• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Perbandingan Hasil Uji Numerik Mod

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi Perbandingan Hasil Uji Numerik Mod"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PERBANDINGAN HASIL UJI NUMERIK

MODEL HUBUNGAN BALOK KOLOM DENGAN

HASIL UJI EKSPERIMENTAL

SONATHA CHRISTIANTO NPM : 2013410088

PEMBIMBING : Dr. Djoni Simanta

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

(Terakreditasi Berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 227/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/XI/2013)

(2)

SKRIPSI

STUDI PERBANDINGAN HASIL UJI NUMERIK

MODEL HUBUNGAN BALOK KOLOM DENGAN

HASIL UJI EKSPERIMENTAL

SONATHA CHRISTIANTO NPM : 2013410088

BANDUNG, 11 JANUARI 2017

PEMBIMBING

Dr. Djoni Simanta

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

(Terakreditasi Berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 227/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/XI/2013)

(3)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama Lengkap : Sonatha Christianto

NPM : 2013410088

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “STUDI PERBANDINGAN HASIL UJI NUMERIK MODEL HUBUNGAN BALOK KOLOM DENGAN HASIL UJI EKSPERIMENTAL” adalah karya ilmiah yang bebas plagiat. Jika dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam skripsi ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Bandung, 11 Januari 2017

(4)

i

STUDI PERBANDINGAN HASIL UJI NUMERIK

MODEL HUBUNGAN BALOK KOLOM DENGAN

HASIL UJI EKSPERIMENTAL

Sonatha Christianto NPM : 2013410088 Pembimbing : Dr. Djoni Simanta

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

(Terakreditasi Berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 227/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/XI/2013)

BANDUNG JANUARI 2017

ABSTRAK

Hubungan balok kolom merupakan salah satu bagian penting dalam menjamin stabilitas struktur rangka pemikul momen. Seiring dengan perkembangan teknologi program komputer berbasis metode elemen hingga, perilaku hubungan balok kolom dapat dianalisis secara numerik. Uji numerik memiliki biaya dan waktu yang lebih rendah dibandingkan uji eksperimental. Dalam skripsi ini, uji numerik dilakukan terhadap dua hubungan balok kolom interior satu arah berdasarkan uji eksperimental oleh Saddam M. Ahmed. Uji dilakukan dengan menggunakan Program Atena 3D yang terbagi menjadi tiga fungsi utama, yaitu pre-processing, analisis, dan post-processing. Beton dimodelkan sebagai elemen solid, sedangkan tulangan baja sebagai elemen batang diskret. Hubungan antara tulangan baja dengan beton dimodelkan melekat sempurna. Pelat memiliki pengaruh yang signifikan pada hasil uji numerik maupun uji eksperimental. Hasil analisis dari pembebanan siklik menunjukkan adanya perbedaan perilaku yang signifikan antara hasil uji eksperimental dengan numerik. Namun, hasil uji numerik mampu menghasilkan nilai moment puncak dan rotasi puncak yang terjadi pada uji eksperimental. Pada Spesimen J perbedaan terbesar moment puncaknya hanya 3,7 kNm (9,56%), sedangkan pada Spesimen JS sebesar -0,7 kNm (-1,87%).

(5)

ii

COMPARATIVE STUDY BETWEEN

NUMERICAL TEST RESULTS

BEAM-COLUMN JOINT MODEL WITH

EXPERIMENTAL TEST RESULTS

Sonatha Christianto NPM : 2013410088 Advisor : Dr. Djoni Simanta

PARAHYANGAN CATHOLIC UNIVERSITY DEPARTEMENT OF CIVIL ENGINEERING

(Accreditated SK BAN-PT Nomor: 227/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/XI/2013)

BANDUNG JANUARY 2017

ABSTRACT

Beam Column Joinst is one of important element to ensure stability of moment resisting frame. Along with the developments in program technology based on finite element method, behaviour of beam column joint can be analysis numerically. Numerical test needs lower cost and money, than experimental test. In this study, numerical test is conducted on two interior one way beam column joint that have been tested experimentally by Saddam M. Ahmed. Numerical test is conducted using Atena 3D program which has three main functions: pre-processing, analysis and post-processing. Concrete is modeled as solid element, while steel reinforcement as discrete truss element. Connection between steel reinforcement and concrete is modeled with perfect connection. The slab has significant effect on the result of numerical test and experimental test. The result from cyclic loading analysis shows significant differences on behaviour with experimental test results. On J Secimen peak moment maksimum different is just 3,7 kNm (9,56%), but on JS Specimen is -0,7 kNm (-1,87%).

(6)

iii

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih karunia, berkat, rahmat, dan pimpinan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Perbandingan Hasil Uji Numerik Model Hubungan Balok Kolom dengan Hasil Uji Experimental. Skripsi ini merupakan salah satu syarat akademik

dalam menyelesaikan studi tingkat S-1 Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan yang dihadapi, akan tetapi berkat saran, kritik, serta dorongan semangat dari berberbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Djoni Simanta selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan sabar memberikan pengarahan, bimbingan, ilmu, serta dorongan selama penyusunan skripsi ini. Selama penyusunan skripsi ini, wawasan dan keilmuan penulis menjadi bertambah dan memahami banyak hal baru.

2. Ibu Lidya Fransisca Tjong, Ir. M.T. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Dr. Johannes Adhijoso Tjondro selaku dosen penguji yang memberikan bimbingan, ilmu, dan pengarahan selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh staf dosen Jurusan Teknik Sipil yang telah memberikan ilmu kepada penulis. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terimakasih kepada staf tata usaha dan karyawan Jurusan Teknik Sipil.

5. Papi, Mami, Vina, dan Nia yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, doa, dan semangat kepada penulis.

6. Alvianti, kekasih tersayang yang selalu menasihati, memberikan saran, menyayangi, dan memberikan dorongan semangat kepada penulis.

(7)

iv

Willy, Bobby, Ken, Alvan, Jansen, Danielson, Aldrich, Rianky, dan Dennis Buddy Saputra yang selalu menghibur penulis dengan tawa dan canda. 8. Sipil Unpar 2013 yang telah menjadi teman, sahabat, dan keluarga bagi penulis

selama menempuh pendidikan S-1 di Jurusan Teknik Sipil ini selalu memberikan dukungan, motivasi, dan semangat kepada penulis dalam menghadapi masalah dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi orang-orang yang membacanya.

Bandung, Januari 2017 Sonatha Christianto

(8)

v

DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Uji Eksperimental oleh Saddam M. Ahmed, MSc .CE Dari Makalah yang Berjudul Testing and Evaluation of Reinforced Concrete Beam-Column-Slab joint. 12 2.1.1. Pendahuluan Makalah ... 12

2.1.2. Pembatasan Masalah Makalah ... 12

2.1.3. Tujuan Penelitian Makalah ... 13

2.1.4. Model Benda Uji ... 13

(9)

vi

2.2.1. Kekuatan Tekan Beton ... 14

2.2.2. Kekuatan Tarik Beton ... 15

2.2.3. Rasio Poisson ... 16

2.2.4. Modulus Elastis ... 17

2.2.5. Perilaku Tegangan Biaksial... 19

2.2.6. Perilaku Tegangan Triaksial ... 20

2.3 Material Tulangan Baja ... 20

2.3.1. Perilaku Tegangan Monotonik ... 21

2.3.2. Perilaku Tegangan Berulang ... 22

2.3.3. Perilaku Tegangan Berputar ... 23

2.4 Metode Elemen Hingga ... 24

2.5 Finite Element Mesh ... 25

2.6 Non-linieritas ... 27

2.7 Atena 3D v.3.3.2 ... 27

BAB 3 PEMODELAN BETON BERTULANG PADA ATENA 3D V.3.3.2 ... 29

3.1. Analisis Nonlinier pada Program Atena 3D ... 29

3.2. Pemodelan Material Beton pada Atena 3D ... 29

3.2.1. Constitutive Model SBETA (CCSBeta Material) ... 29

3.2.2. Fracture-Plastic Constitutive Model ... 40

3.3. Pemodelan Material Tulangan Baja pada Atena 3D ... 41

3.3.1. Hubungan Tegangan-Regangan Bilinier ... 42

3.3.2. Hubungan Tegangan-Regangan Multilinier ... 42

3.4. Pemodelan Elemen Beton pada Atena 3D ... 43

3.5. Pemodelan Tulangan Baja pada Atena 3D ... 44

3.6. Finite Element Mesh pada Atena 3D ... 45

(10)

vii

3.7.1. Metode Newton-Raphson Penuh... 46

3.7.2. Metode Newton-Raphson Modifikasi ... 48

BAB 4 STUDI KASUS ... 50

4.1. Model J-Atena dan Model JS-Atena ... 50

4.2. Pemodelan Benda Uji ... 50

4.3. Data Pemodelan Uji Eksperimental ... 51

4.4. Data Pembebanan ... 54

4.5. Data Material Uji Numerik ... 55

4.6. Langkah Pengujian Numerik ... 58

4.6.1. Pre-Processing ... 58

4.6.2. Analysis Progress ... 65

4.6.3. Post-Processing ... 66

BAB 5 PEMBAHASAN HASIL ANALISIS NON-LINIER HUBUNGAN BALOK KOLOM ... 67

5.1. Hasil Uji Eksperimental Hubungan Balok Kolom ... 67

5.2. Hasil Uji Numerik Hubungan Balok Kolom ... 70

5.3. Perbandingan Kekuatan Hasil Uji Eksperimental dengan Hasil Uji Numerik ... 77

5.3.1. Perbandingan Kurva Moment-Rotasi Spesimen J dengan Model J-Atena 77 5.3.2. Perbandingan Kurva Moment-Rotasi Spesimen JS dengan Model JS-Atena 79 5.4. Perbandingan Degradasi Kekakuan ... 82

5.5. Perbandingan Daktilitas Rotasi ... 84

5.6. Perbandingan Disipasi Energi ... 85 5.7. Perbandingan Retakan Hasil Uji Eksperimental dengan Hasil Uji Numerik

(11)

viii

5.7.1. Retak pada Sambungan ... 87

5.7.2. Retak pada Balok ... 89

5.7.3. Retak pada Pelat ... 91

5.8. Perbandingan Hasil Uji Siklik Beban Eksperimental dengan Hasil Uji Siklik Beban ACI 374 ... 92

5.8.1. Perbedaan Pola Pembebanan... 92

5.8.2. Perbedaan Hasil Uji Siklik ACI 374 dengan Hasil Uji Numerik Model J-Atena 93 5.8.3. Perbedaan Hasil Uji Siklik ACI 374 dengan Hasil Uji Numerik Model JS-Atena ... 95

5.9. Perbandingan Hasil Uji Siklik dengan Uji Monotonik Numerik ... 97

5.9.1. Perbandingan Hasil Uji Siklik dengan Uji Monotonik Numerik .... 97

5.9.2. Perbandingan Hasil Uji Siklik dengan Uji Monotonik Numerik dengan Pelepasan Beban ... 98

5.9.3. Perbandingan Hasil Uji Siklik dengan Hasil Pengujian Beban Drift 2,5% 101 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

6.1 Kesimpulan ... 103

6.2 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(12)

ix

DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN

ACI = American Concrete Institute b = Lebar balok

c = Kekuatan tekan beton pada beton retak D = Diameter silinder

Ec = Modulus elastisitas EN = Eurocode

Eci = Modulus diasosiasikan dengan arah i Ecs = Modulus sekan beton

f’ccu = Kekuatan beton kubus ft = Kuat tarik beton

ftl = Tekanan lateral pembatas f`tef = Tegangan tarik efektif beton fr = Modulus keruntuhan

K(p) = Matriks kekakuan, berkaitan kenaikan beban untuk peningkatan deformasi

L = Panjang

M = Momen maksimum

(13)

x P = Gaya tekan maksimum

p = Deformasi struktur sebelum peningkatan beban

rec = Faktor reduksi kekuatan tekan pada arah prinsipal 2 akibat tegangan tarik pada arah prinsipal 1

w = Pembukaan retak

wc = Pembukaan retak pada pelepasan lengkap tegangan wconc = Berat jenis beton

wd = Deformasi plastis x = Regangan ternormalisasi ϕu = Rotasi ultimit

ϕy = Rotasi leleh

γec = Faktor reduksi kekuatan tekan pada arah principal 2 akibat tegangan tarik pada arah prinsipal 1

γet = Faktor reduksi kekuatan tekan pada arah principal 2 akibat tegangan tarik pada arah prinsipal 2

ε = Regangan

𝜀𝑒𝑞 = Regangan uniaxial ekivalen

εc = Regangan pada tegangan puncak εd = Regangan tekan pada tegangan nol εlim = Regangan ultimit

εu = Regangan ultimit baja εy = Regangan leleh baja μ = Daktilitas rotasi υ = Ratio Poisson

σ = Tegangan normal pada retak σci = Tegangan

(14)

xi

(15)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 (a) Keruntuhan struktur akibat kegagalan hubungan balok kolom, Bangunan Kaiser Permanente, Gempa Nortridge, 1994. Foto oleh G.

Edstrom. (b) Perbesaran gambar lantai 2. 2

Gambar 1. 2 (a) Keruntuhan sebagian bangunan akibat kegagalan hubungan balok kolom di Izmit, Turki, 17 Agutus 1999. (b) Perbesaran hubungan balok kolom lantai 3. (c) Perbesaran hubungan balok kolom lantai. 3 Gambar 1. 3 Geometri hubungan balok kolom (ACI 352) 5 Gambar 1. 4 (a) dan (b) Geometri hubungan balok kolom 7 Gambar 1. 5 (a) dan (b) Detail penulangan hubungan balok kolom 8

Gambar 1. 6 Pola pembebanan siklik 9

Gambar 1. 7 Diagram alir penelitian 10

Gambar 2. 1 Kurva tegangan-regangan silinder beton hasil pembebanan tekan

uniaksial (Park dan Paulay,1974) 14

Gambar 2. 2 Uji silinder belah (a) Konfigurasi pengujian, (b) Distribusi tegangan horizontal, (c) hasil pengujian (Hassoun, 2012) 16 Gambar 2. 3 Hubungan regangan arah horizontal, longitudinal, dan volume 17 Gambar 2. 4 Modulus elastis beton (Park dan Paulay, 1974) 17 Gambar 2. 5 Idealisasi tekan beton Hognestad (Park dan Paulay, 1974) 19

Gambar 2. 6 Tegangan biaxial beton 19

Gambar 2. 7 Tegangan triaxial beton 20

Gambar 2. 8 Kurva tegangan-regangan baja 21

Gambar 2. 9 Kurva tegangan-regangan baja titik kelelehan atas dan bawah (Park

dan Paulay, 1974) 22

Gambar 2. 10 Kurva tegangan-regangan berulang material baja (Park dan Paulay,

1974) 23

Gambar 2. 11 (a) Efek Bauschinger pada Baja dengan pembebanan berputar (b) idealisasi elastis-plastis sempurna pada baja dengan pembebanan

(16)

xiii

Gambar 2. 12 Kurva tegangan-regangan baja dengan pembebanan berputar (a) kurva pembebanan berputar (b) kurva yang dipisahkan (c) amplop

kurva monotonik (Park dan Paulay, 1974) 24

Gambar 2. 13 Mesh elemen hingga (Dill, 2011) 25

Gambar 2. 14 Jenis mesh tulangan baja (Kurniawan. 2015) 26 Gambar 3. 1 Hubungan tegangan-regangan uniaxial beton (Cervenka, 2007) 31 Gambar 3. 2 Dalil pembukaan retak eksponensial (Cervenka, 2007) 32 Gambar 3. 3 Dalil pembukaan retak linier (Cervenka, 2007) 33 Gambar 3. 4 Penghalusan Linier Berdasarkan Regangan Lokal (Cervenka, 2007) 34 Gambar 3. 5 Diagram tegangan-regangan tekan beton (Cervenka, 2007). 35 Gambar 3. 6 Dalil perpindahan pelunakan tekan (Cervenka, 2007). 37 Gambar 3. 7 Kegagalan kondisi tegangan biaxial (Cervenka 2007). 37 Gambar 3. 8 Kegagalan tegangan biaxial tarik-tekan (Cervenka, 2007). 39 Gambar 3. 9 Hubungan tegangan-regangan bilinier tulangan (Cervenka, 2007) 42 Gambar 3. 10 Hubungan tegangan-regangan multilinier tulangan (Cervenka, 2007). 43 Gambar 3. 11 Sudut arah tulangan tersebar (Cervenka, 2007). 43 Gambar 3. 12 Model elemen hingga elemen solid (Cervenka, 2007). 44 Gambar 3. 13 Model elemen hingga elemen batang (Cervenka, 2007) 45 Gambar 3. 14 Mesh tulangan diskret (Cervenka, 2007) 46 Gambar 3. 15 Metoda Newton-Raphson Penuh (Cervenka, 2007) 48 Gambar 3. 16 Metoda Newton-Raphson Modifikasi (Cervenka, 2007) 49

Gambar 4. 1 Pemodelan struktur 51

Gambar 4. 2 Model sambungan tampak samping 52

Gambar 4. 3 Model sambungan tampak atas 52

Gambar 4. 4 Penulangan sambungan balok kolom 53

Gambar 4. 5 Penulangan pelat Spesimen JS 53

Gambar 4. 6 (a) dan (b) detail penulangan balok dan kolom 54

Gambar 4. 7 Pola beban siklik 54

Gambar 4. 8 (a) dan (b) Material beton 55

(17)

xiv

Gambar 4. 10 Input material Reinforcement 57

Gambar 4. 11 Input parameter Menengotto-Pinto Cycling Reinforcement 57

Gambar 4. 12 Material yang digunakan 58

Gambar 4. 13 (a) dan (b) Macroelement hubungan balok kolom 59

Gambar 4. 14 (a) dan (b) Layout tulangan 59

Gambar 4. 15 Input Load Cases reaksi perletakkan 60

Gambar 4. 16 Hasil input reaksi perletakkan Model J-Atena 60

Gambar 4. 17 (a) dan (b) Input beban axial 61

Gambar 4. 18 (a) dan (b) Beban perpindahan 1mm 61

Gambar 4. 19 (a) dan (b) Hasil mesh model 62

Gambar 4. 20 Parameter solusi Newton-Raphson 63

Gambar 4. 21 Perbedaan input Parameter solusi Newton-Raphson Modifikasi 63

Gambar 4. 22 Penambahan analisis step 64

Gambar 4. 23 Penentuan titik pantau 65

Gambar 4. 24 Pengaturan grafik hasil analisis 66

Gambar 4. 25 Post-processing 66

Gambar 5. 1 Kurva histeresis hasil uji eksperimental 68

Gambar 5. 2 Retak pada sambungan 69

Gambar 5. 3 Sendi plastis pada balok utara 70

Gambar 5. 4 Retak pada pelat diakhir pengujian 70

Gambar 5. 5 Kurva histeresis hasil uji numeric 71

Gambar 5. 6 (a) dan (b) Tegangan normal tulangan 72

Gambar 5. 7 (a) dan (b) Posisi dan lebar retak 74

Gambar 5. 8 (a) dan (b) Retak pada sambungan hasil uji numerik 75

Gambar 5. 9 Pola retak pada pelat 77

Gambar 5. 10 Kurva histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat 78 Gambar 5. 11 Kurva histeresis hubungan balok kolom dengan pelat 80 Gambar 5. 12 Kekakuan peak to peak (Kurniawan, 2015) 82 Gambar 5. 13 Degradasi kekakuan setiap siklus pembebanan 83

Gambar 5. 14 Hubungan daktilitas dengan kekakuan 85

(18)

xv

Gambar 5. 17 Pola pembebanan siklik ACI 374 92

Gambar 5. 18 Hasil uji siklik loading protocol ACI 374 Model J-Atena 93

Gambar 5. 19 Waktu kegagalan Model J-Atena 94

Gambar 5. 20 Hasil uji siklik loading protocol ACI 374 Model JS-Atena 95

Gambar 5. 21 Waktu kegagalan Model JS-Atena 96

Gambar 5. 22 Perbandingan pembebanan siklik dengan monotonik hubungan balok kolom tanpa pelat (a) dengan numerik dan (b) dengan eksperimental

97 Gambar 5. 23 Perbandingan pembebanan siklik dengan monotonik hubungan balok

kolom dengan pelat (a) dengan numerik dan (b) dengan eksperimental 98 Gambar 5. 24 Perbandingan hasil uji monotonik dengan 'unloading' dengan hasil

uji numerik Model J-Atena 99

Gambar 5. 25 Perbandingan hasil uji monotonik dengan 'unloading' dengan hasil

uji numerik Model JS-Atena 100

Gambar 5. 26 Pembebanan siklus drift 2,5% dan 5% pada Model J-Atena dibandingkan dengan (a) uji numerik dan (b) uji eksperimental 101 Gambar 5. 27 Pembebanan siklus drift 2,5% dan 5% pada Model JS-Atena

(19)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Nilai penentu kurva hiperbolik 39

Tabel 3. 2 Parameter default SBETA Constitutive Model (Cervenka, 2007). 39

Tabel 4. 1 Properti tulangan 51

Tabel 4. 2 Input pembebanan siklik 64

Tabel 5. 1 Rangkuman koordinat histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat 79 Tabel 5. 2 Rangkuman koordinat histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat 81

Tabel 5. 3 Kekakuan setiap siklus pembebanan 82

(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

(21)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Di zaman modern ini, pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat di area perkotaan meningkatkan kebutuhan akan lahan yang pesat pula. Akan tetapi, ketersediaan lahan untuk tempat tinggal di daerah perkotaan sangatlah terbatas. Bangunan bertingkat adalah solusi yang tepat untuk menyediakan tempat tinggal di daerah perkotaan yang lahannya terbatas.

Di Indonesia bangunan bertingkat biasanya terdapat di kota-kota metropolis seperti Jakarta, Depok, Tanggerang, Bekasi, Bandung, Medan, dan Surabaya. Biasanya struktur bangunan bertingkat ini menggunakan struktur beton bertulang. Struktur beton bertulang disusun oleh beberapa komponen struktur, diantaranya pondasi, balok, kolom, dan pelat. Setiap komponen tersebut harus dirancang untuk memikul gaya dalam yang diakibatkan adanya beban luar yang bekerja pada bangunan. Salah satu bagian yang penting pada struktur bangunan beton bertulang adalah hubungan balok kolom.

(22)

yang diakibatkan kegagalan hubungan balok kolom adalah Bangunan Kaiser Permanente. Bangunan rangka pemikul momen dengan penjangkaran ke dinding pengisi era pra-1970 ini, runtuh akibat gempa Northridge 1994. Gambar 1. 1 menunjukkan bangunan Kaiser Permanente yang runtuh akibat gempa. Gambar 1.2 menunjukkan beberapa kegagalan hubungan balok kolom dengan elemen lain rangka pemikul momentnya masih utuh, menunjukkan kegagalan hubungan balok kolom dapat dapat memicu keruntuhan bangunan (Hassan 2011).

(a)

(b)

(23)

(a) (b)

(c)

Gambar 1. 2 (a) Keruntuhan sebagian bangunan akibat kegagalan hubungan balok kolom di Izmit, Turki, 17 Agutus 1999. (b) Perbesaran hubungan balok kolom lantai 3. (c) Perbesaran hubungan balok kolom lantai.

(24)

perencanaan hubungan balok kolom yang memiliki kapasitas geser. Peraturan tersebut mengatur diantaranya pemberian tulangan transversal pada daerah hubungan balok kolom dan penjangkaran tulangan longitudinal balok ke hubungan balok kolom. Peraturan yang membahas mengenai perancangan struktur beton bertulang tahan gempa diantaranya American Concrete Institute (ACI 318-08), New Zealand Standards (NZS 3101:2006), dan Eurocode 8 (EN 1998-1:2003).

Desain bangunan tahan gempa berdasarkan prinsip desain strong column weak beam. Berdasarkan prinsip ini, diharapkan kolom tidak mengalami kerusakan

sedikit pun, namun balok diizinkan mengalami kerusakan. Setelah menerima beban gempa, sendi plastis diharapkan terjadi di balok. Hal ini bertujuan agar bangunan tidak runtuh dan dapat berdiri hingga proses evakuasi selesai. Apabila terjadi kerusakan pada hubungan balok kolom ataupun pada kolom, maka dapat terjadi keruntuhan seketika pada bangunan.

Perilaku hubungan balok kolom perlu dipelajari lebih lanjut. Cara untuk mempelajari hubungan balok kolom diantaranya dengan uji eksperimental ataupun dengan uji numerik dengan program. Uji eksperimental adalah pengujian yang menggunakan model fisik yang dibuat dilaboratorium. Uji eksperimental laboratorium terbilang lebih rumit dan mahal dibandingkan uji numerik, dikarenakan pembuatan model fisik hubungan balok kolom memerlukan waktu dan biaya yang lebih. Selain itu, pemasangan alat ukur gaya dan regangan yang rumit pada hubungan balok kolom kerap kali menjadi kendala dalam pengujian eksperimental.

Perkembangan teknologi mendorong jauh kemajuan program. Maka dari itu, uji numerik dengan program semakin dimungkinkan untuk melakukan kalkulasi yang tidak dapat diselesaikan dengan tangan. Sekarang untuk menganalisis suatu perilaku struktur dapat dilakukan menggunakan program berbasis metoda elemen hingga ‘finite element method’. Dalam ilmu teknik sipil, pengaplikasian metoda elemen hingga digunakan dalam beberapa program, diantaranya ABAQUS, ADINA, Atena, ANSYS, dll.

(25)

perlu menunggu umur beton siap uji, tidak perlu memasang strain gauge, dan tidak perlu melakukan instalasi mesin. Selain itu uji numerik dapat menghasilkan hasil yang tidak didapatkan dari uji eksperimental, diantaranya tegangan dan regangan pada setiap langkah analisis.

1.2.Inti Permasalahan

Hubungan balok kolom merupakan bagian terpenting dalam rangka pemikul momen untuk memastikan ketegaran struktur dalam memikul beban gempa. Keruntuhan bangunan biasanya dimulai dari bagian yang paling rawan, yakni sendi plastis pada hubungan balok kolom.

Mengacu pada ACI 352, hubungan balok kolom dikelompokkan menjadi enam jenis berdasarkan geometrinya, yaitu hubungan balok kolom interior, hubungan balok kolom eksterior, hubungan balok kolom sudut ‘corner’, hubungan balok kolom interior atap ‘roof-interior’, hubungan balok kolom exterior atap ‘

roof-exterior’, dan hubungan balok kolom sudut atap ‘roof-corner’. Gambar 1. 3 menunjukkan pengelompokkan hubungan balok kolom berdasarkan geometri.

Gambar 1. 3 Geometri hubungan balok kolom (ACI 352)

(26)

Pada saat pengujian hubungan balok kolom, biasanya keberadaan pelat diabaikan. Berdasarkan ACI 374, penggunaan pelat pada model pengujian dapat diabaikan, namun pada kali ini dipelajari seberapa besar pengaruh pelat pada model pengujian hubungan balok kolom.

1.3.Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi berjudul Studi Perbandingan Hasil Uji Numerik Model Hubungan Balok Kolom dengan Hasil Uji Eksperimental adalah sebagai berikut:

1. Memodelkan hubungan balok kolom tanpa pelat dan hubungan balok kolom dengan pelat menggunakan Program Atena 3D v.3.3.2.

2. Membandingkan hasil uji numerik dari program dengan hasil uji eksperimental yang disadur dari makalah yang berjudul Testing and Evaluation Reinforced Concrete Beam-Column-Slab Joints. Selain itu menganalisis hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan.

1.4.Pembatasan Masalah

Untuk membatasi pembahasan masalah pada skripsi ini agar tidak terlalu luas, maka uji numerik dan analisis non-linear yang dilakukan terbatas pada hal-hal sebagai berikut:

1. Pemodelan hubungan balok kolom yang dianalisis menggunakan model uji eksperimental berdasarkan makalah dari Saddam M. Ahmed yang berjudul Testing and Evaluation of Reinforced Concrete Beam-Column-Slab Joint.

(27)

(a) Tampak samping

(b) Tampak atas

(28)

(a) Penulangan balok dan kolom

(b) Penulangan pelat

(29)

3. Pola pembebanan siklik yang digunakan ditunjukkan oleh Gambar 1. 1

Gambar 1. 6 Pola pembebanan siklik

4. Pemodelan menggunakan program Atena 3D v.3.3.2.

1.5.Metode Penulisan

Penelitian ini dilakukan dengan 2 metode, yakni: 1. Studi pustaka

Studi pustaka sebagai landasan teori mengacu pada buku-buku pustaka, manual dan panduan penggunaan Program Atena, makalah yang membahas mengenai hubungan balok kolom, makalah yang membahas mengenai penggunaan Program Atena pada masalah struktur beton bertulang, serta skripsi, tesis, dan disertasi yang membahas mengenai hubungan balok kolom dan juga yang membahas mengenai penggunaan program metode elemen hingga pada masalah struktur beton bertulang.

2. Studi analisis

Uji numerik dilakukan dengan menggunakan bantuan Program Atena 3D.

Metodologi penelitian yang dilakukan dalam studi ini ditampilkan dalam diagram alir penelitian pada Gambar 1. 7.

(30)
(31)

1.6.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan diperlukan agar terlaksananya penulisan skripsi yang terbagi ke dalam enam bab, yakni:

BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam Bab 1 dibahas latar belakang, inti permasalahan, tujuan penelitian, pembatasan masalah, metoda penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB 2 LANDASAN TEORI

Dalam Bab 2 dibahas landasan teori, diantaranya mengenai tujuan penelitian disertasi, model benda uji, material beton, material tulangan baja, metoda elemen hingga, ANSYS 17.0, dan Atena 3D.

BAB 3 PEMODELAN BETON BERTULANG PADA ATENA 3D

Dalam Bab 3 dibahas mengenai analisis nonlinier pada Program Atena 3D asumsi pemodelan beton, asumsi pemodelan tulangan baja, finite element mesh, dan solusi permasalahan.

BAB 4 STUDI KASUS

Dalam Bab 4 dibahas mengenai geometri model hubungan balok kolom, pemodelan benda uji, data pemodelan, dan data pembebanan.

BAB 5 PEMBAHASAN HASIL ANALISIS HUBUNGAN BALOK KOLOM Dalam Bab 5 dibahas mengenai hasil uji eksperimental dan hasil uji numerik. BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uji Eksperimental oleh Saddam M. Ahmed, MSc .CE Dari Makalah yang Berjudul Testing and Evaluation of Reinforced Concrete Beam-Column-Slab joint.

Uji Eksperimental oleh Saddam H. Ahmed, MSc .CE dari makalah yang berjudul Testing and Evaluation of Reinforced Concrete Beam-Column-Slab joint disadur

sebagai model benda uji. Makalah ini membahas mengenai hubungan balok-kolom-pelat beton bertulang.

2.1.1. Pendahuluan Makalah

Pada saat terjadi gempa kuat, performa dari struktur gedung beton bertulang sangat bergantung pada perilaku hubungan balok kolom. Mengingat pentingnya mengerti perilaku dari sambungan, banyak uji eksperimen dilakukan berfokus pada sambungan eksternal maupun internal yang dibebani beban siklik. Pada sebagian besar pengujian, biasanya keberadaan pelat tidak diperhitungkan. Padahal, bagaimanapun pelat biasanya dibuat monolitik dengan balok. Maka dari itu, pelat berinteraksi stuktural dengan elemen lain bersatu menjadi sambungan. Beberapa tes sebelumnya dilakukan pada hubungan balok-kolom-pelat menginvestigasi partisipasi pelat dalam menahan beban lateral. Tes tersebut dilakukan pada model skala kecil maupun besar, perbedaan geometri, kondisi batas, properti material, layout penulangan, dan riwayat pembebanan.

2.1.2. Pembatasan Masalah Makalah

(33)

2.1.3. Tujuan Penelitian Makalah

Selain dengan uji eksperimental, pengujian sambungan balok kolom dilakukan dengan menggunakan analisis metoda elemen hingga ‘finite element analysis’. Akan tetapi, pendekatan ini memerlukan waktu komputasi yang tinggi, meshing yang akurat, dan storage pada komputer yang besar, dan sebagian besar metoda tersebut terbatas pada satu sambungan saja. Maka dari itu, makalah ini bertujuan mengembangkan model sederhana untuk mensimulasi pengaruh pelat pada kekuatan balok, kekuatan kolom, dan kebutuhan geser panel sambungan. Model ini dikembangkan menggunakan RUAUMOKO-2D yang dikalibrasikan dengan pertambahan panjang ‘elongation/relaxation’ dan pengaruh pelat. Model harus dapat mensimulasi pengaruh penyempitan ‘pinching’ dan penurunan kekakuan

‘stiffness degradation’ pada pengulangan histeretik yang diharapkan. Pada akhirnya, model ini memvalidasi metoda komputasi yang diusulkan dengan hasil tes sebelumnya.

2.1.4. Model Benda Uji

Model benda uji hubungan balok kolom diambil dari hasil desain gedung lima lantai dengan empat bentang sepanjang 27,6 m, lebar 20 m. Bangunan memiliki empat bentang. Setiap bentangnya membentang 6,9 m dengan ketinggi setiap lantai 3,5m. Bangunan berada pada zona seismik IV berdasarkan UBC dengan jenis tanah kaku kelas situs D. Massa efektif setiap lantai 590 ton. Spesimen yang diuji adalah hubungan balok kolom tanpa pelat (Spesimen J) dan hubungan balok kolom dengan pelat (Spesimen JS).

2.2 Material Beton

Pada dunia konstruksi, beton merupakan material yang sering digunakan. Beton merupakan material yang terbuat dari hasil reaksi kimiawi agregat kasar, agregat halus, air, dan semen. Beton merupakan material hasil rekayasa manusia, oleh karena itu beton memiliki beberapa kelebihan (Park dan Paulay, 1992), diantaranya:

(34)

3. Biaya pembuatannya murah dibandingkan baja. 4. Memiliki ketahanan terhadap api yang baik. 5. Memiliki ketahanan terhadap air.

6. Mempunyai daya layan yang baik. 2.2.1. Kekuatan Tekan Beton

Kekuatan tekan beton (fc’) adalah beban per satuan luas yang mampu ditahan oleh beton pada kondisi tepat saat hancur. Biasanya kekuatan tekan beton menjadi acuan dasar karakteristik beton. Kekuatan tekan beton dipengaruhi oleh beberapa factor utama, diataranya rasio air dengan semen, jenis bahan pencampur beton, kebersihan agregat, usia pengujian, metoda pencampuran, dan metoda perawatan ‘curing’.

Kekuatan tekan beton didapat dari hasil uji pembebanan uniaxial. Beton diberikan regangan longitudinal searah dengan sumbu penampang. Pembebanan yang dilakukan secara perlahan-lahan hingga beton hancur. Tegangan pada beton hancur tersebut yang dikenal sebagai kekuatan tekan beton. Benda uji kuat tekan beton diantaranya adalah silinder dengan diameter 15cm dan tinggi silinder 30cm, kubus berukuran 20cmx20cmx20cm, dan sebagainya. Gambar 2. 1 menunjukkan kurva tegangan-regangan tipikal yang diperoleh dari hasil pengujian Rusch. Pengujian Rusch menunjukkan bahwa bentuk kurva tegangan-regangan sebelum mencapai tegangan maksimum bergantung kepada kekuatan tekan beton.

(35)

2.2.2. Kekuatan Tarik Beton

Berbeda dengan kekuatan tekan, kekuatan tarik beton (ft) lebih kecil dibandingkan kekuatan tekannya. Kekuatan tarik beton berkisar seperenam dari kekuatan tekannya. Beton tidak mampu menahan tegangan tarik yang tinggi. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan faktor retak, gaya tarik, gaya geser, dan momen torsi.

Kekuatan tarik beton didapatkan dari beberapa pengujian, diantaranya uji tarik langsung ‘direct tensile test’, uji silinder belah ‘splitting test’, uji pembebanan empat titik ‘four point load test’. Dari ketiga pengujian yang disebutkan di atas, uji silinder belah dan pembebanan empat titik mengukur kekuatan tekan beton secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan sulitnya memegang beton pada pengujian tarik langsung.

Pada uji pembebanan empat titik dihitung modulus runtuh ‘rupture

modulus’ yang terjadi pada tegangan tarik. Maka dari itu kekuatan tarik beton sering disebut juga modulus runtuh ‘rupture modulus’ (fr). Proses pengujiannya adalah dengan memberikan beban hingga balok beton runtuh akibat tegangan tarik. Biasanya dimensi balok yang digunakan sebesar 150mm x 150mm x 750mm. Beban yang digunakan adalah dua beban terpusat dengan jarak pada sepertiga bentang. Pembebanan tersebut mengacu pada ASTM C-78. Modulus keruntuhan dapat dihitung dengan rumus lentur sebagai berikut:

𝑓

𝑟

=

𝑏ℎ²6𝑀 (2-1) sempurna dengan tegangan yang berbanding lurus dengan jarak terhadap sumbu netral. Hal ini menyebabkan tegangan yang diperoleh kurang akurat.

(36)

𝑓

𝑟

=

𝜋𝐿𝐷2𝑃 (2-2)

Dimana: fr = modulus keruntuhan P = gaya tekan maksimum L = panjang

D = diameter silinder

Kekuatan tarik hasil pengujian silinder belah memiliki nilai yang lebih kecil daripada modulus keruntuhannya. Perbedaan utama terjadi karena distribusi tegangan pada penampang persegi dan penampang silinder berbeda. Gambar 2. 2 menunjukkan pengujian silinder belah oleh Hassoun,2012.

Gambar 2. 2 Uji silinder belah (a) Konfigurasi pengujian, (b) Distribusi tegangan horizontal, (c) hasil pengujian (Hassoun, 2012)

Kekuatan tarik beton tidak sebanding dengan kekuatan tekannya. Kekuatan tarik beton diprediksi dengan rumus pendekatan dibawah ini:

𝑓𝑟 = 0.62√𝑓`𝑐 (2-3)

Dimana: fr = modulus keruntuhan f`c = kuat tekan beton [MPa] 2.2.3. Rasio Poisson

(37)

Gambar 2. 3 Hubungan regangan arah horizontal, longitudinal, dan volume

Pada saat kebanyakan pembebanan, volume dari beton akan mengalami penyusutan ‘shrinkage’. Akan tetapi pada saat tegangan meningkat hingga mendekati kekuatan tekan beton, regangan transversal akan meningkat drastis sehingga volume beton akan meningkat. Peningkatan volume ini dikarenakan beton mengalami retak internal searah dengan arah pembebanan. Kegagalan tekan dari pembebanan tekan uniaxial biasanya ditandai dengan adanya pembelahan sejajar dengan pembebanan dan peningkatan volume akibat adanya regangan transversal. 2.2.4. Modulus Elastis

Berdasarkan Gambar 2. 4, beton tidak memiliki titik leleh ‘yield’ yang pasti. Titik leleh dari beton ditentukan oleh besar dari kekuatan tekan betonnya. Namun, titik regangan puncak ‘ultimate’ kurang lebih berada disekitar 0,002. Hal ini diakibatkan adanya perbedaan kekuatan tekan beton.

(38)

Modulus elastis beton menunjukkan seberapa kaku beton dapat berdeformasi untuk memberikan respon akibat tegangan yang terjadi. Titik leleh dari setiap betonlah yang menentukan seberapa besar modulus elastis dari beton tersebut. Oleh karena itu, modulus elastis beton adalah tegangan leleh dibagi dengan regangan leleh. Karena titik leleh beton berbeda-beda, maka modulus elastis beton juga berbeda-beda.

Ada beberapa definisi dari modulus beton, diantaranya :

a. Modulus awal, E0, adalah kemiringan garis kurva tegangan-regangan pada saat beton masih elastis linier.

b. Modulus tangen, Etan, kemiringan dari garis singgung (tangensial) pada titik tertentu.

c. Modulus sekan, kemiringan garis yang ditarik dari suatu titik ke titik asal kurva.

d. Modulus semu atau modulus jangka panjang, kemiringan garis yang ditentukan dengan tegangan dan regangan yang diperoleh akibat beban jangka panjang.

Perkiraan modulus elastis beton normal dengan berat jenis 2,32 dapat dihitung dengan rumus empiris hasil pengujian, yakni

E

c

= 4730√f`c

(2-4)

Sedangkan beton mutu tinggi, kekuatan tekan diatas 40 MPa hingga 80 MPa untuk beton normal dan 40 MPa hingga 60 MPa untuk beton ringan perhitungan modulus elastisnya dapat menggunakan rumus

Ec = (3.32√f`c+ 6895)(wconc

2320)1.5 (2-5)

Dimana: Ec = modulus elastisitas [MPa] wconc = berat jenis beton [kg/m³] fc = kuat tekan beton [MPa]

(39)

menggunakan perhitungan Hognestad. Gambar 2. 5 menunjukkan idealisasi kurva regangan tekan uniaksial. Pada perhitungan Hognestad, kurva tegangan-regangan beton dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian penguatan ‘hardening’ dan setelah ultimate ‘post-ultimate’. Pada kurva tersebut tidak digunakan modulus elastis beton, melainkan modulus sekan, yaitu kekuatan tekan dibagi dengan regangan ultimate.

Gambar 2. 5 Idealisasi tekan beton Hognestad (Park dan Paulay, 1974)

2.2.5. Perilaku Tegangan Biaksial

Kondisi tegangan biaxial adalah kondisi saat tegangan prinsipal terjadi pada dua arah, yaitu tegangan bidang. Kupfer, Hilsdorf, dan Rusch merumuskan kekuatan tegangan biaxial beton pada Gambar 2. 6. Dapat disimpulkan bahwa kekuatan uniaxial beton akan meningkat jikalau diberikan tegangan pada arah lainnya.

(40)

2.2.6. Perilaku Tegangan Triaksial

Pada kondisi tegangan triaxial, kekuatan dan daktilitas beton meningkat drastis. Pada percobaannya Richart, Bradtzaeg, dan Brown melakukan uji kuat tekan beton yang diberikan fluida pembatas. Pada percobaan ini, specimen yang mengalami tegangan pada seluruh arah disebut specimen terkekang ‘confined specimen’.

𝑓′𝑐𝑐 = 𝑓′𝑐+ 4.1𝑓𝑡𝑙 (2-5)

Dimana:

f’cc = kekuatan tekan aksial specimen terkekang ‘confined’ [MPa] f’c = kekuatan tekan uniaxial specimen tak terkekang ‘unconfined’ [MPa] ftl = tekanan lateral pembatas [MPa]

Gambar 2. 7 menunjukkan kurva tegangan-regangan tekan oleh Richart dkk untuk silinder terkekang. Silinder diberikan kekangan berupa tekanan fluida konstan. Hasilnya menunjukkan peningkatan tekanan lateral menghasilkan hasil yang signifikan pada daktilias dan kekuatan. Hal ini disebabkan oleh tekanan lateral mengurangi adanya retak internal dan mengurangi peningkatan volume sampai keruntuhan.

Gambar 2. 7 Tegangan triaxial beton

2.3 Material Tulangan Baja

(41)

Akan tetapi, pada kasus tulangan ganda, tulangan baja juga diperhitungkan untuk menahan gaya tekan.

Pada struktur beton bertulang terdapat dua jenis tulangan longitudinal yaitu, tulangan utama dan tulangan sekunder. Tulangan utama merupakan tulangan longitudinal yang digunakan untuk menahan tegangan tarik ataupun tegangan tekan. Sedangkan tulangan sekunder digunakan untuk mendistribusikan tegangan yang terjadi pada elemen struktur beton bertulang. Ada pula tulangan transversal yang digunakan untuk menerima tegangan geser.

2.3.1. Perilaku Tegangan Monotonik

Kurva tegangan regangan tersebut biasanya didapat dari hasil pengujian tarik sampel baja. Pada material baja, terdapat empat fase kurva tegangan-regangan. Fase tersebut dimulai dari titik awal (tegangan = 0, regangan = 0), titik leleh, titik pasca-elastis, titik ultimate, dan titik putus. Dari titik awal hingga titik leleh biasanya disebut fase elastis. Setelah tulangan melewati fase elastis, regangan tulangan tidak akan kembali ketitik awal lagi, melainkan terdapat regangan sisa. Dari titik leleh hingga sebelum kurva mengalami peningkatan kekuatan, kurva akan menunjukkan bagian datar. Fase ini disebut fase pasca-elastis ‘post-elastic’. Setelah itu, kurva pada bagian peningkatan kekuatan hingga sebelum titik ultimate, fase ini dinamakan fase peningkatan regangan ‘strain hardening’. Setelah titk ultimate tulangan baja berada pada fase pengurangan luas penampang ’necking’. Gambar 2. 8 menunjukkan kurva tegangan-regangan tipikal untuk baja struktural.

(42)

Kemudian hal yang menjadi karakteristik dasar dari material baja adalah tegangan leleh dan modulus elastisya. Modulus elastis dari tulangan baja biasanya dibuat sebesar 200000 MPa (Nmm2). Sedangkan tegangan leleh tulangan baja besarnya bervariasi, sesuai dengan kebutuhan.

Kelelehan material baja terkadang diikuti oleh penurunan tegangan secara tiba-tiba. Oleh karena itu, kurva tulangan baja dapat menunjukkan bentuk seperti pada Gambar 2. 9 dibawah ini.

Gambar 2. 9 Kurva tegangan-regangan baja titik kelelehan atas dan bawah (Park dan Paulay, 1974)

Pada kasus ini, tegangan pada titik A dan B disebut tegangan leleh atas dan bawah. Tegangan leleh atas didapati berbeda dari tegangan leleh bawah dikarenakan beberapa faktor pada saat pengujian. Nilai tegangan leleh atas (A) bergantung pada kecepatan pemberian beban pada saat pengujian, bentuk penampang, dan bentuk dari sampel pengujian. Sedangkan tegangan leleh bawah adalah tegangan leleh sesungguhnya yang disebut sebagai karakteristik material. Tegangan leleh bawah merupakan nilai yang ditentukan dari campuran karbon pada material baja.

2.3.2. Perilaku Tegangan Berulang

(43)

mengikuti perilaku tegangan monotonik. Akan tetapi, pada saat beban dilepas ‘unloading’, kurva akan berbalik arah sejajar dengan daerah elastis.

Gambar 2. 10 Kurva tegangan-regangan berulang material baja (Park dan Paulay, 1974)

2.3.3. Perilaku Tegangan Berputar

Material baja memiliki perilaku seperti pada Gambar 2. 11 jikalau dibebani uniaxial bolak-balik. Beban bolak-balik yang dimaksud adalah beban tarik dan tekan. Gambar 2. 11 (a) menunjukkan efek Bauschinger. Ketika mengalami beban berputar lebih kecil dari titik leleh, kurva tegangan-regangan pada fase elastis menjadi tidak linier ‘non-linear’. Faktor utama yang mempengaruhi hal ini adalah riwayat regangan sebelumnya, waktu, dan temperatur. Jalur kurva saat beban berubah arah akan sejajar dengan kemiringan daerah elastis.

(44)

Biasanya kurva tegangan-regangan berputar diidealisasikan menjadi kurva elastis-plastis sempurna, seperti pada Gambar 2. 11 (b). Idealisasi ini biasanya digunakan untuk melakukan pendekatan. Selain itu, Kato dkk. juga melakukan idealisasi dari hasil pengamatan data tegangan-regangan uji eksperimental. Mereka menyimpulkan kurva tegangan berputar berasal dari kurva monotonik. Gambar 2. 12 menunjukkan idealisasi Kato dkk.

Gambar 2. 12 Kurva tegangan-regangan baja dengan pembebanan berputar (a) kurva pembebanan berputar (b) kurva yang dipisahkan (c) amplop kurva monotonik (Park dan Paulay, 1974)

2.4 Metode Elemen Hingga

(45)

metode untuk membangun fungsi yang membuat energi potensial minimum. Melalui sudut pandang teknik, metode ini dikembangkan untuk menyusun elemen struktur, yang dapat dianalisis terpisah menjadi persamaan keseimbangan struktur global. (Dill, 2011).

Prinsip dasar dari metoda elemen hingga adalah membagi struktur atau kontinum menjadi elemen hingga ‘meshing’. Setiap elemen hingga harus diformulasikan mempunyai material dan bentuk tertentu. Kemudian, disusunlah matriks kekakuan dari kontinum terbagi tersebut. Setelah itu, diberikan kondisi batas esensial dan kondisi batas non-esensial (pembebanan). Setelah itu dihitung regangan elemen dari setiap derajat kebebasan elemen.

2.5 Finite Element Mesh

Finite Element Mesh bertujuan untuk membagi kontinuum menjadi elemen hingga.

Pembagian bentuk elemen hingga bergantung kepada bentuk kontinuum dan bentuk elemen hingga yang disediakan oleh program. Gambar 2. 13 menunjukkan mesh elemen hingga suatu kontinuum.

Gambar 2. 13 Mesh elemen hingga (Dill, 2011)

Dalam persoalan struktur beton bertulang, terdapat 3 metode alternatif untuk memodelkan baja tulangan, yaitu discrete model, smeared model, dan embedded model (Kurniawan, 2015). Pada discrete model, baja tulangan dapat

(46)

untuk memastikan elemen struktur berhimpit dengan elemen beton adalah dengan mengatur mesh secara manual atau memotong elemen sebelum dilakukan mesh. Keuntungan dari penggunaan discrete model adalah dapat digunakan elemen pegas fiktif untuk memodelkan bond slip antara tulangan dan beton. Elemen pegas fiktif ini tidak berdimensi secara fisik, namun mempunyai property mekanik. Elemen ini digunakan untuk menghubungkan nodal beton dan nodal tulangan. Gambar 2. 14 menunjukkan jenis mesh tulangan pada struktur beton bertulang.

Gambar 2. 14 Jenis mesh tulangan baja (Kurniawan. 2015)

Smeared model adalah model yang mengasumsikan tulangan tersebar merata didalam elemen beton. Properti material beton di area sekitar tulangan dibentuk dari properti material beton dan baja menggunakan teori komposit. Model ini baik digunakan jikalau layout tulangan tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap respon struktur secara keseluruhan. Biasanya digunakan pada struktur yang besar.

(47)

tulangan. Perpindahan pada titik pertemuan kedua elemen tersebut haruslah kompatibel, sehingga perlu ada evaluasi khusus. Untuk struktur dengan posisi tulangan yang kompleks, embedded model merupakan pendekatan yang tepat untuk digunakan. Sama seperti discrete model, embedded model juga dapat menggunakan pegas fiktif untuk memodelkan bond slip. Kekurangan dari model ini adalah penambahan jumlah nodal yang menyebabkan waktu komputasi dan storage yang digunakan menjadi lebih tinggi.

2.6 Non-linieritas

Perilaku nonlinier memungkinan terjadi berbagai macam fenomena. Biasanya fenomena non-linier sulit untuk dirumuskan. Biasanya permasalahan praktis dan desain dapat diselesaikan dengan model linier. Persoalan non-linier pada mekanika struktur sulit untuk digambarkan dalam model matematis dan numerik, maka dari itu persoalan non-linier dikelompokan menjadi tiga permasalahan, yaitu:

1. Non-linier material, dimana properti material berubah tidak dalam kondisi. Misalnya, elastisitas non-linier, plastisitas, susut ‘shrinkage’, dan rangkak ‘creep’.

2. Non-linier kontak, dimana celah dan hubungan diantara bagian yang berdekatan dapat terbuka atau tertutup. Perubahan pada area kontak ini, mempengaruhi tegangan kontak tersebut. Misalnya, slip antara tulangan dan beton.

3. Non-linier geometri, dimana beban yang cukup besar dapat menyebabkan struktur berdeformasi tidak sama dengan saat kondisi linier. Misalnya, tekuk pada saat elemen mengalami gaya tekan.

2.7 Atena 3D v.3.3.2

(48)

Program Atena terdiri dari solusi inti dan beberapa tampilan pengguna. Solusi inti memberikan kemampuan untuk melakukan berbagai macam analisis struktur, seperti: tegangan dan analisis kegagalan, perpindahan panas dan kelembaban, masalah yang bergantung waktu ‘creep’, dan interaksi antaranya. Solusi inti menawarkan cakupan luas dari continuum models 2D dan 3D, dan pustaka elemen hingga, model material, serta metoda solusi. Tampilan pengguna ‘user interface’ dispesialisasikan untuk beberapa fungsi dan tidak diperlukan untuk menyediakan akses ke semua fitur dari solusi inti Atena. Pembatasannya berguna agar untuk memberikan kesan mudah digunakan ‘user friendly’ pada semua aplikasi Atena.

Program Atena, untuk analisis struktur elemen hingga non-linier menawarkan perangkat yang secara spesial didesain untuk simulasi komputer dari perilaku struktur beton dan beton bertulang. Bagaimana pun juga, struktur dari material lain, seperti tanah, logam, dll dapat dimodelkan dengan baik. Program ini memiliki 3 fungsi utama, yaitu:

1. Pre-processing

Untuk memasukan data geometri dari objek, seperti material, kontak permukaan, pembebanan, dan kondisi batas, serta meshing dan parameter solusi.

2. Analysis

Analysis memungkingkan melihat pemantauan proses hasil selama perhitungan.

3. Post-processing.

(49)

BAB 3

PEMODELAN BETON BERTULANG

PADA ATENA 3D V.3.3.2

3.1.Analisis Nonlinier pada Program Atena 3D

Analisis non-linier dari suatu persoalan statik merupakan cara yang paling tepat untuk memperdalam perilaku struktur akibat adanya pembebanan. Pada kali ini, digunakan Atena 3D v.3.3.2 untuk menganalisis perilaku non-linier struktur beton bertulang.

3.2.Pemodelan Material Beton pada Atena 3D

Pada program Atena 3D v.3.3.2 terdapat beberapa jenis plastisitas untuk material. Untuk material beton disediakan dua model plastisitas, yaitu Constitutive Model SBETA (CCSbetaMaterial) dan Fracture-Plastic Constitutive Model.

3.2.1. Constitutive Model SBETA (CCSBeta Material)

Nama SBETA dibuat dari pembuat program, pada saat model material ini pertama kali digunakan. SBETA adalah singkatan dari ánalisis struktur beton bertulang dalam Bahasa jerman – StahlBETonAnalyse.

Asumsi dasar dari material ini diformulasikan berdasarkan kondisi plane stress. Oleh karena itu, pendekatan tersebar ‘smeared’ digunakan untuk model properti material, seperti retak dan tulangan terdistribusi. Ini berarti properti material yang didefinisikan untuk poin material, valid untuk beberapa volume material. Pada kasus ini diasosiasikan dengan seluruh elemen hingga.

(50)

Model ini memiliki beberapa efek perilaku beton, diantaranya:

1. Perilaku non-linier pada tegangan tekan ‘compression’ termasuk pengerasan dan pelunakan.

2. Patahan atau retakan pada beton pada tegangan tarik ‘tension’ berdasarkan mekanika fraktur non-linier.

3. Kriteria kegagalan kekuatan biaxial. 4. Pengurangan kekuatan tekan setelah retak. 5. Efek pengakuan pada saat tegangan tarik.

6. Pengurangan kekakuan geser setelah retak (retensi variabel geser).

7. Dua model retak, yaitu: arah retak yang tetap dan arah retak terputar ‘rotated’.

Hubungan tegangan-regangan dari beton didefinisikan dalam beberapa dalil. 1. Dalil Kesetaraan Uniaxial

Perilaku non-linier beton pada kondisi tegangan biaxial dideskripsikan dengan sebutan tegangan efektif σcef, dan regangan uniaksial setara εceq. Tegangan efektif pada kebanyakan kasus adalah tegangan prinsipal.

Regangan axial ekivalen diperkenalkan untuk mengeliminasi efek dari Poisson pada kondisi regangan bidang ‘plane stress

𝜀𝑒𝑞= 𝜎𝑐𝑖

𝐸𝑐𝑖 (3-1)

Regangan uniaxial ekivalen dapat dianggap sebagai regangan, yang akan menghasilkan tegangan σci dalam pengujian uniaksial dengan modulus Eci diasosiasikan dengan arah i. Dengan asumsi ini, sifat non-linier yang menunjukkan kerusakan disebabkan hanya oleh pengaruh tegangan σci. Untuk lebih detailnya dapat dilihat CHEN (1982).

(51)

Gambar 3. 1 Hubungan tegangan-regangan uniaxial beton (Cervenka, 2007)

Nomor pada diagram Gambar 3. 1 dalam analisis digunakan untuk mengindikasi kondisi dari kerusakan beton.

Pelepasan beban ‘unloading’ mengikuti fungsi linier kembali ke titik asal.. Contohnya pelepasan beban yang terjadi pada titik U. Jadi, relasi Antara tegangan σcef dan regangan εeq tidak khusus dan bergantung pada sejarah pembebanan. Perubahan pada pembebanan dan pelepasannya terjadi saat peningkatan dari regangan efektif berubah tanda. Apabila pembebanan diulang berikutnya terjadi pola pelepasan beban linier mengikuti sampai titik pembebanan U terakhir tercapai kembali. Kemudian, fungsi pembebanan dilanjutkan.

Nilai puncak dari tegangan tekan f`cef dan tarik f`tef dihitung berdasarkan kondisi tegangan biaxial. Maka, dalil tegangan-regangan uniaxial ekivalen mencerminkan kondisi tegangan biaxial.

Hubungan tegangan-regangan diatas digunakan untuk mengkalkulasi modulus elastis untuk matriks kekakuan material. Modulus sekan digunakan pada perhitungan konstitutif untuk menghitung tegangan pada saat diberikan regangan. Modulus sekan dihitung menggunakan rumus:

𝐸𝑐𝑠 = 𝜎𝑐

(52)

Modulus tangensial Ect digunakan pada matriks material Dc untuk menyusun matriks kekakuan elemen untuk mencari solusi iteratif. Modulus tangensial adalah kemiringan dari hubungan dari kurva tegangan-regangan pada saat diberikan regangan. Nilainya akan selalu positif. Pada saat kemiringan dari kurva kurang dari nilai minimum Emint, nilai modulus tangensial digunakan sebesar Ect. Ini terjadi saat daerah pelunakan dan dekat kekuatan tekan puncak.

2. Tegangan Tarik Sebelum dan Setelah Retak

Perilaku beton pada tegangan tarik tanpa retak diasumsikan elastis linier. Modulus elastis beton awal adalah Ec, kekuatan tarik efektif berdasarkan fungsi kegagalan biaxial adalah f`tef.

𝜎𝑐𝑒𝑓 = 𝐸𝑐 𝜀𝑒𝑞, 0 ≤ 𝜎𝑐 ≤ 𝑓`𝑡𝑒𝑓 (3-3)

Terdapat dua tipe formulasi yang digunakan setelah pembukaan retak:

a. Model retak fiktif berdasarkan dalil pembukaan-retak dan energy patahan. Formulasi ini cocok untuk memodelkan perambatan retak pada beton. Ini digunakan pada kombinasi dengan crack band.

b. Hubungan tegangan-regangan pada poin material. Formulasi ini tidak cocok untuk kasus normal perambatan retak pada beton dan seharusnya digunakan pada kasus tertentu.

Pada bagian ini akan dideskripsikan tiga model pelunakan struktur beton bertulang yang termasuk didalam model material SBETA.

a. Dalil Pembukaan Retak Eksponensial

Pembukaan retak eksponensial ditunjukkan pada Gambar 3. 2.

(53)

Rumus pembukaan retak dicetuskan berdasarkan eksperimental oleh Hordijk (1991).

𝜎

𝑓`𝑡𝑒𝑓 = [1 + (𝑐1 𝑤 𝑤𝑐)

3

exp(−𝑐2𝑤𝑐𝑤) −𝑤𝑐𝑤 (1 + 𝑐13) exp(−𝑐2) ] (3-4)

𝑤𝑐 = 5.14 𝐺𝑓

𝑓`𝑡𝑒𝑓 (3-5)

Dimana: w = pembukaan retak

wc = pembukaan retak pada pelepasan lengkap tegangan σ = tegangan normal pada retak (kohesi retak)

c1 = 3 , c2 = 6.93

Gf = energi retak yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah area dari retak tegangan bebas

f`tef = kekuatan tarik efektif berasal dari fungsi kegagalan Perpindahan pembukaan retak w berasal dari regangan berdasarkan teori crack band.

b. Dalil Pembukaan Retak Linier

Diagram pembukaan retak linier ditunjukkan pada Gambar 3. 3

(54)

Persamaan pembukaan retak linier dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:

𝜎𝑐𝑒𝑓 𝑓`𝑡𝑒𝑓=

𝑓`𝑡

𝑤𝑐(𝑤𝑐 − 𝑤), 𝑤𝑐 =

2𝐺𝑓

𝑓`𝑡 (3-6)

c. Penghalusan Linier Berdasarkan Regangan Lokal

Bagian penurunan dari diagram tegangan-regangan didefinisikan oleh regangan c3 bersama dengan tegangan nol. Gambar 3. 4 Menunjukkan diagram penghalusan linier berdasarkan regangan lokal.

Gambar 3. 4 Penghalusan Linier Berdasarkan Regangan Lokal (Cervenka, 2007)

3. Tekan Sebelum dan Setelah Tegangan Puncak

(55)

Gambar 3. 5 Diagram tegangan-regangan tekan beton (Cervenka, 2007).

𝜎𝑐𝑒𝑓= 𝑓`𝑐𝑒𝑓 𝑘𝑥−𝑥1+(𝑘−2)𝑥2 ; 𝑥 =𝜀𝜀

𝑐 ; 𝑘 = 𝐸𝑜

𝐸𝑐 (3-7)

Dimana σcef = tegangan tekan beton f`cef = kekuatan tekan efektif beton

x = regangan ternormalisasi ε = regangan

εc = regangan pada tegangan puncak f`cef k = parameter bentuk

E0 = modulus elastisitas awal

Ec = modulus elastisitas sekan pada tegangan puncak, Ec = 𝑓`

𝜀𝑐

Nilai parameter k memiliki nilai positif lebih besar sama dengan 1. Misalnya jika k=1, maka kurva linier. Jika k-2, maka kurva parabola.

(56)

Tekan setelah tegangan puncak akan mengalami pelunakan yang dirumuskan dengan kemiringan menurun. Ada dua model pelunakan regangan tekan. Satu berdasarkan energi disipasi dan yang lainnya berdasarkan pelunakan regangan lokal.

a. Model Bidang Tekan Fiktif

Model ini berdasarkan asumsi, yaitu kegagalan tekan dilokalisasi pada bidang normal kea rah tegangan prinsipal tekan. Semua perpindahan pasca-puncak tekan dan energi disipasi dilokalisasi pada bidang. Ini diasumsikan, bahwa perpindahan dipengaruhi oleh ukuran struktur. Hipotesa ini didukung oleh eksperimen Van Mier (1986).

Asumsi ini analog dengan Teori Retak Fiktif akibat tarik, dimana bentuk dari dalil pembukaan-retak dan energi patahan didefinisikan dan dianggap sebagai properti material. Pada kasus tekan, poin akhir dari kurva pelunakan didefinisikan sebagai perpindahan plastis wd. Dengan ini, energi yang dibutuhkan dari generasi pada area unit bidang kegagalan tidak didefinisikan langsung. Dari eksperimental Van Mier (1986), nilai wd diambil sebesar 0.5mm untuk beton normal. Nilai ini digunakan sebagai default untuk definisi dari pelunakan tekan.

Dalil pelunakan ditransformasikan dari bidang regangan fiktif. Gambar 3. 6 menunjukkan hubungan tegangan-regangan yang valid untuk material volume kontinu tersebut, Gambar 3. 5. Kemiringan dari bagian pelunakan diagram tegangan-regangan didefinisikan sebagai 2 poin, yaitu puncak diagram pada tegangan maksimum dan limit regangan maksimum εd pada tegangan nol. Regangan ini dihitung berdasarkan perpindahan plastis wd dan ukuran band Ld. Keuntungan dari rumus ini adalah mengurangi kebutuhan mesh elemen hingga. Rumus regangan maksimum dituliskan pada rumus sebagai berikut:

(57)

Gambar 3. 6 Dalil perpindahan pelunakan tekan (Cervenka, 2007).

b. Dalil Pelunakan Regangan Tekan berdasarkan regangan

Kemiringan dalil pelunakan didefinisikan sebagai modulus pelunakan Ed. Formulasi ini bergantung pada besar kecilnya elemen hingga.

ya elemen hingga.

4. Kriteria Kegagalan Biaxial a. Kegagalan tekan

Kegagalan tekan biaxial mengacu kepada Kupfer dkk. (1969). Gambar menunjukkan fungsi kegagalan biaxial beton. Dalam kondisi tegangan biaxial, kekuatan beton diprediksi sebagai tegangan proposional. Gambar 3. 7 menunjukkan kondisi kegagalan tegangan biaxial pada beton.

Gambar 3. 7 Kegagalan kondisi tegangan biaxial (Cervenka 2007).

(58)

𝑓`𝑐𝑒𝑓 =1+3.65𝑎(1+𝑎2) 𝑓`𝑐 ; 𝑎 = 𝜎𝑐1

𝜎𝑐2 (3-9)

Dimana: σc1, σc2 = tegangan prinsipal beton f`c = kekuatan silinder beton uniaksial

Pada kondisi tegangan tarik-tekan, fungsi kegagalannya dilanjutkan secara linier dari titik σc1 = 0, σc2 = f`c ke daerah tarik-tekan dengan penurunan kekuatan secara linier. Rumusnya dapat dilihat sebagai berikut:

𝑓`𝑐𝑒𝑓 = 𝑓`𝑐 𝛾𝑒𝑐 ; 𝛾𝑒𝑐 = (1 + 5.3278 𝜎𝑓`𝑐1𝑐) ; 1.0 ≥ 𝛾𝑒𝑐 ≥ 0.9 (3-10)

Dimana, rec adalah faktor reduksi kekuatan tekan pada arah prinsipal 2 akibat tegangan tarik pada arah prinsipal 1.

b. Kegagalan Tarik

Pada kondisi tegangan tarik-tarik, kekuatan tarik beton adalah konstan dan dengan kekuatan tarik uniaxialnya f`t. Gambar 3. 7 menunjukkan kegagalan biaxial tegangan tarik-tekan. Pada kondisi tegangan tarik-tekan, kekuatan tarik direduksi dengan persamaan berikut:

𝑓`𝑡𝑒𝑓 = 𝑓`𝑡 𝛾𝑒𝑡 (3-11)

Dimana, ret adalah faktor reduksi kekuatan tarik pada arah 1 akibat tegangan tekan pada arah 2. Fungsi reduksi mengikuti bentuk berikut:

𝛾𝑒𝑡 = 1 − 0.8𝜎𝑐2

𝑓`𝑐 (3-12)

𝛾𝑒𝑡 =𝐴 + (𝐴 − 1)𝐵𝐴𝐵 ; 𝐵 = 𝐾𝑥 + 𝐴 ; 𝑥 =𝜎𝑓`𝑐2 𝑐

Hubungan dari persamaan diatas merupakan penurunan linier dari kekuatan tarik dan penurunan hiperbolik.

(59)

Tabel 3. 1 Nilai penentu kurva hiperbolik

Tipe Titik Parameter

r x A K

a 0.5 0.4 0.75 1.125

b 0.5 0.2 1.0625 6.0208

Gambar 3. 8 Kegagalan tegangan biaxial tarik-tekan (Cervenka, 2007).

Tabel 3. 2 Parameter default SBETA Constitutive Model (Cervenka, 2007).

(60)

cukup berikan nilai kekuatan tekan kubus f`cu dalam MPa(kekuatan nominal). Kemudian parameter lainnya akan dihitung dengan rumus menggunakan kekuatan kuat tekan kubus. Rumus ini didapat dari CEB-FIP Model Code 90 dan beberapa riset lalinnya. Parameter yang tidak disebutkan dalam Tabel 3. 2 menggunakan default sebesar 0.

3.2.2. Fracture-Plastic Constitutive Model

Model retak-plastis mengkombinasikan model konstitutif untuk perilaku tarik (peretakan ‘fracturing’) dan tekan (plastis). Model fracture didasarkan pada formulasi retak tersebar ortotropik klasik ‘classical orthotropic smeared crack’ dan crack band model. Ini memberlakukan Kriteria Kegagalan Rankine, pelembutan eksponential, dan dapat digunakan sebagai model retak tetap atau terputar ‘fixed or rotated crack model’. Model plastisitas pengerasan/pelembutan berdasarkan Menétrey-Willam atau kegagalan permukaan Drucker-Prager. Kedua model ini kembali memetakan algoritma untuk integrasi persamaan konstitutif. Perhatian khusus diberikan untuk mengembangkan algoritma untuk mengkombinasikan kedua model. Algoritma terkombinasi didasarkan pada subtitusi rekursif, ini memungkinkan untuk kedua model dapat berkembang dan dihitung terpisah.

Metode untuk mendekomposisi regangan, diperkenalkan oleh De Borst (1986). Ini digunakan untuk mengkombinasikan model retak dan plastisitas bersama-sama. Kedua model ini dikembangkan dengan framework pemetaan alogirtma kembali oleh Wilkins (1964). Pendekatan ini menjamin solusi dari semua besaran regangan inkremental. Dari semua pandangan algoritma, masalahnya ditransformasikan untuk mencari titik balik optimal pada kegagalan permukaan.

(61)

Formulasi model material berdasarkan dekomposisi regangan dibagi menjadi komponen elastis εeij, plastis εpij, dan peretakan εfij‘fracturing’. (De Borst 1986)

𝜀𝑖𝑗 = 𝜀𝑖𝑗𝑒 + 𝜀𝑖𝑗𝑝 + 𝜀𝑖𝑗𝑓 (3-13)

Untuk tegangan kondisi baru digunakan dengan formula:

𝜎𝑖𝑗𝑛 = 𝜎𝑖𝑗𝑛−1+ 𝐸𝑖𝑗𝑘𝑙(∆𝜀𝑘𝑙− ∆𝜀𝑘𝑙𝑝 − ∆𝜀𝑘𝑙𝑓) (3-14)

Dimana: σijn, σijn-1 = tegangan pada kondisi ke-n ∆εkl = regangan plastis inkremental

∆εkl = regangan peretakan berdasarkan material yang digunakan Material-material yang termasuk kedalam Fracture Plastic Model adalah CC3DCementitious, CC3DNonLinCementitious, CC3DNonLinCementitious2, CC3DNonLinCementitious2Variable, CC3DNonLinCementitious2Fatigue, CC3DNonLinCementitious2User, dan CC3DNONLINCEMENTITIOUS2SHCC. Material CC3DNonLinCementitious2 adalah pengembangan dari CC3DNonLinCementitious, sehingga dapat memperhitungkan bagian keretakan pada model. Material ini juga dapat memperhitungkan pengaruh efek pembebanan jangka panjang ‘creep’ dan jikalau dibutuhkan dapat mengganti material properti pada saat analisis berlangsung.

Material CC3DNonLinCementitious2User adalah model material yang disediakan untuk pengguna, sehingga dapat mendefinisikan dalil-dalil material sendiri. Dalil yang dapat didefinisikan diantaranya diagram tarik dan perilaku pelunakan, faktor retensi geser, dan efek kompresi lateral untuk kekuatan tarik. Nilai-nilai pada kurva yang didefinisikan, dimasukkan saat kurva berada pada daerah pelunakan.

3.3.Pemodelan Material Tulangan Baja pada Atena 3D

(62)

diskret berbentuk dalam batang tulangan dan dimodelkan sebagai elemen batang ‘truss elements’. Tulangan tersebar 'smeared' merupakan bagian dari material komposit dan dapat dianggap baik sebagai material tunggal 'only one-constituent' dalam elemen dalam pertimbangan atau sebagai satu dari banyak unsur. Penyebab masalah dapat berupa mesh elemen yang khusus (layer mesh), sedangkan yang lainnya bisa saja sebagai elemen beton terdiri dari satu atau lebih tulangan. Pada kedua kasus ini, kondisi tegangan uniaxial diasumsikan sama dengan formulasi tegangan-regangan yang digunakan pada setiap elemen tulangan.

3.3.1. Hubungan Tegangan-Regangan Bilinier

Pada kasus ini, hubungan tegangan-regangan baja dianggap bilinier dengan asumsi elastis-plastis sempurna. Gambar 3. 9 menunjukkan hubungan tegangan-regangan bilinier.

Gambar 3. 9 Hubungan tegangan-regangan bilinier tulangan (Cervenka, 2007)

Pada bagian awal, kurva ditentukan oleh modulus elastis baja Es dan titik leleh Fy. Pada garis kedua, menunjukkan plastisitas penguatan. Kemiringan kurva ditentukan oleh modulus elastis penguatan ‘hardening elatic modulus’ Esh. Pada kasus plastisitas sempurna, nilai Esh bernilai 0. Batas regangan maksimum ditentukan oleh regangan batas εL.

3.3.2. Hubungan Tegangan-Regangan Multilinier

(63)

tulangan diskret ataupun tersebar. Tulangan tersebar membutuhkan tambahan parameter yaitu rasio tulangan dan sudut arah tulangan. Sedangkan nilai s dianggap kecil tak berhingga, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. 11.

Gambar 3. 10 Hubungan tegangan-regangan multilinier tulangan (Cervenka, 2007).

Gambar 3. 11 Sudut arah tulangan tersebar (Cervenka, 2007).

3.4.Pemodelan Elemen Beton pada Atena 3D

(64)

-masing nodal memiliki derajat kebebasan translasi dan rotasi ke segala arah. Gambar 3. 12 menunjukkan model elemen hingga dari elemen solid.

Gambar 3. 12 Model elemen hingga elemen solid (Cervenka, 2007).

Macroelement dibentuk dengan beberapa cara menentukan geometri (topologi). Cara yang paling dasar adalah mendefinisikan titik. Kemudian menghubungkan titik-titik tersebut menjadi kesatuan garis. Garis-garis tersebut dihubungkan menjadi suatu luasan. Kemudian luasan dirubah menjadi bentuk volume dengan cara extrusion sepanjang suatu vektor tertentu. Setelah volume terbentuk, volume tersebut perlu diberikan material. Kemudian definisikan material beton pada volume tersebut.

3.5.Pemodelan Tulangan Baja pada Atena 3D

(65)

formulasi isoparametris elemen yang diintegrasi menggunakan Integrasi Gauss (Gauss Quadrature) satu atau dua integrasi poin untuk kasus linier ataupun interpolasi kuadratis.

Gambar 3. 13 menunjukkan asumsi dasar model elemen batang pada Atena.

Gambar 3. 13 Model elemen hingga elemen batang (Cervenka, 2007)

Geometri tulangan dimodelkan sebagai rangkaian garis yang menghubungkan titik-titik geometri. Cara memodelkannya adalah dengan memasukkan data koordinat titik geometri. Kemudian titik tersebut dihubungkan menjadi garis banyak ‘polyline’ pada bidang kerja. Tulangan dapat dimodelkan lengkung ataupun melingkar.

Setelah model geometri dibuat, tulangan perlu diberikan luas penampang, material tulangan, dan jenis konektivitas dengan beton. Jikalau menggunakan tulangan diskret, dapat digunakan jenis slip antar tulangan dan beton.

3.6.Finite Element Mesh pada Atena 3D

Mesh elemen hingga bertujuan untuk membagi kontinum menjadi elemen hingga.

Gambar

Gambar 1. 1 (a) Keruntuhan struktur akibat kegagalan hubungan balok kolom,  Bangunan Kaiser Permanente, Gempa Nortridge, 1994
Gambar 1. 2 (a) Keruntuhan sebagian bangunan akibat kegagalan hubungan balok kolom di Izmit, Turki, 17 Agutus 1999
Gambar 1. 4 (a) dan (b) Geometri hubungan balok kolom
Gambar 1. 5 (a) dan (b) Detail penulangan hubungan balok kolom
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih. POKJA ULP PENGADAAN BARANG/JASA

Password sama dengan Username dan Password yang ada di dalam tabel admin pada database ‘arsipuksw’ maka user tersebut berhasil menjadi admin dan dialihkan

Education (RME) dalam pembelajaran matematika melalui penelitian yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) terhadap Minat

pengembangan bakat secara non formal. Ketiga lingkungan tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam penanaman nilai-nilai multikultural kepada peserta didik.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karuniaNYa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Sistem Pemasaran Kelapa

Bila melihat data yang telah diperoleh, baik itu melalui data sekunder maupun wawancara mengenai alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah, maka dapat

Informasi tentang proses pengembangan media diorama papercraft yang diperoleh dari deskripsi masing-masing tahap pengembangan, Informasi tentang kualitas media diorama