• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Hakim Anak Dalam Menjatuhkan Putusan Atas Perkara Pidana Yang Dilakukan Anak (Studi di Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Hakim Anak Dalam Menjatuhkan Putusan Atas Perkara Pidana Yang Dilakukan Anak (Studi di Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara yang maju adalah negara yang memberikan perhatian serius

terhadap anak, sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Anak adalah

karunia Tuhan yang harus dihargai dengan melindungi dan membimbing mereka

menjadi pribadi yang mengagumkan. Namun dalam kenyataannya, perhatian

terhadap anak seringkali terabaikan oleh orang dewasa, dianggap sepele atau

sebelah mata karena yang dihadapi hanya seorang anak kecil. Padahal sebenarnya,

perhatian terhadap anak sejak dini sangat mempengaruhi masa depannya kelak.

Dalam proses pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang kita

jumpai adanya penyimpangan sikap perilaku di kalangan anak yang sangat

dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih

labil. Bahkan lebih jauh lagi, terdapat anak yang melanggar hukum yang

melakukan tindak pidana yang merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri.

Perilaku buruk anak juga bisa jadi merupakan cerminan kelalaian serta

ketidakmampuan orang dewasa dalam mendidik anak. Hal tersebut tentunya harus

mendorong kita untuk lebih banyak memberikan perhatian akan penanggulangan

serta penanganan atas masalah perilaku buruk anak. Anak-anak nakal perlu

ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena mereka tidak mungkin

diperlakukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian terhadap anakpun dari hari ke

hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan terhadap hak anak yang

(2)

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Meskipun dalam implementasinya masih

memiliki banyak kelemahan, namun kehadiran UU ini merupakan suatu langkah

maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam Peradilan Anak di Indonesia.

Ide tentang lahirnya Peradilan Anak di Indonesia sendiri sudah ada sejak

tahun 1970, seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian

dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Kehakiman RI. No.: M.06-UM.01 Tahun

1983 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 17 November 1987 No.:

MA/KUMDIL/10348/XI/87. Untuk merealisir lahirnya Undang-Undang Peradilan

Anak, maka pada tanggal 10 November 1995 pemerintah dengan Amanat

Presiden No.: R.12/PU/XII/1995 mengajukan Rancangan Undang-Undang

Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat pembahasan

dan persetujuannya. Malahan dalam RUU Peradilan Anak ini tadinya ada rencana

untuk mengatur Hukum Anak pada umumnya, mulai dari : Sidang Anak Nakal,

Sidang Anak Terlantar, Sidang Perkara Perwalian dan Perkara Anak Sipil. Akan

tetapi, hal ini kemudian berubah menjadi UU Pengadilan Anak yang hanya

mengatur tentang sidang Anak Nakal saja. Ini sangat disayangkan, sebab

masalah-masalah tersebut masih hidup dalam praktek hukum negara kita.1

“Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, Perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum ini juga

ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 :

1

(3)

anak yang berhadapan dengan hukum

Berbicara mengenai Hakim Anak, maka tidak dapat dilepaskan dari

peranan hakim pada umumnya. Hakim mempunyai peranan yang sangat penting

dalam menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat, terlebih

lagi menyangkut putusan yang dijatuhkannya yang akan mempunyai akibat begitu

besar terhadap kepentingan publik khususnya terhadap pihak yang berperkara atau

terkena perkara. Begitu banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim

dalam menjatuhkan putusan. Putusan tersebut harus memperhatikan tujuan

pemidanaan, dimana agar orang yang telah dipidana menjadi seorang yang baik

dan dapat kembali serta diterima di tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang

hakim keliru dalam menentukan suatu putusan maka keadilan hukum yang

diharapkan oleh masyarakat justu berbalik menjadi ketidakadilan. Yang lebih

memprihatinkan, ternyata hal ini terjadi pada praktik peradilan di negara kita.

Menurut Bagir Manan, usaha menghadapi sulitnya akses publik atas putusan

hakim dapat terjadi karena hakim menyadari putusannya dibuat asal-asalan, tidak

bermutu, sehingga ada rasa takut atau rendah diri kalau menjadi wacana publik. , anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol, psikotropika, zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Pada proses Persidangan Anak terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang

berbeda dengan layaknya persidangan biasa bagi orang dewasa, dalam rangka

menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak. Hakim, Jaksa Penuntut Umum,

Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga

(4)

Putusan hakim itu bisa asal-asalan karena tidak mengetahui, meskipun mestinya

hal itu seharusnya tidak terjadi karena Majelis Hakim berjumlah tiga orang. Akan

tetapi, yang lebih berbahaya adalah putusan itu asal-asalan karena hakim

kehilangan independensinya.2

Demikian halnya dengan hakim anak, ternyata mempunyai tanggung

jawab yang lebih besar karena disamping tugasnya sebagai hakim biasa juga

dibebani tugas khusus memeriksa perkara-perkara pidana dimana terdakwanya

adalah anak-anak. Putusan hakim anak, disamping tindakan dan sikap perilaku

hakim anak tersebut dalam menghadapi anak selama proses persidangan

mempunyai pengaruh baik terhadap psikologi anak maupun masa depan anak

yang bersangkutan. Oleh karena itu, dengan kebebasannya seorang hakim harus

berani menjatuhkan putusan secara cermat, adil, penuh kearifan dan bermanfaat

bagi anak. Oleh karena itu pula, persyaratan menjadi Hakim Anak haruslah

khusus dan ketat.

Apakah dalam realitas pelaksanaan persidangan anak seorang Hakim Anak

menjatuhkan putusan telah benar-benar mengacu pada ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku tanpa mengabaikan jaminan perlindungan

terhadap anak? Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk

membahasnya lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.

2

(5)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, maka yang menjadi inti

permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya yaitu:

1. Bagaimana perlindungan terhadap anak dalam proses Peradilan Anak?

2. Bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan atas perkara

pidana yang dilakukan anak?

C. Keaslian Penulisan

Skripsi ini dengan judul “Peranan Hakim Anak Dalam Penjatuhan Putusan

Atas Perkara Pidana Yang Dilakukan Anak” adalah hasil karya penulis sendiri dan

belum pernah diangkat sebelumnya. Bila ternyata ada skripsi yang sama dengan

skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka penulis akan bertanggung jawab

sepenuhnya.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa yang menjadi hak-hak anak pelaku kejahatan dalam

proses Peradilan Anak;

2. Untuk mengetahui bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan

atas perkara pidana yang dilakukan anak;

Dari penulisan skripsi ini, manfaat yang dapat diambil antara lain:

1. Secara teoritis : sebagai bahan kajian lebih mendalam terhadap ilmu

(6)

Hakim Anak yang terbilang masih muda dalam kehidupan peradilan di

Indonesia;

2. Secara praktis : sebagai bahan masukan bagi pemerintah, aparat penegak

hukum, masyarakat dan juga para orangtua dalam menghadapi anak yang

melakukan suatu tindak pidana namun dengan tetap memperhatikan

perlindungan terhadap anak.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Anak dan Kejahatan Anak

a. Pengertian Anak Dalam Aspek Hukum

Di Indonesia terdapat pengertian yang beraneka ragam tentang anak,

dimana dalam berbagai perangkat hukum yang berlaku menentukan batasan usia

anak yang berbeda-beda. Hal ini sering membingungkan masyarakat awam

mengenai pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu digunakan asas “lex

specialis derogat lex generalis”, artinya bahwa hukum yang bersifat khusus

mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai

wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehuingga anak tersebut beralih

status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat

bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan

tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya.

Berikut ini dapat dilihat beberapa pengertian anak dari berbagai peraturan

(7)

1. Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata)

Diatur pada Pasal 330 KUHPerdata yang menentukan:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.”

2. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak

Diatur pada Pasal 1 angka 2 yang menentukan:

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum

pernah kawin.”

3. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak

Diatur pada Pasal 1 yang menentukan:

“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur

8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan

belum pernah kawin.”

4. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia

Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan:

“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun

dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila

(8)

5. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak

Diatur pada Pasal 1 yang menentukan:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.”

6. Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights

of the Child) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No.

36 Tahun 1990

Diatur pada Pasal 1 bagian 1 yang menentukan:

“Seorang anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun kecuali

berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan

dicapai lebih cepat.”

8. Pengertian Anak Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum Adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang

dapat dianggap dewasa atau mempunyai wewenang untuk bertindak. Hasil

penelitian Mr. Soepomo tentang Hukum Perdata Jawa Barat menjelaskan

bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi:3

1. dapat bekerja sendiri;

2. cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan

bermasyarakat dan bertanggung jawab;

3. dapat mengurus harta kekayaan sendiri;

4. telah menikah.

3

(9)

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Adat ukuran

kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tetapi ciri tertentu yang nyata.

Demikian juga mengenai perumusan batasan usia anak ini antara suatu

negara dengan negara lainnya tidak terdapat keseragaman. Di Amerika Serikat 27

negara bagian menentukan batas usia antara 8-18 tahun, sementara 6 negara

bagian lainnya menentukan batas umur antara 8-17 tahun. Adapula negara bagian

yang menentukan batas usia antara 8-16 tahun. Untuk lebih jelasnya diuraikan

dalam tabel sebagai berikut:4

No. NEGARA BATAS USIA

Pengelompokan usia anak ini dimaksud untuk mengenal secara pasti

faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tanggung jawab anak dalam

hal-hal berikut:5

4

Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3S, Jakarta, 1989, hlm.10-11.

5

(10)

1. Kewenangan bertanggung jawab kepada anak;

2. Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum;

3. Pelayanan ukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana;

4. Pengelompokan proses pemeliharaan;

5. Pembinaan yang efektif.

b. Pengertian Kejahatan Anak

Kejahatan anak sering dinyatakan dengan istilah Juvenile delinquency.

Istilah tersebut pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Amerika Serikat

dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di

negara tersebut. Dalam pembahasannya, ada kelompok yang menekankan pada

sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau

belum melanggar hukum. Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian

kejahatan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.

Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang

Juvenile delinquency. Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile

delinquency adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang

merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang

disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu

mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.6

6

(11)

Paul Moedikno memberikan perumusan tentang Juvenile delinquency

sebagai berikut:7

Menurut Fuad Hasan, Juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial

yang dilakukan oleh remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka

dikualifikasikan sebagai kejahatan.

a Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya;

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya: memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya;

c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.

8

“Seorang anak digolongkan anak delinkuen apabila tampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau bhendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya.”

Menurut A. Merril, merumuskan Juvenile delinquency sebagai berikut:

9

Tim Proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran pada bulan Desember 1967 memberikan perumusan mengenai

Juvenile delinquency, yaitu suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh

seorang anak dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan

sebagai perbuatan yang tercela.10

Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Juvenile

delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak di bawah

7

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm.6

(12)

umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap

norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si

anak yang bersangkutan.11

2. Pengertian Peradilan Anak dan Bentuk Peradilan Anak

Namun, Juvenile delinquency tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai

kenakalan anak daripada kejahatan anak. Terlalu ekstrim rasanya apabila seorang

anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai penjahat. Sementara setiap

manusia pasti pernah mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaanya

diman tindakannya merupakan manifestasi dari kepuberan remaja. Oleh karena

itu, diperlukan pengawasan dan pembinaan yang tepat terhadap anak sehingga

masa transisinya dapat dilewati dengan baik tanpa tindakan-tindakan yang

menjurus kepada perbuatan kriminal.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,

istilah “Anak Nakal” digunakan untuk anak yang melakukan perbuatan yang

dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan

maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat

(Pasal 1)

Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada

tahun 1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook

Country, yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri

sudah terdapat Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana

11

(13)

mengenai anak-anak ini yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai

masalah pemidanaan bagi mereka, melainkan masalah pendidikan yang perlu

diberikan kepada mereka.12

Di Indonesia sendiri, Peradilan Anak terbentuk sejak lahirnya

Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya

undang-undang tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan

maupun penjatuhan hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut.

Memang jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut,

pengadilan negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya

anak-anak dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan

KUHAP.13

Secara harafiah, Peradilan Anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan

dan anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu

mengenai pengadilan. Jadi peradilan merupakan peristiwa atau kejadian/hal-hal

yang terjadi mengenai perkara di pengadilan. Secara sempit, peradilan adalah

hal-hal yang menyangkut hukum acara yang hendak mempertahankan materiilnya.

Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian/hal-hal yang terjadi dengan suatu

perkara termasuk proses penerapan hukum acara dalam mempertahankan

materiilnya.

14

Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk

Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan,

12

P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, CV Armico, Bandung, 1988, hlm.171.

13

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm.19.

14

(14)

Kejaksaan, Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan

keadilan bagi setiap warga Indonesia.15

Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah suatu pelaksanaan

hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh

suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari

pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat

mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting”16

15

Ibid, hlm.16.

16

Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm.51.

Penempatan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas

perkara yang ditangani yaitu perkara anak. Dengan demikian, proses memberi

keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan Peradilan tersebut

juga harus disesuaikan dengan kebutuhan anak. Adapun anak yang dapat

disidangkan dalam Peradilan Anak ditentukan secara limitatif, yaitu berumur

minimum 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin. Apabila anak melakukan tindak pidana pada batas umur tersebut,

namun diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui

batas umur tersebut namun belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun,

maka tetap diajukan ke Sidang Anak (Pasal 4 Undang-Undang no. 3 Tahun 1997).

Petugas harus teliti dengan meminta surat-surat yang ada hubungannya dengan

kelahiran anak, seperti Akta Kelahiran. Kalau tidak ada, dapat dilihat pada

surat-surat yang lain, misalnya Surat Tanda Tamat Belajar, Kartu Pelajar, Surat

(15)

Bentuk Peradilan Anak jika didasarkan pada tolok ukur uraian tentang

pengertian dari peradilan dan anak, serta motivasi tetuju demi kepentingan anak

untuk mewujudkan kesejahteraannya maka tidak ada bentuk yang cocok bagi

Peradilan Anak kecuali sebagai peradilan khusus. Demikianlah kenyataan yang

terjadi di negara-negara yang telah mempunyai lembaga Peradilan Anak. Mereka

menempatkan bentuk dan kedudukan secara khusus di dalam sistem peradilan

negara masing-masing walaupun istilah yang dipakai berbeda-beda.17

Telah dikemukakan dan diatur secara tegas dalam Pasal 2 Undang-Undang

Pengadilan Anak bahwa Peradilan Anak bukanlah sebuah lingkungan Badan

Peradilan baru melainkan suatu peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman yang

berada di lingkungan Peradilan Umum. Jadi merupakan suatu pengkhususan di

lingkungan Peradilan Umum dengan kualifikasi perkara sama jenisnya dengan

yang dilakukan oleh orang dewasa yaitu melanggar ketentuan dalam KUHP. Oleh

karena itu secara sistematika hukum (recht sistematisch), isi kewenangan

Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh:18

1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competenties) badan Peradilan

Umum;

2. Memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang telah menjadi

kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain seperti badan

Peradilan Agama.

Pembedaan istilah Peradilan Umum dengan Peradilan Khusus ini terutama

disebabkan oleh adanya perkara-perkara atau golongan rakyat tertentu. Apabila

17

Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Op. Cit., hlm.23.

18

(16)

anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan

ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.

Dan anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan

Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer

(Pasal 7 ayat (1),(2) UU Pengadilan Anak).

Mengenai tata ruang sidang Pengadilan Anak, belum ada ditentukan secara

jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata ruang

sidangnya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 230 ayat (3) KUHAP, sebagai

berikut:19

a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat Penuntut

Umum, terdakwa, Penasihat Hukum dan pengunjung;

b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang;

c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim;

d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat

hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;

e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat

hakim;

f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi

pemeriksaan;

g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;

19

(17)

h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji

pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang

negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim;

i. tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera;

j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas diberi tanda

pengenal;

k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang sidang

dan di tempat lain yang dianggap perlu.

3. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak

Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan

peradilan lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan

perkara yang diajukan kepadanya. Namun untuk Peradilan Anak perkara yang

ditangani khusus menyangkut perkara anak. Diberikan perlakuan khusus dalam

rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus

yang harus diperhatikan masa depannya.

Untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan

dengan menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan

kepadanya. Dalam mengadili, hakim berusaha menegakkan kembali hukum yang

dilanggar oleh karena itu biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah

penegak hukum. Pengadilan dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang

berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Dalam

(18)

Anak. Dengan kata lain, fungsi tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya

pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan.

Demikian pula dengan tujuan Peradilan Anak, bukanlah semata-mata

mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan perlindungan bagi

masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh Peradilan Anak.20

Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu

peristiwa konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan

menyelesaikan perkara. Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai

putusan itu tidak dapat dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau

masalah baru. Mengingat bahwa anak harus mendapat perlindungan dan oleh

karena itu perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam

Peradilan Anak ini janganlah hendaknya ditititkberatkan kepada terbukti tidaknya

perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata tetapi harus lebih

diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi

pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan

akibat putusan itu bagi si anak demi masa depan si anak.21

Dengan demikian, melalui Peradilan Anak diharapkan adanya suatu

perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan

terjadinya pengulangan kejahatan anak melalui tindakan pengadilan yang

konstruktif.

20

Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Op. Cit., hlm.39.

21

(19)

4. Putusan

Suatu Putusan agar sah harus memuat semua hal yang diatur pada Pasal

197 ayat (1) KUHAP yaitu:

a. Kepala putusan: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA”;

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam Surat Dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

serta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi

dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam Surat Tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau

tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan

terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara

diperiksa oleh Hakim Tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur

dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan

pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

(20)

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat Surat Otentik dianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau

dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama hakim yang

memutus dan nama panitera.

Tidak dipenuhinya ketentuan huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l

mengakibatkan putusan “batal demi hukum”. Putusan yang batal demi hukum

dianggap:

a. tidak ada sejak semula (never existed);

b. tidak mempunyai kekuatan hukum;

c. tidak memiliki daya eksekusi.

Untuk berita acara pemeriksaan tetap dianggap sah, sebab yang batal demi

hukum hanya terbatas “sepanjang putusan” saja. Dengan demikian, putusan

tersebut masih dapat diperbaiki dan dijatuhkan kembali hingga memenuhi

ketentuan undang-undang. Sekiranyapun terhadap putusan yang batal demi hukum

dilakukan perbaikan, bukan berarti mengadili dan memeriksa terdakwa untuk

kedua kalinya atas peristiwa pidana yang sama.22

Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila ia berpendapat bahwa

dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang Putusan Hakim Anak yang merupakan putusan akhir terdiri dari:

a. Putusan Bebas (vrijsprak)

22

(21)

didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191

ayat (1)).

b. Putusan Lepas Dari Tuntutan Hukum

Putusan ini dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan itu tidak merupakan

suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2)).

c. Putusan Dengan Penjatuhan Pidana Atau Tindakan

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak, putusan hakim dalam sidang Pengadilan Anak dapat berupa

penjatuhan:

1. Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 23 Undang-Undang Pengadilan

Anak)

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan ialah:

a. Pidana penjara;

Pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama ½ dari maksimum

ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat (1)). Apabila anak

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada

anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun (Pasal 26 ayat (2)). Namun

dalam hal ini terdapat pengecualian bagi anak yang berumur 12 (dua belas)

(22)

b. Pidana kurungan;

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak

pidana adalah paling lama ½ dari ancaman pidana kurungan bagi orang

dewasa (Pasal 27).

c. Pidana denda;

Pada pokoknya ketentuan batas maksimal pidana denda sama dengan

ketentuan batas maksimal pidana penjara dan pidana kurungan, dimana

terdakwa anak hanya dapat dijatuhi maksimal ½ (setengah) dari yang

berlaku bagi orang dewasa (Pasal 28 ayat (1)).

Bagi orang dewasa jika hukuman denda tidak dibayar, maka hukuman itu

diganti dengan hukuman penjara atau kurungan. Berbeda dengan terdakwa

anak, apabila pidana denda ternyata tidak dibayar maka diganti dengan

wajib latihan kerja (Pasal 28 ayat (2)). Wajib latihan kerja tersebut dilakukan

paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latian kerja tidak lebih

dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari (Pasal 28

ayat (3)).

d. Pidana pengawasan.

Pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni

pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam

kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan

yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (Penjelasan Pasal 30).

Hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana pengawasan paling lama 2 (dua)

(23)

Pidana tambahan berupa: perampasan barang-barang tertentu dan atau

pembayaran ganti rugi. Mengenai pidana tambahan perampasan barang-barang

tertentu, undang-undang tidak memberi penjelasan barang-barang apa saja yang

dapat dirampas. Dalam KUHAP, barang-barang yang dapat dirampas adalah

barang-barang bukti yang diajukan di muka persidangan. Barang-barang bukti

berasal dari hasil penyitaan yang dilakukan oleh penyidik karena barang-barang

itu ada hubungannya dengan perkara pidana.

Selanjutnya mengenai pidana tambahan yang berupa ganti rugi, pada

Penjelasan Pasal 23 ayat (3) ditegaskan bahwa pembayaran ganti rugi tersebut

merupakan tanggung jawab dari orang tua atau orang lain yang menjalankan

kekuasaan orang tua. Lalu apabila orang tua atau orang yang menjalankan

kekuasaan orang tua tidak mau/ tidak sanggup membayar ganti ruginya,

bagaimana eksekusinya? Pembayaran ganti rugi apabila tidak dilaksanakan tidak

dapat digantikan dengan pidana kurungan, sebab berdasarkan Pasal 30 ayat (2)

KUHP pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan menggantikan pidana denda. Jadi

tidak mungkin pidana tambahan (ganti rugi) tersebut diganti dengan pidana

kurungan karena bukan merupakan pidana denda. Demikian pula halnya dengan

wajib latihan kerja, tidak dapat digunakan untuk menggantikan juga karena hanya

merupakan pengganti pidana denda (Pasal 28 ayat (2)). Untuk pelaksanaan

hukuman pembayaran ganti rugi tersebut sebaiknya dibuat Peraturan

Pelaksananya yang sejalan dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku sehingga

tidak saling bertentangan.23

23

(24)

2. Tindakan (Pasal 24 Undang-Undang Pengadilan)

Tindakan yang dapat dijatuhkan ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

Meskipun anak dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,

anak tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan bimbingan

Pembimbing Kemasyarakatan antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan.

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikut pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja;

Apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak

dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka hakim

dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan

Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Sehubungan dengan hal tersebut, demi kepentingan anak Undang-Undang

memberi wewenang kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat

mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman RI agar anak negara yang

bersangkutan ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang

diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta (Pasal 31 ayat (2)).

Kewenangan tersebut diberikan karena kepala instansi ini dipandang

mengetahui dengan baik mengenai perkembangan anak selama menjalani

pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, serta pembinaan anak negara

selanjutnya. Setelah mendapat izin dari Menteri Kehakiman, anak negara

tersebut dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Anak ke lembaga

(25)

rangka memberikan pendidikan bagi anak baik jasmani, rohani maupun

sosial anak.

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja seperti: pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya

dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.

Tindakan sebagaimana dimaksud di atas dapat disertai dengan teguran dan

syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Teguran dapat dilakukan secara

langsung oleh akim atau tidak langsung oleh orang tua atau wali atau orang tua

asuh. Teguran itu berupa peringatan kepada anak untuk tidak melakukan tindak

pidana lagi.

Terhadap anak yang melakukan tindak pidana apabila belum mencapai

umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dapat

dijatuhi tindakan: menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan dan latihan kerja (Pasal 26 ayat (3))

Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas tahun) melakukan

tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara

seumur hidup, maka terhadap anak tersebut dijatuhkan salah satu tindakan (Pasal

26 ayat (4)).

Terhadap sanksi hukum di atas, hakim tidak boleh menjatuhkan

kumulasi hukuman kepada terdakwa artinya hukuman pidana dan hukuman

(26)

dijatuhkan, hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman tindakan saja (Pasal 22).

Demikian juga semua putusan hakim dalam perkara apapun wajib diucapkan

dalam sidang “terbuka untuk umum” (Pasal 59 ayat (3)).

5. Faktor-Faktor Penyebab Anak Melakukan Kejahatan

Berbicara tentang pola tingkah laku anak sangat erat kaitannya dengan

fase-fase atau tahap perkembangan yang merupakan pembabakan rentang

perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola-pola

tingkah laku tertentu. Sebab pada umumnya bahwa dalam fase perkembangan ini

individu mengalami masa-masa kegoncangan. Kegoncangan psikis hampir

dialami oleh semua orang, dimana selama masa perkembangan pada umumnya

individu mengalami masa kegoncangan dua kali, yaitu pada kira-kira tahun ketiga

atau keempat, dan permulaan masa pubertas.

Berdasarkan kedua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu

dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu:24

1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat

yang biasa disebut “masa kanak-kanak”);

2. Dari masa kegoncangan pertama sampai pada masa kegoncangan kedua

yang biasa disebut “masa keserasian bersekolah”;

3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa

disebut “masa kematangan”.

24

(27)

Untuk mencapai kematangannya, maka mereka memerlukan bimbingan

karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya

dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.

Anak-anak yang beresiko tinggi sejak awal dapat diketahui atau

diidentifikasi oleh orangtua, guru, petugas panti asuhan, pelatih bermain anak, dan

pekerja-pekerja lain yang dekat dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, ada

tujuh latar belakang dan karakteristik pribadi untuk memprediksikan perilaku

anak yang beresiko tinggi melakukan tindak pidana yaitu:25

1. Umur, anak yang lebih muda jika masuk ke suatu sistem tertentu akan

mempunyai resiko lebih tinggi;

2. Pscyhological variables, yaitu sifat pembantah, susah diatur, merasa

kurang dihargai;

3. School performance, yaitu anak yang bermasalah di sekolah dengan

tingkah lakunya, pembolos;

4. Home adjustment, yaitu kurang interaksi dengan orangtua dan saudara,

kurang disiplin dan pengawasan, minggat dari rumah;

5. Drugs and alcohol use, yaitu penggunaan alkohol dan obat, anak yang

sudah mulai memakai alkohol apabila orangtuanya punya riwayat pemakai

alkohol;

6. Neighbourood (lingkungan tetangga), dimana lingkungan mudah

mempengaruhi anak seperti kemelaratan, masalah sosial dan perilaku;

25

(28)

7. Social adjustment of peers (pengaruh kekuatan teman sebaya), pertemanan

mempengarui perilaku termasuk delinquency, obat-obatan, bolos dan

kekacauan di sekolah (onar), geng, sex, dan lain-lain.

Remaja seringkali menempatkan posisi teman sebaya dalam posisi

prioritas apabila dibandingkan dengan orangtua, atau guru dalam

memyatakan kesetiaanya.

Kathleen Salle dalam hasil penelitiannya menyatakan ada beberapa faktor

sosial yang menyebabkan terjadinya tindak pidana yaitu:26

1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit

keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan

dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah

anak-anak yang dilaporkan melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus

perkara pidana yang masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan

dan jumlah anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak;

2. Adanya pengaruh teman bermain anak, dimana anak yang bergaul dengan

anak yang tidak sekolah dan kurang perhatian dari orangtuanya maka anak

tersebut besar kemungkinan melakukan delinquency;

3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas

ekonomi rendah/lemah. Perilaku kriminil ini disebabkan oleh kekurangan

fasilitas untuk bermain dan belajar yang sesuai dengan masa

perkembangan kejiwaan anak. Disamping itu, orangtua mereka kurang

memperhatikan kebutuhan anak-anaknya dikarenakan keterbatasan

26

(29)

ekonomi. Sehingga pada akhirnya, anak-anak tersebut harus melakukan

kegiatan-kegiatan yang menurutnya adalah sesuatu yang menyenangkan.

Disamping itu, dikarenakan kekurangan uang menyebabkan anak-anak

mengambil barang orang lain untuk dimilikinya atau untuk memenuhi

kebutuhan pribadinya seperti: anak melakukan pencurian sandal dan

pakaian, mengambil mainan temannya, mengambil tape mobil, dan

sebagainya;

4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam

delinquency adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home.

Adanya pengaruh keluarga yang berantakan (broken home) dengan

perilaku nakal anak, pernah dilakukan penelitian oleh para peneliti dari Amerika

Serikat. Banyak hasil penelitian memberikan dukungan bahwa delinquency

disebabkan oleh suatu keadaan broken home. Diantaranya George B. Mangold,

menyatakan bahwa broken home diperkirakan sebagai salah satu penyebab

delinquency yang paling sering .

Selanjutnya L. Edward Wells dan H. Rankin mempelajari hubungan

broken home dan delinquency, dari hasil penelitian yang dilakukan Edward

didapat kesimpulan bahwa:27

1. Kemungkinan broken home menyebabkan delinquency 10-15 % lebih

tinggi daripada tidak broken home;

27

(30)

2. Hubungan di antara broken home dan delinquency lebih kuat pada

bentuk-bentuk kriminal ringan pada anak pelaku dan tidak begitu mempengaruhi

pada kriminal serius seperti pencurian, dan kekerasan kepada seseorang;

3. Bentuk dari broken home menentukan apakah dapat menyebabkan

delinquency atau tidak. Contoh: broken home karena perceraian orangtua

lebih kuat daripada karena orangtua meninggal;

4. Umur anak pada saat broken home tidak mempengaruhi delinquency;

5. Tidak ada beda pengaruh broken home pada anak laki-laki atau

perempuan.

Menurut Elizabet Hurlock, Alexander Schneiders, dan Lore terdapat

beberapa pola sikap atau perlakuan orangtua terhadap anak yang masing-masing

mempunyai pengaruh tersendiri teradap kepribadian anak. Pola-pola tersebut

dapat disimak pada tabel berikut:28

POLA

1.Kontak yang berlebihan dengan anak;

2. Perawatan/ pemberian bantuan kepada anak yang terus-menerus, meskipun anak yang sudah mapu merawat dirinya sendiri; 3.Mengawasi kegiatan anak

secara berlebihan;

4.Memecahkan masalah anak.

1. Perasaan tidak aman; 2. Agresif dan dengki; 3. Mudah merasa gugup;

4. Melarikan diri dari

kenyataan;

5. Sangat tergantung; 6. Bersikap menyerah;

7. Ingin menjadi pusat

perhatian;

8. Lemah dalam “ego

strenght”. Aspiratif dan toleransi teradap frustasi;

9. Kurang mampu

mengendalikan emosi;

10. Menolak tanggung

28

(31)

jawab;

11. Kurang percaya diri; 12. Mudah terpengaruh; 13. Peka terhadap kritik; 14. Bersikap “yes men”; 19. Mengalami “homesick” 2.Permissiveness

(Pembolehan)

1.Memberikan kebebasan untuk berpikir atau berusaha;

2.Menerima gagasan/pendapat;

3.Membuat anak merasa

diterima dan merasa kuat;

4.Toleran dan memahami

kelemahan anak;

5.Cenderung lebih suka

memberi yang diminta anak daripada menerima.

1.Pandai mencari jalan

keluar;

2.Dapat bekerjasama; 3.Percaya diri;

4.Penuntut dan tidak

sabaran.

3.Rejection (Penolakan)

1.Bersikap masa bodoh; 2.Bersikap kaku;

1.Agresif (mudah marah, gelisah, tidak patuh/keras kepala, suka bertengkar dan nakal);

2.Submissive (kurang dapat mengerjakan tugas,

1.Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak;

2.Menempatkan anak dalam posisi penting di dalam rumah;

3.Mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak; 4.Bersikap respek terhadap

anak;

5.Mendorong anak untuk

menyatakan perasaan atau

1.Mau bekerjasama

(kooperatif);

2.Bersahabat (friendly); 3.Loyal;

4.Emosinya stabil;

5.Ceria dan bersikap

optimis;

6.Mau menerima tanggung jawab;

7.Jujur;

8.Dapat dipercaya;

(32)

pendapatnya;

6.Berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya.

Mendominasi anak 1.Bersikap sopan dan

sangat berhati-hati;

2.Pemalu, penurut, inferior dan mudah bingung; 3.Tidak dapat bekerjasama.

6. Submission (Penyerahan)

1.Senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak;

2.Membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah.

1.Tidak patuh;

2.Tidak bertanggung jawab; 3.Agresif dan teledor/lalai; 4.Bersikap otoriter;

5.Terlalu percaya diri.

7. Punitiveness/

2.Tidak dapat mengambil keputusan;

3.Nakal;

4.Sikap bermusuhan dan agresif.

Iklim keluarga yang sehat atau perhatian orangtua yang penuh kasih

sayang merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan

perkembangan psikologis anak tersebut. Keluarga yang hubungan antar

anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat

mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak.

Dalam kondisi seperti inilah banyak remaja yang meresponinya dengan

sikap dan perilaku yang kurang wajar bahkan amoral, seperti: kriminalitas,

meminum minuman keras, penyalahguanaan obat terlarang, tawuran dan

(33)

Syamsu Yusuf mengemukakan beberapa faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku menyimpang pada anak/remaja:29

1. Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan

bimbingan tentang nilai-nilai agama);

2. Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga);

3. Sikap perlakuan orangtua yang buruk terhadap anak;

4. Perceraian orangtua;

5. Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir);

6. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol;

7. Diperjualbelikannya minuman keras atau obat-obatan terlarang secara bebas;

8. Hidup menganggur;

9. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok;

10. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang;

11. Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno;

12. Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang

memperhatikan nilai-nilai moral).

Sementara itu, Muhidin mengkategorikan sebab-sebab kenakalan

anak-anak menjadi tiga kelompok, yaitu faktor individu, faktor keluarga, faktor

masyarakat:30

1. Faktor individu. Di antara faktor individu ini adalah kondisi biologis seperti

cacat fisik, kelemahan biologis yang mengakibatkan pertumbuhan dan

tingkah laku abnormal. Anak-anak yang mengalami kemunduran mental

29

Ibid, hlm. 212.

30

(34)

(mentally retarded) dan pertumbuhan intelegensi di bawah normal,

psychopathic, neorosa memungkinkan anak-anak melakukan tindakan

sosial. Bentuk-bentuk lain yang mengakibatkan tingkah laku kenakalan anak

termasuk ketidakstabilan emosi yang disebabkan oleh rasa rendah diri,

temperamen yang tidak terkontrol dan konflik-konflik dalam diri.

Sebab-sebab lain dari kenakalan yang termasuk faktor individu adalah kebiasaan

pada waktu kecil yang selalu dalam keadaan ketakutan dan penyalahgunaan

alkohol dan narkotika;

2. Faktor keluarga. Pengaruh-pengaruh negatif dari kehidupan keluarga seperti

perceraian, rumah tangga yang mengalami perpecahan sehingga anak-anak

menjadi terlantar. Anak-anak yang tanpa mendapatkan kasih sayang dan

perawatan yang wajar, keluarga yang selalu bertengkar, tanpa disiplin serta

kondisi perumahan yang tidak memadai, kurangnya waktu luang dan

rekreasi serta kurangnya pendidikan moral dan agama dalam keluarga juga

menyebabkan kenakalan;

3. Faktor masyarakat. Pengaruh dari gangster dan street corner association

(kelompok anak jalanan) yang disebabkan oleh kurangnya rekreasi yang

sehat dan community centre atau youth centers yang mendorong anak untuk

berkumpul dan berkenalan dengan peminum, penjudi, dan prostitut. Juga

(35)

6. Pengertian Hakim Anak

Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak maka yang dimaksud dengan Hakim Anak adalah hakim yang

ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul

Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.

Jadi ruang lingkup Hakim Anak disini adalah memeriksa dan memutus perkara

anak dalam tingkat pertama di Pengadilan Negeri, dengan demikian Hakim

Banding Anak dan Hakim Kasasi Anak tidaklah sama dengan Hakim Anak.

Adapun yang menjadi syarat-syarat seorang hakim untuk dapat ditetapkan

sebagai Hakim Anak adalah (Pasal 10):

a. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum.

Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak tidak ada menjelaskan maksud dan batasan “telah

berpengalaman”. Oleh karena itu perlu ditetapkan berapa lamanya pengalaman

seorang hakim di pengadilan negeri dianggap memenuhi syarat untuk diangkat

sebagai Hakim Anak.

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa lima tahun telah cukup kiranya

bagi seorang hakim untuk menguasai hukum acara dan hukum materiil serta

mengenal variasi jenis perkara yang ditangani31

31

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm.53

(36)

b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.

Pada Penjelasan Atas Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mempunyai minat,

perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak” adalah memahami:

1. Pembinaan anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan

santun, disiplin anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif,

afektif, dan simpatik;

2. Pertumbuhan dan perkembangan anak;

3. Berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang mempengarui

kehidupan anak.

Wujud konkrit dari mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami

masalah anak ini dapat dilihat dari peran aktif hakim dalam mengikuti

seminar-seminar, diskusi maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan anak.32

32

Hasil wawancara dengan Hakim Anak di Pengadilan Negeri Medan, 23 Maret 2009.

Walaupun banyak tersedia hakim yang telah berpengalaman akan tetapi

mereka tidak mungkin dapat diangkat menjadi Hakim Anak apabila yang

bersangkutan tidak memiliki minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah

anak. Ini berarti tidak semua hakim yang telah berpengalaman dapat menjadi

Hakim Anak. Ada kecenderungan dalam praktek untuk menggunakan hakim

wanita dan telah berkeluarga, dengan pertimbangan bahwa kaum ibu pada

umumnya lebih dekat, dan sabar dalam menghadapi anak serta mengerti

permasalahan anak. Selama ini juga terbukti, bahwa hakim wanita tidak kalah

(37)

Mengenai syarat ini, Mahkamah Agung menyerahkan sepenuhnya

penilaian tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat tanpa seleksi lebih

lanjut. Sebagaimana dinyatakan oleh Bagir Manan, bahwa jumlah hakim tidak

begitu banyak dan tentulah Ketua Pengadilan sudah lebih mengetahui siapa saja

yang layak menjadi Hakim Anak, jadi proses penyeleksian tidak perlu

dilakukan.33

1. Spesifikasi Penelitian

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam

mengejakan skripisi ini meliputi:

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam hal penelitian

hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap bahan pustaka

yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, serta

melakukan analisis terhadap putusan pengadilan. Dalam penelitian hukum

empiris, penulis melakukan penelitian terhadap data primer yang yang

diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari

perpustakaan.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan penyebaran

33

(38)

angket/kuisioner. Sedangkan data sekunder meliputi peraturan

perundang-undangan, buku-buku, situs internet, putusan pengadilan serta

bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research

(penelitian kepustakaan) sebagai sumber data sekunder yakni dengan

mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet dan

mempelajari serta menganalisis putusan. Digunakan juga metode Field

Research untuk medapatkan data primer dengan melakukan wawancara

dengan berbagai narasumber yaitu salah seorang Hakim Anak Pengadilan

Negeri Medan dan enam orang Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan

Kelas IIA Anak Tanjung Gusta Medan serta penyebaran angket berupa

daftar pertanyaan (kuisioner) kepada 50 orang responden yaitu Anak

Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Anak Tanjung Gusta

Medan

4. Analisis Data

Data sekunder dan primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara

kualitatif yaitu dengan apa yang diperoleh dari penelitian di lapangan

secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan

(39)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu:

1. BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang

penulisan, identifikasi permasalahan, keaslian penulisan, tujuan dan

manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan

sistematika penulisan.

2. BAB II : PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DALAM PROSES

PERADILAN ANAK

Bab ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang

dimuat dalam instrumen Hukum Internasional dan instrumen Hukum

Nasional

3. BAB III : PERANAN HAKIM ANAK DALAM PENJATUHAN

PUTUSAN ATAS PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN ANAK

Bab ini membahas tentang kewajiban dan wewenang Hakim Anak serta

faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim Anak dalam

menjatuhkan putusan.

4. BAB IV : KASUS DAN ANALISA KASUS

Bab ini membahas tentang satu putusan yaitu putusan Pengadilan Negeri

Medan dengan No. 3403/Pid.B/2007/PN-Mdn, dengan terlebih dahulu

(40)

5. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam Bab Penutup ini akan diberikan kesimpulan yang diperoleh dari

hasil penelitian yang diharapkan menjawab permasalahan-permasalahan

yang ada. Selain itu dalam bab ini juga akan diberikan saran-saran dalam

menyelesaikan atau membantu mengurangi masalah-masalah yang dibahas

Referensi

Dokumen terkait

The sur- vey did not ask how lecturing time was used by the instructors, but the coverage of statistics textbooks and the nature of students’ concerns would suggest that

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.30/POJK.04/2015 tentang Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran

Ketentuan mengenai Dana Pensiun khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun Pemberi

Supporting Material A variety of types of supporting materials (explanations, examples, illustrations, statistics, analogies, quotations from relevant authorities)

- Menjelaskan pengertian sifat wajib bagi Allah - Menyebutkan lima sifat wajib bagi Allah SWT.. - Menunjukkan perbedaan sifat Allah SWT dengan makhluknya 2.2 Mengartikan lima

Khalayak terutama remaja Ponorogo lebih tertarik mendengarkan program acara yang ada di Radio Romansa dibandingkan dengan program acara yang ada di Radio lain di Ponorogo,

Dari gambar tersebut diketahui bahwa dari kesepuluh faktor yang berpengaruh terhadap percepatan pengemba- ngan industri hilir perkebunan, ternyata hanya 4 faktor

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.J DENGAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI PENDENGARAN.. DI RUANG BIMA RUMAH SAKIT UMUM