• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MONETER TERHADAP PERUBAHAN HARGA DI JAWA BARAT ( 1995 – 2005) Fifi Afiyanti Tripuspitorini Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung ABSTRAK - ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MONETER TERHADAP PERUBAHAN HARGA DI JAWA BARAT ( 1995 – 2005) Fifi Afiyanti Tripuspitorini Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung ABSTRAK - ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MON"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 1, No. 1, Mei 2009, 1 -15

1

ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MONETER

TERHADAP PERUBAHAN HARGA DI JAWA BARAT

( 1995

2005)

Fifi Afiyanti Tripuspitorini

Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sisi fiskal maupun dari sisi moneter terhadap perubahan harga di Jawa Barat selama kurun waktu tahun 1995-2005 dan menggunakan data panel dengan metode deskriptif dan kuantitatif. Teknik analisa menggunakan Fixed Effect Model dengan data cross section terdiri dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat, sedangkan data time series adalah data tahunan selama kurun waktu 11 tahun dari tahun 1995-2005, dengan menyertakan variabel dummy kebijakan otonomi daerah sebagai variabel bebas dan sebagai variabel intervening. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa sisi fiskal maupun sisi moneter mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat, artinya apabila variabel-variabel sisi fiskal maupun sisi moneter mengalami perubahan, maka akan terjadi juga perubahan harga di Jawa Barat.

Kata kunci : fiskal, moneter, panel data, inflasi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Dipicu dengan adanya krisis moneter dan transisi politik, sejak 1 Januari 2001,

Indonesia menerapkan desentralisasi ( otonomi daerah ) yang didasarkan pada

Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang ”Pemerintah Daerah” dan Undang

-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang ”Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”(UU-PKPD). Sejauh menyangkut hubungan keuangan pusat-daerah, konsep otonomi yang ditawarkan dari sisi fiskal melalui UU-PKPD lebih tepat dikategorikan

sebagai desentralisasi ”pengeluaran” pemerintah daerah. Jenis maupun mekanisme

sumber-sumber penerimaan daerah masih sepenuhnya ditentukan Pusat. Perbedaan

pokok terletak pada kewenangan dalam penggunaannya yang akan sepenuhnya

diberikan ke daerah.

Kondisi fiskal daerah dengan mengambil potret Kabupaten/Kota di Jawa Barat,

menjelang implementasi otonomi daerah tahun 1998/1999 ditandai oleh peran PAD

terhadap APBD yang umumnya rendah, dan ketergantungan pada transfer pusat yang

(2)

rata-rata rendah, berkisar dari 4.86 persen (Kabupaten Indramayu) sampai dengan

32.26 persen (Kota Bandung) menurut data 1998/1999.

TABEL 1

Kontribusi PAD/APBD Kabupaten/Kota Jawa Barat, 1997/98 dan 1998/99

No. Kabupaten/Kota Kontribusi PAD/APBD (%)

1997/98 1998/99

Sumber : Diolah dari BPS, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Tingkat II, 1997/98-1998/99.

Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di tahun 1998/99 mengalami

penurunan untuk semua Kabupaten/Kota dibandingkan dengan tahun1997/98. Secara

riil, nilai PAD tahun 1998/99 dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya

mengalami penurunan di hampir semua Kabupaten/Kota (Alisjahbana, 2000).

Diimplementasikannya kebijakan fiskal sejalan dengan diberikannya otonomi yang

lebih luas kepada daerah kabupaten dan daerah kota, telah membuka peluang bagi

para pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan asli daerahnya. Salah satu

upaya yang ditempuh adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal dari perolehan

pajak daerah dan retribusi daerah (Lutfi, 2002).

Adanya hasrat pemerintah yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan

adanya suatu kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih didorong oleh tingkat

konsumsi masyarakat memberikan tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia dalam

menjaga kestabilan harga dan pencapaian target inflasi yang ditetapkan.

Peran Bank Indonesia dalam konteks pengelolaan perekonomian secara makro lebih

difokuskan pada menjaga kestabilan harga. Sebagaimana tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tugas Bank Indonesia telah

(3)

3 didasari pada pemahaman bahwa kestabilan harga melalui upaya menjaga inflasi pada

tingkat yang rendah adalah merupakan pijakan menuju kesinambungan pertumbuhan

ekonomi dalam jangka panjang.

Pandangan mengenai inflasi, selalu identik dengan inflasi dalam konteks nasional.

Namun pada kenyataannya inflasi di tiap kota dalam satu negara, bahkan dalam satu

propinsi sekali pun sering kali mengalami perbedaan. Isu penting yang berkaitan

dengan inflasi pada tingkat regional pada saat ini adalah otonomi daerah.

Pada era otonomi daerah seperti saat ini, tugas Bank Indonesia sebagai otoritas

moneter menjadi semakin berat. Undang-undang mengenai otonomi daerah, memiliki

implikasi bahwa pemerintah kabupaten maupun kota mempunyai andil besar dalam

mengatur perekonomian daerahnya sendiri. Dengan demikian, kondisi perekonomian

daerah akan sangat beragam dan tergantung pada potensi ekonomi masing-masing

daerah beserta cara pengelolaannya. Hal ini juga berimplikasi pada

kebijakan-kebijakan di tiap-tiap daerah yang dalam hal ini adalah kebijakan-kebijakan fiskal, dikarenakan

pemberlakuan desentralisasi fiskal sesuai dengan konsep otonomi daerah. (Asmanto

dan Soebagyo, 2007).

Dari sisi otoritas moneter, terjadinya mekanisme transfer keuangan pusat-daerah

berpotensi menimbulkan permasalahan dalam operasi pengendalian moneter.

Terjadinya desentralisasi fiskal berpotensi menimbulkan resiko perubahan perilaku

pengendalian fiskal di daerah-daerah. Jika pemerintah daerah mengalokasikan

dananya untuk memperkuat fondasi perekonomian daerah maka akan berdampak

positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika dana transfer tersebut dialokasikan

untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktif, spekulatif dan konsumtif yang dapat

menimbulkan iddle money maka akan berdampak terhadap pengendalian moneter

(Ismail, 2002). Hasil ini mendukung temuan sebelumnya di China bahwa desentralisasi

ekonomi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi bersifat inflationary (Brandt

dan Zhu, 2000).

Pergerakan harga barang di Indonesia sangat ditentukan oleh pergerakan harga di

daerah, karena 72,34% inflasi nasional (45 kota) disumbang oleh inflasi daerah di luar

Jakarta. Inflasi di Jawa Barat (gabungan tiga kota: Bandung, Cirebon, Tasikmalaya)

membentuk 8,33% inflasi nasional. Di antara tiga kota tersebut, inflasi kota Bandung

paling besar pengaruhnya terhadap inflasi di Jawa Barat, yakni sebesar 81,15%.

Pendorong utama inflasi di Jawa Barat banyak dipengaruhi oleh sisi penawaran,

khususnya masalah distribusi dan tata niaga barang, di samping faktor administered

(4)

infrastruktur baik jalan raya, maupun sarana pendukung seperti ketersediaan pasar

induk di suatu daerah. Misalnya, laju inflasi di kota Banjar, Tasikmalaya, dan Sukabumi

(jalan rayanya tidak begitu baik) relatif lebih tinggi dibandingkan kota Bandung, Bogor,

dan Bekasi. Hal lain adalah, respon terhadap kenaikan dan penurunan harga di

kota-kota yang memiliki infrastruktur yang relatif lebih baik seperti Bandung, Bogor relatif

lebih cepat merespon perubahan harga.

Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan laju

inflasi di kabupaten/kota di Jawa Barat, pada masa sebelum otonomi daerah dan

selama berlangsungmya otonomi daerah. Hal ini penting karena laju inflasi merupakan

indikator penting di sektor riil dan merupakan salah satu dari beberapa tujuan

pembangunan yang tidak terlepas dari perubahan yang terjadi di daerah, sedangkan

desentralisasi fiskal adalah variabel yang memungkinkan terjadinya fluktuasi-fluktuasi

ekonomi

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah:

1. Apakah variabel-variabel kebijakan sisi fiskal dan sisi moneter memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa

Barat ?

2. Faktor apakah yang paling dominan memengaruhi perubahan harga di

kabupaten/kota di Jawa Barat.

TEORI

Tinjauan Teoritis Sisi Fiskal

Desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan di bidang fiskal (penerimaan dan

pengeluaran) dari level pemerintah yang lebih tinggi ke level pemerintah yang lebih

rendah. Di beberapa negara, pelimpahan kewenangan fiskal berasal dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah lokal

(kabupaten / kota). Dalam membahas mengenai indikator desentralisasi fiskal, terdapat

tiga variabel yang merupakan representasidesentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiga

variabel tersebut adalah :

Desentralisasi Pengeluaran

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing

(5)

5 menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan

pemerintah pusat.

Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan

masing-masing kabupaten / kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan

nasional (APBN). Variabel ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran pemerintah

dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah.

Desentralisasi Penerimaan

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing- masing

kabupaten / kota (APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan

pemerintah. Variabel ini mengekspresikan besaran relatif antara pendapatan

pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat (Khusaini, 2006:99).

Tinjauan Teoritis Sisi Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam

bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

perekonomian yang diinginkan. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian

yang diinginkan tersebut adalah stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya

perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan /

kesempatan kerja yang tersedia. (Warjiyo dan Solikin, 2003:2).

Ada beberapa pendapat yang menyoroti sejauh mana efektivitas kebijakan moneter

dalam memengaruhi tingkat pendapatan / kesempatan kerja dan variabel-variabel

ekonomi makro lainnya, di antaranya dikenal pendapat Natural Rate Hypothesis dan

Rational Expectation Hypothesis.

Menurut Natural Rate Hypothesis, efektivitas ekspansi moneter hanya efektif dalam

jangka pendek. Dalam jangka panjang, kegiatan produksi dan kesempatan kerja yang

semula meningkat dan meluas akan kembali menurun ke tingkat semula. Hal ini

disebabkan dalam jangka panjang masyarakat mulai sadar bahwa upah riil yang

diterima sebenarnya mengalami penurunan karena kenaikan upah nominal lebih kecil

dibandingkan dengan kenaikan harga-harga.

Menurut Rational Expectation Hypothesis, ekspansi moneter tidak efektif, baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang, karena masyarakat menyadari bahwa

walaupun secara nominal upah meningkat, secara riil upah tidak mengalami kenaikan.

Apabila upah riil tidak berubah, masyarakat tidak bersedia meningkatkan penawaran

(6)

produksi / kesempatan kerja, tetapi justru hanya mengakibatkan inflasi. Produsen juga

sadar bahwa kenaikan harga barang-barang produksi tidak akan memberikan suatu

keuntungan tambahan karena ongkos-ongkos produksi, terutama tenaga kerja juga

mengalami kenaikan yang sama besar.

Tinjauan Teoritis Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi

permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya

cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar

negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi

yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat

bencana alam dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab terjadinya demand pull

inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya.

Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi

output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar daripada

kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh

perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau

forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen

dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan dan

penentuan upah minimum regional UMR) (Bank Indonesia, 2007).

Kerangka Pemikiran

Secara teoritis, pengertian inflasi merujuk pada perubahan tingkat harga (barang dan

jasa) umum yang terjadi secara terus menerus. Data mengenai perkembangan harga

dapat didasarkan pada cakupan barang dan jasa sebagai komponen pembentuk PDB

(deflator PDB), cakupan barang dan jasa yang diperdagangkan antara produsen

dengan pedagang besar (Indeks Harga Perdagangan Besar / IHPB), ataupun cakupan

barang dan jasa yang dijual secara eceran dan dikonsumsi oleh sebagian besar

masyarakat (Indeks Harga Konsumen / IHK).

Sesuai dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran laju inflasi

ditetapkan oleh Bank Indonesia atas dasar tahun kalender dengan memperhatikan

perkembangan dan prospek ekonomi makro. Untuk itu, sejak tahun 2000 Bank

Indonesia menetapkan sasaran inflasi pada awal tahun yang akan dicapainya untuk

tahun yang bersangkutan (Warjiyo dan Solikin, 2003). Berdasarkan sasaran inflasi

tersebut dan asumsi pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia menetapkan target base

money tahunan yang kemudian dijabarkan secara bulanan. Secara operasional, target

(7)

7 terutama dilakukan melalui lelang SBI. Suku bunga SBI terbentuk melalui mekanisme

lelang dengan dasar Stop-Out Rate (SOR) dan suku bunga yang terjadi dihitung

berdasarkan rata-rata tertimbang pemenang lelang.

Penelitian yang dilakukan Paul D. McNelis (1999), antara lain menguraikan tentang

arah kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap inflasi, prosedur operasional

kebijakan moneter, dan metode untuk melakukan proyeksi inflasi. Kesimpulan penting

penelitian McNelis ini adalah bahwa stance kebijakan moneter BI pada dasarnya dapat

dikelompokkan sebagai kebijakan moneter yang anti-inflationary bias. Pengujian

statistik menunjukkan bahwa pergerakan suku bunga seolah-olah merespons

perubahan ekspektasi inflasi dan tekanan permintaan. Selain itu, penelitian ini juga

menyimpulkan bahwa instrumen kebijakan moneter yang lebih tepat digunakan adalah

suku bunga SBI satu bulan daripada menggunakan base money. Argumen penting

yang mendasari perubahan instrumen moneter menjadi suku bunga adalah

kemudahan suku bunga dalam menyampaikan pesan mengenai arah kebijakan

moneter yang ditempuh Bank Indonesia.

Studi empiris di banyak negara menunjukkan bahwa jalur agregat moneter semakin

tidak efektif dalam memengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Tidak

stabilnya money multiplier dan income velocity sebagai akibat dari makin

berkembangnya financial inovation dan terintegrasi pasar keuangan merupakan

beberapa alasan yang mendasari tidak efektifnya jalur agregat moneter. Oleh karena

itu sebagian besar negara (negara industri dan negara berkembang) mulai

mendasarkan prosedur operasional kebijakan moneter mereka pada jalur transmisi

suku bunga. Suku bunga yang paling banyak digunakan sebagai target operasional

adalah jenis suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) dengan tenor waktu jangka

pendek (overnight) (Pohan, 2008: 189).

Selain dipengaruhi kebijakan moneter, permintaan masyarakat dipengaruhi pula oleh

kebijakan fiskal (besarnya APBN). Hal ini dapat terjadi melalui pengeluaran pemerintah

baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan dalam APBN. Karena itu,

dalam mengendalikan laju inflasi dari sisi permintaan, bank sentral juga harus

memperhitungkan dampak fiskal terhadap kegiatan ekonomi dan inflasi.

Ini yang sering disebut koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dalam konteks

perumusan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro. Selain untuk

mengkoordinasikan langkah-langkah pengendalian terhadap sisi permintaan dari

(8)

mengantisipasi dan meminimalkan dampak perubahan kebijakan pemerintah di bidang

harga dan pendapatan terhadap inflasi (Warjiyo dan Solikin, 2003).

Pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal pada dasarnya tidak

terlepas dari terdapat perbedaan penekanan dalam pencapaian tujuan masing-masing

kebijakan. Tujuan utama kebijakan moneter lebih ditekankan pada stabilitas harga,

dengan dasar beberapa pertimbangan. Pertama, dengan output ditentukan kapasitas

ekonomi dalam jangka panjang, maka segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan

ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run Phillips Curve) sehingga tidak akan

memengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and Prescott, 1997). Kedua, rational

economic agent mengerti bahwa tindakan kejutan pembuat kebijakan dalam

mendorong pertumbuhan ekonomi yang mendorong inflasi dapat mendorong terjadinya

permasalahan time-consistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, kebijkan moneter

dalam memengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang dan mempunyai lag

(Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong terciptanya iklim

ekonomi yang lebih baik karena akan mengurangi biaya yang berasal dari inflasi

(Simorangkir, 2007).

Bagi Bank Indonesia yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang dipilih

bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan dan

pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan moneter ini ditentukan

secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun dalam formulasi kebijakannya Bank

Indonesia sudah mempertimbangkan aspek regional, namun respon agen dan dampak

pada masing-masing region tersebut sangat mungkin berbeda, dan ini sangat

bergantung pada kondisi empirik masing-masing daerah.

Pada sisi lain, pemerintah selaku otoritas fiskal juga memiliki tipikal pertimbangan yang

serupa, kecuali bahwa adanya pemisahan antara pemerintah pusat dan daerah akan

membuka kemungkinan variasi kebijakan fiskal yang berbeda antara daerah satu

dengan lainnya.

Pada dasarnya penelitian ini dilandasi kerangka pemikiran bahwa tujuan

pembangunan ekonomi di berbagai negara meliputi pertumbuhan ekonomi yang stabil,

kesempatan kerja, stabilitas harga dan keseimbangan pada neraca pembayaran

internasional. Dari dimensi regional, tujuan pembangunan nasional tidak jauh berbeda

dengan tujuan pembangunan ekonomi di tiap-tiap daerah, terlebih dalam era

desentralisasi fiskal seperti saat ini, terutama dalam hal menjaga stabilitas harga dan

pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut

(9)

9 kebijakan fiskal. Interaksi antara kedua kebijakan tersebut dalam memengaruhi tujuan

pembangunan di daerah merupakan fokus utama dalam penelitian ini. Berbagai studi

membuktikan bahwa ada keterkaitan antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal

regional dengan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi.(Asmanto dan Soebagyo, 2007).

Kerangka penelitian ini secara umum dapat dilihat dengan jelas dalam gambar berikut:

Metode Penelitian

Model yang Digunakan

Model persamaan yang akan diestimasi sebagai berikut :

Model Inflasi

INFLASIit= β0+ β1 PADit+ β2 DOTDA PADit+ β3 KREDITit

+ β4 DOTDA KREDITit + β5 BUNGAit + β6 DOTDA BUNGAit+ β7 DOTDAit + eit

...

Prosedur Pengambilan Data

Sesuai dengan metode analisis, penulis mengumpulkan data makroekonomi regional.

Penulis menggunakan data sekunder dan merupakan data panel (gabungan antara

data time-series dan cross section), dalam bentuk tahunan. Data time-series yang

digunakan dimulai dari periode tahun 1995 sampai 2005 (11 tahun). Sedangkan data

cross section – nya adalah 25 daerah tingkat dua di Jawa Barat, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat dan Bank Indonesia Bandung.

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data

panel.

a) Metode Data Panel

Model ini lebih tepat ketika ada potensi masalah interkorelasi diantara variabel-variabel

pada hasil penaksiran (Arif, 1992). Pada dasarnya ada tiga teknik untuk meregresi data

panel, yaitu: pendekatan OLS biasa (Pooled Least Square), pendekatan efek tetap

(Fixed Effect Model), dan pendekatan efek acak (Random Effect Model)(Baltagi, 2002;

Gujarati, 2003; Pindyck dan Rubinfeld, 1998). Diantara ketiga teknik tersebut,

pendekatan Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effects Model (REM) yang akan

digunakan untuk mengestimasi model penelitian pada penelitian ini. Namun

sebelumnya dilakukan uji Hausman terlebih dahulu untuk menentukan pendekatan

(10)

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian

b) Metode Dummy Variabel

Untuk tujuan mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam analisis

regresi. Dalam analisis awal, dua model tersebut di atas diaplikasikan dengan

memasukkan variabel dummy berupa kebijakan otonomi daerah. Hal ini dikarenakan

selama periode penelitian terdapat peristiwa penting tersebut, sehingga

memungkinkan adanya bias analisis jika hanya melakukan regresi tanpa membedakan

adanya perubahan kebijakan otonomi daerah.

HASIL ESTIMASI DAN PEMBAHASAN

Estimasi Model Perubahan Harga di Jawa Barat

Model inflasi dengan dummy otonomi daerah sebagai variabel intervening digunakan

sebagai proksi dari model perubahan harga di Jawa Barat, sebagai berikut:

INFLASIit = β0 + β1 PADit + β2 DOTDA PADit + β3 KREDITit

+ β4 DOTDA KREDITit + β5 BUNGAit + β6 DOTDA BUNGAit

+ β7 DOTDAit + eit

KEBIJAKAN EKONOMI

FISKAL

SUKU BUNGA MONETER

INFLASI

PENERIMAAN PENGELUARAN

A P B D

(11)

11 Di mana :

INFLASI it = inflasi di daerah i pada periode t

PADit = Pendapatan asli daerah i pada periode t

DOTDAPADit = Pendapatan asli daerah i pada periode t dengan

intervensi kebijakan otonomi daerah

KREDITit = Jumlah kredit daerah i pada periode t

DOTDAKREDITit = Jumlah kredit daerah i pada periode t dengan intervensi

kebijakan otonomi daerah

BUNGA = Suku bunga nominal deposito berjangka 3 bulan

DOTDABUNGA = Suku bunga deposito berjangka 3 bulan dengan intervensi kebijakan otonomi daerah

DOTDAit = Dummy otonomi daerah i pada periode t

Β0= … = β7 = Koefisien regresi

eit = Koefisien pengganggu

Hasil regresi menggunakan pendekatan Fixed Effect Model dengan metode

Generalized Least Square (GLS) disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2

Hasil Estimasi Model menggunakan Fixed Effect dengan metode GLS dengan Intervensi

Dummy Otonomi Daerah.

Variabel Koefisien t-Statistic Prob.

PAD 3.29E-09 3.250613 0.0013

DPAD -3.29E-09 -3.190296 0.0016

KREDIT -4.02E-09 -1.109747 0.2683

DKREDIT 5.52E-10 0.163364 0.8704

BUNGA 0.032856 34.73453 0.0000

DBUNGA -0.037278 -17.44049 0.0000

DOTDA 0.658530 16.71071 0.0000

Weighted Statistics

R-squared 0.856794 Mean dep. var 0.979106

Adj. R-squared 0.838355 S.D.dep.var 1.200262

SE.of regression 0.482566 Sum squared resid 5.425.874

F-statistic 232.3372 Durbin-Watson stat 2.296959

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.154668 Mean dep.var 0.176559

Adj.R-squared 0.045827 S.D.dep.var 0.587892

S.E.of regression 0.574263 Sum squared resid 7.683.831 Durbin Watson 1.245581

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, data diolah.

Berdasarkan tabel 2 tercermin bahwa variabel-variabel yang mempunyai pengaruh

positif dan signifikan terhadap inflasi adalah variabel PAD, suku bunga dan dummy

otonomi daerah dengan koefisiennya masing-masing adalah 3.29E-09, 0.032856, dan

(12)

terhadap inflasi adalah variabel PAD dengan intervensi dummy otonomi daerah dan

bunga dengan intervensi dummy otonomi daerah, yang masing-masing mempunyai

koefisien sebesar -3.29E-09, -0.037278. Sementara itu untuk variabel kredit, baik yang

dengan atau tanpa intervensi otonomi daerah, menunjukkan pengaruh yang tidak

signifikan.

Hasil pengujian terhadap estimasi model inflasi menggunakan Fixed Effects Model

dengan metode GLS menunjukkan bahwa PAD, DPAD, BUNGA, DBUNGA, dan

DOTDA berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di

Jawa Barat.

Pembahasan Hasil Estimasi Perubahan Harga Di Jawa Barat

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1995-2005, variabel PAD tanpa

intervensi dummy otonomi daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi

dengan koefisien estimasi sebesar 3.29E-09, berarti setiap terjadi kenaikan PAD

sebesar 1%, ceteris paribus akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 3.29E-09 %.

Hubungan yang positif antara PAD terhadap tingkat inflasi di Jawa Barat menunjukkan

bahwa kenaikan PAD menyebabkan kenaikan inflasi dari sisi permintaan (demand pull

inflation).

b. Pendapatan Asli Daerah PAD) dengan intervensi otonomi daerah

PAD dengan intervensi otonomi daerah menunjukkan hubungan negatif dan signifikan

terhadap inflasi. Koefisien estimasi DPAD terhadap inflasi sebesar -3,29E-09, yang

artinya bahwa apabila terjadi kenaikan PAD sebesar 1 % yang diintervensi oleh

kebijakan otonomi daerah akan menyebabkan turunnya inflasi sebesar 3,29E-09 %.

Dengan adanya kebijakan otonomi daerah menyebabkan daerah-daerah lebih

menggali potensi daerahnya melalui peningkatan pemungutan pajak dan retribusi

daerah. Peningkatan pajak dan retribusi ini direspon oleh naiknya inflasi di

daerah-daerah penelitian.

c. Bunga

Suku bunga nominal deposito berjangka 3 bulan berpengaruh positif dan signifikan

terhadap tingkat inflasi di kabupaten/kota di Jawa Barat. Koefisien estimasi dari suku

bunga adalah sebesar 0.032856, artinya setiap kenaikan sebesar 1% dari tingkat

bunga deposito ceteris paribus akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0.032856

%. Kenaikan tingkat bunga deposito menyebabkan meningkatnya jumlah dana pihak

(13)

13 perbankan membawa pengaruh pada jumlah uang beredar di wilayah Jawa Barat yang

pada akhirnya juga berimplikasi pada laju inflasi yang terjadi di Jawa Barat.

d. Bunga dengan intervensi otonomi daerah

Tingkat bunga deposito berjangka berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

perubahan harga di Jawa Barat dengan koefisien estimasi sebesar -0.037278. Ini

artinya bahwa setiap kenaikan 1% dari tingkat bunga yang diintervensi oleh kebijakan

otonomi daerah akan menyebabkan turunnya tingkat inflasi sebesar 0.037278 %.

Naiknya tingkat bunga deposito direspon dengan turunnya tingkat inflasi dari sisi

permintaan.

e. Dummy Otonomi Daerah

Dummy otonomi daerah sebagai variabel bebas yang memengaruhi inflasi mempunyai

hubungan positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah

sangat berpengaruh dalam mengendalikan inflasi. Kebijakan fiskal regional yang terlalu

ekspansif akan meningkatkan inflasi daerah.

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dalam bab empat diperoleh beberapa

simpulan berikut :

1. Variabel-variabel sisi fiskal maupun sisi moneter mempunyai pengaruh positif

dan signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat

periode tahun 1995-2005.

2. Sisi fiskal maupun sisi moneter kedua-duanya memengaruhi perubahan harga

di daerah Jawa Barat periode tahun 1995-2005.

Saran

Setelah melakukan tahapan analisis, maka dapatlah diberikan saran yang berkaitan

dengan implikasi kebijakan, diantaranya tujuan stabilitas harga yang berkelanjutan di

daerah dapat tercapai apabila ada keselarasan antara kebijakan dari sisi fiskal maupun

sisi moneter baik ditingkat regional maupun nasional. Kebijakan pembangunan oleh

pemerintah daerah memerlukan koordinasi dengan kebijakan yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia. Otoritas moneter dapat menggunakan instrumen suku bunga dalam

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Lutfi. 2004. Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU No.34/2000 oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah : Suatu Studi di Kota Bogor.

Agus Widarjono. 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia FE UII.

Armida S. Alisjahbana. 2000. Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah Jawa Barat. Bandung: Seminar dan Lokakarya Desentralisasi Fiskal di Indonesia. 29 Juni 2000.

Aulia Pohan. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Badan Pusat Statistik. Jawa Barat Dalam Angka. Berbagai Edisi. Bandung : BPS.

Gujarati Damodar N.. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: McGRAW-HILL.

Iskandar Simorangkir. 2007. Koordinasi Kebijakan Moneter Dan Fiskal Di Indonesia: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Game Theory. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan. Januari. 2007.

M. Ismail. 2002. Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah. Malang: FE Unibraw.

Martinez, McNab. 2001.Cross Country Evidence On The Relationship Between Fiscal Decentralization,Inflation,AndGrowth.Diakses 5 Januari 2008 pada Word Wide Web: http//www.nps.navy.mil/mcnab/papers/martinez-vazquez.

Mohammad Khusaini. 2006. Ekonomi Publik:Desentralisasi Fiskal Dan Pembangunan Daerah. Malang: BPFE Unibraw.

Perry Warjiyo dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Seri Kebanksentralan no.6. Bank Indonesia.

Priadi Asmanto dan Soebagyo. 2007. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Dan Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Stabilitas Harga Dan Pertumbuhan Ekonomi Regional Di Jawa Timur. Buletin Ekonomi Dan Perbankan. April. 2007.

(15)

Gambar

TABEL 1 Kontribusi PAD/APBD Kabupaten/Kota Jawa Barat, 1997/98 dan 1998/99
Gambar 2  Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

 "eck    yang terlalu miring akan mempengaruhi ke!epatan aliran air dan bila ke!epatan aliran air tersebut akan terlalu !epat maka partikel ringan

WN204.. Aspek-aspek yang diamati pada aktivitas guru dalam pembelajaran model PPKK pada tahap 1 pembukaan : 1) mempersiapkan dan memotivasi siswa untuk belajar,

Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga,

Pentingnya penelitian ini adalah untuk mengembangkan bahan ajar terintegrasi keislaman berupa e-Book 3D yang menghasilkan media pembelajaran menggunakan software 3D

Tetapi kita jangan lupa bahawa disebalik setiap Candlestick ADAnya transaksi disebaliknya..Adanya CERITA yang telah berlaku dan akan memberi C LUE kepada kita utk memasuki pasaran2.

Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan hasil pengukuran variabel yang diukur yaitu perbedaan hasil belajar siswa pada pembelajaran

Postural drainase, perkusi dan vibrasi adalah cara yang paling sering dipergunakan sendiri atau bersama-sama dan dapat dilakukan pada semua usia.. Gambar

Nanokristalin selulosa atau sering disebut sebagai mikrokristal, whiskers, nanokristal, nanopartikel, microrystalite , atau nanofibers , memiliki banyak kelebihan, seperti dimensi