• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polling dan Program Acara Kontes Pencari (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Polling dan Program Acara Kontes Pencari (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

POLLING DAN PROGRAM ACARA KONTES

PENCARIAN BAKAT DI TELEVISI INDONESIA

Media dan Masyarakat

Disusun oleh:

Marisa Andreina 1306410244

Melati Suma Paramita

1306406606

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

2

A. Metode Polling dan Televisi

Pengumpulan pendapat atau jajak pendapat yang biasa disebut dengan istilah polling,

merupakan teknik penelitian untuk mengukur pendapat umum. Bagaimana polling melihat persepsi masyarakat tentang suatu masalah yang dikemukakan oleh penyelenggara polling (Haryoseno, 2011)1. Cara mengekspresikan pendapat umum sebenarnya bermacam-macam. Sebelum polling lahir, peradaban manusia menggunakan teknik orasi, kerumunan, petisi, ruang diskusi, gerakan revolusi, pemogokan, pemilihan umum, strawpoll atau pemungutan suara tak resmi, dan surat kabar.

Menjadi penting dalam melaksanakan polling untuk penggunaan prinsip-prinsip ilmiah, sesuai dengan metode penelitian sosial. Sebab, polling menerapkan prinsip probabilitas untuk penarikan sampel dimana pengukuran dapat dilakukan dengan hanya melibatkan sedikit orang atau bukan dari keseluruhan jumlah populasi. Hasil polling kerap menjadi bahan yang digeneralisasikan sebagai representasi suara mayoritas. Pemilihan sampel dilakukan melalui teknik sampling, sehingga tiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih atau tidak dipilih sebagai responden polling.

Menurut Gallup World Poll2, polling memberikan kita gambaran atas proporsi populasi yang memiliki sudut pandang spesifik. Polling menjadi alat ukur yang memberikan informasi bagaimana persepsi dan pendapat sebuah populasi terhadap sebuah topik. Namun, polling tidak dapat menjelaskan mengapa para responden percaya pada isu yang ada, atau alasan mengapa responden mengubah pandangannya akan suatu isu. Jika informasi yang diinginkan lebih dalam, metode yang digunakan adalah melalui riset ilmiah dengan bantuan akademisi. Metode polling yang dilakukan umumnya melalui telepon, wawancara tatap muka, e-mail, sms, dan survei daring. Dalam konteks media penyiaran di Indonesia, polling seringkali dilakukan dalam acara-acara televisi. Mulai dari acara berita hingga acara dengan genre hiburan. Jenis polling yang paling marak dilakukan adalah polling melalui sms berupa dukungan dalam acara televisi ajang pencarian bakat.

Menurut Sudibyo (2004)3, polling adalah metodologi penelitian yang menuntut kecermatan yang tinggi karena berurusan langsung dengan pengukuran opini publik. Akan

1 Haryoseno, Ricky. 2011. Layanan Pengumpulan Pendapat (Polling) Berbasis Dual Tone Multi Frekuensi.

Universitas Diponegoro.

(3)

3 menyesatkan jika hasil pollingdigunakan untuk melakukan klaim seakan-akan mewakili suara seluruh masyarakat, seperti apa yang terjadi di televisi-televisi saat ini. Hasil polling kerap disajikan dengan komentar dari para ahli mengenai suatu isu di acara-acara televisi. Hal tersebut menjadi kritik bagi polling yang dilakukan oleh media penyiaran, maupun lembaga-lembaga polling swasta yang disiarkan melalui acara televisi.

Sudibyo (2004) juga menyebutkan mengenai empat prinsip dasar polling yang dilakukan oleh televisi. Pertama, populasi dan sampel dalam polling harus jelas. Pihak yang menyelenggarakan polling harus memetakan masyarakat yang ingin diteliti sebagai populasi,

serta bagian masyarakat yang dipilih sebagai sampel. Kedua adalah pernyataan bahwa setiap anggota dari masyarakat atau populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden. Ketiga, dalam polling televisi kerap dijumpai pertanyaan yang cenderung tendensius. Sehingga khalayak cenderung tergiring untuk memberikan dukungan. Padahal, pertanyaan-pertanyaan dalam polling harus menunjukkan independensi khalayak yang memberikan pendapatnya. Terakhir, hasil sementara polling kerap ditampilkan dan dibahas oleh presenter acara televisi secara langsung. Responden yang belum memberikan suaranya dapat terpengaruh oleh hal ini. Kemungkinan besar mereka yang belum memberikan suaranya akan tergiring untuk mengikuti suara mayoritas.

Gallup World Poll pun menuliskan bahwa saat media penyiaran seperti televisi meminta khalayaknya untuk melakukan telepon interaktif maupun mengirimkan sms berupa dukungan, aktivitas tersebut bukan merupakan polling ilmiah karena tidak dianggap representatif. Sampel yang diambil hanya merefleksikan khalayak yang kebetulan sedang menonton acara televisi tersebut, dan khalayak yang termotivasi untuk ikut serta dalam polling. Polling seperti ini yang banyak ditemukan dalam sejumlah acara-acara hiburan, tidak dapat digeneralisir untuk merepresentasikan keseluruhan populasi karena respondennya tidak diseleksi menggunakan metode sampling. Maka tidak dapat dikatakan sebagai representasi pendapat publik.

B.Fenomena Kontes Pencarian Bakat di Televisi Indonesia

(4)

4 merupakan suatu ajang pencarian bakat yang diadaptasi dari acara yang berjudul La Academia

di Meksiko. Menariknya, AFI merupakan program pencarian bakat pertama di Indonesia yang mampu menarik banyak perhatian pemirsanya dan merupakan pelopor bagi munculnya berbagai jenis ajang pencarian bakat lainnya di Indonesia.

Kesuksesan yang diperoleh AFI ini pula yang kemudian memunculkan program Indonesian Idol pada tahun 2004 yang disiarkan oleh RCTI. Indonesian Idol pun menampilkan program di bidang tarik suara, sama seperti AFI. Eksistensi Indonesian Idol pun masih terus bertahan hingga saat ini. Seolah tidak mau kalah dengan AFI dan Indonesian Idol, adapun

MNC TV yang juga membuat program serupa bernama Kontes Dangdut Indonesia (KDI) pada tahun 2004. Hanya saja, kali ini yang membedakan KDI dengan dua ajang pencarian bakat sebelumnya terletak pada pengangkatan tema yang diambil, yakni musik dangdut. Hingga tahun 2010, KDI pun berhasil menjadi kontes dangdut terbesar di Indonesia.

Hingga saat ini pun, berbagai jenis ajang pencarian bakat terus mewarnai wajah pertelevisian Indonesia. Berbagai jenis program ajang kontes di bidang tarik suara terus bermunculan, seperti Dangdut Akademi atau D’Academy, X Factor Indonesia, dan Voice of Indonesia. Bahkan perkembangannya semakin meningkat melihat bahwa ajang yang diadakan tidak hanya di bidang tarik suara, namun juga mulai merambah ke bidang komedi, kompetisi sulap, memasak, dan menari. Beberapa program tersebut antara lain: Akademi Pelawak Indonesia (API), Stand Up Comedy, The Next Mentalist, Indonesia Got Talent, dan Master Chef Indonesia.

Ajang pencarian bakat yang disiarkan di televisi memang merupakan salah satu program yang menarik dan mengundang perhatian penonton. Melihat fenomena menjamurnya berbagai jenis ajang pencarian bakat di berbagai jenis stasiun televisi nasional yang ada di Indonesia pula yang semakin memperlihatkan bagaimana program ini mampu merebut hati masyarakat. Bahkan banyak yang rela meluangkan wakutnya untuk sekedar menonton siapa yang akan tereleminasi di setiap episodenya. Tidak sedikit pula masyarakat yang mau

menyisihkan pulsa handphone dalam upaya untuk memberi dukungan melalui polling SMS. Bahkan banyak yang secara sukarela juga datang ke studio dan menonton secara langsung acara

ajang pencarian bakat. Berbagai upaya yang dilakukan pun semata-mata sebagai bentuk dukungan terhadap idola yang menjadi favorit.

(5)

5 peserta akan dilanjutkan oleh pembawa acara yang mengajak partisipasi khalayak untuk mendukung kontestan dalam bentuk SMS premium dan polling telepon. Tidak hanya itu, ajakan ini pun selalu disertai dengan pengulangan kata-kata ajakan yang dilakukan oleh setiap peserta untuk mau mendukung agar tidak tereliminasi. Pada mekanisme ini pula yang juga sekaligus memberikan kesempatan bagi khalayak untuk memberikan pendapat atau penilaian terhadap siapa yang di rasa layak dan tidak layak untuk tampil di minggu berikutnya.

Dapat disimpulkan bahwa pemenang ajang kontes biasanya adalah mereka yang mendapat dukungan terbanyak melalui mekanisme polling tersebut. Dan mereka yang gugur

adalah mereka yang dianggap tidak memiliki kemampuan dalam menarik perhatian masyarakat untuk mendukung mereka agar tidak tereliminasi. Hal ini pula yang diakui oleh salah seorang peserta The Voice of Indonesia yang meminta dukungan warga setempat agar mampu bertahan dalam ajang kompetisi tersebut. Dirinya menaruh harapan yang besar terhadap warga Pekanbaru, daerah tempat ia berasal, untuk dapat melaju menjadi pemenang karena semuanya tergantung dari polling SMS4.

C. Kontes Pencarian Bakat di Televisi Indonesia dan Sistem Polling

Ajang kontes pencarian bakat merupakan suatu program yang menarik dan seharusnya mampu menjadi wadah yang positif bagi media massa penyiaran, seperti televisi, untuk menemukan bakat atau talenta yang ada pada generasi Indonesia. Menjadi penting ketika media yang menjadi mediumnya sehingga penyebaran dapat bersifat masif dan dapat menghibur. Seperti pada perhelatan Bintang Radio Indonesia dan ASEAN 2015 yang merupakan sebuah ajang diselenggarakan sebagai bentuk komitmen untuk menciptakan penyanyi muda berkualitas5. Festival ini pun bertujuan untuk menciptakan penyanyi radio yang tidak hanya pandai bernyanyi, namun juga mampu menghibur dengan kualitas suara yang juga luar biasa. Menjadi unik dan positif ketika ajang ini justru murni mengutamakan pada unsur kemampuan. Berbeda pada ajang bakat di berbagai stasiun televisi pada umunya, pada perhelatan ini pemilihan pemenang tidak dilakukan melalui polling SMS ataupun bentuk lainnya. Sehingga sang juara ialah mereka yang memang memiliki kualitas vokal yang terbaik.

(6)

6 Antusiasme masyarakat terhadap ajang ini pun terbilang cukup besar, terbukti dengan angka pendaftaran yang mencapai 7000 orang peserta dari Sabang hingga Merauke. Selain itu menjadi menarik pula ketika ajang pencarian bakat berdasarkan kemampuan dan kualitas ini telah dirintis oleh Radio Republik Indonesia (RRI) sejak lama dan berhasil mencetak berbagai jenis penyanyi legendaris seperti Titiek Puspa, Bing Slamet, Hetty Koes Endang, dan Rafika Duri6. Tidak hanya itu, RRI pun berjanji akan mengirimkan pemenang pertama bintang Radio Indonesia ini untuk kemudian kembali berlomba di ajang Internasional ABU Radio Song Festival yang diselenggarakan pada 2016 di Korea Selatan.

Tentunya hal serupa tidak akan kita temukan pada ajang kontes pencarian bakat yang ada di pertelevisian Indonesia. Berbeda dengan ajang kontes yang dirintis oleh RRI dimana acara tidak dibuat secara episodik setiap minggunya dan juga tidak tayang secara fenomenal di berbagai media pada umumnya seperti di televisi. Program-program ajang pencarian bakat seperti Indonesian Idol, D’Academy, atau The Voice of Indonesia merupakan ajang yang masih dipertanyakan kemurnian tujuan program dalam pencarian bakat. Akan menjadi sangat berbeda ketika kita melihat contoh acara yang disebutkan sebelumnya, ketika para pemenang memang secara adil dinilai berdasarkan atas kemampuan mereka masing-masing.

Sementara yang banyak terjadi pada ajang kontes pencarian bakat di televisi pada umumnya lebih menekankan pada mekanisme polling yang mengandung banyak bias. Dimana penilaian yang diberikan oleh penonton dapat bersifat sangat subjektif berdasarkan preferensi khalayaknya masing-masing. Semua dapat menilai, tanpa melihat latar belakang, usia, dan kemampuan. Bahkan mereka yang memberikan penilaian dalam bentuk polling pun belum tentu paham betul dalam menilai kemampuan suara mana yang layak untuk bertahan dan yang mana yang tidak.

Poin penting lainnya terletak pada transparansi data hasil polling SMS dan polling telepon. Khalayak tidak pernah mengetahui berapa jumlah total SMS atau telepon dukungan yang telah diterima. Kita hanya diperlihatkan siapa yang tereliminasi pada minggu ini, atau

biasanya dua kontenstan yang berada pada posisi tidak aman. Tidak aman artinya mereka memperoleh hasil polling yang terendah. Lalu ada pula istilah wild card atau hak veto yang merujuk pada bentuk penyelamatan salah satu peserta yang terancam tereliminasi. Disini barulah juri memiliki otoritas dalam memberikan kesempatan terhadap konsestan dengan polling terendah untuk tampil di kesempatan berikutnya. Disinilah menjadi isu ketika justru

(7)

7 program acara tersebut telah melakukan bentuk kecurangan terhadap hasil polling. Pilihan juri kemudian yang pada akhirnya menjadi penentu sehingga mengabaikan dukungan SMS dan telepon berdasarkan polling tadi. Menjadi sia-sia ketika penonton telah memberikan dukungan ke dalam bentuk polling namun kemudian tidak ada kontestan yang pulang atau bahkan yang pulang justru bukan mereka yang berada di posisi terendah karena terselamatkan oleh para juri.

Menjadi isu yang penting karena hal ini menyangkut sebuah kebohongan publik dimana tidak ada bentuk transparansi yang jelas. Tanpa dipungkiri, jumlah SMS dan telepon yang dikapitalisasi dalam nominal pulsa ini telah menjadi keuntungan tersendiri bagi setiap stasiun

televisi penyelenggaranya. Khalayak kemudian seolah-olah telah ditenggelamkan dalam dukungan palsu, tanpa kesadaran bahwa hilang sejumlah uang dalam bentuk pulsa. Kondisi ini pula yang kemudian semakin membuktikan pernyataan

D.Ekonomi Politik dalam Acara Televisi Kontes Pencarian Bakat

Arianto (2011)7 dalam jurnalnya mengemukakan bahwa konsep ekonomi politik dipengaruhi oleh pemikiran Marxis tentang ekonomi, yang membahas sebuah proses dan cara basis (base) ekonomi masyarakat menjadi penentu struktur sehingga berpengaruh pada ruang budaya dan politik masyarakat, tenaga kerja, pembagian kerja, kepemilikan, mode produksi, serta struktur kelas dan perjuangan. Sedangkan Mosco (1996)8 berpendapat bahwa ekonomi

politik merupakan sebuah studi hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Hal ini mencakup sumber daya komunikasi.

Dimmick dan Rothenbuhler dalam Agung (2011)9 mengemukakan bahwa ada tiga sumber kehidupan bagi media. Pertama, content atau isi yang disajikan media. Contohnyai program acara televisi dengan format berita maupun format hiburan. Kedua adalah capital, yang berhubungan dengan sumber dana atau modal bagi media untuk menjalankan manajemennya. Ketiga adalah audience atau khalayak, yang menjadi segmen yang dituju oleh media. Tiga sumber tersebut kemudian menjadi pertimbangan bagi media untuk membuat

7 Arianto. 2011. Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi.

8 Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication.

(8)

8 kebijakan atau langkah strategis dalam manajemennya. Termasuk dalam pembuatan program acara yang menguntungkan.

E. Komersialisasi Acara Televisi Kontes Pencarian Bakat

Adorno dan Horkheimer (1993)10 dalam The Culture Industry menjelaskan bahwa produksi produk budaya kini menyamai produksi yang dilakukan di pabrik-pabrik untuk memproduksi mobil, menghasilkan produk-produk yang identik satu sama lain berdasarkan sebuah kesepakatan mengenai yang mana yang paling menguntungkan secara ekonomi. Adorno dalam Reksa (2015)11, berpendapat bahwa industri budaya mengakibatkan perubahan dalam karakter seni. Budaya dalam konteks industri budaya, didefinisikan sebagai komoditas yang melunturkan nilai-nilai seni. Budaya dikomodifikasi oleh industri karena industri ingin mendapatkan keuntungan besar. Akan berbeda nilai keuntungan yang didapatkan jika budaya

diperlakukan sebagai sebagai hal kritis dan ekspresi kebebasan manusia. Adorno melihat dikomodifikasi dari yang tadinya merupakan budaya tinggi, menjadi budaya rendah atau low culture. Akibatnya, nilai-nilai artistik seni direduksi sehingga menjadi komersial.

Dalam industri budaya, produksi budaya mengalami perubahan dari nilai guna menjadi nilai tukar. Produksi budaya hanya memiliki nilai sejauh komoditas teserbut dapat ditukarkan. Individu dilihat tidak berdaya menghadapi kekuatan ekonomi. Manusia bukan lagi dipandang sebagai subjek, tetapi kemudian dieksploitasi, kadang tanpa kesadaran, sebagai objek yang digunakan untuk mencapai tujuan para pemilik modal. Kondisi ini membuat pemilik modal lebih banyak diuntungkan dibandingkan masyarakat yang ditargetkan menjadi konsumen.

Konsep industri budaya yang dituliskan Adorno dan Horkheimer, berkaitan dengan industri media massa sebagai medium produk-produk seni. Baik di radio, televisi, sinema atau layar lebar, maupun portal-portal berita internet. Tidak dipungkiri bahwa industri di bidang seni melalui media massa dipandang sebagai usaha yang mendatangkan keuntungan. Ditinjau dari fenomena maraknya ajang pencarian bakat di televisi Indonesia dan sistem polling SMS maupun telepon yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan, menggunakan mekanisme polling yang mengandung banyak bias. Dimana penilaian yang diberikan oleh penonton dapat

10Ador o, TW da Horkhei er, M 1993, ―The Culture I dustry: E lighte e t as Mass Deceptio ‖ dala

Adorno, TW dan Horkheimer, M, Dialectic of Enlightenment, New York, Continuum

11 Reksa, Abdul Fikri Angga. 2015. Tinjauan Buku Kritik Terhadap Modernitas: Dialectic of Enlightment.

(9)

9 bersifat sangat subjektif berdasarkan preferensi khalayaknya masing-masing. Semua dapat menilai, tanpa melihat latar belakang, usia, dan kemampuan. Bahkan mereka yang memberikan penilaian dalam bentuk polling pun belum tentu paham betul dalam menilai kemampuan atau bakat yang layak untuk bertahan dan yang mana yang tidak. Acara televisi berupa kontes pencarian bakat kerap dikomersialisasi untuk keuntungan rating dan pendapatan statiun televisi melalui pulsa yang dibayarkan oleh khalayak lewat polling SMS.

Terkait hal tersebut, menjadi sebuah kritik bagi acara televise berupa kontes pencarian bakat yang merupakan bagian dari industri budaya yang bersifat komersil. Menurut Sudibyo

(2004), memang polling di acara televisi Indonesia kerap menggunakan batasan populasi dan sampel yang umumnya tidak jelas. Presenter televisi kerap menyebutkan hasil polling sebagai representasi dari keseluruhan suara masyarakat, tanpa menjelaskan masyarakat mana yang dimaksud. Polling televisi juga dianggap tidak representatif, dan alasannya bukan karena metodologi yang tidak akurat. Namun, dilatarbelakangi alasan bahwa penyelenggara polling atau polster tidak menyatakan bahwa polling yang diselenggarakan merupakan gambaran dari suara publik yang terbatas. Dengan terang-terangan melalui presenter dan komentator di televisi, hasil polling di klaim sebagai opini publik secara umum dan dijadikan acuan sebagai apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Padahal masyarakat butuh transparansi data, dan dengan adanya transparansi seharusnya dapat bersifat kritis dalam memberikan dukungan maupun pendapatnya dalam polling. Namun yang terjadi, khalayak televisi yang menonton kontes pencarian bakat hanya semakin terjerat dalam kesadaran palsu.

F.Kontes Pencarian Bakat di Televisi dan Kesadaran Palsu

(10)

10 Tebukti bagaimana kemudian penonton secara tidak langsung dan tanpa disadari telah dipaksa untuk berpartisipasi aktif dalam mengikuti produk budaya massa, dalam konteks bahasan tulisan ini yakni program ajang pencarian bakat di televisi. Sebagai imbalannya, para penonton kemudian akan mendapatkan rasa kepuasan serta kebanggan apabila melihat kontestan favorit mereka berhasil bertahan hingga menang menjadi juara. Menurut Adorno dalam Reksa (2015)12, saat itulah penonton tanpa disadari telah mengalami euforia semu dan kesadaran palsu. Mereka dijebak dan dikurung dalam lingkaran pemujaan sehingga mereka menjadi pasif, lemah, dan rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi.

Hal ini juga didasari pada asumsi bahwa masyarakat sebagai konsumen industri budaya mendapat pengaruh yang sering kali berada di luar nalarnya. Khalayak atau penonton menikmati suatu produk budaya sebagai representasi kehidupan nyata, dimana mereka dapat turut merasakan emosi dan empati yang sama sehingga masyarakat sebagai penonton akan kehilangan nalar kritisnya. Banyak penonton yang kemudian terjebak dalam fanatisme yang berlebihan terhadap kontestan favorit mereka yang juga dibangun oleh budaya industri. Sehingga menjadi tidak mengherankan apabila kemudian mereka menjadi secara sukarela mau menyisihkan uang untuk mendukung kontestan favorit mereka ke dalam bentuk polling SMS tanpa mempertanyakan transparansi di dalamnya.

Masyarakat kemudian tidak sadar bahwa para pemilik modal, yakni mereka di stasiun televisi, sedang secara halus memperoleh keuntungan dengan mengkapitalisasi hasrat dan memanfaatkan partisipasi publik melalui polling SMS dalam kontes pencarian bakat. Sasaran mereka ialah kesenangan dan bentuk aktualisasi diri yang kemudian terlihat seolah-oah terwujud dalam dukungan SMS atau polling.

G. Kesimpulan

(11)

11 Melihat bagaimana industri budaya mengkomodifikasi produk budaya di media massa seperti kontes pencariaan bakat di televise Indonesia, memperlihatkan bagaimana media pada dasarnya mengekploitasi khalayak untuk mendapatkan keuntungan. Salah satunya menggunakan polling SMS maupun telepon, yang sebenarnya bersifat komersil dan hanya menempatkan khalayak sebagai objek, dan menjeratnya dalam kesadaran palsu. Hal inilah yang diutarakan oleh McQuail (2005)13, bahwa sebagian besar media didirikan dengan motif ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan media itu sendiri dan bukan kepentingan publik. Program ajang pencarian bakat di televisi Indonesia, melalui polling, hanya bersifat

profit oriented yang menguntungkan pihak pemilik modal itu sendiri.

Sejauh mana media menghargai metode polling dengan akurasi dalam prosesnya serta transparansi data setelah hasil polling selesai, menjadi sebuah gambaran untuk melihat hubungan antara media massa dan pendapat publik. Menurut Sudibyo (2004), transparansi dalam penyiaran hasil polling dapat menjadi tolak ukur sejauh mana media menghargai opini publik dan menjaga ruang publik untuk tidak dikotori dengan bias dan klaim-klaim sepihak, dengan tujuan politik tertentu. Tanpa terbawa arus bias dan tendensius, masyarakat sebagai khalayak media dapat secara aktif menggunakan haknya untuk bersuara melalui polling secara independen.

(12)

12

Referensi

Haryoseno, Ricky. 2011. Layanan Pengumpulan Pendapat (Polling) Berbasis Dual Tone Multi Frekuensi. Universitas Diponegoro.

Arianto. 2011. Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi.

Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication.

Agung, Machyudin. 2011. Ekonomi Politik Media Televisi Swasta Nasional.

Adorno, TW dan Horkheimer, M. 1993. The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception dalam Adorno, TW dan Horkheimer, M, Dialectic of Enlightenment, New York, Continuum.

Reksa, Abdul Fikri Angga. 2015. Tinjauan Buku Kritik Terhadap Modernitas: Dialectic of Enlightment. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKIS.

McQuail, Denis. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory. SAGE.

http://media.gallup.com/muslimwestfacts/PDF/PollingAndHowToUseItR1drevENG.pdf

http://www.antaranews.com/berita/558540/peserta-the-voice-asal-pekanbaru-minta-dukungan http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-11-29

http://www.mediadangdut.com/2921/dila-karawang-yang-terhenti-di-babak-10-besar-dacademy-3.html

http://klikseru.com/7-ajang-pencarian-bakat-terkeren-di-indonesia-mana-favoritmu/

https://www.academia.edu/11192310/Fenomena_Popularitas_Ajang_Pencarian_Bakat_Pertel evisian_Indonesia

http://sumsel.tribunnews.com/2015/08/23/suporter-antusias-dukung-peserta-grand-final-audisi-bintang-radio

http://www.rri.co.id/post/berita/84969/budaya/94_kontestan_ikuti_pemilihan_bintang_radio_

Referensi

Dokumen terkait

Tindakan yang dilakukan untuk meng- hindari ketidakadilan dalam pembagian harta gono gini pada kasus perceraian Apabila seorang istri tidak menghendaki harta kekayaan yang

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulansari (2018) dimana dari hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p sebesar 0,612 (> 0,05) dimana

Hipoksia merupakan kondisi tidak tercukupinya pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuh akibat difisiensi oksigen atau peningkatan penggunaan oksigen dalam tingkat sel, di tandai

sosial, pelatihan, pengawasan, dan kebijakan dalam menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada Pekerja di PT. Adhi Persada Beton Sadang – Purwakarta Tahun 2017.

Konflik terbesar akan terjadi, sebab manusia akan terpolarisasi dalam dua aliran yang bertentangan; yang percaya pernyataan Allah tsb dan yang tidak percaya, yang rohani

Penyakit Jantung Hipertensi dalam Ilmu Penyakit Dalam : Edisi IV, Jilid II, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Disimpulkan bahwa aplikasi ergonomi pada seragam olahraga meningkatkan kenyamanan dalam berolahraga pada siswa SMP, aplikasi ergonomi seragam olahraga memperbaiki

Ketika pemilik persil baru yang mendapatkan peralihan hak kepemilikan persil dari jual beli dengan cara pelelangan tersebut bermaksud untuk mengajukan