) pendidik adalah orang tua kedua di depan peserta didiknya, (b) pendidik sebagai pewaris nabi, (c) pendidik sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan peserta didik, (d) pendidik sebagai sentral figure bagi peserta didik, (e) pendidik sebagai motivator bagi peserta didik, (f) pendidik sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual peserta didik, (g) pendidik sebagai teladan bagi peserta didik.57 Pendidik juga harus memberikan
kasih sayang terhadap peserta didiknya dan menghormati kode etik pendidik.58
Setiap pendidik professional harus memenuhi persyaratan sebagai manusia yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan, tetapi dia pihak lain juga mengemban sejumlah tanggung jawab dalam bidang pendidikan. Guru dan dosen selaku pendidik bertanggung jawab mewariskan nilai-nilai dan norma-norma kepada generasi muda sehingga terjadi proses konversi nilai, bahkan melalui proses pendidikan diusahakan terciptanya nilai-nilai baru. Dalam konteks ini pendidik berfungsi mencipta, memodifikasi, dan mengkonstruksi nilai-nilai baru.59 Dari
56Ibid., h. 96
57 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 1998, h. 67-75 58 Zainuddik, dkk, Seluk- Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, h. 62
persyaratan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidik harus berkerja sesuai dengan ilmu mendidik yang baik dengan disertai ilmu pengetahuan yang cukup luas dalam bidangnya serta dilandasi rasa berbakti yang tinggi.60
Persyaratan pendidik ini diharapkan mampu menciptakan pendidik profesional, sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab pendidik secara profesional. Apabila pendidik melaksanakan pekerjaan pendidikan yang sesuai dengan ilmu mendidik yang dalam dan luas serta didasari dengan integritas yang tinggi akan menghasilkan kualitas pendidikan yang tinggi. Oleh karena itu, mewujudkan pendidik profesional adalah sebuah kemestian di alam yang modern ini dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas profesinya.
3. Kriteria Pendidik Profesional
Pekerjaan dipandang sebagai profesi apabila memenuhi beberapa ketentuan yang harus ditaati, yakni; pertama, setiap profesi dikembangkan untuk memberikan layanan tertentu kepada peserta didik dan masyarakat; kedua, profesi bukan sekedar mata pencaharian, tetapi juga tercakup pengertian “pengabdian kepada sesuatu”; dan ketiga, mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus-menerus dan tidak statis.61
Menurut Mukhtar Lutfi menyatakan bahwa ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai profesi, yaitu: (1) Panggilan hidup yang sepenuh waktu. (2) Pengetahuan dan kecakapan/keahlian. (3) Kebakuan yang universal. (4) Pengabdian. (5) Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. (6) Otonomi. (7) Kode etik dan (8) dan klien.62
Sedangkan Rochman Natawidjaja mengemukakan beberapa kriteria sebagai ciri suatu profesi: (1) Ada standar untuk kerja yang baku dan jelas. (2) Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang memadai dan yang bertanggung jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi itu. (3) Ada organisasi yang mewadahi para pelakunya untuk mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi dan kesejahteraannya. (4) Ada etika dan kode etik yang mengatur perilaku para pelakunya dalam memperlakukan kliennya. (5) Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku.Dan (6) ada pengakuan masyarakat (profesional, penguasa dan awam) terhadap pekerjaan itu sebagai suatu profesi.63
60 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan islam, Bandung, Pustaka Setia, 1998, h. 102 61 Muhamin, Aktualisasi.. Op. Cit., h. 124
62Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, h. 17.
Houle mengemukakan ciri-ciri suatu pekerjaan yang profesional, seperti yang dikutip oleh Muhaimin, yakni: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) berdasarkan atas kompetensi individual, bukan atas dasar KKN/Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (4) ada kerjasama dan kompetensi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik ), (g) memiliki sitem sanksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.64
Pendapat Houle tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh pendidik yang profesional, maka untuk memberikan layanan tertentu kepada masyarakat (peserta didik) diperlukan kemampuan landasan pengetahuan yang kuat. Karena itu sistem seleksi pendidik harus lebih memperhatikan kompetensi atau seperangkat kemampuan yang dimiliki individu (pendidik) yang menunjukkan bahwa ia mampu melaksanakan tugas kependidikan secara inteligen (pinter) dan penuh tanggung jawab, bukan karena faktor keluarga, atau menyogok untuk bisa diangkat menjadi pendidik, atau cara-cara negative lainnya. Pendidik yang profesional dalam menjalankan tugasnya bukan sekedar bertujuan untuk mencari kebutuhan hidup (ekonomi) atau mata pencaharian, tetapi juga melaksanakan “pengabdian kepada sesuatu”, yakni memberikan layanan yang bermutu kepada masyarakat melalui katya profesionalnya, sehingga diperlukan adanya kesadaran profesional yang tinggi, adanya militansi individual, serta menjaga prinsip-prinsip etik (kode etik). Di samping itu, ia mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus menerus dan tidak mandek, sehingga perlu menciptakan kerjasama dan kompetensi yang sehat atar sejawat. Bila ia tidak mampu melaksanakan kerja profesionalnya secara konsekuen, maka ia harus siap meneriam sanksi profesi, yang standarnya dapat ditetapkan oleh organisasi profesi.65
H. A. R. Tilaar dalam bukunya Paradigma Baru Pendidikan menyebutkan beberapa ciri-ciri profesi, yakni: (1) Memiliki suatu keahlian. (2) Merupakan suatu panggilan. (3) Memiliki teori-teori yang baku secara universal. (4) Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri. (5) Dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif. (6) Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya. (7) Mempunyai kode etik. (8) Mempunyai klien yang jelas. (9) Mempunyai organisasi profesi yang kuat, dan (10) Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain.66
Kemudian secara panjang lebar menurut T. Raka Joni, ada lima ciri keprofesian yang lazim, yaitu penerapannya di dalam bidang pendidikan di tanah air: Pertama, profesi ittu diakui oleh masyarakat dan pemerintah dengan adanya bidang layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan
64 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung, Nuansa, 2010, h. 64 65Ibid., h. 65
oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi. Kedua, pemilikan sekumpulan ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik serta prosedur kerja unik itu. Ketiga, diperlukan persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang melaksanakan pekerjaan profesional.
Keempat, adanya mekanisme untuk melakukan penyaringan secara efektif, sehingga hanya mereka yang dianggap kompeten yang dibolehkan bekerja memberikan layanan ahli yang dimaksud.
Kelima, diperlukan organisasi profesi di samping untuk melindungi kepentingan anggotanya dari saingan yang datang dari luar kelompok, juga berfungsi untuk meyakinkan supaya para anggotanya menyelenggarakan layanan ahli terbaik yang bisa diberikan demi kemaslahatan para pemakai layanan.67
Profesionalisme dalam suatu pekerjaan atau jabatan ditentukan oleh tiga faktor yakni:
pertama, memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau spesialisasi; kedua, kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus) yang dimiliki dan ketiga, penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian yang dimiliki itu. Profesi adalah sebuah pekerjaan atau jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual khusus, yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan pelatihan untukmenguasai keterampilan atau keahlian dalam melayani atau memberikan advis pada orang lain dengan memperoleh upah atau gaji dalam jumlah tertentu.68
Dari pendapat-pendapat para ahli di atas tentang ciri profesi perlu dikaji esensialnya. Setiap butir perlu dikaji dicari esensinya, kemudian dibandingkan dengan esensi-esensi pada butir yang lain, dan disintesis. Dengan cara demikian akan ditemukan butir-butir pendukung profesi sebagai cirinya. Ciri-ciri profesi yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Pilihan terhadap jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan hidup orang bersangkutan. (2) Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan terus berkembang. (3) Ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut di atas diperoleh melalui studi dalam jangka waktu lama di perguruan tinggi. (4) Punya otonomi dalam bertindak ketika melayani klien. (5) Mengabdi kepada masyarakat atau berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial. (6) Tidak mengadvertensikan keahliannya untuk mendapatkan klien. (7) Menjadi anggota organisasi profesi. (8) Organisasi profesi tersebut menentukan persyaratan penerimaan para anggota, membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota, memberi sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota. (9) Memiliki kode etik profesi. (10) Punya kekuatan dan status yang tinggi sebagai eksper yang diakui oleh masyarakat. Dan (11) berhak mendapat imbalan yang layak.
Dengan adanya ciri-ciri profesional di atas dapat dilihat bagaimana seorang profesional dipersiapkan dan dibina di dalam pekerjaannya. Oleh sebab itu, profesi terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang profesional adalah seorang yang terus-menerus berkembang atau trainable. Trainability dari seorang profesional tentunya akan lebih mudah apabila mereka mempunyai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kuat. Seorang amatir dapat saja mempunyai keterampilan yang tinggi namun demikian keterampilan tersebut tidak dapat berkembang lebih jauh oleh karena tidak mempunyai dasar yang kuat dalam bidangnya yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia dewasa ini, dunia terbuka yang mengglobal dengan persaingan yang ketat, maka hasil karya para amatir tentunya tidak dapat bersaing. Mutu karyanya mungkin saja tinggi namun tidak dapat ditingkatkan lagi sesuai dengan selera pasar. Selanjutnya, para delitan yang tidak mempunyai dasar ilmiah dan teknologi akan hapus dari dunnia persaingan pasar bebas.69
Dari kriteria profesi di atas, agaknya ada dua kriteria yang pokok, yaitu: pertama, merupakan panggilan hidup dan kedua, keahlian. Kriteria yang lainnya kelihatannya diperlukan untuk memperkuat kedua kriteria ini. Kriteria “panggilan hidup” sebenarnya mengacu kepada pengabdian; sekarang orang lebih senang menyebutnya ‘dedikasi”. Kriteria “keahlian” mengacu kepada mutu layanan, ya, mutu dedikasi tersebut. Kriteria “memiliki teori”, “kecakapan diagnostik dan aplikasi”, “otonomi”, “kode etik”, “organisasi profesi”, dan “pengenalan keahlian yang berhubungan” dapat dikatakan merupakan kriteria untuk memperkuat keahlian; sedangkan kriteria “untuk masyarakat” dan “klien” merupakan kriteria untuk memperkuat dan memperjelas dedikasi. Jika demikian, “dedikasi” dan “keahlian” itulah ciri utama sesuatu bidang disebut suatu profesi; dan jika demikian, maka jelas Islam mementingkan profesi.70 Dengan demikian, ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi pendidik profesional, yakni (a) berijazah, (b) sehat jasmani dan rohani, (c) takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik, (f) bertanggung jawab, dan (g) berjiwa nasional.71 Selain itu, pendidik wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.72
Menurut Sidi, seperti yang dikutip Kunandar, bahwa soerang pendidik profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, antara lain: memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuwan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan peserta didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan
69H.A. R, Tilaar, Loc. Cit 70 Ahmad Tafsir, Op. Cit., h. 112
pengembangan diri secara terus menerus (continuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar, dan semacamnya. Dengan persyaratan semacam ini, maka tugas seorang pendidik bukan lagi knowledge based, seperti sekarang ini, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keimuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai-nilai etika dan moral. Konsekuensinya, seorang pendidik tidak lagi menggunakan kemuniasi satu arah yang selama ini dilakukan, melainkan menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga terjadi komunisasi dua arah secara demokratis antara pendidik dengan peserta didik. Kondisi yang demikian diharapkan mampu menggali potensi dan kreativitas peserta didik.73
Pekerjaan (profesi adalah pekerjaan) menurut Islam harus dilakukan karena Allah SWT. “Karena Allah” maksudnya ialah karena diperintahkan Allah SWT. Jadi, profesi dalam Islam harus dijalani karena merasa bahwa itu adalah perintah Allah SWT. Dalam kenyataannya pekerjaan itu dilakukan untuk orang lain, tetapi niat yang mendasarinya adalah perintah Allah SWT. Dari sini diketahui bahwa pekerjaan profesi di dalam Islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian atau dedikasi kepada manusia atau kepada yang lain sebagai objek pekerjaan itu. Jelas pula bahwa kriteria “pengabdian” dalam Islam lebih kuat dan lebih mendalam dibandingkan dengan pengabdian dalam kriteria diajarkan di atas. Pengabdian dalam Islam, selain demi kemanusiaan, juga dikerjakan demi Tuhan, jadi ada unsure transenden dalam pelaksaan profesi dalam Islam. Unsur transenden ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam Islam lebih tinggi nilai pengabdiannya di bandingkan dengan pengalaman profesi yang tidak didasari oleh keyakinan iman kepada Allah SWT.74 Hal ini dikemukakan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyaat ayat 56, yang
berbunyi:
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. adz-Dzariyaat: 56)
Dalam Islam, setiap pekerjaan harus dilakukan secara professional, dalam arti harus dilakukan secara benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli. Rasul SAW mengatakan bahwa:
“Bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli, maka tunggulah kehancuran” (HR. Bukhari).
Kehancuran dalam hadis ini dapat diartikan secara terbatas dan dapat juga diartikan secara luas. Bila seorang pendidik mengajar tidak dengan keahliannya, maka yang “hancur” adalah peserta didiknya. Ini dalam pengertian yang terbatas. Peserta didik, kelak akan mempunyai peserta didik pula; peserta didik kelak berkarya; kedua-duanya dilakukan dengan
tidak benar (karena telah didik dengan dengan tidak benar), maka akan timbullah “kehancuran”. Kehancuran apa ? Ya kehancuran orang-orang, yaitu peserta didik tersebut, dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka mengajarkan pengetahuan yang dapat saja tidak benar.75
Agar seorang pendidik dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana telah dibebankan Allah SWT kepada Rasul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki persyaratan, yakni (a) setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagai mana dijelaskan Allah lewat al-Qur’an surat Ali Imran:79, (b) Seorang pendidik hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniahnya dengan keihlasan, (c) seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar, (d) ketika menyampaikan ilmunya kepada peserta didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan pribadinya; Q.S. as-Shaff: 2-3, (e) seorang pendidik harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya, sebagaimana diserukan Allah SWT kepada para pengikut Rasul; Q.S. Ali Imran: 79, (f) seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pembelajaran, (g) seorang pendidik harus mampu bersikap tegas dan meletakan sesuatu sesuai proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai peserta didiknya, (h) seorang pendidik dituntut untuk memahami psikologis anak, piskologi perkembangan, dan psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan memperlakukan peserta didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologisnya, (i) seorang pendidik dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu memahamai berbagai kecendrungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap peserta didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir peserta didik, dan (j) Pendidik dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta didinya; Q.S. asy-Syura: 15 dan al-Maidah: 8.76
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kriteria pendidik profesional dilihat pekerjaan mendidik merupakan panggilan hidup berdasarkan ajaran islam dan keahlian dengan berbagai perangkat pengetahuan keterampilan dan kompensi yang dimilikinya. Dalam mewujudkan pendidik profesional dalam Islam, maka para pakar pendidikan Islam mengemukakan berbagai persyaratan pendidik dalam Islam, sehingga mampu mengemban tugas-tugas yang mulia untuk mengantarkan peserta didik bertaqarrub kepada Allah dengan mensucikan jiwa peserta didik serta dengan mendidik dan mengajar ilmu-ilmu yang bermanfaat, baik bagi dirinya, masyarakat dan agama.
4. Kompetensi Pendidik
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dan dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.77
Kompetensi juga diartikan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku pendidik yang tampak sangat
75Ibid
76 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, h. 169-176