• Tidak ada hasil yang ditemukan

MALL DAN MARGINALISASI PASAR TRADISIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MALL DAN MARGINALISASI PASAR TRADISIONAL"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

1 MALL DAN MARGINALISASI PASAR TRADISIONAL*

Yusa’ Farchan1

Untuk Referensi/ Daftar Pustaka

Farchan, Yusa’, 2012. Mall dan Marginalisasi Pasar Tradisional, Jakarta, Tabloid Senayan

Menjamurnya pusat perbelanjaan modern seperti Mall dalam prakteknya sering

menimbulkan paradoks tersendiri dalam kehidupan sosial masyarakat. Di satu sisi, mall

menjadi prasyarat peradaban kota modern, tetapi di sisi lain, keberadaan mall justru

menggerus eksistensi pasar tradisional.

Membanjirnya Mall cenderung mengurangi peran pasar tradisional yang selama ini

menjadi penggerak ekonomi rakyat. Pasar tradisional dibiarkan bertarung dalam arena pasar

terbuka yang menyebabkan pusat perdagangan rakyat itu semakin termarginalkan. Dengan

berdirinya mall, keuntungan para pedagang pasar tradisional semakin menurun karena

terabsorbsi oleh aktivitas Mall. Penurunan keuntungan tersebut lambat laun akan mengurangi

omzet penjualan dan mematikan pedagang tradisional.

Studi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (2011) menemukan bahwa ritel

tradisional di Yogyakarta mengalami penurunan rata-rata sebesar 5,9%. Yang mengenaskan,

penurunan terbesar justru terjadi pada peritel dengan modal kecil. Di Jakarta, delapan pusat

pasar tradisional setidaknya telah gulung tikar sejak pusat perbelanjaan modern beroperasi.

Pada akhir 2004, jumlah minimarket (Indomaret dan Alfamart) di DKI hanya 400-an unit,

sementara kini jumlahnya mencapai 2000 unit. Bahkan, akhir-akhir ini bermunculan pemain

baru di ritel modern seperti 7 Eleven. Di Bandung, dari 37 pasar tradisional yang ada, hanya

dua pasar yang tingkat huniannya di atas 75%. Berdasarkan hasil survey, sepanjang tahun

2009, jumlah pertumbuhan mall di kota Bandung mencapai sekitar 31,4% .

Di tingkat nasional, 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan

omzet Rp 70,5 trilyun. Bahkan, porsi terbesar keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh 10

ritel modern inti seperti Indomart dan Alfamart, Supermarket Hero, Superindo, Foodmart,

Yogya, Ramayana, hypermart Carrefour, Giant, Lotte Mart, dan Indogrosir (2009). Jika

dibiarkan, kondisi ini akan mengarah pada praktik monopoli atau oligopoli, yang

(2)

2 bertentangan dengan semangat UU No. 5 tahun 1999 mengenai Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Saat ini, keberadaan pasar tradisional memang semakin terdesak. Dengan berdirinya

satu peritel modern (hypermarket, supermarket, dan minimarket) di lokasi yang tidak tepat,

maka 3-4 pasar tradisional akan mati dengan sendirinya. Yang perlu diwaspadai adalah tren

perkembangan pusat perbelanjaan modern yang semakin lama semakin agresif menggeser

keberadaan pasar tradisional.

Konsumerisme Akut

Saat ini, mall memang telah menjelma menjadi ruang publik artifisial yang bercorak

ekslusif sekaligus representasi fisik dari berbagai paradoks kehidupan sosial-ekonomi

masyarakat. Mall tidak lagi sekedar tempat untuk transaksi barang dan jasa, tetapi juga sebagai “citra cermin” (mirror image); citra diri (self image); life style; dan tempat setiap orang mencari identitasnya.

Kehadiran mall dan variannya (supermarket, minimarket, toserba dan warung serba

ada) sesungguhnya juga bersinggungan dengan penetrasi ideologi, yakni “pelembagaan

gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh kelompok-kelompok masyarakat

tertentu”. Sebagaimana dijelaskan Drucker (1979), ideologi di balik mall adalah

konsumerisme yang merupakan ideologi atau budaya dominan pada masyarakat kapitalis atau

pasca kapitalis. Menurut Story (2007), ideologi konsumerisme memberikan sugesti bahwa

makna kehidupan adalah pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita

hasilkan”.

Dalam perspektif post-modernisme, membanjirnya mall membuat manusia hidup

dalam ruang yang oleh Jameson disebut sebagai “global hyperspace”; ruang yang tampak

penuh dengan jebakan dan perangkap yang menggoda, menggiurkan dan sekaligus juga

mengkhawatirkan. Masyarakat konsumer disebut Jean Braudillard dengan masyarakat

kapitalis mutakhir (Jean Braudillard, 2005) atau oleh Adorno disebut sebagai “masyarakat

komoditas” (commodity society). Salah satu aksioma Adorno yang patut dicatat adalah bahwa dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang

massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan operasi pasar bebas demi

keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi.

Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi

Dari berbagai sudut pandang, keberadaan Mall sekalipun membawa dampak positif

(3)

3 menimbulkan ekses negatif yang tidak bisa dianggap enteng. Berbagai dampak negatif mall

antara lain; pertama, mall cenderung mematikan pedagang ritel kelas kecil atau menengah

karena tidak mampu bersaing dengan pedagang ritel kelas besar. Ketersediaan modal

(capital) berulangkali menjadi hambatan pedagang kecil untuk mampu bersaing dengan

pedagang besar. Kedua, keberadaan Mall sesungguhnya semakin menyuburkan nalar

konsumerisme karena masyarakat cenderung “dimanjakan” dengan berbagai kemudahan dan fasilitas berbelanja yang mudah dan nyaman. Berbagai fasilitas kredit atau potongan harga

(diskon) semakin menjadikan konsumen berperilaku konsumtif. Berbelanja ke Mall pada

akhirnya menjadi tuntutan gaya hidup (lifestyle) masyarakat modern. Padahal tanpa disadari,

nalar konsumerisme akan terus menggelayuti alam bawah sadar masyarakat untuk terus

berbelanja secara konsumtif tanpa memikirkan potensi terjadinya kesenjangan dan jarak

sosial yang terjadi di masyarakat.

Ketiga, kehadiran Mall cenderung mematikan pasar tradisional yang sudah ada di

sekitar lokasi pusat perbelanjaan tersebut. Perbedaan fasilitas dan insfrastruktur yang ada,

menyebabkan Mall lebih diminati masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, pasar

tradisional jelas terancam keberadaannya bahkan bisa gulung tikar. Keempat, keberadaan

Mall semakin mengurangi ruang-ruang terbuka hijau sebagai ruang publik yang natural dan

pro lingkungan. Keberadaan Mall juga berpotensi menimbulkan kemacetan karena menjadi

sentrum lalu lintas kendaraan.

Sinergitas Kemitraan dengan UMKM

Untuk mengurangi determinasi dan praktek monopoli perdagangan oleh mall, perlu

dibangun sebuah kemitraan yang sinergis dengan para pelaku UMKM dan pedagang pasar

tradisional. Pola kemitraan yang dibangun dapat berbentuk kerjasama usaha disertai dengan

pembinaan dan pengembangan yang saling menguntungkan.

Dalam Permendag No. 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan

Pasar Tradisional telah diatur mengenai kerjasama perdagangan atau kemitraan antara

UMKM dengan pusat perbelanjaan. Kemitraan yang dimaksud dalam konteks ini adalah

kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan besar disertai dengan

pembinaan dan pengembangan dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling

memperkuat dan saling menguntungkan.

Kemitraan dengan pola perdagangan umum pada dasarnya dapat dilakukan dalam

bentuk; kerjasama pemasaran, kerjasama komersial dan kerjasama dalam penerimaan

(4)

4

barang produksi UMKM yang dikemas atau dikemas ulang (repackaging) dengan merek

pemilik barang, toko modern atau merek lain yang disepakati dalam rangka meningkatkan

nilai jual barang; dan memasarkan produk hasil UMKM melalui etalase atau outlet dari Toko

Modern.

Sementara itu, kerjasama komersial dapat dilakukan dalam bentuk penyediaan lokasi

atau tempat usaha dan kerjasama pembiayaan atau modal usaha. Adapun kerjasama dalam

penerimaan pasokan barang, dapat dilakukan dalam bentuk penerimaan pasokan barang dari

supplier yang dilaksanakan dalam prinsip saling menguntungkan, jelas, wajar, berkeadilan

dan transparan.

Dalam Permendag tersebut memang diatur bahwa pola kemitraan antara pusat

perbelanjaan modern dengan UMKM didasarkan pada pemenuhan aspek quality, cost, and

delivery (QCD) sebagaimana disyaratkan oleh peritel modern. Namun demikian, seringkali

UMKM binaan yang ikut dalam program kemitraan tersebut kesulitan dalam memenuhi

kriteria QCD. Keterbatasan modal, sumber daya dan informasi merupakan faktor utama yang

memicu kesulitan tersebut.

Penerapan kualitas, harga, dan pengiriman produk memang sangat diperhatikan oleh

perusahaan skala besar (ritel modern) untuk menjaga brand image yang telah dibangun

selama bertahun-tahun. Tetapi, UMKM tentu tidak akan mampu berjalan sendiri untuk dapat

menerapkan QCD tersebut, tanpa adanya binaan dari peritel modern.

Untuk mengatasi keterbatasan modal, pihak perbankan juga perlu dilibatkan untuk

mengakses pembiayaan dalam rangka mendorong pola kemitraan yang sinergis antara ritel

modern dengan UMKM. Dengan demikian, produk UMKM yang masuk ke ritel modern bisa

meningkat setiap tahunnya.

Pendirian pusat perbelanjaan modern juga harus mempertimbangkan jarak dengan

pasar tradisional yang sudah ada sebagaimana diatur dalam Permendag No. 53 Tahun 2008.

Namun demikian, tidak jarang kita temukan sebuah mall yang lokasinya sangat berdekatan

dengan pasar tradisional. Kondisi ini jelas akan menggerus keberadaan pasar tradisional.

Oleh karena itulah, gerak ritel modern harus dibatasi agar pusat perbelanjaan tersebut tidak

semena-mena terutama dalam melakukan banting harga sehingga mematikan pasar

tradisional. Pembatasan ruang gerak ritel modern dan pemberian sanksi yang tegas terhadap

mall yang melanggar aturan zonasi, setidaknya akan memperkuat daya imunitas pasar

tradisional terhadap gempuran pusat perbelanjaan modern. Semoga!

Referensi

Dokumen terkait

Jawaban sementara dari penulis, yaitu Pasar Ritel Modern (Supermarket) memiliki dampak yang cukup besar terhadap pasar dan pedagang ritel tradisional di Wilayah Kota

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun

3 Tahun 2010 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (Studi Kasus Indomart) yang terjadi di Kabupaten Banyumas, serta

Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan,

Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon nomor 7 tahun 2014 tentang penataan, pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern belum berjalan

Keberadaan pasar tradisional dengan semakin berkembangnya pasar modern Tidak berpengaruh secara keseluruhan karena memiliki konsumen sendiri, namun pasar tradisional selalu

1 Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah kabupaten Tegal Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern mendefinisikan

Izin Usaha Pengelola Pasar Tradisional selanjutnya disebut IUP2T,Izin Usaha Pusat Perbelanjaan selanjutnya disebut IUPP dan Izin Usaha Toko Modern selanjutnya