• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEREJA DAN HAK ASASI MANUSIA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GEREJA DAN HAK ASASI MANUSIA (1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

GEREJA DAN HAK ASASI MANUSIA

Gereja Memperhatikan Persoalan Gender I. PENGANTAR

Manusia diciptakan Tuhan dalam dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Keduanya diciptakan berbeda dengan tujuan agar saling melengkapi untuk terciptanya kelangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Namun dalam perjalanan berikutnya, perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menjadikan posisi (derajat) jenis kelamin yang satu seolah-olah lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin yang lainnya. Selanjutnya terjadi dominasi salah satu jenis kelamin. Hal ini mengakibatkan terjadinya perlakuan diskriminasi terhadap jenis kelamin yang satunya. Dalam perkembangan wacana berikutnya dikenal istilah patriarki (patriarchy). Apa itu patriarki? Patriarki atau patriarchy berasal dari kata “patriarkh” (patriarch). Secara harfiah mengandung pengertian “kekuasaan bapak”. Mulanya digunakan untuk menyebut keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki. Kini, istilah tersebut digunakan secara umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki atau sistem yang membuat/menjadikan perempuan dikuasai laki-laki.1 Kita tahu bahwa Gereja kita memegang erat pandangan Patriarki. Pandangan itu

sangat jelas dalam inti iman yang menyatakan bahwa Allah itu adalah Bapa (laki-laki). Bahkan dalam penerapan liturgi Gereja sampai saat ini yang menjadi seorang imam dan pemimpin jemaat ialah seorang laki-laki. Nah bagaimana Gereja memandang persoalan Gender ini? Padahal posisi Gereja ialah sebagai sebuah institusi yang mengedepankan tradisi Patriarki. Paper ini akan sedikit banyak menjelaskan secara ringkas persoalan Gender dalam Gereja dewasa ini.

II. GENDER

2.1. ARTI DAN SEJARAH GENDER

Menurut arti katanya, Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.2 Istilah “gender” dikemukakan oleh para ilmuwan

sosial dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Sering kali orang mencampuradukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan yang bersifat non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah. Perbedaan peran gender

1 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi Terhadap Perempuan, Yogyakarta: Bentang, 2003, hlm. 23.

(2)

ini juga menjadikan orang berpikir kembali tentang pembagian peran yang dianggap telah melekat, baik pada perempuan maupun laki-laki. 3

2.2. BENTUK KETIDAKADILAN GENDER4

Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal dengan perbedaan gender. Hal ini tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan bila hal tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau ketidakadilan. Patokan atau ukuran sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan ketidakadilan atau tidak adalah sebagai berikut:

Stereotype

Semua bentuk ketidakadilan gender sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan. Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan. Contoh: Perempuan dianggap cengeng, suka digoda, perempuan tidak rasional, emosional, perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting, perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama, dll.

Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminin dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan 3 Dra. Sri Sundari Sasongko, Konsep dan Teori Gender, T.t.: Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan

Kualitas Perempuan, BKKBN., 2008, hlm. 6.

4 Disarikan dari, http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?

(3)

sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Contoh: Kekerasan fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya di dalam rumah tangga, pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan, pelecehan seksual, eksploitasi seks terhadap perempuan5 dan pornografi.

Beban Ganda (double burden)

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah menyubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

Marjinalisasi

Marjinalisasi artinya: suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja di luar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Contoh: Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima. Masih banyaknya pekerja perempuan di pabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan faktor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan

(4)

menyusui. Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan,

Subordinasi

Subordinasi Artinya: suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestik dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi publik laki-laki. Sepanjang penghargaan sosial terhadap peran domestik dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung. Contoh: Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding laki-laki. Dalam pengupahan, masih ada perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak. Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislatif dan eksekutif ).

2.3. USAHA MENANGGULANGI KETIDAKADILAN GENDER

Sejarah Perjuangan Perempuan Internasional seiring dengan perkembangan jaman, perempuan mulai menyadari perlakuan diskriminasi terhadap dirinya yang dilakukan oleh budaya yang dikonstruksi sedemikian rupa oleh masyarakat sehingga seolah-olah menjadi takdir. Sebagai organisasi internasional, PBB pun menyadari keadaan tersebut. Sebagai wujud kepedulian organisasi dunia itu terhadap permasalahan tersebut dapat terlihat dari dicantumkannya persoalan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Mukadimah Piagam PBB (1945). Dalam piagam tersebut ditetapkan adanya hak-hak yang setara antara perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan semakin gencar memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender setelah PBB memasukkan ketetapan dalam mukadimah piagam tersebut menjadi bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia pada tahun 1948.6

Tidak hanya sampai di situ. Semua pergerakkan itu akhirnya menimbulkan aneka gerakan-gerakan lain yang berusaha memperjuangkan adanya kesetaraan gender. Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’ di tahun 1950

(5)

dan 1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam pembangunan. Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan tentang pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD). Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerja sama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.7 Pada tahun 2000 konferensi

PBB menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’ (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.

2.4. PERMASALAHAN GENDER DI INDONESIA

Selama ini keberadaan perempuan selalu diletakkan di balik bayangan ayah, suami, atau saudara laki-lakinya sehingga sulit bagi mereka untuk tampil sebagai dirinya. Sejak kecil mereka sudah terikat akan peraturan-peraturan, baik adat istiadat seperti yang dialami perempuan Suku Asmat maupun peraturan-peraturan yang dibuat dalam keluarga. Kebebasan sebagai manusia utuh yang sama-sama diciptakan oleh Allah tidak mereka peroleh, perempuan selalu dibatasi dan selalu diikat oleh doktrin-doktrin picik yang menyudutkan keberadaan mereka. Dorothy Parker dalam Modern Women: The Lost Sex, menulis: “Saya tidak dapat begitu saja menulis buku yang memperlakukan perempuan sebagai perempuan… Ide saya adalah kita semua, kaum laki-laki dan juga perempuan, seharusnya dianggap sebagai manusia.”8

7 http://www.2dix.com/pdf-2010/sejarah-gender-pdf.php (diakses pada tanggal 20 Oktober 2010).

8 Dorothy Parker has written: ‘I cannot be just to books which treat of woman as woman ... My idea is that all of us, men as well as women, should be regarded as human beings.’

(6)

Dari beberapa kasus di media massa, kami merasa bahwa kekerasan yang dialami perempuan sebenarnya adalah suatu akibat dari kekurangpahaman manusia dalam menanggapi kehendak Tuhan. Dalam kisah penciptaan manusia pertama pada Kitab Kejadian 2:18, yang tertulis Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Dari nas tersebut penulis menafsirkan bahwa Allah menciptakan perempuan guna menjadikannya sebagai teman hidup bagi Adam. Dalam hal ini Adam tidak dapat berkuasa lebih atas Hawa karena mereka diciptakan sama oleh Allah. Hanya Allah saja yang berhak atas hidup mereka. Namun pada kenyataannya hak yang sama bagi kaum Hawa pada masa sekarang tidak pernah diperoleh. Kaum Hawa selalu ada dalam kuasa kaum Adam. Mungkin kita bisa bertanya dan berefleksi kapankah manusia sadar akan kesetaraan seperti yang direncanakan Allah atas diciptakannya manusia laki-laki dan perempuan? Kapankah saudari-saudari kita yang ada di Suku Asmat dapat terbebas dari hukum adat yang mengekang hidup mereka? Kapankah salah satu ungkapan yang berbunyi “Cak mano budak betino iko!” yang menyebut anak perempuan sebagai budak betina atau bahasa-bahasa yang menyudutkan posisi kaum perempuan dalam kesetaraan gender yang dipergunakan dalam media massa dapat dihapuskan? Kapankah kaum perempuan dapat diperhitungkan sebagai manusia yang kuat baik dalam fisik maupun non fisik sehingga mereka pun diperbolehkan menjabat pada posisi tertentu di berbagai bidang layaknya kaum laki-laki? Kapan hukum di Indonesia yang melindungi kaum perempuan benar-benar dijalankan sesuai dengan semestinya?

III. PANDANGAN GEREJA

Gereja tidak tinggal diam dalam menanggapi munculnya seruan-seruan tentang mendesaknya memperjuangkan kesetaraan gender. Hal ini dicoba dituangkannya dalam beberapa dokumennya, dan secara khusus Gaudium Et Spes (GS) yang merupakan hasil pemikiran Konsili Vatikan II.

Gaudium Et Spes Art. 9

(7)

melakukan hal-hal baik, kuasa demikian dimaksudkan agar manusia sendiri mampu mengembangkan martabatnya. Jadi dalam kuasanya itu atau dalam kodratnya itu terdapat kewajiban untuk semakin mengembangkan martabatnya yakni sebagai manusia. Manusia diajak untuk menyadari dan kemudian membaharui wajah kemanusiannya.

Selanjutnya dikatakan, “…Kaum wanita menuntut kesamaan dengan kaum pria berdasarkan hukum maupun dalam kenyataan, bila kesamaan itu belum mereka peroleh…” bahwa kemudian manusia yang seringkali dibedakan antara perempuan dan laki-laki rupanya mulai menyadari bahwa dewasa ini pembagian demikian tidak lagi sesuai dengan waktu dan tempat dewasa ini. Gereja melihat dan menyadari gerakan ini.

Dalam kaitannya dengan pernyataan sebelumnya, jelas bahwa Gereja memandang usaha kaum perempuan ini sebagai usaha untuk kemudian mengembangkan martabatnya. Sejalan dengan hal ini, jelas bahwa Gereja sungguh memandang pentingnya bagi kaum wanita menuntut kesamaan dengan kaum pria. Tentunya ini merupakan kesamaan dalam arti gender.

Gaudium Et Spes Art. 29

Sebagai kelanjutan dalam apa yang telah disinggung dalam art. 9 sebelumnya, dalam art. 29 ini Gereja dengan tegas merumuskan posisinya berhadapan dengan permasalahan kesetaraan gender. Dikatakan pada paragraf pertama artikel ini demikian, “Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal-mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang.” Semua orang tentunya mengacu bukan hanya mereka laki-laki melainkan juga mereka yang perempuan. Semuanya memiliki kodrat yang sama oleh karena diciptakan menurut gambar Allah dan oleh karena telah menerima rahmat penebusan Kristus, mereka mengemban panggilan serta tujuan yang sama. Apakah panggilan dan tujuan yang sama itu? Tak lain adalah mengembangkan martabatnya sebagai seorang manusia. Maka di sini ditegaskan bahwa gereja memandang bahwa kesetaraan gender itu perlu dihargai dan diupayakan mengingat oleh karena rahmat penciptaan dan penebusan, semua orang baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesamaan dasariah yang memang perlu untuk diakui.

(8)

Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa hak-hak asasi pribadi itu belum dipertahankan di mana-mana secara utuh dan aman. Misalnya seorang wanita tidak diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya dan menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria.” Secara eksplisit dalam akhir paragraf ini tampak bahwa Gereja mengungkapkan pandangannya dengan mencoba mengangkat secuil masalah gender. Diskriminasi bahkan dalam hal gender harus diatasi dan disingkirkan karena bertentangan dengan maksud Allah. Oleh karena itu, sungguh suatu ketidakadilan sementara kaum pria dapat dengan bebas melakukan apa yang mereka mau untuk mengembangkan martabat kemanusiaan, kaum wanita justru terikat dengan tidak bebasnya mereka untuk memilih hak-hak asasi mereka. Bagaimanapun juga hak-hak asasi tersebut sama dengan kaum pria oleh karena kesamaan dasariah yang memperoleh akarnya dari kodrat mereka sebagai yang diciptakan serupa dengan gambar Allah dan dipanggil untuk diutus oleh karena rahmat penebusan Kristus.

Dalam paragraf selanjutnya gereja memandang bahwa diskriminasi yang ada, dalam hal ini secara khusus mengenai masalah kesetaraan gender, merupakan suatu batu sandungan (scandalum) untuk tercapainya suatu tatanan hidup yang lebih manusiawi dan adil. Lengkapnya demikian, “Kecuali itu, sungguh pun pada orang-orang terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar, tetapi kesamaan martabat pribadi menuntut agar dicapailah kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil. Sebab perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa dalam satu keluarga manusia di bidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial, kesamarataan, martabat pribadi manusia, juga merintangi kedamaian sosial dan internasional.” Jika demikian halnya maka dapat dikatakan bahwa pembedaan-pembedaan secara ketat tanpa pandang bulu mengenai hak-hak dan kewajiban “seperti dipandang wajar bagi pria” perlu mendapatkan perhatian khusus karena menyangkut bukan hanya sebagian kelompok orang melainkan seluruh kehidupan manusia, terlebih dalam mengusahakan berkembangnya martabatnya sebagai manusia atau dikatakan dalam paragraf ketiga ini sebagai “kondisi hidup yang lebih manusiawi”. Kegagalan dalam mengatasi masalah ini tentunya menjadi kegagalan bagi semua manusia untuk mengembangkan panggilannya yakni agar ia semakin bermartabat.

(9)

manusia, seraya sekaligus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan sosial maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap pemerintahan. Bahkan lembaga-lembaga semacam itu lambat-laun harus menanggapi kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segala-galanya, juga kalau ada kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan.” Berdasarkan pernyataan di atas, Gereja mendorong semua pihak untuk kemudian memperjuangkan proses penyelesaian masalah ini. Gereja menyadari bahwa perjuangan itu akan lebih memberikan hasil jika dilakukan bukan secara individu melainkan secara bersama. Bersama di sini adalah melalui lembaga-lembaga yang berkehendak baik dalam arti turut memperjuangkan apa yang Gereja perjuangan yakni demi semakin lebih manusiawinya kehidupan manusia. Gereja juga menekankan bahwa hal demikian memerlukan waktu yang cukup lama, mengingat perjuangan kesetaraan gender bukanlah hal yang mudah, terlebih di dalam dunia yang begitu dipengaruhi secara kuat oleh patriarkisme.

Dari pembahasan dan uraian singkat mengenai dua artikel dari Gaudium Et Spes ini, sekurangnya ada tiga pokok penting yang menjadi dasar bagi Gereja untuk kemudian memperjuangkan kesetaraan gender bagi kaum perempuan. Ketiga hal tersebut ialah, pertama, bahwa setiap manusia memiliki kesamaan dasariah yang ia peroleh melalui kodratnya sebagai ciptaan dan bahwa ia memiliki panggilan untuk semakin menjadi bermartabat oleh karena rahmat penebusan Kristus. Kedua, manusia memang bagaimanapun memiliki perbedaan entah itu fisik, intelektual maupun moral namun bukan berarti melalui perbedaan itu ada pembedaan dalam hak-hak asasinya apalagi jika kemudian melalui perbedaan yang ada justru menimbulkan tindakan diskriminasi. Dan yang ketiga, upaya untuk memperjuangkan kesetaraan ini bukanlah upaya yang semestinya dilakukan secara individual melainkan secara komunal.

Gaudium Et Spes art. 9 dan 29 menjadi kunci dasar pandangan Gereja dalam memandang usaha kaum perempuan dalam memperoleh kesetaraan dengan kaum laki-laki. Gereja memandang bahwa upaya dituntutnya kesetaraan berdasarkan gender ini bukan semata-mata berhenti pada diperjuangkannya hak-hak maupun kewajiban yang sama antara perempuan dengan laki-laki, tetapi lebih dari itu haruslah dipandang sebagai suatu usaha untuk semakin memartabatkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Tanpa kesadaran demikian kiranya segenap perjuangan itu menjadi kurang berarti karena kehilangan dasar utamanya yakni kodrat manusia itu sendiri sebagai yang diciptakan serupa dengan gambar Allah.

(10)

Gereja tidak jarang menuai badai kritik terhadap pandangannya mengenai kesetaraan gender ini.9 Kritikan ini terungkap oleh karena seringkali apa yang menjadi pandangan Gereja

jauh sekali dari apa yang dipraktekkan. Sederhananya, semua pandangan Gereja itu hanyalah teori, sedangkan dalam prakteknya tidaklah demikian.

Bermula dari Tradisi Perjanjian Baru sebutkanlah misalnya Febe sebagai diakon Gereja (Rom 16:1), Maria (Kis 12:12), Apfia (Fil 2), Lidia (Kis 16:14), Nimfia (kol 4:15), dan Khloe (1 Kor 1: 11).10 Serentetan nama perempuan ini adalah nama-nama perempuan yang

sungguh berjasa dalam mengembangkan karya kerasulan Gereja purba kala. Tentunya Gereja boleh berbangga dengan hal ini bahwa di masa lampau Gereja menampakkan adanya kesetaraan gender, namun kiranya tidak demikian saat ini. Bagaimana tidak, dalam Gereja sendiri peran kaum peremuan sungguh amat terbatas. Hal yang paling tampak adalah dengan tidak diperkenankannya bagi kaum perempuan mendapatkan rahmat tahbisan (menjadi imam). Hal ini kiranya menjadi perdebatan yang cukup sengit dalam Gereja sendiri, di satu sisi mereka memperjuangkan tentang perlunya dan pentingnya kesetaraan gender namun di sisi lain Gereja sendiri berusaha mempertahankan pengaruh patriarkalnya.

Apa yang dialami oleh gereja lantas menjadi suatu hal yang masih perlu digarap oleh Gereja. Kerapkali hal-hal inilah yang kemudian menjadi titik lemah ajaran Gereja dalam mengemukakan dan mengaktualisasikan pandangannya. Inilah yang seringkali dinilai oleh orang sebagai kesenjangan antara apa yang dikemukakan dengan apa yang kemudian dipraktekkan.

IV. TANGGAPAN KRITIS

Pemahaman tentang gender dan permasalahan yang terkandung di dalam ideologi11

tersebut, telah menarik perhatian banyak pemikir (ideolog), dari kaum sosialis, fundamentalis (konservatif), pragmatis (perwakilan gender; kaum feminis12), liberalis hingga Gereja pun

melibatkan diri di dalamnya. Rasio (keluhuran) manusia telah memasuki kesadaran kodrati,13

9 “Salah satu kritikan ini dilontarkan oleh Richard Leonard yang berkesimpulan bahwa terdapat kesenjangan antara penenguhan mengenai kesetaraan kaum perempuan dengan kaum laki-laki sebagai citra begitu pula hak-hak selaku pribadi yang penuh di satu pihak, dan di lain pihak mengenai panggilan kaum perempuan dalam Gereja. Letak perdebatan bukanlah mengenai pandangan mengenai keluhuran martabat kaum perempuan, melainkan mengenai panggilan kaum perempuan.” J.B Banawiratma, Jender dalam Gereja Katolik, Seri Forum LPPS No. 38, 1997, hlm. 1-2.

10 Ibid.

11 Gender disebut sebagai ideologi, artinya secara murni dapat dijadikan sebagai sistem dalam membentuk tatanan sosial.

12 Sebuah gerakan kaum perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Bdk. Kritik Feminisme terhadap Paham Gender, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, (diakses 2 November 2010).

(11)

etis (prinsip moral), fisik (realitas badaniah) dan metafisik (realitas rohaniah). Berbagai bentuk kesadaran ini mau mengungkapkan adanya suatu keprihatinan mendalam akan persoalan “gender” dalam kehidupan manusia. Dari keempat sudut pandang (kesadaran) tersebut, penulis mencoba mengkritisi keseluruhan realitas humanis dan paradigma mengenai “gender” serta segala problematika yang menimbulkan ‘krisis’14 keyakinan, khususnya dalam

ketaatan kepada Gereja. Tinjauan kritis ini pun tidak terlepas dari sudut pandang Gereja dalam kesejarahannya, sebagaimana Gereja adalah suatu realitas yang hadir dan hidup dalam dunia (manusia dan tuntutan kemanusiaannya).

Kesadaran Adikodrati

Allah menghendaki manusia diciptakan menurut gambar-Nya; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya (Kej 1:27). Sejak dari permulaannya manusia sudah diciptakan sebagai pria dan wanita; keduanya adalah sama-sama ahli waris baik atas citra Ilahi maupun atas kekuasaan mengatur bumi ini.15 Sejak penciptaan pun, Allah tidak menyatakan bahwa salah satu dari kedua seks itu lebih besar tanggung jawabnya atas bumi.16 Namun, dalam perjalanan sejarah manusia, tidak lagi selaras dengan maksud penciptaan ini; kebanyakan manusia cenderung mengeksplorasi kehadiran sesamanya yang dianggap lemah untuk dijadikan pemuas diri sendiri. Karena itu, dengan memiliki kesadaran adikodrati ini, manusia mestinya menyadari segala kehendak baik yang berasal dari Allah, sebagai dasar penghargaan setinggi-tingginya terhadap manusia lain. Gereja Katolik menerima pandangan ini, bahkan Gereja selalu berusaha menunjukkan betapa pentingnya nilai martabat pribadi manusia.17 Martabat luhur manusia berdasarkan kodratnya sudah sepatutnya dipandang sebagai prinsip utama dan fundamental dalam praktek penghargaan atas pentingnya nilai hidup dalam kebersamaan dan perbedaan. Hidup dalam kebersamaan merupakan kodrat yang diterima manusia sejak dilahirkan ke dalam dunia ini. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan selain sebagai pusat dan puncak dari segala sesuatu di dunia,18 juga hadir sebagai pelengkap antara satu dan yang lainnya. Dari dirinya sendiri, manusia dalam relasi dengan sesama (antara pria dan perempuan) tidak dimungkinkan untuk menciptakan jenjang-jenjang status atau pun berbagai bentuk pembedaan lainnya, karena perbedaan itu telah ada dari semula. Perbedaan itu sepatutnya dipandang sebagai suatu keunikan; hadir untuk saling menyempurnakan antara satu dengan yang lainnya. Makna dan inti dari kesadaran adikodrati ini, sebenarnya mau

14 Krisis ini tampak dalam berbagai pergolakan sejarah yang dihadapi Gereja, khususnya berhadapan dengan para pemikir kontemporer, yang menggugat pandangan dan ajaran Gereja itu sendiri. 15 Bdk. John Stott, op. cit., hlm. 338.

16 Ibid.

17 Bdk. “Gaudium et Spes,” art. 12, dalam dokumen Ajaran Sosial Gereja, terj. R. Hardawiryana, SJ., Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 283.

(12)

mengungkapkan bahwa “gender” bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk diperhatikan dan dihargai sebagai suatu keunikan yang menyempurnakan kekurangan pada keunikan diri yang lain.

Kesadaran Etis

Dalam ajaran moral Kristiani,19 kerukunan dan ketenteraman dalam praktek kehidupan

bersama itu dapat terwujud karena adanya norma-norma yang berlaku sebagai representasi kehendak Allah bagi umat manusia. Norma-norma yang mengontrol perilaku sosial inilah yang dimaksud sebagai kesadaran etis dalam diri manusia dan yang hendaknya mengarahkan manusia itu sendiri kepada standar praktek kebaikan manusia. Manusia semestinya mencintai keluhuran ciptaan dan menjunjung tinggi pedoman hidup yang bertujuan demi kebaikan umum. Tindakan manusia itu selalu berkaitan erat dengan etika kehidupan, karena itu tidak yang kejahatan atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia merupakan penyimpangan dari kesadaran etis ini. Demikian juga perlakuan yang tidak baik dengan motif persoalan gender, akan sangat menghancurkan keluhuran nilai kemanusiawian dalam diri manusia.

Manusia dengan segala hak dan kewajibannya telah mendasarkan tumpuan pada hukum kodrati.20 Hukum kodrati menjadi dorongan kuat dalam menumbuhkan inti kesadaran manusia yang paling penting, bahwa manusia mewarisi dari kodrat kemanusiaannya sebagai makhluk berkebebasan mutlak disertai tanggung jawab yang penuh. Kehendak dasar (dalam kebebasan) manusia pada hakikatnya menuntut tanggung jawab yang seimbang. Pencitraan manusia sebagai makhluk berakal budi mendukung kemampuan manusia dalam menilai sikap dan tindakannya supaya tetap selaras dengan norma kemanusiaan.

Kesadaran Jasmani (Realitas Fisik)

Manusia memiliki pengertian yang menyeluruh mengenai dirinya secara fisik, karena terdapat suatu kontak yang menghubungkan bahasa dan realitas dirinya. Di satu sisi, bahasa berperanan penting dalam mendeskripsikan realitas fisik (konkret), namun di sisi lain ia menciptakan konsep-konsep yang berbeda. Dalam kaitannya dengan gender, bahasa memiliki tiga hubungan substansial, yakni: pertama, bahasa mencerminkan pembagian sosial dan ketidaksetaraan; kedua, posisi pembagian dan ketidaksetaraan itu sebenarnya tercipta melalui perilaku linguistik yang seksis; dan ketiga, bahasa dan gender mengandung suatu proses yang berjalan dan segala penjelasan penuh mengenai bahasa dan gender tentunya mengeksplorasi perseteruan dan saling berpengaruh.21

19 Ulasan tentang pentingnya nilai-nilai moral dibahas dalam “Mater et Magistra” art. 205-211, dalam dokumen Ajaran Sosial Gereja, ibid., hlm. 194-196.

20 Bdk. “Pacem in Terris,” art. 28, dalam dokumen Ajaran Sosial Gereja, ibid., hlm. 222.

(13)

Bahasa membantu membentuk batasan-batasan realitas kita.22 Ini pun merujuk kepada hal yang sama bahwa bahasa menciptakan pembagian gender.23 Dalam penggunaannya pun bisa memberikan corak tertentu, yang dapat dipahami sebagai suatu yang berbeda; artinya tidak semuanya maksud yang disampaikan melalui bahasa dapat diterima sebagai definisi yang sama di antara para penggunanya. Selain memberikan suatu pengertian, bahasa juga menimbulkan suatu keraguan.24

Kesadaran jasmani tetap memiliki tuntutan kuat dalam diri manusia, sebagai penyadaran bahwa saat kehidupan disimbolkan dengan keberadaan tubuh manusia. Dengan hadir dalam tubuh yang nyata ini, manusia diharapkan tahu bagaimana bentuk perlakuan dan kebutuhan baik yang bisa diterima tubuh itu sendiri. Sikap hormat terhadap tubuhnya sendiri semestinya menyadarkan ia bahwa perlakuan yang sama pun diperlukan oleh badan-badan yang lain. Itu sebabnya kesetaraan gender memiliki pendasaran yang kuat; perlu diperjuangkan oleh siapa pun, bila mengalami perlakuan yang tidak wajar karena masalah gender. Dewasa ini, masalah perbedaan gender banyak disoroti karena hanya satu pihak yang selalu dirugikan, padahal perbedaan (antara pria dan wanita) bisa dipersatukan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Inilah yang dimaksudkan dalam ajaran Gereja Katolik mengenai prinsip perkawinan, bahwa kedua manusia, yakni laki-laki dan perempuan yang disatukan oleh Allah, mereka bukan lagi dua, melainkan satu daging/tubuh (bdk. Mat. 19:4-6). Dengan adanya kesatuan tubuh ini, maka prinsip kesadaran ini menjadi titik tolak yang kuat untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Dalam hal ini, prinsip patriarkal dalam Gereja Katolik mendapat kritik yang bersumber dari pengajarannya Gereja itu sendiri.

Kesadaran Rohani (Kesamaan sebagai makhluk yang memiliki Jiwa)

Manusia tidak hanya hidup dari dan dalam raganya (forma), melainkan juga digerakkan oleh jiwa (sebagai potensi yang terus berkembang). Pengakuan terhadap martabat manusia, tidak berhenti pada kesadaran adikodrati, melainkan juga berlanjut pada pemahaman akan sikap dan keyakinan manusia dalam menghayati semangat kehidupannya; ini berkaitan dengan aspek hidup rohani (penghargaan terhadap jiwa atau psikologi). Manusia memiliki kesadaran ini dalam arti mencari pengakuan adanya dorongan untuk memperhatikan kebutuhan jiwa. Pengakuan semacam ini tentu tidak bisa dibatasi oleh konsep apa pun. Kesadaran metafisik – demikian dapat dikatakan, merupakan realitas yang melampaui batas penghormatan terhadap fisik yang tampak. Dalam kaitan dengan gender, kesadaran ini mau menunjukkan konsep kesempurnaan dalam diri manusia,

22 Ibid., hlm. 14. 23 Ibid.

(14)

baik dalam diri laki-laki atau pun perempuan, yang tentunya tidak ditemukan dalam makhluk hidup lainnya. Keluhuran jiwa sebagai sumber keluhuran manusia, tentu tidak dapat dipisahkan dari realitas raganya. Prinsip kesadaran ini mau menunjukkan bahwa manusia yang memandang rendah manusia lainnya karena perbedaan gender, berarti ia menghina harkat dan martabat jiwanya sendiri. Kesadaran rohani menghantarkan orang pada prinsip kesederajatan manusia, sebab dalam jalinan relasi jiwa manusia yang satu dengan jiwa manusia yang lain juga memerlukan dukungan serta pengakuan yang selayaknya. Jadi, perjuangan kesetaraan gender juga menyangkut keseluruhan diri manusia, sebagai makhluk yang memiliki aspek kesadaran jiwa yang tinggi.

Sejarah peradaban umat manusia menunjukkan bahwa gender dalam kedudukannya tampak lebih menyisihkan keberadaan kaum perempuan, sehingga kebangkitan gerakan feminisme sebagai tanggapan atas persoalan ini,25 dapat pula dijadikan sebagai bentuk kebangkitan kesadaran diri manusia yang berorientasikan nilai-nilai dan prinsip kebenaran serta keadilan dalam seluruh perjuangan hak asasi manusia (natural/human rights).26 Tuntutan keadilan dan kesetaraan mengandaikan adanya pengakuan terhadap hak-hak manusia, yang kemudian mengarahkan manusia pada pengidentifikasian nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sesungguhnya dari perwujudan hak manusia itu sendiri.27 Jadi, memperjuangkan kehidupan manusia secara utuh lebih penting diperhatikan daripada mempersoalkan perbedaan gender.

V. RELEVANSI

Dalam paper ini kami menitik beratkan pada upaya menjalani hubungan yang setara antar laki-laki dan perempuan atas dasar bahwa keduanya sama-sama diciptakan oleh Allah. Kesetaraan ini yang senantiasa penulis percayai sebagai usaha untuk mencapai perdamaian dan keadilan atas dasar hidup sesuai kehendak Yesus yang selalu menitik beratkan hidup penuh dengan cinta kasih. Kesetaraan tidak hanya dituntut dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan melainkan sesama laki-laki atau perempuan pun dituntut pula kesetaraan tersebut. Hal ini penting sebab budaya patriarkal yang ada dalam masyarakat dengan sendirinya menciptakan suatu kelompok dan tingkatan tertentu antarmanusia. Dalam kehidupan di masyarakat ini, kami merasa ada suatu tingkatan yang menjadi suatu jurang pemisah antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, pejabat dan rakyat biasa, pimpinan dan bawahan, orang kaya dan miskin atau bahkan imam dan umat, dll. Meskipun tidak terlalu mencolok namun kami merasa bahwa suatu kelompok yang mendapat tempat lebih tinggi biasanya selalu ingin

25 Bdk. John Stott, op. cit., hlm. 333.

(15)

dihormati dan bagi mereka yang ada dalam status yang lebih rendah, orang-orang yang memiliki status lebih tinggi itu akan menjadi bahan pembicaraan yang menimbulkan kebencian. Akan tetapi kami merasa bahwa tradisi seperti ini pasti akan dapat terhapuskan sebab akhir-akhir ini perjuangan untuk kesetaraan gender semakin meningkat. Selain itu, gerakan emansipasi wanita pun semakin menunjukkan perkembangan yang pesat meskipun masih ada yang memegang budaya patrilinialisme ini dalam bentuk-bentuk lain. Kesetaraan pun penting pula diterapkan dalam hubungan antara masyarakat lintas golongan. Hendaknya kesetaraan tersebut masih wajar dengan hak dan kewajibannya masing-masing tanpa mengurangi kesetaraan sebagai sama-sama ciptaan Allah. Apabila kesetaraan ini dapat tercapai, maka penulis pun optimistis bahwa keharmonisan masyarakat dewasa ini pasti dapat tercapai.

Selain kegunaan di atas, pengetahuan dalam bidang gender dibutuhkan pula, agar kita semakin menyadari tugas-tugas kita sebagai ciptaan Allah yang bertujuan saling melengkapi satu sama lain dengan mau menghormati dan menghargai setiap pribadi sehingga pengeksploitasian terhadap perempuan sedapat mungkin diminimalisasi. Sebagai calon imam kita dituntut agar kita mau mengasihi semua orang tanpa terkecuali. Kita dituntut untuk mau menghargai perbedaan dan melindungi yang lemah dan tersingkir sehingga keadilan dalam kehidupan pun dapat kita wujudkan. Semoga kelak akan hadir imam-imam yang tangguh dan gigih dalam membela keadilan dan kesetaraan sebagai ciptaan Allah.

VI. PENUTUP

Akhirnya, penulis patut mengakui bahwa pembicaraan tentang “Gender” tidak hanya memunculkan keprihatinan besar dalam seluruh masyarakat dunia, melainkan juga menjadi keprihatinan Allah sendiri, sebagai Sang Pencipta semesta alam dan manusia, sebab kehendak-Nya yang semula telah diabaikan oleh umat-Nya sendiri. Manusia tidak lagi mengerti kehendak dan maksud Allah menciptakan manusia entah sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan. Ini mau menunjukkan bahwa kebaikan Allah sungguh tidak mudah dimengerti oleh manusia. Dengan demikian, persoalan-persoalan (seperti kasus pelanggaran HAM) yang muncul terkait gender juga menuntut suatu kesadaran yang tinggi akan pentingnya memperjuangkan harkat dan martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

(16)

Ajaran Sosial Gereja. Terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan

Penerangan KWI. 1999.

Sumber Buku:

Banawiratma, J.B. Jender dalam Gereja Katolik. Seri Forum LPPS No. 38. 1997.

Bhasin, Kamla. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi Terhadap

Perempuan. Yogyakarta: Bentang. 2003.

Finnis, John. Natural Law And Natural Right. New York: Oxford University Press. 1980.

Graddol, David dan Joan Swann. Gender Voices (1989). Terj. M. Muhith. Pasuruan:

Pedati. 2003.

Hadiwardoyo, Purwa. Masalah Sosial Aktual. Yogyakarta: Kanisius. 2006.

Murfitriati dan Asep Sopari. Isu Global Gender. T.t.: Pusat Pelatihan Gender dan

Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN. 2008.

Sasongko, Sri Sundari. Konsep dan Teori Gender. T.t.: Pusat Pelatihan Gender dan

Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN. 2008.

Stott, John. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Terj. Nainggolan. Jakarta:

Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. 1993.

Sumber Internet:

http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme,

http://www.2dix.com/pdf-2010/sejarah-gender-pdf.php

http://www.marxists.org/reference /subject/ethics/de-beauvoir/2nd-sex/introduction.htm

http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_content&view=category&

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini biji pepaya disiapkan untuk proses ekstraksi dengan pelarut etanol sehingga diperoleh ekstrak yang mengandung senyawa fenolik sebagai

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN WORD SQUARE UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA PELAJARAN IPS di SD.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan, yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan

, pola pengelolaan hutan produksi yang sesuai dengan preferensi pemangku kepentingan adalah pola pengelolaan hutan produksi multikultur/agroforestri berbasis pemberdayaan

Kegiatan transportasi harian relatif menimbulkan pergerakan yang bersifat berulang, misalnya yang terjadi pada para pekerja dan mereka yang menempuh pendidikan di sekolah..

Kerjasama BPPT dengan PT IBM Indonesia dalam pengembangan teknologi microgrid listrik cerdas, menurut Sekretaris Utama BPPT, Soni Solistia Wirawan, adalah langkah yang tepat,

Diberikannya kebebasan oleh Spanyol kepada Rusia untuk turut serta mengembangkan sektor wisatanya yang dirancang dalam kerengka kerja strategic partnership tersebut juga merupakan

Faktor dari diri informan yang menyebabkan informan menggukanakan narkoba adalah Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir , panjang