• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSPIRASI SEMAKIN HARI SEMAKIN SEMANGAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INSPIRASI SEMAKIN HARI SEMAKIN SEMANGAT"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

Margaretta Sugiarto Faculty of Psychology

Universitas Surabaya

Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya pemahaman mengenai subjective well-being pada lansia dan religiusitas dalam komunitas agama Timur. Informan penelitian adalah lansia yang aktif dalam kelompok Inspirasi, yaitu umat lansia dalam agama Buddha Nichiren Shoshu Surabaya. Hasil yang didapatkan adalah dengan melaksanakan prinsip shin-gyo-gaku (percaya, pelaksanaan, dan belajar), lansia dapat memaknai krisis yang terjadi pada dirinya sebagai suatu bentuk karma. Berdasarkan konsep shoho-jissho (suasana adalah saya), lansia memaknai suatu peristiwa sebagai sebab yang diperbuat di masa lalu, yang mengundang jodoh tertentu, sehingga mengakibatkan terjadinya peristiwa tersebut (sebab-jodoh-akibat). Pada akhirnya pemaknaan ini membawa lansia pada subjective well-being yang memampukan mereka untuk menjalani kesehariannya dengan produktif dan bahagia.

Kata kunci: subjective well-being, lansia, Buddha, Nichiren Shoshu, karma

Tercapainya kondisi well-being dapat dipengaruhi oleh banyak hal. Eddington & Shuman (2005) menerangkan faktor perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, penghasilan, pernikahan, kesehatan, kepuasan kerja, agama, kesenangan, life events, dan kompetensi, sebagai faktor-faktor yang berkorelasi dengan subjective well-being. Banyak penelitian besar menunjukkan bahwa subjective well-being berkorelasi secara signifikan dengan agama (Ellison; Ellison, Gay, & Glass; Pollner; Poloma & Pendleton dalam Eddington & Shuman, 2005). Agama membuat perbedaan dalam hidup seseorang: menyediakan jaringan sosial, memengaruhi kesehatan fisik dan mental, kehadiran di sekolah, dan mengurangi aktivitas merusak (Lehrer dalam Clark & Lelkes, 2005). Beberapa penelitian terkini menemukan bahwa aktivitas religius, yaitu kehadiran di gereja, berdoa dan keyakinan, yaitu keyakinan religius, serta kekuatan hubungan dengan Tuhan berhubungan secara positif dengan subjective well-being, dengan mengontrol variabel demografik, seperti usia,

penghasilan, dan status pernikahan (Argyle, Luttmer; Diener et al. dalam Clark & Lelkes, 2005). Ellison menyimpulkan bahwa suatu variabel religiusitas menjelaskan 5-7% dari variasi pada kepuasan hidup (Clark & Lelkes, 2005). Dari berbagai penelitian ini, dapat dikatakan agama dan religiusitas memengaruhi kesehatan mental, terutama subjective well-being, melalui berbagai cara.

Semua penelitian di atas berfokus pada subjective well-being dan religiusitas pada masa dewasa di segala usia, sehingga menyulitkan generalisasi pada lanjut usia (lansia). Lansia yang telah mengalami penurunan dalam banyak hal seperti penurunan fungsi fisik dan mental, memiliki dinamika yang berbeda dengan orang dewasa, oleh sebab itu, diperlukan adanya penelitian mengenai subjective well-being dan religiusitas yang lebih mendalam terhadap lansia.

(2)

kebahagiaan dan well-being secara menyeluruh, diperlukan penelitian pada komunitas yang unik, dalam hal ini komunitas agama Timur. Hal ini disebabkan konsep dan pengertian dibentuk oleh budaya (Bruner dalam Lu, 2001). Perbedaan antara budaya Timur dan Barat tentunya memberikan pemaknaan yang berbeda, yang dapat memberikan pengertian berbeda dari hasil-hasil penelitian selama ini.

Komunitas agama Timur yang hendak diteliti adalah komunitas agama Buddha Nichiren Shoshu, yang berada di bawah naungan Majelis Niciren Syosyu Buddha Dharma Indonesia (MNSBDI) atau disebut juga BDI. Ada tiga hal yang mendasari peneliti memilih subjek amatan di BDI. Pertama, peneliti memiliki agama yang sama, sehingga akan memudahkan peneliti dalam memahami dan menghayati ajaran sekte, yang juga mendasari kecenderungan umatnya berperilaku. Kedua, oleh karena telah menjadi anggota dalam sekte tersebut, peneliti memperkirakan tidak mengalami kendala berarti dalam melakukan penelitian. Ketiga, peneliti menemukan keunikan tersendiri dalam kegiatan yang diadakan lansia BDI. Keunikan ini terletak pada jenis kegiatan yang dilakukan lansia BDI, yaitu tidak hanya sembahyang tetapi juga menyentuh pelaksanaan secara profan. Hal ini disebabkan adanya konsep menjalankan pertapaan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga umat tidak hanya melakukan sembahyang, tetapi juga didorong untuk turut aktif dalam kegiatan yang diadakan vihara.

Bagian lansia di BDI diberi nama Inspirasi. Pemberian nama ini tidak lepas dari fenomena yang dirasakan para pemimpin BDI, bahwa lansia di BDI kurang memiliki semangat hidup sehingga terkesan tidak bahagia. Akhirnya, agar para lansia

dapat ”bangkit” dan menjadi inspirasi bagi

generasi muda, nama Inspirasi dipakai oleh bagian lansia MNSBDI. Untuk mendukung cita-cita tersebut, kegiatan lansia di vihara tidak hanya berdoa, melainkan juga ada kegiatan berkumpul dengan sesama umat,

yang dinamakan pertemuan rutin. Dalam pertemuan ini, yang dibahas tidak hanya seputar ajaran agama, tetapi juga sharing mengenai kehidupan sehari-hari. Kelompok lansia ini juga memiliki slogan sendiri.

Slogannya adalah ”Inspirasi semakin hari semakin semangat”. Bila ada pertemuan,

MC yang membawakan acara akan mengajak para lansia untuk meneriakkan slogan dengan keras.

Praktik pertapaan utama yang diajarkan Nichiren Daishonin kepada murid-muridnya adalah penyebutan Daimoku1 dan melaksanakan Gongyo2. Di samping itu, Nichiren menulis berbagai surat berisi petunjuk kepada murid-muridnya untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Surat-surat yang disebut Gosyo itu, hingga saat ini masih tersimpan dengan baik di Kuil Pusat Sekte Nichiren Shoshu di Taiseki-Ji, Jepang (Yayasan Amerta, 1994).

Dalam Buddhisme Nichiren, Shinjin atau hati kepercayaan merupakan konsep keimanan. Dalam ajaran Nichiren Shoshu shinjin tidak bisa hanya menjalankan gongyo-daimoku di rumah tanpa menjalankan ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Tiga hal yaitu percaya (shin), pelaksanaan (gyo), dan belajar (gaku) saling berhubungan. Shin berarti yakin terhadap Gohonzon3. Ini merupakan aspek afektif

1 Daimoku adalah menyebutkan Mantera Agung

Nammyohorengekyo berulang-ulang.

2 Gongyo secara harafiah adalah pelaksanaan yang tekun, gongyo dilakukan dengan membaca dua bab terpenting dalam Saddharma-pundarika sutra, yaitu Bab kedua Upaya Kausalya dan Bab keenam belas

Panjang Usia Sang Tathagata. Gongyo dilaksanakan

dua kali dalam sehari, yaitu pagi dan sore. Dapat dikatakan gongyo adalah bentuk meditasi dari aliran Nichiren Shoshu. Ketika gongyo, di samping membaca Saddharma-Pundarika Sutra, umat juga menyebut daimoku kepada Gohonzon sambil

memfokuskan diri pada huruf kanji China ”Myo” (hukum gaib) di tengah-tengah Gohonzon (Yayasan Amerta, 1994).

3 Gohonzon: Mandala pusaka pemujaan Nichiren Shoshu. Nichiren Daishonin mewariskan Dharma

Nammyohorengekyo dalam wujud pusaka-pemujaan

(3)

dalam keberagamaan Nichiren Shoshu. Aspek behavioral, yaitu gyo, berarti menyebut Nammyohorengekyo dan melaksanakan gongyo dua kali sehari, dan mengajarkan hal yang sama kepada orang lain. Kemudian aspek kognitif yaitu gaku berarti membaca tulisan Nichiren Daishonin (gosyo) dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Di antara ketiga hal ini, shin adalah yang paling mendasar untuk pencapaian kesadaran Buddha. Shin meningkatkan gyo dan gaku; gyo dan gaku membantu memperdalam shinjin (hati kepercayaan).

Tujuan shinjin adalah pencapaian kesadaran Buddha dalam badan apa adanya (Sokushin Jobutsu). Pandita Keiko Senosoenoto menjelaskan bahwa Jobutsu (mencapai kesadaran Buddha) terletak dalam jiwa manusia. Apa yang ada dalam jiwa akan tampak nyata (tecermin) dalam lingkungan sekitar. Jadi semua hal yang terjadi pada diri merupakan cerminan suasana dalam jiwa. Gembira atau tidak, semua bersumber dari dalam jiwa, bukan bergantung pada suasana dari luar diri. Untuk itu, apa pun yang kita alami, individu harus bisa merasakan terima kasih. Bila bisa berperilaku demikian, barulah bisa mencapai Sokushin Jobutsu (Renny, 2009).

Tujuan kedua dari shinjin adalah kosenrufu. Kosenrufu adalah penyebaran Hukum Agung dari Buddha Nichiren Daishonin ke seluruh dunia. Umat Nichiren Shoshu percaya dengan menyebarluaskan ajaran Nichiren Daishonin ke seluruh dunia dapat menyelamatkan dunia dari penderitaan.

Metodologi

Informan penelitian ini adalah para lansia yang aktif dalam kegiatan lansia di Sekte Nichiren Shoshu, khususnya daerah Surabaya. Spesifikasi ini diperlukan sebab penelitian ini bertujuan mencari proses

ditulisi dengan menggunakan tinta sumi. Di tengah

Gohonzon tertera aksara ’ Nammyohorengekyo-Nichiren’.

terjadinya subjective well-being pada lansia ditinjau dari keaktifan mereka dalam kegiatan keagamaan. Keaktifan ini dapat dilihat dari 1) frekuensi partisipasi informan dalam kegiatan di vihara; 2) frekuensi informan melakukan gongyo-daimoku; serta 3) partisipasi informan dalam tim kerja dalam organisasi BDI. Kedua informan telah memeluk Nichiren Shoshu dalam jangka waktu yang lama, lebih dari 30 tahun. Informan pertama adalah Bu Kirin (BK), seorang lansia yang telah aktif menjalankan agama Nichiren Shoshu sejak 1978. Saat ini, Bu Kirin masih tetap aktif dalam tim kerja lansia. Informan kedua adalah Pak Chan (PC), seorang pandita yang saat ini juga menjabat sebagai ketua kegiatan lansia. Pak Chan menganut agama Nichiren Shoshu sejak 1977.

Penelitian ini menggunakan metode

wawancara mendalam dengan

menggabungkan antara pendekatan dengan pedoman umum dan pendekatan dengan pertanyaan mengenai tingkah laku spesifik yang dialami informan. Data wawancara dikumpulkan dalam bentuk transkrip wawancara yang dituliskan kata per kata atau verbatim. Proses wawancara dilakukan dengan sarana perekam dengan seizin informan.

Metode analisis data yang dilakukan adalah analisis induktif. Prosesnya dimulai dengan wawancara, yang akan memunculkan tema-tema, kategori-kategori dan pola hubungan di antara kategori-kategori tersebut (Patton dalam Poerwandari, 2001). Hasil wawancara para informan ditranskripkan dan kemudian dianalisis. Dalam penelitian ini, alat analisisnya adalah menulis untuk menemukan pola, logika, dan makna berkaitan dengan kegiatan keagamaan yang dapat mendukung munculnya subjective well-being pada lansia.

Hasil dan Pembahasan

(4)

gyo atau pelaksanaan dalam shinjin. Baik Bu Kirin maupun Pak Chan aktif dalam berorganisasi. Bentuk keaktifan keduanya tidak hanya berupa menghadiri pertemuan, tetapi juga kesediaan untuk mengambil tanggung jawab sebagai pengurus dalam komunitas. Bu Kirin pernah menjabat sebagai ketua Dharmasala dan ketua daerah, sedangkan Pak Chan hingga saat ini merupakan ketua Inspirasi. Aktif dalam kegiatan yang diadakan dalam komunitas BDI adalah salah satu wahana dalam menerapkan ajaran-ajaran Nichiren Shoshu, seperti konsep maitri karuna4, ichinen sanzen5, sokushin jobutsu, dan cinta tanah air.

Proses keberagamaan pada Bu Kirin dan Pak Chan tidak terlepas dari pemaknaan yang dilakukan terhadap nilai-nilai ajaran yang dihayati oleh keduanya. Konsep makna sangat luas dan didefinisikan secara berbeda oleh ahli-ahli yang menelitinya. Park & Folkman dalam Compton & Hoffman (2013) menyatakan makna adalah persepsi terhadap arti. Makna memberikan arti pada hidup, dan dibandingkan institusi lainnya, agama menawarkan perspektif yang lebih luas terhadap hidup manusia dan menjelaskan mengapa suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Yalom; dan Park menawarkan konsep makna kosmik atau makna global, yaitu pertanyaan tentang apakah hidup secara umum, atau paling tidak hidup manusia, cocok dengan pola koheren secara keseluruhan. Lebih lanjut Park & Folkman mendefinisikan makna kosmik sebagai pencarian untuk

4Maitri Karuna: atau cinta universal. Konsep mencabut akar penderitaan serta memberikan kebahagiaan pada orang lain.

5Ichinen Sanzen: Tiga ribu dunia (sanzen) tercakup dalam sekejap kehidupan (ichinen) yang dialami dalam pikiran individu. Konsep yang menjelaskan semua bentuk kehidupan mengandung jiwa Buddha dengan segala aspek kehidupan lainnya. Ini diuraikan dengan ajaran tentang sepuluh kondisi jiwa atau pikiran, yaitu Sepuluh Dunia. Lebih lanjut, prinsip saling ketercakupan membuatnya menjadi 100 dunia, yang mewujud melalui prinsip sepuluh faktor dan tiga alam, yang menjadikan 3000 dunia.

mempertahankan keyakinan, tujuan-tujuan bernilai, dan rasa akan keteraturan dan koherensi untuk eksistensi. Makna kosmik

’berpusat pada apa yang dirasakan sebagai yang suci’ (Compton & Hoffman, 2013).

Frankl dalam Koeswara (1992) orientasi pada makna dapat membawa manusia kepada konfrontasi dengan makna. Orientasi pada makna menunjuk pada manusia itu apa, sedangkan konfrontasi dengan makna menunjuk pada manusia itu seharusnya bagaimana atau menjadi apa. Ketika orientasi pada makna berubah menjadi konfrontasi dengan makna, individu berkembang dan mencapai kematangan, sehingga kebebasannya berubah menjadi kebertanggungjawaban. Individu bertanggung jawab atas realisasi nilai-nilai dan pemenuhan makna yang spesifik bagi kehidupan pribadi atau keberadaan dirinya.

Baik Bu Kirin maupun Pak Chan memaknai kesulitan atau penderitaan dalam hidup (makna situasional) sebagai karma yang harus dijalani. Karma atau Hukum Sebab-Jodoh-Akibat merupakan makna global baik bagi Bu Kirin maupun Pak Chan. Sikap religius dapat menarik elemen-elemen kehidupan yang berlainan ke arah yang konsisten. Park & Folkman menyatakan bahwa menciptakan makna adalah proses mengurangi jarak antara situasi yang dihadapi dengan makna global.

Armstrong (2012), menyatakan bahwa karma mengikat manusia kepada lingkaran kebangkitan kembali tak berujung dalam rangkaian kehidupan yang sarat derita, namun bila individu mampu mengubah perilaku egoisnya, maka individu akan mampu mengubah nasib. Lebih lanjut Armstrong menuliskan bahwa satu-satunya yang berharga bagi penganut Buddha adalah hidup dengan cara baik; jika ini diupayakan, maka penganut Buddha akan menemukan bahwa dharma itu benar.

(5)

dalam kegiatan-kegiatan di vihara. Gongyo-daimoku terutama merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan Bu Kirin dan Pak Chan.

Lebih lanjut pemaknaan merupakan prediktor penting dalam well-being yang tinggi (Park; Steger dalam Compton & Hoffman, 2013). Hasil-hasil penelitian juga menyatakan bahwa hubungan antara keduanya bersifat resiprokal, yaitu besarnya pemaknaan meningkatkan well-being, dan meningkatnya emosi positif membuat individu merasa hidupnya lebih bermakna (King, dkk dalam Compton & Hoffman, 2013).

Bagaimanapun dampak pemaknaan terhadap well-being tergantung pada kondisi individu, masih dalam tahap mencari pemaknaan atau sudah nyaman dengan pemaknaan yang dilakukan. Baik Bu Kirin dan Pak Chan telah mencapai pemaknaan yang tetap; bahwa permasalahan yang terjadi merupakan hasil karma masa lampau. Lebih lanjut sifat dan perilaku keduanya-lah yang mengundang jodoh buruk, sehingga karma mewujud dalam bentuk akibat (permasalahan). Mampu menyadari dan menerima penderitaan sebagai karma dikatakan sebagai konsep shoho-jissho atau

”suasana adalah saya”, yang nantinya akan

menuntun individu mencapai kesadaran Buddha sekejap-sekejap dalam badan apa adanya (sokushin jobutsu).

Tujuan umat perlu berjuang dalam pelaksanaan shinjin ialah membentuk kondisi kehidupan kekuatan spiritual yang benar-benar tak dapat dihancurkan,

kebijaksanaan dan kedamaian yang berdasarkan Dunia Buddha (Butsu). Jobutsu berarti menjadi (berada di dunia) Buddha

atau ”yang tercerahkan”.

Dalam Buddhisme secara umum, kondisi pencerahan dialami oleh individu yang mengalami Nirvana. Nirvana terjadi ketika individu mampu mengobservasi proses-proses psikologis yang terjadi pada dirinya tanpa keterikatan. Mengalami Nirvana adalah lepas dari segala kebutuhan dan nafsu yang didasarkan pada keserakahan, kemarahan, dan delusi. Individu yang mengalami Nirvana akan merasakan emosi positif. Lebih lanjut biksu dan peneliti Walpola Rahula menyatakan

bahwa ”dia yang menyadari Kebenaran, Nirvana, adalah makhluk paling bahagia di dunia... Dia gembira, bebas dari kecemasan, tenang, dan damai... penuh akan cinta universal, belas kasih, kebaikan, simpati, pengertian dan toleransi” (Compton &

Hoffman, 2013).

(6)

Tabel 1

Sepuluh Dunia dan Faktor Mental yang Menyertai

No. Dunia Faktor Mental

a. Dunia Neraka (Jigoku) Marah-benci; Keputusasaan. b. Dunia Kelaparan (Gaki) Serakah; Ketidakpuasan. c. Dunia Kebinatangan (Chikuso) Ketakutan.

d. Dunia Kemarahan (Shura) Superioritas; Prasangka; Kecemburuan

e. Dunia Manusia atau Ketenangan (Nin) Rasionalitas; Kesabaran; Ketenangan.

f. Dunia Surga (Ten) Kegembiraan.

g. Dunia Sravaka atau Dunia Belajar (Shomon)

Keingintahuan (teoritis); Pemahaman.

h. Dunia Pratekyabuddha atau Dunia Realisasi Diri (Engaku)

Pengetahuan intuitif yang mendalam dan memuaskan diri. i. Dunia Bodhisattva (Bosatsu) Kepedulian; Belas kasih (Maitri

Karuna)

j. Dunia Buddha (Butsu) Kebijaksanaan; Kedamaian; Ketenangan tak tergoyahkan; Maitri karuna.

Sekilas konsep Sepuluh Dunia mirip dengan konsep mengenai emosi dan mood dalam psikologi Barat. Emosi adalah perasaan terfokus yang muncul dan menghilang secara cepat sebagai respon terhadap kejadian di lingkungan sekitar. Sebaliknya, mood lebih bersifat menetap sekalipun terjadi perubahan-perubahan kecil dari waktu ke waktu. Morris dalam Compton & Hoffman, 2013, menyatakan mood menyediakan sistem pengamatan berkelanjutan yang memberikan informasi kejadian-kejadian yang sedang berlangsung mengenai seberapa baik individu menangani suatu kejadian.

Akan tetapi konsep Sepuluh Dunia tidak hanya semata-mata mengenai emosi dan mood, melainkan juga mengenai kecenderungan (sifat) manusia. Sekalipun

setiap manusia terlahir dengan Sepuluh Dunia saling mencakupi, setiap orang memiliki kecenderungan pada dunia (state of mind) tertentu. Contohnya individu yang berada dalam Dunia Kelaparan cenderung bersifat serakah dan tidak pernah puas. Yang menentukan bahagia atau tidaknya manusia adalah perasaan. Perasaan ini yang menentukan cara individu berpikir, bicara, dan berperilaku, yang kemudian menentukan baik atau buruknya karma yang diperbuat (Senosoenoto, 2013).

(7)

psychological being, emotional well-being, dan social well-being. Pembahasan mengenai proses ini dapat dilihat lebih lanjut pada Gambar 1.

Aspek-aspek psychological well-being adalah self-acceptance, personal growth, positive relationships, autonomy, environmental mastery, dan purpose in life. Self-acceptance berhubungan dengan kemampuan menyadari aspek-aspek dalam diri, baik positif maupun negatif. Bu Kirin tadinya berpikir bahwa dirinya selalu benar, sehingga bersikap keras terhadap orang lain. Tadinya Bu Kirin berpikir bukan dirinya yang keras, melainkan orang lain. Melalui pemaknaan yang dilakukannya Bu Kirin menyadari perlakuan keras dari orang lain merupakan cerminan sifatnya (karma). Dengan menyadari bahwa permasalahan yang ada merupakan karma, Bu Kirin dapat menerima sifat kerasnya sebagai bagian dari dirinya. Demikian pula, Pak Chan memiliki sifat serupa, yang diakuinya sebagai sifat sombong dan keras hati. Melalui pemaknaan terhadap peristiwa yang terjadi, Pak Chan menerima sifat sombong ini sebagai kelemahan yang harus diperbaiki.

Personal growth adalah kapasitas untuk tumbuh dan mengembangkan potensi. Pemahaman bahwa setiap manusia memiliki Dunia Buddha dalam dirinya, membuat Bu Kirin dan Pak Chan merasa mampu untuk mencapai sokushin jobutsu. Sokushin jobutsu berlangsung sekejap-sekejap, namun dengan tekun menjalankan ajaran, Bu Kirin dan Pak Chan merasa dapat menumbuhkan kondisi ini lebih sering.

Aspek positive relationships berkaitan dengan keaktifan dalam komunitas agama, yang tidak hanya berperan sebagai sarana pembelajaran, tetapi juga sebagai dukungan sosial. Dimensi ini ditandai dengan hubungan yang hangat dengan orang lain dan kepedulian terhadap orang lain. Dalam hal ini, pada Bu Kirin terutama lebih nampak. Bu Kirin merasa hubungannya dengan umat lain lebih hangat dibandingkan dengan keluarga sendiri. Sekalipun hubungannya dengan menantu kurang baik,

Bu Kirin tetap berupaya untuk mengajak menantunya berkomunikasi. Sebaliknya pada Pak Chan, dimensi ini ditandai oleh kepeduliannya pada mantan menantu, yang baginya tetap menantu sekalipun sudah bercerai. Pak Chan mengungkapkan kesediaannya untuk membantu bila mantan menantunya membutuhkan sesuatu.

Aspek keempat, autonomy, merupakan ketetapan diri dan kemampuan untuk mengatur perilaku dari dalam diri. Dengan pemaknaan shoho-jissho, Pak Chan dan Bu Kirin merasa bahwa kebahagiaan ditentukan oleh pikiran dan perilaku mereka sendiri. Keduanya berusaha untuk tidak terpengaruh situasi atau permasalahan yang terjadi. Hal ini dapat tampak jelas pada Bu Kirin yang tidak membiarkan perlakuan menantu memengaruhi kesehariannya secara negatif.

Aspek keempat juga berhubungan dengan aspek kelima, environmental mastery. Aspek ini berhubungan dengan adanya kemampuan untuk memilih situasi dan lingkungan untuk mencapai tujuan. Individu memiliki perasaan bahwa dirinya memegang kendali atas situasi yang terjadi. Dalam dua peristiwa buruk yang menimpanya, Pak Chan merasa dirinya juga turut memiliki andil dalam peristiwa tersebut. Sebagai akibatnya, Pak Chan merasa bahwa hanya dirinya-lah yang mampu mengubah situasi menjadi lebih baik.

(8)

Pada Pak Chan, penderitaan dimaknai sebagai sesuatu yang harus dijalani dan cambuk baginya untuk semakin sungguh-sungguh dalam melaksanakan kosenrufu. Dalam hal ini, wadah yang dipilih Pak Chan adalah memajukan komunitas Inspirasi. Pada Bu Kirin, kosenrufu terutama ingin diwujudkan dalam bentuk rumah nenek. Bagi Bu Kirin, rumah nenek ini bukan hanya sebagai wujud terima kasih pada lingkungan sekitar, tetapi juga sebagai sarana menanam bibit Buddha.

Kemudian dimensi emotional well-being dalam penelitian ini terpenuhi melalui konsep Sepuluh Dunia. Hal ini karena sebagai suatu kondisi pikiran atau mental, konsep Sepuluh Dunia menjabarkan mengenai kondisi emosional individu menurut pandangan Buddhisme.

Secara umum, positive affect diwakili oleh Dunia Manusia (Nin), Dunia Surga (Ten), Dunia Belajar (Shomon), Dunia Pratekyabuddha (Engaku), Dunia Bodhisattva (Bosatsu), dan Dunia Buddha (Butsu). Keenam dunia ini mewakili adanya kondisi yang mengindikasikan antusiasme, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup. Sebaliknya, Empat Dunia Buruk, yaitu Dunia Neraka (Jigoku), Dunia Kelaparan (Gaki), Dunia Kebinatangan (Chikuso), dan Dunia Kemarahan (Shura) merupakan negative affect yang menandakan bahwa hidup ini tidak menyenangkan. Negative affect ditandai dengan adanya perasaan sedih, tanpa harapan, gelisah, dan apapun tidak berguna (Keyes & Waterman, 2003).

Hal ini karena jobutsu atau kesadaran Buddha dapat dicapai dengan memerhatikan atau mengobservasi pada kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar individu tersebut (being mindfull). Mindfulness adalah memerhatikan pada pengalaman yang sedang terjadi pada diri dengan cara yang terbuka dan fleksibel (Compton & Hoffman, 2013). Dalam meditasi mindfulness gaya-Buddhis secara umum terdapat tiga elemen penting: intensi, atensi, dan sikap (Shapiro & Carlson dalam Compton & Hoffman 2013). Intensi adalah komitmen dan

dedikasi terhadap praktek meditasi. Dalam penelitian ini, praktek meditasi adalah gongyo-daimoku. Atensi merujuk pada mengamati isi dari pengalaman yang terjadi. Sikap merujuk pada bagaimana individu mengamati pengalaman tersebut.

Dengan konsep ini, lansia mampu mengamati pengalaman yang terjadi pada saat itu juga. Contohnya Bu Kirin, pada saat disentak oleh menantunya mampu mengamati bahwa menantunya mungkin tidak enak hati, sehingga tidak balas marah-marah pada menantunya.

Life satisfaction adalah rasa puas dan damai yang disebabkan oleh perbedaan kecil antara keinginan dan kebutuhan dengan pencapaian, sedangkan happiness merupakan perasaan dan pengalaman akan kesenangan, kepuasan, dan kegembiraan (Keyes & Waterman, 2003). Sementara life satisfaction lebih mengarah pada aspek kognitif, happiness lebih merupakan aspek afektif.

Bu Kirin menyatakan bahwa secara umum dirinya merasa puas dan aman dalam menjalani kesehariannya. Bagi Bu Kirin, yang penting dirinya mau tahu sendiri kekurangannya. Sebaliknya, Pak Chan masih merasa kurang puas, namun alih-alih terhadap lingkungan sekitar, ketidakpuasan ini lebih didasari oleh kesadaran bahwa dirinya belum mampu mencapai Dunia Buddha.

Dimensi terakhir, social well-being terpenuhi melalui interaksi lansia dengan komunitas Inspirasi dan lingkungan sekitarnya. Aspek social acceptance merupakan sikap positif dan menerima orang lain, sekalipun terkadang orang lain bersikap kompleks dan membingungkan. Dalam interaksi kesehariannya dengan menantu, Bu Kirin tetap mencoba menjalin komunikasi sekalipun tanggapan menantunya kurang menyenangkan. Demikian pula Pak Chan yang tetap bersedia menerima mantan menantunya sekalipun sudah bercerai dari anaknya.

(9)

lingkungan sekitar. Dalam hal ini individu peduli dan percaya bahwa masyarakat bergerak menuju arah yang positif. Baik Bu Kirin maupun Pak Chan peduli pada lingkungan sekitar. Komunitas Inspirasi yang diikuti keduanya menyatakan bahwa lansia pun dapat membuat lingkungan lebih

baik, dengan jargon ”Inspirasi semakin hari semakin semangat”. Bu Kirin merasa

kawan-kawan satu komunitasnya lebih hangat dan mendukungnya. Pak Chan berpendapat tetangga sekitarnya yang merupakan warga suku lain dapat memberikan rasa aman dan melindungi tokonya.

Dalam social contribution, individu merasa bahwa dirinya memiliki sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Lebih lanjut individu merasa kesehariannya dihargai oleh komunitasnya. Baik Bu Kirin maupun Pak Chan aktif dalam berbagai kegiatan BDI. Bagi Pak Chan, dirinya dapat berguna bagi komunitas BDI dengan cara menjalankan keaktifan dan mengajak lansia lainnya untuk ikut kegiatan BDI. Bu Kirin juga merasa bahwa dirinya dapat memberikan sumbangsih kepada masyarakat melalui impiannya membuka rumah nenek.

Aspek social coherence berkaitan dengan kepedulian dan minat terhadap masyarakat dan konteks. Dalam aspek ini, lansia didorong untuk menaruh minat pada lingkungan sekitar, tidak hanya pada dirinya sendiri. Aspek ini ditunjang melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan tiap bulannya. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, lansia dapat mendengarkan pengalaman dari lansia lainnya. Hal ini akan menumbuhkan minat lansia pada hal-hal yang terjadi pada kawan-kawannya. Baik Pak Chan maupun Bu Kirin menyatakan bahwa keduanya belajar banyak dari pertemuan-pertemuan tersebut. Pelajaran tersebut adalah pengalaman yang dialami dan cara orang lain menghadapinya. Oleh karenanya keduanya menganggap pertemuan sebagai hal yang penting.

Social integration ditandai oleh adanya perasaan menjadi bagian dari

komunitas, merasa didukung, dan berbagi kesamaan dengan komunitasnya. Dengan bergabung dengan komunitas agama yang sama, lansia memperoleh dukungan sosial. Di samping itu, dengan menjadi bagian dari tim kerja, Bu Kirin dan Pak Chan merasa menjadi bagian dari komunitasnya, yang juga turut menjaga keberlangsungan komunitasnya. Hal ini nampak pada Bu Kirin, yang merasa mendapatkan kehangatan dari umat lainnya dan juga pada saat terjadi konflik, dirinya tidak mundur dengan alasan ingin menjaga suasana dalam komunitas.

Simpulan dan Saran

Konsep well-being dalam Nichiren Shoshu berupa konsep jobutsu (kebuddhaan), yang dapat dicapai sekejap-sekejap dalam badan apa adanya (sokushin jobutsu). Konsep ini berhubungan erat dengan konsep ichinen sanzen, yaitu tiga ribu dunia (sanzen) tercakup dalam sekejap kehidupan (ichinen) yang dialami dalam pikiran individu. Menurut konsep ini, terdapat sepuluh dunia yang saling mencakupi, termasuk di dalamnya Dunia Buddha. Setiap orang memiliki Dunia Buddha dan karenanya memiliki potensi untuk mencapai sokushin jobutsu.

Proses pencapaian subjective well-being dapat ditinjau melalui dimensi-dimensi psychological well-being, emotional well-being, dan social well-being. Berdasarkan teori ini, kedua subjek dapat dikatakan memiliki well-being yang cukup tinggi, dilihat dari terpenuhinya aspek-aspek pyschological being, emotional well-being, dan social well-being.

Untuk penelitian berikutnya disarankan selain umat yang pernah menjabat, seyogyanya umat biasa juga disertakan sebagai subjek penelitian. Hal ini untuk menambah kekayaan data fenomenologis.

(10)

Daftar Pustaka

Alwisol. (2004). Psikologi kepribadian edisi revisi. Malang: UMM Press.

Anesaki, M. (1966). Nichiren the buddhist prophet. USA: Harvard University Press.

Ardelt, M. (2003). Effect of religion

and purpose in life on elders’ subjective

well-being and attitudes toward death. Journal of Religious Gerontolog, 14(4), 55-77.

Argyle, M. (2000). Psychology and religion. London: Routledge.

Armstrong, K. (2012. Sejarah tuhan: kisah 4.000 tahun pencarian tuhan dalam agama-agama manusia. Bandung: Mizan Pustaka.

Assagioli, R. (1967). Psychosomatic medicine and bio-synthesis. Makalah disampaikan pada International Psychosomatic Week, Roma.

Bee, H. L. (1996). The journey of adulthood third edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Billups, A. Ichinen sanzen the jewel of buddhism. Diakses 21 April 2010, dari http://www.proudblackbuddhist.org/ichinen _sanzen_the_jewel_of_budd.htm

Bungin, H. M. B. (2007). Penelitian kualitatif: Komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Clark, A., & Lelkes, O. (2005). Deliver us from evil: Religion as insurance. Papers on Economics of Religion from Department of Economic Theory and Economic History of the University of Granada, 6(3).

Compton, W. C. (2005). An introduction to positive psychology. Belmont, CA, USA: Thomson Wadsworth.

Compton, W. C., & Hoffman, E. (2013). Positive psychology: the science of happiness and flourishing 2nd edition, international edition. USA: Wadsworth Cengage Learning.

Daaleman, T.P., & Frey, B.B. (2004). The spirituality index of well-being: A new instrument for health-related-quality-of-life research. Annals of Family Medicine: 2(5), 499-503.

Diener, E., Lucas, R.E., & Oishi, S. (2002). Subjective Well-Being. In C. R. Snyder and S. J. Lopez (Ed.), The Handbook of Positive Psychology (pg. 63-73). New York: Oxford University Press.

Diener, E. & Scollon, C. (2003). Subjective well-being is desirable, but not the summum bonum. Makalah disampaikan pada University of Minnesota Interdiciplinary Workshop on Well-Being, University of Minnesota, Minneapolis.

Eddington, N., Shuman, R. (2005). Subjective well-being (happiness). San Diego:. Continuing Psychology Education, Inc.

Feist, J. & Feist, G. J. (2008). Theories of personalities 7th edition. USA: McGraw-Hill.

Hammersley, M.. & Atkinson, P. (2007). Etnography: Principles in practice third edition. London: Routledge Taylor and Francis Group.

Hooyer, W. J., & Roodin, P. A. (2003). Adult development and aging, fifth edition. New York: McGraw-Hill.

Hurlock, E. B. (1980). Developmental psychology: A life span approach. New Delhi: Tata McGraw-Hill.

Keishi, M. (2007). Buddhisme esoterik: Benang merah kesamaan budaya Jepang dan Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Umum Buddhisme Esoterik (Tantra; Vajrayana): Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia, Bali.

(11)

Koeswara, E. (1992). Logoterapi: psikoterapi viktor frankl. Yogyakarta: Kanisius.

Krause, N. (2002). Church-based social support and health in old age: Exploring variations by race. Journal of Gerontology, Nov 2002, 57(B), S332-S347.

Lavric, M., Flere, S. (2008). The Role of Culture in the Relationship Between Religiosity and Psychological Well-being. J Relig Health, 2008, (47), 164-175.

Lu, Luo. (2001). Understanding happiness: A look into the Chinese folk psychology. Journal of Happiness Studies 2, 2001, 407-432.

Mokhlis, S. (2009). Relevancy and Measurement of Religiosity in Consumer Behavior Research. International Bussiness Research, Jul 2009, (2)3, 75-84.

Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Penerbit Rosdakarya.

Myers, D.G. (2008). Religion and human flourishing. Dalam Michael Eid & Randy J. Larsen (Ed.), The science of subjective well-being (hlm.323-343). New York: The Guilford Press.

Nelson, J. M. (2009). Psychology, religion, and spirituality. New York: Springer.

Nichiren Shoshu. (2003). Nichiren shoshu basics of practice. California: Nichiren Shoshu Temple.

Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3.

Ong, Anthony D. & Bergeman, C.S. (2010). The Socioemotional basis of resilience in later life. Dalam Prem S. Fry & Corey L.M. Keyes (Ed.), New frontiers in resilient aging: life-strengths and well-being in late life (hlm. 239-257). UK: Cambridge University Press.

Renny. (2008, Agustus). Kosenrufu. Prajna Pundarika, hlm.42-43.

Renny. (2009, November). Soku Syin Jobutsu. Prajna Pundarika, hlm. 42-43.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the

meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology,57(6), 1069-1081.

Santrock, J. W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup Jilid 2 (A. Chusairi & J. Damanik, Pengalih bhs.). Jakarta: Erlangga.

Senosoenoto, K. (2013, Februari). Tiga kecenderungan buruk. Prajna Pundarika, hlm. 42-43.

Skaff, M. M. (2007). Sense of control and health: a dynamic duo in aging process. Dalam Carolyn M. Aldwin, Crystal L. Park, & Avron Spiro III (Ed.), Handbook of health psychology and aging (hlm.186-209). New York: The Guilford Press.

Storch, J.A., Storch, J.B., Welsh, E., & Okun, A. (2002). Religiosity and depression in intercollegiate athletes. College Student Journal, December 2002. Retrieved 9

November 2009 from

http://findarticles.com/p/articles/mi_m0FCR /is_4_36/ai_96619958/

Subandi. (1993). A psychological study of religious transformation among moslems who practise dzikir tawakal. Tesis, tidak diterbitkan, Queensland University of Technology, Brisbane–Australia.

Wilkes, R.E., Burnett, J.J., & Howell, R.D. (1986). On the meaning and measurement of religiosity in consumer research. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 14, No. 1,47-56.

Takahashi, S. (2007, Juli). Perihal Karma. Prajna Pundarika, hlm. 6.

(12)

Shinjin

Afektif: Percaya (Shin)

Kognitif: Belajar (Gaku)

Psychological Well-Being

Behavioral: Pelaksanaan (Gyo)

Self-Acceptance:

Penerimaan terhadap

karma

Autonomy: Shoho-Jissho

(Suasana adalah Saya)

Positive Relationships:

Berusaha menjaga relasi positif

Personal Growth: Sokushin Jobutsu

Purpose in Life: Maitri Karuna Environmental

mastery:

mampu mengontrol situasi

Meaning Making

Membawa pada Pribadi:

Gongyo-daimoku)

Sosial: keseharian dan kegiatan di Susunan

Gambar 1. Proses tercapainya subjective well-being pada lansia BDI Emotional

Well-Being Social Well-Being

Positive & Negative Affect:

10 Dunia

Life satisfaction & Happiness Social

Integration

Social Coherence

Social Contribution

Social Actualization

Social Acceptance

Gambar

Gambar 1. Proses tercapainya subjective well-being pada lansia BDI

Referensi

Dokumen terkait

Produksi AIA tertinggi diperoleh pada bulan ketiga pengomposan akibat perlakuan SI1 yang telah terkontaminasi kapang Trichoderma dan cenderung menurun pada

Hasil uji hipotesis yang dilakukan menunjukkan bahwa baik secara simultan maupun secara parsial motivasi yang dijelaskan melalui motivasi sosial, motivasi karir dan

Mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL), dapat mempersiapkan dan mengerjakan serangkaian tugas di tempat industri untuk menunjang keterampilan

Demikian juga sebaliknya, yaitu apabila setelah diadakan analisis ternyata suatu sistem tidak atau belum menerapkan konsep-konsep tersebut, berarti sistem belum

UPTD Layanan Pengadaan Secara Elektronik mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau teknis penunjang di bidang layanan pengadaan

Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuan jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya..

pembentukan kelas unggulan. Kebijakan kelas unggulan tersebut diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga dapat mewujudkan tujuan pendidikan. Kelas

Naskah drama Modus Spionase dalam proses penciptaannya melalui tahapan mengumpulkan data, bersumber pada peristiwa perilaku buruk seorang sipir kemudian dikembangkan