Menilik Paradigma Sosial dan Kurangnya Minat Perempuan Dalam Dunia Politik Dwi Nuraeni A
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Perempuan harus ikut memikirkan soal-soal yang berkenaan dengan ketaa negaraan dan
ikut menggerakkannya dan melakukannya. Karena mengenai soal kemakmuran rakyat kaum
wanita turut bertanggung jawab. Begitu pula dalam dunia politik. Hak dan kewajiban laki-laki
dan wanita adalah sama.
Pentingnya peningkatan peran perempuan dalam politik, atas dasar pemikiran bahwa
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mampu melindungi perempuan tidak dapat
dilepaskan dari kehadiran perempuan dalam lembaga penentu dan pengambil kebijakan.
Dalam peraturan pemerintah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, pada Pasal 8 Ayat (2) Poin e yang berbunyi “menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan
partai politik tingkat pusat”.
Dari segi rasio nya saja itu sudah mendiskriminasi perempuan. Akan tetapi, dalam
pandangan peneliti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia. Sri Eko Wardhani
keterwakilan perempuan di parlemen saat ini belum sepenuhnya bisa terwujud. Saat ini, jumlah
perempuan yang duduk di kursi Senayan hanya 18 persen dari total anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Hanya 103 dari total 560 orang anggota DPR.
Fakta menunjukkan jumlah keikutsertaan perempuan dalam pemerintah tidak pernah
memenuhi kuota sehingga menciptakan sistem “ikut paksa” untuk pemenuhan suatu peraturan;
yang berdampak pada kinerja suatu wakil rakyat.
Dimana paradigma yang berkembang bahwa perempuan yang mampu aktif dalam
dunia politik adalah perempuan yang memiliki finansial yang mumpuni dan ketenaran yang
cukup untuk meraih pendukung. Sehingga yang terjadi adalah perempuan perempuan yang
berjiwa nasionalis namun terbatasi oleh finansial dan ketenaran hanya mampu menyimpan
aspirasi-aspirasinya di dalam lemari dapur.
Beberapa kasus korupsi, nepotisme, dan perceraian yang menyeret sederet politikus
perempuan juga menyebabkan paradigma buruk yang berpengaruh dalam minat perempuan
untuk membela hak perempuan lain dalam bernegara. Namun, terjun atau tidaknya perempuan
Selain dampak sosial, peran perempuan di dunia politik juga di khawatirkan
mengganggu perannya dalam membina keluarga. Sejarah mencatat nama –nama perempuan
yang aktif dalam bela negara dan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang hebat.
Sejarah Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Gayatri Rajapatni (Ratu di atas
segala Ratu) yang wafat pada tahun 1350 yang diyakini sebagai perempuan di balik kebesaran
Kerajaan Majapahit. Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha yang di mata banyak orang
tidak mungkin memberikan ruang bagi perempuan untuk berpolitik. Tetapi hasil kajian yang dilakukan oleh mantan Dubes Canada untuk Indonesia (Earl Dark, ia juga sebagai sejarawan)
membuktikan, bahwa puncak kejayaan Majapahit tercapai karena peran sentral Gayatri, istri
Raden Widjaya, ibunda ratu ketiga Majapahit, Tribhuwanatungga-dewi, sekaligus nenek dari
Hayamwuruk, raja terbesar di sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit. Gayatri tidak pernah
menjabat resmi sebagai ratu, tetapi peran politiknya telah melahirkan generasi politik yang
sangat luar biasa di Nusantara kala itu. Di era Kolonialisme Belanda kita mengenal RA Kartini,
ia lahir sebagai pemimpin perempuan yang memperjuangkan kebebasan dan peranan
perempuan melalui emansipasi dalam bidang pendidikan. Berkat pemikiran-pemikiran yang ia
lahirkan, sehingga sampai saat ini pemikirannya masih menjadi bahan kajian para Kartini masa
kini. Tokoh Supeni, dikenal sebagai politikus wanita yang menduduki berbagai jabatan penting
di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR sekaligus anggota Konstituante melalui
partai PNI. Sebagai diplomat, ia pernah menjabat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa
penuh untuk Amerika Serikat dan duta besar keliling di zaman Presiden Soekarno. Tercatat
juga Penjahit bendera kita ibu Fatmawati Sukarno yang ikut berperan dalam kmerdekaan
namun, memiliki keluarga yang harmonis. Dan masih banyak lagi yang dapat kita jadikan suri
tauladan.
Paradigma lain yang berkembang adalah, politik terkesan “Macho” sehingga
perempuan kurang pantas untuk berpolitik. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan
secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori
ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya,
sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian
juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya
hanya diskenarioi oleh struktur masyarakat patriarkhi. Oleh karena itu diperlukan pemosisian
apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau
konstruksi. Teori -teori patriarki yang menyatakan perempuan lebih mengedepankan perasaan
yang digunakan adalah akal dimana perempuan dan laki laki mampu mengolah dan menerima
dengan cara yang sama.
Keterlibatan perempuan di parlemen jelas sangat berguna untuk menghasilkan proses
politik yang melibatkan perspektif politik antara perempuan dan laki-laki. Selama ini
keterlibatkan perempuan di parlemen sangat kecil.
Untuk pemenuhan hak atas perempuan dibutuhkan keikut sertaan perempan dalam