BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara yang maju adalah negara yang memberikan perhatian serius
terhadap anak, sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Anak adalah
karunia Tuhan yang harus dihargai dengan melindungi dan membimbing mereka
menjadi pribadi yang mengagumkan. Namun dalam kenyataannya, perhatian
terhadap anak seringkali terabaikan oleh orang dewasa, dianggap sepele atau
sebelah mata karena yang dihadapi hanya seorang anak kecil. Padahal sebenarnya,
perhatian terhadap anak sejak dini sangat mempengaruhi masa depannya kelak.
Dalam proses pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang kita
jumpai adanya penyimpangan sikap perilaku di kalangan anak yang sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih
labil. Bahkan lebih jauh lagi, terdapat anak yang melanggar hukum yang
melakukan tindak pidana yang merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri.
Perilaku buruk anak juga bisa jadi merupakan cerminan kelalaian serta
ketidakmampuan orang dewasa dalam mendidik anak. Hal tersebut tentunya harus
mendorong kita untuk lebih banyak memberikan perhatian akan penanggulangan
serta penanganan atas masalah perilaku buruk anak. Anak-anak nakal perlu
ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena mereka tidak mungkin
diperlakukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian terhadap anakpun dari hari ke
hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan terhadap hak anak yang
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Meskipun dalam implementasinya masih
memiliki banyak kelemahan, namun kehadiran UU ini merupakan suatu langkah
maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam Peradilan Anak di Indonesia.
Ide tentang lahirnya Peradilan Anak di Indonesia sendiri sudah ada sejak
tahun 1970, seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian
dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Kehakiman RI. No.: M.06-UM.01 Tahun
1983 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 17 November 1987 No.:
MA/KUMDIL/10348/XI/87. Untuk merealisir lahirnya Undang-Undang Peradilan
Anak, maka pada tanggal 10 November 1995 pemerintah dengan Amanat
Presiden No.: R.12/PU/XII/1995 mengajukan Rancangan Undang-Undang
Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat pembahasan
dan persetujuannya. Malahan dalam RUU Peradilan Anak ini tadinya ada rencana
untuk mengatur Hukum Anak pada umumnya, mulai dari : Sidang Anak Nakal,
Sidang Anak Terlantar, Sidang Perkara Perwalian dan Perkara Anak Sipil. Akan
tetapi, hal ini kemudian berubah menjadi UU Pengadilan Anak yang hanya
mengatur tentang sidang Anak Nakal saja. Ini sangat disayangkan, sebab
masalah-masalah tersebut masih hidup dalam praktek hukum negara kita.1
“Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, Perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum ini juga
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 :
1
anak yang berhadapan dengan hukum
Berbicara mengenai Hakim Anak, maka tidak dapat dilepaskan dari
peranan hakim pada umumnya. Hakim mempunyai peranan yang sangat penting
dalam menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat, terlebih
lagi menyangkut putusan yang dijatuhkannya yang akan mempunyai akibat begitu
besar terhadap kepentingan publik khususnya terhadap pihak yang berperkara atau
terkena perkara. Begitu banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim
dalam menjatuhkan putusan. Putusan tersebut harus memperhatikan tujuan
pemidanaan, dimana agar orang yang telah dipidana menjadi seorang yang baik
dan dapat kembali serta diterima di tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang
hakim keliru dalam menentukan suatu putusan maka keadilan hukum yang
diharapkan oleh masyarakat justu berbalik menjadi ketidakadilan. Yang lebih
memprihatinkan, ternyata hal ini terjadi pada praktik peradilan di negara kita.
Menurut Bagir Manan, usaha menghadapi sulitnya akses publik atas putusan
hakim dapat terjadi karena hakim menyadari putusannya dibuat asal-asalan, tidak
bermutu, sehingga ada rasa takut atau rendah diri kalau menjadi wacana publik. , anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol, psikotropika, zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
Pada proses Persidangan Anak terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang
berbeda dengan layaknya persidangan biasa bagi orang dewasa, dalam rangka
menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak. Hakim, Jaksa Penuntut Umum,
Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga
Putusan hakim itu bisa asal-asalan karena tidak mengetahui, meskipun mestinya
hal itu seharusnya tidak terjadi karena Majelis Hakim berjumlah tiga orang. Akan
tetapi, yang lebih berbahaya adalah putusan itu asal-asalan karena hakim
kehilangan independensinya.2
Demikian halnya dengan hakim anak, ternyata mempunyai tanggung
jawab yang lebih besar karena disamping tugasnya sebagai hakim biasa juga
dibebani tugas khusus memeriksa perkara-perkara pidana dimana terdakwanya
adalah anak-anak. Putusan hakim anak, disamping tindakan dan sikap perilaku
hakim anak tersebut dalam menghadapi anak selama proses persidangan
mempunyai pengaruh baik terhadap psikologi anak maupun masa depan anak
yang bersangkutan. Oleh karena itu, dengan kebebasannya seorang hakim harus
berani menjatuhkan putusan secara cermat, adil, penuh kearifan dan bermanfaat
bagi anak. Oleh karena itu pula, persyaratan menjadi Hakim Anak haruslah
khusus dan ketat.
Apakah dalam realitas pelaksanaan persidangan anak seorang Hakim Anak
menjatuhkan putusan telah benar-benar mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tanpa mengabaikan jaminan perlindungan
terhadap anak? Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk
membahasnya lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.
2
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, maka yang menjadi inti
permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya yaitu:
1. Bagaimana perlindungan terhadap anak dalam proses Peradilan Anak?
2. Bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan atas perkara
pidana yang dilakukan anak?
C. Keaslian Penulisan
Skripsi ini dengan judul “Peranan Hakim Anak Dalam Penjatuhan Putusan
Atas Perkara Pidana Yang Dilakukan Anak” adalah hasil karya penulis sendiri dan
belum pernah diangkat sebelumnya. Bila ternyata ada skripsi yang sama dengan
skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka penulis akan bertanggung jawab
sepenuhnya.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi hak-hak anak pelaku kejahatan dalam
proses Peradilan Anak;
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan
atas perkara pidana yang dilakukan anak;
Dari penulisan skripsi ini, manfaat yang dapat diambil antara lain:
1. Secara teoritis : sebagai bahan kajian lebih mendalam terhadap ilmu
Hakim Anak yang terbilang masih muda dalam kehidupan peradilan di
Indonesia;
2. Secara praktis : sebagai bahan masukan bagi pemerintah, aparat penegak
hukum, masyarakat dan juga para orangtua dalam menghadapi anak yang
melakukan suatu tindak pidana namun dengan tetap memperhatikan
perlindungan terhadap anak.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Anak dan Kejahatan Anak
a. Pengertian Anak Dalam Aspek Hukum
Di Indonesia terdapat pengertian yang beraneka ragam tentang anak,
dimana dalam berbagai perangkat hukum yang berlaku menentukan batasan usia
anak yang berbeda-beda. Hal ini sering membingungkan masyarakat awam
mengenai pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu digunakan asas “lex
specialis derogat lex generalis”, artinya bahwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai
wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehuingga anak tersebut beralih
status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat
bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan
tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya.
Berikut ini dapat dilihat beberapa pengertian anak dari berbagai peraturan
1. Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata)
Diatur pada Pasal 330 KUHPerdata yang menentukan:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.”
2. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak
Diatur pada Pasal 1 angka 2 yang menentukan:
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah kawin.”
3. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak
Diatur pada Pasal 1 yang menentukan:
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur
8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan
belum pernah kawin.”
4. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia
Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan:
“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila
5. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Diatur pada Pasal 1 yang menentukan:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.”
6. Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights
of the Child) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No.
36 Tahun 1990
Diatur pada Pasal 1 bagian 1 yang menentukan:
“Seorang anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun kecuali
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan
dicapai lebih cepat.”
8. Pengertian Anak Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum Adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang
dapat dianggap dewasa atau mempunyai wewenang untuk bertindak. Hasil
penelitian Mr. Soepomo tentang Hukum Perdata Jawa Barat menjelaskan
bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi:3
1. dapat bekerja sendiri;
2. cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab;
3. dapat mengurus harta kekayaan sendiri;
4. telah menikah.
3
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Adat ukuran
kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tetapi ciri tertentu yang nyata.
Demikian juga mengenai perumusan batasan usia anak ini antara suatu
negara dengan negara lainnya tidak terdapat keseragaman. Di Amerika Serikat 27
negara bagian menentukan batas usia antara 8-18 tahun, sementara 6 negara
bagian lainnya menentukan batas umur antara 8-17 tahun. Adapula negara bagian
yang menentukan batas usia antara 8-16 tahun. Untuk lebih jelasnya diuraikan
dalam tabel sebagai berikut:4
No. NEGARA BATAS USIA
Pengelompokan usia anak ini dimaksud untuk mengenal secara pasti
faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tanggung jawab anak dalam
hal-hal berikut:5
4
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3S, Jakarta, 1989, hlm.10-11.
5
1. Kewenangan bertanggung jawab kepada anak;
2. Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum;
3. Pelayanan ukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana;
4. Pengelompokan proses pemeliharaan;
5. Pembinaan yang efektif.
b. Pengertian Kejahatan Anak
Kejahatan anak sering dinyatakan dengan istilah Juvenile delinquency.
Istilah tersebut pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Amerika Serikat
dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di
negara tersebut. Dalam pembahasannya, ada kelompok yang menekankan pada
sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau
belum melanggar hukum. Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian
kejahatan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang
Juvenile delinquency. Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile
delinquency adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang
merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.6
6
Paul Moedikno memberikan perumusan tentang Juvenile delinquency
sebagai berikut:7
Menurut Fuad Hasan, Juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial
yang dilakukan oleh remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka
dikualifikasikan sebagai kejahatan.
a Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya;
b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya: memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya;
c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.
8
“Seorang anak digolongkan anak delinkuen apabila tampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau bhendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya.”
Menurut A. Merril, merumuskan Juvenile delinquency sebagai berikut:
9
Tim Proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran pada bulan Desember 1967 memberikan perumusan mengenai
Juvenile delinquency, yaitu suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
seorang anak dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan
sebagai perbuatan yang tercela.10
Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Juvenile
delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak di bawah
7
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm.6
umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap
norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si
anak yang bersangkutan.11
2. Pengertian Peradilan Anak dan Bentuk Peradilan Anak
Namun, Juvenile delinquency tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai
kenakalan anak daripada kejahatan anak. Terlalu ekstrim rasanya apabila seorang
anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai penjahat. Sementara setiap
manusia pasti pernah mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaanya
diman tindakannya merupakan manifestasi dari kepuberan remaja. Oleh karena
itu, diperlukan pengawasan dan pembinaan yang tepat terhadap anak sehingga
masa transisinya dapat dilewati dengan baik tanpa tindakan-tindakan yang
menjurus kepada perbuatan kriminal.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,
istilah “Anak Nakal” digunakan untuk anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
(Pasal 1)
Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada
tahun 1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook
Country, yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri
sudah terdapat Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana
11
mengenai anak-anak ini yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai
masalah pemidanaan bagi mereka, melainkan masalah pendidikan yang perlu
diberikan kepada mereka.12
Di Indonesia sendiri, Peradilan Anak terbentuk sejak lahirnya
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya
undang-undang tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan
maupun penjatuhan hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut.
Memang jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut,
pengadilan negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya
anak-anak dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan
KUHAP.13
Secara harafiah, Peradilan Anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan
dan anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu
mengenai pengadilan. Jadi peradilan merupakan peristiwa atau kejadian/hal-hal
yang terjadi mengenai perkara di pengadilan. Secara sempit, peradilan adalah
hal-hal yang menyangkut hukum acara yang hendak mempertahankan materiilnya.
Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian/hal-hal yang terjadi dengan suatu
perkara termasuk proses penerapan hukum acara dalam mempertahankan
materiilnya.
14
Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk
Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan,
12
P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, CV Armico, Bandung, 1988, hlm.171.
13
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm.19.
14
Kejaksaan, Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan
keadilan bagi setiap warga Indonesia.15
Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah suatu pelaksanaan
hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh
suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari
pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting”16
15
Ibid, hlm.16.
16
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm.51.
Penempatan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas
perkara yang ditangani yaitu perkara anak. Dengan demikian, proses memberi
keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan Peradilan tersebut
juga harus disesuaikan dengan kebutuhan anak. Adapun anak yang dapat
disidangkan dalam Peradilan Anak ditentukan secara limitatif, yaitu berumur
minimum 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin. Apabila anak melakukan tindak pidana pada batas umur tersebut,
namun diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui
batas umur tersebut namun belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun,
maka tetap diajukan ke Sidang Anak (Pasal 4 Undang-Undang no. 3 Tahun 1997).
Petugas harus teliti dengan meminta surat-surat yang ada hubungannya dengan
kelahiran anak, seperti Akta Kelahiran. Kalau tidak ada, dapat dilihat pada
surat-surat yang lain, misalnya Surat Tanda Tamat Belajar, Kartu Pelajar, Surat
Bentuk Peradilan Anak jika didasarkan pada tolok ukur uraian tentang
pengertian dari peradilan dan anak, serta motivasi tetuju demi kepentingan anak
untuk mewujudkan kesejahteraannya maka tidak ada bentuk yang cocok bagi
Peradilan Anak kecuali sebagai peradilan khusus. Demikianlah kenyataan yang
terjadi di negara-negara yang telah mempunyai lembaga Peradilan Anak. Mereka
menempatkan bentuk dan kedudukan secara khusus di dalam sistem peradilan
negara masing-masing walaupun istilah yang dipakai berbeda-beda.17
Telah dikemukakan dan diatur secara tegas dalam Pasal 2 Undang-Undang
Pengadilan Anak bahwa Peradilan Anak bukanlah sebuah lingkungan Badan
Peradilan baru melainkan suatu peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman yang
berada di lingkungan Peradilan Umum. Jadi merupakan suatu pengkhususan di
lingkungan Peradilan Umum dengan kualifikasi perkara sama jenisnya dengan
yang dilakukan oleh orang dewasa yaitu melanggar ketentuan dalam KUHP. Oleh
karena itu secara sistematika hukum (recht sistematisch), isi kewenangan
Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh:18
1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competenties) badan Peradilan
Umum;
2. Memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang telah menjadi
kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain seperti badan
Peradilan Agama.
Pembedaan istilah Peradilan Umum dengan Peradilan Khusus ini terutama
disebabkan oleh adanya perkara-perkara atau golongan rakyat tertentu. Apabila
17
Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Op. Cit., hlm.23.
18
anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan
ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
Dan anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan
Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer
(Pasal 7 ayat (1),(2) UU Pengadilan Anak).
Mengenai tata ruang sidang Pengadilan Anak, belum ada ditentukan secara
jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata ruang
sidangnya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 230 ayat (3) KUHAP, sebagai
berikut:19
a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat Penuntut
Umum, terdakwa, Penasihat Hukum dan pengunjung;
b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang;
c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim;
d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat
hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat
hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi
pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;
19
h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji
pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang
negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim;
i. tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera;
j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas diberi tanda
pengenal;
k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang sidang
dan di tempat lain yang dianggap perlu.
3. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak
Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan
peradilan lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan
perkara yang diajukan kepadanya. Namun untuk Peradilan Anak perkara yang
ditangani khusus menyangkut perkara anak. Diberikan perlakuan khusus dalam
rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus
yang harus diperhatikan masa depannya.
Untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan
dengan menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan
kepadanya. Dalam mengadili, hakim berusaha menegakkan kembali hukum yang
dilanggar oleh karena itu biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah
penegak hukum. Pengadilan dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang
berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Dalam
Anak. Dengan kata lain, fungsi tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya
pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan.
Demikian pula dengan tujuan Peradilan Anak, bukanlah semata-mata
mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan perlindungan bagi
masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh Peradilan Anak.20
Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu
peristiwa konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan
menyelesaikan perkara. Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai
putusan itu tidak dapat dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau
masalah baru. Mengingat bahwa anak harus mendapat perlindungan dan oleh
karena itu perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam
Peradilan Anak ini janganlah hendaknya ditititkberatkan kepada terbukti tidaknya
perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata tetapi harus lebih
diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi
pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan
akibat putusan itu bagi si anak demi masa depan si anak.21
Dengan demikian, melalui Peradilan Anak diharapkan adanya suatu
perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan
terjadinya pengulangan kejahatan anak melalui tindakan pengadilan yang
konstruktif.
20
Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Op. Cit., hlm.39.
21
4. Putusan
Suatu Putusan agar sah harus memuat semua hal yang diatur pada Pasal
197 ayat (1) KUHAP yaitu:
a. Kepala putusan: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”;
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam Surat Dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
serta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi
dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam Surat Tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan
terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara
diperiksa oleh Hakim Tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat Surat Otentik dianggap palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
Tidak dipenuhinya ketentuan huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l
mengakibatkan putusan “batal demi hukum”. Putusan yang batal demi hukum
dianggap:
a. tidak ada sejak semula (never existed);
b. tidak mempunyai kekuatan hukum;
c. tidak memiliki daya eksekusi.
Untuk berita acara pemeriksaan tetap dianggap sah, sebab yang batal demi
hukum hanya terbatas “sepanjang putusan” saja. Dengan demikian, putusan
tersebut masih dapat diperbaiki dan dijatuhkan kembali hingga memenuhi
ketentuan undang-undang. Sekiranyapun terhadap putusan yang batal demi hukum
dilakukan perbaikan, bukan berarti mengadili dan memeriksa terdakwa untuk
kedua kalinya atas peristiwa pidana yang sama.22
Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila ia berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang Putusan Hakim Anak yang merupakan putusan akhir terdiri dari:
a. Putusan Bebas (vrijsprak)
22
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191
ayat (1)).
b. Putusan Lepas Dari Tuntutan Hukum
Putusan ini dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2)).
c. Putusan Dengan Penjatuhan Pidana Atau Tindakan
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, putusan hakim dalam sidang Pengadilan Anak dapat berupa
penjatuhan:
1. Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 23 Undang-Undang Pengadilan
Anak)
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan ialah:
a. Pidana penjara;
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama ½ dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat (1)). Apabila anak
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun (Pasal 26 ayat (2)). Namun
dalam hal ini terdapat pengecualian bagi anak yang berumur 12 (dua belas)
b. Pidana kurungan;
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak
pidana adalah paling lama ½ dari ancaman pidana kurungan bagi orang
dewasa (Pasal 27).
c. Pidana denda;
Pada pokoknya ketentuan batas maksimal pidana denda sama dengan
ketentuan batas maksimal pidana penjara dan pidana kurungan, dimana
terdakwa anak hanya dapat dijatuhi maksimal ½ (setengah) dari yang
berlaku bagi orang dewasa (Pasal 28 ayat (1)).
Bagi orang dewasa jika hukuman denda tidak dibayar, maka hukuman itu
diganti dengan hukuman penjara atau kurungan. Berbeda dengan terdakwa
anak, apabila pidana denda ternyata tidak dibayar maka diganti dengan
wajib latihan kerja (Pasal 28 ayat (2)). Wajib latihan kerja tersebut dilakukan
paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latian kerja tidak lebih
dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari (Pasal 28
ayat (3)).
d. Pidana pengawasan.
Pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni
pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam
kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan
yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (Penjelasan Pasal 30).
Hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana pengawasan paling lama 2 (dua)
Pidana tambahan berupa: perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi. Mengenai pidana tambahan perampasan barang-barang
tertentu, undang-undang tidak memberi penjelasan barang-barang apa saja yang
dapat dirampas. Dalam KUHAP, barang-barang yang dapat dirampas adalah
barang-barang bukti yang diajukan di muka persidangan. Barang-barang bukti
berasal dari hasil penyitaan yang dilakukan oleh penyidik karena barang-barang
itu ada hubungannya dengan perkara pidana.
Selanjutnya mengenai pidana tambahan yang berupa ganti rugi, pada
Penjelasan Pasal 23 ayat (3) ditegaskan bahwa pembayaran ganti rugi tersebut
merupakan tanggung jawab dari orang tua atau orang lain yang menjalankan
kekuasaan orang tua. Lalu apabila orang tua atau orang yang menjalankan
kekuasaan orang tua tidak mau/ tidak sanggup membayar ganti ruginya,
bagaimana eksekusinya? Pembayaran ganti rugi apabila tidak dilaksanakan tidak
dapat digantikan dengan pidana kurungan, sebab berdasarkan Pasal 30 ayat (2)
KUHP pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan menggantikan pidana denda. Jadi
tidak mungkin pidana tambahan (ganti rugi) tersebut diganti dengan pidana
kurungan karena bukan merupakan pidana denda. Demikian pula halnya dengan
wajib latihan kerja, tidak dapat digunakan untuk menggantikan juga karena hanya
merupakan pengganti pidana denda (Pasal 28 ayat (2)). Untuk pelaksanaan
hukuman pembayaran ganti rugi tersebut sebaiknya dibuat Peraturan
Pelaksananya yang sejalan dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku sehingga
tidak saling bertentangan.23
23
2. Tindakan (Pasal 24 Undang-Undang Pengadilan)
Tindakan yang dapat dijatuhkan ialah:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
Meskipun anak dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,
anak tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan bimbingan
Pembimbing Kemasyarakatan antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan.
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikut pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja;
Apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak
dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka hakim
dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan
Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Sehubungan dengan hal tersebut, demi kepentingan anak Undang-Undang
memberi wewenang kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat
mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman RI agar anak negara yang
bersangkutan ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta (Pasal 31 ayat (2)).
Kewenangan tersebut diberikan karena kepala instansi ini dipandang
mengetahui dengan baik mengenai perkembangan anak selama menjalani
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, serta pembinaan anak negara
selanjutnya. Setelah mendapat izin dari Menteri Kehakiman, anak negara
tersebut dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Anak ke lembaga
rangka memberikan pendidikan bagi anak baik jasmani, rohani maupun
sosial anak.
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja seperti: pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya
dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.
Tindakan sebagaimana dimaksud di atas dapat disertai dengan teguran dan
syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Teguran dapat dilakukan secara
langsung oleh akim atau tidak langsung oleh orang tua atau wali atau orang tua
asuh. Teguran itu berupa peringatan kepada anak untuk tidak melakukan tindak
pidana lagi.
Terhadap anak yang melakukan tindak pidana apabila belum mencapai
umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dapat
dijatuhi tindakan: menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja (Pasal 26 ayat (3))
Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas tahun) melakukan
tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara
seumur hidup, maka terhadap anak tersebut dijatuhkan salah satu tindakan (Pasal
26 ayat (4)).
Terhadap sanksi hukum di atas, hakim tidak boleh menjatuhkan
kumulasi hukuman kepada terdakwa artinya hukuman pidana dan hukuman
dijatuhkan, hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman tindakan saja (Pasal 22).
Demikian juga semua putusan hakim dalam perkara apapun wajib diucapkan
dalam sidang “terbuka untuk umum” (Pasal 59 ayat (3)).
5. Faktor-Faktor Penyebab Anak Melakukan Kejahatan
Berbicara tentang pola tingkah laku anak sangat erat kaitannya dengan
fase-fase atau tahap perkembangan yang merupakan pembabakan rentang
perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola-pola
tingkah laku tertentu. Sebab pada umumnya bahwa dalam fase perkembangan ini
individu mengalami masa-masa kegoncangan. Kegoncangan psikis hampir
dialami oleh semua orang, dimana selama masa perkembangan pada umumnya
individu mengalami masa kegoncangan dua kali, yaitu pada kira-kira tahun ketiga
atau keempat, dan permulaan masa pubertas.
Berdasarkan kedua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu
dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu:24
1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat
yang biasa disebut “masa kanak-kanak”);
2. Dari masa kegoncangan pertama sampai pada masa kegoncangan kedua
yang biasa disebut “masa keserasian bersekolah”;
3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa
disebut “masa kematangan”.
24
Untuk mencapai kematangannya, maka mereka memerlukan bimbingan
karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya
dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.
Anak-anak yang beresiko tinggi sejak awal dapat diketahui atau
diidentifikasi oleh orangtua, guru, petugas panti asuhan, pelatih bermain anak, dan
pekerja-pekerja lain yang dekat dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, ada
tujuh latar belakang dan karakteristik pribadi untuk memprediksikan perilaku
anak yang beresiko tinggi melakukan tindak pidana yaitu:25
1. Umur, anak yang lebih muda jika masuk ke suatu sistem tertentu akan
mempunyai resiko lebih tinggi;
2. Pscyhological variables, yaitu sifat pembantah, susah diatur, merasa
kurang dihargai;
3. School performance, yaitu anak yang bermasalah di sekolah dengan
tingkah lakunya, pembolos;
4. Home adjustment, yaitu kurang interaksi dengan orangtua dan saudara,
kurang disiplin dan pengawasan, minggat dari rumah;
5. Drugs and alcohol use, yaitu penggunaan alkohol dan obat, anak yang
sudah mulai memakai alkohol apabila orangtuanya punya riwayat pemakai
alkohol;
6. Neighbourood (lingkungan tetangga), dimana lingkungan mudah
mempengaruhi anak seperti kemelaratan, masalah sosial dan perilaku;
25
7. Social adjustment of peers (pengaruh kekuatan teman sebaya), pertemanan
mempengarui perilaku termasuk delinquency, obat-obatan, bolos dan
kekacauan di sekolah (onar), geng, sex, dan lain-lain.
Remaja seringkali menempatkan posisi teman sebaya dalam posisi
prioritas apabila dibandingkan dengan orangtua, atau guru dalam
memyatakan kesetiaanya.
Kathleen Salle dalam hasil penelitiannya menyatakan ada beberapa faktor
sosial yang menyebabkan terjadinya tindak pidana yaitu:26
1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit
keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan
dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
anak-anak yang dilaporkan melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus
perkara pidana yang masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan
dan jumlah anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak;
2. Adanya pengaruh teman bermain anak, dimana anak yang bergaul dengan
anak yang tidak sekolah dan kurang perhatian dari orangtuanya maka anak
tersebut besar kemungkinan melakukan delinquency;
3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas
ekonomi rendah/lemah. Perilaku kriminil ini disebabkan oleh kekurangan
fasilitas untuk bermain dan belajar yang sesuai dengan masa
perkembangan kejiwaan anak. Disamping itu, orangtua mereka kurang
memperhatikan kebutuhan anak-anaknya dikarenakan keterbatasan
26
ekonomi. Sehingga pada akhirnya, anak-anak tersebut harus melakukan
kegiatan-kegiatan yang menurutnya adalah sesuatu yang menyenangkan.
Disamping itu, dikarenakan kekurangan uang menyebabkan anak-anak
mengambil barang orang lain untuk dimilikinya atau untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya seperti: anak melakukan pencurian sandal dan
pakaian, mengambil mainan temannya, mengambil tape mobil, dan
sebagainya;
4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam
delinquency adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home.
Adanya pengaruh keluarga yang berantakan (broken home) dengan
perilaku nakal anak, pernah dilakukan penelitian oleh para peneliti dari Amerika
Serikat. Banyak hasil penelitian memberikan dukungan bahwa delinquency
disebabkan oleh suatu keadaan broken home. Diantaranya George B. Mangold,
menyatakan bahwa broken home diperkirakan sebagai salah satu penyebab
delinquency yang paling sering .
Selanjutnya L. Edward Wells dan H. Rankin mempelajari hubungan
broken home dan delinquency, dari hasil penelitian yang dilakukan Edward
didapat kesimpulan bahwa:27
1. Kemungkinan broken home menyebabkan delinquency 10-15 % lebih
tinggi daripada tidak broken home;
27
2. Hubungan di antara broken home dan delinquency lebih kuat pada
bentuk-bentuk kriminal ringan pada anak pelaku dan tidak begitu mempengaruhi
pada kriminal serius seperti pencurian, dan kekerasan kepada seseorang;
3. Bentuk dari broken home menentukan apakah dapat menyebabkan
delinquency atau tidak. Contoh: broken home karena perceraian orangtua
lebih kuat daripada karena orangtua meninggal;
4. Umur anak pada saat broken home tidak mempengaruhi delinquency;
5. Tidak ada beda pengaruh broken home pada anak laki-laki atau
perempuan.
Menurut Elizabet Hurlock, Alexander Schneiders, dan Lore terdapat
beberapa pola sikap atau perlakuan orangtua terhadap anak yang masing-masing
mempunyai pengaruh tersendiri teradap kepribadian anak. Pola-pola tersebut
dapat disimak pada tabel berikut:28
POLA
1.Kontak yang berlebihan dengan anak;
2. Perawatan/ pemberian bantuan kepada anak yang terus-menerus, meskipun anak yang sudah mapu merawat dirinya sendiri; 3.Mengawasi kegiatan anak
secara berlebihan;
4.Memecahkan masalah anak.
1. Perasaan tidak aman; 2. Agresif dan dengki; 3. Mudah merasa gugup;
4. Melarikan diri dari
kenyataan;
5. Sangat tergantung; 6. Bersikap menyerah;
7. Ingin menjadi pusat
perhatian;
8. Lemah dalam “ego
strenght”. Aspiratif dan toleransi teradap frustasi;
9. Kurang mampu
mengendalikan emosi;
10. Menolak tanggung
28
jawab;
11. Kurang percaya diri; 12. Mudah terpengaruh; 13. Peka terhadap kritik; 14. Bersikap “yes men”; 19. Mengalami “homesick” 2.Permissiveness
(Pembolehan)
1.Memberikan kebebasan untuk berpikir atau berusaha;
2.Menerima gagasan/pendapat;
3.Membuat anak merasa
diterima dan merasa kuat;
4.Toleran dan memahami
kelemahan anak;
5.Cenderung lebih suka
memberi yang diminta anak daripada menerima.
1.Pandai mencari jalan
keluar;
2.Dapat bekerjasama; 3.Percaya diri;
4.Penuntut dan tidak
sabaran.
3.Rejection (Penolakan)
1.Bersikap masa bodoh; 2.Bersikap kaku;
1.Agresif (mudah marah, gelisah, tidak patuh/keras kepala, suka bertengkar dan nakal);
2.Submissive (kurang dapat mengerjakan tugas,
1.Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak;
2.Menempatkan anak dalam posisi penting di dalam rumah;
3.Mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak; 4.Bersikap respek terhadap
anak;
5.Mendorong anak untuk
menyatakan perasaan atau
1.Mau bekerjasama
(kooperatif);
2.Bersahabat (friendly); 3.Loyal;
4.Emosinya stabil;
5.Ceria dan bersikap
optimis;
6.Mau menerima tanggung jawab;
7.Jujur;
8.Dapat dipercaya;
pendapatnya;
6.Berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya.
Mendominasi anak 1.Bersikap sopan dan
sangat berhati-hati;
2.Pemalu, penurut, inferior dan mudah bingung; 3.Tidak dapat bekerjasama.
6. Submission (Penyerahan)
1.Senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak;
2.Membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah.
1.Tidak patuh;
2.Tidak bertanggung jawab; 3.Agresif dan teledor/lalai; 4.Bersikap otoriter;
5.Terlalu percaya diri.
7. Punitiveness/
2.Tidak dapat mengambil keputusan;
3.Nakal;
4.Sikap bermusuhan dan agresif.
Iklim keluarga yang sehat atau perhatian orangtua yang penuh kasih
sayang merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan
perkembangan psikologis anak tersebut. Keluarga yang hubungan antar
anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat
mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak.
Dalam kondisi seperti inilah banyak remaja yang meresponinya dengan
sikap dan perilaku yang kurang wajar bahkan amoral, seperti: kriminalitas,
meminum minuman keras, penyalahguanaan obat terlarang, tawuran dan
Syamsu Yusuf mengemukakan beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku menyimpang pada anak/remaja:29
1. Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan
bimbingan tentang nilai-nilai agama);
2. Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga);
3. Sikap perlakuan orangtua yang buruk terhadap anak;
4. Perceraian orangtua;
5. Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir);
6. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol;
7. Diperjualbelikannya minuman keras atau obat-obatan terlarang secara bebas;
8. Hidup menganggur;
9. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok;
10. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang;
11. Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno;
12. Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang
memperhatikan nilai-nilai moral).
Sementara itu, Muhidin mengkategorikan sebab-sebab kenakalan
anak-anak menjadi tiga kelompok, yaitu faktor individu, faktor keluarga, faktor
masyarakat:30
1. Faktor individu. Di antara faktor individu ini adalah kondisi biologis seperti
cacat fisik, kelemahan biologis yang mengakibatkan pertumbuhan dan
tingkah laku abnormal. Anak-anak yang mengalami kemunduran mental
29
Ibid, hlm. 212.
30
(mentally retarded) dan pertumbuhan intelegensi di bawah normal,
psychopathic, neorosa memungkinkan anak-anak melakukan tindakan
sosial. Bentuk-bentuk lain yang mengakibatkan tingkah laku kenakalan anak
termasuk ketidakstabilan emosi yang disebabkan oleh rasa rendah diri,
temperamen yang tidak terkontrol dan konflik-konflik dalam diri.
Sebab-sebab lain dari kenakalan yang termasuk faktor individu adalah kebiasaan
pada waktu kecil yang selalu dalam keadaan ketakutan dan penyalahgunaan
alkohol dan narkotika;
2. Faktor keluarga. Pengaruh-pengaruh negatif dari kehidupan keluarga seperti
perceraian, rumah tangga yang mengalami perpecahan sehingga anak-anak
menjadi terlantar. Anak-anak yang tanpa mendapatkan kasih sayang dan
perawatan yang wajar, keluarga yang selalu bertengkar, tanpa disiplin serta
kondisi perumahan yang tidak memadai, kurangnya waktu luang dan
rekreasi serta kurangnya pendidikan moral dan agama dalam keluarga juga
menyebabkan kenakalan;
3. Faktor masyarakat. Pengaruh dari gangster dan street corner association
(kelompok anak jalanan) yang disebabkan oleh kurangnya rekreasi yang
sehat dan community centre atau youth centers yang mendorong anak untuk
berkumpul dan berkenalan dengan peminum, penjudi, dan prostitut. Juga
6. Pengertian Hakim Anak
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak maka yang dimaksud dengan Hakim Anak adalah hakim yang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
Jadi ruang lingkup Hakim Anak disini adalah memeriksa dan memutus perkara
anak dalam tingkat pertama di Pengadilan Negeri, dengan demikian Hakim
Banding Anak dan Hakim Kasasi Anak tidaklah sama dengan Hakim Anak.
Adapun yang menjadi syarat-syarat seorang hakim untuk dapat ditetapkan
sebagai Hakim Anak adalah (Pasal 10):
a. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak tidak ada menjelaskan maksud dan batasan “telah
berpengalaman”. Oleh karena itu perlu ditetapkan berapa lamanya pengalaman
seorang hakim di pengadilan negeri dianggap memenuhi syarat untuk diangkat
sebagai Hakim Anak.
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa lima tahun telah cukup kiranya
bagi seorang hakim untuk menguasai hukum acara dan hukum materiil serta
mengenal variasi jenis perkara yang ditangani31
31
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm.53
b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Pada Penjelasan Atas Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mempunyai minat,
perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak” adalah memahami:
1. Pembinaan anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan
santun, disiplin anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif,
afektif, dan simpatik;
2. Pertumbuhan dan perkembangan anak;
3. Berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang mempengarui
kehidupan anak.
Wujud konkrit dari mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah anak ini dapat dilihat dari peran aktif hakim dalam mengikuti
seminar-seminar, diskusi maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan anak.32
32
Hasil wawancara dengan Hakim Anak di Pengadilan Negeri Medan, 23 Maret 2009.
Walaupun banyak tersedia hakim yang telah berpengalaman akan tetapi
mereka tidak mungkin dapat diangkat menjadi Hakim Anak apabila yang
bersangkutan tidak memiliki minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah
anak. Ini berarti tidak semua hakim yang telah berpengalaman dapat menjadi
Hakim Anak. Ada kecenderungan dalam praktek untuk menggunakan hakim
wanita dan telah berkeluarga, dengan pertimbangan bahwa kaum ibu pada
umumnya lebih dekat, dan sabar dalam menghadapi anak serta mengerti
permasalahan anak. Selama ini juga terbukti, bahwa hakim wanita tidak kalah
Mengenai syarat ini, Mahkamah Agung menyerahkan sepenuhnya
penilaian tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat tanpa seleksi lebih
lanjut. Sebagaimana dinyatakan oleh Bagir Manan, bahwa jumlah hakim tidak
begitu banyak dan tentulah Ketua Pengadilan sudah lebih mengetahui siapa saja
yang layak menjadi Hakim Anak, jadi proses penyeleksian tidak perlu
dilakukan.33
1. Spesifikasi Penelitian
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam
mengejakan skripisi ini meliputi:
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam hal penelitian
hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap bahan pustaka
yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, serta
melakukan analisis terhadap putusan pengadilan. Dalam penelitian hukum
empiris, penulis melakukan penelitian terhadap data primer yang yang
diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari
perpustakaan.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan penyebaran
33
angket/kuisioner. Sedangkan data sekunder meliputi peraturan
perundang-undangan, buku-buku, situs internet, putusan pengadilan serta
bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research
(penelitian kepustakaan) sebagai sumber data sekunder yakni dengan
mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet dan
mempelajari serta menganalisis putusan. Digunakan juga metode Field
Research untuk medapatkan data primer dengan melakukan wawancara
dengan berbagai narasumber yaitu salah seorang Hakim Anak Pengadilan
Negeri Medan dan enam orang Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Anak Tanjung Gusta Medan serta penyebaran angket berupa
daftar pertanyaan (kuisioner) kepada 50 orang responden yaitu Anak
Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Anak Tanjung Gusta
Medan
4. Analisis Data
Data sekunder dan primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara
kualitatif yaitu dengan apa yang diperoleh dari penelitian di lapangan
secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu:
1. BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang
penulisan, identifikasi permasalahan, keaslian penulisan, tujuan dan
manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
2. BAB II : PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DALAM PROSES
PERADILAN ANAK
Bab ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang
dimuat dalam instrumen Hukum Internasional dan instrumen Hukum
Nasional
3. BAB III : PERANAN HAKIM ANAK DALAM PENJATUHAN
PUTUSAN ATAS PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK
Bab ini membahas tentang kewajiban dan wewenang Hakim Anak serta
faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim Anak dalam
menjatuhkan putusan.
4. BAB IV : KASUS DAN ANALISA KASUS
Bab ini membahas tentang satu putusan yaitu putusan Pengadilan Negeri
Medan dengan No. 3403/Pid.B/2007/PN-Mdn, dengan terlebih dahulu
5. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam Bab Penutup ini akan diberikan kesimpulan yang diperoleh dari
hasil penelitian yang diharapkan menjawab permasalahan-permasalahan
yang ada. Selain itu dalam bab ini juga akan diberikan saran-saran dalam
menyelesaikan atau membantu mengurangi masalah-masalah yang dibahas