• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOLUSI HUKUM DAN MEKANISME PENGADAAN TAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SOLUSI HUKUM DAN MEKANISME PENGADAAN TAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

SOLUSI HUKUM DAN MEKANISME

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN

PEMBANGUNAN BAGI MASYARAKAT

BERPENGHASILAN RENDAH

Yusrianto Kadir

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pembukaan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUDNRI Tahun 1945), Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa

Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan yang dimaksud adalah penyelenggaraan

perumahan. Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan

dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Salah

satu upaya untuk menjalankan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ini,

dibuatlah Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

Pemukiman (UU PKP 2011)1 yang menggantikan Undang-undang No. 4 Tahun 1992

yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan perumahan dan

permukiman yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,

dan teratur.

Negara bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan

perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan

kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan

1

(2)

perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata

ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian

lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan

keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.2

Dalam penyelenggaraan perumahan rakyat, pemerintah selain bertindak sebagai

regulator dan fasilitator, juga sebagai operator. Sebagai regulator, pemerintah

mengeluarkan berbagai macam peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan

perumahan rakyat. Salah satunya adalah UU PKP Tahun 2011. Dari UU PKP Tahun

2011 ini muncul perintah membentuk perundang- undangan lainnya sebagai

peraturan pelakasana, mulai dari pembentukan undang- undang, Peraturan

Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), sampai pada Peraturan Daerah

(Perda). Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan perumahan rakyat tidak

hanya domain pemerintah pusat melainkan juga pemerintah daerah (Provinsi dan

Kab/Kota). Sebagai fasilitator, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan dan

permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR dan memfasilitasi pelaksanaan

kebijakan dan strategi pada tingkat nasional (Pasal 13 huruf g dan h UU PKP Tahun

2011). Sebagai operator, pemerintah menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan

koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional penyediaan rumah dan pengembangan

lingkungan hunian dan kawasan permukiman dan mengalokasikan dana dan/atau

biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR (Pasal 13

huruf e dan f UU PKP Tahun 2011).

Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki

oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan

bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Adanya

pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang kurang memperhatikan

keseimbangan bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan

kesulitan masyarakat untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau.

Untuk mempercepat peningkatan kualitas kehidupan dan penyediaan

permukiman yang layak terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan

menengah bawah di kawasan perkotaan, perlu dilakukan percepatan pembangunan

rumah susun scderhana sebagairnana diamanatkan dalarn Keputusan Presiden

Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah

2

(3)

Susun di Kawasan Perkotaan. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan

perumahan banyak menemui kendala dan hambatan. Berikut ini beberapa masalah

yang muncul terkait dengan penyelenggaraan perumahan bagi rakyat:

1. Adanya ketidaksesuaian kebijakan pemerintah pusat dan daerah mengenai

penyelenggaraan perumahan rakyat yang berakibat membingungkan

pengembang.

2. Belum adanya kewajiban bagi pengembang untuk memberi subsidi dalam

pembangunan rumah susun untuk MBR tanpa harus merugi.

3. Rusunawa dan rumah khusus yang dibangun oleh pemerintah masih banyak

yang belum terhuni.

4. Konsep tanah bersama yang ada dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang

Rumah Susun yang tidak sesuai dengan sistem hukum pertanahan di

Indonesia yaitu asas pemisahan horisontal.

5. Program Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan

(KPR-FLPP) yang hanya diperuntukan bagi pengembang perumahan yang

membangun rumah dengan tipe 36 seperti yang tercantum dalam Pasal 22

Ayat (3) UU PKP Tahun 2011.

Masalah krusial lain yang dihadapi pemerintah dalam pembangunan

perumahan dan kawasan pemukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah

adalah proses pengadaan dan pembebesan lahan, oleh karena itu setidaknya ada

tiga aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah untuk

infrastruktur.

1. Prinsip Keseimbangan

Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ditegaskan bahwa tanah wajib tersedia

bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2012

mengatur bahwa pemerintah menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum.

Tak hanya itu, pendanaannya pun dijamin oleh pemerintah, baik di tingkat pusat

maupun daerah.

“UU No. 12 Tahun 2012 menganut prinsip keseimbangan. Penyelenggaraan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan

antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Tetapi mungkin,

kurang tersosialisasikan bahwa masyarakat juga memiliki kewajiban untuk

(4)

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2012

mengamanatkan kepada pihak yang memiliki hak atas tanah wajib melepaskan

tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Hanya saja, ia menjelaskan bahwa pelepasan hak itu tidak serta merta. Setidaknya

harus ada pemberian ganti kerugian atau putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Keterlibatan Masyarakat

Ada empat tahapan yang harus dilalui dalam proses pembebasan lahan untuk

infrastruktur. Pertama, pihak perencana proyek harus secara rinci memberikan data

lokasi yang akan digunakan kepada Pemerintah Provinsi. Kedua, melakukan

konsultasi publik. Ketiga, penetapan lokasi. Keempat, Kementerian ATR/BPN

melakukan pengadaan tanah yang dilakukan dengan melakukan penilaian,

musyawarah hingga pelepasan.

Dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pengadaan tanah

dari tahap perencanaan sampai dengan tahap penyerahan hasil, keterlibatan

masyarakat menjadi unsur yang penting. Dalam tahap persiapan pengadaan tanah,

hasil konsultasi publik menentukan apakah lokasi yang direncanakan bisa

dieksekusi atau instansi harus menentukan lokasi lain.

“Kalau ada keberatan dari konsultasi publik yang dilakukan, harus ada

konsultasi publik ulang. Kalau kemudian ada gugatan, jika dikabulkan pengadilan

maka pengadaan tanah tidak bisa dilakukan di lokasi itu,” tambahnya.

3. Pemberian Ganti Rugi

Pasal 9 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 menjamin bahwa pengadaan tanah

untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak

dan adil. Menurut Aslan, ganti kerugian adalah pemberian konpensasi yang

sepadan, bahkan lebih maju agar bekas pemilik bisa memiliki kehidupan yang lebih

baik. Sehingga, menurutnya wajar jika konpensasi yang diterima oleh bekas pemilik

tidak hanya sebatas harga pasar tanah yang dimilikinya.

“Dibalik kewenangan pemerintah untuk mebebaskan areal bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum terkandung kewajiban untuk membuat

kehidupan yang lebih baik bagi bekas pemegang haknya seperti diatur Pasal 1

angka 1 Pepres No. 36 Tahun 2005 jo. Pasal 1 angka 3 Pepres No. 65 Tahun 2006,”

(5)

Namun, sering kali dalam proses negosiasi antara panitia pengadaan lahan

dengan masyarakat tak tercapai kesepakatan. Ia mengatakan, untuk mengantisipasi

masalah yang bisa menghambat pelaksanaan pembangunan dapat ditempuh upaya

konsinyasi. Konsinyasi atau ganti kerugian dari pemerintah yang dititipkan ke

pengadilan negeri setempat, diatur di dalam Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012.

“Konsinyasi berlaku bagi warga yang menolak ganti kerugian sesuai hasil

musyawarah. Konsinyasi tidak berarti merampas hak atas tanah. Jadi,

membutuhkan pendekatan lebih lanjut dari panitia agar tidak menjadi kendala,”

B. Permasalahan

Sebagaimana dijelaskan pada uraian latar belakang diatas, dapat diidentifikasi

permasalahan pengadaan dan pembebasan lahan dalam pembangunan perumahan

dan kawasan pemukiman adalah bagaimanakah solusi hukum dan mekanisme

pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan hunian bagi masyarakat

berpenghasilan rendah.

C. Kondisi Existing

Strategi dan Arah Kebijakan RPJMD Kabupaten Gorontalo Tahun 2016 – 2021

Berdasarkan Misi 3 yaitu Mengoptimalkan Sumber Daya Alam Menuju Kemandirian.

Pada salah satu tujuan di misi ke tiga ini menginstruksikan Kuatnya Daya Dukung

Infrastruktur Wilayah dimana arah sasarannya mencakup Ketercapaian perumahan

dan sanitasi yang baik dengan tujuan Meningkatkan kualitas prasarana dan sarana

dasar perumahan dan permukiman.

Tujuan, sararan, dan target pencapaian ini menghasilkan arah kebijakan yakni:

Penurunan Jumlah Lokasi Pemukiman Kumuh, Peningkatan cakupan rumah layak

huni, dan Peningkatan cakupan Rumah Tangga dengan sanitasi yang layak. Lebih

jelasnya kondisi existing dan target pencapaiannya terkait pencapaian RPJMD

Kabupaten Gorontalo Tahun 2016-2021 dapat dilihat pada table dibawah ini:

Strategi Kebijakan Umum Indikator Satuan

(6)

Apabila dilihat pada table diatas sisa masa kepemimpinan saat ini telah

memasuki tahun ke dua yang sebentar lagi masuk pada tahun ke tiga, namun

pencapaian kinerja terkait pembangunan perumahan dan kawasan pembangunan

bagi masyarakat berpenghasilan rendah harus mencapai target sebagaimana

tertuang pada table diatas. Pada kondisi ini dukungan regulasi dan kebijakan

pengadaan tanah dan tata ruang dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap

(7)

Induk-BAB II

TINJAUAN KEBIJAKAN STRATEGIS PEMERINTAH

A. Isu Strategis

Perumusan strategi dan arah kebijakan pembangunan Kabupaten Gorontalo

patut memperhatikan Rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPJMD

2016-2021. Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa pemanfaatan dan

pengendalian pembangunan di berbagai sektor berjalan sinergis, berkesinambungan

dan pro-lingkungan. Dalam konteks ini strategi dan arah kebijakan pembangungan

baik yang bersifat sektoral maupun wilayah didasarkan pada daya dukung dan daya

tampung lingkungan, sembari menjaga tekanan-tekanan eksternalitas maupun

internal yang mempengaruhi perkembangan wilayah Kabupaten Gorontalo.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang disusun bersamaan dengan

RPJMD dimaksudkan agar proses pembangunan di Kabupaten Gorontalo tidak lagi

mengabaikan kepentingan ekologi dan sosial, sebagaimana terjadi pada era

sebelumnya. Saat ini, permasalahan lingkungan semakinkompleks seiring

meningkatnya berbagai tuntutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat baik pada

arah lokal, nasional, bahkan global. Terjadinya perubahan iklim (climate change)

yang menyebabkan banjir, kekeringan, pencemaran udara dan air serta bencana

lainnya adalah bukti nyata ulah tangan-tangan penyelenggara pembangunan yang

mengabaikan analisa daya dukung dan tamping lingkungan hidup.

KLHS RPJMD 2016-2021 Kabupaten Gorontalo menggambarkan: (a) hasil

kajian dan analisis mengenai potensi dampak rancangan RPJMD terhadap isu

strategis (bencana alam, kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan,

kesenjangan sosial ekonomi antar wilayah, lunturnya nilai-nilai budaya dan konflik

sosial).; dan (b) identifikasi dan rumusan langkah-langkah mitigasi dan alternatif

untuk meminimalkan dampak/risiko terhadap kondisi lingkungan dan menjamin

terwujudnya pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang. Berdasarkan

kedua aspek tersebut, catatan rekomendasi KLHS untuk Pemerintah Kabupaten

Gorontalo dalam merumuskan strategi dan arah kebijakan RPJMD adalah sebagai

berikut:

1. Strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah agar dapat mewujudkan

(8)

peningkatan intensitas kegiatan penghijauan, rehabilitasi hutan dan lahan

pada wilayah-wilayah sempadan sungai dan sumber-sumber mata air

2. Strategi pembangunan mempertimbangkan secara mendalam terkait

factor-faktor topografi dan resiko bencana baik dalam hal perencanaan maupun

pelaksanaan pembangunan

3. Arah kebijakan pembangunan diharapkan dapat mendorong intensitas sistem

kebun campuran atau wana tani (agroforestry system) pada lahan-lahan kritis.

4. Arah kebijakan pembangunan juga harus memasukan sistem pertanian

konservasi sebagai usaha dalam mewujudkan pembangunan pertanian

berkelanjutan

5. Arah kebijakan pembangunan dapat diarahkan pada penegasan batas

kawasan hutan kepada masyarakat yang tinggal disekitar dan didalam

kawasan hutan

6. Arah kebijakan pembangunan memasukan upaya-upaya pembangunan basis

data geospasial Kabupaten Gorontalo sebagai dasar pengambilan keputusan

strategis berikut publikasinya sebagai bagian dari kebijakan nasional

One-Map Policy

7. Arah kebijakan pembangunan memasukan aspek pentingnya penegakan

hukum bagi masyarakat dan pihak swasta yang melakukan pelanggaran

terhadap peraturan lingkungan hidup

8. Arah kebijakan mengakomodir aspek sosial budaya dalam rencana

pengembangan kawasan strategis.

9. Arah kebijakan mengakomodir upaya-upaya mendorong sistem payment

environmental service bagi pihak-pihak yang memanfaatkan jasa lingkungan

dari alam

B. Program Prioritas

Fokus program prioritas ini diarahkan pada pemenuhan infrastruktur wilayah

seperti jalan, jembatan, irigasi, dan pemukiman dan perumahan, sanitasi dan air

bersih, pasar dan pusat-pusat perdagangan. Intervensi pembangunan infrastruktur

berdasarkan pola ruang di Kabupaten Gorontalo diarahkan pada interkoneksitas

wilayah sebagai pusat perdagangan, pertanian, peternakan, perikanan,

perhubungan dan madinatul ilmi serta pemerintahan dalam satu jaringan yang saling

(9)

relokasi rumah sakit Umum Daerah ke Kecamatan Limboto Barat, optimalisasi

kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kecamatan Limboto Barat,

Pembangunan Rumah Sakit Pratama di Kecamatan Boliyohuto, pembangunan

Pelabuhan Laut di Kecamatan Bilato, pembangunan akses jalan yang

mengkoneksikan Pelabuhan Laut Bilato dengan kecamatan-kecamatan di

Kabupaten Gorontalo. Disamping itu, pembangunan jalan underground menuju

(10)

BAB III

HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

A. Substansi Hukum Pentagunaan Tanah

Pengembangan dan perencanaan di suatu wilayah selalu memerlukan tanah

sebagai posisi pembangunan hal-hal tertentu. Supaya dapat menggunakan tanah

secara efisien, harus dipahami dasar-dasar dari pembangunan dan perencanaan

wilayah itu.

Pasal 14 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa pemerintah membuat suatu

rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan

ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Kewenangan negara untuk menguasai tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2)

UUPA memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan Bangsa

Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi :

a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang

angkasa.

Atas dasar kewenangan tersebut, maka ke dalam, negara dapat melakukan :

a) Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan

penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis, dan

sosial ( Pasal 14 ayat (1) UUPA ), sedangkan pemerintah daerah juga harus

membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat ( Pasal

14 ayat (2) UUPA ).

b) Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang dapat

diberikan dan dipunyai oleh perorangan ( baik sendiri maupun bersama-sama

) atau badan hukum ( Pasal 4 UUPA ). Hal ini berarti bahwa bagi perorangan

atau badan hukum tertentu dimungkinkan mempunyai hak milik privat atas

(11)

c) Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan

tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki atau

dikuasai perorangan ( Pasal 7 dan 17 UUPA ), mengingat tiap-tiap Warga

Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh

suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri

sendiri maupun keluarganya ( Pasal 9 ayat (2) UUPA ).

d) Menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu

hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri dengan beberapa

perkecualian ( Pasal 10 UUPA ). Hal ini untuk menjaga jangan sampai ada

tanah absentee.

e) Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa semua

hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya merupakan

kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 6 dan Pasal 15

UUPA ).

f) Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak guna

usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut dalam

Pasal 16 UUPA.

g) Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan ( Pasal 46 UUPA ) dan

penggunaan air dan ruang angkasa ( Pasal 47 dan 48 UUPA ).

h) Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan

ruang angkasa ( Pasal 8 UUPA ).

i) Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, untuk

menjamin kepastian hukum ( Pasal 19 UUPA ).

Oleh karena itu masalah penatagunaan tanah untuk kepentingan

pembangunan bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan sesuai selera akan tetapi

harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembangunan

dengan alasan kepentingan umum sebuah tindakan yang sangat bersentuhan

kepentingan hajat hidup rakyat terutama petani yang sangat menggantungkan

hidupnya kepada tanah.

Pencabutan hak atas tanah dalam Pasal 1 undang-undang Nomor 20 tahun

1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya,

menentukan bahwa pencabutan hanya dapat dilakukan oleh Presiden apabila

(12)

untuk diadakannya pencabutan hak atas tanah karena kemungkinan pemilik tanah

meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali untuk

melepaskan tanahnya.

Mengenai keadaan mendesak ini, adalah dapat dimengerti bahwa memang

seharusnya ada jalan keluar yang dapat ditempuh sehingga pembangunan untuk

kepentingan umum tetap dapat dilaksanakan.

Adapun mengenai ruang lingkup untuk kepentingan umum yang menjadi

persyaratan untuk dilakukannya pencabutan hak atas tanah meliputi:

1. Untuk kepentingan bangsa

2. Untuk kepentingan Negara

3. Untuk kepentingan bersama dari rakyat

4. Untuk kepentingan pembangunan.

Selanjutnya sebagai pelaksanaan dari UU No. 20 Tahun 1961, maka

ditetapkanlah Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan

Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Dalam

Inpres tersebut, ditegaskan bahwa, pencabutan hak-hak atas tanah dan

benda-benda yang ada diatasnya supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk

kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil

dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Inpres tersebut, maka pencabutan hak atas tanah hanya dapat

dilakukan dalam rangka kepentingan umum saja, dan pelaksanaannya dilakukan

secara sangat hati-hati serta cara – cara yang adil dan bijaksana. Dengan demikian

pencabutan hak atas tanah tidak boleh dilakukan jika hal itu bukan untuk

kepentingan umum.

Sebelum Keppres No. 55 Tahun 1993 ditetapkan, belum ada definisi yang jelas

mengenai kepentingan umum atau untuk pembangunan yang baku. Secara

sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan pembangunan dapat saja dikatakan

untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas.

Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasannya.

Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan sekarang ini

dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang mencabut

(13)

No.55/1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka

melaksanakan pembangunan untuk kepentingan pembangunan.

Selanjutnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

telah diubah dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan agar pembangunan nasional

khususnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah dapat

dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya. Terkait

dengan pengadaan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

tersebut, Negara kemudian memberikan jaminan yang lebih tegas dengan

menerbitkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dimana dalam pertimbangannya

menegaskan :

a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan;

b. bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan

umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan

mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil;

c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah

untuk pelaksanaan pembangunan;

Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, lebih lanjut menegaskan bahwa

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan berdasarkan asas:

a. kemanusiaan;

b. keadilan;

c. kemanfaatan;

d. kepastian;

e. keterbukaan;

f. kesepakatan;

g. keikutsertaan;

(14)

i. keberlanjutan; dan

j. keselarasan.

Ketentuan diatas, merupakan ketentuan yang kontradiksi dengan fakta, karena

tidak mungkin pemegang hak atas tanah setelah tidak menerima keputusan panitia

pengadaan tanah, atau telah terjadi sengketa antara pemegang hak atas tanah

mengajukan keberatan kepada Gubernur atau bupati/walikota. Kendatipun dipahami

bahwa pada dasarnya tempat mengajukan keberatan adalah juga pemerintah in

casu sebagai pihak yang membutuhkan tanah, maka dapat dipastikan bahwa

pemegang hak atas tanah berada pada posisi yang lemah.

B. Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan PKP

Keterbatasan lahan yang sebagian besar dikuasai oleh Pengembang

menjadikan harga lahan semakin melangit di lokasi-lokasi yang strategis, harga

rumah semakin tidak terjangkau bagi MBR. Pembangunan rumah bagi MBR yg

sesuai dgn ketentuan batas harga Pemerintah berlokasi jauh dari perkotaan dan

tempat kerja, di lain pihak semakin dekat pusat kota, nilai lahan semakin tinggi.

Sampai saat ini belum ada intervensi Pemerintah untuk menyediakan tanah bagi

pembangunan PKP dan mengendalikan harga lahan. Dibutuhkan intervensi

pemerintah untuk menyediakan lahan bagi rumah MBR yang dekat tempat kegiatan/

aktivitas.

Pemerintah dapat melaksanakan kegiatan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum, yaitu penataan permukiman kumuh

perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk MBR dengan status

sewa.

1. Dasar Hukum

UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

• Pasal 17 huruf i pemerintah provinsi mempunyai wewenang mengoordinasikan pencadangan atau penyediaan tanah untuk

pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR pada tingkat

provinsi

• Pasal 18 huruf e pemerintah kabupaten/kota mempunyai wewenang mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan

(15)

• Pasal 40 Pemerintah atau pemda menugasi dan/atau membentuk

lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan

permukiman

UU No . 20/2011 tentang Rumah Susun

• Pasal 72 ayat (1 ) Untuk mewujudkan penyediaan rumah susun yang layak dan terjangkau bagi MBR, Pemerintah menugasi atau membentuk

Badan Pelaksana.

• Pasal 72 ayat (4 ) à Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (3), Badan Pelaksana melaksanakan tugas :

a) ...

b) ...

c) Memfasilitasi penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun

umum dan rumah susun khusus .

Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Pasal 3 ayat (1) :

Setiap Instansi yang memerlukan tanah bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum membuat rencana Pcngadaan Tanah yang didasarkan

pada:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah;

b. Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam:

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah;

2. Rencana Strategis; dan

3. Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.

2. Tujuan Pelaksanaan Kebijakan Pencadangan Tanah

1) Memberikan jaminan ketersediaan tanah melalui upaya peningkatan

daya guna dan hasil guna tanah, dengan mengutamakan fungsi sosial

tanah dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan

2) Mendukung pengembangan kota baru dan penerapan kebijakan hunian

berimbang

3) Mengendalikan pengadaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah secara

adil dan wajar dalam pelaksanaan pembangunan

(16)

5) Mengendalikan harga tanah (tidak terpengaruh dengan mekanisme pasar

yang diakibatkan pembangunan sektor properti oleh swasta, tidak

terpengaruh dengan spekulasi, dll) sehingga wajar untuk dibangun

rumah bagi MBR dengan harga yang terjangkau

3. Output Dan Outcome Kebijakan Output:

Terfasilitasi pembinaan, perencanaan dan pelaksanaan pengadaan dan

pencadangan tanah bagi pembangunan rumah umum.

Indikator Output:

1) Jumlah dokumen perencanaan, strategi dan kebijakan pengadaan dan

pencadangan tanah bagi pembangunan rumah umum

2) Jumlah Lembaga/Bank Tanah untuk pembangunan PKP

3) Jumlah Luas Tanah yang dicadangkan bagi pembangunan rumah umum

Outcome:

Meningkatnya jumlah masyarakat berpenghasilan rendah yang

menghuni rumah layak dan terjangkau

Indikator Outcome:

Jumlah unit rumah yang layak dan terjangkau terbangun bagi MBR

4. Kegiatan Penyediaan Tanah

UU 1/2011 – Pasal 106 UU 20/2011 – Pasal 22

a. pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara;

a. pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara;

b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;

b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;

c. peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;

c. peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah;

d. pemanfaatan dan pemindah

tanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan

perundang-undangan;

d. pemanfaatan barang milik negara atau barang milik daerah berupa tanah;

e. pendayagunaan tanah wakaf;

e. pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar; dan/atau

f. pendayagunaan sebagian tanah negara bekas tanah terlantar; dan/atau

f. pengadaan tanah untuk

pembangunan bagi kepentingan

umum sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(17)

5. Tanah untuk pembangunan Rumah Susun (UU 20/2011 )

• Pasal 17 : Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:

a. hak milik;

b. hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan

c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.

• Pasal 18 : Selain dibangun di atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, rumah susun umum dan/atau rumah susun khusus dapat

dibangun dengan:

a. pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah; atau

b. pendayagunaan tanah wakaf.

• Pasal 19 ayat (1) : Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah

untuk pembangunan rumah susun: dilakukan dengan cara sewa atau kerja

sama pemanfaatan.

• Pasal 20 ayat (1) : Pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan rumah susun: dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan

sesuai dengan ikrar wakaf.

• Pasal 20 ayat (4) : Pelaksanaan sewa atau kerja sama pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): dilakukan sesuai dengan prinsip

syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

• Pasal 21 ayat (1) : Pemanfaatan dan pendayagunaan tanah untuk pembangunan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan

Pasal 20: harus dilakukan dengan perjanjian tertulis di hadapan pejabat

yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

• Pasal 21 ayat (3) : Jangka waktu sewa atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b: diberikan selama 60 (enam puluh) tahun sejak

(18)

6. Lingkup Pengadaan Tanah

7. Tahapan Pencadangan Tanah

8. Peran Pemerintah

Pemerintah Pusat

a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional terkait

(19)

b. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional terkait

pencadangan lahan;

c. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi

pelaksanaan kebijakan nasional terkait pencadangan lahan;

d. Mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung

terwujudnya upaya pencadangan lahan perumahan bagi MBR;

e. Menyelenggarakan sosialisasi kebijakan terkait pencadangan lahan.

f. Memfasilitasi pemberian bantuan prasarana, sarana, dan utilitas umum

bagi pemerintahan daerah yang telah melaksanakan upaya

pencadangan lahan perumahan bagi MBR.

Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota

a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi pada tingkat

daerah (provinsi/kabupaten/kota) terkait dengan pencadangan tanah;

b. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi pelaksanaan

kebijakan pencadangan tanah baik dengan pemerintah maupun

dengan stakeholder lainnya;

c. Mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung

terwujudnya kebijakan pencadangan tanah;

d. Memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;

(20)
(21)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

1) Memanfaatkan tanah negara, tanah milik BUMN/BUMD, tanah terlantar, dll;

2) Melakukan kegiatan konsolidasi tanah permukiman, yaitu upaya penataan

kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat

pemilik tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap

bangun dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata

ruang yang ditetapkan;

3) Merevitalisasi kawasan padat penduduk menjadi hunian vertikal terpadu.

B. Rekomendasi

1) Penyediaan tanah dalam rangka pengembangan Kasiba/Lisiba, untuk

perumahan sederhana bagi MBR dan masyarakat miskin.

2) Fasilitasi penyediaan tanah dalam rangka implementasi kebijakan hunian

berimbang (pembangunan rumah untuk MBR).

3) Penyediaan tanah untuk relokasi warga yang tinggal di bantaran kali, seputar

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat yang tinggal di desa Juamantuang mayoritas adalah pendatang dan berdomisili menetap di desa Jumantuang dan berdasarkan tabel I di bawah, menunjukkan bahwa

Demikian pula kadar mineral kuarsa dan opak yang lebih tinggi di bagian dolin serta labradorit yang melimpah di bagian atas dan lereng perbukitan menunjukkan intensitas

D. Tujuan penelitian merupakan keinginan-keinginan peneliti atas hasil penelitian dengan mengetengahkan indikator-indikator apa yang hendak ditemukan dalam penelitian,

Adapun rekomendasi yang dapat penulis sampaikan berkaitan dengan implementasi kebijakan pengembangan kompetensi aparatur sipil negara di Kabupaten Sumenep untuk

Deskripsi Unit : Unit ini meliputi penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang diperlukan oleh seorang wasit/ juri untuk memimpin pertandingan olahraga

Pelanggan yang ingin berlangganan telepon rumah dan speedy secara bersamaan dan data-data yang diperlukan telkom untuk meng-input data, pelanggan harus

Sehubungan dengan bentuk penyajian kesenian Angguk Sripanglaras, penulis mengharap kesenian ini untuk selalu dijaga kelestariannya dan juga dikembangkan, salah satunya

Proses otentikasi jaringan dengan menggunakan Kerberos terpusat pada server Kerberos. Setiap proses yang ada di instant message akan melalui proses