• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atensi Global terhadap Konflik di Kawasa (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Atensi Global terhadap Konflik di Kawasa (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Atensi Global terhadap Konflik di Kawasan Afrika: Perdagangan Senjata Ilegal,

Perang Saudara, Identitas Etnis dan Agama

Firsty Chintya Laksmi Perbawani

Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

firstychintya@gmail.com

ABSTRAK

Afrika menjadi salah satu kawasan dengan intensitas konflik yang sangat tinggi serta memakan setidaknya puluhan ribu jiwa tiap tahunnya. Mengapa 90% korban mati di daerah

konflik, khususnya Afrika sedangkan kawasan lain tidak? Penulis berargumen bahwa Afrika merupakan benua dimana negara-negara didalamnya sangat konfliktual. Beberapa hal yang

menyebabkan konflik yang mampu menarik atensi global tersebut antara lain, karena tingginya perdagangan senjata ilegal, konflik horisontal seperti banyaknya perang saudara, identitas etnis yang masih sering terjadi, serta adanya konflik-konflik agama. Hal itulah yang

akhirnya mendorong global untuk memberikan atensinya dalam membantu menyelesaikan konflik di kawasan Afrika. Dalam pembatasan perdagangan senjata ilegal misalnya, entitas

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah dengan membentuk rezim internasional mengenai perdagangan senjata yaitu Arms Trade Treaty (ATT) atau Perjanjian Perdagangan Senjata.

(2)

Konflik yang terus terjadi di Afrika bukan menjadi hal yang baru lagi. Melihat dari perspektif sejarah dan global, memang sebenarnya apabila dibandingkan dengan jumlah korban selama

Perang Dunia I dan II, sebanyak kurang lebih 180 juta orang yang meninggal akibat konflik dan kekejaman di Afrika tidak seberapa. Namun, hal tersebut tidak begitu saja membuat atensi global turun. Karena hingga sekarang pun Afrika masih menjadi pantuan daerah

dengan tingkat dan intensitas konflik yang sangat tinggi. Penyebab konflik yang sangat kompleks pun menjadi tantangan yang sulit untuk diselesaikan. Pada awal abad kedua puluh

satu, Afrika yang setidaknya terdiri dari lima puluh empat negara, sejak kemerdekaan, sekitar sepertiga dari negara-negara tersebut telah mengalami kekerasan perang (Dunnigan & Bay 1996, 651-53). Tingkat kekerasan yang terjadi antar negara di Afrika memang berbeda-beda.

Afrika adalah benua besar, dimana budaya dan masyarakat didalamnya begitu variatif. Tingkat kekerasan berbeda jauh antar negara dan juga kadang sulit untuk memprediksi di

mana kekerasan akan terjadi. Kenya, misalnya, berbatasan dengan lima negara lainnya, empat di antaranya telah mengalami perang saudara: Ethiopia, Sudan, Somalia dan Uganda. Negara kelima di perbatasannya adalah Tanzania, negara yang sebagian lahir dari revolusi (Revolusi

Zanzibar 1964). Dibandingkan dengan negara tetangga, Kenya sejauh ini telah terhindar skala besar konflik sipil. Beberapa negara lain pun juga ikut dalam perang dan terkena dampak.

Namun intinya, pola kekerasan secara keseluruhan di Afrika benua adalah sangat mengganggu dan layak untuk dianalisis. Dalam pendahuluan ini, penulis kembali menegaskan argumen penulis, dimana konflik-konflik yang terjadi di Afrika dikarenakan oleh

beberapa hal, antara lain perdagangan senjata ilegal, perang saudara, hingga konflik mengenai identitas kesukuan dan agama yang ada. Dalam makalah ini, penulis akan

(3)

Perdagangan Senjata Ilegal: Arms Trade Treaty

Pedagangan senjata ilegal didefinisikan oleh United Nations Office for Disarmament Affairs

atau Komisi Pelucutan Senjata PBB sebagai perdagangan yang melanggar hukum nasional ataupun hukum internasional dalam kata lain, ilegal. Perdagangan ini memberi dampak bagi dunia internasional, yaitu menjadi biang keladi 90% korban mati di kawasan konflik.

Negara-negara di Afrika, seperti Somalia, Kongo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan menjadi fokus perdagangan senjata ilegal. Afrika Selatan memiliki peraturan senjata yang ketat dan sejak

peraturan itu diluncurkan tahun 2002, tingkat kejahatan dengan menggunakan senjata menurun. Berdasarkan data statisik dewan penelitian kesehatan tahun 2002 hampir sepertiga kasus pembunuhan tindak kejahatan dilakukan dengan menggunakan senjata. Tahun 2008

jumlahnya menurun menjadi sepersepuluh. Pam Crowsley dari lobi anti senjata, Gun Free South Africa berpendapat: “Semakin sedikit adanya senjata, situasi akan semakin aman, dan

semakin sedikit jumlah kejahatan. Jika orang-orang tidak memiliki akses pada senjata, kejahatan yang mereka lakukan juga makin sedikit.” tetapi pada kenyataannya tidak semudah itu. Di Afrika Selatan saja, para pakar memperkirakan ada sekitar 500 ribu senjata ilegal.

Paradoksnya, kebanyakan senjata ilegal itu berasal dari pasar legal. Itu merupakan senjata-senjata yang dicuri atau hilang dulu jauh sebelum banyaknya perjanjian anti senjata-senjata dibuat

(Stäcker & Kostermans 2012).

Dunia pun dengan entitas yang berada di Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) mulai membuat sebuah rezim internasional untuk mengatur perdagangan senjata. Apabila melihat

kembali pada konsep rezim internasional, menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan

(4)

membuat sebuah perjanjian yang dinamakan sebagai Arms Trade Treaty (ATT), dimana perjanjian ini berisikan 28 pasal yang mengatur pembatasan perdagangan senjata

konvensional secara langsung. Dengan perjanjian ini, setidaknya angka perdagangan senjata di Afrika berkurang.

Perang Saudara yang Beruntun

Keberadaan senjata-senjata yang sangat mudah dapat dicari pun juga dapat memicu adanya perang saudara diantara negara di Afrika. Pengertian atau konsep perang saudara yaitu suatu

keadaan dimana saat konflik bersenjata yang, (1) menyebabkan lebih dari seribu kematian; (2) menantang kedaulatan sebuah negara yang diakui secara internasional; (3) terjadi dalam batas-batas yang diakui yang negara; (4) melibatkan negara sebagai salah satu pejuang utama;

(5) melibatkan pemberontak dengan kemampuan untuk membuat sebuah kelompok oposisi terorganisir; dan (6) mampu memengaruhi prospek hidup bersama suatu negara setelah akhir

perang (Elbadawi & Sambanis 2000).

Dari sekian banyak perang saudara yang terjadi di Afrika, salah satu yang paling besar adalah Perang Kongo (Guere du Kongo) yang terjadi di Republik Demokratik Kongo (RDK,

dulunya Zaire). Perang Kongo juga disebut sebagai Perang Dunia Ketiga di Afrika. Perang ini sebenarnya bermula dari negara yang bernama Zaire. Pada tahun 1996, Mobutu mulai

kehilangan legitimasi di mata rakyatnya. Mobutu yang berstatus sebagai Perdana Menteri ini telah memimpin Zaire sejak tahun 1965. Pada awal kepemimpinannya, Mobutu memiliki kiprah politik yang sangat baik, ia dikenal sebagai sosok pemuda yang sangat cerdas,

memiliki semangat yang tinggi dan berpotensi menjadi pemimpin besar Zaire. Kepemimpinannya di Zaire saat itu didukung oleh berbagai negara barat, termasuk Amerika

(5)

saat awal kepemimpinannya berubah menjadi stagnan dan cenderung mengalami kemunduran. Angka PDB Zaire semakin mengalami kemerosotan dan banyak meresahkan

masyarakat. Tentara pun juga mulai bersikap berkebalikan dari fungsi utamanya, dimana para tentara Zaire mulai menyerang dan menolak kepemimpinan Mobutu (Zapata 2009). Perang Kongo ini pun berlangsung cukup panjang dan melibatkan setidaknya delapan negara di

Afrika beserta puluhan kelompok milisi yang ada.

Identitas Etnis dan Konflik Agama

Afrika memiliki prevalensi tinggi akan perang sipil dan ini umumnya dikaitkan dengan keragaman etnis dari negara tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya gerakan pemberontak Afrika yang selalu dikaitkan dengan indentitas etnis tertentu. Kebanyakan

masyarakat di kawasan Afrika masih cukup kuat memegang perbedaan etnis yang ada, sehingga keberagaman tersebutlah yang memicu terjadinya konflik. Selain indentitas etnis,

konflik agama juga merupakan salah satu konflik yang seringkali memecah perdamaian di negara-negara Afrika. Masyarakat Afrika setidaknya memiliki tiga agama yaitu, agama tradisional, ajaran Islam dan penganut Kristen (Moller 2006, 6). Pada dasarnya, konflik

agama telah muncul sebelum era kolonialisme terjadi di Afrika. Namun pergerakan atas nama keagamaan semakin masif muncul di era abad 19 hingga 20, yakni semenjak kolonialisme di

Afrika dimulai. Dalam masa tersebut, kontribusi kelompok - kelompok keagamaan dalam memerjuangkan kemerdekaan Afrika semakin masif, tetapi keikutsertaan kelompok – kelompok keagamaan tersebut justru yang kemudian akan mengancam stabilitas suatu negara

secara internal.

Penulis mengambil salah satu contoh konflik yang dapat merepresentasikan bagaimana

(6)

pergerakan radikal keagamaan di Zimbagwe yang mana mengklaim diri sebagai Gereja Kristen Pantekosa dengan jemaat yang tinggi tingkat pengikutnya dibandingkan yang lain,

sehingga kelompok ini menuntut agar Zimbabwe berdiri sendiri menjadi negara nasionalisme Kristen Pantekosa (Maxwell 2000, 252). Dengan agenda dasar menyebarkan nilai-nilai keagamaan Kristen Pantekosa, ZAOGA kemudian merambah kearah yang lebih politis, yakni

mulai ingin menguasai negara. Setelah mendapatkan tampuk kepemimpinan di Zimbabwe, ZAOGA kemudian menerapkan rezim pemerintahan yang otoriter dan meniadakan

pendidikan ataupun kegiatan keagamaan yang bersifat supranatural seperti animisme dan dinamisme. Kebijakan tersebut tentu saja menyulut konflik dengan penganut keagamaan lain, karena selain Kristen Pantekosa, masyarakat Zimbabwe masih banyak menganut agama

supranatural tersebut. Sehingga akhirnya terjadi konflik agama yang cukup masif di Zimbabwe akibat pergerakan ZAOGA tersebut.

Kemungkinan sebab lain yang mampu meningkatkan probabilitas konflik agama di Afrika juga mengenai determinasi pereokonomian. Afrika sebagai kawasan yang notabene dengan tingkat perekonomian yang lemah di banyak negara, akan memudahkan justifikasi terhadap

tindakan kejahatan dan kekerasan (Miguel 2005, 1153). Salah satu konflik antaragama yang didorong oleh klaim perekonomian terjadi di dalam masyarakat Tanzania, yang terjadi antara

pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama supranatural. Walaupun sebenarnya mayoritas penduduk Tanzania memeluk agama Islam, namun masih sering terjadi kasus pembunuhan terhadap perempuan. Hal ini disebabkan oleh tuduhan praktek ilmu sihir kepada para

perempuan yang menganut agama supranatural tersebut, karena agama supranatural ini kental dengan ritual keagamaan seperti penyembahan. Hal tersebut dianggap sebagai sihir gelap

(7)

masyarakat Tanzania kelaparan dan miskin (Miguel 2005, 1163). Pemikiran irrasional yang mengatasnamakan agama tersebut telah meledakkan konflik yang korbannya cukup banyak.

Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah penulis jelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa 90% korban mati di daerah konflik Afrika dan negara lain tidak, dikarenakan intensitas konflik di kawasan

Afrika begitu tinggi. Timbulnya konflik-konflik di Afrika pun dipengaruhi oleh beberapa hal. Penulis menyingkatnya menjadi tiga pokok penyebab. Pertama, pergerakan perdagangan

senjata negara-negara di Afrika, seperti Somalia, Kongo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan begitu tinggi. Adanya kemudahan dalam membeli atau menyimpan senjata pun mampu meningkatkan probabilitas terjadinya konflik. Tidak ingin berlarut-larut, dunia pun

memberikan atensinya dengan cara ikut menandatangani sebuah perjanjian pada tahun 2013 yang diberi nama Arms Trade Treaty, dimana perjanjian ini berisikan 28 pasal yang mengatur

pembatasan perdagangan senjata konvensional secara langsung. Kedua, banyaknya konflik antar negara di kawasan Afrika juga menjadi penyebab, memang sebenarnya apabila dibandingkan dengan jumlah korban selama Perang Dunia I dan II, sebanyak kurang lebih

180 juta orang yang meninggal akibat konflik dan kekejaman di Afrika tidak seberapa. Namun, hal tersebut tidak begitu saja membuat atensi global turun. Penulis memberikan

contoh Perang Kongo, dimana perang ini dinilai sebagai perang yang sangat besar karena melibatkan setidaknya delapan negara di Afrika beserta puluhan kelompok milisi yang ada. Lalu, yang ketiga yaitu adanya identitas etnis dan agama yang penulis nilai agar lebih bisa

dileburkan dan harusnya ada proses integrasi satu sama lain di kawasan Afrika. Penulis memberikan konflik Zimbabwe Assemblies of God Africa (ZAOGA) di Zimbagwe pada

(8)

Daftar Pustaka

Banyu Perwita. A & Yanyan, M. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung :

Remaja Rosdakarya.

Dunnigan, James F. and Austin Bay. 1996. A Quick and Dirty Guide to War. 3rd edn. New York: WiIlliam Morrow and Company.

Elbadawi, Ibrahim & Sambanis, Nicholas. 2000. How Much War Will We See? Estimating the Likelihood and Amount of War in 161 Countries, 1960-1998. Mimeo: The World

Bank Publishing.

Maxwell, David. 2000. Catch the Cockerel Before Dawn: Pentecostalism and Politics in Post-Colonial Zimbabwe, Africa: Journal of the International African Institute. 70:2, hal.

249-277.

Miguel, Edward. 2005. “Poverty and Witch Killing”, Review of Economic Studies 72:4 pp.

1153-1172.

Moller, Bjorn. 2006. “Religion, Conflict and Terrorism in East Africa” dalam Religion and Conflict in Africa with Special Focus on East Africa. DIIS Report 2006: 6.

Oyeniyi, Adeleye. 2011. Conflict and Violence in Africa: Causes, Sources and Types [Online] Tersedia dalam:

https://www.transcend.org/tms/2011/02/conflict-and-violence-in-africa-causes-sources-and-types/ (diakses pada 29 Desember 2015)

Stäcker, Claus & Kostermans, Dyan. 2012. Afrika Surga Bagi Senjata Ilegal [Online] Tersedia dalam: http://www.dw.com/id/afrika-surga-bagi-senjata-ilegal/a-15792797

(9)

Zapata, Mollie. 2009. Congo: The First and Second Wars, 1996-2003 [Online] Tersedia dalam: http://www.enoughproject.org/blogs/congo-first-and-second-wars-1996-2003

(diakses pada 30 Desember 2015)

Referensi

Dokumen terkait

Di Perancis, 50% pelajar lepasan sekolah menengah rendah akan memasuki pendidikan voctech yang terdiri daripada 3 bahagian, iaitu Sekolah Teknikal berasakan teknik dan

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR D ETERMINAN D ALAM PENGEMBANGAN PERANGKAT MOD EL PELATIHAN BERBASIS NILAI AGAMA UNTUK MEMBENTUK KARAKTER PEMUD A.. Universitas Pendidikan Indonesia |

[r]

[r]

Selanjutnya data yang diperoleh diproses menggunakan metode persepektif yaitu penelitian yang mendeskkripsikan tentang apa yang dipersepsikan oleh seseorang.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang masih harus diimpor dari luar negeri dan adanya peluang ekspor yang masih terbuka, maka dirancang Pabrik Dibutil

penghayatan, pembiasaan serta pengalaman peserta didik tentang agama. 2) Proses internalisasi dan pengembangan nilai syari’ah , yakni (1) tidak hanya melalui pemberian