• Tidak ada hasil yang ditemukan

62081186 Model Pendidikan Berkarakter. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "62081186 Model Pendidikan Berkarakter. pdf"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENDIDIKAN

KARAKTER BANGSA

Sebuah Pendekatan Monolitik di

Universitas Negeri Jakarta

Di susun oleh:

DR. Achmad Husen, M.Pd

DR. Muhammad Japar, M.Si

Yuyus Kardiman, M.Pd

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

(2)

MODEL PENDIDIKAN

KARAKTER BANGSA

Penulis

DR. Achmad Husen, M.Pd DR. Muhammad Japar, M.Si

Yuyus Kardiman, M.Pd

Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh

dari isi buku ini tanpa ijin tertulis

(3)

SAMBUTAN

Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Jakarta

D

egradasi moral yang melanda bangsa Indonesia saat ini menjadi keprihatinan semua pihak. Banyak perilaku elemen masyarakat yang menunjukkan lemahnya karakter sebagai suatu bangsa yang besar. Untuk itu perlu disikapi dengan langkah-langkah nyata oleh semua elemen masyarakat baik itu keluarga, sekolah, masyarakat, media massa maupun perguruan tinggi. Perguruan tinggi memiliki peranan starategis dalam melaksanakan pendidikan karakter. Upaya itu dapat berbentuk mata kuliah tersendiri (monolitik), terintegrasi dalam mata kuliah yang relevan, juga pencipataan kultur kampus yang mendukung terbentuknya pendidikan karakter guna membangun karakter yang kuat bagi civitas akademika perguruan tinggi.

Dalam rangka menjalankan peran itu, kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin-Nyalah, maka buku MODEL PENDIDIKAN

KARAKTER BANGSA: SEBUAH PENDEKATAN

(4)

Terima kasih ini kami sampaikan kepada Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah mendukung dan membiayai penyusunan buku ini.

Sebagai langkah awal dalam pengembangan pendidikan karakter, penulisan buku ini belumlah sempurna, oleh karena itu kritik dan masukan penting bagi tim penulis agar dapat disempurnakan di kemudian hari. Semoga usaha kita untuk membangun karakter bangsa mencapai hasil yang optimal. Terima kasih.

Jakarta, Desember 2010

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Jakarta

(5)

Kata Pengantar

P

idato Pembelaan Bung Karno di muka Hakim Kolonial pada tahun 1930 menegaskan : “Kalau bangsa Indonesia ingin mentjapai kekuasaan politik, jakni ingin merdeka, kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan di dalam rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas diri sendiri, berusaha dengan kebiasaan dan tenaga sendiri!” (Soekarno, 1930:92).

Pernyataan Bung Karno di atas menunjukkan bahwa salah satu karakter warga negara Indonesia yang harus di bangun adalah karakter kemandirian sebagai sebuah bangsa yang dapat terwujud dengan berusaha dan pembiasaan. Seorang Aristoteles menjelaskan bahwa karakter sangat erat hubungannya dengan kebiasaan (Habits). Diperjelas oleh Lickona (1992) yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan kararakter yang baik (good character) maka setiap warga negara harus melakukan kebiasaan pikiran, kebiasaan hati dan kebiasaan dalam tindakan (habits of mind, habits of heart and habits of action).

(6)

Buku Model Pendidikan Karakter : Sebuah pendekatan monolitik di Universitas Negeri Jakarta ini di susun sebagai bagian kerjasama antara Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional dengan Universitas Negeri Jakarta dalam upaya membangun kararter bangsa khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi. Buku ini memberikan panduan baik kepada mahasiswa untuk melakukan pembiasaan pikiran, pembiasaan hati dan pembiasaan tindakan maupun kepada Pergurua Tinggi Lain khususnya LPTK sebagai bahan bandingan dalam menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Karakter.

Sebagai penulis kami telah mengeluarkan kemampuan terbaik dalam menyusun buku ini, namun tentunya buku ini masih banyak memiliki kelemahan, sehingga dengan lapang dada kami akan menerima saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan buku ini di masa datang. Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil sehingga buku ini terbit. Terimakasih.

Jakarta, Desember 2010

(7)

Daftar Isi

Sambutan Dekan ~ iii

Kata Pengantar ~ v

Daftar Isi ~ vii

Bab I, Pendahuluan ~ 1

A. Latar Belakang ~ 1

B. Tujuan ~ 6

Bab II, Landasan Teori dan Deskripsi Model ~ 9

A. Konsep Karakter ~ 9

B. Konsep Karakter Bangsa ~ 13

C. Konsep Pendidikan Karakter ~ 18

1. Arti Penting Pendidikan Karakter di LPTK ~ 22

2. Kunci Sukses Pendidikan Karakter ~ 23

a. Dari Knowing menuju Doing ~ 23

b. Identiikasi Karakter ~ 26

3. 11 Prinsif Pendidikan Karakter ~ 29

D. Deskripsi Model Pendidikan Karakter ~ 30

1. Model Monolitik ~ 30

2. Model Terintegrasi ~ 31

(8)

4. Model Gabungan ~ 32

Bab III, Metode Pelaksanaan Pendidikan Karakter ~ 35

A. Prosedur/Metode Pelaksanaan ~ 35

B. Pelaksanaan Pendidikan Karakter ~ 36

1. Penetapan kontrak perkuliahan dengan membangun harapan dan komitmen ~ 36

2. Menemukenali Kata-kata Hikmah dan memasangnya di ruang kelas dan di tempat-tempat strategis di kampus ~ 38

3. Meningkatkan Minat Baca dengan Menyusun Resensi ~ 39

4. Mahasiswa Mengamati dan Mengabarkan Kebajikan (Story Telling) ~ 39

5. Dosen Menyaksikan atau Mengetahui Kebajikan dan Mengabarkannya ~ 40

6. Mengembangkan Suasana Apresiatif ~ 41

7. Menemukenali Tokoh Idola ~ 42

8. Meningkatkan Kebersihan dan Kerapian Kelas ~ 43

9. Memulai perkuliahan dengan berdoa ~ 44

10. Peduli terhadap Masalah Masyarakat, Korban Bencana atau Kemalangan ~ 44

11. Nonton Bersama Film yang Bertemakan Pendidikan Karakter, Sejarah Perjuangan dan Kemanusiaan ~ 46

12. Bekerja dalam Kelompok ~ 47

13. Melibatkan Orang-tua dalam Pendidikan Karakter ~ 47

14. Releksi ~ 48

Bab IV, Penutup ~ 51

LAMPIRAN ~ 53

(9)

Lampiran 2, Proil manusia berkarakter, Harapan dan Komitmen Kelas ~ 58

Lampiran 3, Kata-kata hikmah ~ 64

Lampiran 4, Buku-Buku yang diresensi ~ 124

Lampiran 5, Releksi ~ 126

Lampiran 6, CD Kegiatan Pendidikan Karakter

(10)
(11)

BAB I

MODEL PENDIDIKAN

KARAKTER BANGSA

Sebuah Pendekatan Monolitik di Universitas Negeri Jakarta

A. Latar Belakang

K

ehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia telah menunjukkan adanya degradasi atau demoralisasi dalam pembentukan karakter dan kepribadian Pancasila. Degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila sebagai inti atau core values dari pembentukan karakter Pancasila tersebut tidak saja terjadi di kalangan masyarakat awam tetapi juga sudah merambah ke kepribadian para profesional, tokoh masyarakat, para terpelajar, para pendidik, elit politik, bahkan hingga para pemimpin bangsa dan negara. Adalah wajar, bila banyak penilaian masyarakat internasional yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup di dunia dan birokrasi pemerintahan di Indonesia adalah birokrasi pemerintahan paling buruk kedua di dunia. Belum lagi, banyak fakta lainnya yang menunjukkan bahwa degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila itu telah terjadi dari tingkat akar rumput hingga para pemimpin bangsa. Kasus narkoba yang makin subur, pertikaian bersenjata antar kelompok massa yang menjadi tontonan di televisi, kekerasan terhadap anak dan

perempuan, pornograi dan pornoaksi yang makin vulgar ditunjukkan

oleh kalangan muda hingga elit politik, hubungan seks bebas yang makin menjangkiti kalangan generasi muda siswa dan mahasiswa, tindakan KKN

(12)

salah satu kelompok masyarakat Indonesia sendiri, kasus money politics dalam pemilukada dan pemilu legislatif, pencemaran dan kehancuran lingkungan ekologis, kompetisi antar kepentingan yang makin tajam dan tidak fair, pameran kekayaan yang makin tajam antara kelompok kaya dan kelompok miskin, kasus penggusuran kelompok miskin di kota-kota besar, dan sulitnya menumbuhkan kepercayaan terhadap kejujuran masyarakat adalah sedikit contoh kecil dari gunung es degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila telah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dewasa ini.

Proses degradasi nilai dan moral tersebut telah mengalami proses yang lama hingga memunculkan karakter manusia Indonesia yang cenderung memiliki nilai-nilai yang mengagungkan dan mengukur keberhasilan seseorang dari aspek kebendaan. Sebagai contoh, perilaku korupsi bahkan dikatakan telah membudaya di Indonesia. Jika pembudayaan nilai-nilai menyimpang tersebut pada dasarnya juga adalah hasil proses pendidikan (karena pembudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan), maka dapat dikatakan pula bahwa ada yang salah dalam proses pendidikan di negeri ini dalam waktu yang lama sehingga melahirkan generasi masyarakat yang kurang berkarakter Pancasila. Pendidikan di Indonesia ditengarai kurang berbasis pada pendidikan karakter Pancasila, melainkan lebih mendominankan atau menyombongkan pendidikan yang takabur pada keunggulan berpikir logika kognitif belaka. Menurut Mahatma Gandhi pendidikan tanpa basis karakter adalah salah satu dosa yang fatal. Theodore Roosevelt juga pernah menyatakan bahwa: “to educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat) (Russell T. Williams, 2010; Ratna Megawangi, 2010). Jelaslah bahwa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak dikembangkan dan dilaksanakan di Indonesia.

(13)

No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Salah satu pilar yang harus menjalankan pendidikan karakter adalah perguruan tinggi.

Lembaga Pendidikan Tinggi atau Perguruan Tinggi harus ikut mengambil peran ikut bertanggung jawab untuk mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter bangsa berbasis Pancasila dalam rangka memajukan keberadaban bangsa. Sesuai dengan visi Kementerian Pendidikan Nasional yang tertuang dalamKerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP) IV (2003-2010), maka pendidikan tinggi di Indonesia diarahkan untuk mampu membentuk insan yang berkarakter dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa. Kebijakan dasar untuk mencapai visi tersebut adalah adanya kesadaran bahwa daya saing bangsa hanya dapat dicapai dalam bingkai karakter bangsa dan peradaban yang kuat. Pendidikan tinggi sebagai kelanjutan dan titik kulminasi proses pendidikan dalam jenjang pendidikan formal jelas memiliki peran dan tanggung jawab dalam memantapkan pembinaan karakter bangsa yang telah dibangun dan dikembangkan sejak pendidikan dasar. Untuk itu pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menghasilkan sarjana yang memiliki pengetahuan yang kuat, memahami bagaimana menjadi warganegara yang baik dan mampu memimpin kehidupan yang bermakna (Brodjonegoro, S. S., 2003).

Salah satu sarana untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah pada kegiatan pembelajaran di kelas, dengan menjadikannya sebagai satu mata kuliah tersendiri. Mata kuliah ini unik dalam arti berbeda dengan mata kuliah lain. Mata kuliah ini berorientasi pada pengembangan karakter bagi mahasiswa dengan menjadikan teladan dan berbuat sebagai basis perkuliahan.

(14)

berikut.

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri.

3. Kepekaan dan kepedulian sosial, bekerja sama dan gotong royong, serta bersatu dalam keberagaman

4. Demokratis, bertanggung jawab, dan partisipatif.

5. Berorientasi hidup sehat, hemat, dan bersahaja

Dari standar kompetensi lulusan seperti di atas dapatlah kemudian dikembangkan pada nilai-nilai yang lebih bersifat praksis antara lain sebagai berikut.

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Menghargai kebebasan dan keberagaman beragama dan berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa

3. Toleransi dan saling menghormati terhadap sesama

4. Memajukan persaudaraan antar umat manusia

5. Kemampuan kerja sama dan cinta damai

6. Memajukan kehidupan berkelompok atau berorganisasi untuk menjalin kerjasama saling menguntungkan

7. Kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif

8. Gemar membaca untuk mengembangkan wawasan

9. Kemampuan melakukan inkuiri dan pemecahan masalah secara bermakna

10. Kemampuan mengambil keputusan dengan benar, baik, dan bijaksana.

11. Menghargai dan mengembangkan seni dan keindahan

12. Mengembangkan motivasi berprestasi dan rasa percaya diri

(self-conidence)

(15)

kewirausahaan, dan berani mengambil resiko

14. Berdisiplin dan bertanggung jawab

15. Memiliki kemapuan kompetisi secara fair

16. Menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa

17. Mengembangkan kepekaan sosial dan altruisme

18. Bersikap gotong royong

19. Memajukan semangat patriotisme dan kepahlawanan

20. Kesadaran nasionalisme dan dharma negara

21. Menghargai pluralisme dalam masyarakat

22. Kepedulian terhadap lingkungan

23. Menghargai, mencintai budaya dan mengembangkan produk bangsa sendiri

24. Jujur dan cinta kebenaran

25. Menghargai budaya malu berbuat salah (dosa) sekecil apapundan mengembangkan sikap anti korupsi

26. Mengembangkan semangat demokrasi, etika dialog, dan terbuka

27. Kemampuan berkomunikasi yang berpengaruh secara lisan dan tertulis

28. Menghargai dan mematuhi norma-norma dan hukum

29. Menghargai hak golongan minoritas dan kesetaraan gender

30. Partisipatif dalam kehidupan masyarakat dan mempengaruhi kebijakan publik

31. Hidup hemat dan bersahaja

32. Bertindak efektif dan eisien

33. Berorientasi hidup sehat baik secara isik maupun mental

34. Mengakui dan menghormati keseimbangan hak dan kewajiban

(16)

36. Hidup teratur, bersih, rapi, dan tepat waktu

Dalam menjalankan pendidikan karakter banyaknya perilaku atau nilai yang dikembangkan bukanlah yang penting, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya pembiasaan yang dapat dilakukan yang pada akhirnya akan membentuk karakter yang kuat bagi mahasiswa.

B. Tujuan

P

enyusunan buku model pendidikan karakter di Universitas Negeri Jakarta bertujuan:

1. Mengidentiikasi pengalaman terpetik (best practices)

pengembangan karakter yang dapat dijadikan model bagi perguruan tinggi lain,

2. Memberi penguatan dan motivasi bagi Universitas Negeri Jakarta untuk melanjutkan pendidikan karakter, yang pada akhirnya akan berdampak kepada peningkatan mutu pendidikan di Universitas Negeri Jakarta,

3. Mengembangkan model pendidikan karakter yang mencerminkan keragaman dan kearifanlokal.

C. Nilai-nilai yang Dikembangkan

N

ilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Program Studi PPKN Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dirumuskan sebagai berikut.

1. Jujur

2. Terbuka

3. disiplin

4. Komitmen

(17)

6. Menghargai dan menghormati

(18)
(19)

Bab II

Landasan Teori dan Deskri

p

si

Model

A. Konsep Karakter

S

ecara umum istilah “karakter” yang sering disamakan dengan istilah “temperamen” ,”tabiat”, “watak” atau “akhlak” yang memberinya sebuah

deinisi sesuatu yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Secara hariah menurut beberapa

bahasa, karakter memiliki berbagai arti seperti : “kharacter” (latin) berarti instrument of marking, “charessein” (Prancis) berarti to engrove

(mengukir), “watek” (Jawa) berarti ciri wanci; “watak” (Indonesia) berarti sifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, dan peringai. Dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki sejak lahir, Sehingga Doni Kusuma (2007:80) istilah karakter dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.

(20)

yang lain); (2) the way the something is, or a particular quality or peature that a thing, an event or a place has (cara yang khas atau kekhasan yang dimiliki oleh sesuatu, peristiwa atau tempat); (3) strong

personal qualities such as the ability to deal with dificult

or dangerous situations (kualitas pribadi yang tangguh misalnya kemampuan dalam menghadapi situasi yang sulit atau berbahaya); (4)

the interesting or unusual quality that a place or a person has

(kualitas menarik dan luar biasa yang dimiliki suatu tempat atau orang); (5)

a person, particularly an unpleasant or strange one (orang yang aneh atau tidak menyenangkan); (6) an interesting or unusual person

(orang yang menarik dan luar biasa); (7) the opinion the people have of you, particularly of whether you can be trusted or relied on (pendapat khalayak tentang anda, apakah anda dapat dipercaya). Dari penjelasakan konsep karakter di atas, maka karakter pada nomor (5) dan (6) lebih bersifat informal sedangkan nomor (7) mengandung pengertian yang lebih bersifat formal.

Dalam pengertian hariah, sebagian para ahli berpendapat bahwa

karakter mempunyai makna psikologis atau sifat kejiwaan karena terkait dengan aspek kepribadian (personality). Akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, atau sifat kualitas yang membedakan seseorang dari yang lain atau kekhasan (particular quality) yang dapat menjadikan seseorang terpercaya dari orang lain. Dari konteks inipun, karakter mengandung unsur moral, sikap bahkan perilaku karena untuk menentukan apakah seseorang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, hanya akan terungkap pada saat seseorang itu melakukan perbuatan atau perilaku tertentu.

Karakter yang baik menurut Maxwell (2001) lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup.

(21)

Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.

Menurut Q-Annes dan Hanbali (2008:1), bahwa karakter adalah lautan, tak selemai dan tak dapat diintervensi. Hal ini memperkuat bahwa karakter akan membedakan seseorang dengan orang lain. Dijelaskan lebih lanjut oleh Q-Annes dan Hanbali bahwa orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sono-nya, sementara, orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. (2008:2)

Menurut Cronbach (Spriya; 2007, Kardiman, 2008:25) menyatakan bahwa perilaku bersifat amoral apabila pelaku tidak menyadari atau tidak peduli dengan akibat dari tindakannya terhadap orang lain. Bayi yang belum punya konsep tentang baik atau buruk adalal amoral. Sementara seorang yang bijakdana (expendient) adalah juga berpusat ada dirinya namun perilakunya jauh terkontrol. Ia tahu pentingnya memperhatikan reaksi orang lain untuk mengenal lebih jauh lagi .

(22)

menjadi pendorong pendidikan di Amerika Serikat sedangkan dimensi yang kedua adalah konsep pendidikan moral yang dikenal selama tahun 1960-an dan 1970-an. Namun di akui olehnya bahwa pengembangan karakter dan pendidikan moral tidak sama karena nilai-nilai dan tingkat penalaran moral seseorang merupakan pusat bagi konsep karakter. Dengan kata lain, ada saling keterkatian antara pemikiran dan perbuatan, “that is, individuals act in acdordance with their persepection, values and beliefs, and in turn, the action and behaviors an individual chooses in resolving dilemas and making decisions are manifestation of those perspections, values, and beliefs”.

Dalam National Conference on Character Bulding

yang membahas The Need for Character Education yang diselenggarakan oleh International Education Foundation bekerjasama dengan DEPDIKNAS, BKKBN, DEPAG, UNDP dan sejumlah LSM di Jakarta (2005:6) mempertanyakan : What is meant by “character”? konferensi merumuskan pengertian karakter sebagai berikut:

Character has been deined as the inner disposition conductive to right

conduct. It is a person’s collection of attitudes and habits which enable and facilitate moral action. It is the foundation for all activity in the world; every task and every achievement bears the imprint of ones’s character. Moreover, as we shall see, one result of attaining good character is that individuals are able to love others well and become more productive citizens. Good character is thus the foundatio for all human endeavors.

Lebih lanjut, dalam dokumen konferensi tersebut dibahas pula perbedaan pengertian antara personality dan character. “personality is unique. It varies from person, as do talents and general abilities. Character, on the otehr hand, can be shared by many people. It is composed of virtues that are universal”. (2000:6)

(23)

pendiam tetapi kedua personaliti tadi dapat memiliki karakter yang sama seperti jujur, adil, ulet, pekerja keras, tanggung jawab, komitmet, selalu berbagi, disiplin dan sebagainya karena karakter pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang.

Dijelaskan pula bahwa pada intinya, karakter yang baik berada tertanam secara baik di dalam hati, yang disebut pula “moral heart” atau menurut Agustian (2007:25) suara hati yang terletak pada god spot. Secara khusus dinyatakan bahwa “heart is the source of the fundamental impulse for relatedness. it is what motivates a person to yearn to the joy of loving and being loved, the satisfaction of valuing and being valued” (National Conference on Character Building, 2000: 6). Yang menjadi persoalan apakah karakter tersebut terbangun atau tidak. Sehingga bagaimana untuk membangunkan kembali karakter yang baik (good character) maka Pendidikan karakter menjadi penting peranannya.

B. Konsep Karakter Bangsa

P

ara ahli (Margenthau, 1993; Devos, 1968) mendeinisikan karakter

bangsa dalam konteks negara-bangsa (nation-state) sebagai salah satu unsur kekuatan nasional (national power) dalam politik antar bangsa.

DeVos (1968:14) mendeinisikan bahwa karakter bangsa sebagai

berikut: the term “National Charaacter” is used to described the enduring personality characteristic and unicue life style found among the populations of particular national states. Artinya, istilah karakter bangsa digunakan untuk mendskripsikan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang khas yang ditemui pada penduduk negara bangsa tertentu. Karena terkait dengan masalah kepribadian yang merupakan bagian dari aspek kejiwaan maka diakui oleh Devos bahwa dalam konteks perilaku, karakter bangsa dianggap sebagai istilah yang abstrak yang terikat oleh aspek budaya dan termasuk dalam mekanisme psikologis yang menjadi karakteristik masyarakat tertentu.

(24)

Belgians and Dutch, between Germans and Italians, or even between northem and southerm Italians and southern Belgians, or northen and southern Dutch”. Namun persepsi tentang perbedaan perilaku yang menimbulkan kesan verbal yang berusaha sungguh-sungguh mengkaji secara sistematis tentang persepsi

perbedaan dalam konigurasi kepribadian, baru muncul tahun 1940-an. Sejak saat itu, konigurasi “personality” berhasil dirumuskan oleh para

antropolog bahkan dari pandangan budaya di luar Eropa.

Selama perang dunia II menurut sejumlah antropolog (Mead, 1953: Kardiner. 1939: Devos, 1960: Hagen, 1962) perhatian terhadap adanya perbedaan kepribadian antar bangsa yang disebabkan oleh perbedaan budaya seiring dengan munculnya perbedaan pemahaman terhadap konsep karakter bangsa di tengah masyarakat Barat. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa analisis yang lebih sistematis tentang perbedaan dalam “national character” dalam masyarakat Barat menimbulkan pandangan-pandangan yang mengarah pada ketegangan secara perodik dan kesalah pahaman antara anggota aliansi dan kelompok-kelompok nasional yang bermusuhan. Pada masa perang, penelitian tentang “national character” terutama pada wilayah pendudukan atau wilayah jajahan tidak dapat dilakukan secara langsung sehingga Mead dan Metraux (1953) menamakannya “the study of culture at a distance” (dalam DeVos, 1968:15).

(25)

masyarakat untuk memperkuat pola-pola perilaku dan ada konsistensi

yang diharapkan dalam konigurasi budaya. Pembahas budaya dalam

pendekatan ini menjadi aspek kepribadian tertentu. Ketiga, studies comprising simple comparative descriftion those cultural

coniguration which distinguish one national unit from another, ifferent live styles and ways of loocking at things are deined

as part of national character. Artinya kajian yang meliputi uraian

komparatif tentang semua konigurasi budaya yang membedakan suatu

budaya dari budaya lainnya, perbedaan gaya hidup dan cara pandang tentang sesuatu ditentukan sebagai bagian dari “national character”.

Kardiner (1939) mengembangkan konsep “basic personality”, ialah

upaya untuk mendeinisikan komponen-komponen dari pengintegrasian

kepribadian bersama yang dilakukan oleh sejumlah individu yang memiliki pengalaman budaya yang sama. Pertimbangan penting dalam mengkaji variabel “basic personality” adalah kedudukan atau keadaan kehidupan orang tua dalam masyarakat. Perubahan dalam struktur ekonomi sangat besar mempengaruhi pengalaman anak-anak dan dapat mengubah keluarga inti, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dalam “basic personality” (DeVos, 1968: 15-16).

Kajian lain terhadap karakter bangsa “concernedwith correlating the central role of culturally prevalent chil-rearing practice with resultant personality modalities found in the adults” (DeVos, 1968:16). Artinya pengkajian yang terkait dengan hubungan dengan hubungan peran sentral budaya membesarkan anak umumnya dengan dampaknya pada perasaan pribadi masa dewasa. Melalui pendekatan ini dimungkinkan adanya pengkajian terhadap perbedaan dalam kelompok etnis dan golongan dalam suatu bangsa. dalam kaitan ini, ada upaya untuk mendeskripsikan praktek membesarkan anak pada kelompok etnis dan golongan tertentu secara sistematis.

(26)

masyarakat untuk mempertahankan bahwa masyarakat fungsional sesuai dengan yang disyaratkan. Menurut Fromm (1941)(Dalam DeVos, 1968) dalam masyarakat industri yang semakin birokratis dan standarisasi dalam pekerjaan “...the personality traits of discipline, orderliness, and functuality are necessary”. Sifat-sifat ini harus ada dalam masyarakat jika masyarakat industri yang kompleks itu ingin berfungsi secara efektif.

Dilihat dari sudut pandang sosiopolitis, maka salah satu tujan pokok kajian “national character” adalah mengkaji gejilak dalam struktur sosial dan politik negara-negara modern. (DeVos, 1968: 16). Gejolak sosial ini kerapkali muncul dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat. Beberapa kajian tentang “national character” berupaya membedakan antara pola-pola masyarakat. Diantara orang yang mengkaji secara khusus tentang karakter nasional pada suatu negara antara lain : Barner (1948); Khatchatrian (2003); Antonov (2002).

Baner (1948) pernah menunjukkan teori sosial yang terjadi antara lit politik di masyarakat Rusia dan sejumlah individu yang tidak terlibat dalam keanggotaan partai komunis. Sedangkan Khatchatrian (2003)

sebagai seorang Rusia memberikan releksi pikirnya tentang karakter

bangsa dengan menyatakan bahwa “each nation is unique and inimitable phenomenon ever marked in nature, which represents itself unmeasured value for the concrete nation as well as for the whole mankind”.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa suatu bangsa terbentuk dari sejumlah orang yang memiliki kesamaan bahasa, musik, tarian, kebiasaan dan tradisi khas yang dinamakan budaya bangsa yang merupakan karakter bangsa sebagai aspek psikologis atau bidang inti manusia. Oleh karena itu ia menegaskan bahwa

“National character belongs to any society distinguished historically and geographically and it manifests itself through inducement, norms of behaviour, measures, perceptions, the way of thinking, attitude to the surroundings. And, I believe this is the real essence of nation. It is something that differs one nation from the other.

(27)

nasional (national power), namun sulit dipahami dilihat drai ramalan secara rasional dan pengaruhnya terhadap bobot sebuah bangsa dalam skala politik internasional. Morgenthau yang mengkaji national character sebagai pola budaya secara antropologis menganggap bahwa “certain qualities of intellect and character occur more frequently and are more highly valued in one nation than in another (1963:126). Kualitas suatu bangsa ini membedakan dari kualitas bangsa lainnya dan menunjukkan tingkat elastisitas yang tinggi untuk berubah.

Keterkaitan yang begitu besar antara National Character dan National Power dalam konteks politik internasional ditegaskan oleh Morgenthau (1963:130-131) sebagai berikut.

National character cannot fail to inluence national power; for those who

act for the nation in peace and war, formulate, execute, and support its policies, elect and are elected, mold public opinion, produce and consume – all bear to a greate or lesser degree the imprint of those intellectual and moral qualities which make up the national character.

Morgenthau (1963) menggambarkan sejumlah bangsa yang memiliki character unggul yang membedakannya satu bangsa dari bangsa lain sebagai berikut.

The “elementary force and persistence” of the Russians, the individual initiative and inventiveness of the Americans, the undogmatic common sense of the British, the discipline and thoroughness of the Germans are some of the qualities which will manifest themselves, for better or for worse, in all the individual and collective activities in which the members of a nation may engage. (1963:131)

(28)

bahwa pengamat masalah internasional yang berusaha mengkaji kekuatan bangsa yang berbeda harus mempertimbangkan aspek national character walaupun kemungkinannya sulit mengkaji secara benar tentang masalah yang begitu sukar dipahami (elusive) dan tidak terlihat (intangible).

C. Konsep Pendidikan Karakter

(29)

Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas ingin menunjukkan bahwa pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok yang disepakati di setiap jaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahun, sikap dan keterampilan. Bila pendidikan senyatanya bertujuan seluhur itu, lalu bagaimana dengan implementasi dan realitas yang terjadi? Sejalankah usaha-usaha pendidikan yang terjadi selama ini dengan tujuan matau kulianya? Inilah yang mengusik banyak para pakar kelas dunia, sehingga bermunculanlah berbagai tawaran pendidikan alternatif. Hal yang paling menggelisahkan dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah kenyataan bahwa kompetensi yang ditampilkan para siswa sebagai out put pendidikan sangat kontradiktif dengan tujuan pendidikan.

Tak dapat dipungkiri, sekolah atau kampus memiliki pengaruh dan dampak terhadap karakter siswa atau mahasiswa, baik disengaja maupun tidak. Kenyataan ini menjadi entry point untuk menyatakan bahwa sekolah atau kampus mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan moral dan pembentukan karakter. Selanjutnya para pakar pendidikan terutama pendidikan nilai, moral atau karakter, melihat hal itu bukan sekedar tugas dan tanggung jawab tetapi juga merupakan suatu usaha yang harus menjadi prioritas.

(30)

peran utama keluarga sebagai media sosialisasi utama yang mengenalkan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan kepada anak. Bermunculannya tempat penitipan anak (child care) misalnya, menunjukkan banyak keluarga yang sudah kehilangan waktu untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Argumen tajam lainnya disampaikan oleh Robert W. Howard. Menurutnya, sekalipun perdebatan seputar tujuan pendidikan tidak pernah berakhir, namun upaya mempersiapkan generasi baru dari warga negara merupakan suatu tujuan yang telah disepakati. Kewarganegaraan ini mempunyai dua dimensi politik dan sosial, yang keduanya menyatu dan terlibat dengan isu-isu moral. Tidaklah mungkin meninggalkan isu-isu moral ini di luar jangkauan sekolah. Sebagai konsekuensinya, pendidikan moral haruslah menjadi salah satu dari dua tujuan umum pedidikan; yang tujuan lainnya adalah mengajarkan kecerdasan dan kecakapan akademik (teaching academic content and skills).

Argumen-argumen di atas dengan jelas menunjukkan bahwa sekolah atau kampus tidak dapat menghindar dari pendidikan karakter. Sekolah atau kampus pun tidak dapat mengupayakan dan menerapkannya dengan tanpa kesungguhan. Sekolah atau kampus harus meyikapi pendidikan karakter seserius sekolah menghadapi pendidikan akademik, karena sekolah yang hanya mendidik pemikiran tanpa mendidik moral adalah sekolah yang sedang mempersiapkan masyarakat yang berbahaya. Kesimpulan serupa juga ditegaskan dalam Sister Mary Janet dan Ralp G. Chamberlin. Menurutnya, sekolah atau kampus memiliki yang sangat

signiikan dalam mengajarkan moral dan nilai-nilai agama.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

(31)

peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

T. Ramli (2003)mengemukakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah atau dikampus harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah atau kampus itu sendiri.

(32)

afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang

hayat. Konigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis

dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan

pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klariikasi

nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku

sosial. Berbeda dengan klasiikasi tersebut, Elias (1989) mengklasiikasikan

berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif,

pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasiikasi didasarkan pada

tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

1. Arti Penting Pendidikan Karakter di

LPTK

(33)

pendidikan karakter diangkat menjadi suatu mata pelajaran khusus dipersekolahan. Hal itu selain akan membebankan terhadap siswa dengan bertambahnya mata pelajaran, juga dikhawatirkan pendidikan karakter akan terjebak ke arah penguasaan kognitif semata, sehingga tujuan dari pendidikan karakter tidak tercapai, seperti pengalaman Pelaksanaan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada jaman orde baru. Namun untuk kepentingan metodological pedagogi, bagaimana membelajarkan karakter yang terintergalisasi terhadap mata pelajaran maka diperlukan pemahaman yang komprehensif dari semua calon guru. Sehingga setiap guru atau calon guru semestinya menguasai model, metode dan teknik pembelajaran sesuai dengan mata pelajarannya dengan berbasiskan pengembangan karakter siswa. Untuk itulah di tingkat Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan yang akan menghasilkan tenaga-tenaga kependidikan dianggap penting memiliki mata kuliah Pendidikan Karakter atau Pembelajaran Pendidikan Karakter, berisi tentang selain pemahaman karakter apa yang akan di bangun juga memberikan keterampilan praktis bagaimana model, metode dan teknik pembelajaran karakter yang terintegralisasi dengan mata pelajaran masing-masing.

2. Kunci Sukses Pendidikan Karakter

a. Dari

Knowing

Menuju Doing

P

ada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa pendidikan karakter bergerak dari knowing menuju doing

(34)

dalam penyelenggaraan pendidikan karakter.

Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu kesadaran moral (moral awareness), yaitu kesediaan seseorang untuk menerima secara cerdas sesuatu yang seharusnya dilakukan. pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), yaitu mencakup pemahaman mengneai macam-macam nilai moral seperti menghormati hak hidup, kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, tenggang rasa, kesopanan dan kedisiplinan. penentuan sudut pandang (perspective taking), yaitu kemampuan menggunakan cara pandang orang lain dalam melihat sesuatu. logika moral (moral reasoning), adalah kemampuan individu untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengapa sesuatu dikatakan baik atau buruk. keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), yaitu kemampuan individu untuk memilih alternatif yang paling baik dari sekian banyak pilihan. dan pengenalan diri (self knowledge), yaitu kemampan individu untuk menilai diri sendiri. Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus diajarkan untuk mengisi ranah kognitif mereka.

Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling

merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility).

(35)

25 paling tinggi yang mencakup kemurnian rasa tertarik pada hal yang baik. Pengendalian diri adalah kesadaran dan kesediaan untuk menekan perasaannya sendiri agar tidak melahirkan perilaku yang melebihi kewajaran. Sedang “humanity” merupakan aspek emosi dari “selfknowledge” yang berbentuk keterbukaan yang murni terhadap kebenaran dan kemampuan untu bertindak mengoreksi kesalahan sendiri.

Setelah dua aspek tadi terwujud, maka Perilaku moral (Moral Acting) sebagai outcome akan dengan mudah muncul baik berupa competence, will, maupun habits.

Perilaku moral adalah hasil nyata dari penerapan pengetahuan dan perasaan moral. Orang yang memiliki kualitas kecerdasan dan perasaan moral yang baik akan kecenderungan menunjukkan perilaku moral yang baik pula. Kemampuan moral adalah kebiasaan untuk mewujudkan pengetahuan dan perasaan moral dalam bentuk perilaku nyata. Kemauan moral adalah mobilisasi energi atau daya dan tenaga untuk dapat melahirkan tindakan atau erilaku moral. Sedangkan kebiasaan moral adalah pengulangan secara sadar perwujudan pengetahuan dan perasaan moral dalam bentuk perlaku moral yang terus menerus.

Interelasi antara moral knowing, moral feeling dan moral doing, digambarkan oleh Lickona sebagai berikut:

(36)

Namun, merujuk kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng. Berkaitan dengan hal ini, perkembangan pendidikan karakter di Amerika Serikat telah sampai pada ikhtiar ini. Dalam sebuah situs nasional karakter pendidikan di Amerika bahkan disiapkan lesson plan untuk tiap bentuk karakter yang telah dirumuskan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah.

b. Identiikasi Karakter

P

endidikan karakter tanpa identiikasi karakter hanya akan menjadi sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa peta. Organisasi manapun di dunia ini yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan karakter selalu – dan

seharusnya- mampu mengidentiikasi karakter-karakter dasar

yang akan menjadi pilar perilaku individu. Indonesia Heritage Foundation merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut adalah; 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan santun, 5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai dan persatuan

Sementara Character Counts di Amerika mengidentikasikan

(37)

Kemudian Ari Ginanjar Agustian dengan teori ESQ menyodorkan pemikiran bahwa setiap karakter positif sesungguhnya akan merujuk kepada sifat-sifat mulia Allah, yaitu al-Asmâ al-Husnâ. Sifat-sifat dan nama-nama mulia Tuhan inilah sumber inspirasi setiap karakter positif yang dirumuskan oleh siapapun. Dari sekian banyak karakter yang bisa diteladani dari nama-nama Allah itu, Ari merangkumnya dalam 7 karakter dasar, yaitu jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja sama.

Begitu pula Covey menawarkan 8 kebiasaan dalam mengambangkan karakter, yakni: habit-1, Vision atau bersikap proaktif (principles of personal), habit-2, memulai dengan akhir dalam pikiran (principles of personal Leadershif), habit-3, mendahulukan yang Utama (Principles of Personal Management), habit-4, berpikir menang-menang (principles of interpersonal Leadership), habit-5, berusaha mengerti terlebih dahulu (Pathos) sebelum dimengerti (logos), (Principles of Emphathetic Communication), habit-7, kebiasaa pembauran diri (Principles of Balanced Self-Renewal), Habit-8, Menggali dan menemukan potensi diri serta memberikan inspirasi kepada orang lain untuk menemukan potensinya.

Begitu pula dengan pendidikan karakter yang dilakukan

oleh Universitas Negeri Jakarta mengidentiikasi karakter

yang akan di bangun dalam civitas akademika berupa 7 Kebiasaan, yaitu: 1) Kejujuran (fairness) ; 2) terbuka; 3) Disiplin; 4) Komitmen; 5) tanggung Jawab (responsibility); 6) Menghargai/menghormati; 7) Berbagi (caring)

(38)

tingkat atas hingga pemerintahan di tingkat RT/RW seolah sangat sulit untuk dihentikan. Begitupun ketidak jujuran di lingkungan civitas akademika. Banyak mahasiswa bahwak dosen yang melakukan plagiasi atau mencontek ketika ujian. Adapun pembiasaan yang dilakukan adalah dengan stop mencontek, stop plagiasi. Stop berbohong berani mengatakan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi, ditambah atau dikurangi. Kejujuran itu adalah indah.

Pembiasaan kedua, yaitu terbuka. Keterbukaan adalah karakter di mana seseorang terbuka, transparan dan tidak menutup-nutipi sesuatu untuk kepentingan tertentu. Adapun perwujudannya adalah dapat dengan pribadi yang bersikap adil, bersih, memiliki wawasan luas, serta terbuka terhadap perubahan dan masukan.

Pembiasaan ketiga adalah disiplin. Disiplin adalah sikap diri untuk selalu tepat waktu dan selalu mentaati aturan dengan kesadaran yang tinggi dan tanggung jawab.

Pembiasaan keempat adalah komitmen. Komitmen dalam bahasa sederhananya adalah memenuhi janji sesuai dengan hati nurani yang luhur. Orang yang mempu berkomitmen adalah orang yang dapat dipercaya, karena dirinya sudah memperlihatkan tanggung jawab, jujur dan dapat diandalkan.

Pembiasaan kelima adalah tanggung jawab (responsibility). Adalah kemampuan merespon atau ”ability to respon”, artinya memberikan perhatian kepada orang lain, dan memperhatikan kebutuhannya. Berbekal dengan kejujuran dan sikap terbuka, seseorang akan berani mengambil resiko dari setiap kata dan perbuatannya. Ia berani melakukan apa saja dengan penuh rasa tanggung jawab. Perwujudannya adalah pribadi yang tampil dalam sikap berani, (bukan nekat atau pengecut), tegar, sabar, dan bersih diri.

(39)

menghormati (respect), menghormati adalah sikap yang menunjukkan penghargaan terhadap orang lain atau sesuatu. Ada tiga jenis rasa hormat yakni hormat pada diri sendiri, hormat pada orang lain, dan hormat pada segala bentuk kehidupan dan lingkungan. Sementara tanggung jawab adalah perluasan dari rasat hormat.

Dan pembiasaan ketujuh adalah Berbagi (share), di dasari oleh empati yang tinggi maka sikap berbagi adalah suatu sikap seseorang yang selalu mau berbagi dalam hal apasaja terhadap orang lain yang membutuhkan.

3. Sebelas Prinsip Pendidikan Karakter

C

haracter Education Quality Standards merekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut

1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter

2. Mengidentiikasi karakter secara komprehensif supaya

mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku

3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter

4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian

5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik

6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses

7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa

(40)

9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter

10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter

11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa

D. Deskripsi Model Pendidikan Karakter

K

eberhasilan dalam menyelenggarakan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan karakter dapat pula dipengaruhi oleh cara atau pendekatan yang dipergunakan dalam menyampaikan. Menurut Suparno, dkk. (2002:42-44), ada empat model pendekatan penyampaian pendidikan karakter.

1) Model sebagai Mata Pelajaran

Tersendiri (monolitik)

(41)

sangat tergantung pada tuntutan kurikulum, kemudian penanaman nilai-nilai tersebut seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab satu orang guru semata, demikian pula dampak yang muncul pendidikan karakter hanya menyentuh aspek kognitif, tidak menyentuh internalisasi nilai tersebut.

2) Model Terintegrasi dalam Semua

Bidang Studi

P

endekatan yang kedua dalam menyampaikan pendidikan karakter adalah disampaikan secara terintegrasi dalam setiap bidang pelajaran, dan oleh karena itu menjadi tanggunmg jawab semua guru (Washington, et.all, 2008). Dalam konteks ini setiap guru dapat memilih materi pendidikan karakter yang sesuai dengan tema atau pokok bahasan bidang studi. Melalui model terintegrasi ini maka setiap guru adalah pengajar pendidikan karakter tanpa kecuali.

Keunggulan model terintegrasi pada setiap bidang studi antara lain setiap guru ikut bertanggung jawab akan penanaman nilai-nilai hidup kepada semua siswa, di samping itu pemahaman akan nilai-nilai pendidikan karakter cenderung tidak bersifat informatif-kognitif, melainkan bersifat aplikatif sesuai dengan konteks pada setiap bidang studi. Dampaknya siswa akan lebih terbiasa dengan nilai-nilai yang sudah diterapkan dalam berbagai seting.

(42)

sendiri akan menjadikan siswa justru bingung.

3) Model di Luar Pengajaran

P

enanaman nilai-nilai pendidikan karakter dapat juga ditanamkan di luar kegiatan pembelajaran formal. Pendekatan ini lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan kemudian dibahas nilai-nilai hidupnya. Model kegiatan demikian dapat dilaksanakan oleh guru sekolah yang diberi tugas tersebut atau dipercayakan kepada lembaga lain untuk melaksanakannya. Kelebihan pendekatan ini adalah siswa akan mendapatkan pengalaman secara langsung dan konkrit. Kelemahannya adalah tidak ada dalam struktur yang tetap dalam kerangka pendidikan dan pengajaran di sekolah, sehingga akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih banyak.

4) Model Gabungan

M

odel gabungan adalah menggabungkan antara model terintegrasi dan model di luar pelajaran secara bersama. Model ini dapat dilaksanakan dalam kerja sama dengan tim baik oleh guru maupun dalam kerja sama dengan pihak luar sekolah. Kelebihan model ini adalah semua guru terlibat, di samping itu guru dapat belajar dari pihak luar untuk mengembangkan diri dan siswa. Siswa menerima informasi tentang nilai-nilai sekaligus juga diperkuat dengan pengalaman melalui kegiatankegiatan yang terencana dengan baik. Mengingat pendidikan karakter merupakan salah satu fungsi dari pendidikan nasional, maka sepatutnya pendidikan karakter ada pada setiap materi pelajaran.

(43)

merupakan pendekatan minimal yang harus dilaksanakan semua tenaga pendidik sesuai dengan konteks tugas masing-masing di sekolah, termasuk dalam hal ini adalah konselor sekolah. Namun, bukan berati bahwa pendekatan yang paling sesuai adalah dengan model integratif. Pendekatan gabungan tentu akan lebih baik lagi karena siswa bukan hanya mendapatkan informasi semata melainkan juga siswa menggali nilai-nilai pendidikan karakter melalui kegiatan secara kontekstual sehingga penghayatan siswa lebih mendalam dan tentu saja lebih menggembirakan siswa. Dari perspektif ini maka konselor sekolah dituntut untuk dapat menyampaikan informasi serta mengajak dan memberikan penghayatan secara langsung tentang berbagai informasi nilai-nilai karakter.

Tentunya dari empat model pendekatan pendidikan karakter tersebut di atas, yang paling ideal adalah model Gabungan yaitu pendidikan karater terintegrasi ke dalam mata pelajaran namun di luar pelajaran pun di laksanakan, namun bagaimana guru dapat memiliki pemahaman dahkan keterampilan pendidikan karakter itu terintegrasi apabila tidak di berikan secara khusus bagaimana model /metode pembelajaran pendidikan karakter tersebut, sehingga Universitas Negeri Jakarta (UNJ) khususnya Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai sebuah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang akan menghasilkan calon-calon guru sekolah formal merasa penting untuk menyelenggarakan Pendidikan Karakter dengan menggunakan pendekatan Monolitik.

(44)

tentang pendidikan karakter, melainkan juga dan terutama mereka harus dapat menghayati dan mempraktikkan serta membiasakan sikap dan perilaku ”berkarakter” dalam kesehariannya. Atas pertimbangan tersebut maka implementasi pendidikan karakter memerlukan waktu yang bukan hanya lama dan kontinyu, tetapi juga harus dirancang dan perlu dilakukan secara berulang-ulang. Melalui pendekatan pembelajaran monolitik, hal tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan.

Adapun model-model pembelajaran yang dapat diajarkan dan simulasikan adalah sebagai berikut: Value

Clariication Technique (VCT) melalui Wawancara, Model

(45)

BAB III

METODE DAN

PELAKSANAAN

PENDIDIKAN KARAKTER

A. Prosedur/Metode Pelaksanaan

S

ebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa pendekatan yang dipilih dalam model pengembangan pendidikan karakter di Universitas Negeri Jakarta khususnya di Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Jurusan Ilmu Sosial Politik (ISP), Fakultas Ilmu Sosial, yang dipilih sebagai rintisan adalah pendekatan monolitik; artinya pendidikan karakter tersebut disajikan sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri dan tidak diintegrasikan ke dalam mata kuliah lain yang relevan.

Sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri, maka prosedur dan metode pelaksanaan pendidikan karakter di Program Studi (Prodi) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn), Jurusan Ilmu Sosial Politik (ISP), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sama dengan mata kuliah lainnya. Prosedur tersebut meliputi:

1. Penetapan kontrak pekuliahan yang disepakati bersama-sama dengan mahasiswa dan kemudian dirumuskan dalam silabus perkuliahan (terlampir);

(46)

3. Penjelasan tugas-tugas yang akan dan harus dilakukan oleh mahasiswa;

4. Penjelasan sistem penilaian yang dilakukan;

5. Pelaksanaan perkuliahan sebagaimana yang direncanakan, dan

6. Pelaksanaan evaluasi.

Pendidikan karakter yang dilaksanakan di Prodi PPKn, Jurusan ISP, FIS, UNJ, berbasis kegiatan; artinya proses pembelajaran dalam rangka penanaman, pemraktikkan dan pembiasaan nilai-nilai tersebut dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang dipilih dan dirancang, di samping penyajian konsep-konsep melalui ceramah, tanya jawab, diskusi dan metode pembelajaran lainnya.

B. Pelaksanaan Pendidikan Karakter

D

alam implementasi model pembelajaran monolitik berbasis kegiatan sebagaimana disebut di atas, kami banyak mengadobsi kegiatan-kegiatan yang dikembangkan oleh Yayasan Jati Diri Bangsa seperti yang tercantum dalam lampiran Panduan Pendidikan Membangun Karakter di Sekolah Dari Gagasan ke Tindakan, setelah dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi:

1. Penetapan kontrak perkuliahan dengan

membangun harapan dan komitmen

T

ujuan

• Mengembangkan tanggung jawab pribadi mahasiswa untuk

membangun kebiasaan baik.

• Mengembangkan kebiasaan introspeksi dalam rangka

melakukan perbaikan.

(47)

• Mengembangkan kecerdasan sosial.

Uraian Kegiatan

• Di awal pertemuan didiskusikan kontrak perkuliahan antara

dosen dan mahasiswa. Di dalam kontrak perkuliahan di bicarakan tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku dan menjadi acuan perkuliahan, antara lain: jumlah kehadiran, absensi, syarat masuk kelas, pakaian, pelaksanaan tugas, penilaian dan sebagainya.

• Meskipun sebenarnya yang dibicarakan sudah ada dalam

buku tata tertib atau panduan akademik kampus, tetapi kontrak perkuliahan ini dilakukan untuk membangun komitmen dari mahasiswa, karena mereka dilibatkan dan merasa bahwa aturan tersebut disusun dan dibuat bersama, untuk kepentingan bersama.

• Dalam pertemuan awal tersebut, mahasiswa juga diajak untuk

mendiskusikan karakter apa yang akan dikembangkan selama perkuliahan (satu semester) dan hal-hal yang diinginkan terhadap kelas atau ciri-ciri kelas yang membuat mereka bangga jadi warga kelas.. Setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk menyampaikan usulannya. Setelah terkumpul dan diarahkan oleh tim dosen maka disepakati karakter apa yang akan dikembangkan bersama-sama di kelas tersebut. Saat itulah dosen dan mahasiswa berkomitmen bersama untuk melaksanakannya.

• Proil manusia berkarakter, ciri-ciri kelas yang diharapkan dan

komitmen bersama tersebut kemudian dibuatkan dalam bentuk pigura dan dipasang di kelas sebagai pendorong sekaligus pengingat akan hal-hal yang harus dicapai oleh semua warga kelas.

Hasil kesepakatan tentang proil manusia berkarakter, ciri-ciri

(48)

2. Menemukenali Kata-kata Hikmah dan

memasangnya di ruang kelas dan di

tempat-tempat strategis di kampus.

T

ujuan

• Memerkenalkan peserta pada kearifan

• Memberi inpirasi pada para mahasiswa untuk mengembangkan

kearifan dan kebaikan

• Mengenali pentingnya karakter • Mengembangkan kepemimpinan • Mengembangkan kecerdasan sosial

Uraian Kegiatan

• Setiap mahasiswa di berikan tugas untuk mencari kata-kata

hikmah yang dapat menggugah dan memberikan motivasi kepada siapa saja yang membacanya.

• Setiap mahasiswa masuk dan bergabung ke dalam kelompok

yang terdiri dari 3 -5 orang.

• Setiap kelompok menggabungkan sejumlah kata-kata hikmah

yang paling mereka sukai dan menyususn daftar kata-kata hikmah tersebut.

• Setiap kelompok memperesentasikan kata-kata hikmah yang

telah mereka pilih di depan kelas, dan menceritakan proses yang mereka lakukan dalam menemukan serta menyatakan siapa tokoh yang mengatakan kata-kata hikmah tersebut.

• Kelompok menciptakan format yang indah atau menarik untuk

menampilkan kata-kata hikmah tersebut dan memasangnya di ruang kelas dan tempat-tempat lain yang strategis.

(49)

• Setiap semester kata-kata hikmah diperkaya.

3. Meningkatkan Minat Baca dengan

Menyusun Resensi

T

ujuan

• Meningkatkan rasa ingin tahu

• Meningkatkan minat untuk membaca buku-buku yang berkaitan

dengan karakter dan memberikan inspirasi.

• Mengenal tokoh-tokoh yang berkarakter kuat. • Memperluas wawasan

Uraian Kegiatan

• Setiap mahasiswa diberi tugas untuk memilih buku yang

berkaitan dengan karakter dan mampu memberikan inspirasi.

• Buku yang telah dipilih kemudian dibuatkan resensinya dan

diceritakan kepada teman-temannya di depan kelas.

• Kumpulan resensi kemudian dibukukan dan dibagikan kepada

setiap mahasiswa.

4. Mahasiswa Mengamati dan Mengabarkan

Kebajikan (Story Telling).

T

ujuan

• Meningkatkan perhatian mahasiswa pada kebiasaan baik

yang ada di sekitarnya.

• Menumbuhkan hasrat untuk mengembangkan kebiasaan baik

(50)

• Menumbuhkan keyakinan bahwa mereka bisa menjadi orang

yang lebih baik.

• Melatih mahasiswa untuk peduli dan berbagi

Uraian Kegiatan

• Pada setiap awal pertemuan secara bergiliran beberapa

mahasiswa melakukan story telling, yaitu cerita tentang kebajikan, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kehidupan yang dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada semua orang yang mendengarkannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

• Seusai setiap mahasiswa melakukan story telling

dilanjutkan dengan diskusi tentang nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam ceritera dan mengenai kebajikan yang dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari oleh siapa orang.

• Pada akhir story telling dosen meresume dan menggaris

bawahi hasil diskusi.

5. Dosen Menyaksikan atau Mengetahui

Kebajikan dan Mengabarkannya.

T

ujuan

• Meningkatkan perhatian pada kebajikan.

• Memberi inpirasi pada mahasiswa untuk melakukan hal-hal

yang baik dan menjadi orang yang lebih baik.

(51)

Uraian Kegiatan

• Guru mencatat perilaku baik yang dia lihat di masyarakat

atau yang dibacanya di buku, di surat kabar atau dilihatnya di tayangan televisi atau didengarkannya di radio.

• Guru menceritakan kebajikan tersebut kepada para mahasiswa

di kelas secara singkat di awal jam pelajaran, yang dilakukan sebelum atau sesudah story telling mahasiswa.

6. Mengembangkan Suasana Apresiatif

T

ujuan

• Mengembangkan kebajikan melalui kekuatan atau kelebihan

yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok.

• Mengembangkan optimisme dan rasa percaya diri. • Mengembangkan perilaku baik menjadi kebiasaan baik.

Uraian Kegiatan

• Dosen memperhatikan perilaku baik atau hal-hal baik yang

dilakukan oleh peserta didik, sekecil apapun kebaikan tersebut.

• Dosen mengapresiasi kebaikan tersebut.

• Apresiasi ini bisa disampaikan dengan cara mengucapkan

(52)

7. Menemukenali Tokoh Idola

T

ujuan

• Menemu-kenali atau mengidentiikasikan tokoh-tokoh

yang berkarakter baik yang telah berjasa dalam kemajuan masyarakat, kemajuan bangsa, atau kemajuan dunia.

• Merenungkan karakter kuat atau kebaikan yang dikagumi. • Memberi inspirasi dan menumbuhkan motivasi untuk

meneladani kebajikan ditunjukkan oleh tokoh yang dikagumi.

• Mahasiswa meyakini bahwa tidak ada keberhasilan tanpa

kebajikan.

Uraian Kegiatan

• Setiap mahasiswa diminta untuk menentukan orang berhasil

yang dijadikan idola.

• Mahasiswa diminta untuk menyebutkan sifat yang dimiliki yang

idola yang diyakini menyebabkan keberhasilan, atau diminta untuk menulis secara singkat - dalam beberapa kalimat - keistimewaan tokoh yang dikagumi.

• Satu demi satu mahasiswa diminta untuk menyebutkan secara

terbuka sifat yang dipilihnya tersebut.

• Dosen menyusun list seluruh sifat-sifat yang disebutkan

mahasiswa yang diyakini menjadi penyebab keberhasilan sang idola.

• Dosen meresume dan menegaskan bahwa keberhasilan sang

(53)

8. Meningkatkan Kebersihan dan Kerapian

Kelas

T

ujuan

• Membangun dan menguatkan rasa tanggung jawab mahasiswa

sebagai warga kampus yang baik

• Membangun kebiasaan hidup bersih • Membangun kebiasaan hidup rapi • Membangun dan menguatkan disiplin diri

Uraian Kegiatan

• Dosen pada setiap awal pertemuan perkuliahan selalu

mengingatkan kepada mahasiswa untuk mengamati sekeliling ruang kelas, apakah sudah bersih dan rapi atau belum.

• Apabila ruang kelas menunjukkan keadaan yang belum bersih

dan rapi, dosen mencontohkan sambil mengingatkan bahwa semua warga kelas telah berkomitmen menjadikan kelas bersih dan rapi.

• Seluruh warga kelas mengambil sampah yang masih ada di

ruang kelas dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di luar kelas, kemudian merapikan kursi masing-masing.

• Dosen memberi apresiasi terhadap upaya dan kreatiitas

mahasiswa dalam meningkatkan kebersihan dan kerapian kelas.

• Setelah ruang kelas bersih dan rapi, perkuliahan baru

(54)

9. Memulai perkuliahan dengan berdoa

T

ujuan

• Membangun kebiasaan bersyukur atas segala rahmat, karunia

dan anugerah yang diberikan oleh Tuhan.

• Mendorong semua warga kelas untuk meningkatkan

kabajikan.

• Meningkatkan Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.

Uraian Kegiatan

• Seusai ruang kelas diyakini sudah bersih dan rapi, sebelum

perkuliahan dimulai dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk atas kesediaan sendiri memimpin doa bersama.

• Mahasiswa yang bersedia memimpin doa maju ke depan kelas

kemudian mengajak kepada semua yang hadir untuk berdoa.

10. Peduli terhadap Masalah Masyarakat,

Korban Bencana atau Kemalangan

M

ahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok (perkelomok berjumlah paling banyak 5 orang), diberi tugas membuat suatu projek kemanusiaan. Projek ini dapat berupa kegiatan apa saja, dengan menggunakan prinsip efektif dan efesien.

Projek ini dilakukan di luar kegiatan pembelajaran di kelas, namun waktu pelaksanaan tetap pada semester di mana mata kuliah ini di ikuti.

tujuan :

Referensi

Dokumen terkait

environment.gov.za Free Download | Mozilla Firefox® Web Browser www.mozilla.orgDownload Firefox - the faster, smarter, easier way to browse the web and all of Yahoo Also Try

With regards to civil society criteria, closeness to everyday life and the interests of viewers depend on the structure of the different groups of citizens represented in the

DAFTAR NAMA DOSEN YANG BELUM MEMENUHI 12 SKS LAPORAN BEBAN KERJA DOSEN SEMESTER GENAP 2009/2010 PENERIMA TUNJANGAN PROFESI DI LINGKUNGAN KOPERTIS WILAYAH III JAKARTA.. KEADAAN 29

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat pengertian perkawinan secara jelas. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya memandang soal perkawinan hanya

Perlu dimengerti bahwa membicarakan tentang evolusi tidak berarti menyetujui seluruh teori evolusi yang disampaikan oleh para ahli evolusi diantaranya Darwin yang secara jelas

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini,

Faridatul Khusna, Upaya Guru PAI dalam Membangun Budaya Religius Siswa di SMPN 3 Kedungwaru Tulungagung , (Tulungagung: Sripsi Tidak Diterbitkan, 2015), Jurusan