• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ringkasan dan Refleksi Atas Karya Driyar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ringkasan dan Refleksi Atas Karya Driyar"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

Ringkasan dan Refleksi

Atas Karya Driyarkara Tentang Pancasila Sebelum 1956

Oleh: Augusto Almeida da Silva

A. Latarbelakang Lahirnya Gagasan Pancasila Driyarkara

Penulisan tentang Pancasila yang diuraikan Driyarkara dimotivasi atau degerakkan oleh dua forum ilmiah. Yang pertama, Seminar Pancasila yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 17 Februari 1959. Yang kedua, Simposium “Kebangkitan Angkatan

66” yang diselenggarakan di Aula Universita Indonesia, Jakarta pada tanggal 6 Mai 1966.

Melalui kedua forum tersebut Driyarkara menyajikan tema Pancasila dalam konteks yang berbeda satu dengan lain.

Forum pertama dapat ditempatkan dalam kerangka sejarah nasional. Pada periode ini, proses penyusunan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia yang diusahkan oleh Dewan Kontituante diwarnai dengan diskusi dari setiap peserta. Dewan Konstituante adalah wakil – wakil rakyat yang berasal dari berbagai partai yang secara garis besar datap dibagikan atas tiga kelompok, antara lain partai – partai dari golongan nasionalisme; partai – partai yang berbasis agama; dan partai – partai yang berideologi sekuler. Sementara itu, dalam forum kedua yang dilaksakan tujuh tahun kemudian, dengan tema “Kebangkitan Angkatan 66”, Driyarkara menyampaikan gagasannya tentang perlunya “Kembali ke Pancasila”. Argumentasinya ini menandaikan bahwa keberadaan Pancasila saat itu telah diselewengkan.

Dalam selang waktu di antara kedua forum tersebut, Driyarkara tidak menulis secara khusus tema tentang Pancasila. Rupaya Driyarkara kurang mendapatkan inspirasi dalam forum pertama untuk menulis tentang Pancasila. Baru sesudah pembicaraannya dalam forum yang kedua, Driyarkara mulai menulis sejumlah karangan dengan topik Pancasila yang dimuat secara serial dalam majalah mingguan Hidup Katolik. Dari sini dapat dianalisa bahwa proses penulisan Driyarara tentang Pancasila dimulai pada situasi krisis yang sedang berlangsung di Indonesia (terjadinya peristiwa G30S yang menurut versi pemerinta Orde Baru digerakkan oleh PKI).1

Peristiwa tersebut, rupaya memotivasi Driyarkara untuk mengadakan penerjihan ideologi Pancasila, terutama berhadapan dengan ideologi komunis yang dianggap sudah

1

Dewasa ini ada berbagai tafsiran mengenai peristiwa tersebut, akan tetapi bukan temaptnya di sini untuk

(2)

2

merasuki rakyat Indonesia. Gagasan – gagasan Dryarkara yang muncul dalam dua periode seminar tersebut, juga memiliki warna yang berbeda pula. Bagian pertama, yakni pada tahun sebelum 1956, Driyarkara menyajikan gagasanya tentang Pancasila dengan menggunakan metode fenomenalogi dan bertolak dari pemikiran dasar tentang manusia. Dengan cara ini Driyarkara ingin menampilkan dua topik yang seolah – olah mau dipertentangkan, yakni Pancasila dan Religi. Namun dengan ulasan yang jeli Driyarkara mampu memperlihatkan titik – titik temu di antara keduanya. Pada kurun waktu yang kedua ini, Driyarkara mengutamakan perspektifnya tentang Pancasila yang menurutnya telah diselewengkan oleh cara berpikir kaum komunis, sebab baginya ideologi komunisme tidak dapat dipertemukan dengan Pancasila.

***

Dalam banyak telaah filsafatnya tampak bahwa Driyarkara sering menggunakan perspektif fenomenalogi. Melalui metode ini, Driyarkara menggambarkan bagaimana sila – sila dalam Pancasila saling terkait satu sama lain. Uraian yang menggunakan metode ini adalah “Pancasila dan Religi”. Sedangkan uaraian tentang “Kembali ke Pancasila”, Driyarkar menggunakan metode dialektika. Kedua metode ini merupakan metode yang fundamental dan pokok dalam penulisan – penulisan Driyarkara tentang Pancasila.

Penulisan tentang Pancasila dalam metode fenomenalogi, Driyakara bertitik tolak pada rumusan Pancasila yang termuat di dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. Namun, Driyarkara tidak merunut sila – sila sesuai dengan urutannya, tetapi Driyrkara berangkat dari sila yang kedua, sila yang berpusat pada perikemanusiaan.

(3)

3

Dalam “Pancasila sebagai Ideologi”, Driyarkara menjelaskan bahwa dalam masing – masing sila memiliki ideologi yang dapat memberi implikasi etis dan moral dalam hidup menegara. Di sinilah persis letaknya apa yang dimaksud dengan ideologi, bagaimana ideologi dapat dilahirkan, dan bagaimana ideologi memberi makna pada tindakan. Akan tetapi sedikit mengandung kemungkinan atau bahaya penyelewenannya. Sementara itu, dalam “Gambaran Manusia Pancasila” Driyarkara mengetengahkan manusia sebagai makhluk dinamis yang selalu membangun relasi dan berinteraksi dengan manusia lain – sesamanya – dalam masyarakat, dengan alam lingkungannya, dan dengan Sang Ilahi, Penciptanya. Pancasila memberi implikasi etis dan moral kepada manusia, tatapi juga dalam realitasnya tidak jarang terjadi hal – hal negatif yang berlawanan dengan Pancasila. Oleh karena itu, manusia perlu memperbaiki diri setiap kali bersama dan berinteraksi dengan sesama, serta lingkungannya.

Berdasarkan biografi Driyarkara yang ditulis oleh F. Danuwina menjelaskan bahwa gagasan – gagasan Driyarkara tentang Pancasila merupakan sumbangan tak ternilai harganya yang belum terselesaikan. Maksudnya bahwa uraian tentang Pancasila sebagai dasar negara dan hidup berbangsa sebenarnya belum selesai, waktu atau kesempatannya terbatas, masih banyak hal yang harus dibicarakan, dan lain sebagainya. Di satu sisi Driyarkara ingin mengajak berbagai pihak untuk terlibat dalam pengembangkan lebih lanjut tentang Pancasila sesuai dengan situasi zaman yang selalu dinamis, bukan berpuas diri dengan konsep – konsep ideologi yang sudah mati. Namun di sisi lain, Driyarkara sendiri masih belum sempat mengembangkan pokok – pokok gagasannya yang telah dikemukakannya.

B. Pokok Gagasan Driyarkara

1. Pemikiran Pancasila Sebelum 1965

(4)

4

Di dalam seminar yang bertemakan “Pencasila dan Religi” problem yang diserahkan kepada mereka adalah: bagaimanakah hubungan antara Pancasila dan Religi? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang praktis, ialah: bagaimanakah dalam prakteknya hubungan antara Pancasila dan Religi di negara Indonesia? Berdasarkan pada keyakinan akan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka konsekuensi logisnya ialah bahwa negara Indonesia pun mengakui dan menghormati Religi. Lalu bagaimanakah pengakuan dan penghormatan yang dihayati dan dilaksanakan? Cukup jelaskah undang – undang dalam hal ini? Bagaimanakah kebijaksanaan yang telah dilakukan? Bagaimanakah politik keagamaannya? Demikian pertanyaan yang praktis tentang hubungan antara Pancasila dan Religi. Namun, menurut mereka bahwa bukan persoalan ini yang dimaksud untuk dibahas di dalam seminar, melainkan lebih meyelami isi Pancasila, untuk merumuskan dan menjelaskan doktrinnya dalam segala segi kehidupan.

Presiden Soekarno menyatakan bahwa beliau mendapatkan Pancasila itu dengan mengali dalam manusia indonesia. Dalam artian bahwa, beliau meneliti sejarah, meneliti keadaan sosiologis, serta meneliti watak – watak dan psike manusia Indonesia. Namun, bagi para pembicara dalam seminar, mereka meyakini dan sadar betul bahwa Pancasila tidak hanya ditemukan dengan dan dalam menggali dalam kehidupan manusia Indonesia pada konkretnya. Bagi mereka Pancasila adalah inherent (melekat) pada eksistensi manusia sebagai manusia, lepas dari keadaan tertentu pada konkretnya. Oleh sebab itu, dengan memandang kodrat manusia sebagai manusia, maka terbukalah jalan untuk menunjuk hubungan antara Pancasila dan Religi. sebab Religi pun berakar pada kodrat manusia.

Berbicara soal kodrat manusia, sebuah pertanyaan fundamental yang diajukan ialah: apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas? Pertanyaan itu merupakan pertanyaan abadi, dan terkandung di dalam hati setiap manusia. Pancasila sebagai dalil – dalil filsafat sebetulnya merupakan jawaban dari pertanyaan itu.

(5)

5

Berdasarkan pada fakta tersebut, para pembicara dalam uraian ini ingin mengemukakan terlebih dahulu hubungan manusia dengan alam jasmani. Hubungan tersebut tidak mengatakan bahwa hubungan manusia dengan alam semesta itu “lebih” dulu daripada hubungan manusia dengan sesamanya.

Melalui kerangka berpikir demikian dapat disimpulkan bahwa manusia itu pribadi, tetapi harus mempribadikan diri. Upaya manusia untuk mempribadikan diri itu tentu tidak terlepas dengan menjalankan kesatuannya dengan alam jasmani. Kesatuannya (baca: kesatuan manusia) dengan alam jasmani dalam upaya mempribadikan diri itu disebut sebagai “membudaya” dan dunia jasmani yang diangkat oleh manusia dalam “membudaya” itu menjadi satu dengan manusia di dalam “kebudayaan”. Gagasan tersebut berhubungan erat dengan Pancasila, secara khusus dalam dimensi Demokrasi dan Keadilan Sosial. Sebab Demokrasi dan Keadilan Sosial adalah cara yang mempribadikan dan memanusiakan diri bersama, tetapi bukan cara yang kebutulan, melainkan cara yang dituntut oleh kodrat manusia.

Pengakuan manusia akan eksistensinya di dunia juga merupakan sebuah upaya untuk mengakui keberadaan alam jasmani. Dalam artian bahwa manusia tidak bisa meng – Aku kecuali dengan dan dalam mengakui alam jasmani. Bagi manusia yang menghidup berarti menjasmani, dan manusia itu menjasmani adalah untuk merohani. Sebab eksistensi manusia adalah pribadi yang rohani. Atau dengan cara yang lain bisa disimpulkan bahwa caranya manusia berada itu sebagai sebuah dialektis rohanisme.

Pengakuan manusia akan keberadaannya dengan alam jasmani, tidak terlepas dari pengakuan akan adanya manusia lain. Dalam hal ini bukan berarti manusia lain hanya berada di samping sesamanya, melainkan sebuah kebersamaan. Satu contoh konkrik tentang kesatuan dengan manusia lain ialah permainan bulu tangkis. Di situ tidak hanya si A yang bermain bulu tangkis sendiri, tetapi juga di sampingnya ada si B yang bermain bulu tangkis. Maksudnya bahwa di dalam realitas “permainan bulu tangkis” itu adalah permainan dari kedua belah pihak.

(6)

6

oleh kebersamaannya dengan orang lain. Kesadarannya itu mengadaikan bahwa ia membuka diri untuk orang lain dan siap sedia untuk memasuki orang lain. Kesadaraan tentang Aku atau meng – Aku sudah berarti dialog atau percakapan. Demikian structure manusia. Berada baginya berarti dialog (percakapan) dengan orang lain. Dengan sesamanya manusia itu menemukan eksistensi ke – Aku – annya. Jadi ia selalu meng – Kita.

Dimensi ada bersama itu seharusnya berarti bersama dengan hormat dan di dalam cinta kasih. Tentu fakta kebersamaan manusia di tengah masyarakat tidak terlepas dari adanya kebencian. Akan tetapi sikap itu tidak merobohkan dalil kita. Sebaliknya, sikap itu memperkuat kebenaran kita. Sebab benci itu adalah peniadaan (negation) dari cinta. Yang primer dan fundamaental di dalam kehidupan manusia adalah cinta kasih. Misalnya ada bersama itu menurut kodratnya tidak berupa cinta kasih, melainkan kebencian, maka hal itu akan berarti bahwa ada itu sama dengan tidak ada. Pengakuan sama dengan penyangkalan. Salah contoh adalah sistem seperti liberalisme. Sistem tersebut bukankah pada dasarnya memungkiri bahwa ada itu berupa cinta kasih?

Melihat realitas hidup berbangsa negara ini dapat dikatakan bahwa bukan hanya liberalisme yang merupakan penyangkalan akan cinta kasih, melainkan juga sistem yang berkedok Keadilan Sosial dan kemakmuran bersama, menginjak – injak hak- hak asasi manusia, merampas kemerdekaan, merendahkan manusia menjadi alat produksi belaka. Sistem itu pun bertentangan dengan hakikat eksistensi manusia yang berupa cinta kasih, dan bertentangan dengan Pancasila negara Indonesia. Melalui konsep ini para pembicara ingin memperlihatkan bahwa Pancasila itu timbul atau lahir dari kodrat manusia. Jadi penghayatan akan Pancasila hendaknya bertitik tolak pada kodrat manusia itu, yakni menjasmani meng Aku meng kita. Hal ini dapat dirumuskan dalam satu kata: Perikemanusiaan.

Perikemanusiaan berarti menghormati, menjunjung tinggi sesama manusia, setiap manusia dan segala yang di dalam diri manusia. Di sinilah letak persisnya hakekat cinta dalam kehidupan manusia. Sebab, cinta berarti mengakui dan menghormati sesama manusia sebagai diri sendiri (persona) dan persona tidak boleh dijadikan sebagai objek. Maka konsep perikemanusiaan lebih berarti menolak perbudakan, pengisapan dan sebagainya, dari sesama manusia.

(7)

7

sebagai ada bersama. Ia harus memanusia bersama; mempribadikan diri bersama, dan memanusiakan serta mempribadikan orang lain. Oleh karena itu, demi dimensi perikemanusiaan, manusia tidak boleh bertindak sedemikian rupa sehingga manusia lain tidak mempunyai perlengkapan dan syarat –syarat hidup yang cukup. Sebab ada bersama merupakan fundamental dari ada sendiri, serta ungkapan cinta kasih yang mempersatukan.

Berdasarkan pada kodrat manusia yang ada bersama, maka timbullah dimensi masyarakat atau memasyarakat; dimensi yang juga membentuk sebuah negara. Di sini dimensi memasyarakat menjadi menegara. Menegara berarti menjalankan sikap cinta kasih. Akan tetapi di dalam dan melaluinya ada bahaya yang besar, sehingga perlu sebuah prinsip untuk menghindarinya. Prinsip itu ialah demokrasi. Dengan demokrasi setiap warga akan memandang sesamanya sebagai persona, dengan semua hak – haknya; hak – hak yang digunakan untuk menegara bersama. Dengan demikian warga hendaknya menciptakan kesatuan dan pimpinan yang mengemudikan kehidupan masyarakat.

Menegara pada konkretnya berarti penegaraan dari suatu suku bangsa. Oleh sebab itu sudah sewajarnya bahwa kebangsaan menjadi prinsip penegaraan. Bangsa itu terbentuk dari kesatuan kultural, kesatuan ekonomis, kesatuan geografis, dan kesatuan sejarah; menegara berarti mengembangkan semuanya itu. Upaya pengembangan ini merupakan perwujudan dari sikap nasionalisme yang mengarah pada mondial (internasionalisme). Ingat bahwa semuanya itu merupakan pelaksanaan cinta kasih. Singkatnya bahwa ada bersama itu membuat kita untuk memasyarakat; karena memasyarakat maka lahirlah sebuah bangsa. Dengan demikian timbullah unsur Kebangsaan yang menjadi dasar untuk menegara atau hidup bersama. Maka dapat disimpulkan bahwa keempat sila yang dijelaskan panjang lebar itu pada dasarnya adalah satu, yaitu cinta kasih.

Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa ada kita itu berupa cinta kasih, maka yang menjadi Maha – Cinta – Kasih – ialah Tuhan. Makhluk – demikian menurut Max Scheler – adalah kristalisasi dari cinta kasih Tuhan. Jadi, ungkapan cinta kasih yang mendasari keempat sila merupakan pengjelmaan cinta kasih Tuhan. Dengan kata lain bahwa semua sila itu dijiwai oleh cinta kasih Tuhan.

(8)

8

dunia ini. Jadi lima sila itu bisa dirumuskan menjadi dwi sila, yaitu cinta kasih kepada Tuhan dan kepada manusia, dan dwi sila itu sebetulnya eka sila, sebab cinta kasih kepada manusia termuat di dalam cinta kasih kepada Tuhan.

***

Setelah melihat bersama hakekat dari setiap sila yang dijelaskan di atas, maka berikutnya para pembicara pun berusaha untuk menjelaskan hakekat dari Religi dan korelasi atau relevansinya dengan Pancasila.

Religi – demikian menurut pandapat umum – merupakan istilah yang berhubungan dengan kata re liga re (kata latin) yang berarti mengikat, sehingga religio berarti ikatan, atu juga pengikatan. Atau dengan kata lain bahwa dalam Religi manusia mengikat diri pada Tuhan. Akan tetapi ikatan itu tidak membelenggunya dan mengurangi kebahagiaannya; sebaliknya ikatan itu dialami sebagai sumber kebahagiaan.

Dengan memeluk dan melakukan Religi manusia hendak menyelenggarakan kepentingan yang memuat seluru dirinya. Dalam Religi manusia membuka seluruh dirinya. Di situ ada penyerahan total, penyerahan tanpa pengecualian. Gejala yang sedalam itu tidak bisa tidak berakar dari kodrat manusia itu sendiri. Sebab di situ dicurakan seluruh kodrat manusia yang berdinamika. Jadi yang dimaksud dengan Religi itu adalah penyerahan diri kepada Tuhan dalam keyakinan bahwa manusia itu tergantung pada Tuhan. Tuhanlah yang menjadi sumber keselamatan manusia. Itulah kebahagiaan manusia dan karenanya manusia menyerahkan dan mencurahkan seluruh dirinya.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia dipandang sebagai filsafat, the way of life – kebenaran hidup. Kebenaran hidup yang mengarahkan manusia kepada cinta kasih Tuhan. Sebab pada dasarnya Pancasila itu adalah eka sila, yaitu cinta kasih kepada Tuhan. Di sini tampaklah bahwa Pancasila itu menunjuk manusia sebagai potensi ke Religi. Dalam artian bahwa negara Pancasila mengakui seluruh hidup manusia itu merupakan gerak kepada Tuhan. Di sini bukan berarti negara Indonesia adalah negara Agama – Religi, atau negara Profan, melainkan sebuah negara yang mengakui ketinggian dan kesucian hidup berbangsa yang didasarkan pada Pancasilla. Maka jelaslah bahwa Pancasila dan Religi merupakan dua dimensi hidup yang menjadi dasar menegara bagi bangsa Indonesia.

(9)

9

Setelah membaca dan meneliti serta meringkaskan karya Driyarakara tentang Pancasila, hemat saya bahwa Driyarkara melihat dan menguraiakn Pancasila dari kacamata yang berbeda. Dalam seminar itu Driyarkara berangkat dari sila Perikemanusiaan untuk menguraiakan hakekat Pancasila dan Religi dalam sikap menegara, serta relevansi di antara keduanya (Pancasila dan Religi). Mengapa harus sila Perikemanusiaan? Alasannya, sila Perikemanusiaan menyangkut segala aspek kehidupan menegara. Dengan sila Perikemanusiaan, negara akan lebih membuka diri baik demi perkembangan nasional atau internasional, sebagaimana yang dijelaskan oleh Driyarkara. Dengan sila Perikemanusiaan maka sila – sila lainnya akan berjalan dengan baik dan terarah, tidak terjadi penyelewengan di dalam sikap menegara. Dengan sila Perikemanusiaan semua manusia saling menghormati sebagaimana mestinya. Sebab manusia tidak hanya meng – Aku, tetapi juga meng – kita.

Berdasarkan gagasan tersebut saya merefleksikan bahwa manusia menjadi fondasi dari kehidupan menegara dari suatu bangsa. Sebab adanya manusia di dalam suatu bangsa menggambarkan keutuhan dari suatu bangsa. Manusia menjadi titik tolak berdirinya suatu bangsa. Maka hendaknya manusia dilakukan secara pantas sebagai pribadi yang manusiawi sekaligus dihormati sebagai pribadi yang spiritual. Diperlakukan secara manusiawi karena ia memiliki kodrat yang sama dengan manusia yang lainnya, sama – sama pribadi yang menyumbangkan potensinya dalam hidup menegara. Diperlakukan secara spiritual karena sama – sama ciptaan Tuhan. Dengan demikian terpenuhilah keotentikan dan kekhasan Pancasila sebagai wujud cinta kasih Tuhan. Sebab sama – sama menghargai satu sama lain berkat sila Perikemanusiaan.

Meskipun demikian, hemat saya bahwa gagasan Pancasila dan relevansinya dengan Religi yang diuraikan Driyarka masih kurang berpengaruh terhadap hidup masyarakat majemuk ini saat ini. Memang dari sononya Pancasila itu mendukun hidup Religi, akan tetapi de facto masih ada persoalan yang berbau kriminalis di dalam kehidupan menegara di bangsa ini. Ada banyak persoalan atau kriminalisasi yang mengatasnamakan agama.2 Sehingga patut dipertanyakan seberapa besar pengaruh posotif Pancasila terhadap kehidupan Religi di bangsa ini? Dalam hal ini saya tidak menempatkan diri untuk judge konsep Pancasila yang sangat membantu keberadaan Religi di bangsa ini, akan tetapi saya hanya ingin mengkritisi sikap penghayatan dan pengaktualisasian anak – anak bangsa ini tentang hakekat Pancasila yang sangat menekankan Cinta Kasih yang selalu dan sudah pasti bertitik tolak pada dimensi

2

(10)

10

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran mengenai kondisi transportasi khususnya berjalan kaki di kawasan Pendidikan Yogyakarta sebagaimana yang telah dijelaskan di atas menjadi dasar perlunya dilakukan

Meskipun pemupukan NPK nyata mempengaruhi bobot kering polong dibanding kontrol, namun penambahan pupuk hayati pada dosis N yang lebih rendah (1/4–1/2 N), meningkatkan hasil

pertanyaan awal kepada siswa secara lisan yang diarahkan pada anak tema: Healthy Foods dengan gambar; Guru menyampaikan tujuan pembelajaran; Guru menyajikan

Pada Gambar 7, nilai pada perlakuan kombinasi eceng gondok dan pelepah pisang menunjukan semakin banyak penambahan bahan serat maka akan semakin besar pula daya serap dan

Tujuan penelitian ini adalah memetakan lokasi dan kapasitas dari informasi inventarisasi mata air di Kecamatan Cidahu, mengkaji variasi dari data deret waktu mata air yang

Pelatihan dapat meningkatkan performance kerja pada posisi jabatan yang sekarang. Kalau level of performance-nya naik/meningkat, maka berakibat peningkatan

Transformasi desain bangunan tradisional Souraja pada bangunan kantor pemerintah di Palu meliputi transformasi : bentuk bangunan (bentuk panggung), bentuk geometri

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan kemampuan membaca anak didik sebelum tindakan sampai dengan siklus II menunjukkan peningkatan.