• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN DAN KEBERLANJUTAN PELAYANAN KE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERUBAHAN DAN KEBERLANJUTAN PELAYANAN KE"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN DAN KEBERLANJUTAN:

PELAYANAN KESEHATAN SWASTA DI JAWA PADA MASA KOLONIAL

HINGGA PASCA KEMERDEKAAN

A. Pendahuluan

Situasi penyedia pelayanan kesehatan swasta saat ini di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sejarah pelayanan kesehatan dan organisasinya. Boomgard mengungkapkan bahwa sejarah pelayanan kesehatan dan rumah sakit di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran Barat di Asia yang berlangsung sejak 1649. Periode ini merupakan awal mula perubahan pada sistem kesehatan tradisional di Asia yang dipengaruhi oleh sistem Cina dan berubah menjadi sistem Barat. Perubahan ini bergerak lambat karena pelayanan kesehatan Barat itu lebih dinikmati oleh kaum Eropa dan kelas bangsawan pribumi. Purwanto mengungkapkan bahwa selama masa kolonial rumah sakit di Indonesia memang secara khusus ditujukan hanya untuk kepentingan orang-orang Eropa.1

Analisis historis yang sampai sekarang diyakini kebenarannya adalah bahwa sebelum masa kolonial, pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia sangat tergantung pada praktek-praktek individual. Penyedia pelayanan kesehatan individual ini bersifat magic, herbal, terapi yang dipengaruhi oleh India, dan pengobatan Cina. Setiap suku di Indonesia mempunyai sistem pengobatan tradisional ini yang masing-masing mempunyai istilahnya sendiri-sendiri seperti dukun, saman dan sebagainya.

Tulisan singkat ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika perkembangan lembaga atau organisasi penyedia pelayanan kesehatan swasta di Indonesia sejak masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Secara khusus tulisan ini ingin mengungkap mengenai terjadinya beberapa perubahan dan juga keberlanjutan terhadap lembaga-lembaga itu disebabkan perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan politik baik dalam konteks global maupun Indonesia.

(2)

B. Dari Militer ke Keagamaan: Pelayanan Kesehatan Swasta Masa Kolonial

Praktek pelayanan kesehatan yang modern terjadi ketika VOC mendirikan sebuah rumah sakit di Batavia pada tanggal 1 Juli 1626.2

Pembangunan rumah sakit pertama di Nusantara ini memungkinkan dilakukannya pengobatan medis offshore terhadap penderita. Namun sejauh itu hanya golongan militer yang dapat menikmati atau menggunakan jasa rumah sakit ini. Selain itu fungsinya lebih menekankan pada pencegahan, agar orang-orang VOC tidak tertular penyakit khas daerah tropis.

Rumah sakit pertama yang didirikan di Batavia ini dibangun dengan menggunakan dinding bambu dan atapnya terbuat dari dedaunan yang kering. Perbaikan konstruksi dilakukan setelah penyerangan dan pengepungan kedua Batavia oleh pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung pada tahun 1629. Konflik antara VOC dengan Mataram dan juga Banten, serta perkembangan Kota Batavia yang cepat menjadi sebuah pusat perdagangan, telah memaksa VOC untuk membangun beberapa rumah sakit baru untuk kepentingan militernya. Pada tahun 1640 telah terdapat beberapa buah rumah sakit di Batavia baik yang terdapat di dalam atau di luar benteng.3

Meningkatnya aktivitas VOC di kepulauan Nusantara secara tidak langsung memaksanya membangun beberapa perkampungan bagi para pegawainya dan di samping itu juga sarana pelayanan kesehatannya. Oleh karena itu VOC kemudian mendirikan dua rumah sakit lagi di kawasan Batavia yaitu rumah sakit militer di Bogor pada 1779 dan di Weltevreden pada 1800. Sementara itu di kota-kota dagang Jawa seperti di Surabaya, Semarang, Cirebon, dan Banten, VOC mendirikan semacam institusi yang dapat melakukan perawatan bagi orang sakit.

Di luar Jawa (buitenbezittingen) pelayanan kesehatan lebih terbatas dengan kapasitas kurang dari 50 tempat tidur. Di Sumatera, khususnya Padang dan Palembang, terdapat semacam

2Lihat D. Schoute, Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies During three Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900) (The Hague: Netherlands Indian Public Health Service, 1937), hlm 28.

(3)

pos-pos bagi pelayanan medis. Fenomena yang sama juga tampak di Makassar pada sekitar tahun 1715. Sementara di Maluku, tepatnya di Ambon pada tahun 1648 dan kemudian juga di Ternate pada 1711 didirikan sebuah rumah sakit.4

Walaupun tidak terdapat keterangan yang jelas, kemungkinan besar bangsal-bangsal perawatan militer juga terdapat pada dua garnisun VOC yang terletak di Manado dan Gorontalo.

Sementara rumah sakit sipil pertama yang didirikan adalah rumah sakit Cina di Batavia pada tahun 1640. Pendirian rumah sakit Cina ini, tidak terlepas dari kebijakan VOC dan juga pemerintah Hindia Belanda yang berusaha menggiring etnis Cina untuk mendirikan rumah sakitnya sendiri. Namun akibat dari kebijakan ini ilmu kedokteran dan pengobatan tradisional Cina di Indonesia (bahkan sampai saat ini) tidak terpengaruh oleh terapetik dan farmakologis Barat.5

Pada pertengahan abad ke-18 fungsi rumah sakit sebagai sarana pencegahan penyebaran penyakit belum berubah. Pada tahun 1751 VOC kembali membangun sebuah rumah sakit di Batavia yang dinamakan Rumah Sakit Moorish.6

Tujuan pembangunan rumah sakit ini adalah untuk melakukan kontrol yang lebih baik terhadap para pelaut (pedagang) pribumi yang dilaporkan sakit ketika mereka tiba di Batavia. Sebelum membaur di masyarakat, mereka diharuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan terinfeksi penyakit yang diakibatkan interaksi dengan orang lain.

Pada periode inilah untuk pertama kalinya dilakukan pengobatan terhadap penyakit dalam yang dipercayakan kepada surgeon pribumi. Mereka ini direkrut dari masyarakat umum yang “dididik” di rumah sakit yang terletak didalam benteng VOC. Sebenarnya di rumah sakit

4Ibid,. hlm. 85-90.

5Laksono Trisnantoro, Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2004), hlm. 5.

(4)

itu, mereka dipekerjakan sebagai pembantu surgeon Eropa. Jadi sebenarnya tidak ada pendidikan khusus surgeon bagi para surgeon pribumi yang ditugasi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap para pelaut tersebut.

Kebijakan VOC untuk mendirikan sejumlah rumah sakit khususnya di Batavia tidak dapat dilepaskan dari fenomena tingginya angka mortalitas orang Eropa di kota itu.7

Oleh karena itulah Gubernur Jenderal Mossel pada paruh kedua abad ke-18 melakukan beberapa tindakan untuk memperbaiki lingkungan kesehatan di kota itu. Namun minimnya pengalaman mereka dalam menangani permasalahan kesehatan pada iklim tropis menyebabkan tindakan-tindakan mereka itu banyak yang berakhir dengan kegagalan.

Pada abad ke-19, pengaruh kebijakan Daendels yang berorientasi terhadap pelayanan kesehatan militer, juga berpengaruh terhadap perkembangan rumah sakit. Wilayah pulau Jawa ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan Batavia, Semarang, dan Surabaya sebagai ibu kotanya. Di setiap ibu kota tersebut terdapat satu rumah sakit besar dengan seorang chief surgeon sebagai pemimpinnya.8 Konsep rumah sakit di

bawah kekuasaan Daendels ini merupakan gabungan dua konsep rumah sakit yaitu rumah sakit yang dipahami oleh VOC dan konsep rumah sakit yang lebih modern seperti dirumuskan oleh

7Oud Batavia, pusat pemerintahan VOC atau benteng Batavia terletak di tepi timur sungai Ciliwung, yang dibangun di atas tanah bekas rawa-rawa yang menebarkan angin busuk serta menimbulkan banyak penyakit terutama penyakit malaria dan kolera. Akibat dari lingkungan yang buruk serta belum ditemukannya obat yang mampu mengobati penyakit itu telah menyebabkan tingginya angka kematian di daerah itu, khususnya di kalangan masyarakat Belanda dan Eropa. Bahkan wilayah ini mendapat julukan sebagai kuburan bagi orang-orang Eropa.

(5)

Brugmans.9 Kombinasi antara keduanya kemudian menghasilkan sebuah konsepsi rumah sakit

yang diidealkan pada waktu itu.

Brugmans yang mempunyai perhatian khusus mengenai sanitasi dan hygiene kemudian membuat kebijakan terutama yang berhubungan dengan konstruksi rumah sakit. Konstruksi sebuah rumah sakit disyaratkan harus memenuhi beberapa ketentuan standar kesehatan seperti harus banyak mendapatkan cahaya matahari, ventilasi udara yang bagus, terdapat jarak atau ruang yang cukup diantara tempat tidur (terutama single beds). Sementara dari konsep VOC bahwa rumah sakit harus menyediakan tempat khusus untuk mengisolasi pasien yang menderita penyakit menular. Hal lain yang disyaratkan adalah bahwa setiap kasus, dokter militer diharuskan mendokumentasikannya dalam daftar yang detil dan harus selalu dilakukan pemutakhiran dari waktu ke waktu.10

Pengambilalihan kendali kekuasaan dari VOC kepada pemerintah Belanda pada tahun 1800 telah mewariskan kondisi keuangan yang kritis. Demikian juga halnya yang terjadi pada pelayanan kesehatan, oleh karena itulah secara institusional rumah sakit tetap dipertahankan keberadaannya namun dengan kondisi manajemen yang sangat lemah. Selain disebabkan oleh minimnya dana juga diakibatkan oleh suplai obat-obatan, peralatan dan para medis yang kurang. Fenomena yang banyak terjadi di beberapa rumah sakit, untuk menanggulangi kekurangan tenaga medis ini, para pasien yang telah sembuh dari penyakitnya dipekerjakan sebagai juru rawat di rumah sakit setempat.11

9Seorang profesor dari Leiden yang telah berkecimpung dalam organisasi pelayanan kesehatan militer pada tahun 1795. Perhatiannya pertama kali ditujukan terhadap para ahli bedah (surgeons) yang direkrut dari tukang cukur, tukang patri, dan tukang pengebiri babi. Dia kemudian berusaha untuk memperbaiki pelayanan kesehatan di Hindia Belanda dengan memasukkan bidang keahlian itu pada ujian perekrutan dan meningkatkan gaji serta statusnya. Dengan tindakan-tindakannya itu dia kemudian membentuk sebuah institusi khusus yang menangani pelatihan ahli bedah ini.

(6)

Orientasi kebijakan Daendels dibidang kesehatan yang lebih mementingkan militer itu kemudian mengakibatkan dia membuat peraturan yang membagi rumah sakit dalam dua kelas. Kelas pertama (the first class) adalah rumah sakit militer yang hanya merawat para tentara dan pelaut. Orang sipil hanya diterima di rumah sakit ini jika dia mampu membayar akomodasi yang ditentukan. Sementara kelas kedua (the second class) menerima pasien orang Eropa dan pribumi pada rumah sakit yang sama hanya tempatnya dipisahkan dengan kelas pertama.

Mengenai tiga rumah sakit besar di Jawa, dengan alasan bahwa tempat yang dijadikan sebagai bangunan rumah sakit di Batavia tidak sehat, maka pada tanggal 4 April 1808, Daendels memindahkan rumah sakit tersebut keluar benteng. Untuk rumah sakit di Semarang hanya diperluas dan diperbaiki bangunannya. Sementara rumah sakit di Surabaya yang letaknya di dalam kota dianggap Deandels terlalu kecil oleh karena itu kemudian dibangun sebuah rumah sakit baru yang terletak di wilayah Simpang. Di samping ketiga rumah sakit besar tersebut, Daendels kemudian juga tetap memelihara atau membangun sebuah rumah sakit di setiap garnisun militernya. Beberapa garnisun militer kota yang memiliki rumah sakit kecil antara lain Gresik, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon dan Bogor.12 Lebih dari itu disetiap detasemen dibangun

sebuah bangsal perawatan untuk para tentara.

Sementara itu perhatian Daendels terhadap rumah sakit Cina di Batavia cukup baik karena menurutnya orang-orang Cina itu tidak pernah menimbulkan banyak masalah meskipun dilain pihak dia juga tidak memberi bantuan keuangan terhadap institusi tersebut. Seluruh biaya yang diperlukan oleh rumah sakit Cina di Batavia sejak dari pendirian, pemeliharaan dan pelayanan kesehatannya diperoleh dari kalangan masyarakat Cina melalui pajak festival, pemakaman, permainan, dan denda. Ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Daendels ke Raffles maka kebijakan mengenai pelayanan kesehatan juga berubah. Jika Daendels mempunyai Brugmans dan Happener yang bertugas sebagai konseptor dalam pelayanan kesehatan di Hindia Belanda, maka Raffles mempunyai William Hunter dan Robertson.

11D. Schoute, De Geneeskundige in Nederlandsch-Indie gedurende de negentiende eeuw

(Weltevreden, DVG, 1936), hlm. 140.

(7)

Untuk mengetahui kondisi dan fasilitas kesehatan di Pulau Jawa dan Madura, Hunter kemudian melakukan perjalanan keliling di kedua wilayah itu. Mengenai rumah sakit besar yang ada di Batavia dia menyatakan bahwa sebagai rumah sakit milik negara kondisi lembaga tersebut sangat terabaikan. Hal itu disebabkan tidak adanya perhatian yang memadai di tengah-tengah waktu yang penuh dengan ketegangan dan perang. Dalam inspeksinya itu, di beberapa rumah sakit yang terletak diluar benteng, dia menemukan sebanyak 600 tempat tidur yang menurutnya cukup memadai dalam kondisi normal. Namun untuk menerima orang sakit dan tentara yang terluka tembak akibat pertempuran yang terjadi pada tanggal 12, 13, dan 26 Agustus 1812, kapasitas tempat tidur itu tidak mencukupi karena jumlah pasien Eropa saja di atas 800 orang.13

Berbeda dengan Daendels yang tidak memberi bantuan kepada rumah sakit Cina di Batavia, melihat kondisi fisik rumah sakit yang atapnya bocor, sejumlah jendela kacanya pecah, saluran airnya tersumbat, lantainya yang basah dan kotor, maka Raffles berencana untuk melakukan renovasi total rumah sakit itu. Namun karena terhambat masalah dana dia kemudian hanya melakukan beberapa perbaikan pada kondisi-kondisi yang sudah parah sehingga pelayanan rumah sakit ini dapat tetap berlangsung bahkan lebih baik.

Seiring dengan pembentukan BGD (Burgelijke Geneeskundige Dienst) yang dipelopori oleh Reinwardt, pelayanan rumah sakit terhadap masyarakat umum menunjukkan beberapa peningkatan. Pada waktu itu di Batavia banyak ditemukan orang sipil yang sakit akibat luka tembak dan tidak mendapatkan perawatan apapun. Dengan dasar fakta itu maka Residen Batavia P.H. van Lawick van Pabst menganggarkan dana sebesar f 1000 untuk mendirikan sebuah bangsal perawatan yang bisa memuat 15 orang sakit akibat luka tembak dari kalangan sipil.14

Bangsal ini kemudian ditempatkan di bawah administrasi dokter kotapraja dengan beberapa staf pribumi. Bangsal perawatan inilah yang pada periode selanjutnya berkembang

13Ibid., hlm.104

(8)

menjadi apa yang disebut sebagai stadsverbandhuis atau tempat perawatan luka tembak kota praja. Bangsal ini sempat berubah nama menjadi stadsverband pada tahun 1819. Sementara

stadsverband di Semarang baru didirikan antara tahun 1840 dan 1850 dan di Surabaya antara tahun 1820 dan 1823. Bangsal-bangsal perawatan inilah yang pada abad ke-20 kemudian menjadi cikal bakal dari apa yang disebut sebagai Centrale Burgelijke Zikeninrichting atau CBZ atau rumah sakit umum pusat.15

Sebenarnya apa yang disebut sebagai rumah sakit sipil (stadsverbandhuis) pada dekade ini tidak lebih dari sebuah rumah yang diperuntukkan sebagai tempat membalut orang-orang sipil yang terluka tembak. Sebelum didirikan stadsverband ini orang-orang sipil yang terluka ini banyak ditemukan disepanjang jalan di kota-kota itu. Selain untuk merawat orang sipil yang terluka akibat perang, sesungguhnya stadsverband juga diperuntukkan bagi penampungan para pelacur yang terinfeksi penyakit kelamin.

Dalam konteks ini apa yang dikemukakan oleh Foucault bahwa rumah sakit merupakan penjara bagi orang-orang gila adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Bagi pemerintah Hindia Belanda, semua orang pribumi yang diperkirakan atau diyakini mengidap penyakit menular yang dapat membahayakan diri mereka dan komunitasnya maka tidak ada kebijakan lain kecuali “memenjarakan” mereka dalam stadsverband.

1. Rumah Sakit Keagamaan

Fenomena baru dari perkembangan rumah sakit ini mulai terlihat sejak pertengahan abad ke-19 dan berkembang pesat pada awal abad ke-20 adalah ketika golongan zending mendirikan rumah sakit swasta sebagai media penyebaran agamanya. Selain itu para pengusaha perkebunan dan pertambangan juga mendirikan beberapa rumah sakit dalam areal perusahaannya untuk memelihara kesehatan para pekerjanya. Pelayanan rumah sakit swasta (perkebunan dan pertambangan) pada periode ini secara tidak langsung lebih didasari oleh kepentingan ekonomi di samping juga termotivasi oleh ideologi kemanusiaan. Dalam artian

15Ketiga rumah sakit ini sekarang masng-masing menjadi RS Cipto Mangunkusumo

(9)

bahwa dengan memberikan pengobatan yang efektif diharapkan bahwa penderita penyakit akan dapat kembali melaksanakan tugas-tugasnya secepat mungkin.

Fenomena ini jelas sangat terlihat dari maksud pendirian rumah sakit di perkebunan. Para pengusaha perkebunan berharap para buruh perkebunan dapat bekerja lebih keras dan meningkatkan produktivitas dengan jalan mendirikan rumah sakit sebagai sarana untuk menjaga dan memelihara kesehatan para buruhnya. Jadi pendirian rumah sakit merupakan investasi yang diharapkan kembali dengan peningkatan produktivitas para buruh. Walaupun di samping itu pasien juga masih diharuskan untuk membayar ongkos pengobatan dengan jalan pemotongan gaji mereka.16

Tidak semua pekerja atau buruh perkebunan yang sakit bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dari rumah sakit ini, melainkan dia harus mendapatkan rekomendasi landswege

terlebih dahulu. Pada awal abad ke-20, ongkos perawatan per hari yang harus dibayar oleh seorang buruh untuk mendapatkan pengobatan dengan injeksi adalah f 1,50, dan f 1,00 tanpa injeksi. Pertimbangan untung-rugi selalu dijadikan dasar pemikiran bagi pemilik perusahaan dalam mengambil kebijakan mengenai kesehatan para pekerjanya ini.

Selain pemotongan ongkos pengobatan atas gaji mereka, makanan yang didapat buruh yang sedang dirawat di rumah sakit juga dianggap sebagai hutang yang harus dibayar pada saat mereka menerima gaji. Pada tindakan yang ekstrim, pemilik perusahaan tidak segan-segan memulangkan para buruh atau kuli yang sudah dikontrak jika diindikasikan mereka mengidap penyakit yang menyebabkan produktifitasnya rendah. Menurut pandangan para pengusaha, para buruh tersebut hanya akan membuat pengeluaran besar untuk biaya perawatan mereka di rumah sakit. 17

Sementara munculnya rumah sakit keagamaan, terutama zending, tidak dapat dilepaskan dari jaringan zending yang ada di negeri Belanda. Rumah sakit zending ini membawa perbedaan dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat sipil. Menurut Groot, dengan

16D. Schoute, op.cit, hlm. 35.

(10)

dasar tujuan di atas, rumah sakit zending merupakan rumah sakit yang terbuka dan tidak mengenal perbedaan-perbedaan yang sebelumnya justru menjadi dasar klasifikasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Maka rumah sakit ini menerima pasien dari semua golongan dalam masyarakat Islam atau Kristen, Animis atau Budhis, orang Timur atau Barat dan Jawa ataupun Cina. 18

Selain zending Protestan, missionaris Katholik kemudian juga membangun rumah sakit dengan tujuan yang sama. Bahkan pada perkembangan selanjutnya organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah juga mendirikan rumah sakit dalam bentuk Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) di Yogyakarta dan memberikan pelayanan rumah sakit untuk penduduk pribumi.19

Sementara itu rumah sakit khusus yang menangani satu macam penyakit saja juga merupakan fenomena baru dari perkembangan institusi ini pada awal abad ke-20.

Pelayanan kesehatan oleh zending ini tidak hanya dimaksudkan untuk sarana pengobatan semata melainkan secara khusus didesain bagi terciptanya kondisi yang mendukung suksesnya misi keagamaan mereka. Para utusan zending yang datang ke Indonesia merupakan tenaga yang sebelumnya telah dipersiapkan untuk melaksanakan misi keagamaan. Selain dididik mengenai pengetahuan keagamaan mereka juga diberi pelatihan mengenai pengetahuan dasar dibidang medis.

Hal itu dengan jelas tertuang dalam ART zending pasal 40 dan diperjelas dalam tata zending pasal 9 yang menyebutkan bahwa: pertama para utusan dalam menjalankan misi keagamaan harus didampingi oleh orang-orang yang berwenang bekerja dalam bidang

18K.P. Groot, “De Medische Zending in Nederlandsch-Indie” dalam Feestbundel GTNI 1936, hlm. 237.

(11)

pelayanan kesehatan baik sebagai dokter maupun juru rawat. Kedua pelayanan kesehatan harus ditujukan pada hal yang mendirikan serta mengelola suatu rumah sakit.20

Hampir disemua wilayah Jawa terdapat rumah sakit yang didirikan oleh zending ini. Misalnya di Yogyakarta mereka mendirikan rumah sakit Petronella, di Bandung rumah sakit Immanuel, rumah sakit Soekon di Malang, di Mojowarno, Salatiga, dan sebagainya. Pada umumnya mereka pertama kali membangun semacam sebuah rumah sakit pusat di tempat yang strategis lalu kemudian mereka mengembangkannya dengan mendirikan beberapa rumah sakit yang berada disekitar wilayah tersebut. Perkembangan ini tentu saja berhubungan dengan organisasi zending yang menjadi induk mereka di negeri Belanda. Misalnya saja rumah sakit Petronella yang didirikan pada tahun 1899 merupakan pilot project bagi perkembangan rumah sakit zending di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Demikian juga halnya yang terjadi dengan rumah sakit Immanuel di Bandung, Jawa Barat dan Mojowarno di Jawa Timur.21

Masing-masing rumah sakit zending tersebut kemudian mendirikan beberapa rumah sakit zending didaerah sekitarnya sebagai upaya perluasan pelayanan kesehatan dan pencapaian misi keagamaannya.

Sebagai contoh, berdirinya rumah sakit Petronella di Yogyakarta, yang berada di bawah pengelolaan dan kendali Gereformeed Zending yang ada di negeri Belanda, kemudian disusul dengan berdirinya beberapa rumah sakit zending lainnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah.22

20Mahati Zebua, “Sejarah Manajemen Rumah Sakit Bethesda di Yogyakarta” Laporan Penelitian, tahun 2000

21Organisasi zending yang beroperasi di Mojowarno adalah Nederlandsche Zending Genootchap (NZG) yang mendirikan rumah sakit Mojowarno pada tahun 1894, di Bandung

Nederlandsche Zending Vereeniging (NZV) mendirikan rumah sakit Immanuel pada tahun 1910 dan di Jawa Tengah terdapat 2 yang besar yaitu Gereformeed Zending dan Zending Salatiga. Gereformeed Zending mendirikan rumah sakit Petronella di Yogyakarta pada tahun 1899. Lebih lanjut lihat J.D. Wolterbeek, Wolterbeek. Babad Zending di Pulau Jawa. (Yogyakarta: Pustaka Kristen, 1995), hlm. 25.

(12)

Rumah sakit zending di Jebres, Surakarta didirikan pada tahun 1912, lalu rumah sakit zending di Trenggiling, Purbalingga pada tahun 1914. Pada tahun 1915 terdapat 2 rumah sakit zending yang didirikan yaitu di Kebumen dan di Purworejo. Kemudian rumah sakit zending di Klaten didirikan pada tahun 1923 dan rumah sakit zending di Wonosobo tahun 1929. Pada tahun 1931 juga terdapat dua rumah sakit zending yang didirikan yaitu di Magelang dan di Blora. Rumah sakit zending terakhir dari kelompok Gereformeed Zending ini didirikan pada tahun 1932 yaitu di Purwokerto.23

Selain itu rumah sakit Petronella juga mengelola rumah sakit pembantu yang tersebar hampir diseluruh wilayah di Yogyakarta dan sekitarnya. Rumah sakit-rumah sakit pembantu tersebut masing-masing terletak di daerah Tungkak, Wates, Randugunting, Wonosari, Medari, Patalan, Sewugalur, Tanjungtirto, Sanden, Doangan, Sorogedud-Wanujoyo, dan Cebongan. Sementara poliklinik-poliklinik yang dikelolanya antara lain tersebar di Temon, Butuh, Sentolo, dan Semin.24

Demikian juga halnya yang dilakukan oleh Nederlandsche Zending Vereeniging (NZV) di tanah Pasundan. Setelah mereka berhasil mendirikan rumah sakit Immanuel maka pada tahun 1920-an, beberapa rumah sakit zending kemudian didirikan di wilayah Jawa Barat seperti di Purwakarta, Cideres dan lain-lain. Sementara itu antara tahun 1922-1928 di wilayah Bandung dan sekitarnya didirikan beberapa poliklinik antara lain di Banjaran, Soreang, Ciwidey, Cililin, Padalarang, Cikalong Wetan, Cipeundeuy, Ranca Ekek, Cicalengka, Majalaya, Ciparay dan Sumedang.25

Sementara itu Nederlandsche Zending Genootchap (NZG) setelah berhasil mendirikan rumah sakit zending di Mojowarno, kemudian dengan segera juga mendirikan beberapa rumah

23Anonemous, Het Zendingziekenhuis Petronella”, op.cit, hlm. 9.

24Ibid., hlm 55-67.

(13)

sakit zending disekitar wilayah tersebut. Beberapa rumah sakit pembantu yang didirikan pada periode tahun 1920-an antara lain berlokasi di Parerejo, Ngoro, Pare, Krikilan, dan Jatiroto sedangkan untuk poliklinik didirikan di Bareng (Jombang), Bongsorejo dan Selorejo (Krian), Balongbendo dan Peterongan (Jombang), Sitiarjo (Malang), Jengkol dan Purworejo (Kediri), Gunungsari (Jember) dan Wonorejo (Pasuruan).26

Pendirian beberapa rumah sakit zending disekitar rumah sakit zending utama tersebut yang kemudian membentuk sebuah jaringan tidak terlepas dari konsep pelayanan kesehatan mereka. Konsep pelayanan kesehatan Zending adalah bahwa disetiap daerah terdapat sebuah rumah sakit utama (pusat) sebagai induk (top referal) yang dilengkapi dan dikelola sebaik mungkin. Sementara sebagai ujung tombak pelayanan adalah rumah-rumah sakit pembantu dan poliklinik yang mempunyai saluran komunikasi langsung dengan rumah sakit induk.

Sebagian besar pembiayaan rumah sakit zending ini didanai oleh subsidi pemerintah. Selain itu rumah sakit zending juga sangat tergantung pada organisasi-organisasi bantuan zending terutama bantuan dari dokter, perawat dan obat-obatan langsung dikirim dari Belanda. Terlepas dari kedua sumber dana pengelolaan rumah sakit zending juga diperoleh dari pemerintah daerah dan sumbangan dari beberapa perusahaan swasta yang beroperasi di daerah sekitar rumah sakit. Sebelum Perang Dunia II, pada umumnya, sumber pembiayaan di rumah sakit zending berasal dari subsidi pemerintah sebesar 44%, gereja-gereja di Belanda 20%, 10% dari pembayaran pasien, 8% kontribusi pemerintah daerah, perusahaan swasta menyumbang 6 %, dan sisanya berasal dari sumbangan dari sumber lain.

Selain zending, misionaris juga membangun rumah sakit untuk tujuan yang sama. Sebagai contoh di Batavia Kongregasi Suster Carolus Boromeus mendirikan rumah sakit St Carolus (1918) dan St. Santo Boromeus di Bandung (1921). Rumah sakit itu kemudian mendirikan cabang di Yogyakarta, yaitu rumah sakit Panti Rapih, rumah sakit ini pada awalnya didirikan oleh perusahaan gula pada tahun 1928 dengan nama rumah sakit Onder de Bogen. Kongregasi Suster St. Fransiskus pada tahun 1927 mendirikan Rumah Sakit St. Elizabeth di Semarang. Dalam perkembangannya rumah sakit ini juga membuka beberapa rumah sakit lain

(14)

yaitu rumah sakit Mardi Swasta, rumah bersalin Panti Siwi dan poliklinik Fathimah yang membuka layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Jemaat ini pada tahun 1930 di Boro, Kulon Progo mendirikan rumah sakit St Yusuf.

(15)

2. Rumah Sakit Perusahaan Swasta

Selain organisasi keagamaan, pada periode ini banyak perusahaan perkebunan di Jawa yang mendirikan rumah sakit dan ditujukan untuk perawatan para kuli dan buruh yang bekerja di perkebunan tesebut. Dalam rangka memperluas pelayanan kesehatan untuk masyarakat khususnya di Jawa, pemerintah Hindia Belanda kemudian bekerja sama dengan perusahaan perkebunan tersebut dalam hal pembiayaan rumah sakit. Oleh karena itulah kemudian pada tahun 1919 dilakukan perjanjian mengenai pembagian pembiayaan rumah sakit swasta yang dikelola oleh perusahaan perkebunan ini.27

Terdapat tiga poin dalam kerjasama antara pemerintah Hindia Belanda, dalam hal ini Dinas Kesehatan Sipil, dan perusahaan perkebunan di Jawa mengenai pengelolaan rumah sakit, yaitu:

1. Jika tempat perusahaan perkebunan tersebut satu wilayah dengan sebuah rumah sakit milik pemerintah maka perusahaan tersebut harus ikut bertanggung jawab terhadap sejumlah perawatan yang dihitung per tempat tidur. Hal ini berhubungan dengan prinsip yang dikembangkan pemerintah Hindia Belanda yang sudah mulai mengurangi sedikit mungkin keterlibatannya dalam bidang ini. Sehingga pembiayaan perawatan orang sakit, manajemen dan penggunaan rumah sakit dan inventaris yang ada didalamnya harus diserahkan kepada perusahaan perkebunan tersebut sebagai ganti pembayaran suatu pajak tertentu. Pemerintah disatu sisi, melakukan pembayaran bagian-bagian pembiayaan yang oleh rumah sakit dirasakan sebagai kendala dalam mengelolanya. Bagian pembiayaan yang ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini adalah pembiayaan mengenai pemeliharaan dan penerangan rumah sakit, persediaan air bersih, gaji karyawan dan staf, makanan, obat-obatan dan sebagainya yang harusnya dibebankan kepada pasien yang menggunakan jasa rumah sakit tersebut.

2. Sebaliknya dari poin di atas, bahwa sejumlah tempat tidur yang harusnya menjadi tanggung jawab perusahaan perkebunan namun mereka belum mampu dalam pembagian pembiayaan dengan pemerintah maka pembayaran yang harus ditanggung

(16)

oleh perusahaan perkebunan pada bagian yang tersebut dalam poin pertama atau pembiayaan lainnya yang menjadi beban rumah sakit.

3. Pemerintah dan perusahaan perkebunan membangun sebuah rumah sakit yang ditanggung bersama, masing-masing mempunyai kontribusi yang proposional dalam pengembangan ke depan rumah sakit tersebut dan pembiayaannya.28

Hasil dari kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan perkebunan yang beroperasi di Jawa ini adalah banyaknya rumah sakit baru yang dibangun dan perluasan rumah sakit yang sudah ada. Misalnya saja di Cirebon pada tanggal 3 Maret 1920 telah dibangun sebuah rumah sakit kotapraja dan di Bandung pada tanggal 5 Juli 1920 telah dibangun sebuah rumah bersalin dan perawatan anak “Pamitran”. Pada tahun yang sama tanggal 3 Juli telah didirikan sebuah rumah sakit “Immanuel”.

Sementara itu di wilayah Garut, Tasikmalaya, dan Indramayu telah dimulai pembangunan rumah sakit daerah, demikian juga yang terjadi di wilayah Sukabumi. Rumah sakit missionaris di Surakarta telah diperluas sehingga klasifikasinya naik menjadi rumah sakit swasta kelas 5. Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur juga terdapat pembangunan rumah sakit-rumah sakit daerah seperti yang terjadi di Pekalongan, Kudus, dan Madiun. 29

Di Yogyakarta dan sekitarnya, perusahaan swasta menjadi komponen penting dalam munculnya beberapa rumah sakit pembantu bahkan jauh sebelum perjanjian kerjasama dilakukan antara pemerintah dengan perusahaan perkebunan. Hampir semua rumah sakit pembantu diwilayah ini mendapatkan subsidi kesehatan dari pemerintah. Misalnya saja pada tahun 1910 Koloniale Bank mendirikan sebuah rumah sakit pembantu di dekat pabrik gulanya di Candi Sewu atau Randu Gunting. Perusahaan yang sama kemudian juga mendirikan sebuah rumah sakit pembantu di Medari pada tahun 1914. Dua rumah sakit pembantu ini

masing-28Ibid

(17)

masing setiap harinya dikunjungi pasien tidak kurang dari 50 orang baik dari para buruh perusahaan itu sendiri maupun dari masyarakat umum.30

De Vorstenlanden, sebuah pabrik gula di Barongan, bekerja sama dengan perusahaan

perkebunan Klatensche Cultuur Maatschappij, parbik gula di Pundung, dan Int. Crediet en Handelsvereeniging Rotterdam, pabrik gula di Bantul, mendirikan sebuah rumah sakit pembantu di Patalan pada tahun 1914. De Vorstenlanden pada tahun 1922 juga mendirikan sebuah rumah sakit pembantu di dekat pabrik gula Sewu Galur, Kulon Progo. Sementara itu Int. Crediet en Handelsvereeniging Rotterdam pada tahun 1922 mendirikan sebuah rumah sakit pembantu di Tanjungtirto.31

Selain perusahaan swasta pemerintah daerah pemerintah Kasultanan Yogyakarta juga mempunyai andil yang besar dalam memperluas pelayanan kesehatan rumah sakit di wilayah ini. Pada tahun 1912 pemerintah kasultanan mendirikan rumah sakit pembantu di Wonosari. Rumah sakit pembantu ini beserta beberapa polikliniknya ramai dikunjungi pasien terutama penderita penyakit pathek (frambusia). Setiap minggunya sekitar 300-400 penderita penyakit

pathek berobat di rumah sakit pembantu Wonosari ini. Pemerintah Kasultanan pada tahun 1925 juga mendirikan sebuah rumah sakit pembantu yang terletak di Doangan. Separuh biaya pengelolaan rumah sakit ini ditanggung oleh pemerintah Kasultanan Yogyakarta sedangkan separuhnya lagi di tanggung oleh pabrik gula Rewulu dan Demak Ijo.32

Kontribusi pihak swasta, pemerintah daerah maupun juga para donatur dalam masyarakat sangat penting dalam upaya pembiayaan rumah sakit, baik pembiayaan untuk mendirikan maupun pembiayaan dalam pengelolaannya. Selain hal tersebut sudah terbukti di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, dibeberapa wilayah lain juga mencerminkan kondisi itu.

30Anonemous, Het Zendingziekenhuis Petronella”,op.cit., hlm. 15.

31Sugiarti Siswadi, Rumah Sakit Bethesda: dari masa ke masa (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hlm. 78.

(18)

Misalnya saja berdirinya rumah sakit daerah di Madiun, Kendal, Kudus, RS Mata di Yogyakarta, dan perluasan RS Kusta di Pelantungan, Semarang pada tahun 1920-an, kontribusi pihak-pihak yang disebutkan di atas sangat menentukan.33

B. Pelayanan Kesehatan Swasta pada masa Pendudukan Jepang

Sebelum akhir tahun 1930-an, sebagai dampak depresi ekonomi,34 manajemen rumah

sakit zending menempatkan pelayanan sebagai tujuan utama mereka dibandingkan mencari keuntungan. Pendanaan operasional rumah sakit sangat tergantung pada gereja induknya di Belanda. Selain itu dana operasional rumah sakit zending juga diperoleh dari subsidi pemerintah Hindia Belanda, bantuan dalam bentuk sumbangan, kontribusi dan upaya penggalangan dana yang dilakukan oleh yayasan. Bantuan dana operasional juga diperoleh dari pabrik gula, perusahaan rokok dan perusahaan kereta api Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij dan individu serta pemerintah daerah. Misalnya rumah sakit zending di Yogyakarta untuk menerima sumbangan dana untuk f 250 setiap tahun dari Kesultanan dan Pakualaman.

Misi sosial rumah sakit zending ini sangat jelas terlihat misalnya untuk kasus rumah sakit zending di Yogyakarta yang tidak mewajibkan pasiennya untuk membayar biaya pengobatan atau kalaupun membayar dengan tarif yang rendah. Oleh karena itu masyarakat Yogyakarta pada masa itu menyebut rumah sakit ini dengan sebutan Rumah Sakit dr. Tulung. Pada masa ini rumah sakit zending menerapkan menerapkan kebijakan bahwa mutu pelayanan kesehatan rumah sakit dapat dicapai dengan mengandalkan keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran dengan menggantungkan sebagian pembiayaan dari bantuan donor. Dengan kata lain mereka berusaha mempertahankan fungsi sosial kegamaannya dengan tetap menjadi rumah sakit yang non-profit oriented.

33Lihat “Verslag voor Burgelijke Geneeskundige Dienst, 1921 dan 1924. op.cit., hlm. 356.

(19)

Ketergantungan yang sangat besar terhadap Zending pengutus di Belanda bagi rumah sakit Zending yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagai pisau bermata dua. Di satu sisi ketergantungan tersebut menjamin eksistensi pengelolaan rumah sakit dengan selalu mengalirnya dana segar dan obat-obatan dari Belanda. Namun disisi lain ketergantungan itu menjadi kendala utama ketika hubungan antara negeri induk dengan Indonesia terganggu. Kondisi itu kemudian benar-benar terjadi ketika Jepang melakukan pendudukan atas Indonesia dan mengakibatkan hubungan antara gereja-geraja induk di Belanda dengan para zendeling di Indonesia terputus sama sekali.

Pecahnya Perang Dunia II dan didudukinya Belanda oleh Jerman tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi dan politik di Indonesia namun bidang pelayanan kesehatan juga mengalami dampak yang tidak kalah besarnya. Setelah harus melakukan kebijakan-kebijakan radikal sebagai upaya untuk tetap survive dalam menghadapi depresi ekonomi, rumah-rumah sakit Zending harus menerima kenyataan bahwa Perang Dunia II telah memutuskan hubungan mereka dengan gereja-gereja dan yayasan pendukungnya di Belanda.

Dua peristiwa tersebut telah menyebabkan manajemen rumah sakit zending ini memutar otak untuk menyiasati semakin berkurangnya dana-dana yang diterimanya. Perusahaan perkebunan yang semula secara rutin memberi sumbangan, setelah depresi ekonomi sama sekali terhenti. Sementara setelah terjadinya Perang Dunia II, dua sumber dana sekaligus hilang yaitu subsidi kesehatan dari pemerintah Hindia Belanda dan sumbangan gereja dan yayasan di Belanda. Tambahan lagi, pada saat itu banyak pasien yang tidak dapat membayar biaya pengobatan rumah sakit akibat terpisah dari keluarga (akibat peperangan) maupun kehabisan uang.

(20)

C. Tetap (menjadi) Swasta atau (menjadi) Pemerintah: Pasca 1945

Secara umum, baik rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, pada periode pasca kemerdekaan (1945 - 1950) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peran rumah sakit zending Yogyakarta semakin penting pada Agresi Militer Belanda I pada 1947. Semua lembaga pemerintah Indonesia, termasuk beberapa bagian dari Departemen Kesehatan yang ada di Magelang pindah ke Yogyakarta. Sekretaris Jenderal Kementrian Kesehatan, dr. Soerono kemudian bertemu kepala RSUP (Rumah Sakit Petronella) untuk melakukan konsultasi mengenai kemungkinan evakuasi bagian dari Departemen Kesehatan ke RSUP. Tawaran ini kemudian diterima oleh dr. Samallo (kepala RSUP waktu itu).

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 maka berangsur-angsur beberapa bagian Kementerian Kesehatan yang ada di RSUP Yogyakarta dipindahkan ke Jakarta, Namun walaupun sudah tidak menggunakan gedung rumah sakit pemerintah Indonesia tetap memberi subsidi kepada rumah sakit tersebut terutama untuk operasional perawatan sedangkan gaji karyawan tetap ditanggung oleh manajemen rumah sakit. Oleh karena itulah jika dibandingkan dengan karyawan yang bekerja pada Kementerian Kesehatan sebagai pegawai negeri, karyawan RSUP gajinya jauh lebih kecil.

Sebelum kepindahannya kembali ke Jakarta, Inspektur Kementerian Kesehatan dr. Soemakno beberapa kali menawarkan kepada RSUP agar semua pegawainya mau masuk menjadi pegawai negeri agar gajinya dapat disesuaikan dengan peraturan gaji pegawai dan status RSUP menjadi milik Negara Republik Indonesia. Namun semua karyawan RSUP Yogyakarta menolak usulan Kementerian Kesehatan tersebut dan tetap ingin menjadi rumah sakit Kristen yang dikelola pihak swasta. Eksistensi RSUP Yogyakarta pada saat itu tidak dapat dilepaskan dari Kesultanan Yogyakarta karena Sultan Hamengku Buwono IX akhirnya memberi bantuan sebesar

f 8000 pada awal tahun 1949. Selain itu juga mendapat bantuan dari Dinas Kesehatan Belanda sebesar f 10.000 pada pertengahan tahun 1949.

(21)

Kementerian Kesehatan dalam melakukan nasionalisasi terhadap rumah sakit zending pada waktu itu selain faktor ekonomi, yaitu minimnya dana yang dipunyai oleh pengelola rumah sakit juga faktor sosial yaitu pentingnya keberadaan sebuah rumah sakit dalam suatu daerah. Setelah dikelola oleh pemerintah ke-9 rumah sakit Zending Gereformeerd di Jawa Tengah ini kemudian dijadikan sebagai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) setempat. Ke-9 Rumah Sakit Umum Daerah tersebut masing-masing di Blora, Klaten, Surakarta, Wonosobo, Purwokerto, Magelang, Purbalingga, Purworejo, dan Kebumen. 35

Masa transisi kepemilikan lembaga kesehatan Kristen menjadi milik pemerintah adalah disebabkan oleh subsidi dari lembaga asing yang terputus pasca Perang Dunia II. Sementara itu, subsidi dalam negeri sangat rendah dan tidak berkesinambungan. Setelah kemerdekaan tahun 1945, praktis tidak ada pengembangan sistem kesehatan yang menyangkut pelayanan kesehatan sebagai jasa publik. Hanya jumlah kecil orang Indonesia yang bisa menikmati layanan kesehatan gratis. Peraturan diterapkan selama pemerintah Hindia Belanda kemudian diteruskan pada masa pemerintahan Republik Indonesia, di mana anggaran pelayanan kesehatan dimasukkan ke dalam anggaran Menteri Kesehatan. Sistem yang diterapkan adalah menggunakan sistem restitusi. Dasar hukumnya yang digunakan adalah Restitusi Regeling 1948. Orang-orang yang berpartisipasi adalah para perwira yang digaji <Rp. 850, - / bulan.

Pada tahun 1953, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-undang No.18 Tahun 1953 tentang kewajiban rumah sakit swasta untuk merawat orang-orang miskin.36 Departemen

Kesehatan memberikan bantuan dana untuk memperluas bangunan dan biaya pengobatan untuk orang miskin kepada rumah sakit swasta yang dimaksud. Pada tahun 1954, di Indonesia terdapat 108 rumah sakit swasta dengan kapasitas tempat tidur 14.036. Di antara rumah sakit itu, 20 rumah sakit ditunjuk oleh pemerintah sesuai dengan Undang-undang No. 18 Tahun 1953.

35 Ke-9 rumah sakit tersebut termasuk dalam 123 rumah sakit swasta yang fungsinya dijalankan oleh pemerintah Indonesia dengan kapasitas keseluruha sebanyak 11.190 tempat tidur. Lihat Satrio (ed), Sejarah Kesehatan Nasional II (Jakarta: Depkes, 1980), hlm. 69. Lihat juga J. Leimena, Public Health in Indonesia; Problems and Planning, (Den Haag: Van Dorp, 1956), hlm. 23.

(22)

Oleh karena itu pada tahun 1953, ke-20 rumah sakit mendapatkan dana sebesar Rp. 8.487.877.60, sedangkan di tahun 1954 terdapat 22 rumah sakit swasta mendapatkan dana sebesar Rp. 8.835.467.25.37

D. Penutup

Pelayanan kesehatan swasta di Indonesia pada masa awal sangat ditentukan oleh peran dari organisasi keagamaan dan perusahaan swasta baik perkebunan, pertambangan, maupun lainnya. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik sangat mempengaruhi terjadinya perubahan dalam lembaga penyedia jasa kesehatan ini. Ketika diterapkannya kebijakan subsidi kesehatan sebagai dampak dari Politik Etis, rumah sakit swasta di Indonesia terutama di Jawa pada tahun 1920-an tumbuh dengan sedemikian cepat. Namun ketika depresi ekonomi melanda dunia, rumah sakit perkebunan dan perusahaan swasta lainnya kolaps mengikuti perusahaan induknya yang ambruk sebagai akibat terjangan krisis yang luar biasa. Hal ini secara tidak langsung juga berakibat terhadap rumah sakit swasta lainnya karena sebagian dana operasionalnya diperoleh dari perusahaan-perusahaan semacam ini.

Kondisi politik yang memanas seiring dengan pecahnya Perang Dunia II kemudian mulai melemahkan keberadaan rumah sakit keagamaan terutama zending. Ketergantungan yang sangat kuat akan dukungan dana, alat, obat dan SDM dari organisasi induknya di Belanda kemudian sangat terganggu dengan terputusnya hubungan transportasi laut yang disebabkan karena terjadinya Perang Pasifik. Kondisi ini kemudian mengakibatkan rumah sakit ini harus memilih antara bertahan menjadi swasta dan berideologi keagamaan tetapi harus mencari dukungan dana sendiri atau menjadi rumah sakit pemerintah namun berganti ideologi. Tiga rumah sakit zending induk, yaitu RS Petronella (Yogyakarta), RS Immanuel (Bandung), dan RS Mojowarno, memilih tetap menjadi swasta namun rumah sakit zending yang berada di bawah naungan ketiga rumah sakit itu banyak yang kemudian menjadi rumah sakit pemerintah dan sekarang menjadi rumah sakit umum daerah. Pilihan untuk tetap menjadi swasta kemudian membawa konsekuensi perubahan orientasi, jika pada masa kolonial mereka dikenal dengan

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Perbaikan sumber cahaya (lampu), distribusi cahaya, perubahan warna ruangan, membatasi cahaya matahari yang masuk, dan perawatan terhadap lampu merupakan beberapa upaya

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014 tentang Statuta Universitas Airlangga Pasal 59 disebutkan Program Pascasarjana berubah nama menjadi Sekolah Pascasarjana

Potensi Bakteri Simbion Usus Teripang Hitam ( Holothuria atra ) sebagai Minuman Probiotik Susu Kedelai ( Ali Djunaedi dan Delianis Pringgenies ).. Minuman probiotik merupakan

Selama ini pengaktifan robot yang dapat bekerja secara otomatis pada umumnya diaktifkan melaluii aktivasi suara (seperti pada Kontes Robot Indonesia), jika suara

Berdasarkan pemaparan di atas maka menjadi menarik untuk mengembangkan virtual laboratory berbasis multimedia interaktif pada sub materi isolasi bakteri dan

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 sampai dengan Juli 2016 dengan judul ”Analisis Portofolio Optimal Dalam Penentuan Investasi Saham LQ-45 Melalui

persalinan berlangsung dengan sendirinya atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilannya (Saifuddin, 2014). Penatalaksanaan postdate dalam persalinan antara lain adalah

Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang terdiri atas sedikitnya dua fase cair taktercampurkan, salah satunya terdispersi sebagai globul