• Tidak ada hasil yang ditemukan

Omah Tani dan Politik Hak Asasi Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Omah Tani dan Politik Hak Asasi Manusia"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Konsisten dengan

Komitmen Awal

atau Mencari Jalan Baru?

Konsisten dengan

Komitmen Awal

atau Mencari Jalan Baru?

Penyelesaian Pelanggaran

HAM Masa Lalu:

Konsisten dengan

Komitmen Awal

(2)

laporan utama

5 - 14

editorial

04

Kembang dan Tembang untuk Korban

bagi korban, waktu empat dekade itu berarti waktu ketidakjelasan mengenai keberadaan anggota keluarga mereka yang hilang. Mereka menggunakan masa penantian dengan terus menagih janji Pemerintah untuk mengungkap kejahatan, sembari merawat memori dengan metode apapun.

Kolom

Tutur mereka mengenai serangkaian perbuatan yang tak manusiawi, mulai dari narasi penyiksaan yang kejam selama pemeriksaan yang kadang tak jelas legal atau ilegal karena tak jelas dari otoritas mana mereka berasal tentu bukanlah isapan jempol. Narasi yang sama saya dengar pula dari beberapa korban penculikan tahun 1998 yang berhasil kembali dan meneruskan kehidupan mereka.

Mengapa Harus (Membela) Korban

Di tengah maraknya kemunculan perda diskriminatif di sejumlah daerah, inisiatif Setda Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menerbitkan Manual Penyusunan Perda Berbasis HAM patut diapresiasi. Pada manual ini terdapat pedoman yang berlaku bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau legal drafter seluruh instansi yang ada di Kabupaten Sanggau dalam menyusun/merancang peraturan daerah di tingkat lokal.

Dinamika Penyelesaian Pelanggaran HAM

Masa Lalu: Konsisten dengan Komitmen

atau Mencari Jalan Baru?

Berbagai upaya dan inisiatif telah dilakukan untuk terus mendorong adanya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, yang terus disuarakan oleh masyarakat sipil dan para korban. Inisiatif-inisiatif korban dan masyarakat sipil di tingkat lokal justru memberikan dampak yang positif kepada para korban. Gugatan hukum, memorialisasi, pengungkapan kebenaran oleh masyarakat, terus terjadi di tengah kemacetan proses penyelesaian oleh negara.

resensi

22-23

Langkah Berharga Pemda Sanggau

Terkait HAM

Sejarah kelam tragedi pembunuhan orang-orang yang dituduh PKI pada akhir 1965 menjadi noktah bagi rumah tua dan penghuninya. Pada kenyataannya memang ada anggota keluarga yang dihilangkan di sini. Itu sebabnya orang-orang yang tinggal dan, terutama anak-anak muda yang sering berkunjung ke Taman 65, sangat antusias membicarakan tragedi itu.

nasional

15-17

Lika-Liku Ingatan dan Modal Sosial Taman 65

(http://taman65.wordpress.com)

daerah

18-20

Ketika Walikota Minta Maaf Kepada Korban

Pada momentum peringatan hari hak korban pelanggaran HAM atas kebenaran dan keadilan pada 24 Maret 2012 dalam rangkaian hari ulang tahun Provinsi Sulawesi Tengah yang ke-48 tahun. Walikota menyampaikan permintaan maaf kepada korban. Pada intinya walikota menegaskan bahwa yang terjadi pada masa lalu adalah sebuah kesalahan.

Kekuasaan pemerintahan otoriter ditandai sejumlah hal: dukungan ideologi militerisme menindas, tidak mentolerir perbedaan pendapat, pendekatan kekerasan, dan gemar bertindak bengis terhadap rakyatnya sendiri; di samping pemerintahan yang korup. Ringkasnya, pemerintahan tidak ramah HAM karena gemar menabrak hukum-hukum HAM.

Sumbangsih Tenaga Tapol Tanpa

Pengakuan Rezim Soeharto

daftar isi

Masa lalu adalah lembaran sejarah dan terselip sebuah ingatan yang hendak selalu mengantarkan kita untuk bisa duduk bersama saling menemani dan memahami, kemudian untuk dapat meletakkannya dan merefleksikan atas apa yang telah terjadi.

Omah Tani dan Politik Hak Asasi Manusia di Batang

Omah Tani merupakan organisasi petani Batang yang berdiri sejak 2008. Di Batang, persoalan representasi politik yang buruk, dan usaha untuk memperbaikinya, telah menjadi perhatian gerakan

internasional

21

Diratifikasinya Konvensi Pekerja Migran merupakan puncak 13 tahun proses perjuangan Pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia dalam upaya mencapai pemahaman yang sama. Konvensi ini mengatur sejumlah jaminan, baik bagi tenaga kerja sendiri, maupun negara untuk mengeluarkan guideline perlindungan terhadap tenaga kerja lokalnya.

(3)

Redaksional

Penanggung Jawab:

Indriaswati Dyah Saptaningrum Pemimpin Redaksi:

Otto Adi Yulianto Redaktur Pelaksana: Widiyanto

Dewan Redaksi:

Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman

Redaktur:

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien, Ester Rini Pratsnawati, Paijo Sekretaris Redaksi:

Triana Dyah Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy

Desain & Tata Letak: alang-alang Penerbit:

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Penerbitan didukung oleh: Alamat Redaksi:

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510,

Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519

E-mail:

office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id Website:

www.elsam.or.id.

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9

UNI EROPA

w w w . e l s a m . o r . i d

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Surat Terbuka Kepada Pak Menteri

Kepada Bapak Menteri yang Berkuasa,

Kami paham bahwa politisasi terhadap agama akan menjerumuskan negara ini ke kubangan kekerasan tiada akhir.

Dan kita bisa simak deretan kekerasan yang mengatasnamakan agama kerap terjadi di penjuru nusantara.

Barangkali menuduh korban dan lembaga advokasi bagi Anda merupakan cara paling mudah untuk lari dari tanggung jawab ketimbang bersikap tegas terhadap para gerombolan intoleran. Kami tahu banyak pejabat negara yang tidak memiliki sikap kenegarawanan.

Kami tidak tahu apakah Anda termasuk salah satunya.

Wiwid-Depok

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:

asasi@elsam.or.id

(4)

editorial

Mengapa Harus (Membela) Korban

S

aya, seperti kebanyakan generasi yang lahir di era 1970an, sebenarnya hampir tak memiliki memori visual apapun mengenai tragedi kemanusiaan yang mengiringi naiknya Orde Baru ke tampuk kekuasaan di Indonesia, yang lantas mengisi tiga puluh lima tahun periode kekuasaannya dengan represif. Bahkan berbagai tragedi kekerasan yang berlatar belakang politik lainnya yang terjadi jauh sebelum atau sesudahnya seperti Gulag Pulau Buru dan Plantungan, pembunuhan Talangsari, Tanjung Priok, rangkaian kekerasan yang merenggut sejumlah besar korban di Aceh dengan pemberlakukan Operasi Militer, hanya karena mereka hampir tak pernah tersebut dalam buku-buku pelajaran. Mungkin nasib yang sama juga dialami oleh generasi-generasi yang lahir belakangan, karena hanya sedikit perubahan yang ada dalam kasanah narasi resmi mengenai sejarah bangsa ini, khususnya yang secara resmi dipergunakan sebagai buku rujukan di sekolah-sekolah baik SD, SMP maupun setingkat SMA.

Mungkin seperti kebanyakan generasi seusia saya yang lainnya, perbincangan mengenai hal tersebut hampir tak ditemukan dalam obrolan sehari-hari di rumah. Rasanya sulit mempercayai kedua orang tua saya tak mengetahui apa yang terjadi di waktu-waktu itu, tapi seperti kebanyakan keluarga lain, mungkin mereka memilih menutup rapat-rapat perbincangan itu, seperti takut akan adanya hantu yang tiba-tiba muncul bila hal itu diperbincangkan. Alhasil, narasi-narasi itu selama bertahun-tahun terpendam rapat-rapat dari generasi-generasi seusia saya atau pun yang lebih muda.

Seperti kebanyakan generasi seusia saya yang tak terafiliasi dengan ormas-ormas yang terkait atau sering dikaitkan dengan Tragedi 1965 atau tragedi-tragedi lain yang terjadi sesudahnya, sulit menakar kedekatan emosi pada perdebatan mengenai tarik ulur kepentingan dan konteks politik yang melingkupi peristiwa-peristiwa tersebut seperti tergambar dalam debat antara Magnis Suseno (24/3) dan Sulastomo (31/3) di Harian

Meskipun demikian, satu yang realitas yang tak terbantahkan adalah kehadiran para korban dan seluruh narasinya. Mereka adalah realitas yang faktual, manusia yang hidup, beberapa diantaranya renta dimakan usia, punya alamat tinggal yang jelas dan diakui sebagai warga negara karena rata-rata memiliki KTP. Sebagian kecil ada yang beruntung tak

Kompas.

memiliki kesulitan ekonomi, tapi sebagian besar lainnya hidup dalam situasi yang sulit bertahan hidup dengan kondisi yang memprihatinkan.

Tutur mereka mengenai serangkaian perbuatan yang tak manusiawi, mulai dari narasi penyiksaan yang kejam selama pemeriksaan yang kadang tak jelas legal atau ilegal karena tak jelas dari otoritas mana mereka berasal tentu bukanlah isapan jempol. Narasi yang sama saya dengar pula dari beberapa korban penculikan tahun 1998 yang berhasil kembali dan meneruskan kehidupan mereka. Kekerasan seksual seperti maaf- menusuk kemaluan dengan batang kayu seperti diungkap dari data forensik Marsinah, maupun tuturan langsung para ibu-ibu yang menjadi tahanan politik paska tragedi 1965 jelas menghentak kesadaran kemanusiaan, apalagi jika Anda perempuan. Tak hanya membuat bergidik, narasi ini jelas terlalu jauh dari fantasi yang mungkin terbayangkan. Bagi generasi seusia saya, sosok mereka jauh lebih nyata, senyata fakta bahwa atas alasan apapun perlakuan yang mereka alami tak bisa dibenarkan oleh akal sehat kemanusiaan manapun, atau berdasar agama atau kepercayaan apapun. Apalagi bila merujuk pada klaim prinsip dan norma hak asasi manusia yang jelas telah menjadi jaminan konstitusional di negeri ini.

Bila demikian adakah alasan lain yang masuk akal untuk tidak membela keinginan mereka yang sederhana, supaya narasinya didengar dan diakui? Adakah alasan yang lebih kuat bagi Pemerintah (baca-negara) untuk menganggap seolah mereka tidak ada? Sekecil apapun langkah konkrit harus segera diwujudkan, justru karena tak lagi ada alasan tersisa untuk Pemerintah untuk tidak berbuat apa-apa, dan terus berdiam seolah tak terjadi apa-apa.

(5)

laporan utama

Kerangka Penyelesaian dan Implementasi

Kerangka penyelesaian berdasarkan pada berbagai produk hukum yang dibentuk berpijak dalam dua jalur, yakni pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi melalui pembentukan KKR dan penghukuman kepada pelaku melalui pengadilan HAM

Pembentukan KKR mendapatkan basis legalnya dalam Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 tentang tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan. Dalam Tap tersebut telah jelas dinyatakan bahwa pada masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu untuk diungkapkan demi menegakkan kebenaran, dan merekomendasikan untuk memutuskan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan

ad hoc.

Dinamika Penyelesaian

Pelanggaran HAM Masa Lalu:

Konsisten dengan Komitmen Awal

atau Mencari Jalan Baru?

Oleh

Zainal Abidin

(Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) ELSAM)

Korban pelanggaran HAM berat mencari keadilan.Sumber:www.tempo.co

Pengantar

Lebih dari satu dekade agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tak juga tuntas. Komitmen penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tampak surut di tengah arus besar transaksi politik dan kekuasaan yang saat ini terjadi. Kerangka hukum penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu telah ada melalui dua jalur, baik melalui pengadilan HAM maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), mandeg tak jelas ujungnya.

Berbagai upaya dan inisiatif telah dilakukan untuk terus mendorong adanya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, yang terus disuarakan oleh masyarakat sipil dan para korban. Inisiatif-inisiatif korban dan masyarakat sipil di tingkat lokal justru memberikan dampak yang positif kepada para korban. Gugatan hukum, memorialisasi, pengungkapan kebenaran oleh masyarakat, terus terjadi di tengah kemacetan proses penyelesaian oleh negara.

Respon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan retorikanya tampak memberikan “angin segar” penyelesaian, dengan menugaskan Menkopolhukam dan memandatkan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang hukum dan HAM untuk mencari format penyelesaian. Namun, ada kekuatiran bahwa upaya presiden ini keluar dari komitmen dan konsensus bangsa yang telah disepakati.

Proses penyusunan konsep tanpa adanya arah yang jelas dan kontrol publik yang luas, akan berdampak pada pilihan penyelesaian yang menjauhkan dari prinsip-prinsip HAM, dan memaksa para korban terus “bernegosiasi” dengan posisi yang tak setara. Pada titik ini, perumusan konsep, yang dimaksudkan untuk menerobos kebuntuan penyelesaian, harus beranjak maju untuk memastikan terpenuhinya hak-hak para korban.

(6)

Saksi dan Korban, yang diantaranya juga memberikan penguatan pengaturan tentang Kompensasi dan Restitusi, termasuk hal atas bantuan medis dan rehabilitasi psikososial kepada korban pelanggaran HAM yang berat.

D a r i k e r a n g k a h u k u m p e n y e l e s a i a n pelanggaran HAM masa lalu tersebut, tidak banyak kemajuan. Dari sisi pengadilan, tercatat hanya kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur pada tahun 1999 dan Tanjung Priok tahun 1984 yang dibawa ke pengadilan HAM . Dari dua peradilan tersebut, pengadilan bisa dikatakan gagal memberikan keadilan kepada korban dengan gagalnya melakukan penghukuman kepada pelaku dan melakukan pemulihan kepada korban. Hak-hak korban terkait dengan reparasi dan pemulihan tak kunjung terjadi, justru sejumlah inisiatif korban dan masyarakat sipil melalui jalur pengadilan maupun upaya lainnya yang lebih maju.

Komnas HAM sendiri, terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu, setidaknya telah melakukan penyelidikan terhadap kasus Talangsari 1989, Kasus Trisaksi, Semanggi, dan Mei 1998, dan Kasus Penghilangan Paska 1997-1998 yang sampai sekarang belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung dan Pemerintah. Kejaksaan Agung berdalih belum ada rekomendasi DPR dan masih ada berbagai hal yang harus dilengkapi oleh Komnas HAM.

Namun, alasan-alasan Kejaksaan Agung tidak konsisten. Misalnya, dalam kasus yang telah mendapatkan rekomendasi DPR untuk membentuk

Pengadilan HAM untuk Kasus Penghilangan

Paksa Tahun 1997-1998, juga tidak dilaksanakan hingga saat ini. Padahal, pada 28 Oktober 2009, DPR merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk

Pengadilan HAM untuk kasus Penghilangan

Paksa 1997-1998.

Sementara pembentukan KKR hingga kini belum jelas. Paska pembatalan UU KKR oleh MK, memang muncul inisiatif kembali untuk membentuk UU KKR melalui Kementerian Hukum dan HAM. Setelah sekian tahun draft ini dirumuskan, pada November 2010, Kementerian Hukum dan HAM akhirnya menyelesaikan Naskah Akademis dan RUU KKR, yang kemudian diserahkan kepada Presiden.

RUU KKR sempat menjadi RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011. Namun, Presiden tidak juga menyerahkan RUU KKR ke DPR untuk dibahas pada tahun 2011, dan hingga kini tidak ada kejelasan mengenai nasib RUU tersebut. Selama tahun 2011, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu berjalan di tempat, dan tidak ada kebijakan yang dihasilkan oleh Pemerintah.

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan berbagai pernyataan dan komitmen Presiden Susilo

11 penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi

manusia pada masa lampau dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.

Pada tahun yang sama, negara membentuk UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur tentang pemeriksaan perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Terhadap kejahatan-kejahatan yang masuk kategori pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000,

dilakukan melalui Pengadilan HAM . UU juga

menyebut bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang dibentuk melalui UU.

Pada tahun 2001, melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, negara juga berjanji kepada rakyat Papua akan mempertanggungjawabkan berbagai bentuk pelanggaran HAM melalui dua instrumen, yaitu Pengadilan HAM dan KKR. UU tersebut menyatakan menyatakan KKR dilakukan untuk “melakukan klarifikasi sejarah dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi” dalam rangka menjaga persatuan bangsa.

Baru pada tahun 2004, mandat untuk membentuk KKR semakin jelas, dengan terbentuknya UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU ini mengatur tentang pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dan rehabilitasi kepada Korban. DPR dan Pemerintah pada saat itu, setelah melalui perdebatan yang panjang selama kurang lebih 16 bulan, akhirnya mengesahkan RUU KKR menjadi UU, m e s k i d i s a d a r i a d a n y a k e l e m a h a n d a l a m pengaturannya. Namun, dalam periode 2004-2006 pembentukan KKR sangat lambat, dan Pemerintah hanya berhasil melakukan proses seleksi anggota KKR.

Pada tahun 2006, terjadi tiga peristiwa penting terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa

lalu. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan

UU KKR karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi, Hukum HAM Internasional dan Hukum Humaniter Internasional, dan MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk UU KKR baru sesuai dengan UUD 1945, hukum humaniter dan hukum

hak asasi manusia internasional. , komitmen

untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu juga dinyatakan dalam konteks pelanggaran HAM yang berat di Aceh melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, yakni tentang pembentukan Pengadilan HAM dan pembentukan KKR di Aceh.

, terbit UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan

(7)

rancangan (draft) konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, diantaranya terkait dengan proses rehabilitasi, restitusi, dan pemberian kompensasi, pembentukan sebuah badan yang menangani kasus HAM berat di masa lalu, dan batasan yang disebut pelanggaran HAM berat.

Selain itu, publik juga sempat diberi angin segar dengan adanya keinginan Presiden SBY untuk meminta maaf. Wacana ini justru yang mendapat respon luas dari publik. Di satu sisi, banyak pihak yang mendukung langkah tersebut, namun banyak pula yang mengkritisi, khususnya mengenai konteks, landasan dan formatnya. Sejumlah usulan tentang konteks permintaan maaf Presiden juga bermunculan, dan berharap Presiden tidak hanya meminta maaf, tetapi harus dilakukan tindakan-tindakan kongkrit lainnya.

Keinginan Presiden SBY untuk minta maaf perlu dilanjutkan dengan adanya dengan segera

membentuk Pengadilan HAM dan dengan

menggerakkan semua institusi negara penegak hukum untuk mengusut tuntas semua pelanggaran HAM pada masa lalu, sehingga seluruh kasus pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu dapat diselesaikan berdasarkan hukum. Permintaan maaf juga harus dilakukan dengan adanya pengungkapan kebenaran, dimana pemulihan korban mustahil dilakukan tanpa pengungkapan kebenaran tentang peristiwa yang terjadi. Presiden tidak bisa hanya meminta maaf, tanpa jelas apa peristiwa yang menjadi alasan presiden meminta maaf, dan mengungkap kebenaran peristiwa adalah kunci utama.

Upaya atau insiatif penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, pada satu sisi perlu diapresiasi, namun pada sisi lain harus diletakkan kembali dalam “jalur” yang sebenarnya. Meski upaya penyelesaian dilakukan dalam berbagai konteks dan tujuan yang berbeda-beda, misalnya kepentingan sebagai bangsa di masa depan, tujuan utama penyelesaian adalah untuk melaksanakan kewajiban negara berdasarkan konstitusi dan hukum HAM internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang telah terjadi. Kewajiban negara itu diantaranya memberikan hak-hak korban yang mencakup hak atas

kebenaran hak atas

keadilan maupun hak atas

pemulihan

Pilihan atas berbagai jalur penyelesaian, atau pentahapan proses penyelesaian tampaknya harus dirumuskan secara lebih serius, untuk mampu menerobos kebuntuan yang selama ini terjadi. Pilihan atas pembentukan komite/badan khusus dengan

24

25

26

27

ad hoc

(the right to know the truth), (the right to justice),

(the rights to reparations).

Penutup

Bambang Yudhoyono yang akan menyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu. Pada bulan Mei 2011, Presiden SBY telah bertemu Komnas untuk membahas penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, dimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Komnas HAM sepakat untuk mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Tindak lanjut dari pertemuan tersebut adalah menugaskan kepada Menko Polhukam untuk bertemu dengan Komnas HAM membicarakan lebih detil tentang kasus masa lalu. Presiden kemudian meminta Menko-Polhukam untuk membentuk Tim Kecil penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu, dengan mandat kerja diantaranya untuk mencari "format terbaik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu”.

Dalam konteks mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut, Wantimpres bidang Hukum dan HAM juga mempunyai agenda untuk merumuskan format penyelesaian. Sejumlah pertemuan untuk merumuskan penyelesaian pelanggaran HAM dengan berbagai pihak telah dilakukan oleh Wantimpres. Namun, hingga kini hasil akhir tentang usulan format penyelesaian tampaknya belum diselesaikan.

Konteks politik saat ini tampaknya menjadikan Pemerintah, khususnya Presiden SBY, gamang dalam m e l a k s a n a k a n u p a y a n y a d a l a m m e n d o r o n g penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Kekuatiran bahwa penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bisa

menimbulkan “kegaduhan politik”, menjadikan

konsensus penyelesaian yang disepakati terpinggirkan dan memperlambat upaya-upaya penyelesaiannya.

Inisiatif untuk merumuskan kembali format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, pada satu sisi menunjukkan komitmen, namun disisi lain bisa dicurigai sebagai upaya untuk memperlambat penyelesaian. Tim di Menkopolhukam, setelah hampir setahun dibentuk tidak juga mampu merumuskan format penyelesaian. Terdapat problem mendasar dalam Tim tersebut mengenai kerangka kerja, jangka waktu kerja, dan proses perumusan. Inisiatif ini juga berpotensi menjadikan penyelesaian mendegradasi sistem hukum yang ada dan mengkanalisasi persoalan agar bisa dimoderasi. Tim Menkopolhukam tidak begitu terbuka dalam proses penyusunan rumusan penyelesaian.

Sementara inisiatif dari yang dilakukan Dewan Pertimbangan Presiden bidang hukum dan HAM justru terlihat lebih maju dan terbuka dalam perumusan konsepnya. Dalam berbagai kesempatan, Albert H a s i b u a n , s a l a h s a t u a n g g o t a Wa n t i m p r e s , menyampaikan bahwa pihaknya tengah menyusun

18

Mencari “Format Terbaik Penyelesaian”?

(8)

Keterangan

10. Lihat pasal 228 dan 229 UU No.11/2006.

11. Lihat pasal 5 dan pasal 7 UU No. 13/2006. Kemudian juga muncul PP No. 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

12. Analisis terhadap hasil pengadilan perkara Timor-Timur dapat dilihat dalam Laporan David Cohen,

, ICTJ, July, 2004. Lihat juga laporan yang berjudul “unfilfiled Promises, Achieving Justice for Crimes Against Humanity in East Timor”, Open Society Justice Initiative dan Coalition for International Justice (OIJ), November 2004. Elsam juga telah menerbitkan sejumlah laporan tematik tentang pengadilan HAM adhoc untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok, selengkapnya bisa dilihat di www.elsam.or.id. Lihat juga laporan “Pengadilan Yang Melupakan Korban”, Laporan Pemantauan, Kelompok Kerja Pemantau, Pengadilan Hak Asasi Manusia , Elsam KontraS PBHI, 24 Agustus 2006.

13. Lihat catatan Elsam, “Pemetaan Singkat Kebijakan Reparasi dan Implementasinya di Indonesia”, 3 Oktober 2011.

14. Mengenai perdebatan tentang Pembentukan Pengadilan HAM dapat dilihat dalam Jurnal Dignitas, “HAM dan Realitas Transisional”, Elsam, 2011.

15. Terdapat 4 rekomendasi dari DPR yaitu yaitu pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus orang hilang, memberikan kompensasi kepada keluarga korban, pencarian 13 orang hilang yang belum ditemukan dan ratifikasi Konvensi HAM PBB tentang penghilangan orang secara paksa. Lihat juga Kertas Posisi Keadilan Transisional, “Menyangkal Kebenaran, Menunda Keadilan: Berlanjutnya Penyangkalan Negara atas Hak-Hak Korban, Mandegnya Penuntasan Kasus Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998”, Elsam, 17 Februari 2011.

16. Lihat Bulletin Asasi dalam Edisi “Tentang Masa Lalu”, dalam Artikel “Memetakan Dukungan Politik Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu”, Elsam, Maret April 2011.

17. Lihat Laporan HAM Elsam tentang Kondisi HAM Tahun 2011, “Menuju Titik Nadir Perlindungan HAM”, Desember 2011.

18. Antaranews.com., “Presiden dan Komnas Percepat Penyelesaian Kasus HAM”, Jumat, 13 Mei 2011 12:48 WIB. Sumber : http://www.antaranews.com/berita/1305265699/presiden-dan-komnas-percepat-penyelesaian-kasus-ham.

19. Lihat Siaran Pers, “Mempertanyakan Kemampuan Menkopolhukam dalam Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat”, KontraS, 23 Februari 2012.

20. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu merupakan salah fokus yang akan dirumuskan oleh Wantimpres bidang Hukum dan HAM yang a k a n d i s a m p a i k a n k e p a d a P r e s i d e n S B Y. L i h a t www.medanbisnisdaily.com., “Albert Hasibuan Gantikan Jimly di Watimpres”, 11 Jan 2012. Sumber: http://www.medanbisnisdaily .com/news/read/2012/01/11/75665/albert_hasibuan_gantikan_jimly_ di_watimpres/#.T7YHVNOgSuI.

21. Vivanews.com, “Menteri HAM: Usut Orang Hilang, Politik Gaduh”, Rabu, 12 Mei 2010. Sumber: http://nasional.vivanews.com/ news/read/150623-usut_kasus_orang_hilang_bisa_gaduhkan_politik. 22. Lihat Kertas Posisi Keadilan Transisional, “Menyangkal Kebenaran, Menunda Keadilan: Berlanjutnya Penyangkalan Negara atas Hak-Hak Korban, Mandegnya Penuntasan Kasus Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998”, Elsam, 17 Februari 2011.

23. Lihat Laporan HAM Kontras, “Compang-Camping Hak Asasi Sepanjang 2011”, Kontras, 2012.

24 www. Tempo.co., “Badan Kasus HAM Berat Segera Dibentuk”, Kamis, 26 April 2012 | 01:16 WIB. Sumber: http://www.tempo.co/read/news /2012/04/26/063399781/Badan-Kasus-HAM-Berat-Segera-Dibentuk. 25. www.hukumonline.com., “SBY Bersedia Minta Maaf”, Kamis, 26 April

2 0 1 2 . S u m b e r : h t t p : / / w w w . h u k u m o n l i n e . c o m / b e r i t a / baca/lt4f98c115c6c91/sby-bersedia-minta-maaf.

26. www.tempo.co., “Minta Maaf Presiden Perlu Berlanjut Tindakan Konkret”, Kamis, 26 April 2012 | 23:49 WIB. Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/04/26/063400054/Minta-Maaf-Presiden-Perlu-Berlanjut-Tindakan-Konkret.

27. www.setara-institute.org., “Permintaan Maaf Harus Didahului Pengungkapan Kebenaran”, 25-04-2012. Sumber: http://setarai n s t http://setarai t u t e . o r g / e n / c o n t e n t / p e r m http://setarai n t a a n m a a f h a r u s d http://setarai d a h u l u http://setarai -pengungkapan-kebenaran

Intended to Fail , The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta

1. Lihat Ketetapan MPR No. V/2000.

2. Lihat pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26/2000. Untuk melengkapi landasan hukum pengadilan HAM, pada tahun 2002, pemerintah menerbitkan 2 Peraturan Pemerintah (PP); 1) PP No. 2/2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan PP No. 3/2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat.

3. Lihat Pasal 43 UU No. 26/2000. 4. Lihat Pasal 47 UU No. 26/2000. 5. Lihat Pasal 44 UU No. 21/2001.

6. Tercatat dalam pembahasan RUU KKR ini, DPR mengundang sekitar 50 pihak baik organisasi mapun individu untuk memberikan pandangan tentang KKR. Lihat Progress Report, “Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”, ELSAM, 27 Januari 2006.

7. Sejumlah organisasi masyarakat sipil memandang ada kelemahan dalam UU KKR, yakni kurang sesuai dengan prinsip-prinsip berdasarkan hukum HAM internasional.

8. Lihat Progress Report, “Pandangan Elsam atas Pembentukan KKR Terlambat Dua Tahun; Penundaan Pembentukan KKR: Pengingkaran atas Platform Nasional dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu”, ELSAM, 2006.

9. Lebih lengkap tentang argumen MK dan respon ELSAM atas keputusan tersebut bisa dilihat di Briefing Paper, “Making Human Rights A Constitutional Rights, A Critique of Constitutional Court's Decision on the Judicial Review of the Truth and Reconciliation Commission Act and Its Implication for Settling Past Human Rights Abuses”, ELSAM, 2007.

kebijakan Presiden, dapat dilakukan dalam konteks membuka ruang pengungkapan kebenaran, atau mempercepat proses-proses penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Dalam pengalaman sejumlah negara yang menghadapi masalah pelanggaran HAM masa lalu dan mengalami transisi, pengungkapan kebenaran tidak jarang dilakukan berlandaskan pada kebijakan kepresidenan.

Dalam konteks upaya untuk meminta maaf oleh Pemerintah, upaya ini bisa dilakukan dengan landasan yang jelas, terkait dengan permintaan maaf dalam konteks apa, untuk siapa, dan dalam kasus mana saja. Meski permintaan secara umum dimungkinkan, hal ini tetap memerlukan kejelasan tentang apa yang terjadi di masa lalu, kenapa terjadi, dan apa dampaknya terhadap korban sehingga negara harus meminta maaf. Hal tersebut dimaksudkan agar permintaan maaf tersebut mempunyai dampak pembelajaran kepada bangsa bahwa yang terjadi di masa lalu merupakan kesalahan dan tidak boleh terulang.

(9)

Tapi bagi korban, waktu empat dekade itu berarti waktu ketidakjelasan mengenai keberadaan anggota keluarga mereka yang hilang. Mereka menggunakan masa penantian dengan terus menagih janji Pemerintah untuk mengungkap kejahatan, sembari merawat memori dengan metode apapun.

Para keluarga korban yang tinggal di sekitar Solo punya cara sendiri untuk mengenang hilangnya keluarga mereka akibat dituduh menjadi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka membentuk paguyuban keluarga korban. Pada 2 Oktober 2005, mereka mengadakan upacara sandranan di Kreteg Bacem, yang terletak di Selatan Kota Solo, Grogol, Sukoharjo. Kreteg dalam Bahasa Indonesia berarti jembatan yang melintang di atas sungai.

Sadranan berlangsung sehari pada bulan Ruwah, satu bulan sebelum datangnya bulan puasa dalam sistem kalender Jawa. Bagi masyarakat Jawa, tradisi sadranan adalah saat keluarga-keluarga mengingat leluhur yang telah meninggal, saat yang tepat untuk mengirim doa, menabur bunga dan menunjukkan bakti dan cintanya untuk orang tua, sanak kerabat yang telah tiada. Biasanya sebelum pergi ke makam, masyarakat setempat mengadakan kenduri, membuat nasi ketan, kolak pisang dan ketela rambat, serta kue apem untuk dibagi-bagikan kepada sanak keluarga dan para tetangga dekat.

Bagi warga Solo, Kreteg Bacem merupakan tempat bersejarah bagi keluarga yang anggota keluarganya hilang sejak Oktober 1965 dan sampai sekarang belum kembali. Di atas Sungai Bacem inilah empat puluh tujuh tahun yang lalu orang-orang PKI, atau orang yang dituduh PKI, dibunuh dan mayatnya dibuang di sungai itu.

Salah seorang saksi sejarah tempat pembuangan mayat di Kreteg Bacem adalah Pak Bibit. Dia tinggal tak jauh dari jembatan itu. Pak Bibit ingat betul hampir tiap malam bunyi letusan pistol terus menyalak. Waktu eksekusi biasanya mulai tengah malam, selama tiga jam. Bahkan kata Pak Bibit, seringkali bunyi senjata menyalak tak berhenti sejak malam hingga subuh. Itu terjadi selama dua tahun, 1966-1967.

Menurut Pak Bibit, banyaknya letusan pistol menandakan jumlah orang yang dibunuh. Jika pistol menyalak lima kali, berarti lima orang yang dibunuh. Bila letusan berbunyi puluhan kali, itu artinya puluhan Komunis telah dibunuh. Pak Bibit mengaku bahwa dia sering diajak oleh para Hanra untuk menyaksikan warga dieksekusi tentara dan gerombolan terorganisir anti-PKI. Hanya saja dia enggan. Dirinya merasa miris menyaksikan rakyat dibantai seperti itu.

Kembang dan Tembang untuk Korban

Oleh

Ester Rini Pratsnawati

(Staf Senior Pelaksana Program Bidang Pengembangan Jaringan)

B

ait-bait gending di atas menceritakan para korban tragedi kemanusiaan 1965. Terjemahannya kurang lebih seperti ini:

Empat puluh tahun bukan waktu yang pendek untuk sebuah penantian. Bagi korban kemanusiaan tahun 1965, waktu penantian tersebut dapat mereka gunakan untuk menunjukkan bakti seorang anak kepada orang tuanya, istri kepada suami, cinta cucu kepada nenek atau kakeknya, dan kepada orang-orang yang mereka cintai.

dengan rasa ikhlas menemui ajalnya, mereka menjadi korban untuk kemakmuran negeri di masa depan, mereka sangat banyak jumlahnya, mereka adalah korban rekayasa dan tidak jelas apa kesalahannya, atau mungkin ini sudah menjadi kehendak Tuhan, sebagai pertanda dimulainya jaman kegelapan.

Sekarang sudah jelas kelihatan, makin kuat bertumbuhnya perilaku-perilaku kikir, masyarkat mengaduh mengerikan, dikuasai oleh jiwa-jiwa tamak, hanya kekikiran dan kemurkaan yang tumbuh pesat, musnah sudah budi pekerja baik manusia, Ya Tuhan kasihanilah kami.

Syahdan yang berada di surga, para arwah-arwah diterima di hadirat Tuhan, sangatlah senang hati Tuhan, dikabulkan apa yang menjadi permintaannya, diterima dan ditempatkan di surga, besuk ketika kembali ke dunia, akan mampu menyelamatkan negara ini.

Lila tukekeng praloyo

Mangka tumbal mbenjang raharjaning nagri Turta katha cacahipun

Tan kaprah mungguhing jalma Pinitenah tan cetha dununging luput Baya karsaning jawata

Panengraning jaman sisip Samangkya wus katon cetha

Saya ardha ngrembaka kang lampah sisip Kawula sru sambatipun

Rinegem hing dubriksa

Mung kanistan myangkara murka kang thukul Sirna utamaning jalma

Duh sukma welasaona mami Yata ingkang mungguhing swarga

Para suksma tinompo ngarseng hyang widi Suka tyasing jawata gung

Samya sinung sugata

Katrimo kinadaton swarga gung Mbenjang tumrun ngarcapada Akarnya hayuning nagri

(10)

organisasi persatuan kepala desa yang berada di bawah PKI. Lurah tersebut adalah ketua organisasinya. Dia lalu dikejar-kejar oleh aparat dan tentara karena dituding terlibat dalam PKI. Dia sempat menyelamatkan diri dan bersembunyi.

Pada suatu hari sang lurah pulang rumah. Istrinya menyarankan supaya dia menyerahkan diri saja. Lurah itu pun menuruti saran istrinya walau mereka tahu bahwa tidak ada kejelasan nasib setelah itu. Dia kemudian mendatangi kecamatan untuk menyerahkan diri. Sejak saat itu lurah tersebut tak kunjung kembali.

Dalam upacara sadranan, Mbah Lurah datang dengan dengan dandanan yang gandes, memakai kain jarit, berkebaya hitam, dengan selendang di pundaknya. Mbah Lurah datang bersama anak perempuan serta adik perempuannya yang suaminya juga hilang.

Dalam kesempatan sadranan, anak perempuan Mbah Lurah menulis sebuah surat untuk bapaknya. Surat itu dihanyutkan bersama dengan surat-surat yang lainnya.

Acara sandranan ini tidak hanya melibatkan keluarga korban tapi juga masyarakat setempat. Mereka membantu panitia dengan membersihkan tempat untuk upacara, mempersiapkan tempat parkir kendaraan, membuat teh untuk ibu-ibu yang akan menyadran.

Sadranan dipimpin oleh Ki Dalang Sri Joko Raharjo. Acara diawali dengan sambutan dari Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) dan pesan perdamaian oleh Rm. Mardi dan Imam Aziz dari Syarikat Indonesia, lalu dibuka dengan suluk oleh Ki dalang Sri Joko Raharjo, yang dilanjutkan dengan

gending . Gending ini adalah

gending untuk orang yang telah meninggal.

Setelah gending ladrang, disusul dengan

gending , gending dan

diteruskan dengan gending .

Sementara gending mengalun, sebuah yang

ditumpangi dua orang datang dari arah barat.

perlahan mendekat bekas jembatan lama. Ibu-ibu keluarga korban menaburkan bunga dari atas

jembatan, perlahan hingga tiba persis di

bawah jembatan bunga kembang setaman berhamburan ditaburkan, segera setelah itu

berupa ikan lele dan burung.

Pelepasan ikan lele dan burung itu merupakan simbol pertanda pembebasan.

Pak, ini saya anakmu datang bersama dengan simbok istrimu dan cucu-cucumu datang kesini untuk menunjukkan cinta kami kepada mu. Pak, semoga arwah bapak diterima di sisi Tuhan, kami anak dan cucumu akan meneruskan perjuanganmu. Dari istri, anak dan cucu-cucumu.

ladrang layung-layung

dudo kasmaran mijil layu-layu

ayak-ayakan tluntur gethek

Gethek

gethek

iwen-iwen

Pernah sekali waktu Pak Bibit dengan terpaksa menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan di Sungai Bacem itu. Ceritanya, pada suatu pagi buta seperti biasa, dengan membawa gerobak kuda, dirinya melintasi Kreteg Bacem hendak membeli bekatul. Tepat di ujung jembatan telah berdiri dua orang bertubuh kecil, berambut gondrong, berpakaian loreng dengan tanda 'Siaga' dililitkan di pangkal lengan, menghentikan lajunya.

Kedua orang itu lantas memaksa Pak Bibit untuk menghanyutkan mayat-mayat yang tersangkut rerumputan liar dan kotoran di tepian sungai. Supaya bila hari telah siang, tidak ada orang yang melihat mayat-mayat itu teronggok, seolah tidak terjadi pembunuhan di situ. Jika Pak Bibit menolak, maka dua orang bersenjata itu akan membunuhnya.

Sebagaimana diungkapkan dalam buku , keterpaksaan Pak Bibit kelak menimpanya berulang kali. Dia sering dipaksa melakukan korve menghanyutkan mayat-mayat di sekitar Kreteg Bacem pada hari-hari berikutnya. Hal sama ternyata juga menimpa warga lain, seakan menghanyutkan mayat telah menjadi prasyarat bagi setiap orang yang hendak melintasi jembatan pada pagi buta.

Salah satu warga yang jasadnya diduga dibuang di Kreteg Bacem adalah seorang lurah setempat. Istrinya akrab disebut Mbah Lurah. Sebelum terjadi pembunuhan massal sekitar Oktober 1965, kepala desa setempat bergabung dalam Kidung untuk Korban

(11)

R

umah tua itu terhitung luas, ukurannya barangkali sekitar 6x6 meter. Ia terletak di sebuah lahan kosong, di pinggiran Denpasar, Bali. Bangunan rumah ini sepintas mirip komplek perumahan dengan benteng tembok melingkar sebagai penyekatnya. Sejatinya, banyak keluarga tinggal dalam rumah yang mereka namai Taman 65 itu.

Sejarah kelam tragedi pembunuhan orang-orang yang dituduh PKI pada akhir 1965 menjadi noktah bagi rumah tua dan penghuninya. Pada kenyataannya memang ada anggota keluarga yang dihilangkan di sini. Itu sebabnya orang-orang yang tinggal dan, terutama anak-anak muda yang sering berkunjung ke Taman 65, sangat antusias membicarakan tragedi itu.

Orang-orang yang datang ke rumah tua sangat beragam mulai dari mahasiswa, seniman, aktivis, ibu

rumah tangga, pegawai konter hingga

anak-anak ingusan pun ikut nimbrung jika kebetulan lewat. Suasana perhelatan di Taman 65 yang khas rumahan membuat banyak komunitas dan NGO ingin menggelar “hajat” di sana. Mereka membuat bermacam kegiatan, semisal diskusi kerusakan lingkungan, LGBT, pencegahan HIV/AIDS sampai bedah lirik, film dan buku. Bahkan Taman 65 pernah menjadi tempat pentas teater anak dan “konser” heboh kaum waria.

Suasana cair dan informal dalam rumah membuat sejumlah pihak yang masih menyimpan trauma, sedikit demi sedikit mulai berani bergabung. Memang tidak semua pihak yang traumatik hadir di rumah tua. Sebagian masih antipati.

Hadirnya anggota keluarga yang trauma adalah pertanda bahwa sekat-sekat teror dan diskriminasi negara tidak sepenuhnya kokoh. Negara yang sepantasnya berfungsi sebagai pengayom warga ternyata masih cuek di era reformasi ini. Warga negara yang hidup dalam beban kekerasan masa lalu merasa sendiri dan kecil karena tidak dilindungi. Dalam konteks ketidakhadiran pengayom ini, maka Taman 65 sebagai modal sosial sangat penting untuk menciptakan rasa percaya diri bahwa ada orang banyak di sisi mereka yang peduli.

handphone,

Taman 65 diciptakan sebagai sebuah

sekaligus situs pengingat tragedi masa lalu. Rumah ini menjadi ruang pertemuan banyak orang untuk berdiskusi atau sekedar mengobrol santai. Ia sendiri didirikan sejak awal tahun 2005. Ide awal berdirinya Taman 65 muncul dari keresahan beberapa anak muda di rumah tua itu untuk ingin tahu dan belajar tentang sejarah Gestok.

Selama ini anak-anak muda hanya mendengar cerita pedih masa lalu yang menimpa keluarga pada saat tragedi itu dari gosip ibu-ibu saat membuat sesajen, atau saat bapak-bapak gotong-royong membersihkan area pura. Anak muda yang bergairah ini mencurigai sejarah versi negara sebagai proyek rekayasa. Kecurigaan itulah yang membuat mereka ingin menyelaminya.

Tentu saja “berburu” kisah masa lalu keluarga tidaklah mudah karena berbenturan dengan trauma para saksi mata dan survivor. Beberapa dari mereka lebih nyaman mengumbar kisah dalam ruang tersembunyi, di pinggir jauh yang sepi dari khalayak. Selain alasan sulit bertutur karena alasan trauma atau takut akan akibat politis dari tutur, anak-anak muda ini juga mendapatkan hambatan lainnya berupa kebiasaan umum cara berbahasa di rumah itu. Mereka enggan berbicara dalam bahasa Indonesia.

Taman 65 adalah rumah, bukan bale desa atau auditorium kampus yang identik sebagai tempat diskusi secara serius. Menghadirkan suasana “kampus” di dalam rumah tentu tak elok dengan cara bertutur rumahan yang lebih santai, informal, tak berbahasa Indonesia, dan tidak perlu canggih mengumbar kata. Apalagi bagi kaum perempuan tentu semakin sulit karena di Bali laki-lakilah yang diberikan “amanat” sebagai penutur.

Namun, anak- anak muda tidak kehilangan akal. Beberapa strategi pun diciptakan untuk menembus hambatan. Pernah di akhir tahun 2005 komunitas ini mengadakan acara pameran foto bertemakan sejarah keluarga. Anak muda di komunitas ini sibuk berburu foto-foto keluarga di masa lalu untuk dipamerkan di Taman 65. Para tetua, sepupu, keponakan dan para kerabat diundang untuk melting pot

Lika-Liku Ingatan dan Modal Sosial

Taman 65

Oleh

Gde Putra

(Penulis Lepas, Aktif di Komunitas Taman 65)

laporan utama

(12)

laporan utama

hadir. Di antara gambar berbingkai itu terdapat orang-orang yang hilang pada masa gelap tragedi 1965. Jelas saja foto-foto itu mengundang pertanyaan karena banyak generasi baru yang tidak tahu siapa mereka. Suasana dibuat begitu cair bernuansa kekeluargaan. Tidak ada diskusi dan orang yang diundang memang khusus keluarga dan kerabat. Suasana dibiarkan berjalan apa adanya sehingga bertutur tentang masa lalu pun terasa nyaman walau ada yang bercerita dengan berbisik karena masih trauma.

Para survivor tragedi 1965 dari luar rumah juga kerapkali diundang dalam beberapa acara diskusi untuk bercurhat tentang masa lalu. Kawan-kawan tongkrongan yang kesehariannya sibuk sebagai musisi kadang ikut mengisi acara sebagai penghibur telinga sebelum atau sesudah acara agar suasana tenang dan nyaman. Para penggemar kadang ikut datang ke arena perhelatan. Walaupun tujuannya untuk melihat band idolanya, tetapi tidak sedikit di antara mereka ikut asik menikmati diskusi.

Kawan-kawan pelukis juga sering terlibat dengan menjadikan Taman 65 sebagai ruang pamer di saat ajang “curhat” tragedi 65 digelar. Suasana Taman 65 terlihat ramai penuh warna bak pasar malam dan jauh dari kesan formal. Bau apek keringat, semerbak parfum, hingga bau arak menyayat bercampur dalam satu ruang.

Pertemuan di rumah tua itu tak selamanya berjalan tenang. Ada kalanya pertemuan berlangsung tegang, seperti terjadi pada suatu senja di pertengahan tahun 2005. Saat itu, pertemuan yang biasanya mengalir, agaknya mulai memanas. Suasana urun rembug terasa semakin menghangat. Nada suara para hadirin mulai meninggi dalam mengajukan pertanyaan, gagasan maupun sanggahan.

Pokok soalnya adalah masih ada sejumlah pihak yang resisten. Sebagian keluarga menyangsikan sepak-terjang kebiasaan anak muda dalam komunitas ini yang mendiskusikan sejarah gelap masa lalu bangsa Indonesia. Pengungkitan sejarah masa lalu oleh anak-anak muda justru ditakutkan dapat berimbas pada mereka yang memilih untuk melupakan. Sebab mereka menilai negara sampai hari ini belum menampakkan sisi ramahnya kepada para korban. Alasan lain, mereka kuatir pengungkitan masa lalu dapat mengganggu kemapanan mereka sekarang.

Akan tetapi, bagi pihak yang resah, persoalan tragedi 1965 dianggap sudah beres, tuntas, dan selesai. Supaya tidak terulang, menurut golongan ini, maka kejahatan masa lalu tak perlu diingat. Mengingat menjadi tidak “produktif” karena bisa mengganggu stabilitas keluarga yang sudah mapan paskatragedi. Bagi mereka, kenyamanan dan ketenangan hidup hari ini jauh lebih penting daripada sibuk mengurus masa lalu nan gelap. Mengusik tragedi masa lalu sangatlah riskan terhadap keselamatan keluarga karena negara masih tak ramah kepada keluarga korban.

Memang tidak mudah untuk menciptakan kesepakatan. Kompromi pada akhirnya menjadi jalan keluar. Masing-masing pihak sama-sama punya alasan pembenar, sehingga tidak mau mengusik dan acuh terhadap aktivitas masing-masing.

Terlepas dari kelemahan-kelemahannya yang ada, modal sosial yang telah terbangun sangat berguna karena bisa menjadi benang merah penyambung bahwa sekalipun berbeda-beda, meski pada dasarnya mereka senasib. Sama-sama mengalami diskriminasi. Persoalan tragedi 1965, kerusakan lingkungan, sensor seni, atau diskriminasi terhadap kaum waria adalah “senasib” yang muncul dari ketidakadilan negara.

Cerita-cerita pedih dengan berbagai macam tema ini disebarkan kepada khalayak yang beragam agar sekat-sekat “kami” dan “mereka” bisa lebur tak terpecah, sehingga melawan lupa adalah persoalan

kita bersama. Taman 65 adalah jembatan yang

mempertemukan berbagai ingatan untuk didengar dan dibagi, semoga bertahan dan tidak roboh.

Sebuah kehadiran di ruang terbuka saja bisa jadi sebuah prestasi melihat berlikunya jalan untuk tampil. Sebab kepedulian khalayak membuat mereka merasa tidak sendiri lagi. Pro-kontra masih berjalan hingga kini, tetapi Taman 65 masih tegak berdiri karena pihak keluarga yang mendukung kukuh dan merasa berhak untuk tahu serta belajar mengenai kisah masa lalu itu.

(13)

sekarang, serta tidak adanya peradilan terhadap kasus itu. Hal yang sama juga terjadi pada pelaku dan saksi. Situasi ini yang membuat kasus 1965 menjadi sedikit berbeda dari pelanggaran HAM lainnya di negara ini.

Arah advokasi baiknya menyasar pada pintu keadilan transisi lainnya. Jika berangkat dari apa yang dimiliki, maka kekayaan korban adalah kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM yang dialami dimasa lalu. Karena itu mendorong pintu kebenaran adalah upaya paling mudah dan memungkinkan untuk dilakukan.

Setelah menyepakati dasar perjuangan, tahapan berikutnya adalah menggali harapan dan kebutuhan korban, mendiskusikan tentang situasi perkembangan penegakan HAM di tingkat nasional. Tidak lupa melihat peluang yang bisa didapatkan di tingkat daerah. Semua tahapan demi tahapan ini terangkum dalam agenda pertemuan reguler setiap bulan yang kami kemas dalam kegiatan diskusi kampung. Sesuai dengan namanya, pelaksanaan kegiatan ini pun bertempat di kampung/desa/kelurahan.

Setelah tahapan penguatan korban teratasi, selanjutnya bagaimana membuat pemerintah desa atau ngata peduli dan mendukung gerakan korban. Upaya yang selama ini kami lakukan adalah memberikan pemahaman kepada kepala desa/lurah tentang hak asasi manusia dan hak-hak korban sehingga diskusi kampung bisa dilaksanakan di kantor desa/kantor lurah y a n g d i h a d i r i o l e h k o m p o n e n p e m e r i n t a h desa/kelurahan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh adat, tokoh perempuan, pemuda dan tidak lupa Imam/pendeta setempat. Belajar dari proses ini juga kami berhasil mendorong anak-anak korban untuk menjadi kades di tiga desa.

Setelah mendapat dukungan dari desa, kami beranjak ke tingkat kecamatan untuk membuat kegiatan bersama, mengundang walikota dan bupati. Terlaksana di tingkat kota/kabupaten, kami membawa proses diskusi ke provinsi bersama gubernur.

Sebagai aktor sejarah dan sumber informasi para korban mesti diyakinkan tentang pentingnya merekam cerita mereka dan menuliskannya kembali. Sebab hanya dengan cerita yang lengkap dan data yang tertulis, sebuah peristiwa dapat dianalisa apakah terjadi pelanggaran HAM atau tidak. Kata kunci dari proses ini adalah “tindakan perlanggaran HAM” yang dialami oleh masyarakat sipil yang juga adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang dengan warga negara lainnya yang tidak menjadi korban. Sehingga titik tekannya bukan lagi pada penyebab dari sebuah peristiwa yang menyebabkan jatuhnya korban.

Dari dokumentasi yang dilakukan SKP-HAM kami baru bisa mengumpulkan 1.028 kesaksian korban dari empat wilayah. Masih ada tujuh wilayah lainnya di Sulawesi Tengah yang belum kami dokumentasikan

Pendokumentasian

P

engakuan negara atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu menjadi buluh perindu bagi korban pelanggaran HAM. Jalan menuju pengakuan itu terasa begitu panjang nan berliku jika menoleh kembali rangkaian agenda advokasi, lobi, kampanye yang menjadi nadi dari perjuangan organisasi korban dan organisasi HAM di Indonesia paskareformasi di negara ini.

Sikap negara yang terasa begitu jauh dari keberpihakan pada korban ini selayaknya dilihat seperti gunung es yang walaupun begitu keras dan kuatnya, suatu saat dan secara perlahan akan mencair. Karena itu dibutuhkan strategi yang bijak untuk memecah kebekuan, mulai dari apa yang kita pikirkan tentang tujuan dan jalan yang akan ditempuh menggapai tujuan itu.

Beberapa langkah pernah ditapaki Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah, dengan berangkat dari tujuan untuk mendapatkan pengakuan pemerintah daerah. Semuanya adalah pekerjaan domestik yang biasa kita lakukan.

Sebagai sebuah organisasi masyarakat, SKP-HAM Sulawesi Tengah menjadi wadah berkumpul korban dan keluarga korban pelanggaran HAM lintas kasus. Dalam perjalanan tujuh tahun berdiri, kami memberikan prioritas pada pendampingan kasus 1965. Pilihan ini diambil karena korban pelanggaran HAM dari lintas kasus yang lain seperti korban konflik Poso, petani korban, korban tambang dan lainnya, sudah mendapatkan pendampingan dari bermacam-macam ormas maupun LSM lokal dan nasional.

Dalam tahapan pengorganisasian ini hal terpenting yang menjadi dasar adalah kerja penguatan korban. Rangkaian proses yang mestinya dilalui adalah bagaimana membuat korban merasa aman dan nyaman untuk membagi pengalaman terburuk dalam hidupnya menjadi sesuatu yang berguna bagi perjalanan bangsa dalam menghargai sejarah, sehingga kejahatan pelanggaran HAM yang sama tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang.

Sering kita menemukan kendala korban dalam keadaan trauma berkepanjangan yang membuatnya menolak mengakui dia adalah korban. Rasa frustasi sebagai korban yang mendapatkan stigma sepanjang hidup telah mengikis rasa percaya diri. Hal seperti ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya informasi yang diketahui para korban terkait perubahan rezim yang tidak lagi sama seperti zaman Orde Baru yang monolitik.

Untuk menggapai hal itu kita harus keluar dari tekanan tuntutan pembuktian tentang siapa yang benar dan siapa yang salah dalam peristiwa G30S. Hal ini didasari kenyataan bahwa sudah begitu banyak korban yang telah meninggal dunia, kebenaran informasi tentang peristiwa tersebut yang lama terkekang hingga

1

2

Pengorganisasian

Ketika Walikota Minta Maaf Kepada Korban

OlehNurlela AK. Lamasitudju

(Sekjend SKP-HAM Sulawesi Tengah)

(14)

karena keterbatasan sumberdaya tenaga dan dana. Dari data yang diolah kami menemukan 14 jenis pelanggaran HAM yang dialami korban.

Hasil dari pendokumentasian akan menjadi pelumas bagi kerja-kerja lobi dengan tujuan mendapatkan dukungan bagi penegakan HAM dan pemenuhan hak-hak korban. Penting untuk menentukan pihak-hak-pihak-hak yang perlu dan bisa diajak dalam hal ini. Kami bekerja dalam lingkaran kasus berikut ini :

Terdiri dari korban dan keluarga korban yang telah bertransformasi menjadi penyintas. Mereka bukan lagi menjadi objek melainkan menjadi subjek yang yang mendatangi pihak-pihak ketiga untuk memberikan dukungan pada penegakan HAM dan pemenuhan hak-hak korban.

Terdiri dari KOMNAS HAM, LSM HAM, budayawan, sejarawan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh perempuan, media massa dan mahasiswa. Mereka diberikan ruang dan forum untuk menyampaikan pendapatnya tentang HAM dan perspektifnya terhadap korban pelanggaran HAM.

Terdiri dari pelaku dan keluarga pelaku, sebagai pihak yang diajak untuk bersama-sama membangun rekonsiliasi.

Adalah lingkaran terakhir setelah lingkaran satu sampai tiga dapat dilaksanakan, memudahkan untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah desa, kecamatan, kota/kabupaten dan provinsi.

Selama melakukan kerja-kerja pengorganisasian korban kami hanya melakukan kampanye sederhana dengan menggunakan produk undang-undang HAM yang ada, yaitu UU No 39 tahun 1999, UU no 26 tahun 2000 dan revisi UU KKR.

Dari semua rangkaian proses ini hal yang tak kalah pentingnya adalah mencari momentum yang tepat untuk menggugah pemerintah daerah melihat dan mengenali lebih dekat korban pelanggaran HAM, menyampaikan dampak yang dialami korban dan peran yang dilakukan korban dalam upaya pencegahan terjadinya pelanggaran HAM terulang kembali di masa yang akan datang.

Kami menggunakan momentum peringatan hari hak korban pelanggaran HAM atas kebenaran dan keadilan pada 24 Maret 2012 dalam rangkaikan hari ulang tahun Provinsi Sulawesi Tengah yang ke-48 tahun. Acara yang digelar adalah dialog terbuka dengan

Lobi Menggalang Dukungan

tema “Stop Pelanggaran HAM, mengenali lebih dekat pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini”. Acara ini dikemas menjadi pertemuan yang santai di sebuah taman kota. Diawali dengan persembahan teater dan puisi juga grup komedi yang mengisahkan tentang pelanggaran HAM. Dilanjutkan dengan pertemuan rekonsiliasi antara korban dan pelaku juga keluarga pelaku.

Di tengah keriuhan acara peringatan ulang tahun ini, Walikota menyampaikan permintaan maaf kepada korban. Pada intinya walikota menegaskan bahwa yang terjadi pada masa lalu adalah sebuah kesalahan. Berikut adalah petikan ungkapan permintaan maaf Walikota Palu:

Selesai mendengarkan sambutan walikota, acara diakhiri dengan dialog terbuka. Semua komponen masyarakat menjadi peserta dialog bersama pemerintah daerah tentang situasi HAM dan upaya penegakan HAM serta pemenuhan hak-hak korban. Hasil dari dialog itu Bapak Walikota Palu akan memberikan biaya pengobatan gratis bagi korban melalui program jamkesda (jaminan kesehatan daerah). Walikota juga menyatakan akan memberikan peluang kerja kapada anak-anak korban melalui program padat karya yang masuk ke setiap kelurahan.

Bagi anak dan cucu korban, Walikota berjanji akan memberikan beasiswa. Pemkot bakal mengakui 13 titik tempat kerja paksa dan menyetujui tempat-tempat tersebut dijadikan objek tour wisata sejarah dan budaya. Terakhir berjanji akan membantu penggalian kuburan massal korban yang dihilangkan secara paksa selama tempatnya teridentifikasi berada di wilayah kota Palu.

“Saya ini juga pelaku saya ikut bajaga malam orang-orang ditahan di Jalan Matahari. Ada yang dikasi mandi malam-malam. Saya juga ikut bajaga orang-orang Gerwani di Jalan Sedap Malam. Waktu itu saya masih SMA umur 15 tahun, jadi belum tahu apa-apa. Saya anggota Pramuka. Saya punya keluarga juga banyak yang jadi korban. Negara saat itu memang mengkondisikan banyak rakyat ditangkap, dibunuh, dipenjara. Saat itu yang terjadi adalah sebuah provokasi massal sehingga menimbulkan dendam hanya karena perbedaan ideologi. Tapi sekarang tidak bisa lagi begitu karena itu tidak ada pernyataan yang lebih mantap yang bisa saya nyatakan selain minta maaf sebagai pribadi, saya ini anak orang Masyumi, saya juga minta maaf atas nama Pemerintah Kota Palu kepada seluruh korban peristiwa 1965 di Kota Palu dan di Sulawesi Tengah"3

1. Baca Keluar Jalur, ICTJ-Kontras¸ 2011

2. SKP-HAM Sulawesi Tengah dideklarasikan pada 13 Oktober 2004

3. Peryataan Walikota palu dalam Acara Dialog Tebuka memperingati Hari Hak Korban Pelanggaran HAM atas Kebenaran dan Keadilan, tanggal 24 Maret 2012 di Taman Gor Palu

(15)

nasional

B

agaimana agar hak asasi manusia tertanam

dalam kebijakan dan kinerja Pemerintah, khususnya pemerintah tingkat lokal? Ini merupakan salah satu tantangan utama hak asasi manusia paskareformasi dan era desentralisasi saat ini. Paskareformasi memang ada perbaikan dalam persoalan hak asasi manusia, khususnya hak sipil-politik, di luar penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Namun secara umum, situasi-kondisinya masih buruk.

Di tingkat lokal, hak asasi manusia masih belum menjadi rujukan dan bagian terpenting dari kinerja pemerintah daerah. Situasi-kondisi yang masih buruk utamanya berhubungan dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, maupun budaya (hak Ekosob). Juga, yang belakangan marak di beberapa daerah, perlindungan atas hak atau kebebasan untuk berekspresi maupun beragama dan berkeyakinan.

Buruknya situasi-kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari minimnya kemauan politik

dari pemerintah daerah setempat dalam memajukan hak asasi manusia. Kecenderungan yang terjadi, para kepala daerah lebih memprioritaskan kepentingan sendiri maupun kelompoknya dibanding memikirkan hak dan hajat hidup warganya. Memang ada beberapa pengecualian, di antaranya yang populer, seperti kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Walikota Solo, Jawa Tengah. Namun, pemimpin lokal seperti ini hanya segelintir dari ratusan yang ada.

Berdasar data

(ICW), sejak tahun 2004 hingga 2012 ini, setidaknya ada 173 kepala daerah di Indonesia yang diperiksa, baik sebagai saksi, tersangka, maupun terdakwa dalam kasus korupsi. Sekitar 70% di antaranya telah divonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana. Sementara hampir 2.000 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait kasus

korupsi ( , 22 Mei 2012).

Situasi-kondisi yang buruk ini juga berlangsung di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Saat ini, mantan Bupati Batang periode 2006-2011, Bambang Bintoro, sedang ditahan dan diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah (Kejati Jateng) karena kasus korupsi. Sebenarnya, sudah sejak Mei 2008 Kejati Jateng menetapkan Bambang Bintoro, yang saat itu masih aktif menjabat sebagai Bupati Batang, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Batang sebesar Rp796 juta yang dibagi-bagikan ke anggota DPRD setempat periode 1999-2004. Penangkapan dan penahanan baru dilakukan (political will)

Indonesia Corruption Watch

Kompas

kejaksaan setelah yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai bupati.Korupsi oleh kepala daerah, seperti terjadi di Batang, menandakan minimnya k e m a u a n p o l i t i k k e p a l a d a e r a h u n t u k memprioritaskan hak dan kesejahteraan warganya. Ini juga mengindikasikan absennya representasi politik (yang substantif) di daerah tersebut. Kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh warganya, ketika kemudian terpilih dan menjabat, kinerjanya tidak mewakili kepentingan atau aspirasi warganya.

Di Batang, persoalan representasi politik yang buruk, dan usaha untuk memperbaikinya, telah menjadi perhatian gerakan masyarakat sipil terutama dimotori oleh Omah Tani. Organisasi ini telah aktif melakukan advokasi di tingkat lokal, setidaknya dalam lima tahun terakhir.

Omah Tani merupakan organisasi petani Batang yang berdiri sejak 2008. Awalnya, ia bernama

Forum Petani Batang yang berdiri pada

2000. Pada tahun 2003, dengan meluasnya keanggotaan kelompok dan organisasi petani hingga Pekalongan, serta kelompok nelayan di kedua daerah tersebut, nama organisasi ini kemudian berubah menjadi Forum Perjuangan Petani dan Nelayan Batang-Pekalongan (FP2NBP).

Masa bersatunya kelompok Batang dan Pekalongan bertahan selama empat tahun. Pada

Perjuangan

Oleh

Otto Adi Yulianto

(Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Organisasi ELSAM)

Omah Tani dan Politik

Hak Asasi Manusia di Batang

(16)

2007, terjadi pemisahan organisasi berdasar administrasi wilayah: Batang dan Pekalongan. Organisasi petani di Kabupaten Batang kembali menjadi Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB). Dua tahun berselang, organisasi ini mengalami persoalan internal menjelang Pemilu 2009. Ketua umumnya memilih bergabung dengan Partai Bintang Reformasi, sementara mayoritas anggotanya menolak. Organisasi pun mengalami perubahan nama, dari FPPB menjadi Omah Tani.

Di masa-masa awal, FPPB/FP2NBP tidak berbeda dengan kecenderungan gerakan sosial pada umumnya. Organisasi petani yang beranggotakan sekitar 12.000 kepala keluarga ini seringkali m e n g g u n a k a n s t r a t e g i a k s i m a s s a a t a u b e r d e m o n s t r a s i d a l a m m e m p e r j u a n g k a n kepentingan dan aspirasinya. Tak jarang mereka mengerahkan massa berpuluh-puluh truk di halaman kantor pejabat negara, institusi legislatif, bahkan di lembaga yudikatif di Batang, Semarang hingga Jakarta agar menindak kasus-kasus korupsi atau mendorong penyelesaian kasus-kasus sengketa agraria. Resikonya, tak jarang aktivis organisasi ini menghadapi teror dari preman atau stigma PKI. Namun hal tersebut tidak membuat surut, sebaliknya malah membuat semakin teguh.

Sejak tahun 2005-2006, terjadi perubahan strategi organisasi yang saat itu bernama FP2NBP. Mereka tidak hanya melakukan demonstrasi, namun juga mulai masuk ke ranah politik dengan mendorong dan mendukung anggotanya ikut dalam pemilihan dan menduduki jabatan publik, seperti menjadi kepala desa dan anggota DPRD. Organisasi ini berhasil mendudukkan setidaknya sembilan orang kader menjadi kepala desa, dari 13 pemilihan kepala desa yang diikuti. Seorang anggota berhasil lolos sebagai anggota DPRD Kabupaten Batang periode 2009-2014.

Belakangan, pada Desember 2011 lalu, Omah Tani melibatkan diri dalam ajang pemilihan bupati dengan mengusung pasangan Yoyok Riyo Sudibyo-Soetadi. Pasangan ini berhasil memenangi Pilkada dengan perolehan 40,16% suara. Omah Tani memberikan dukungan penuh kepada pasangan ini terutama karena kesediaan mereka untuk memfasilitasi dan membantu penyelesaian sengketa agraria yang dialami anggota Omah Tani.

Dalam konteks perjuangan hak asasi manusia, apa capaian Omah Tani? Benar bahwa organisasi ini tidak menggunakan terminologi hak asasi manusia dalam perjuangannya. Namun, secara substansi, apa yang diperjuangkan, baik melalui desakan maupun strategi masuk ke ranah politik negara, merupakan perjuangan hak asasi manusia.

Misalnya, dalam persoalan penyelesaian sengketa lahan, yang berhubungan dengan hak atas kehidupan yang layak bagi para petani. Dari 13 kasus yang dialami anggota Omah Tani, setidaknya tiga kasus sudah selesai dan petani memperoleh lahan,

1

Pencapaian dalam Pemajuan Hak Asasi Manusia

yakni di Desa Kebumen dan Simbang di Kecamatan Tulis (52 ha), di Desa Sengon, Gondang, dan Kuripan di Kecamatan Subah (152 ha), dan di Desa Brontok Kecamatan Subah (45 ha). Sementara sengketa di Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, masih dalam proses penyelesaian.

Omah Tani berhasil mendesakkan kebijakan agar rumah sakit setempat tidak menolak pasien dan ibu-ibu petani/warga miskin yang akan melahirkan. Ini terkait dengan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas kesehatan warganya. Pada saat yang sama, Omah Tani juga berhasil mendorong kebijakan penghapusan pungutan terhadap orang tua murid oleh pihak sekolah. Karena hak atas pendidikan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara.

Lantas, bagaimana kinerja kepala desa, anggota DPRD maupun bupati yang didukung Omah Tani, dalam memajukan hak asasi manusia? Peran kepala desa, sangat strategis karena persetujuannya d i b u t u h k a n s a a t p e r u s a h a a n p e r k e b u n a n mengajukan ijin perpanjangan hak guna usaha. Dengan menempatkan wakilnya sebagai kepala desa, Omah Tani dapat mengusahakan penolakan, terlebih terhadap perusahaan perkebunan yang sedang bersengketa dengan petani-petani kecil, yang menjadi anggotanya. Namun yang terjadi selanjutnya tidak seperti yang direncanakan. Ada kepala desa yang kemudian tidak mewakili harapan Omah Tani, justru memberikan rekomendasi bagi perkebunan yang hendak memperpanjang hak guna usahanya.

Peran anggota DPRD yang didukung Omah Tani, yakni Gotama Bramanti, SH, selain membantu dalam penyelesaian sengketa lahan, juga berhasil mengusahakan agar rumah sakit umum daerah tidak menolak dan wajib memberi ruang bagi pasien atau ibu-ibu dari keluarga miskin yang hendak melahirkan. Bramanti juga aktif mendorong Bupati mengeluarkan kebijakan yang mendukung kepentingan dan kesejahteraan warga.

Sementara Bupati, selain memfasilitasi penyelesaian sengketa lahan yang dialami petani, belum genap 100 hari masa kepemimpinannya telah mengeluarkan kebijakan pendidikan dasar sembilan tahun tanpa pungutan bagi warga, berhasil memberikan jaminan tidak adanya kasus penolakan p e l a y a n a n k e s e h a t a n m a s y a r a k a t y a n g menggunakan Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal, serta tidak adanya kasus penolakan pelayanan bagi pasien tidak mampu selagi masih tersedia ruang di kelas III di rumah sakit umum daerah Kabupaten Batang.

Setiap malam Jumat Kliwon Bupati membuka ruang bagi warga Batang untuk bertemu dan menyampaikan komplain atas pelbagai kebijakan dan persoalan publik. Bupati mendengarkan dan selanjutnya meneruskannya kepada kepala dinas atau pejabat publik yang bertanggung jawab, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Setiap pertemuan, warga yang hadir mencapai ribuan. Menurut Handoko Wibowo, motor Omah Tani, bisa jadi ini satu-satunya pertemuan terbuka dan langsung

(17)

serta diadakan secara reguler antara Bupati dengan warganya, yang ada di Indonesia.

Dalam perjuangannya mencapai hal-hal di atas, Omah Tani tidak hanya bergerak di wilayah masyarakat sipil saja (dengan melakukan desakan/tekanan), namun juga menghubungkan diri dengan gerakan politik dan masuk ke ranah negara sebagai usaha untuk memperbaiki kualitas representasi politik lokal Batang.

Omah Tani telah berkembang menjadi organisasi yang tidak hanya mengurusi persoalan petani dan nelayan saja, sebagaimana awal ia didirikan. Kini, mereka juga memfasilitasi pembentukan Omah Rakyat untuk melakukan advokasi kebijakan yang berorientasi kepada kesejahteraan warga kebanyakan. Omah Rakyat ini beranggotakan kelas menengah terdidik, termasuk individu-individu aktivis politik yang keterlibatannya di sini tidak mewakili partai mereka, tetapi lebih berdasar kepada visi dan komitmen pribadi mereka, serta k a l a n g a n m i s k i n p e r k o t a a n . M e r e k a j u g a mengembangkan sayap organisasi dengan memfasilitasi pembentukan Omah Buruh, untuk melakukan advokasi perburuhan.

Omah Tani dan Omah Rakyat, juga Omah Buruh yang saling terhubung ini, telah menyatukan p e l b a g a i e l e m e n g e r a k a n s o s i a l d a n mengkoneksikannya dengan aktivitas politik formal di Batang. Kontak-kontak dengan jejaring mereka lakukan dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), DEMOS, ICW, ELSAM, KontraS, KaSUM, dsb.

Omah Tani, misalnya, juga memanfaatkan

kontak dengan lembaga . Lembaga

tersebut memperoleh informasi dari Omah Tani bila terjadi pelanggaran hak asasi manusia sehubungan dengan operasi Perhutani di daerahnya. Hal ini dapat

mengancam pemberian sertifikat bagi

Perhutani. Padahal sertifikat tersebut amat dibutuhkan agar kayu-kayu Perhutani dapat menembus pasar global di mana harganya bisa mencapai sepuluh kali lipat dari harga di pasar lokal.

Kontak dengan lembaga ini, bagi Omah

Tani dapat membantu para petani saat menghadapi persoalan sengketa lahan dengan pihak Perhutani.

Apa yang dapat dipelajari dari pengalaman Omah Tani di Batang? Agar hak asasi manusia bisa tertanam dalam kebijakan dan kinerja pemerintah (lokal), hal tersebut mensyaratkan adanya kemauan politik dari pemerintah setempat. Agar ada kemauan politik, maka representasi politik secara substantif harus benar-benar berlangsung. Bila kualitas representasi b u r u k , m a k a p e r l u a d a n y a u s a h a u n t u k memperbaikinya, atau setidaknya melakukan desakan/tekanan. Seperti yang disampaikan Herry Priyono, “kemauan politik” adalah nama bagi langkah perubahan yang terpaksa dilakukan karena sederetan

desakan/tekanan ( ).

ecolabelling

ecolabelling

ecolabelling

pressure

Penutup

3

Meski masih jauh dari ideal, namun apa yang dilakukan Omah Tani, juga Omah Rakyat, baik lewat desakan/tekanan maupun usaha memperbaiki representasi politik dengan mengandalkan gerakan berbasis massa yang terorganisir dengan baik, telah memberikan sejumlah capaian dalam pemajuan hak asasi manusia di Kabupaten Batang.

Desentralisasi dan otonomi daerah tidak dengan sendirinya mengidap hal-hal yang buruk, seperti “pembajakan” oleh elite. Bila ada usaha dan strategi yang tepat, desentralisasi bisa membuahkan manfaat yang kongkrit, karena ia telah mendekatkan warga dengan para pengambil keputusan/kebijakan. Apa yang dilakukan Omah Tani dan terjadi di Batang, meski masih butuh untuk terus berproses, mungkin bisa menjadi inspirasi bagi gerakan sosial dalam memajukan situasi-kondisi hak asasi manusia di daerahnya.

1 Hilma Safitri, 2010,

Bandung: Yayasan Akatiga, h.1-2 2. Untuk lengkapnya, silakan lihat Prioritas Program Kerja 100

Hari Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Batang Masa Bakti 2012-2017 dalam www.batangkab.go.id

3. B. Herry-Priyono, “Konstitusi dan Negara Kesejahteraan”, outline untuk diskusi Lingkar Muda Indonesia (LMI) dan Harian

, Jakarta, 15 Mei 2012.

Gerakan Politik Forum Perjuangan Petani Kabupaten Batang,

Kompas

Keterangan

(18)

pemecatan pegawai negeri, penangkapan ribuan aktivis PKI, pengusiran paksa petani dari lahannya, sampai pada pengerahan tenaga Tapol untuk kerja paksa. Nampaknya operasi militer tersebut memang dirancang sebagai instrumen yang serbaguna dan represif, praktiknya cukup guna membuat “tunduk tertindas” bagi orang-orang yang dituduh subversif saat itu.

Rezim Soeharto cukup dengan modal Operasi Kopkamtib yang tidak hanya untuk membuat “tunduk tertindas” tahanan politik (Tapol) G-30-S 1965, melainkan juga pembenaran untuk menggiring rakyat kecil menuju ladang kerja paksa. Mereka bekerja di bawah pengawasan “bedil tentara” bekerja dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore: tanpa putusan pengadilan, tanpa upah, tanpa pangan mencukupi, tanpa sandang, dan tanpa tempat penampungan yang wajar. Mereka seringkali dipekerjakan di rumah-rumah perwira militer, dan muncul beban kerja baru: sebagai tukang, pembantu rumah tangga, mencuci pakaian, membersihkan kamar mandi, memperbaiki bagian-bagian rumah yang rusak, dan membuat perabotan kebutuhan rumah tangga. Pendeknya: sedang mengalami perbudakan.

Kebijakan kerja paksa rejim Soeharto dapat dilacak melalui data administrasi KOPKAMTIB, macam Petunjuk Pelaksana (Juklak) Kopkamtib No.: PELAK-002/KOPKAM/10/1968 tanggal 16 Oktober 1968 Tentang Kebijaksanaan Penyelesaian Tahanan/Tawanan G.30.S/PKI.” Pokok kebijakannya mengatakan, “bagi Tapol yang ada di dalam tahanan dimanfaatkan tenaganya guna tujuan produktif.” Selanjutnya, ketentuan Juklak ini mengatakan dalam keperluan pemanfaatan tenaga Tapol diadakan klasifikasi pula menurut keahlian dan kecakapan

5

6

K

ekuasaan pemerintahan otoriter ditandai

sejumlah hal: dukungan ideologi militerisme menindas, tidak mentolerir perbedaan pendapat, pendekatan kekerasan, dan gemar bertindak bengis terhadap rakyatnya sendiri; disamping pemerintahan yang korup. Ringkasnya, pemerintahan tidak ramah HAM karena gemar menabrak hukum-hukum HAM.

Menurut Hilmar Farid, pelanggaran HAM berat Orde Baru dimulai sejak menjebluknya G/30 S 1965. Sejak peristiwa kelam itu, hanya hitungan hari setelahnya, pembunuhan, penangkapan, penyiksaan massal terhadap PKI dan simpatisannya. Sangat mencekam. Korban yang luput dari pembunuhan massal digiring ke kamp-kamp tahanan dan mengalami siksaan berat. Mereka ditahan beberapa bulan dan nasibnya tak menentu di tangan para penyiksa di kamp-kamp maut. Mereka kemudian dikeluarkan dari kamp dan digiring melalui pengawalan ketat “bedil tentara” menuju ladang kerja paksa. Dengan demikian segera dimulainya praktik kerja paksa di proyek-proyek pembangunan infrastruktur skala daerah maupun nasional.

Menurut Razif, seorang sejarahwan sosial muda, praktik kerja paksa secara besar-besaran mengerahkan tenaga tahanan politik, dimulai sejak 1966 hingga 1970-an meliputi wilayah-wilayah Sumatera, Jawa, Sulawesi Tengah, dan Pulau Buru. Saya menggunakan istilah “kerja paksa” di sini merujuk UU No. 19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerjapaksa. Dalam UU tersebut menjelaskan definisi “kerja paksa” sebagai berikut: (a) alat penekanan atau pendidikan politik atau s e b a g a i h u k u m a n a t a s p e m a h a m a n a t a u pengungkapan pandangan politik atau ideologi yang bertentangan dengan sistem politik, sosial, dan ekonomi yang berlaku; (b) cara mengerahkan dan m e n g g u n a k a n t e n a g a k e r j a u n t u k t u j u a n pembangunan ekonomi; (c) alat untuk mendisiplinkan pekerja; (d) hukuman atas keikutsertaan dalam pemogokan; dan (e) cara melakukan diskriminasi atas dasar ras, sosial, kebangsaan, atau agama.

Sejarah mencatat, pada 10 Oktober 1965 setelah menjebluknya G/30 S 1965, Soeharto menciptakan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang pada tahun-tahun berikutnya melahirkan sejumlah lusinan SK, SP, Juklak, Putusan, yang relevan. Semua itu dia gunakan untuk melancarkan pembersihan dan

1

2

3

4

Sumbangsih Tanpa Pengakuan

Tenaga Tapol untuk Rezim Soeharto

OlehPaijo

(Staf Pelaksana Program bidang Informasi dan Dokumentasi ELSAM)

Ilustrasi struktur jabatan di era Soehartosumber:sociopolitica.wordpress.co

daerah

Referensi

Dokumen terkait

Organisasi yang meletakkan matlamat pengabdian diri kepada Allah sudah tentu akan mewujudkan satu budaya dan akhlak yang diredhai oleh Allah. Berakhlak mulia merupakan

Semakin banyak kapang yang tumbuh pada substrat maka kadar karbohidrat akan semakin menurun, karena kapang Rhizopus oryzae akan mengeluarkan

Kegiatan pertambangan mineral bukan logam yang memperoleh Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10

Pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan misi Program Studi/Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis FISIP Undana setiap tahun anggaran dipertanggung- jawabkan sesuai

Upaya memperoleh prestasi yang optimal dalam setiap cabang olahraga merupakan suatu bentuk usaha yang senantiasa dilakukan oleh berbagai pihak terkait terutama

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, telah diketahui nilai jejak karbon dari tiap lingkup aktivitas serta nilai jejak karbon dari tiap departemen di Fakultas

Regenerasi pucuk dari eksplan tunas aksilar mahkota buah nenas dapat dipacu dengan pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP ke dalam medium tumbuh,.. Regenerasi