• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontras Desak Kasus Penembakan di Timika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kontras Desak Kasus Penembakan di Timika"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Kontras Desak Kasus Penembakan di Timika Ditangani Pengadilan Umum

KOMPAS.com/Dani Prabowo Aktivis Kontras Arif Nurfikri

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak, agar proses hukum kasus penembakan warga sipil oleh oknum TNI di Kabupaten Timika, Jumat (28/8/2015) lalu, ditangani pengadilan umum. Kontras khawatir jika kasus tersebut dipegang pengadilan militer, maka akan ditangani secara tidak transparan.

"Pangdam Cendrawasih serahkan kasus penembakan tersebut ke instusi kepolisian, agar diproses melalui mekanisme pengadilan umum," kata aktivis Kontras Arif Nurfikri di Sekretariat Kontras, Selasa (1/9/2015).

Dari catatan Kontras, kata dia, selama tiga tahun terakhir ada tujuh kasus yang melibatkan oknum anggota TNI yang dibawa ke pengadilan militer. Menurut dia, selama proses pengadilan berlangsung, pengadilan militer dianggap kerap mengabaikan aspek transparansi dan akuntabilitas.

"Berdasarkan pengalaman tersebut, kami berpendapat bahwa mekanisme pengadilan militer hanya dijadikan panggung sandiwara dan alat impunitas dalam proses penegakan hukum terhadap anggota TNI yang terbukti melakukan tindak pidana," ujarnya.

Ia menambahkan, Pangdam Cendrawasih juga harus memastikan bahwa tidak ada ancaman atau teror terhadap keluarga korban. Selain itu, Komnas HAM juga didesak agar memantau jalannya proses pemeriksaan hingga berakhirnya masa persidangan terhadap para pelaku.

"Terakhir, pemerintah dan DPR segera merevisi UU Pengadilan Militer, agar setiap anggota TNI yang melakukan tindak kriminal tunduk pada peradilan umum," kata dia.

Sebelumnya, dua warga meninggal dunia dan dua lainnya kritis akibat terkena tembakan oknum anggota TNI di Jalan Bhayangkara, Timika, Jumat dini hari. Yulianus Okoare (18) meninggal di tempat setelah tertembak di perut tembus ke punggung, sementara Imanuel Marimau (23) yang tertembak di bawah telinga akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat di Instalasi Gawat Darurat RSU Mimika.

(2)

Komjen Pol Budi Waseso--Metrotvnews.com/Lukman

Metrotvnews.com, Jakarta: Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Ditipikor) Bareskrim Polri menahan oknum polisi tersangka kasus pemerasan terhadap pengusaha tempat hiburan. Tindak lanjut kasus ini tetap diberlakukan.

Menurut Kabareskrim Komjen Budi Waseso, polisi berinisial PN dengan pangkat AKBP itu dikenakan sanksi disiplin dan kode etik di internal kepolisian.

"Tapi itu tidak menggugurkan pidananya. Jadi di sini (Ditipikor) dalam rangka pidananya. Putusannya kita ajukan ke peradilan umum. Kode etiknya tetap berjalan. Itu kewenangan Propam," kata Budi Waseso di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (25/6/2015).Saat ini, proses pelanggaran kode etik masih berjalan. Jika nantinya Propam menyelesaikan pemeriksaan dan masuk tahap persidangan, PN bisa dipinjam dari tahanan Bareskrim Polri.

Sejauh ini, tambah jenderal bintang tiga itu, kuat indikasi PN benar-benar melakukan pemerasan terhadap pengusaha tempat hiburan. "Ya sementara alat buktinya ada," tegasnya.

Alat bukti yang sudah disita berupa uang dan logam mulia. Sayangnya, tidak diketahui persis berapa jumlah total barang yang disita jika dirupiahkan.

(3)

Pemerintah Kota Jakarta Barat membongkar 80 rumah yang dibangun di bantaran sungai di 8 kecamatan yang ada di Jakarta Barat. Dalam kasus ini pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yakni terdapat pelanggaran mengenai garis sempadan sungai.

Sanksi administrasi yang diberikan yang pertama adalah surat peringatan secara berjenjang namun apabila tidak ditanggapi maka dilakukan pembongkaran bangunan Keberadaan bangunan tersebut juga dinilai sebagi salah satu faktor penyebab banjir

Bentuk Sanksi Administratif

Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 62 UU 26 tahun 2007 yakni Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan yang dilarang. Disamping itu, sanksi administrasi terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut (Siti Sundari Rangkuti, 2005:217)

Bentuk sanksi tersebut dapat berupa: · peringatan tertulis;

· penghentian sementara kegiatan;

· penghentian sementara pelayanan umum; · penutupan lokasi;

· pencabutan izin; · pembatalan izin

· pembongkaran bangunan

Bentuk pelanggaran yang bersifat administrasi tersebut juga dapat dikenakan saksi pidana melalui kebijakan kriminalisasi, yaitu upaya untuk menjadikan suatu perbuatan tertentu (dalam hukum administrasi) sebagai perbuatan yang dapat dipidana/dijatuhi/dikenakan sanksi pidana. Proses kriminalisasi ini dapat diakhiri dengan terbentuknya atau lahirnya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan kriminalisasi juga dapat dilihat sebagai asas pengendalian (principle of restrain) pada pendekatan pergeseran peran atau fungsi pidana dari ultimum menjadi premium remedium yang menyatakan sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila instrumen hukum lain tidak efektif (asas subsidaritas) serta pendekatan apabila terdapat perluasan dalam berlakunya hukum pidana.

(4)

SIDOARJO- Massa pendukung calon bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, mendatangi kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, di jalan Letjen Sutoyo, Medaeng, Waru Sidoarjo. Mereka memberikan dukungan kasus sengketa Pilkada 2013 yang ada di

Kabupaten Pamekasan.

Massa yang menamakan Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Pamekasan (KOMPAS), menuding KPUD Pamekasan diduga berkonspirasi dengan pasangan incumbent Bupati Pamekasan

Kholilurahman dengan pasangannya.

"Panwas merekomendasikan pasangan incumbent. Tapi mendiskualifisikan Achmad Syafii berpasangan dengan Khalil Asy'ari, yang mencalonkan diri sebagai Bupati Pamekasan periode

2013-2018," kata Hanafi, salah seorang pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, kepada detiksurabaya.com, Selasa (27/11/2012).

Tidak hanya itu, lanjut Hanafi, KPUD juga mencabut penetapan calon bupati pamekasan. Dan justru kini membuka pendaftaran baru untuk para calon yang mau maju sebagai bupati periode 2013-2018.

Tapi, pendukung dari mantan Bupati Pamekasan Achmad Syafi’i dan Khalil Asy'ari (ASRI) dari partai Demokrat, PPP, PKS dan Hanura cukup menyesalkan sikap Panwaslu Pamekasan. Dinilai tidak fair dalam pendaftaran calon bupati pamekasan saat ini karena, pasangan Kholilurahman

dengan pasangannya saat ini Masduki yang tidak mempunyai ijazah bisa meloloskannya jadi calon incumbent.

"Pasangan incumbent tidak mempunyai ijazah, justru diloloskan untuk maju kembali mencalonkan bupati pamekasan periode 2013-2018. Tapi yang mempunyai ijazah yakni Achmad Syafii dan Khalil

Asy'ari, justru didiskualifikasi. Lantaran nama Khalil tidak sesuai dengan yang ada di ijazah mulai tingkat MI, MTS dan MA bernama Halil," terang koordinator KOMPAS.

Namun, nama tersebut sudah diganti, masih kata Hanafi, setelah Halil maju mencalonkan diri sebagai legislative jadi Khalil Asy’ari yang kini jadi ketua DPRD kabupaten Pamekasan. Dan sudah dinonaktifkan untuk maju mencalonkan diri sebagai wakil bupati berpasangan dengan Achmad

Syafi’i.

"Makanya dengan ketidak fairnya dalam pemilihan kepala daerah Pamekasan, masyarakat dari pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN Surabaya,"

tandasnya.

Secara terpisah, M. Sholeh kuasa hukum dari pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari yang sudah mengajukan gugatan terhadap KPUD Pamekasan di PTUN Surabaya, meminta agar bersikap adil. Karena, kliennya itu mempunyai ijazah yang asli dan dikeluarkan oleh Kanwil Departemen Agama

Jatim waktu itu.

"Makanya kita menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN dengan nomor 144/G/2012/PTUN.Sby. yang isinya dan intinya agar PTUN Surabaya meloloskan pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari,"

kata M. Sholeh singkat kepada detiksurabaya.com. (bdh/bdh) Selasa, 27/11/2012 13:55 WIB ANALISIS

Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih sering

memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah: (g) Keputusan Komisi

Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”. Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat

maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana, bahwa selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan

(5)

Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun 2005, Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada semua tahapan pemilu tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada

butir 2 SEMA disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan atau penetapan (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil pemilihan umum, haruslah

diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum.

Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama,

yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan. Bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA

juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004 sebagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang

lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8 Tahun 2005. Bahkan materi SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi

SEMA No. 8 Tahun 2005.

Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di

bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun

1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah

berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh

KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap. Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam verifikasi Bakal Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon melalui PTUN. Harapannya,

PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat mengakomodir pasangan untuk ikut berkompetisi dalam Pilkada.

Seiring banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa persoalan penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah mekanisme penerapan tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menerangkan bahwa ‘Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari

terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara’. Dalam perkara No. 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU PTUN dalam

perkara Pilkada.

Pada kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui verifikasi yang cermat dan

valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah pelantikan calon terpilih. Penggugat mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat Penggugat baru sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah pelantikan

(6)

Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan pilkada akan memicu gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau

solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.

Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara

dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April

2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya

dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang.

Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau

badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).

Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972.

Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171). Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke

III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya

kepentingan terhadap terbitnya KTUN, namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut. Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun

silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada. Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan

berakhir atau bahkan sudah selesai.

Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa

dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi

(7)

Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja

KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan.

Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang

waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum

diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.

Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide

Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan

sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan

gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima

Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang

yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku.

Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum. Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat--ketentuan tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi eksepsional

dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu

diterbitkan atau diumumkan .

Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan pemilu atau pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55 UU PTUN amat

sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya

tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur” dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi. Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan),

tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara. Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila

(8)

Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian

hukum dalam tahapan pilkada. D. Kesimpulan

m Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun 2010

tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam penerapan hukum acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul adalah

penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad. Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat terjadi

karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila dihubungkan dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan kepastian hukum. Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih

berlaku.

Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Maward Keempat, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Artinya, tenggang waktu dalam pasal 55 harus

(9)

Kasus Penembakan Diselesaikan di Pengadilan Militer

Senin, 3 November 2014 16:03

banjarmasinpost.co.id/faturahman

Komandan Datasemen Polisi Militer (Dandenpom) XII Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Letkol CPM Sigit Himawan

BANJARMASINPOST.CO.ID, PALANGKARAYA- Komandan Datasemen Polisi Militer

(Dandenpom) XII Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Letkol CPM Sigit Himawan, Senin (3/10/2014) menegaskan, kasus penembakan yang dilakukan oleh Bripka Ariffin terhadap Briptu Sumeh Priyono, anggota Polda Kalteng, akan diselesaikan dalam Sidang pengadilan militer.

Sigit menegaskan, saat ini, Bripka Arifin, masih ditahan di jeruji besi di Markas Denpom sembari menjalani proses hukum terkait tindakannya yang menembak paha kiri Briptu Sumeh dalamsebuah perkelahian di halaman parkir Hotel Aquarius Palangkaraya, Minggu (2/11/2014) dini hari.

(10)

Oknum TNI Penyiksa Warga Papua Divonis Penjara

Peradilan militer ini digelar setelah sejumlah tekanan internasional, menyusul beredarnya video kekerasan keempat oknum TNI itu terhadap sejumlah warga Papua di laman Youtube yang memicu kecaman banyak kalangan.

Empat tentara yang menyiksa warga sipil di puncak Jaya Papua, Kamis (11/11) divonis oleh Pengadilan Militer III–19 Kodam XVII/Cendrawasih. Komandan pasukan Letnan dua Cosmos divonis 7 bulan penjara. Sementara, tiga anak buahnya, yaitu, Praka Syahminan Lubis, Prada Joko Sulistyo dan Prada Dwi Purwanto dihukum masing-masing 5 bulan penjara.

Keempatnya diseret ke pengadilan setelah terlibat dalam penganiayaan warga di Puncak Jaya, Papua, 9 Maret 2010. Namun hukuman kepada mereka diberikan karena melakukan tindak pidana militer, berupa melawan perintah atasan, melanggar sumpah prajurit serta dianggap mencoreng nama baik TNI. Juru bicara Kodam Papua, Letkol Susilo, meyakinkan, hukuman ini sudah sesuai aturan dan memenuhi rasa keadilan. "Dari TNI kami meyakini bahwa itu sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku dan hukuman itu sudah sesuai dengan yang kita dakwakan kepada yang bersangkutan. Ini bukan sekedar sandiwara belaka."

Meski vonis pengadilan ini lebih berat dibanding tuntutan oditur militer sebelumnya, namun tetap saja memicu kecaman karena hukumannya dianggap terlalu ringan. Anggota Dewan Adat Papua, Markus Haluk, mempermasalahkan pasal yang diajukan untuk keempat anggota TNI itu. "Mestinya masuk dengan pasal yang berkaitan dengan kekerasan atau pelanggaran HAM. Oleh karena itu harus diberikan hukuman yang berat. Bukan 4 atau 7 bulan... Dengan demikian itu sudah jelas, bahwa peradilan yang digelar di Jayapura itu hanya sandiwara politik untuk menyenangkan hati masyarakat internasional dan masyarakat Indonesia dan orang Papua tidak percaya dan kami sangat tidak terima.”

Lebih jauh, Markus Haluk menyatakan, akan meminta Komnas HAM turun ke Papua dan menyelidiki kasus kasus kekerasan lain yang dilakukan tentara terhadap warga sipil.

Kasus kekerasan ini terungkap setelah rekaman video penyikasaan ini beredar di situs Youtube. Keempat oknum TNI itu terlihat menganiaya beberapa warga Papua yang diduga terlibat gerakan separatis. Markas besar TNI segera mengirim tim untuk menyelidiki kasus itu, menyusul janji Presiden Yudhoyono untuk mengkhiri budaya impunitas atau kekebalan hukum bagi tentara

Kelompok-kelompok HAM menyebut, kasus kekerasan ini merupakan dampak operasi militer oleh TNI. Namun TNI membantah adanya operasi militer di Papua. Presiden Yudhoyono sendiri

(11)

Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah

indosiar.com, Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke Pengadilan. Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di Pengadilan Agama Bekasi. Warisan pesinetron muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor ini, menjadi sengketa antara Ibunda almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.

Nielsa menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara Ibunda Adi mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian harta almarhum anaknya. Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya berkeras tidak akan menjual, menunggu Chavia besar.

Menurut Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan penyelesaiannya secara damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat Chavia. Kita sudah coba secara

kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."

Menurut Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga dikasih untuk Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris harus ada tulisan untuk saya, Nielsa dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual menunggu Chavia kalau sudah besar."

Terlepas dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang keprihatinan. Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan Nielsa jadi tambang meruncing.

Sebelum ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi. Semestinya hubungan baik harus terus dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat berpengaruh pada perkembangan psikologis Chavia.

"Saya tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah berkomunikasi dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.

"Bagaimana juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)

Solusi:

Dikasus ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang menjadi rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum telah memiliki anak dari mantan istrinya.

(12)

Dan Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut hukum masing masing (pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Mengenai harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh suami dan istri dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).

2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.

Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri almarhum mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut disebut harta bersama.

(13)

antusias dengan PK yang diajukan tersebut.

Dhani diminta untuk mengajukan PK. Karena memang harapannya Dhani ingin mendapatkan hak asuh anak-anaknya

Dhani mengetahui dengan baik apa yang dilakukannya. Ia sangat berharap bisa mendapatkan hak asuh ketiga putranya. Meski hak asuh anak berada di tangan Maia, sampai saat ini, Al, El dan Dul berada dalam pengawasan Dhani.

Perceraian Dhani dan Maia memang menjadi sorotan. Maia menggugat cerai Dhani ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Proses perceraian pasangan ini berlangsung lama karena keduanya tetap bersikeras dengan pendapatnya masing-masing. Selama proses perceraian, pasangan ini saling melemparkan tuduhan.

Dan akhirnya pada 23 September 2008, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan gugatan cerai Maia. Hakim juga menjatuhkan hak asuh anak kepada Maia. Tak terima keputusan tersebut, Dhani diwakili pengacaranya mengajukan banding.

Namun, banding tersebut ditolak. Tak patah semangat, bos Republik Cinta Manajemen ini memutuskan mengajukan kasasi. Lagi-lagi, kasasinya ditolak. Dhani pun akhirnya memutuskan mengajukan PK.

Sesuai keputusan hakim pada 23 September 2008, seharusnya hak asuh anak jatuh ke tangan Maia. Hasil putusan Mahkamah Agung pada 12 Januari 2011 juga menguatkan hak asuh anak untuk Maia.

Namun, Dhani tak mau menyerahkan anak-anak kepada Maia. Sempat terjadi pergolakan

hubungan Dhani-Maia karena berebut hak asuh anak. Kini, hubungan Dhani dan Maia tak lagi seperti anjing dan kucing.

namun kini , Al, El dan Dul sekarang sering berkunjung dan menginap ke rumah Maia. Dari Dhani sendiri yang mengizinkan. Bahkan, Al sudah tinggal serumah dengan Maia sekarang. Sudah sekira satu bulan lebih

perasaan Maia akhirnya bisa berkumpul dengan ketiga darah dagingnya? Tentu saja bahagia. Tak sia-sia Maia membangun rumah mewah lengkap dengan kolam renang dan kamar tidur bagi ketiga anaknya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.

“Saya sedang bahagia. Kemarin bantuin anak-anak bikin tugas. Alhamdulillah, sekarang sudah mulai bisa bertemu anak-anak. Hubungan dengan anak-anak mulai lancar karena anak-anak sudah mulai tidur di rumah saya,” ujar Maia di Studio RCTI, Jakarta Barat, 30 Mei 2011.

Dhani juga pernah mengakui, tak mau memaksakan kehendak kepada Al, El, Dul harus tinggal bersamanya. Apalagi, anak-anak sudah beranjak dewasa sehingga sudah bisa mengerti pembagian waktu yang dirasa tepat.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data IHPB Provinsi Kalimantan Timur yang dicatat dalam bentuk bulanan dari bulan Januari 2002 - Desember 2006 dan Januari 2009 - September 2013 dilakukan

Hasil analisis varian dari penelitian ini diketahui bahwa tidak ada interaksi antara va- rietas dan lokasi, oleh karena itu tidak dilan- jutkan dengan analisis

Dalam kondisi tersebut, bagi stakeholder (terutama pemegang saham) akan sulit menilai kinerja manajemen apakah posisi kas dan setara kas terlalu kecil atau terlalu besar

Subyek karya tulis ilmiah adalah hasil penelitian yang sudah dipublikasikan sejumlah 3 penelitian dengan topik yang sama yaitu relaksasi Benson efektif diberikan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan serangkaian Tugas Akhir

Fokus masalah penelitian ini ialah leksikon alat dan aktivitas bertanam padi yang digunakan oleh masyarakat Pemalang dan bagaimana maknanya serta leksem apa saja yang

Peserta didik pendidik mencari informasi tentang struktur teks prosedur yang dibaca, pada teks yang berjudul “Cara Mencuci tangan dengan Baik dan Benar”..

Faktor Pendorong : Warga antusias terhadap kegiatan yang dilakukan, warga bersedia menerima dengan baik saran pencegahan dan pengobatan tekanan darah yang