STUDI HABITAT BABI HUTAN (Sus scrofa) DI KAWASAN CITALAHAB, TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)
Oleh:
Evy Kurniawati (PENDIDIKAN BIOLOGI 2010) Puspita Anggraini (BIOLOGI 2010)
Nurhayati (PENDIDIKAN BIOLOGI 2008)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JUNI – 2012
HALAMAN PENGESAHAN USUL PENELITIAN
1. Judul Penelitian : Studi Habitat Babi Hutan (Sus scrofa) di Kawasan Citalahab, Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS)
2. Mentor : Nurhayati
3. Anggota Peneliti LDMPL :
No
Nama Peserta LDMPL
No Reg. Program Studi
1. Evy Kurniawati 3415106783 Pendidikan Biologi 2. Puspita Anggraini 3425100163 Biologi
4. Lokasi Penelitian : Taman Nasional Gunung Halimun Salak
5. Waktu penelitian : 1-2 Juli 2012
Mengetahui: Mentor
Nurhayati
A. Latar Belakang
Mamalia memiliki peranan penting dalam membantu
perkembangan suatu ekosistem hutan menuju hutan klimaks atau
seimbang. Berhubungan dengan salah satu fungsi dari Taman
Nasional sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman satwa
seperti mamalia, maka perlu upaya pengelolaan yang baik untuk
tahun. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat pad a tahun 2000 di
Indonesia terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak (Badan
Planologi Dephut, 2003).
Akibatnya habitat tempat hidup satwa menjadi semakin
berkurang. Selain itu perburuan menyebabkan populasi hewan
semakin menurun, terlebih bagi hewan yang endemik dan laju
jenis hewan mamalia menjadi semakin sulit ditemukan,
keberadaannya terancam, bahkan punah.( Tim pengendali ekosistem
hutan TNB, 2005).
Seiring dengan berjalannya waktu telah terjadi berbagai
perubahan yang mempengaruhi kehidupan mamalia besar di dalam
kawasan. Kondisi habitat dan daya dukung kawasan sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan dan kelestarian
populasi satwa mamalia besar tersebut. Berbagai faktor tersebut
berpengaruh terhadap pola perilaku dan pergerakan satwa.
Diantaranya yaitu dengan terbatasnya sumber air minum satwa di
musim kemarau, perburuan liar dan aktivitas masyarakat di dalam
hutan. Kecenderungan yang terjadi terdapat beberapa perubahan dan
perkembangan yang sangat signifikan mempengaruhi kondisi populasi
satwa mamalia besar. Salah satu indikasi yang dapat dilihat yaitu
dengan semakin menurunnya intensitas dan frekuensi perjumpaan
satwa di dalam kawasan tersebut. (Tim pengendali ekosistem hutan
TNB, 2005)
Salah satu taman nasional yang memiliki jumlah populasi
mamalia besar yang masih cukup banyak adalah taman nasional
gunung halimun salak. Di tnghs terdapat mamalia terdaftar sebanyak
61 spesies. Di antaranya termasuk jenis-jenis langka seperti macan
surili (Presbytis aygula), lutung budeng (Trachypithecus auratus), dan juga ajag (Cuon alpinus).
Sejauh ini belum ada referensi mengenai perkembangan kondisi
habitat mamalia besar di dalam TNGHS. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai identifikasi kondisi habitat mamalia
besar sebagai bahan kajian untuk pengambilan kebijakan dalam
pengelolaan populasi dan habitat mamalia besar di TNGHS khususnya
di kawasa Citalahab..
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu “Bagaimana kondisi habitat babi hutan (Sus scrofa) di kawasan Citalahab, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi habitat babi
hutan (Sus scrofa) di kawasan Citalahab, Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta sebagai bahan kajian guna pengambilan
kebijakan dalam pengelolaan populasi mamalia besar dan habitatnya.
1. Sebagai informasi untuk mengenal habitat babi hutan (Sus scrofa) di kawasan Citalahab, Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
2. Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.
3. Sebagai saran dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Mamalia
Binatang menyusui atau mamalia adalah kelas hewan
vertebrata yang terutama dicirikan oleh adanya kelenjar susu, yang
pada betina menghasilkan susu sebagai sumber makanan anaknya;
mengatur sistem peredaran darah, termasuk jantung yang beruang
empat. Mamalia terdiri lebih dari 5.000 genus, yang tersebar dalam
425 keluarga dan hingga 46 ordo, meskipun hal ini tergantung
klasifikasi ilmiah yang dipakai.(Slamet, 2011).
Berdasarkan ukurannya, mamalia dibagi menjadi dua, yakni
mamalia besar dan mamalia kecil. International Biological Program
mendefinisikan mamalia besar sebagai jenis-jenis mamalia yang
memiliki ukuran berat badan dewasa > 5Kg, sedangkan mamalia kecil
dengan ukuran berat badan dewasa < 5Kg. Jenis-jenis mamalia besar,
dicontohkan sebagai berikut: rusa, harimau, dan kerbau air. Mamalia
kecil, antara lain tikus, bajing, dan kelelawar.
Koleksi dan informasi sebaran lokal hewan mamalia Jawa
sebaran lokal yaitu Macan tutul (Panthera pardus) di Cimungkad, G. Pangrango dan Jalur Kaliwadas, G. Slamet; Rusa Timor (Rusa Resort Cimungkad, G. Pangrango. Sedangkan untuk satwa mamalia
Rusa Timor (Cervus timorensis), Babi (Sus javanicus)
Spesies: Sus scrofa (Linnaeus,1758)
Pada bagian dorsal tubuhnya memiliki warna coklat kehitaman
dan ada garis warna putih dan bagian ventral berwarna coklat muda.
Mempunyai ukuran tubuh yang besar. Glandula mammae terletak di
daerah pelvis.
Babi berukuran sedang, panjang total tubuhnya 120 sampai 220
dengan berat badan dapat mencapai 150 kg. Tubuhnya nampak
ditumbuhi rambut-rambut panjang yang jarang-jarang, kulit berwarna
coklat, kepala nampak besar, kurang proporsional jika dibandingkan
dengan ukuran tubuhnya. Lubang hidungnya menghadap ke depan
seperti corong dengan dibatasi oleh kulit yang tebal. Taringnya
kelihatan menyembul ke samping di bagian depan kepala dan di
2. Habitat Babi Hutan
Guna mendukung kehidupannya, satwa liar membutuhkan satu
kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya,
baik makanan dan air. Menurut Alikodra (1990), habitat merupakan
kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik,
yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembang biaknya satwa liar.
Setiap satwa menempati habitat sesuai dengan lingkungannya
yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya dan setiap satwa liar
menghendaki kondisi yang berbeda-beda. Faktor yang berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup satwa liar yaitu terdiri dari makanan, air,
temperature, kelembaban, tekanan udara dan tempat berlindung
maupun kawin. Faktor ini secara keseluruhan berperan sebagai
system yang berfungsi dalam mengendalikan pertumbuhan populasi.
( Tim pengendali ekosistem hutan TNB, 2005).
Perubahan faktor pembatas (pakan dan air pada musim
kemarau) baik dari segi kualitas maupun kuantitas dapat mengubah
daya dukung lingkungannya. Dalam pembinaan habitat, faktor-faktor
pembatas tersebut harus diperhatikan fluktuasinya dan dipantau untuk
menetapkan program-program pengelolaan yang tepat.(Alikodra,
3. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan
salah satu kawasan konservasi Indonesia yang berfungsi selain
melindungi flora dan fauna unik yang ada di dalamnya juga
mempunyai fungsi lain yang tak kalah pentingnya yaitu sebagai
pengatur tata air, pendidikan, penelitian, sumber plasma nutfah,
pengembangan budidaya, rekreasi dan pariwisata.
Awalnya kawasan ini merupakan Taman Nasional Gunung
Halimun (TNGH) yang ditetapkan melalui SK Menhut No. SK
282/Kpts-II/Menhut/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 hektar
dan pada tanggal 23 Maret 1997 ditetapkan sebagai salah satu unit
pelaksana teknis di Departemen Kehutanan. Seiring dengan tingginya
proses degradasi hutan di Indonesia dan dengan adanya desakan
parapihak yang peduli terhadap konservasi hutan, maka pada tahun
2003 kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut, dan
kawasansekitarnya yang sebelumnya merupakan kawasan hutan
produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh
perum Perhutani selanjutnya dialih fungsikan menjadi kawasan
konservasi melalui SK Menhut No. SK 175/Kpts-II/Menhut/2003
tanggal 10 Juni 2003 menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson (1951) iklim di daerah
kawasan TNGHS termasuk tipe A,dengan curah hujan tahunan
sebesar 4.000 – 6.000 mm. Rata-rata curah hujan bulanan selalu >
100 mm, dengan bulan terkering (+ 200 mm) pada Juni sampai
September dan terbasah (+ 550 mm) antara Oktober dan Maret,
sehingga dapat digolongkan beriklim selalu basah (Kartawinata, 1975)
dengan kelembaban udara rata-rata 88 %. Suhu rata-rata bulanan
31,5oC dengan suhu terendah 19,7oC dan suhu tertinggi 31,8oC.
Vegetasi hutan di dalam kawasan TNGHS sangat bervariasi,
baik berdasarkan ketinggian tempat maupun kondisi habitat setempat.
Namun secara umum, berdasarkan permintakatan Steenis (1972)
dapat dikelompokkan menjadi 3 mintakat, yaitu mintakat kaki
pegunungan (collin), dengan ketinggian antara 500 dan 1000 m dpl,
mintakat sub-pegunungan (1.000 - 1.500 m) dan mintakat pegunungan
(1500 – 2400 mdpl).
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan
salah satu Taman Nasional yang memiliki hutan pegunungan alami di
Jawa yang sangat menarik. Kekayaan flora kawasan Gunung Halimun
pernah dilakukan beberapa tahun lalu, diantaranya oleh Wiriadinata
(1992). Ditinjau dari segi botani terutama taksonomi, kekayaan Flora
jenis-jenis tumbuhan yang pertama kali dipertelakan oleh Blume
sekitar tahun 1825. Berikut adalah peta kawasan tersebut.
Gambar 1. Peta kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak
(Sumber:http://kawanlama95.wordpress.com)
B. Kerangka Berpikir
Habitat merupakan kawasan tempat hidup dan berkembang
biak satwa liar seperti babi. Setiap satwa memerlukan lingkungan
habitat yang dapat mendukung kehidupannya. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwa liar yaitu dari
makanan, air, kelembaban dan tempat berlindung. Hutan sebagai
dan fragmentasi sehingga mengancam keberadaan satwa yang
hampir terancam punah.
Perubahan kondisi habitat ini membawa dampak buruk
terhadap perilaku, pola pergerakan dan populasi mamalia, termasuk
mamalia besar. Sehingga diperlukan penelitian mengenai identifikasi
habitat mamalia besar untuk mengetahui perkembangan kondisi
habitat mamalia besar di TNGHS salah satunya adalah babi (Sus scrofa) . Sehingga diperlukan peneliian mengenai studi habitat babi hutan yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam pengelolaan
populasi babi dan habitatnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Operasional
Tujuan operasional penelitian adalah mengidentifikasi dan
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 1-2 Juli 2012 di sepanjang
jalur Looptrail dan jalur Canopytrail yang berada di kawasan Citalahab,
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
C. Metode Penelitian
Studi habitat satwa mamalia besar dilaksanakan dengan
metode deskriptif menggunakan teknik monitoring langsung di
lapangan. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi :
1. Objek pengamatan :
a. Kondisi masing-masing habitat satwa (Sumber air minum
satwa alami, tempat minum buatan dan sungai, feeding ground, dll)
2. Lokasi Pengamatan :
a. Sumber-sumber air minum satwa yang menyebar di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
b. Lokasi sumber pakan (feeding ground).
c. Jalur-jalur pergerakan satwa di dalam kawasan.
D. Prosedur Kerja
1. Inventarisasi lokasi dan habitat babi hutan (jumlah sumber air
minum satwa, jalur-jalur satwa, feeding ground / savanna dll). 2. Penentuan data lapangan yang dikumpulkan dan pembuatan
tabulasi data.
Nama lokasi dan posisi di kawasan yang digunakan
sebagai habitat babi hutan.
Identifikasi pemanfaatan habitat tersebut oleh satwa.
Kondisi sekitar habitat satwa tersebut
Indikasi satwa yang memanfaatkan habitat tersebut,
berupa jejak, kotoran, dan tanda-tanda lainnya.
Indikasi ada/ tidaknya gangguan terhadap habitat satwa
tersebut.
Perkiraan jumlah dan jenis satwa dari tanda atau indikasi
yang ditemukan di lokasi tersebut.
3. Mencatat berbagai informasi lain yang diperlukan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengambilan data untuk studi habitat babi hutan adalah
kotoran dan berbagai vegetasi di tempat yang memungkinkan terdapat
babi hutan.
F. Teknik Analisis Data
Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti melakukan
teknik analisis data secara deskriptif. Hasil analisis data disajikan
dalam bentuk tabel, grafik maupun diagram. Tanpa melakukan uji
signifikasi ataupun regresi, sehingga, tidak terdapat taraf kesalahan
karena penelitian ini tidak bermaksud untuk membuat generalisasi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah sarang babi hutan yang ditemukan dikawasan Citalahab
hanya 1 sarang, pada hutan sekunder dengan vegetasi rapat. Hal
tersebut karena struktur penyusun hutan sekunder terdapat
pepohonan yang tumbuh dengan rapat, sehingga memberikan jarak
penempatan sarang dimungkinkan perilaku antipredator babi hutan,
karena pada sarang masih terdapat anakan babi hutan.
Sarang babi hutan yang ditemukan terdapat di jalur looptrail
dekat sungai. Disekitar sarang tersebut terdapat banyak rumput dan
sarang ini terbuat dari alang-alang kering dan tumbuhan dari suku
asteraceae yang dirubuhkan.
Tumbuhan alang-alang merupakan tumbuhan penyusun
sarang dan lokasi sarang pada lantai dasar hutan dengan area yang
rapat. Menurut Rustiati dan Sriyanto (1997), babi hutan sering dijumpai
di tipe habitat hutan yang rapat dengan tekstur tanah yang basah.
Ditemukannya sarang pada hutan sekunder dimungkinkan
adanya daerah rawa atau sungai yang dapat dijadikan sumber air bagi
kelangsungan hidup babi hutan. Menurut Vaughan et al (2000),
kelangsungan hidup mamalia dipengaruhi oleh ketersedian pakan,
naungan dan sumber air. Daerah rawa dan daerah aliran sungai
merupakan salah satu tempat utama dalam mencari makan, hal
tersebut dapat terlihat dari banyaknya tanda sekunder berupa bekas
pakan babi hutan, kubangan serta jejak kaki yang ditinggalkan.
Babi hutan lebih sering ditemukan di daerah dataran rendah
dengan hutan sekunder yang luas dan ketika terjadi musim kemarau
banyak ditemukan di sepanjang aliran sungai (Lekagul dan McNeely,
minum babi hutan di kawasan citalahab merupakan aliran sungai
cikaniki yang berasal dari air terjun cikudapaeh. Sungai ini memiliki
lebar 790cm dengan vegetasi yang tertutup. Disekitar aliran sungai
terdapat tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber makanan
untuk babi hutan seperti talas-talasan dari suku araceae, bambu dari
suku poales, harendong, macaranga, serta tumbuhan paku. Beberapa
meter dari aliran sungai ditemukan data pendukung lain berupa jejak
kaki babi hutan dan bekas tempat mencari makan. Terdapat 3 jejak
kaki yang ditemukan dengan ukuran yang berbeda, sehingga
diperkirakan jejak kaki tersebut merupakan jejak kaki dari induk dan
anak babi hutan yang sedang mencari makan, karena babi hutan
mencari makan dengan berkelompok.
Sarang babi hutan dibuat ketika babi hutan betina akan
melahirkan anaknya sebagai upaya perlindungan terhadap predator.
Babi hutan membuat sarang dengan cara memotong tumbuhan yang
ada di sekitarnya dan ditumpuk menjadi satu hingga membentuk
seperti gundukan yang terdiri dari berbagai macam jenis tumbuhan
(Lekagul dan Mc Neely, 1988; Ickes et al, 2005). Terdapat 2 suku
tumbuhan yang digunakan untuk membuat sarang babi hutan yang
ditemukan, yaitu poaceae dan asteraceae. Diameter sarang babi
Besarnya diameter sarang babi hutan dipengaruhi oleh ukuran
tubuh induk babi hutan yang akan melahirkan anaknya. Semakin
besar ukuran tubuh induk babi hutan, diperkirakan akan semakin
besar diameter sarang.(Rohman et al,2011).
Selain sarang, data pendukung yang ditemukan seperti bekas
kubangan, tempat mencari makan, jejak kaki dan tempat sumber air
minum juga dicatat untuk memperkuat keberadaan babi hutan
tersebut. Mulai dari data fisik hingga kondisi disekitar tempat tersebut
(Tabel 1).
Sarang S1 6,2 250 61% Rapat, banyak rumput, banyak
alang-alang dan sarang
77% Terdapat aliran air dan berantakan
K3 6 24,2
0 71% Banyak terdapat tanaman araceae Tempat
Makan TM1 6,5 21,10 67% Berantakan, banyak araceae, tertutup
TM2 5,8 22,8
0 86% Dekat sungai, terdapat paku-pakuan, macaranga, rotan
TM3 5,6 22,7
0 71% Dekat sungai, terdapat araceae, paku-pakuan, dan tepus
Jejak kaki JK1 6,6 22,7
JK2 5,6 23,9
0
77% Berantakan, banyak araceae, harendong dan macaranga
JK3 5,6 23,9
0 77% Berantakan, banyak araceae, harendong dan macaranga
Sumber
Minum SM1 6,1 23,80 77% Lebar=850cm
SM2 5,8 22,8
0
86% Lebar=730cm
Tabel 1. Data hasil pengamatan
BAB V PENUTUP
Sarang babi hutan ditemukan pada hutan sekunder dengan
vegetasi rapat. Diameter sarang babi hutan adalah 300 cm dengan
dua macam tumbuhan yang digunakan dari suku poales (alang-alang)
dan suku asteraceae. Sarang dibuat didekat aliran sungai cikaniki
dimana sekitar aliran sungai tersebut terdapat tumbuhan talas-talasan
dari suku araceae yang merupakan makanan dari babi hutan.
B. SARAN
Untuk penelitian babi hutan ataupun mamalia lainnya sebaiknya
tidak di musim kemarau karena lebih sulit untuk mendapatkan
jejak kaki dari satwa tersebut karena tanah cenderung kering.
DAFTAR PUSTAKA
Lekagul, B. and McNeely, C.J. 1988. Mammals of Thailand. The Association for the Conservation of Wildlife. Bangkok, Thailand.
MAMMALWATCHING. Diunduh dari
www.mammalwatching.com/Oriental/orientindonesiahalimunmammal s.html/ pada tanggal 15-06-2012 Pukul 14.04 wib
Meerman, J.L., Holland, P., Howe, A., Jones, H.L., Miller, B.W. 2003. Rapid Ecological Assessment Mayflower Bocawina National Park. This Report was prepared for: Friends of Mayflower Under a Grant Provided by PACT & UNDP/GZP. 50 pgs.
Payne, J., Francis, C.M. and Philips, K. 2000. Panduan Lapangan Mammalia di Kalimantan Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. WCS-IP
Rustiati, E.L. dan Sriyanto. 1997. Hewan Mangsa Potensial Harimau taman-nasional-di-indonesia/ pada tanggal 15-06-2012 Pukul 14.00 wib
Suyanto, Agustinus. 2002. Mamalia di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Bogor :BCP-JICA
LAMPIRAN
A. JADWAL PELAKSANAAN
No. Uraian Kegiatan
4. Penyusunan Proposal X X DCC
11. Pembuatan Jurnal X
12. Revisi Jurnal X
13. Seminar Hasil X
B. PERSONALIA PENELITI
1. Nama : Evy Kurniawati
No. Registrasi : 3415106783
Tanggal lahir : 30 Desember 1990
Email : ekece@rocketmail.com
No. HP : 087886481227
2. Nama : Puspita Anggraini
No. Registrasi : 3425100163
Tanggal lahir : 30 Januari 1993