Vol. 1, No. 1, Mei 2009, 1 -15
1
ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MONETER
TERHADAP PERUBAHAN HARGA DI JAWA BARAT
( 1995
–
2005)
Fifi Afiyanti Tripuspitorini
Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sisi fiskal maupun dari sisi moneter terhadap perubahan harga di Jawa Barat selama kurun waktu tahun 1995-2005 dan menggunakan data panel dengan metode deskriptif dan kuantitatif. Teknik analisa menggunakan Fixed Effect Model dengan data cross section terdiri dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat, sedangkan data time series adalah data tahunan selama kurun waktu 11 tahun dari tahun 1995-2005, dengan menyertakan variabel dummy kebijakan otonomi daerah sebagai variabel bebas dan sebagai variabel intervening. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa sisi fiskal maupun sisi moneter mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat, artinya apabila variabel-variabel sisi fiskal maupun sisi moneter mengalami perubahan, maka akan terjadi juga perubahan harga di Jawa Barat.
Kata kunci : fiskal, moneter, panel data, inflasi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dipicu dengan adanya krisis moneter dan transisi politik, sejak 1 Januari 2001,
Indonesia menerapkan desentralisasi ( otonomi daerah ) yang didasarkan pada
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang ”Pemerintah Daerah” dan Undang
-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang ”Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”(UU-PKPD). Sejauh menyangkut hubungan keuangan pusat-daerah, konsep otonomi yang ditawarkan dari sisi fiskal melalui UU-PKPD lebih tepat dikategorikan
sebagai desentralisasi ”pengeluaran” pemerintah daerah. Jenis maupun mekanisme
sumber-sumber penerimaan daerah masih sepenuhnya ditentukan Pusat. Perbedaan
pokok terletak pada kewenangan dalam penggunaannya yang akan sepenuhnya
diberikan ke daerah.
Kondisi fiskal daerah dengan mengambil potret Kabupaten/Kota di Jawa Barat,
menjelang implementasi otonomi daerah tahun 1998/1999 ditandai oleh peran PAD
terhadap APBD yang umumnya rendah, dan ketergantungan pada transfer pusat yang
rata-rata rendah, berkisar dari 4.86 persen (Kabupaten Indramayu) sampai dengan
32.26 persen (Kota Bandung) menurut data 1998/1999.
TABEL 1
Kontribusi PAD/APBD Kabupaten/Kota Jawa Barat, 1997/98 dan 1998/99
No. Kabupaten/Kota Kontribusi PAD/APBD (%)
1997/98 1998/99
Sumber : Diolah dari BPS, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Tingkat II, 1997/98-1998/99.
Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di tahun 1998/99 mengalami
penurunan untuk semua Kabupaten/Kota dibandingkan dengan tahun1997/98. Secara
riil, nilai PAD tahun 1998/99 dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya
mengalami penurunan di hampir semua Kabupaten/Kota (Alisjahbana, 2000).
Diimplementasikannya kebijakan fiskal sejalan dengan diberikannya otonomi yang
lebih luas kepada daerah kabupaten dan daerah kota, telah membuka peluang bagi
para pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan asli daerahnya. Salah satu
upaya yang ditempuh adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal dari perolehan
pajak daerah dan retribusi daerah (Lutfi, 2002).
Adanya hasrat pemerintah yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan
adanya suatu kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih didorong oleh tingkat
konsumsi masyarakat memberikan tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia dalam
menjaga kestabilan harga dan pencapaian target inflasi yang ditetapkan.
Peran Bank Indonesia dalam konteks pengelolaan perekonomian secara makro lebih
difokuskan pada menjaga kestabilan harga. Sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tugas Bank Indonesia telah
3 didasari pada pemahaman bahwa kestabilan harga melalui upaya menjaga inflasi pada
tingkat yang rendah adalah merupakan pijakan menuju kesinambungan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang.
Pandangan mengenai inflasi, selalu identik dengan inflasi dalam konteks nasional.
Namun pada kenyataannya inflasi di tiap kota dalam satu negara, bahkan dalam satu
propinsi sekali pun sering kali mengalami perbedaan. Isu penting yang berkaitan
dengan inflasi pada tingkat regional pada saat ini adalah otonomi daerah.
Pada era otonomi daerah seperti saat ini, tugas Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter menjadi semakin berat. Undang-undang mengenai otonomi daerah, memiliki
implikasi bahwa pemerintah kabupaten maupun kota mempunyai andil besar dalam
mengatur perekonomian daerahnya sendiri. Dengan demikian, kondisi perekonomian
daerah akan sangat beragam dan tergantung pada potensi ekonomi masing-masing
daerah beserta cara pengelolaannya. Hal ini juga berimplikasi pada
kebijakan-kebijakan di tiap-tiap daerah yang dalam hal ini adalah kebijakan-kebijakan fiskal, dikarenakan
pemberlakuan desentralisasi fiskal sesuai dengan konsep otonomi daerah. (Asmanto
dan Soebagyo, 2007).
Dari sisi otoritas moneter, terjadinya mekanisme transfer keuangan pusat-daerah
berpotensi menimbulkan permasalahan dalam operasi pengendalian moneter.
Terjadinya desentralisasi fiskal berpotensi menimbulkan resiko perubahan perilaku
pengendalian fiskal di daerah-daerah. Jika pemerintah daerah mengalokasikan
dananya untuk memperkuat fondasi perekonomian daerah maka akan berdampak
positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika dana transfer tersebut dialokasikan
untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktif, spekulatif dan konsumtif yang dapat
menimbulkan iddle money maka akan berdampak terhadap pengendalian moneter
(Ismail, 2002). Hasil ini mendukung temuan sebelumnya di China bahwa desentralisasi
ekonomi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi bersifat inflationary (Brandt
dan Zhu, 2000).
Pergerakan harga barang di Indonesia sangat ditentukan oleh pergerakan harga di
daerah, karena 72,34% inflasi nasional (45 kota) disumbang oleh inflasi daerah di luar
Jakarta. Inflasi di Jawa Barat (gabungan tiga kota: Bandung, Cirebon, Tasikmalaya)
membentuk 8,33% inflasi nasional. Di antara tiga kota tersebut, inflasi kota Bandung
paling besar pengaruhnya terhadap inflasi di Jawa Barat, yakni sebesar 81,15%.
Pendorong utama inflasi di Jawa Barat banyak dipengaruhi oleh sisi penawaran,
khususnya masalah distribusi dan tata niaga barang, di samping faktor administered
infrastruktur baik jalan raya, maupun sarana pendukung seperti ketersediaan pasar
induk di suatu daerah. Misalnya, laju inflasi di kota Banjar, Tasikmalaya, dan Sukabumi
(jalan rayanya tidak begitu baik) relatif lebih tinggi dibandingkan kota Bandung, Bogor,
dan Bekasi. Hal lain adalah, respon terhadap kenaikan dan penurunan harga di
kota-kota yang memiliki infrastruktur yang relatif lebih baik seperti Bandung, Bogor relatif
lebih cepat merespon perubahan harga.
Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan laju
inflasi di kabupaten/kota di Jawa Barat, pada masa sebelum otonomi daerah dan
selama berlangsungmya otonomi daerah. Hal ini penting karena laju inflasi merupakan
indikator penting di sektor riil dan merupakan salah satu dari beberapa tujuan
pembangunan yang tidak terlepas dari perubahan yang terjadi di daerah, sedangkan
desentralisasi fiskal adalah variabel yang memungkinkan terjadinya fluktuasi-fluktuasi
ekonomi
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah variabel-variabel kebijakan sisi fiskal dan sisi moneter memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa
Barat ?
2. Faktor apakah yang paling dominan memengaruhi perubahan harga di
kabupaten/kota di Jawa Barat.
TEORI
Tinjauan Teoritis Sisi Fiskal
Desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan di bidang fiskal (penerimaan dan
pengeluaran) dari level pemerintah yang lebih tinggi ke level pemerintah yang lebih
rendah. Di beberapa negara, pelimpahan kewenangan fiskal berasal dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah lokal
(kabupaten / kota). Dalam membahas mengenai indikator desentralisasi fiskal, terdapat
tiga variabel yang merupakan representasidesentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiga
variabel tersebut adalah :
Desentralisasi Pengeluaran
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing
5 menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat.
Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan
masing-masing kabupaten / kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan
nasional (APBN). Variabel ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran pemerintah
dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah.
Desentralisasi Penerimaan
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing- masing
kabupaten / kota (APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan
pemerintah. Variabel ini mengekspresikan besaran relatif antara pendapatan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat (Khusaini, 2006:99).
Tinjauan Teoritis Sisi Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam
bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan
perekonomian yang diinginkan. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian
yang diinginkan tersebut adalah stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya
perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan /
kesempatan kerja yang tersedia. (Warjiyo dan Solikin, 2003:2).
Ada beberapa pendapat yang menyoroti sejauh mana efektivitas kebijakan moneter
dalam memengaruhi tingkat pendapatan / kesempatan kerja dan variabel-variabel
ekonomi makro lainnya, di antaranya dikenal pendapat Natural Rate Hypothesis dan
Rational Expectation Hypothesis.
Menurut Natural Rate Hypothesis, efektivitas ekspansi moneter hanya efektif dalam
jangka pendek. Dalam jangka panjang, kegiatan produksi dan kesempatan kerja yang
semula meningkat dan meluas akan kembali menurun ke tingkat semula. Hal ini
disebabkan dalam jangka panjang masyarakat mulai sadar bahwa upah riil yang
diterima sebenarnya mengalami penurunan karena kenaikan upah nominal lebih kecil
dibandingkan dengan kenaikan harga-harga.
Menurut Rational Expectation Hypothesis, ekspansi moneter tidak efektif, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, karena masyarakat menyadari bahwa
walaupun secara nominal upah meningkat, secara riil upah tidak mengalami kenaikan.
Apabila upah riil tidak berubah, masyarakat tidak bersedia meningkatkan penawaran
produksi / kesempatan kerja, tetapi justru hanya mengakibatkan inflasi. Produsen juga
sadar bahwa kenaikan harga barang-barang produksi tidak akan memberikan suatu
keuntungan tambahan karena ongkos-ongkos produksi, terutama tenaga kerja juga
mengalami kenaikan yang sama besar.
Tinjauan Teoritis Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi
permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya
cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar
negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi
yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat
bencana alam dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab terjadinya demand pull
inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya.
Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi
output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar daripada
kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau
forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen
dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan dan
penentuan upah minimum regional UMR) (Bank Indonesia, 2007).
Kerangka Pemikiran
Secara teoritis, pengertian inflasi merujuk pada perubahan tingkat harga (barang dan
jasa) umum yang terjadi secara terus menerus. Data mengenai perkembangan harga
dapat didasarkan pada cakupan barang dan jasa sebagai komponen pembentuk PDB
(deflator PDB), cakupan barang dan jasa yang diperdagangkan antara produsen
dengan pedagang besar (Indeks Harga Perdagangan Besar / IHPB), ataupun cakupan
barang dan jasa yang dijual secara eceran dan dikonsumsi oleh sebagian besar
masyarakat (Indeks Harga Konsumen / IHK).
Sesuai dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran laju inflasi
ditetapkan oleh Bank Indonesia atas dasar tahun kalender dengan memperhatikan
perkembangan dan prospek ekonomi makro. Untuk itu, sejak tahun 2000 Bank
Indonesia menetapkan sasaran inflasi pada awal tahun yang akan dicapainya untuk
tahun yang bersangkutan (Warjiyo dan Solikin, 2003). Berdasarkan sasaran inflasi
tersebut dan asumsi pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia menetapkan target base
money tahunan yang kemudian dijabarkan secara bulanan. Secara operasional, target
7 terutama dilakukan melalui lelang SBI. Suku bunga SBI terbentuk melalui mekanisme
lelang dengan dasar Stop-Out Rate (SOR) dan suku bunga yang terjadi dihitung
berdasarkan rata-rata tertimbang pemenang lelang.
Penelitian yang dilakukan Paul D. McNelis (1999), antara lain menguraikan tentang
arah kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap inflasi, prosedur operasional
kebijakan moneter, dan metode untuk melakukan proyeksi inflasi. Kesimpulan penting
penelitian McNelis ini adalah bahwa stance kebijakan moneter BI pada dasarnya dapat
dikelompokkan sebagai kebijakan moneter yang anti-inflationary bias. Pengujian
statistik menunjukkan bahwa pergerakan suku bunga seolah-olah merespons
perubahan ekspektasi inflasi dan tekanan permintaan. Selain itu, penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa instrumen kebijakan moneter yang lebih tepat digunakan adalah
suku bunga SBI satu bulan daripada menggunakan base money. Argumen penting
yang mendasari perubahan instrumen moneter menjadi suku bunga adalah
kemudahan suku bunga dalam menyampaikan pesan mengenai arah kebijakan
moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
Studi empiris di banyak negara menunjukkan bahwa jalur agregat moneter semakin
tidak efektif dalam memengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Tidak
stabilnya money multiplier dan income velocity sebagai akibat dari makin
berkembangnya financial inovation dan terintegrasi pasar keuangan merupakan
beberapa alasan yang mendasari tidak efektifnya jalur agregat moneter. Oleh karena
itu sebagian besar negara (negara industri dan negara berkembang) mulai
mendasarkan prosedur operasional kebijakan moneter mereka pada jalur transmisi
suku bunga. Suku bunga yang paling banyak digunakan sebagai target operasional
adalah jenis suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) dengan tenor waktu jangka
pendek (overnight) (Pohan, 2008: 189).
Selain dipengaruhi kebijakan moneter, permintaan masyarakat dipengaruhi pula oleh
kebijakan fiskal (besarnya APBN). Hal ini dapat terjadi melalui pengeluaran pemerintah
baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan dalam APBN. Karena itu,
dalam mengendalikan laju inflasi dari sisi permintaan, bank sentral juga harus
memperhitungkan dampak fiskal terhadap kegiatan ekonomi dan inflasi.
Ini yang sering disebut koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dalam konteks
perumusan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro. Selain untuk
mengkoordinasikan langkah-langkah pengendalian terhadap sisi permintaan dari
mengantisipasi dan meminimalkan dampak perubahan kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan terhadap inflasi (Warjiyo dan Solikin, 2003).
Pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal pada dasarnya tidak
terlepas dari terdapat perbedaan penekanan dalam pencapaian tujuan masing-masing
kebijakan. Tujuan utama kebijakan moneter lebih ditekankan pada stabilitas harga,
dengan dasar beberapa pertimbangan. Pertama, dengan output ditentukan kapasitas
ekonomi dalam jangka panjang, maka segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan
ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run Phillips Curve) sehingga tidak akan
memengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and Prescott, 1997). Kedua, rational
economic agent mengerti bahwa tindakan kejutan pembuat kebijakan dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi yang mendorong inflasi dapat mendorong terjadinya
permasalahan time-consistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, kebijkan moneter
dalam memengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang dan mempunyai lag
(Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong terciptanya iklim
ekonomi yang lebih baik karena akan mengurangi biaya yang berasal dari inflasi
(Simorangkir, 2007).
Bagi Bank Indonesia yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang dipilih
bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan dan
pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan moneter ini ditentukan
secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun dalam formulasi kebijakannya Bank
Indonesia sudah mempertimbangkan aspek regional, namun respon agen dan dampak
pada masing-masing region tersebut sangat mungkin berbeda, dan ini sangat
bergantung pada kondisi empirik masing-masing daerah.
Pada sisi lain, pemerintah selaku otoritas fiskal juga memiliki tipikal pertimbangan yang
serupa, kecuali bahwa adanya pemisahan antara pemerintah pusat dan daerah akan
membuka kemungkinan variasi kebijakan fiskal yang berbeda antara daerah satu
dengan lainnya.
Pada dasarnya penelitian ini dilandasi kerangka pemikiran bahwa tujuan
pembangunan ekonomi di berbagai negara meliputi pertumbuhan ekonomi yang stabil,
kesempatan kerja, stabilitas harga dan keseimbangan pada neraca pembayaran
internasional. Dari dimensi regional, tujuan pembangunan nasional tidak jauh berbeda
dengan tujuan pembangunan ekonomi di tiap-tiap daerah, terlebih dalam era
desentralisasi fiskal seperti saat ini, terutama dalam hal menjaga stabilitas harga dan
pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut
9 kebijakan fiskal. Interaksi antara kedua kebijakan tersebut dalam memengaruhi tujuan
pembangunan di daerah merupakan fokus utama dalam penelitian ini. Berbagai studi
membuktikan bahwa ada keterkaitan antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
regional dengan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi.(Asmanto dan Soebagyo, 2007).
Kerangka penelitian ini secara umum dapat dilihat dengan jelas dalam gambar berikut:
Metode Penelitian
Model yang Digunakan
Model persamaan yang akan diestimasi sebagai berikut :
Model Inflasi
INFLASIit= β0+ β1 PADit+ β2 DOTDA PADit+ β3 KREDITit
+ β4 DOTDA KREDITit + β5 BUNGAit + β6 DOTDA BUNGAit+ β7 DOTDAit + eit
...
Prosedur Pengambilan Data
Sesuai dengan metode analisis, penulis mengumpulkan data makroekonomi regional.
Penulis menggunakan data sekunder dan merupakan data panel (gabungan antara
data time-series dan cross section), dalam bentuk tahunan. Data time-series yang
digunakan dimulai dari periode tahun 1995 sampai 2005 (11 tahun). Sedangkan data
cross section – nya adalah 25 daerah tingkat dua di Jawa Barat, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat dan Bank Indonesia Bandung.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data
panel.
a) Metode Data Panel
Model ini lebih tepat ketika ada potensi masalah interkorelasi diantara variabel-variabel
pada hasil penaksiran (Arif, 1992). Pada dasarnya ada tiga teknik untuk meregresi data
panel, yaitu: pendekatan OLS biasa (Pooled Least Square), pendekatan efek tetap
(Fixed Effect Model), dan pendekatan efek acak (Random Effect Model)(Baltagi, 2002;
Gujarati, 2003; Pindyck dan Rubinfeld, 1998). Diantara ketiga teknik tersebut,
pendekatan Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effects Model (REM) yang akan
digunakan untuk mengestimasi model penelitian pada penelitian ini. Namun
sebelumnya dilakukan uji Hausman terlebih dahulu untuk menentukan pendekatan
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
b) Metode Dummy Variabel
Untuk tujuan mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam analisis
regresi. Dalam analisis awal, dua model tersebut di atas diaplikasikan dengan
memasukkan variabel dummy berupa kebijakan otonomi daerah. Hal ini dikarenakan
selama periode penelitian terdapat peristiwa penting tersebut, sehingga
memungkinkan adanya bias analisis jika hanya melakukan regresi tanpa membedakan
adanya perubahan kebijakan otonomi daerah.
HASIL ESTIMASI DAN PEMBAHASAN
Estimasi Model Perubahan Harga di Jawa Barat
Model inflasi dengan dummy otonomi daerah sebagai variabel intervening digunakan
sebagai proksi dari model perubahan harga di Jawa Barat, sebagai berikut:
INFLASIit = β0 + β1 PADit + β2 DOTDA PADit + β3 KREDITit
+ β4 DOTDA KREDITit + β5 BUNGAit + β6 DOTDA BUNGAit
+ β7 DOTDAit + eit
KEBIJAKAN EKONOMI
FISKAL
SUKU BUNGA MONETER
INFLASI
PENERIMAAN PENGELUARAN
A P B D
11 Di mana :
INFLASI it = inflasi di daerah i pada periode t
PADit = Pendapatan asli daerah i pada periode t
DOTDAPADit = Pendapatan asli daerah i pada periode t dengan
intervensi kebijakan otonomi daerah
KREDITit = Jumlah kredit daerah i pada periode t
DOTDAKREDITit = Jumlah kredit daerah i pada periode t dengan intervensi
kebijakan otonomi daerah
BUNGA = Suku bunga nominal deposito berjangka 3 bulan
DOTDABUNGA = Suku bunga deposito berjangka 3 bulan dengan intervensi kebijakan otonomi daerah
DOTDAit = Dummy otonomi daerah i pada periode t
Β0= … = β7 = Koefisien regresi
eit = Koefisien pengganggu
Hasil regresi menggunakan pendekatan Fixed Effect Model dengan metode
Generalized Least Square (GLS) disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2
Hasil Estimasi Model menggunakan Fixed Effect dengan metode GLS dengan Intervensi
Dummy Otonomi Daerah.
Variabel Koefisien t-Statistic Prob.
PAD 3.29E-09 3.250613 0.0013
DPAD -3.29E-09 -3.190296 0.0016
KREDIT -4.02E-09 -1.109747 0.2683
DKREDIT 5.52E-10 0.163364 0.8704
BUNGA 0.032856 34.73453 0.0000
DBUNGA -0.037278 -17.44049 0.0000
DOTDA 0.658530 16.71071 0.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.856794 Mean dep. var 0.979106
Adj. R-squared 0.838355 S.D.dep.var 1.200262
SE.of regression 0.482566 Sum squared resid 5.425.874
F-statistic 232.3372 Durbin-Watson stat 2.296959
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.154668 Mean dep.var 0.176559
Adj.R-squared 0.045827 S.D.dep.var 0.587892
S.E.of regression 0.574263 Sum squared resid 7.683.831 Durbin Watson 1.245581
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, data diolah.
Berdasarkan tabel 2 tercermin bahwa variabel-variabel yang mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap inflasi adalah variabel PAD, suku bunga dan dummy
otonomi daerah dengan koefisiennya masing-masing adalah 3.29E-09, 0.032856, dan
terhadap inflasi adalah variabel PAD dengan intervensi dummy otonomi daerah dan
bunga dengan intervensi dummy otonomi daerah, yang masing-masing mempunyai
koefisien sebesar -3.29E-09, -0.037278. Sementara itu untuk variabel kredit, baik yang
dengan atau tanpa intervensi otonomi daerah, menunjukkan pengaruh yang tidak
signifikan.
Hasil pengujian terhadap estimasi model inflasi menggunakan Fixed Effects Model
dengan metode GLS menunjukkan bahwa PAD, DPAD, BUNGA, DBUNGA, dan
DOTDA berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di
Jawa Barat.
Pembahasan Hasil Estimasi Perubahan Harga Di Jawa Barat
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1995-2005, variabel PAD tanpa
intervensi dummy otonomi daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi
dengan koefisien estimasi sebesar 3.29E-09, berarti setiap terjadi kenaikan PAD
sebesar 1%, ceteris paribus akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 3.29E-09 %.
Hubungan yang positif antara PAD terhadap tingkat inflasi di Jawa Barat menunjukkan
bahwa kenaikan PAD menyebabkan kenaikan inflasi dari sisi permintaan (demand pull
inflation).
b. Pendapatan Asli Daerah PAD) dengan intervensi otonomi daerah
PAD dengan intervensi otonomi daerah menunjukkan hubungan negatif dan signifikan
terhadap inflasi. Koefisien estimasi DPAD terhadap inflasi sebesar -3,29E-09, yang
artinya bahwa apabila terjadi kenaikan PAD sebesar 1 % yang diintervensi oleh
kebijakan otonomi daerah akan menyebabkan turunnya inflasi sebesar 3,29E-09 %.
Dengan adanya kebijakan otonomi daerah menyebabkan daerah-daerah lebih
menggali potensi daerahnya melalui peningkatan pemungutan pajak dan retribusi
daerah. Peningkatan pajak dan retribusi ini direspon oleh naiknya inflasi di
daerah-daerah penelitian.
c. Bunga
Suku bunga nominal deposito berjangka 3 bulan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap tingkat inflasi di kabupaten/kota di Jawa Barat. Koefisien estimasi dari suku
bunga adalah sebesar 0.032856, artinya setiap kenaikan sebesar 1% dari tingkat
bunga deposito ceteris paribus akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0.032856
%. Kenaikan tingkat bunga deposito menyebabkan meningkatnya jumlah dana pihak
13 perbankan membawa pengaruh pada jumlah uang beredar di wilayah Jawa Barat yang
pada akhirnya juga berimplikasi pada laju inflasi yang terjadi di Jawa Barat.
d. Bunga dengan intervensi otonomi daerah
Tingkat bunga deposito berjangka berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
perubahan harga di Jawa Barat dengan koefisien estimasi sebesar -0.037278. Ini
artinya bahwa setiap kenaikan 1% dari tingkat bunga yang diintervensi oleh kebijakan
otonomi daerah akan menyebabkan turunnya tingkat inflasi sebesar 0.037278 %.
Naiknya tingkat bunga deposito direspon dengan turunnya tingkat inflasi dari sisi
permintaan.
e. Dummy Otonomi Daerah
Dummy otonomi daerah sebagai variabel bebas yang memengaruhi inflasi mempunyai
hubungan positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah
sangat berpengaruh dalam mengendalikan inflasi. Kebijakan fiskal regional yang terlalu
ekspansif akan meningkatkan inflasi daerah.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dalam bab empat diperoleh beberapa
simpulan berikut :
1. Variabel-variabel sisi fiskal maupun sisi moneter mempunyai pengaruh positif
dan signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat
periode tahun 1995-2005.
2. Sisi fiskal maupun sisi moneter kedua-duanya memengaruhi perubahan harga
di daerah Jawa Barat periode tahun 1995-2005.
Saran
Setelah melakukan tahapan analisis, maka dapatlah diberikan saran yang berkaitan
dengan implikasi kebijakan, diantaranya tujuan stabilitas harga yang berkelanjutan di
daerah dapat tercapai apabila ada keselarasan antara kebijakan dari sisi fiskal maupun
sisi moneter baik ditingkat regional maupun nasional. Kebijakan pembangunan oleh
pemerintah daerah memerlukan koordinasi dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia. Otoritas moneter dapat menggunakan instrumen suku bunga dalam
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Lutfi. 2004. Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU No.34/2000 oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah : Suatu Studi di Kota Bogor.
Agus Widarjono. 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia FE UII.
Armida S. Alisjahbana. 2000. Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah Jawa Barat. Bandung: Seminar dan Lokakarya Desentralisasi Fiskal di Indonesia. 29 Juni 2000.
Aulia Pohan. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Badan Pusat Statistik. Jawa Barat Dalam Angka. Berbagai Edisi. Bandung : BPS.
Gujarati Damodar N.. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: McGRAW-HILL.
Iskandar Simorangkir. 2007. Koordinasi Kebijakan Moneter Dan Fiskal Di Indonesia: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Game Theory. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan. Januari. 2007.
M. Ismail. 2002. Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah. Malang: FE Unibraw.
Martinez, McNab. 2001.Cross Country Evidence On The Relationship Between Fiscal Decentralization,Inflation,AndGrowth.Diakses 5 Januari 2008 pada Word Wide Web: http//www.nps.navy.mil/mcnab/papers/martinez-vazquez.
Mohammad Khusaini. 2006. Ekonomi Publik:Desentralisasi Fiskal Dan Pembangunan Daerah. Malang: BPFE Unibraw.
Perry Warjiyo dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Seri Kebanksentralan no.6. Bank Indonesia.
Priadi Asmanto dan Soebagyo. 2007. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Dan Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Stabilitas Harga Dan Pertumbuhan Ekonomi Regional Di Jawa Timur. Buletin Ekonomi Dan Perbankan. April. 2007.