• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Pulau Kecil Secara berkelanj

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengelolaan Pulau Kecil Secara berkelanj"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN

PULAU KECIL

Pengelolaan Pulau Gili air, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara

Barat

Gendewa Tunas Rancak

4113205004

Program Pasca Sarjana Teknik Manajemen Pantai

Institut Teknologi Sepuluh November

(2)

Pengembangan dan Pengelolaan Pulau kecil

Pulau Gili Air, Kabupaten Lombok utara, Nusa Tenggara Barat

Gendewa Tunas Rancak/4113205004

Teknik Manajemen Pantai

Institut Teknologi Sepuluh November

Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 13.446 (http://www.metrotvnews.com). Sebagai Negara kepulauan terbesar, pembangunan di Indonesia masih terkesan sentralistik, baik dalam segi pengambilan kebijakan, pembangunan infrastruktur, serta perputaran dan pertumbuhan ekonomi. Pusat pembangunan di Indonesia berada di 5 pulau terbesar, yaitu Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua.

Selain 5 pulau besar sebagai pusat pembangunan, pulau-pulau kecil di Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan. Tentunya potensi Sumber Daya Alam yang akan dikembangkan, namun tahapannya harus setelah atau sejalan dengan peningkatan potensi Sumber Daya Manusia di pulau-pulau tersebut. Integrasi antara sumber daya manusia yang baik dan pengelolaan sumber daya alam yang bijak akan menciptakan benefit yang berkelanjutan, baik dari segi investasi maupun ekonomi, serta kehidupan sosial-budaya.

Permasalahannya, potensi-potensi ini belum diimbangi dengan infrastruktur yang memadai, baik dari segi transportasi, penggunaan energy (missal: listrik), public services, maupun konsumsi pangan. Sebuah pertanyaan umum seperti ‘mengapa ketika mengkontak kerabat yang berada di Sumba lebih susah dari pada mengkontak kerabat yang berada di Jakarta’. Alasannya tentu saja sinyal, BTS di Jakarta lebih lengkap dan mencakup semua wilayah, jauh dibandingkan kondisi di Sumba yang hanya memilki beberapa BTS tertentu.

Demikian halnya misalnya dengan kesehatan, betapa besar perjuangan seorang ibu yang akan melahirkan di Desa Pulau Koloray, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara ketika tidak bisa melahirkan secara normal. Untuk melahirkan Cesar, san ibu harus rela terombang-ambing menempuh perjalanan laut selama kurang lebih 2 jam untuk sampai Pelabuhan Daruba. Baru kemudian menempuh perjalanan darat sekitar 1 jam untuk bisa sampai rumah sakit.

Kasus lain ketika listrik menjadi problem bagi pulau dengan pengembangan pariwisata. Masih banyak wilayah di Indonesia belum menikmati listrik 24 jam (di beberapa tempat, listrik hanya menyala ketika malam hari), bahkan tidak sama sekali. Pariwisata membutuhkan akses listrik yang cukup besar, walaupun tidak sedikit diantara wisatawan yang justru menyukai suasana ‘asli’ tanpa listrik.

(3)

masayrakat, meningkatkan kapasitas masayrakat (SDM), dan memanfaatkan potensi sumber daya alam merupakan asas dari pembangunan. Secara umum, pulau kecil di Indonesia memiliki potensi sebagai daerah pariwisata, perikanan lanjut, dan wilayah pertambangan. Ketiganya memerlukan kolaborasi yang baik antara potensi sumber daya alam dan mineral, sumber daya manusia, infrastruktur yang baik, dan pengelolaan berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan secara optimal, dan memberikan manfaat secara penuh bagi masyarakat secara berkelanjutan.

Pulau-pulau kecil biasanya didefenisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuni pulau tersebut. Luasan pulau-pulau kecil 7% dari wilayah dunia, dan merupakan entitas daratan yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus sehingga pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah daratan lain, khususnya pulau besar (mainland). Menurut definisi yang dikeluarkan oleh PBB dalam UNCLOS, definisi pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang. Namun, definisi pulau kecil masih dalam pengembangan sampai saat ini. Berikut ini adalah beberapa definisi pulau kecil yang dikeluarkan oleh beberapa instansi dan lembaga terkait:

 CSC (1984) : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 5.000 km2  UNESCO : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 2.000 km2  SK Menteri : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 10.000 km2  DKP dengan jumlah penduduk < 20.000 orang

Seringkali dianggap bahwa SDM merupakan faktor utama pengelolaan pulau kecil, baik SDM yang akan mengelola maupun masyarakat yang berada di kawasan pariwisata. Beberapa masayrakat dan komunitas merupakan Enabler dalam pengembangan potensi pariwisata, beberapa diantaranya justru dianggap sebagai peghambat. Seperti misalnya community di Bali yang sudah sangat welcome terhadap pariwisata yang masuk secara massive, justru mendukun dan berperan sebagai penggerak ekonomi pariwisata. Community inilah yang merupakan enabler dari pengembangan potensi pariwisata. Disisi lain, pengembangan pariwisata secara massive sampai dengan kawasan central religious dan budaya di Bali merupakan sumber keresahan komunitas masyarakat lokal (masyarakat adat dan hukum adat), karena mengakibatkan sistem subak (pengelolaan air dan distribusinya dengan kearifan lokal, dengan ketentuan yang telah ditentukan pada masa kerajaan Bali dahulu kala) masyarakat perlahan hilang, sementara harus memenuhi kebuthan sehari-hari yang seumbernya adalah sawah. Keresahan, ketika berujung pada penolakan, baik dalam sikap antipasti maupun penolakan secara tegas ini adalah faktor yang dikategorikan sebagai faktor penghambat Industri Pariwisata. Sementara menurut beberapa pakar, “Bangsa yang

besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”.

(4)

aspek, dan mengakibatkan pengembangan pariwisata pulau kecil menjadi eksploitasi, baik SDM, SDA, maupun monopoli pariwisata. Untuk itu, diperlukan sebuah konsep yang komprehensif sebagai acuan pengembangan dan pengelolaan pulau kecil dengan perspektif pariwisata.

GIli Air merupakan sebuah pulau kecil di sebelah Barat Pulau Lombok yang memiliki potensi pariwisata sangat baik dan dikenal dengan gugus GIli Matra (GIli Trawangan, GIli Meno, dan GIli Air). Jika dilihat secara perspektif, konsep pengembangan pariwisata di GIli trawangan lebih cenderung ke Massive and Open Tourism, kemudian GIli Meno dengan

Exclusive and private tourism, sedangkan GIli Air dengan Culture tourism. Walaupun tidak terdokumentasikan, konsep pengembangan pariwisata ini berjalan dengan sendirinya berdasarkan kehidupan masayrakat Gili Matra serta minat dan keinginan wisatawan selama ini. Konsep ini seakan ‘memudahkan’ wisatawan baik domestic maupun mancanegara untuk menikmati potensi pariwisata di GIli Matra sesuai dengan minat masing-masing. Bagi wisatawan yang ingi menikmati pariwisata yang eksklusif dan privat, maka akan lebih memilih untuk menuju ke GIli Meno. Ketika wisatawan lebih menyukai keramaian dan suasana yang lebih ‘open and free’ akan lebih memilih menuju GIli Trawangan. Sedangkan bagi wisatawan yang memiliki ‘hobby’ dan menyukai eksotisme alam dibalut dengan kekuatan culture (budaya), akan lebih memilih GIli Air.

Sebagai salah satu penghasil pemasukan terbesar (sector pariwisata) untuk Kecamatan Pemenang, yaitu sebanyak 48,33% (BPS, 2005), Gili Air merupakan sebuah objek kajian pengembangan pariwisata yan cukup comprehensive, mulai dari hulu sampai dengan hilir. Artinya, selain menjadi penghasil pemasukan terbesar bagi Kecamatan Pemenang, pariwisata juga menjadi tulang punggung penghidupan masyarakat GIli Air, baik secara langsung maupun tidak langsung (misalnya: penjual ikan di pasar, ikan dibutuhkan untuk makanan sehari-hari di hotel dan cottage). Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara Pasal 30-32, disebutkan bahwa Desa Gili Matra ataupun Gili Matra merupakan kawasan strategis pertumbuhan ekonomi, sector pariwisata.

Kondisi Eksisting Gili Air

Gili Air

Status Kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra

(5)

Gili Matra. Ini berdasarkan surat keputusan menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 dengan luas 2.954 hektar. Setelah terbitnya berita acara serah terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada tanggal 4 Maret 2009 maka pemegang kebijakan di TWAL Gili Matra adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bedasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.67/MEN/2009. Pada tanggal 3 September 2009, Nomenklaturnya di rubah dari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan, dengan luas 2.954 hektar.

TWP Gili Matra di kelola oleh sebuah UPT yang di bentuk oleh Direktorat Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan nama Balai Kawasan Konservasi perairan Nasional (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang NTT. Penentuan status TWP tersebut adalah berdasarkan kriteria penentuan kawasan konservasi laut yang memiliki keanekaragaman biota laut dan lingkungan yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Keunikan biodiversity sumber daya kelautan seperti ekosistem terumbu karang, padang lamun, kekayaan flora dan faunanya menjadikan potensi tersebut sebagai obyek wisata yang banyak diminati para wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sejarah Kawasan

Kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan telah ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1993 tanggal 16 Februari 1993 dengan luas kawasan 2.954 hektar.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 kawasan Gili Air, Meno dan Trawangan ditetapkan menjadi TWAL Gili Matra dengan luas kawasan 2.954 hektar.

Tanggal 4 Maret 2009 diterbitkan berita acara serah terima kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada departemen Kelautan dan Perikanan.termasuk di dalamnya TWAL Gili Matra.

Tanggal 3 September 2009 bedasarkan Surat Keputusan menteri Kelautan dan perikanan Nomor KEP.67/MEN/2009 nomenklaturnya di rubahdari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) menjadi Taman Wisata Perairan (TWP).

Letak, Luas dan Batas Kawasan

TWP Gili Meno, Air dan Trawangan dengan luas 2.954 hektar, yang meliputi luas daratan Gili Air ± 175 ha dengan keliling pulau ±5 km, Gili Meno ±150 ha dengan keliling pulau ±4 km dan Gili Trawangan ±340 ha dengan keliling pulau ±7,5 km dan selebihnya merupakan perairan laut.

(6)

kecamatan Pemenang kabupaten Lombok Utara propinsi Nusa Tenggara Barat, sedangkan berdasarkan pada wewenang pengelolaannya kawasan ini berada di bawah pengelolaan direktur jendral Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang membentuk sebuah UPT dengan Nama Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional berkedudukan di Kupang NTT. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep.67/MEN/2009 tanggal 3 September 2009.

Batas-batas Taman Wisata Perairan Gili Matra adalah sebagai berikut : Utara : berbatasan dengan laut Jawa. permukaan laut. Akibat gempa bumi pada tahun 1978 Gili Air mengalami penurunan sekitar 1,5 m, sedangkan Gili Trawanganpada bagian tengah kearah utara datar dan pada bagian tengah ke arah tenggara berbukit dengan ketinggian ± 20 meter diatas permukaan laut.

Keadaan oseanografi mempunyai pola yang sama dengan kawasan disekitar ketiga pulau, yaitu mempunyai pantai yang pada umumnya datar dan berpasir putih dengan kedalaman perairan pantai 1-3 meter pada batas 20 meter. Kisara pasang surut mencapai ± 3 meter.

Iklim, Temperatur dan Curah Hujan

Keadaan iklim di Taman Wisata Perairan Gili Matra sama seperti halnya dikabupaten Lombok Utara pada umumnya., yaitu beriklim tropis dengan suhu udara berkisar antara 20 -30 C. Suhu udara tertinggi maksimum 32 C pada bulan Nopember dan suhu udara minimum 20 C terjadi pada bulan Juni. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu mencapai 459 mm, sedangkan terendah pada bulan Juli/Agustus Mencapai titik nol.

Geologi dan Tanah

Keadaan geologi dan tanah pada pulau-pulau dalam kawasan TWP Gili Matra pembentukannya sama dengan daratan Pulau Lombok bagian utara. Keadaan tanah terdiri dari tanah coklat dengan bahan induk endapan pasir.

Hidrologi

(7)
(8)

Gili Air dalam Gugus Gili Matra

Gambar 3. Sketsa Dusun GIli Air Sumber: I-CATCH Desa Gili Matra, 2012

Kawasan ini menjadi obyek wisata bahari yang sangat digemari oleh wisatawan baik mancanegara maupun domestik, terutama untuk snorkeling, fishing, diving, surfing, sun bathing, shifting dan camping.

Kawasan ini memiliki potensi wisata yang cukup menarik yaitu pantai pasir putih yang indah, berbagai jenis terumbu karang diantaranya: Karang Lunak (Heliophora sp.), Anthiphates sp, Montiphora dan Acropora dan berbagai jenis ikan hias yang menawan. Aktifitas wisata yang dapat dilakukan : diving, snorkeling, sun bathing, kanoing, swimming, foto hunting dan fishing.

Tata Guna Lahan

(9)

counter, persewaan sepeda dan persewaan buku juga terpusat di sekitar pinggiran ketiga gili tersebut. Sedangkan di bagian dalam pulau merupakan pusat pemukiman penduduk setempat, selain juga untuk pusat-pusat pelayan penduduk seperti Puskesmas, sekolah dasar, mesjid dan ebagainya. Untuk areal perladangan penduduk seperti perkebunan kelapa, kebun sayur-mayur dan buah-buahan juga terletak di bagian tengah pulau. Luas wilayah daratan di kawasan Gili Matra seluas 678 ha, yang terdiri dari lahan kering seluas 210 ha dan lahan pekarangan seluas 468 ha (Gambar 4).

Gambar 4. Peta Tata Guna Lahan Gili Matra Sumber: Amir, 2011

Pendidikan

Dari Segi Pendidikan di GIli Air, terdapat sebuah Pendidikan Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar Negeri, serta pendidikat tingkat SMP dan MTs. Sedangkan tingkat SMA hanya terdapat di GIli Trawangan berupa SMK Pariwisata yang dikelola oleh masyarakat. Beberapa diantara penduduk, yang mampu menyelesaikan pendidikan tingkat SMP harus meneruskan ke sekolah lanjutan (SMA atau SMK) di Pulau Lombok, terutama di Kecamatan Pemenang.

Tabel 1. Jenis Sekolah yang terdapat di Gili Air berdasarkan Jenjang Pendidikannya

No Jenis Sekolah Tahun

Berdiri

Jumlah Murid Jumlah

Orang Laki-laki Perempuan

1 SD GIli Air 1999 115 106 221

2 TK GIli Air 1998 13 22 45

(10)

Sumber: Kantor Desa Gili Matra, 2010

Penduduk

Berdasarkan data di kantor desa, jumlah penduduk Desa Gili Matra sampai tahun 2010 adalah sebanyak 3.575 jiwa, yang terdiri dari 3.550 penduduk lokal dan 25 orang asing yang menetap dan berusaha di kawasan tersebut. Dibandingkan dengan keadaan penduduk pada tahun 2004 yang hanya berjumlah 2.897 jiwa, maka jumlah pertambahan penduduk pada kurun waktu itu sebanyak 678 orang atau meningkat 23,4% (rata-rata tumbuh 3,9% pertahun). Kondisi ini jauh lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata penduduk kecamatan Pemenang yang hanya 2,89% pertahun (BPS Pemenang, 2010).

Tabel 2. Jumlah Pendudukdi Desa Gili Matra

Dusun Jumlah

Data menunjukkan bahwa secara keseluruhan penduduk Desa Gili Matra berjumlah 1.781 jiwa laki-laki dan 1.769 jiwa perempuan dengan Kepala Keluarga sebanyak 990 KK. Penduduk terbanyak terdapat di Dusun Gili Air, sedangkan yang paling sedikit di Dusun Gili Meno. Data menunjukkan pula bahwa terdapat 25 orang warga negara asing (WNA) yang menetap dan membuka usaha di ket iga gili tersebut, mereka memiliki dan mengelola hotel, restaurant, dan sekolah selam. Dari jumah penduduk tersebut, yang termasuk usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 2.888 orang yang terdiri dari 1.394 laki-laki dan 1.494 perempuan. Jika dibandingkan dengan luas daratan Gili Matra, maka tingkat kepadatan penduduknya adalah 657 jiwa/km².

Pekerjaan masyarakat

Berdasarkan data diskusi kelompok terfokus yang telah dilakukan di kantor Desa Gili Matra pada tahun 2013, mata pencaharian yang dominan saat ini di GIli Air adalah kegiatan yang berkaitan dengan jasa pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsungg. Beberapa bekerja di bidang transportasi, restoran dan warung, penginapan, pramuwisata dan karyawan. Jenis pekerjaan berikutnya adalah sebagai nelayan penangkap ikan, karyawan, dan pedagang serta sebagian lainnya berusaha di perkebunan kelapa. Data pasti terkait jumlah dan jenis pekerjaan masi bersifat skala desa, seperti yang terlihat pada tabel 3.

(11)

tersebut tidak lagi dilakukan oleh masyarakat yang salah satu alasannya karena kurang ekonomis dibanding usaha pariwisata lainnya.

Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk di Gili Matra

No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang)

1 Petani/Buruh Tani 105

Berdasarkan data diskusi, Rata-rata gaji karyawan yang bekerja di hotel dan restaurant sebesar Rp. 1.200.000 perbulan atau Rp. 14.400.000 pertahun, penghasilan ini belum termasuk insentif yang diberikan pada hari raya keagamaan dan kelebihan target. Penghasilan dari transportasi laut rata-rata antara Rp. 150.000-Rp. 250.000/hari, sementara transportasi darat (cidomo) rata-rata Rp.150.000-Rp. 200.000/hari. Adapun penghasilan pemandu wisata (guide) sangat fluktuatif dengan kisaran rata-rata antara Rp. 100.000-Rp. 250.000/hari. Untuk penyewaan sepeda dan alat snorkeling rata-rata Rp.75.000-Rp. 150.000/hari.

Kesehatan

Untuk menangani masalah kesehatan penduduk, di setiap gili sudah tersedia Puskesmas Pembantu (Pustu) yang dilayani oleh seorang bidan dan satu polindes yang terletak di Gili Air. Namun, fasilitas yang tersedia di Pustu sangat minim, sehingga belum dapat bermanfaat untuk masayrakat secara optimal.

Selain itu, terdapat sebuah klinik swasta yang berada di Gili Air. Klinik ini dimiliki oleh seorang pendatang asal Australia dengan fasilitas yang cukup memadai. Namun, standard harga yag digunakan adalah US $ . Kondisi ini memaksa masayarkat tidak berminat untuk berobat ke klinik tersebut, karena biayanya yang sangat tinggi

Agama dan adat istiadat

Menurut observasi dan wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat, sebagian besar penduduk Desa Gili Matra awalnya berasal dari Sulawesi Selatan, berikutnya adalah suku Sasak, Bali, Jawa dan Madura. Sebagian besar penduduk di ketiga gili ini adalah pemeluk Agama Islam dan sebagian kecil beragama Hindu dan Kristen.

(12)

berisi arangan-larangan yang harus dipatuhi oleh penduduk setempat, pendatang bahkan oleh wisatawan dan jika melanggarnya akan dikenakan denda dan sanksi adat.

Selain itu, berdasarkan Keputusan Desa Gili Matra Nomor 12/Pem.1.1/06/1998 tentang Awig-Awig Pemeliharaan Dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, memberikan sanksi yang berat terhadap warga masyarakat, pengusaha pariwisata dan wisatawan yang melanggar aturan tersebut.

Fasilitas Usaha Pariwisata

Fasilitas pelayanan wisata seperti sarana transportasi dan akomodasi cukup tersedia di kawasan ini. Selain itu sarana pendukung untuk kegiatan snorkling dan SCUBA diving tersedia cukup lengkap. Pada dive shop tersebut juga terdapat sedikitnya seorang instruktur selam, sehingga wisatawan dapat mengikuti program pelatihan yang ditawarkan.

(13)

Gambar 4. Alur Aksesibilitas Menuju Gili Matra Sumber: www.openstreetmap.org

Fasilitas akomodasi yang ada di Kawasan Pariwisata Gili Matra sampai saat ini rata-rata berupa hotel bertanda bunga melati, home stay, bungalow, pondok wisata dan sejenisnya. Di kawasan ini, tidak terdapat hotel berkelas bintang karena kebijakan yang ditetapkan tidak membolehkan membanguna usaha sarana pariwisata dan lainnya yang berpotensi memberikan tekanan terhadap stabilitas tanah.

Tabel 5. Jumlah Akomodasi dan Konsumsi di Gili Matra

No Dusun Hotel Restaurant Bungalow Rumah makan

GIli Air 3 2 21 25

GIli Meno 2 2 17 19

Gili Trawangan 5 12 70 67

Sumber: Kantor Desa Gili Matra, 2010

Daya dukung dan luas lahannya yang sangat kecil dengan tingkat perkembangan yang pesat, maka diperlukan pengaturan dan pengendalian terhadap pengelolaan tata ruang kawasan. Untuk itu, melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat Nomor 500 Tahun 1992, telah ditetapkan Rencana tata Ruang Resort Pariwisata Tiga Gili Matra

Padang Bai

Malaka

(14)

Gambar 5. Peta Lokasi Wisata Gili Matra Secara Keseluruhan, 2010 Sumber: Amir, 2011

Untuk wilayah peruntukan pariwisata bahari, ditetapkan penggunaan yang diperkenankan adalah Areal renang, Areal berperahu (boating, sailing), Areal selancar angin (wind surfing), Areal memancing (game fishing), Areal ski air (water skiing), Areal menyelam (diving, snorkling), dan dermaga.

Selain itu, untuk wilayah peruntukan akomodasi, masing-masing Gili ditetapkan jumlah kamarnya masing-masing untuk Gili air sebanyak 200 kamar, Gili Meno 100 kamar dan Gili Trawangan 200 kamar. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai akhir tahun 2010, jumlah fasilitas akomodasi berupa hotel berkelas melati yang tercatat di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lombok Barat telah melebihi 500 kamar untuk seluruh tiga gili. Fakta di lapangan menunjukkan , jumlah unit akomodasi dan jumlah kamarnya sesungguhnya telah melebihi angka tersebut karena setiap penambahan kamar dan pengembangan unit , tidak seluruhnya dilaporkan sesuai persyaratan yang ditentukan.

(15)

itu juga terdapat sarana transportasi berupa perahu, Cidomo (dokar) dan sepeda yang digunakan untuk di daratan gili. Sedangkan sarana untuk aktivitas wisata adalah perlengkapan selam, perahu kaca, perahu karet, dan lain-lain.

Wisatawan

Wisatawan yang berkunjung ke Gili Indah dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu wisatawan nusantara (Wisnu) dan wisatawan Mancanegara (Wisman). Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Gili Matra dari tahun ketahun memperlihatkan peningkatan. Gili Trawangan merupakan daerah yang paling banyak dikunjungi wisatawan dibanding Gili yang lain di Kawasan Gili Matra. Jumlah wisatawan pada tahun 2009 sebanyak 88.200 orang yang terdiri dari 69.477 orang (78,77%) wisatawan mancanegara dan 18.723 orang (21,23%) wisatawan nusantara (Kecamatan Pemenang Dalam Angka, 2009) . Hal ini berarti rata-rata perhari wisatawan yang datang ke Gili Matra sekitar 241 orang.

Pada tahun 2005 wisatawan yang berkunjung ke Gili Matra sekitar 32.373 orang dengan rata-rata 90 orang/hari, jika dibandingkan dengan wisatawan pada tahun 2009 (berdasarkan source Kecematan Pemenang Dalam Angka) terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu sekitar 172,44% pada kurun waktu lima tahun terakhir atau rata-rata meningkat 34,488% pertahun. Namun jika melihat data statistik yang ada, sejak berkembangnya wisatawan ke Gili Matra, tingkat pertumbuhan rata-rata wisatawan adalah 7,4% pertahun. Kondisi ini diprediksikan akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga potensi terjadinya degradasi sumberdaya alam laut dan pesisir semakin meningkat pula jika tidak dilakukan upaya-upaya untuk memelihara kelestarian dan keberlanjutannya

Tabel 6. Jumlah dan Asal Wisatawan

(16)

Pengelolaan Pariwisata Gili Air untuk Kesejahteraan

Masyarakat

Pariwisata dan gili air merupakan sebuah idiom yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena pariwisata telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat GIli Air. Berbeda dengan GIli Trawangan yang telah total mengikuti industry pariwisata, Gili Air masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang terbalut dalam Awiq-awiq (kearifan lokal) yang ditetapkan, baik tertulis maupun tidak tertulis, dengan sanksi yang mengikat.

Nilai-nilai lokal yang masih berkembang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Maka dari itu, perkembangan pariwisata GIli Air kedepannya, selain ‘menjual’ eksotisme alam, juga menjunjung tinggi nilai lokal untuk kesejahteraan masayrakat. Tidak ada definisi baku terkait dengan kesejahteraan, namun dalam hal ini adalah bagaimana mengelola pariwisata namun tetap memenuhi Kedaulatan Pangan, Kecukupan Air, Kemandirian Energi, dan Keberlanjutan Mata Pencaharian tanpa mengorbankan nilai-nilai lokal dan hak masyarakat GIli Air.

Akulturasi budaya dari pariwisata

BKKPN telah mnetapkan kawasan GIli Matra sebagai Taman Wisata Perairan dengan tujuan konservasi. Pembuatan peta rencana zonasi pun telah dibuat sebagai penguatan rencana zonasi. Namun beberapa nelayan masih menjaring dan memancing ikan di derah zonasiyang dilarang. Beberapa diantaranya masih melakukan aktifitas yang dilarang dalam peraturan zonasi.

Berdasrkan investigasi yang dilakukan, terjadinya pelanggaran-pelanggaran ini diakibatkan Karena (1) banyak masyarakat yang tidak mengetahui informasi terkait dilakukannya zonasi, maupun definisi mengenai zonasi sehingga secara otomatis tidak mengikuti larangan yang ditetapkan. Hal ini berarti bahwa Rencana zonasi TWP belum tersosialisasikan secara menyeluruh kepada masyarakat; (2) Ketika masyarakat (tetutama nelayan) telah mengetahui batasan dan larangan zonasi, permasalahan utama ternyata berada pada zonasi itu sendiri. Daerah-daerah yang dilarang untuk melakukan aktifitas pemanfaatan sumber daya alam oleh masayarakat merupakan daerah perairan dimana masyarakat biasa memanfaatkan sumber daya alam (memancing atau menjaring). Ketika dilakukan zonasi, belum ditetapkan juga kawasan alternative untuk nelayan ketika harus melaut di kawasan yang dilarang dalam zonasi. Jika diteruskan, dampak akan berlanjut tidak hanya pada masayrakat nelayan saja, tetapi pada kondisi pariwisata di GIli Air. Menu utama di beberapa restaurant adalah Ikan-ikan yang diperoleh oleh nelayan. Ketika jumlah ukan semakin terbatas, maka kondisi pariwisata juga akan berkurang.

(17)

faktor enabler yang baik untuk pertumbuhan pariwisata secara berkelanjutan. Konsekuensi yang diterima adalah akulturasi budaya. Misalnya, hampir seluruh masyarakat di GIli Air mampu berbahasa inggris secara oral, karena setiap hari berinteraksi dengan wisatawan mancanegara. Walaupun tidak dengan komposisi grammar yang baik, namun hal ini menjadi ‘entry point’ yang baik bagi pengembangan kapasitas masayrakat. Wisatawan juga membuat masyarakat Gili Air lebih ‘melek’ Teknologi dan informasi. Namun, akulturasi juga terjadi pada budaya ‘pesta’. Masyarakat lokal memiliki kegiatan lokal berupa upacara atau ritual adat untuk berterimakasih kepada Tuhan karena telah diberikan kesempatan untuk mengolah hasil laut. Di GIli Trawangan, kegiatan lokal ini hilang secara drastic, dan tergantikan oleh ‘western party’ hampir di setiap Bar pada malam hari. Tatto dan minuman keras dan sudah bukan hal asing bagi masayarakat GIli Trawangan.

Berbeda dengan Gili Air yang senantiasa menjaga nilai-nilai lokal dan adat, upacara tetap dilakukan, bahkan menjadi salah satu paket wisata yang menjanjikan bagi wisatawan. Tidak jarang wisatawan sengaja berkunjung ke GIli Air hanya untuk melihat prosesi adat dan ritual ini (bahasa lokal: Selamat Labuhan, Nyawen, dan mandi safar)

Gambar 6. Prosesi Mandi Safar di GIli Air

(18)

dengan nilai-nilai lokal yang menjadi aturan hidup masyarakat GIli Air sejak lama. Maka dari itu, Gili Air termasuk delam kategori pengelolaan pariwisata-budaya (culture tourism). Nilai budaya justru menjadi ‘entry point’ bagi masuknya pariwisata.

Kedepannya, pelestarian dan revitalisasi nilai lokal menajdi tantangan seiring bertambahnya jumlah wisatawan setiap tahunnya. Butuh dukungan dari banyak pihak untuk tetap melestarikan budaya-budaya lokal. Mulai dari instansi pemerintah (DInas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan Dinas linnya), Lembaga Masyarakat / LSM, masyarakat GIli Air, dan Perangkat Desa. Berdasrkan hasil diskusi kelompok, masayrakat GIli Air mengatakan bahwa cukup Gili Trawangan yang mengalami akulutrasi secara massive, GIli Air akan menyaring budaya baru yang masuk, dan tetap mempertahankan budaya lokal.

Kebutuhan Masyarakat Gili Air dan Pariwisata

Infrastruktur menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan bagi perkembangan pariwisata dimanapun kegiatan ini dilakukan. Sejauh ini, tidak terdapat masalah terkait infrastruktur dalam penyelenggaraan pariwisata di GIli Air. Namun bukan berarti beberapa tahun kedepan akan terbebas dari masalah.

1. Kebutuhan akan pasokan makanan menjadi sebuah ketergantungan bagi masyarakat GIli Air. Sebagian bear (kecuali ikan) makanan yang berada di GIli Air di suplai dari Pulau Lombok. Masayrakat GIli Air telah berada dalam ‘zona nyaman’ pada sistem keterganungan distribusi barang dari luar. Belum terpikirkan ketika terjadi bencana alam dan melumpuhkan aktifitas pelabuhan Bangsal (pelabuhan utama menuju GIli Matra) secara total. Otomatis suplai makanan akan terhenti seketika.

Berangkat dari hal ini, perlu diupayakan kembali konsumsi makanan lokal yang jauh sebelum pariwisata menjadi sebuah kedaulatan (pangan) masyarakt GIli Air. GIli Air dinamakan ‘GIli Air’ adalah karena banyak terdapat air di beberapa titik, yang menjadikan tanah menjadi subur. GIli air merupakan sumber makanan dari dua gili di sekitarnya (Trawangan dan Meno). Namun, masuknya pariwisata mengakibatkan kedaulatan pangan ini berubah menjadi ketergantungan bahan pangan secara perlahan. Memang ketersediaan makanan di GIli Air menyesuaikan dengan selera para wisatawan. Namun, tidak ada salahnya mencoba menyajikan makanan lokal dari bahan lokal yang berada di GIli Air. Sehingga mengutangi ketergantungan dari Pulau Besar, Lombok. Karena tidak jarang, dengan komposisi menu yang sudah disesuaikan dengan selera wisatawan (western food), wisatawan justru memilih untuk menikmati makanan khas Indonesia, seperti nasi goreng dan sate.

Solusi alternatif:

(19)

kepemilikan ‘turun-temurun’ (adat) dan bersertifikat. Sisanya, dimiliki oleh investor dari luar GIli (masih didominasi oleh WNI) dan lahan pemerintah. Dengan memanfaatkan lahan-lahan yang ada, secara bersama-sama, dan dengan ketentuan yang disepakati bersama, penanaman sumber pangan di lahan di Gili air dapat meminimalisir ketergantungan pasokan makanan dari luar. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dan pengelolan wisata akan lebih rendah. Hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah, makanan pokok tidak selalu beras ataupun nasi. Sejarah Gili air mengatakan bahwa makanan pokok masyarakat Gili Air sebelum pengembangan pariwisata adalah ubi dan singkong, dimana ketika makanan pokok ini diolah menjadi sesuatu yang memiliki cita rasa tinggi, dapat menjadi pilihan utama menu di restaurant dan café.

b. Mengembangkan panganan lokal sebagai menu utama di restaurant dan café-café di Gili air.

c. Pengembangan panganan lokal akan meminimalisir pengggunaan bahan plastic yang merupakan masalah utama sampah di Gili Air. Estetika merupakan aspek yang penting dalam pengembangan pariwisata, tidak lepas juga dari aspek ekologis. Dengan menekan laju penggunaan bahan plastic melalui pengembangan pangan lokal. d. Masa tanam dan masa panen bahan pangan lokal sejatinya dapat menjadi sebuah paket

wisata tersendiri, demikian halnya dengan pengolahan bahan pangan lokal tersebut. Artinya, selain panorama eksotisme taman bawah laut dan budaya, harvesting season juga dapat menjadi salah satu stimulant pengembangan pariwisata di Gili air.

e. Pengembangan pangan lokal akan membantu meningkatkan kapasitas masyarakat dan meningkatkan pendapatan masayrakat yang bermata pencaharian bukan pengelola pariwisata, atau enabler pengembangan pariwisata secara tidak langsung.

2. Ketergantungan menjadi masalah utama bagi kecukupan air di GIli Air. Walaupun jauh sebelum pariwisaata maasuk ke gili air, jumlah air melimpah, namun kini untuk memenuhi kebutuhan air, masyarakat GIli Air harus menyebrang ke Pulau Lombok, atau meminta ‘delivery’ air setiap dua hari sampai dengan 4 hari sekali. Beberapa diantaranya telah mencoba menampung air hujan dalam wadah sebagai upaya menyediakan kecukupan air.

Oleh karenanya, pembangunan pariwisata GIli Air kedepannya harus memenuhi aspek kebutuhan dasar bagi masyarakat dan keberlanjutan pariwisata. Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan pun tidak hanya berperspektif pada estetika atau utilitas akses transportasi saja, namun perencanaan pembangunan yang dilakukan harus bisa menjaga keberlanjutan dan kecukupan dari kebutuhan-kebuthan ini.

Solusi Alternatif:

(20)

kondisi dasar perairan laut. Adanya aturan zonasi yang dilarang untuk melabuhkan sampan atau perahu merupakan sisi positif untuk meminimalisir kerusakan perpipaan (jika direalisasi) oleh jangkar sampan atau perahu. Biaya pengadaan, operasional dan maintenance menjadi catatan tambahan untuk usulan perpipaan bawah laut. Namun untuk investasi jangka panjang, manfaat yang akan diterima dari investasi yang besar ini akan memberikan stimulant untuk pertumbahan pariwisata yang lebih baik dan berkelanjutan.

b. Membuat atau mengajukan instalasi Desalinasi air laut sederhana yang tidak berukuran besar untuk memenuhi kebutuhan kecukupan air di Gili air secara khusus, dan Gili Matra secara umum.

c. Malekukan Rain harvesting pada saat musim hujan. Curah hujan Kabupaten Lombok utara cukup tinggi (147,67 mm pada tahun 2008), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk kebutuhan kehidupan dan pariwisata. Air hujan yang ditampung akan di saring (filtrasi) terlebih dahulu dengan metode sederhana untuk skala rumah tangga, dan metode yang lebih kompleks (missal: bio-sand filter) untuk skala hotel dan penginapan lainnya sebelum digunakan sebagai air baku. Jika digunakan untuk air bersih (bahan baku air minum), maka perlu dilakukan pemanasan terlebih dahulu untuk meminimalisi bakteri pathogen dan unsure kimia yang terkandung dalam air (asumsi nya adalah air hujan yang turun adalah air hujan yang terindikasi asam). Pemanasan skala rumah tangga dapat dilakukan dengan sederhana menggunakan tungku ataupun kompor (dimasak), kemudian untuk skala hotel atau penginapan, dapat menggunakan metode pemanasan yang lebih panjang , seperti menggunakan UV (penyinaran).

d. Restorasi lahan resapan air dan run off dengan meminimalisir penggunaan bahan pendukung pariwisata yang dapat menghambat laju infiltrasi air ke dalam tanah. Dengan demikian, kestabilan akuifer (air tanah permukaan) dalam tanah dapat terjaga kuantitasnya. Berkurangnya kuantitas akuifer dapat mengakibatkan penurunan muka tanah (land subsidence) seprti misalnya Jakarta. Penurunan muka tanah untuk pulau kecil akan berakibat sangat serius, yaitu akan berkurangnya luasan pulau. Dengan terjaganya proses infiltrasi, masayrakat dan pengelola pariwisata dapat memanfaatkan air tanah (sumur) dengan ketentuan yang harus disepakati bersama, agar tidak terjadi over eksploitasi air tanah.

3. Kemandirian energy di GIli Air dapat dikatakan cukup terpenuhi. Pasokan listrik melalui kabel bawah laut dari Lombok menjadi salah satu solusi. Namun tetap perlu mempertimbangkan ketika terjadi konsleting arus lirtrik, sehingga tidak dapat bekerja dengan baik dalam menusplai kebutuhan listrik di GIli Air. Sekitar tahun 2012 T-File, sebuah kelompok pemuda Institut Teknologi Bandung mensurvey perairan GIli matra untuk kelayakan dan kecocokan pemasangan instalasi pembangkit listrik tenaga arus laut terapung. Berdasarkan hasil kajian T-Files, arus perairan GIli matra dinyatakan kurang kuat, sehingga belum bisa untuk mengoprasikan instalasi secara optimal.

(21)

melalui kabel bawah laut. Namun, karena terlalu lama tidak digunakan, ketika terjadi konsleting, generator ini tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga penerangan yang digunakan adalah menggunaka penerangan sederhana seperti lampion dan lampu minyak. Pertimbangan lebih adalah, sebuah pulau kecil seharusnya memnimalisir penggunaan mesin berbahan bakar fossil yang menghasilkan emisi udara.

Suplai energy penting untuk menjadi pertimbangan pengembangan pariwisata. Aktifitas yang dilakukan wisatawan tidaklah sama antara satu dan lainnya keitika melakukan aktifitas pariwisata. Beberapa wisatawan lebih senang menikmati ‘view’ yang indah sambil menulis atau mengejakan laporan menggunakan gadget (missal: laptop). Tentu ini mebutuhkan suplai energy yang baik, selain itu wifi di setiap Bar juga pasti akan membutuhkan listrik untuk dapat diaktifkan. Kedepannya, dirasa perlu untuk melakukan controlling dan monitoring serta maintenance peralatan yang digunakan untuk mensuplai energy listrik, dan generator sebagi alternative pembangkit listrik.

Solusi Alternatif:

a. Rumah tangga masyarakt juga membutuhkan energy yang cukup untuk memasak sehari-harinya. Dalam hal ini, bukan energy listrik yang digunakan, namun kayu bakar dan LPG. Untuk kayu bakar, telah ada peraturan desa dan diperkuat dengan awiq-awiq terkait wilayah yang boleh diambil kayu nya, berapa jumlahnya, dan bagaimana mekanisme penanaman ulang (awiq-awiq yang berlaku: ambil 1, tanam 5). Peraturan Desa ini telah disesuaikan dengan wilayah zonasi, agar tidak terjadi pelanggaran zonasi dan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhannya.

b. Khusus untuk LPG, merupakan kasus yang sama dengan pangan di GIli air, yaitu harus di suplai dari Lombok. Beberapa UKM di GIli air telah menyediakan LPG 3 Kg untuk memnuhi kebutuhan masyarakat dan pariwisata. Artinya, cukup hanya beberapa UKM saja yang berangkat ke Lombok untuk mendapatkan LPG, sehingga masyarakat dapat memnuhi kebutuhannya, serta hotel dan restaurant dapat melanjutkan aktifitas pariwisatanya.

c. Pengembangan energy alternative untuk mencukupi kebutuhan akan energy listrik. Misalnya adalah memanfaatkan energy matahari dengan menggunakan solar panel. Dengan adanya solar panel, emisi bahan bakar fossil akan menjadi berkurang dan secara perlahan akan memperbaiki carrying capacity pulau.

d. Transportasi utama di GIli Air (dan dua Gili lainnya) adalah Sepeda dan cidomo

(dokar). Awiq-awiq dan peraturan desa menyatakan bahwa setiap pemilik cidomo

harus mengelola sendiri kotoran yang dihasilkan kuda, apabila terjadi kemungkinan terburuk misalnya adalah kotoran kuda yang tercecer dijalan, maka cidomo milik masyarakat tidak boleh beroprasi lagi. Beberapa masayrakat juga masih memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, sapi dan kambing.

(22)

lingkungan di Gili Air. Artinya, tidak hanya wisata panorama dan panen, namun Gili Air berpotensi menjadi role model pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan dan budaya.

4. Untuk menjadikan ini sebuah siklus kehidupan berpariwisata yang kompleks,

keberlanjutan mata pencaharian sangat penting untuk kesjehateraan masyarakat. Masyarakat GIli Air sangat bergantung padapariwisata, sehingga, ketika terjadi Bom Bali pada tahun 2002 dan 2005, travel warning menjadi ancaman utama untuk kemajuan pariwisata. Bagi nelayan, tidak dapat menjual di GIli Air, maka dapat menjual ke Pulau Lombok, walupun cost lebih banyak, namun proses penjualan tetap berjalan. Bagaimana dengan pelaku pariwisata secara langsung, tentu tidak dapat berbuat apa-apa selain menunggu dan kembali membangun pariswisata di GIli Air melalui media-media promosi.

Dari kasus bom bali, dirasa penting untuk membuat keberlanjutan mata pencaharian. Artinya, bukan berarti pekerjaan yang dilakukan tidak mendapatkan kendala, namun harus mempertimbangggkan apabila ada situasi diamana masyarakat tidaka dapat melakukan aktifitas tersebut. Artinya, perlu untuk mempertimbangkan alternative mata pencaharian ketika pekerjaan utama tidak dapat dilakukan.

Bottom-up concept

Perencanaan pengembangan pariwisata yang dilakukan sebagikanya berangkat dari masyarakat. Bukan berarti permintaan masyarakat harus dipenuhi, tetapi perlu dikaji lebih lanjut untuk dapat diimplementasikan dengan memeprtimbangkan aspek ekonomi, infrastruktur, ekoligi, sosial, budaya, dan regulasi. Penilian dan apresisasi utamanya adalah pada proses pelibatan masyarakat dari awal. Proses partisipatif ini memberikan semangat yang luar biasa bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Proses partisipatif dalam hal ini tidak seperti musrenbangdes ataupun fasilitasi PNPM-MP, yang kebanyakan orientasinya mengacu pada infrastruktutr. Pelibatan masayrakat dalam hal ini adalah menemukan solusi untuk permasalahan yang mereka hadap, seperti ketergantungan, peningkatan pendidikan, kebutuhan air, dan pemunuhan hak nya sebagai masyarakat.

(23)

Gambar 7. Proses Diskusi Paritisipatif Perencanaan Pembangunan GIli Air

(24)

Artinya, perencanaan pembangunan tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, entah itu pihak pemerintah daerah saja, atau masayrakat saja, atau bahkan investor saja. Perencanaan harus melibatkan seluruh pihak yang terkait, bukan pelibatan dari segi informasi, namun dari segi prosesnya. Kolaborasi multipihak yang dilakukan akan mengundang Investasi-investasi lain karena melibatkan banyak pihak. Oleh karenanya, hasil yang dibuat masyarakat secara bersama-sama dipresentasikan di Kantor Bupati bersama Bupati dan para SKPD, dan perwakilan Dirjen KP3K KKP. Hasilnya, bebrapa menjadi catatan bagi SKPD untuk melakasanakan program, terutama yang terkait dengan pariwisata. Namun, tidak berarti perenecanaan pembangunan hanyan berorientasi pada pariwisata, namun kompleksitas aspek menjadi landasannya.

Gambar 8. Presentasi Tingkat Kabupaten Untuk Kolaborasi Multipihak

Outcome nya, Bottom-up akan tidak berarti apa-apa ketika tidak ada foloow up yan berkelanjutan. Demikian halnya dengan proses perencanaan lainnya, folloe up menjadi validasi dan verifikasi bahwa perencanan yang dilakukan diterima berbagai pihak.

Prospek Pengembangan Pariwisata Gili Air Kedepan

Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara No 11 Tahun 2011 menetapkan Kawasan Gili Matra sebagai kawasan strategis pengembangan ekonomi sector pariwisata, bersama dengan Kawasan Sira-Medana. Kawasan strategis ini mendapatkan prioritas utama dalam perencanaan pembangunan daerah karena semenjak Kabupaten Lombok Utara resmi menjadi Kabupaten Pemekaran (Definitif tahun 2010), pendapatan terbesar daerah berasal dari (sesuai urutan) pariwisata, perikanan, perkebunan dan pertanian.

(25)

Sejalan dengan pengadaan dan perbaikan infrastrukur, beberapa komponen baik internal maupun eksternal menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam prosesnya. Diantaranya adalah MP3EI yang secara nasional (skala koridor dan general provinsi) mengakomodir pertumbuhan ekonomi dari berbagai sector sesuai dengan potensi dan karakteristik yang ada di setiap daerah. Berikutnya adalah multi-institutional atau kelembagaan multipihak yang menjadi stakeholder dalam mengawal perkembangan pariwisata Gili Matra secara umum dan Gili Air secara khusus sampai dengan Pariwisata berkelanjutan.

MP3EI sebagai media percepatan pertumbuhan ekonomi

MP3EI memainkan perannya dengan membagi koridor-koridor ekonomi di Indonesia. NTB tergabung dalam Koridor 5 bersama Bali dan Nusa Tenggara Timur (Bali-Nusra). Pengembangan Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara mempunyai tema Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional. Tema ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di koridor ini yang mana 17% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan serta memiliki ketmpangan pendapatan yang cukup tnggi yaitu sebesar IDR 17,7 juta per kapita (antara kabupaten/kota terkaya dan termiskin di dalam koridor ini). Namun demikian, koridor ini memiliki kondisi sosial yang cukup baik, sebagaimana terlihat dari tngginya tngkat harapan hidup sebesar 63 tahun, tngkat melek huruf sebesar 80 persen serta tngkat PDRB per kapita sebesar IDR 14,9 juta yang lebih tnggi dibandingkan PDB per kapita nasional sebesar IDR 13,7 juta.

Pembangunan kepariwisataan di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara difokuskan pada 9 Destnasi Pariwisata Nasional. Sistem industri jasa memiliki peranan strategis untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pemerataan kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan nasional. Selain itu, juga memberikan kontribusi dalam perolehan devisa negara serta berperan dalam mengentaskan kemiskinan.

(26)

miliar. Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional (Ripparnas) 2011 – 2025 menegaskan bahwa pembangunan kepariwisataan nasional sampai dengan 2025, menargetkan kunjungan wisman mencapai 20 juta orang per tahun (skenario positf)

Gambar 8. Kondisi Pariwisata Bali-Nusra Bagi Perekonomian Indonesia

Selain itu sebagai pusat pertumbuhan di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara, Bali juga memiliki tngkat pertumbuhan pariwisata yang stabil dan ditandai dengan jumlah kunjungan wisatawan cenderung meningkat, yaitu sebesar 1.328.929 orang (2006), 1.741.925 orang (2007), 2.081.786 orang (2008), 2.384.819 orang (2009), 2.546.023 orang (2010), dengan rata-rata tngkat hunian hotel lebih dari 60 persen. Bali juga memiliki jalur penerbangan nasional ke berbagai destnasi Indonesia dan penerbangan internasional dari dan ke Bali dalam jumlah yang memadai sehingga Bali mempunyai kemampuan sebagai pintu gerbang sekaligus pusat distribusi pariwisata di Indonesia.

Tabel 7. Data Pariwisata Koridor Bali-Nusra terhadap Perekonomian Indonesia

(27)

Beberapa strategi umum dalam MP3EI untuk dapat meningkatkan jumlah kunjungan dan lama tnggal wisatawan selama berkunjung ke Bali – Nusa Tenggara, antara lain:

 Meningkatkan keamanan di dalam Koridor Bali – Nusa Tenggara, antara lain melalui penerapan sistem keamanan yang ketat;

 Melakukan pemasaran dan promosi yang lebih fokus dengan target pasar yang lebih jelas. Strategi pemasaran untuk setap negara asal wisatawan perlu disesuaikan dengan menerapkan tema ”Wonderful Indonesia, Wonderful Nature, Wonderful Culture, Wonderful People, Wonderful Culliner,dan Wonderful Price”. Kegiatan pemasaran dan promosi ini diharapkan dapat membuat Bali menjadi etalase pariwisata dan meningkatkan citra Bali sebagai tujuan utama pariwisata dunia;

 Memberdayakan Bali Tourism Board untuk mengkoordinasikan usaha pemasaran dan promosi Bali;

 Meningkatkan pengembangan destnasi pariwisata di wilayah Bali Utara dalam rangka meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan dan lama tnggal wisatawan;

 Meningkatkan destnasi pariwisata di luar Bali (Bali and Beyond) dengan menjadikan Bali sebagai pintu gerbang utama pariwisata Indonesia sepert wisata pantai (Bali, Lombok, NTT), wisata budaya (Bali), wisata pegunungan (Jatm, Bali, Lombok), dan wisata satwa langka (Pulau Komodo). Kunci sukses dari strategi ini adalah dengan pengadaan akses sepert peningkatan rute penerbangan ke daerah-daerah pariwisata di sekitar Bali, yang disertai pemasaran yang kuat dan terarah;

 Meningkatkan kualitas dan kenyamanan tnggal para wisatawan dengan meningkatkan sarana dan prasarana sepert ketersediaan air bersih, listrik dan transportasi serta komunikasi;

 Meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal terutama SDM pariwisata di NTB dan NTT, serta mengembangkan gerakan sadar wisata khususnya di wilayah Nusa Tenggara

Selain meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara, faktor lain untuk meningkatkan pendapatan kegiatan ekonomi utama ini adalah meningkatkan jumlah pembelanjaan wisatawan. Perubahan pola ekonomi dunia juga mempunyai dampak pada pariwisata daerah. Oleh karena itu, pemerintah dan industri pariwisata harus secara proaktf mengidentfkasi dan mengeksplorasi pasar-pasar baru yang bisa mendorong laju pertumbuhan pariwisata di masa mendatang

Regulasi dan Kebijakan Dalam rangka melaksanakan strategi umum tersebut, diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan berikut:

 Kemudahan perluasan pemberian Visa Entry, Visa On Arrival dan Visa On Board bagi wisatawan mancanegara serta perpanjangan visa bagi pengguna kapal layar yacht asing;

(28)

 Mempermudah pemberlakuan CAIT (Clearance Approval for Indonesian Territory) bagi wisatawan asing pengguna kapal layar yacht;

 Mengurangi/menghilangkan biaya impor sementara bagi pelaku asing wisata bahari (kapal layar yacht) yang masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia;

 Meninjau kembali RTRW Bali, NTB dan NTT untuk mendukung rencana pengembangan pariwisata di Bali;

 Penyusunan Standard Operatng Procedure (SOP) percepatan perizinan dan penyediaan Pelayanan Terpadu Satu Atap untuk semua perizinan untuk pengembangan kawasan wisata.

Konektvitas (infrastruktur) Selain hal di atas, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam rangka peningkatan konektvitas untuk mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama pariwisata, dilakukan melalui:

 Peningkatan kapasitas dan pelayanan bandar udara, sepert pengembangan bandar udara di Lombok yang dapat diberdayakan sebagai “matahari kembar” selain Bandara Ngurah Rai (untuk membagi beban lalu lintas penumpang yang ada di koridor ekonomi ini, karena jumlah pengunjung yang akan masuk ke koridor ini diproyeksikan akan melebihi kapasitas Bandar Udara Ngurah Rai pada tahun 2020);  Peningkatan kapasitas dan pembangunan infrastruktur jalan, sepert rencana

pembangunan Jalan Tol Nusa Dua – Benoa;

 Peningkatan akses jalan perlu ditngkatkan untuk menghubungkan daerah-daerah pariwisata di luar Bali bagian selatan dan di dalam wilayah NTB dan NTT;

 Pembangunan Kereta Api Wisata Lingkar Bali (dalam rencana jangka panjang);  Peningkatan pelabuhan dan marina yang telah ada agar memenuhi standar (sepert

kapal cruise dan kapal layar yacht);

 Pembangunan pembangkit listrik baru yang dapat meningkatkan ketersediaan listrik bagi Bali dan Nusa Tenggara.

Terkait dengan Pembangunan Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara teridentfkasi rencana investasi baru untuk kegiatan ekonomi utama Pariwisata, Perikanan, Peternakan serta infrastruktur pendukung sebesar sekitar IDR 133 Triliun. Berikut ini adalah gambaran umum investasi yang ada di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara:

(29)

Kelembagaan (institusional) multipihak

Lembaga dalam artian institusi adalah segala sesuatu yang sifatnya berkelompok, memiliki visi, misi dan tujuan dengan status berbadan hukum. Institusi pemerintahan, NGO, dan lembaga ekonomi (UKM) merupakan beberapa institusi yang berstatus badan hukum. Namun, kelembagaan yang dimaksudkan adalah lembaga yang dapt mengawal mulai dari perencanaan, pengkajian, perancangan, implementasi, monitoring, dan evaluasi demi menciptakan kepariwisataan yang berkelanjutan dan comprehensive.

Kelembagaan (institusi) ditekankan pada proses kolaborasinya, bukan pada objek ‘kelembagaannya’. Keterlibatan lembaga yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat untuk meningkatkan kapabilitasnya menjadi scope terkecil dari kelembagaan, sampai pada tingkatan tertinggi adalah pemerintah pusat (institusi pemerintahan).

Analisa kebutuhan pariwisata untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi daeraha harus sejalan dengan analisa kebutuhan masayrakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi pariwisata dan pertumbuhan ekonomi masayrakat. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata harus menjadi program yang jelas.

Jika dilihat dari sisi penerimaan pariwisata terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, faktor enabler menjadi prioritas utama. artinya masyarakat yang buka merupakan enabler harus diperkuat kapasitasnya, baik oleh masayrakat yang enabler maupun lembaga-lembaga yang memang bertujuan dalam peningkatan kapasitas. Karena ketika masyarakat yang bukan merupakan enabler diabaikan, dikhawatirkan justru akan mengganggu keberlanjutan pariwisata, sehingga ketimpangan pertumbuhan ekonomi justru semakin terjadi. Dengan hal ini, tujuan dari MP3EI dan sustainable development belum bisa diwujudkan.

(30)
(31)

Lampiran

Awiq-awiq merupakan pranata atau aturan lokal yang dibuat, dilaksanakan dan diataati bersama dilakukan oleh masyarakat setempat secara bersama, untuk mengatur hubungan antar manusia, masyarakat dengan masyarkat, masyarakat dengan alam dan masyarakat dengan pencipta. Awiq-awiq lahir atas kesepakatan bersama maka awiq-awiq pada hakekatnya adalah aturan lokal yang merupakan hak untuk mengatur lingkungannya sendiri dan merupakan aturan/kesepakatan yang dibuat dan dijalankan bersama.

Di Desa Gili Matra telah membuat sebuah Keputusan Nomor 12/Pem.1.1./06/1998 tentang awiq Pemeliharaan dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Pembuatan Awiq-awiq ini dilaksanakan oleh Pengurus Kelompok Pelestarian Lingkungan Terumbu Karang (KPLTK), dimana sekarang ini terdapat 3 KPLTK yang mewakili tiga dusun. Keputusan awiq-awiq ini berbentuk formal seperti bentuk-bentuk surat keputusan yang biasa dipakai oleh pemerintah. Bagian menimbang yang berisi keadaan potensi pesisir dan laut serta kepedulian akan kondisinya yang terancam kerusakan. Bagian mengingat berisi berbagai undang-undang dan peraturan tentang pengarutan pemanfaatan dan pelestarian SDA. Bagian memutuskan berisi penetapan untuk mengeluarkan awiq-awiq desa yang terdiri dari 19 bab dan 33 pasal, yaitu Ketentuan Umum, Zonasi Dusun Gili Air, Zonasi Dusun Gili Meno, Zonasi dusun Gili Trawangan, Koleksi Biota Laut, Budidaya Mutiara, Kelembagaan dan Sumber Dana Pengelolaan, Sangsi, Ketentuan Peralihan, dan Penutup. Dokumen ini dilengkapi dengan sketsa yang bersifat makro yang menggambarkan letak zona-zona dengan landmarks serta petunjuk mengenai kegiatan-kegiatan apa yang boleh, boleh dengan izin dan tidak boleh di zona-zona tersebut.

Namun aturan tersebut dianggap gagal dalam penerapannya, sehingga muncul aturan lokal yang baru yang dibuat oleh Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU), tepatnya tanggal 19 Maret 2000 dan kemudian direvisi/disempurnakan pada tanggal 30-31 Agustus 2004 oleh berbagai komponen baik nelayan, tokoh masyarakat/tokoh agama, Pemerintah Desa/Kecamatan dan LSM. Aturan ini lahir karena adanya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Aturan formal yang dibuat oleh pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut akibat dari lemahnya penegakan hukum.

(32)

maupun pengusaha lainnya yang dapat berpengaruh negatif bagi ekologi pesisir dan laut; (4) Aktivitas transportasi wisata pantai dan kegiatan penyelaman (diving).

Degradasi sumberdaya terumbu karang di kawasan Gili Trawangan sejak elnino 1998 lebih disebabkan karena faktor manusia. Degradasi yang disebabkan oleh faktor manusia hanya bisa dikendalikan oleh ketegasan dalam menjalankan aturan dan sanksi yang diberlakukan. Berbagai aturan telah dibuat dan disepakati untuk menjaga sumberdaya terutama terumbu karang, seperti awig-awig, aturan zonasi pemerintah, aturan yang dibuat eco trust dan lain-lain. Tapi masih ada pelanggaran terhadap aturan yang ada dan umumnya dilakukan oleh masyarakat dan pelaku wisata. pelanggaran tersebut menyebabkan atau mengancam keberlanjutan sumberdaya terutama terumbu karang.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Gili Matra
Gambar 2. Peta Rencana Zonasi Taman Wisata Alam Perairan GIli Matra
Gambar 3. Sketsa  Dusun GIli Air Sumber: I-CATCH Desa Gili Matra, 2012
Gambar 4. Peta Tata Guna Lahan Gili Matra Sumber: Amir, 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil belajar siswa menggunakan nilai post test dengan teknik analisis data statistik uji-t satu sampel (one sample t-test). Hasil penelitian ini menunjukan penuntun

Perangkat laboraturium yang dikembangkan terdiri dari penuntun praktikum, lembar kerja siswa (LKS) dan Peralatan praktikum. Hasil pengembangan berupa enam judul praktikum,

Dengan membandingkan estimasi harga obligasi dengan pengaruh konveksitas berdasarkan Macaulay Duration dan Exponential Duration pada data obligasi yang diterbitkan pada

Hasil akhir dari program tersebut adalah suatu simulasi yang menggambarkan barisan waktu ambang yang tepat untuk pemilihan harga dalam penjualan tiket yang mengakibatkan

Saudara Loisa Wijaya Berhubungan ada t ugas yang mendadak, saya t idak dapat hadir sebagai juri unt uk Pemilihan Pelajar Teladan Senin, 9 November 2009 pukul 08.00 di

Angket merupakan instrument pengumpul data penelitian berupa sejumlah pertanyaan tertulis yang diberikan kepada Angket merupakan instrument pengumpul data penelitian berupa

Selain itu dengan adanya sistem yang terkomputerisasi diharapkan adanya unsur obyektifitas pengambil keputusan serta dapat meminimalkan humam error, mempercepat

Namun kurangnya dokter hewan yang tidak selalu ada di tempat sehingga dibutuhkan suatu program sistem pakar berbasis desktop yang mampu memberikan diagnosa akan