DAFTAR ISI
ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan... B. Ruang Lingkup Penelitian ... C. Tujuan Penelitian ... D. Metode Penelitian... E. Sistematika Pembahasan ... BAB II. TINJAUAN YURIDIS TENTANG KHALWAT/MESUM
A. Pengertian Dan Pengaturan Tentang Khalwat/Mesum ... B. Jenis-Jenis Jarimah Menurut Hukum Islam ... C. Tujuan Pidana Menurut Hukum Islam Dan Teori-Teori
Pemidanaan ... D. Penanggulangan Kejahatan Menurut Hukum Islam ... BAB III. TINDAK PIDANA KHALWAT/MESUM DAN PENYELESAIAN
DI MAHKAMAH SYAR’IYAH KOTA BANDA ACEH A. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Khalwat/Mesum
B. Penyebab Tindak Pidana Khalwat/Mesum Tidak Dilimpahkan Ke Mahkamah Syari’iyah... C. Upaya Yang Ditempuh Dalam Menanggulangai Tindak Pidama
Khalwat/Mesum ... BAB IV . PENUTUP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Sepanjang sejarah masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam
sebagai pedoman dalam kehidupan, melalui penghayatan dan pengamalan ajaran
islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang (sejak abad ke VII), telah
melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami, budaya dan Aceh
yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan dan dikembangkan
serta dilestarikannya. Dalam ungkapan bijak disebut “Adat Bak Poe
Teumeureuhom Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang Reusam Bak
Lakseumana” ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa syariat islam
telah menyatu dan menjadi pedoman huidup bagi masyarakat Aceh melalui
peranan ulama sebagai ahli waris para Nabi.
Berdasarkan Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat/mesum, yang
merupakan dasar hukum tentang khalwat/mesum, perbuatan yang diterangkan
dalam pasal 4 dan 5 Qanun Nomor 14 tahun 2003 dipandang sebagai perbuatan
yang mungkar dan keji dan dilarang dalam syariat islam dan bertentangan dengan
adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Khalwat/mesum adalah
perbuatan bersunyi sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan
jenis yang bukan muhrimnya atau tampa ikatan perkawinan yang sah.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku ke-2 Bab
menyebutkan bahwa : Ayat (1) dihukum penjara selama lamanya sembilan bulan.
Sehubungan dengan Nanggroe Aceh Darussalam yang telah diberikan hak untuk
mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri serta menjalankan hukum
syariat islam yang berlandaskan hukum islam sebagaimana tertuang dalam Qanun
Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat/mesum. Siapa saja yang melakukan
khalwat/mesum sebagaimana dimaksud Pasal 4 dan 5 Qanun Nomor 14 tahun
2003 Dihukum dengan hukuman cambuk sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22
ayat (1) dan ayat (2) Qanun Nomor 14 tahun 2003 yang berbunyi :
(1) “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9
kali dan paling rendah 7 kali, dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2500.000 (dua juta lima ratus ribu
rupiah)”.
(2) “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5 diancam dengan hukuman ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling
lama 6 bulan dan paling singkat 2 bulan, dan/atau denda paling banyak Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5000.000 (lima juta
rupiah)”.
Berdasarkan hasil Penelitian yang telah peneliti lakukan, mulai dari tahun
2006 s/d 2007 telah terjadi tindak pidana Khalwat/Mesum di Kota Banda Aceh
yang telah dilakukan oleh sebagian besar pemuda dan pemudi, hanya terdapat
sebagian kecil saja kasus tindak pidana Khalwat/Mesum yang telah dilimpahkan
ke Mahkamah Syar’iyah, padahal perbuatan tentang kejahatan yng mengatur
tindak pidana Khalat/Mesum sudah diatur dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003,
dan barang siapa yang telah terbukti melakukan Khalwat/Mesum akan diancam
dengan hukuman ta’zir, akan tetapi meskipun perbuatan itu telah diancam dengan
mulai dari tahun 2006 s/d 2007 terdapat 590 (lima ratus sembilan puluh) kasus
tindak pidana Khalwat/mesum diwilayah Kota banda Aceh, dan hanya terdapat 5
(lima) kasus tindak pidana Khalwt/mesum yang telah dilimpahkan ke Mahkamah
Syar’iyah Kota Banda Aceh. Sedangkan sisanya yang telah dilimpahkan ke
Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh masih ada dalam proses penyidikan, dan ada pula berkas perkaranya yang sudah dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri
Kota Banda Aceh, untuk selanjutnya dilimpahkan ke Mahkmah Syar’iyah.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan dalam wilayah
hukum Kotab Banda Aceh, masih banyak terjadi tindak pidana Khalwat/Mesum,
meskipun perbuatan tersebut telah diancam dengan hukuman cambuk. Meskipun
demikian dalam penerapan hukuman cambuk yang dilakukan sekarang diterapkan
di Nanggroe Aceh Darussalam belum menunjukkan semaksimal mungkin
perbuatan Khalwat/Mesum dapat dicegah oleh petugas Wilayatul Hisbah, kalau
tanpa adanya rasa kesadaran hukum dari setiap diri individu untuk melaksanakan
Syariat Islam yang kaffah di bumi Serammbi Mekkah. Dalam hal ini perlu kerja
sama antara penegak hukum dengan masyarakat untuk memberantas kemaksiatan
dan menjunjung tinggi nilai-nilai, norma-norma, dan kaidah-kaidah hukum yang
berlaku dalam masyarakat Aceh, guna untuk mewujudkan dan menegakkan rasa
keadilan, kesopanan, tata krama dan menjunjung tinggi Sayriat Islam sebagai
dasar untuk mewujudkan manusia yang berkeprikemanuian sebagai maklhuk
Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, antara lain dibidang pelaksanaan Syariat
Islam dalam kehidupan masyarakat guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat
yang tertib, aman, tenteram, dan sejahtera, serta adil untuk mencapai ridha Allah
SWT. Maka pemerintah berdasarkan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang
Khalwat/Mesum hukumnya adalah haram dan dilarang oleh Syariat Islam. Untuk
efektif pelaksanaan qanun ini disamping adanya lembaga penyidikan dan
penuntutan, juga dilakukan pengawasan yang meliputi upaya pembinaan pelaku
jarimah oleh muhtasib dari lembaga Wilyatul Hisbah.
Meskipun demikian bahwa peraturan Khalwat/Mesum sudah diatur dalam
Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang larangannya, bahwa hukumnnya haram dan
diancam dengan hukuman cambuk bagi pelaku. Namun dikota Banda Aceh masih
terjadi pelanggaran Khalwat/Mesum meskipun sudah diancam dengan hukuman
yang sangat berat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka yang
menajdi pokok permasalahan dalam penulisan kripsi ini adalah :
1. Apakah faktor-faktor terjadinya tindak pidana Khalwat/Mesum?
2. Mengapa tindak pidana Khalwat/Mesum tidak semuanya dilimpahkan ke
Mahkamah Syar’iyah?
3. Apakah upaya yang ditempuh dalam menanggulangi tindak pidana
Khalwat/Mesum?
B. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan judul skripsi yang telah peneliti pilih mengenai
meliputi tentang larangan masalah Khalwat/Mesum dan upaya
penanggulangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan peran serta
masyarakat dalam memberantas kemaksiatan yang sekarang diterapkan di
Nanggroe Acaeh Darussalam, yang berdasarkan Qanun Nomor 14 Tahun
2003 tentang Khalwat/Mesum, dan apa hambatan dan bagaimana cara
penanggulangannya terhadap tindak pidana Khalwat/Mesum dan kasus-kasus
yang terjadi di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh mulai
tahun 2006 s/d 2007.
C. Tujuan Penelitian
Dalam pembahasan ini yang menjadi pokok pembahasan adalah tujuan
dari uraian ruang lingkup di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan faktor-faktor terjadinya tindak pidana
Khalwat/Mesum?
2. Untuk menjelaskan alasan tindak pidana Khalwat/Mesum tidak semuanya
dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah?
3. Untuk menjelaskan upaya yang ditempuh dalam menanggulangi tindak
pidana Khalwat/Mesum?
D. Metode Penelitian
1. Lokasi dan Populasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah dilakukan di wilayah hukum Mahkamah
Syar’iyah Kota Banda Aceh.
1. Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
Aceh.
2. Khalwat/mesum adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara
bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang bukan muhrim atau tampa
ikatan perkawinan yang sah menurut Agama Islam.
b. Populasi penelitian
Populasi penelitian terdiri dari atas : anggota kepolisian/penyidik,
jaksa penuntut umum, hakim mahkamah syar’iyah kota Banda Aceh, dan
petugas Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh.
2. Cara pengambilan sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
porpusif sampling yaitu dari keseluruhan populasi akan diambil beberapa
orang yang diperkirakan dapat mewakili dari keseluruhan populasi yang ada,
terdiri :
a. Responden
1. Penyidik polri yang pernah menangani kasus khalwat/mesum sebanyak
2 orang;
2. Petugas Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh yang pernah melakukan
penyidikan tentang kasus khalwat/mesum sebanyak 2 orang;
3. Jaksa Penuntut umum Kota Banda Aceh yang pernah melakukan
4. Hakim Mahkamah Syar’iyah kota Banda Aceh yang pernah
memutuskan kasus khalwat/mesum sebanyak 2 orang;
5. Pelaku tindak pidana Khalwat/Mesum sebanyak 5 orang.
b. Informan
1. Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh.
2. Ketua Masyarakat Adat Kota Banda Aceh.
3. Cara pengambilan data dan pengumpulan data
Data yang diteliti dalam suatu penelitian ini dilakukan dengan dua
cara yaitu :
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan yang dimaksudkan untuk memperoleh data
skunder yaitu dengan cara mempelajari literatur (buku-buku), tiori tiori
dan perundang-undangan yang berhubungan dengan kasus-kasus yang ada.
b. Penelitian lapangan
Penelitian lapangan yang dimaksudkan untuk memperoleh data Primer
dengan mewawancarai kepada responden dan informan yang telah peneliti
pilih. Alasan dilakukan wawancara karena cara ini dirasa paling tepat
untuk mengumpulkan data karena setiap permasalahan berkenaan
langsung dengan penelitian dapat langsung dituangkan dalam wawancara.
4. Cara analisis data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan hasil penelitian
kepustakaan dianalisis dan diolah secara sistematis dengan menggunakan
Pendekatan kualitatif adalah apa yang dinyatakan oleh responden dan
informan baik secara lisan maupun tulisan yang dipelajari dan diteliti sebagai
suatu yang utuh sehingga terjawab permasalahan. Setelah data terkumpulkan,
lalu data dipilah-pilah berdasarkan kesesuaian dengan masalah yang diteliti
dan selanjutnya data ditulis dalam skripsi dengan menghubungkan dengan
data kepustakaan.
E. Sistematika Penelitian
Untuk memudahkan penyusuan skripsi ini serta sekaligus untuk
tercapainya tujuan pembahasan, maka disusunlah sistematikanya yang dibagi
dalam empat bab antara lain sebagai berikut :
Bab I yang merupakan bab pendahulan yang terdiri dari 4 (empat) sub
bab, yang memuat Latar Belakang Permasalahan, Ruang Lingkup, Tujuan
Pembahasan, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab II yang berisikan uraian yang bersifat yuridis teoritis, pada bab ini
akan dijelaskan mengenai Tinjauan Umum tentang Khalwat/Mesum,
Jenis-Jenis Jarimah, Tujuan Pidana Menurut Hukum Islam, dan Cara
Penanggulangan Jarimah Menurut Hukum Islam.
Bab III dalam ini dikemukan kenyataan yang terjadi dalam praktek yang dihubungkan dengan Bab II sebagai Bab Yuridis Teoritis. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub bab yaitu : Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Khalwat/Mesum, Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Khalwat/Mesum
tidak dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah, dan Upaya yang ditempuh dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Khalwat/Mesum.
BAB II
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KHALWAT/MESUM
A. Pengertian dan Pengaturan Tentang Khalwat/Mesum
Khalwat/Mesum atau dengan kata lain yaitu jarimah adalah
perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang bukan
muhrinya tampa ikatan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Jadi
pengertian jarimah Khalwat/Mesum Jarimah berasal dari kata “Jaram”
artinya berusaha dan bekerja, pengertian bekerja disini khusus untuk usaha
yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia. Dari pengertian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jarimah menurut arti bahasa adalah
melakukan perbuatan-perbutan atau hal-hal yang dipandang tidak baik,
dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan
jalan yang lurus (agama). Dalam memberikan definisi ini Imam-Al
Mawardi mengemukakan, jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara’.1
Para fuqaha menyatakan bahwa bahwa lafal jinayah sama artinya
dengan jarimah. Pengertian jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang
oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda atau lain
sebagainya.
1Ahmad wardi muslich. Pengantar dan Azas hukum Pidana Islam. Sinar Grafika, 2004 :
a. Pengaturan Tentang Zina Dalam Al-qur’an dan Dalam Hadist :
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan tang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’ :320.
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap sesorang dari keduanya seratus aklli dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukumannya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur : 2)
.
Jejaka dan gadis hukumannya jilid seratus kali dan pengasingan selama
satu tahun”(HR. Jama’ah kecuali Al-bukhari dan Annasa’i).
Sabda Nabi : Tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidk boleh manusia melakukan pengrusakan terhadap orang lain.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Katanya : aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda. : Apa bila seseorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan perbuatan zina dan telah terbukti, maka hukumlah dia dengan cambukan rotan dan janganlah mamakinya. Jika ia mengulanginya lagi perbuatan zina itu, cambuk rotan;lah dia dan janganlah kamu memakinya. Dan jika dia mengulanginya lagi buat kali ketiganya dan terbukti, maka jauhlah dia walaupun dengan harga sehelai rambut.
Sanksi hukum bagi pezina
• Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki laki yang berstatus pemuda pemudi
dihukum dengan hukuman cambuk 100 kali.
• Dalam pelaksanaan cambuk tidak ada belas kasihan kepada pelaku dan
eksekusinya di saksikan oleh sekelompok dari orang yang beriman.
• Sanksi hukuman cambuk bagi wanita dan /atau laki laki yang berstatus janda
dan/duda adalah hukuman rajam (ditanam sampai leher kemudian kemudian
rasa kasihan kepada pelaku zina dan eksekusinya disaksikan oleh segolongan
oleh orang yang beriman.2
Imam Syafi’i dalam mazhabnya memberikan definisi tentang zina yaitu memasukkan alat kelamin kedalam alat kelamin yang diharamkan menurut zatnya
terlepas dari segala kemungkinan, kesamaan dan secara alami perbuatan itu
disenangi. Larangan terhadap zina berirngan dengan larangan pembunuhan dan
termasuk dosa besar sebagaimana dosa pembunuhan itu sendiri, Islam sangat
serius menghadapi persoalan zina tersebut dan menempatkannya sebagai masalah
social yang kejahatannya merusak tatanan sosial, pelakunya dinnyatakan
melakukan kejahatan terhadap umum atau publik dan oleh karena dituntut oleh
Jaksa Penuntut umum yang mewakili masyarakat. Dalam KUHP yang berlaku
delik perzinaan termasuk delik aduan dan ancaman terhadap pelaku sangat ringan,
akibat yang terjadi adalah kerusakan masyarakat. Tapi Islam menetapkan
ancaman terhadap perzinaan denga ancaman hukuman yang sangat berat, paling
tinggi hukuman mati dan paling rendah hukuman dera seratus kali, dan
pelaklsanaan atau eksekusi pelaku zina baik dalam bentuk rajam maupun dera
dilakukan oleh hakim atau petugas yang ditentukan secara terbuka tampa diberi
rasa belas kasihan, agar orang lain menyaksikan dan merasa takut melaksanakan
kejahatan yang sama.3
Islam melarang dengan tegas tentang zina, sementara khalwat/mesum
merupakan wadilah atau peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat juga
termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan diancam dengan hukuman
2Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam, Jakarta, SInar Grafika. 2007, hal 50
‘uqubat ta’zir, cambuk. Dalam hukum Islam terdapat dua macam sanksi yaitu
yang bersifat definitif dari Allah dan Rasulnya dan sanksi yang tetapkan manusia
melalui kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dan kedua jenis sanksi
tersebut mendorong manusia atau masyarakat untuk patuh dan taat pada ketentuan
hukum.
b. Pengaturan Tentang Khalwat/Mesum atau Jarimah Dalam Qanun :
Pengaturan tentang Khalwa/Mesum dalam Qanun terdapat dalam Pasal 4
dan Pasal 5 Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum yaitu :
Pasal 4 : Khalwat/mesum hukumnya haram.
Pasal 5 : Setiap orang dilarang melakukan Khalwat/Mesum.4
Hukum Islam memiliki karekteristik sendiri yang berbeda dengan
karakteristik hukum yang lain yang berlaku didunia ini, berbeda karakteristik ini
disebabkan karena hukum Islam berasal dari Allah bukan buatan manusia yang
tidak luput dari kepentingan individu dan hawa nafsu. Intisari hukum Islam adalah
memelihara manusia dan memberikan perhatian yang penuh atas dasar kemulian
dan hukum Islam berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan segala
hal yang menyebabkan terganggunya kemulian itu. Hasby ash-Shiddieqy,
menyebutkan beberapa karakteristik hukum Islam, yaitu sempurna (ta’amul),
harmonis (wasathiyah) dan dinamis (harakah). Sedangkan Menurut Faqouq
Nabhan, dalam pengertian para fuqaha Syariah adalah menetapkan norma-norma
hukum untuk menata kehidupan manusia, baik dalam hubungannya denga tuhan
4 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
maupun dengan umat manusia lainya, maka dalam hal ini syariah itu mencakup
aspek-aspek akidah, aklhak dan amaliah.
Dan setelah disahkan nya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sesuai dengan Pasal 125 ayat 1 dan ayat
2 meliputi :
Ayat 1 : Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah,
syar’iyah dan aklhak.
Ayat 2 : Syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melipiuti ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum
perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah
(pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.
Berdasarkan dari ayat yang telah diuraikan sebelumnya diatas maka
pemerintah dan masyarakat Aceh yang ada di Aceh wajib menghargai,
menghormati pelaksanaak Syariat Islam di Aceh sebagaimana ketentuanya dalam
Pasal 126 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2006 yang berbunyi :
Ayat 1 : Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib mentaati dan mengamalkan Syariat Islam.
Ayat 2 : Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib pelaksanaan Sysriat Islam.
Berdasarkan ayat diatas maka bagi setiap orang pemeluk agaman Islam
yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati dan menghargai
pelaksanaan Syriat Islam yang berlaku di Aceh guna untuk mewujudkan
pelaksanaan Syariat Islam yang kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan
ketentuan yang telah dituangkan dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang
ta’zir berupa dicambuk paling banyak 9 kali dan paling sedikit 7 kali dan atau denda paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dan paling
rendah-Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Akan tetapi dalam hukum pidana
islam tentang sanksi hukum bagi pelaku zina.
c. Lingkungan Berlakunya Aturan-aturan Pidana Islam
Pada dasarnya Syariat Islam bukan syariat regional atau kedaerahan,
melainkan syariat yang bersifat universal dan internasional. Syariat Islam berlaku
untuk seluruh dunia dan semua umat Islam baik mereka muslim atau nonmuslim,
sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an Surat Al-Anbiya’ ayat 107 yang
berbunyi :
Dan kami tidak mengutuskan engkau (Ya Muhammad) melainkan untuk
menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiya :107)
Menurut Imam Abu Hanifah hukum Islam diterappkan atas
jarimah-jarimah yang terjadi di negeri Islam baik dilakukan oleh orang maupun zimmi
(orang yang bukan muslim tapi tunduk kepada agama Islam berdasarkan
perjanjian yang berlaku). Berbeda dengan Imam Abu Yusuf, beliau mengatakan
diterapkan atas jarimah-jarimah yang terjadi di negeri Islam baik dilakukan orang
muslim, zimmi maupun musta’man (nonmuslim yang tinggal sementara di negeri
Islam, mereka tunduk pada hukum Islam berdasarkan perjanjian keamanan yang
Dalam hukum pidana Indonesia lingkungan berlakunya hukum pidana ini
diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)5.
Pasal 2 : Ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan suatu Tindak Pidana.
B. Jenis-Jenis Jarimah Menurut Hukum Islam
Jarimah itu sangat banyak macam dan ragamnya. Tetapi secara
garis besar jarimah itu dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu :
1. Ditinjau dari Segi Berat Ringannya Hukuman : Jarimah dapat dibagi
beberapa jenis antara lain :
1.1. Jarimah Hudud, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh
syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut, Hak Allah adalah suatu hak yang
manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi
seseorang. jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain6:
Jarimah zina
Jarimah qazdaf
Jarimah syurbul khamr
Jarimah pencurian
Jarimah hirabah
Jarimah riddah dan
Jarimah Al Bagyu (pemberontakan)
Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah dan Al-Bagyu
(pemberontakan), yang dilanggar adalah hak Allah. Sedaangkan dalam jarimah
pencurian dan qazdaf (penuduh zina) yang disinggung disamping hak Allah juga
terdapat hak manusia (individu).
1.2. Jarimah qishash dan diat, adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qishash atau diat, yang keduanya sudah ditentukan oleh
syara’ tapi hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud
Syahlut, hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali
kepada orang tertentu. Jarimah qishash dan diat ada dua macam antara
lain :
Peganiayaan
Pembunuhan
1.3. Jarimah ta’zir, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib atau membri pelajaran.
sedangkan menurut istilah adalah sebagaiman dikemukakan oleh Imam
Al Mawardi, Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belaum ditentukan hukumannya oleh syara’.
2. Sumber, hukum Indonesia dan ciri-ciri hukum aturan Pidana Islam
Jumhur ulama bahwa sumber hukum Islam ada empat yaitu Al-qur’an, As
-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Berdasarkan ruang lingkup yang telah diuraikan, maka ciri-ciri hukum Islam yaitu :7
1). Hukum Islam bagian dan bersumber dari ajaran agama Islam.
2). Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dicerai
pisahkan dengan iman, kesusilaan dan akhlak Islam.
3). Hukum Islam mempunyai kata kunci : (a) syariah, dan (b) fiqih.
4). Hukum Islam mempunyai dua bidang utama yaitu : (1) hukum ibadah dan
(2) hukum mu’amalah.
5). Huku Islam mendahulukan kewajiban dari hak amal dari pahala.
6). Hukum Islam dapat dibagi : (1) hukum taklifi atau huum taklif,yaitu
Al-akmah Al-khamsah yang terdiri atas lima kaidah jenis hukum,lima
pengolongan hukum yaitu jaiz,sunah,makruh,wajib dan haram.dan (2)
hukum Wadh”I, yaitu hukum Yang mengandung sebab,syarat halangan
terjadi atau terwujutnya hubungan hukum.8
Dan selain sumber dari hukum Syariat Islam juga terdapat bberapat
sumber hukum di Negara Indonesia yaitu :
1). Pancasila, yaitu suatu sumber pandangan hidup, Ideologi bangsa
Indonesia, serta sumber segala hukum , artinya bahwa pancasila sebagai
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi suasana
kejiwaandan watak dari rakyat Negara yang bersangkutan tempat berpijak atau
bersandar bagi setiap persoalan hukum yang ada9. serta menjadi
2). Undang–Undang Dasar 1945, merupakan perwujudan dari tujuan proklamasi kemerdekaan RI btanggal 17 agustus 1945 yang terdiri atas batang
tubuh UU 1945.
8Ibid hal 22
9Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004,
Kekhasan Syariat Islam di bandingkan Undang-Undang lain adalah
sifatnya yang teitis (rabbaniyah) atau regitius (diniyah) Hukum Islam
adalah-hukum yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunnah dan menjadi bagian agama Islam sebagai sistem ia mempunyai beberapa istilah antara lain10:
1. Hukum seperangkat norma yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat
baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat
dengan cara tertentu oleh penguasa.
2. Hukm atau ahka, perkataan hukum yang kita pergunakan dalam bahasa
Indonesia yang berasal dari kata hukm (tapa u antara huruf k dan m) dalam
bahasa Arab norma atau kaidah yakni ukuran, patokan, tolak ukur, dan
pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan
manusia dan benda
3. Syariat, selain perkataan hukum dipahami juga hukum dengan istilah
syariat atau syariah secara harfiah adalah jalan kesumber (mata) air yakni
jalan yang lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim .
4. Fiqih, dalam bahasa arab ditulis dengan fiqih atau kadang-kadang feqih
setelah di indonesiakan artinya faham atau pengertian.
Hukum Islam sebagi tatanan dalam hukum modern dan salah satu hukum
yang berlaku didunia ini, substasinya, mencakup aspek ibadah, aspek al
10Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
ahwal ash-syasyiyah, seperti talak, cerai, rujuk dan wari, serta aspek
muamalah hubungan manusia antarmanusia11
C. Tujuan Pidana Menurut Hukum Islam dan Teori-teori Pemidanaan
1. Pengertian Hukuman
Hukumaan dalam bahasa arab disebut ‘uqubat”. Artinya
mengiringnya dan datang dibelakangnya.12 Sesuatu disebut hukuman
karenan ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu
dilakukan. Dan dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa sesuatu
disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang
menyimpang yang telah dilakukannya. Sehubungan dengan kasu-kasus
topik diatas, dapat dikatakan bahwa apapunyang dilakukan hukum pidana,
salah atau benar, mempergunakan bentuk-bentuk hukuman tergantung
pada yang telah karakter moral dari si pelanggar hukum atau moralitas
dari pada pelanggaran hukum dilakukannya,13oleh karena itu hukum dapat
menghapuskan kebiasaan buruk, akan tetapi dapat pula mempertahankan
apa yang dilarang Undang-Undang. Secara umum fungsi hukum dalam
masyarakat dapat dibagi14:
Fungsi menfasilitasi, dalam hal initermasuk menfasilitasi sehingga tercapai
suatu ketertiban.
11Abdul manan, Op Cit, hal 61 12
Ahmad Wardi Muslich ,Lot Cit, hal 136-137
13Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Raja Wali, Jakarta, 1984,
hal 57
14Munir Faudy, Sosiologi Hukum Komtemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,
Fungsi refresif, dalam hal ini penggunaan hukum sebagai alat bagi elite
berkuasauntuk mencapai tujuannya.
Fungsi Idiologi, hukum menjamin pencapaian legitimasi, dominasi,
kebebasan, kemerdekaan dan keadilan.
Fungsi reflektif, hukum mereflekti keinginan bersama dalam masyarakat
sehinngga mestinya hukum barsifat netral.
Menurut L.J.Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah untuk mempertahankan
ketertiban masyarakat, dalam mempertahankan ketertiban tersebut hukum harus
secara seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam
masyarakat.15 Dalam KUHP, tentang kesopanan pasal 281, dan zina pasal 284,
kesopanan disini dalam arti kata kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan
dengan nafsu kelamin misalnya, bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan,
atau pria menciumnya wanita, maka perbuatan tersebut diancam dengan hukuman
penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan, berbeda dengan zina pasal 288,
yang merupakan delik aduan yang absolute, artinya tidak dapat dituntut apa bila
tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (yang
dimalukan)16. Dan hukumannya juga sangat terlaalu ringan, sedangkan dalam
hukum Syariat Islam perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 281 dan Pasal 284,
itu diancam dengan hukuman yang sangat berat.
Syariat hukum Islam telah menetapkan tiga macam jenis hukuman bagi
pelaku zina antara lain sebagai berikut :
a. Hukuman jilid, adalah hukuman seratus kali atas perbuatan zina yang
dilakukan oleh orang yang tidak muhshan (belum kawin) yang
berdasarkan firman Allah :
Pembuat zina perempuan dan laki laki hendaklah kamu jilid masing masingnya seratus kali, janganlah kamu disukai oleh rasa kasih sayang terhadap keduanya jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir dan
hendaknya menyaksikan penghukumannya segolongan orang mu’min.
(An-nur :2)17.
b. Hukuman pengasingan, terhadap pembuat zina yang tidak muhshan
dikenakan hukuman pengasingan selama satu tahun disamping
hukuman jilid, sesuai dengan sabda Nabi :
Orang muda dengan orang muda jilid seratus kali dan pengasingnan satu tahun.
c. Hukuman rajam, adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan
batu dan dikenakan bagi pembuat zina muhshan baik lakli laki atau
perempuan, sesuai dengan sabda Nabi :
Tidak halal darah (jiwa) seseorang muslim kecuali salah satu dari tiga hal yaitu kufur sesudah iman, zina sesudah muhshan (kawin), dan pembunuhan bukan karena pembunuhan orang (bukan pembunuh qishas).
2. Syarat-syarat Hukuman
Hukuman dianggap mempunyai dasar (Syaar’iyah) apa bila ia didasarkan
kepada sumber-sumber syara’ seperti Al-qur’an, As-Sunnah, ijma’ atau
Undang-Undang yang tetapkan oleh lembaga yang berwewenang (ulil
amri) seperti dalam hukum ta’zir.
Hukuman harus bersifat pribadi (perseorangan) ini, mengandung arti
bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang melakukan tindak pidana
dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah.
Hukuman harus bersifat umum, ini berarti hukuman harus berlaku bagi
setiap orang tanpa diskriminasi.
3. Pengulangan Jarimah
Dalam hal terjadi pengulangan jarimah dalam istilah hukum positif adalah
dikerjakannya suatu jarimah oleh seseorang , setelah ia melakukan jarimah lain
yang telah mendapatkan putasan terakhir. Pengulangan berbeda dengan gabungan
jarimah. Dalam gabungan jarimah, pelaku melakukan jarimah untuk kedua
kalinya atau ketiga kalinya, namun jarimah sebelumnya belum mendapat
keputusan terakhir.
Mengenai syarat-syarat kemungkinan adanya pengulangan jarimah, masih
diperselisihkan oleh para sarjana hukum positif. Tapi bila merujuk kepada hadis
Rasulullah saw yang brbunyi :
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Katanya : aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda. : Apa bila seseorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan perbuatan zina dan telah terbukti, maka hukumlah dia dengan cambukan rotan dan janganlah mamakinya. Jika ia mengulanginya lagi perbuatan zina itu, cambuk rotan;lah dia dan janganlah kamu memakinya. Dan jika dia mengulanginya lagi buat kali ketiganya dan terbukti, maka jauhlah dia walaupun dengan harga sehelai rambut.
Dalam hukum Pidana Islam, pengulangan jarimah sudah dikenal sejak
zaman Rasulullah SAW, misalnya dalam jarimah pencurian, Rasulullah saw telah
menjelaskan hukuman untuk pengulangan pencurian ini secara rinci
Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (kaki kiri), jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (tangan kiri), kemudian jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya (yang kana).18
Namun bila diperhatikan hadis tersebut tidak ada pemberatan atau
penambahan hukuman, melainkan menjelaskan saja urutannya sejak pencurian
yang pertama sampai yang keempat. Berhubungan dengan pengulangan
pelanggaran atau pengulangan Khalwat/Mesum atau jarimah ini, maka ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dan ‘uqubat maksimal sebagaimana ketentuannya
dalam Pasal 24 Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum yang
berbunyi : Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dan ‘uqubat maksimal. Ketentuan ‘uqubat ini dapat ditambah apa bila orang yang sama
melakukan pengulangan pelanggaran yang sama, maksud pengulangan
pelanggaran yaitu pelanggaran yang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2)
sebagaimana bunyinya :
(1). Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi9
(sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
(2). Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau paling banyak Rp. 15.000.000-(lima belas juta upiah), paling sedikit Rp. 5000.000-(lima juta rupiah).
Dalm hukum Pidana Islam, ada dua teori tentang bergandanya hukuman
dan sudah dikenal oleh para fuqaha :
1. Teori saling melengkapi (At-tadakhula)
Menurut teori ini, ketika tejadinya gabungan perbuatan maka
hukuman-hukamannya saling melengkapi (memasuki), sehingga oleh karena itu perbuatan
itu hanya dijatuhi satu hukuman saja.
2. Teori penyerapan (Al-jabb)
Menurut teori ini, menurut Syariat Islam,cukup menjatuhkan satu
hukuman saja sehingga hukuman-hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan.
Hukuman dalam konteks ini tidak lain adalah hukuman mati, dan para fuqaha
belum disepakati tentang teori ini.
4. Macam-Macam Hukuman
Hukuman hudud adalah hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah
hudud, ini ada tujuh macam yaitu : (1) zina, (2) qadzaf/penuduhan zina, (3)
minum minuman keras (syurbul khamr), (4) pencurian, (5)
hirabah/perampokan, (6) riddah/murtad dan (7) pemberontakan.
Hukuman qishash dan diat yaitu hukuman yang ditetapkan atas
jarimah-jarimah qishash dan diat.
Hukuman kifarat yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah
Hukuman ta’zir yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah
ta’zir19.
5. Tujuan Hukuman
Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam Syariat Islam
sebagi berikut :
a. Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar
ia tidak mengulanginya perbuatan jarimahnya.
b. Perbaikan dan pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku
jarimah agar ia menjadi orang yang baik zdan menyadari kesalahannya.20
Menurut filsafat tujuan hukuman itu rupa-rupa, tergantung dari sudut mana
soal itu ditinjaunya, misalnya :
a. Pujangga jerman E. Kant21 mengatakan, bahwa hukuman adalah suatu
pembalasan, berdasarkan atas pepatah kuno: siapa membunuh harus di
bunuh, pendapat ini biasa di sebut theorie pembalasan (vergeldings
theorie).
b. Pujangga ferbach antaranya berpendapat bahwa hukuman harus dapat
mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat. Theorie ini biasa di
sebut “ theorie mempertakutkan” (afchrikkings theorie).
c. Dan pujangga lain berpendapat, bahwa hukuman itu bermaksut untuk
memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan, theorie ini biasa disebut
“ theorie memperbaiki” ( verberterings theorie).
Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia pada dsarnya disyariatkan
tuhan untuk mengatur tata kehidupn mereka didunia, baik dalam masalah
keagamaan maupun dalam masalah kemasyarakatan. Tujuan disyariatkannya
ketentuan hukum tentang perzinaan adalah dalam
rangka-memelihara garis keturunan, lebih jelas sayid Sabiq22 menyatakan , bahwa
perzinaan itu dapat mengakibatkan :
Hancurnya garis keturunan dan putusnya hak waris, karena terlihat nasab
secara hukum.
Perzinaan akan mengakibatkan kehamilan, dan anak yang lahir itu akan
tesia-siakan pemeliharaannya.
Perzinaan hanyalah hubungan temporer, tidak sesuai dengan watak
kemanusian.
Perzinaan akan menimbulkan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh
berganti-gantinya pasangan.
Salah satu kepentingan hukum yang sangat fundamental adalah bahwa
hukum harus seragam dan tak memihak. Dalam pelaksanaan tak boleh adanya bau
prasangka atau pilih kasih atau tindakan sewenang-wenang atau tidak ketentuan.
Oleh karena itu dalam garis-garis basarnya dalam pelaksanaan hukum harus
22 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta, Raja Grafindo Persada
mengikuti “preseden”23. Dengan demikian pranata hukum merupakan norma-norma dalam memenuhi ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan
masyarakat24.
6. Pelaksanaan Hukuman Bagi Pelaku Jarimah
Dari segi pelaksanaan hukumannya, jarimah dalam Syariat Islam terbagi
tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat, jarimah ta’zir, tapi
disini kita hanya membahas masalah pelaksanaan hukuman jarimah ta’zir saja. Pelaksanaan hukuman pada hukuman ta’zir yang sudah diputuskan oleh
hakim,juga mejadi hak penguasa Negara atau petugas yang ditnjuk olehnya. Pada
dasarnya pelaksanaan hukuman untuk pelaku Khalwat/Mesum atau jarimah sama
dengan hukuman lainnya, yaitu merupakan hak penguasa Negara. Dalam Qanun
Nomor 14 tahun 2003 tentang pelaksanaan ‘uqubat, dilakukan berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku sebagaimana ketentuannya dalam Pasal
26,27,28,29 yang berbunyi :
Pasal 26 :
(1). ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditujuk oleh
jaksa Penuntut Umum.
(2). Dalam melaksakantugas sebangaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus beroendoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/ atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil.
Pasal 27 :
(1). Pelaksaan ‘qubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai
hukum tetap.
(2). Penundaan pelaksaan ‘uqubat hamya dapat dlakukan berdasarkan
penetapan dari Kepala Kejaksaan apabial terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.
23Soetikno, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal 87.
24Cik Hasan Bisri, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Raja Grafindo Persada 2004,
Pasal 28 :
(1). Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang disksikan oleh orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. (2). Pecambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,7 cm dan 1,00 cm, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/tidak dibelah.
(3). Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemajuan.
(4). Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.
(5). Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk daditutup kai diatasnya.
(6). Pencamukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahilkan.
Pasal : 29
(1). Apabila selama pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjukan, maka sisa cambukan dituda sampai waktu memungkinkan.
Berdasarkan ayat-ayat yang telah diuraikan diatas tentang pelaksanaan
‘uqubat terhadap pelaku jarimah, maka hal tersebut juga sangat jelas diterangkan
dalam Al-qr’an An-Anur 2 ; dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman25.
Dan pelaksanaan tentang ‘uqubat kurungan dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 30 Qanun Nomor 14 tahun 2003, tentang pelaksanaan
‘uqubat kurungan berbunyi : Pelaksanaan ‘uqubat kurungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-rundangan yang berlaku.
Tentang lamanya kurungan dalam Pasal 22 ayat (2) Qanun Nomor 14
tahun 2003, paling lama 6 (enam) bulan, dan paling singkat 2 (dua) bulan,
dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah), dan paling
sedikit Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). Dan ketentuan ini berbeda
dengan-ketentuan dalam Al-qur’an tentang lama kurungan bagi pelaku jarimah,
sebagaimana disebut dalam Surah An-Nisaa’ ayat 15 :
15. Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji [275], hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya26.
D. Penanggulangan Jarimah Menurut Hukum Islam
Menanggulangi kejahatan mencakup kegiatan mencegah sebelum
terjadi dan memperbaki pelaku yang dinyatakan bersalah dan dihukum
penjara atau lembaga pemasyarakatan27. Upaya membina dan mendidik
untuk memasyarakatkan kembali, pada hakekatnya bermasud untuk
pencegahan atau preventif, secara lebih umum upaya penanggulangan
kriminalitas dlakukan dengan apa yang dinamakan metode moralistick
dan metode abolisionistk.
26Zainuddin Ali, Lop Cit, hal 38
27Soedjono Dirdjosiswono, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya, Bandung,
1. Moralistik, yakni dilakukan dengan cara membina mental spiritual yang isa
dilakukan oleh para ulama, para pendidk dan lain-lain.
2. Abolisionistik, yakni penanggulangan bersifat konsepsional yang harus
direncanakan dengan dasar penelitian kriminologi, dan menggali dasar
sebab musababnya dari berbagai faktor yang berhbungan.
Cara yang umum konsepsional, dilakukan dengan memadukan berbagai
unsur yang berhubungan dengan mekanisme peradilan pidana serta partisipasi
masyarakat, yaitu metode yang diketengahkan oleh Reckles dalam The crime
problem, yang secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Peningkatan dan pemantapan aparatur penegak hukum, meliputi
pemantapan organisasi, personel dan sarana prasarana untuk penyelesaian
perkara pidana.
2. Perundang-rundangan yang dapat berfungsi mengkanalisir dan
membendung kejahatan dan mempunyai jangkauan kemasa depan.
3. Mekanisme peradilan pidana yang efektif dan memenuhi syarat cepat,
tepat, murah dan sederhana.
4. Koordinasi antar aparatur penegak hukum dan aparatur pemerintahan
yang lainnya yang berhubungan untuk meningkatkan daya guna dalam
penanggulangan kriminalitas.
5. Partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran penanggulangan
kriminalitas.
Dalam membangun masyarakat, Allah telah meletakkan rambu-rambu
manusia akan merasa aman terhadap jiwa, kehormatan, dan hartanya didalam
masyarakat muslim itu sendiri28. Berhubungan dengan kehatan jarimah
sebagaimana tersebut pada butir ke tiga uraian diatas, tentang peradilan, maka
semua kejahatan yang berhubungan dengan tindak pidana khalwat/mesum atau
jarimah maka Mahkamah Syar’iyah yang ada di Aceh baik di tingkat kabupaten atau kota maupun provinsi berkewajiban dan berwenang mengadili, memeriksa
serta memutuskan tentang hal pidana yang terjadi di Aceh, sebagaimana
ketentuannya dalam Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 tahun 2006, tetang Pemerintahan Aceh, yang berbunyi :
Pasal 128 ayat (3), Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal-ashsykshiyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata) dan
jinayah (hukum pidana) yang berdasarkan atas Syariat Islam.
Dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum, di jelaskan
bahwa dalam menanggulangi tindak Pidana Khalwat/Mesum, maka peran serta
larangan masyarakat dan pemerintah berkewajiban melakukanpembinaan, sebagai
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2), dalam peran serta masyarakat, dan Pasal
13 ayat (1) dan (2) tentang pengawasan dan pembinaan berbunyi :
Pasal 8 :
(1). Masyarakat berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan Khalwat/Mesum.
(2). Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan Khalwat/Mesum.
Pasal 13 :
(1). Gubernur, Bupati/Walikota, Imum mukim dan keuchik berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
28 Abdurrahman dan Abdussalam Hasan Washil, Gejolak sexk akibat dan Solusinya,
(2). Untuk melakukan penngawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Qanun ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah.
Untuk lebih lanjut dalam hal penanggulangan kejahatan pidana
khalwat/mesum atau jarimah adalah selain melakukan pembinaan, juga harus
dujatuhkan sanksi yang tegas bagi pelaku pidana, dan tujuan untuk menagulangi
kejahatan terserbut karena29:
1. Mengembalikan kawum Muslimin kepada pimpinan Al-qur’an dan hadist.
2. Menghidupkan ruh jihad dan ijtihat dalam kalangan ummat Islam.
3. Membasmi bid’ah khurgat dan takhayal, tahlid dan syirik dalam kalangan ummat Islam
4. Memperlus tersiarnya tablig dan dakwah kepada segenap lapisan
masyarakat.
5. Mendirikan madrasah/pesantren untuk mendidik putera/puteri muslim
dengan dasar Al-qur’an dan hadist.
Konsepsi yang rasional empiris, untuk menjawab, bagaimana kejahatan itu
dapat ditanggulangi secara efektif, juga merupakan suatu persoalan besar dan
rumit.Karena, apa bila rumusan “apa sebenarnya kejahatan”, masih subyektif dan
relatif. Para fuqaha30, membagi cara pemberantasan kemungkaran kepada tujuh
bagian yaitu :
1. Penjelasan, apabila seseorang melakukan sesuatu keburukan
(kemungkaran) sedang ia tidak mengetahui bahwa pebuatannya adalah
salah, cara yang baik untk mencegahnya yaitu dengan memberi penjelasan
kepadanya denga sikap yang halus dan lemah lembut, bahwa perbuatan itu
adalah perbuatan mungkar.
2. Memberi nasehat dan petunjuk, cara ini ditujukan kepada orang yang
memulai suatu perbuatan dan ia menyadari bahwa perbuatannya adalah
mungkar.
3. Menggunakan kekerasan, cara ini dilakukan apa bila jalan yang halus
dengan nasehat dan petunjuk tidak dapat teratasi, cara ini dilakukan pada
saat darurat, tapi harus dengan cara yang sopan, baik dan benar.
4. Mengadakan tindakan dengan tangan, ini tindakan yang langsung terhadap
barang dan jenis kemngkarannya, seperti merusak barang-barang yang
digunakan untuk melakukan maksiat.
5. Menggunakan ancaman pukulan dan pembunuhan, ini baru pada tahap
ancaman bukan tindakan, ancaman tersebut harus dapat diwujudkan bukan
ancaman tidak boleh diwujudkan, misalnya nant kamu saya dera atau saya
pukul tengkukmu.
6. Menggunakan pemukulan dan pembunuhan, ini digunakan pada saat
darurat dan digunakan secara bertahapsesuai dengan keperluan.
7. Meminta bantuan orang lain, ini apa bila dirinya sendiri tidak mampu
untuk memberantas kemungkaran dan ia memerlukan bantuan orang lain
dengan kekuatan dan senjatanya maka para fuqaha berbeda pendapat.
Sebagian para fuqaha meminta bantuan orang lain untuk memberantas
kemungkaran tidak dibolehkan31.
Disamping fenomena kejahatan sukar dirumuskan sehubungan dengan
sifat kriminalitas itu sendiri, maka dengan demikian sukar pula untuk menemukan
sebab-musabab kejahatan. Beberapa filsuf berkesimpulan bahwa nada moral dari
masyarakat telah menurun, dan belakangna ini perbuatan kriminalitas telah
dimulai sejak masa kanak-kanak dan pemuda-pemuda kita telah semakin
bertambah saja yang harus menghadap kepengadilan.
Dalam hal pelaksanaan ‘uqubat cambuk maka pelaksanaannya menjadi
tanggung jawab jaksa dan sebelum pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan atas
terhakum perlu diperhatikan tentang kesehatannya terlebih dahulu, sebagaimana
peraturannya dalam peraturan Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 10 tahun 2005, tentang teknis pelaksanaan ‘uqubat cambuk Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2), dan Pasal 5 ayat (1) berbuyi :
Pasal 2 :
Ayat (1), Pelaksanaan ‘uqubat cambuk adalah kewenangan dan tanggung
jawab jaksa.
Ayat (2), Dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab tersebut pada ayat (1) jaksa menunjuk pencambuk.
Pasal 5 :
Ayat (1), Sebelum pelaksanaan pencambukan terhukum terlebih dahulu diperiksa kesehatannya oleh dokter.
Dengan ketentuan sebagaimana tersebut ayat diatas, setelah pelaksanaan
pencambukan maka jaksa wajib membuat dan menandatangani berita acara sesuai
dengan apa yang telah dituangkankan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) tentang
Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 tahun 2005
sebagai berikut :
Ayat (1)
b. Dokter ikut menandatangani berita acara pelaksanaan pencambukan sebagai saksi.
c. Jaksa membawa terhukum keruangan yang telah disediakan untuk seterusnya dibebaskan dan/atau dikembalikan kepada keluarganya.
Ayat (3) Satu lembar salinan berita acara diserahkan kepada terhukum atau keluarganya sebagai bukti bahwa telah menjalani seluruh atau sebagian hukuman.
Berdasarkan uraian diatas, tentang penanggulangan Khalwat/Mesum atau
jarimah pada intinya adalah untuk mewujudkan pelaksanaan Syariat Islam yang
kaffah dengan sendi-sendi ajaran Islam sebagaimana Intruksi Gubernur Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 05/INSTR/2002, tentang tata
Pergaulan/Khalwat antara pria dan wanita dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, guna untuk melaksanakan penbinaan kehidupan beragama secara
intensif guna meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seta aklhak umat dalam
bentuk pelarangan terhadap setiap orang yang bukan mahramnya untuk
berdua-duaan (berkhalwat) pada tempat-tempat yang sunyi dan terhalang dari pandangan
umum. Dan mengintruksikan kepada pemilik tempat atau penanggung jawab
tempat-tempat rekreasi, panggung hiburan dan upacara-upacara bai keagamaan
ataupun lainnya yang dihadiri oleh massa pria dan wanita, harus menjaga tata
BAB III
TINDAK PIDANA KHALWAT/MESUM DAN PENYELESAIANNYA DI MAHKAMAH SYAR’IYAH KOTA BANDA ACEH
A. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Khalwat/Mesum
Berdasarkan hasil penelitian maka tindak Pidana Khalwat/Mesum
dapat dibedakan dalam beberapa jenis yaitu, ringan, sedang dan berat.
Jenis tindak pidana yang sifatnya berat diancam dengan hukuman dan
ketentuannya telah ditentukan oleh syara’, oleh karena itu Khalwat/Mesum
juga bertentangan dengan ajaran agama Islam dan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat dan perbuatan itu bertentangan pula dengan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Dengan demikian khalwat adalah
suatu perbuatan yang keji dan dapat menjerumuskan seseorang kepada
perzinaan, berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan dalam
wilayah hukum Kota Banda Aceh terdapat tiga jenis kasus khalwat yang
telah dilakukan oleh pelaku Khalwat/Mesum, sebagaimana keterangan dari
Marzuki32 selaku anggota wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh, untuk lebih
jelas maka kita dapat melihat pada tabel dibawah ini, tindak pidana
khalwat/mesum yang telah terjadi di Kota Banda Aceh mulai dari tahun
2006 samapai dengan tahun 2007 antara lain sebagai berikut :
32 Wawancara dengan marzuki. Petugas Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh, sebagai
Tabel 1
Jumlah Kasus Tindak Pidana Khalwat/Mesum yang telah dilimpahkan ke
Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh
No No
Perkara
Nama Terdakwa Jenis dan Jumlah Hukuman Tgl
Putusan
Sumber : Registrasi Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh
Dari tabel diatas jelaslah bahwa jumlah kasus Tindak Pidana Khalwat/Mesum yang di limpahkan ke Mahkamah Syar’iyah sanngat sedikit di
bandingkan jumlah kasus Khalwat/Mesum yang terjadi di Kota Banda Aceh, untuk lebih lanjut dapat dilihat pada tabel dua di bawah ini :
Tabel 2
Jumlah Kasus Tindak Pidana Khalwat/Mesum yang tidak/belum dilimpahkanke Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh
No Jenis Kasus Jumlah Kasus Tahun Keterangan
1 Khalwat/mesum Tindak Pidana
Dari tabel diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran dan
kejahatan terhadap pelaku Khalwat/Mesum yang sekarang terjadi di Kota Banda
Aceh mulai dari tahun 2006 samapi dengan tahun 2007 semakin bertambah, di
bandingkan pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 tidak terdapat satu pun
kasus pelanggaran terhadap pelaku Khalwat/Mesum. Akan tetapi dari hasil
penelitian menunjukkan kasus pelanggaran Khalwat/Mesum yang terjadi di Kota
Banda Aceh terdapat 590 (Lima ratus sebilan puluh) kasus Khalwat/Mesum yang
telah terdata di Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, dan hanya sebgian kecil
saja kasusnya yang telah dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah Kota Bada Aceh
dari tahun 2006 samapi dengan tahun 2007, pada tahun 2006 kasus pelanggaran
Khalwat/Mesum yang sudah dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah hanya satu kasus tindak Pidana Khalwat/Mesum yang telah diputuskan dan telah mempunyai
hukum tetap, sedangkan pelanggaran Khalwat/Mesum pada tahun tahun 2007
yang telah dillimpahakan ke Mahkamah Syar’iyah terdapat 4 (empat) kasus
Khalwat/Mesum, yang telah diputuskan oleh hakim Mahkamah Syar’iayah dan
telah terbukti dan mempunyai hukum tetap.
Sedangkan kasus-kasus lainnya berdasarkan keterangan dari Marzuki33
penyebab tidak dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah karena kasusnya sudah
diselesaikan secara hukum adat melalui perdamaian dan ada pula kasus-kasusnya
hanya diberi bimbingangan dan nasehat dari pihak Wilayatul Hisbah Kota Banda
Aceh setelah dibawa ke-kantor Dinas Syariat Islam. Keterangan dari Marzuki
33Wawancara dengan Marzuki. Petugas Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh. Pada tangal
diperkuat oleh keterangan Evendi34, bahwa banyak dari kasus tindak Pidana
Khalwat/Mesum tidak semuanya dilimpahkan ke-Mahkamah Syar’iyah karena
penyelesaainnya diselesai secara adat-istiadat dan di damaikan berdasarkan
permintaan atau tuntutan dari masyarakat untuk di selesaikan secara adat dan
hanya diberikan bimbingan dan dinasehati terhadap pelaku Khalwat/Mesum
karena banyak dari pelaku hanya tertangkap tangan pada saat berduan pada
tempat-tempat rekreasi dan tempat-tempat yang sepi tapi belum melakukan
hubungan intim sebagaimana selayaknya suami istri.
Adapun faktor terjadinya tindak pidana Khalwat/Mesum antara lain ada
beberapa faktor :
1. Faktor Hawa Nafsu
Keinginan untuk mencintai dan menyayangi seseorang adalah fitrah bagi
manusia. Untuk memenuhi fitrah tersebut, nikah merupakan satu-satunya
sarana yang dibolehkan dalam Syariat Islam, karena dengan menikah
segala bentuk hawa nafsu dapat disalurkan dengan baik tanpa melanggar
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat35. Bagi orang belum
menikah ada yang melampiaskan hawa nafsunya dengan cara berdua-duan
di tempat sunyi yang jauh dari pandangan orang lain.kasus khalwat/mesum
yang dilakukan oleh Syarul rizal bin Abdullah dengan Liza wahyuni binti
Mahmud. Pada tanggal 15 februari 2006 bertempat di gampong panteriek
kecamatan Lueng Bata Banda Aceh dalam Wilayah hukum Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh dengan maksud melampiaskan hawa nafsu 34 Wawancara dengan Evendi. Petugas Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh. Pada
tanggal23 April 2008
Syahrizal mengajak pacarnya Liza Wahyuni untuk jalan-jalan dan Liza
Wahyuni memenuhi permintaan Syahrizal tersebut, sehabis pulang
jalan-jalan Syahrizal mengantar Liza Wahyuni kerumahnya dan Syahrizal pada
saat itu belum pulang karena masih ingin menemani Liza Wahyuni yang
hanya tinggal sendirian di rumah tersebut. Pada pikul 23.30 Wib, Syahrul
rizal mengajak Liza Wahyuni melakukan perbuatan mesum. Terpengaruh
akan rayuan Liza Wahyuni memenuhi keinginan nafsunya itu, sekitar
pukul 24.40 Wib, masyarakat setempat menangkap para terdakwa yang
sejak semula telah curiga kepada mereka. Berdasarkan hasil wawancara
dengan Syahrul Rizal di peroleh keterangan bahwa ia melakukan
perbuatan Khalwat/Mesum tersebut untuk melampiaskan hawa nafsunya
yang terus berjolak.
2. Faktor Kurangnya Iman Dan Kurangnya Rasa Malu
Menurut Radja Radan36, penerapan Syariat Islam yang sekarang sedang di
galakkan di Banda Aceh tidak sepenuhnya dijalankan karena banyak dari
pemuda-pemudi yang sekarang tidak malu lagi dalam melakukan
perbuatan maksiat dan semakin bertambah pergaulan bebas antara laki-laki
dan perempuan tanpa batas yang bukan mahramnya dan kurangnya iman
yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia dapat terjerumus kedalam
kemaksiatan. Kasus Khalwat/Mesum yang dilakukan oleh Marzuki37 bin
M. Rayeuk, berstatus sudah nikah, dengan Marsini binti Abdullah yang
berstatus janda pada hari kamis tanggal 15 Maret 2007 bertempat di
36Wawancara dengan Radja Radan mewakili kepala Dinas Syariat IslamKota Banda Aceh
selaku Kasubdin Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh pada tanggal 21 April 2008
gampong Ilie Kecamatan Ulee Kareng. Dengan maksud hendak
melakukan perbuatan Khalwat/Mesum, terdakwa Marzuki mendatangi
terdakwa Marsini di tempat tinggalnya gampong Ilie. Dan mengajak
Marsini ke kandang sapi untuk melakukan perbuatan mesum yang tak jauh
dari rumah Marsini, perbuatan mereka di curigai oleh seorang warga yang
sedang menuju ke kandang sapi, dan kejadian tersebut segera dilaporkan
kepada perangkat gampong, dan saat itu pula warga mendatangi ke
kandang sapi tersebut dan mendapati terdakwa dalam busana kurang
lengkap. Dan para warga meneyerahkan terdakwa kepada petugas
Wilayatul Hisbah. Menurut keterangan terdakwa di persidangan, perbuatan
tersebut dilakukan karena atas dasar suka sama suka ingin melampiaskan
hawa nafsunya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Marzuki bin M.
Rayeuk di peroleh keterangan bahwa ia melakukan perbuatan mesum
karena dirinya sering ribut-ribut dengan istrinya, sehingga ia mencari
wanita lain yang dapat di berinya kasih sayang. Sedang menurut Marsini
binti Abdullah dirinya melakukan perbuatan tersebut karena tidak
mendapat lagi kasih sayang semenjak bercerai dengan suaminya.
3. Faktor Kurangnya Perhatian Orang Tua Terhadap Anak
Dalam hal ini, kurangnya perhatian orang tua atau keluarga terhadap
pergaulan anak sangat besar pengaruhnya karena banyak dari
pemuda-pemudi pada zaman sekarang bebas melakukan pergaulan antara satu sama
lain baik laki-laki maupun perempuan, salah satu sebab banyak
ada teguran dari orang tua/keluarga, sebagaimana Radja Radan38
menngatakan bahwa di Kota Banda Aceh banyak terjadi Khalwat/Mesum
karena ada peluang bagi pemuda-pemudi untuk berkumpul secara
bersama-sama, bahkan orang tua memberi peluang kepada anaknya untuk
melakukan Khalwat/Mesum. Kasus Khalwat/Mesum yang dilakukan oleh
M. Zaini bin Hasbi dengan Nurazizah binti Hanafiah, yang bertempat di
Gampong Blang Cut Kecamatan Lueng Bata Banda Aceh pada tanggal 21
Maret 2006, pada pukul 22.00 Wib, warga setempat mendapati kedua
terdakwa berada di dalam satu kamar sedang duduk berduan, setelah
mereka di nikahkan, warga menyerahkan terdakwa kepada petugas
Wilayatul Hisbah. Berdasarkan hasil wawancara dengan M. Zaini bin
Hasbi mereka melakukan Khalwat/Mesum karena mereka sudah lama
pacaran39.
Pada intinya Marzuki40 dan Evendi41, mengatakan bahwa banyak dari
kasus yang tidak di proses secara hukum karena kendalanya petugas Wilayatul
Hisbah adalah kesempitan para saksi, akan tetapi sejauh penerapan hukum Syariat
Islam yang sekarang diterapkan di Aceh sudah hampir berjalan dengan efektif dan
berjalan dengan baik, akan tetapi selain kekurangan para saksi yang sangat
menjadi kendala dalam pelaksanaan Syariat Islam yang sekarang dilaksanakan
adalah para petugas Wilayatul Hisbah kekurangan dalam personilnya, yang pada
38Wawancara dengan Radja Radan mewakili ketua Dinas Syariat Islam selaku Kasubdin
Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh pada tanggal 21 april 2008
39
Wawancara dengan M. Zaini, pelaku Khalwat/Mesum pada tanggal 16 Mei 2008
40Wawancara dengan Marzuki, Petugas WH, Kotan Banda Aceh pada tanggal 21 April
2008
41 Wawancara dengan Evendi, Petugas WH, Kota Banda Aceh pada tanggal 23 April
waktu melakukan ronda keliling setiap saat harus meminta bantuan dari aparat
kepolisian dan satpol Kota Banda Aceh.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebab tidak semuanya
tindak Pidana Khalwat/Mesum tidak dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah karena
ada beberapa sebab, sebagaimana Marzuki mengatakan bahwa jenis tindak Pidana
Khalwat/Mesum yang terjadi di Kota Banda Aceh ada beberapa jenis :
1. Jenis tindak Pidana Khalwat/Mesum yang sifatnya ringan.
2. Jenis tindak Pidana Khalwat/Mesum yang sifatnya sedang.
3. Jenis tindak pidana Khalwat/Mesum yang sifatnya berat.
Ad 1. Jenis tindak Pidana Khalwat/Mesum yang sifatnya ringan
Kalau terjadi dan tertangkap tangan pada Khalwat/Mesum yang sifatnya
ringan ini, maka proses hukumnya tidak dilimpahkan kepada Mahkamah
Syar’iyah akan tetapi cukup diberikan bimbingan, dinasehati dan diberikan peringatan oleh petugas Wilayatul Hisbah ditempat kejadian atau dibawa
ke-kantor Dinas Syariat Islam untuk dinasehati dan diberikan bimbinmgan bahwa
perbuatannya bertentangan dengan ajaran agama Islam dan dapat merusak moral
dan nilai-nilai ajaran Islam. Contoh yang sifatnya khalwat ringan adalah
berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan di tempat-tempat yang sepi dan jauh dari
pandangan umum misalnya ditepi pantai yang jauh dari keramiaan orang42.
Ad 2. Jenis tindak Pidana Khalwat/Mesum yang sifatnya sedang
Jenis tindak Pidana yang sifatnya sedang ini, adalah perbuatan antara dua
orang mukallaf yang bukan mahramnya atau suami istri yang sah menurut agama