BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat memiliki dinamika kehidupan yang selalu berubah-ubah. Hal ini karena dipengaruhi adanya budaya-budaya asing yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga memudarkan budaya asli yang dimiliki masyarakat itu sendiri. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh majunya teknologi dan globalisasi.
Tidak hanya budaya asing yang masuk dan mempengaruhi perubahan sosial ini, industrialisasi yang berkelanjutan juga memberikan pengaruh besar terhadap perubahan dan dinamika masyarakat, akibatnya muncul urbanisasi dan gerakan demokrasi untuk menata kembali masyarakat sesuai dengan prrinsip-prinsip kehidupan demokrasi.1
Perubahan-perubahan dalam masyarakat tentu saja dihadapkan kepada tradisi dan pemikiran yang sudah mapan dan berimplikasi menimbulkan situasi-situasi konflik. situasi-situasi konflik ini rentan merampas hak-hak masyarakat yang ada sehingga dapat menimbulkan korban.
Penimbulan korban tentu saja tidak terlepas dari suatu tindakan yang dianggap menyalahi norma yang benar dalam kehidupan masyarakat baik norma yang tertuang dalam peraturan ataupun norma yang tidak tertulis (norma yang hidup dalam masyarakat), baik itu norma hukum, kesusilaan, kesopanan dan agama.
Suatu tindakan yang menyalahi norma tertulis tentu saja mempunyai sanksi yang tegas. Dalam norma hukum yang tertuang dalam suatu produk perundang-undangan memiliki ketegasan yang memberikan kejelasan terhadap suatu tindakan yang salah. Tindakan-tindakan yang salah itu dapat berupa kejahatan ayaupun pelanggaran. Tergantung bagaimana akibat dari tindakan itu ketika tindakan itu telah diperbuat.
Tindakan melawan hukum yang pertumbuhannya sangat membahayakan merupakan suatu penyakit masyarakat, artinya hal tersebut dapat mengganggu stabilitas kehidupan dalam masyarakat. Sehingga tindakan ini harus dicegah melalui instrumen hukum yang ada.
Penyalahgunaan Narkotika dewasa ini dapatlah dianggap sebagai penyakit masyarakat karena tindakan ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan tertentu dengan kualitas-kualitas tertentu, tetapi telah mewabah dan menjangkau seluruh strata sosial masyarakat dengan sasaran potensialnya adalah kalangan yang rentan menjadi korban dalam hal ini adalah generasi muda.
Narkotika pada dasarnya sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu, disatu sisi untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengeetahuan tetapi disisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor Tahun 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, meskipun demikian, penyalahgunaan terhadap narkotika tetap terjadi.
Pengaturan narkotika ini untuk mencegah agar penyalahgunaan narkotika tidak menyebar luas dan menjadi penyakit masyarakat yang meresahkan di semua strata sosial. Pencegahan itu sasarannya untuk pelaku maupun korban penyalahgunaan narkotika. Realitasnya, pelaku penyalahgunaan itu sendiri menjadi korban karena pelaku penyalahgunaan hanya menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu, terhadap pelaku yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika haruslah diberi perlindungan hukum. Lantas bagaimana perlindungan hukum itu dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana.
Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika melalui sistem peradilan pidana?
A. Pengertian Korban
Pengertian korban menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia korban adalah sesuatu (orang, binatang, dan sebagainya) yang menjadi penderita karena dikenai perbuatan atau kejadian.2
Sebagai acuan definisi terkait korban tertuang dalam kesepakatan internasional, yaitu dalam rancangan deklarasi dan resolusi kongres Perserikatan bangsa Bangsa (PBB) Ke 7, yang kemudian menjadi resolusi MU PBB 40/34 tertanggal 29 Nopember 1995 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power.3
Barda Nawawi Arief menterjemahkan sebagai berikut, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu korban termasuk juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional.4
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Yang dimaksud dengan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.5
Menurut Arif Gosita, pengertian korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
2 Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Tanpa Tahun, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Arkola, Surabaya, Hlm. 294.
3Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Dibidang Pertanahan, LaksBang Pessindo, Yogyakarta, Hlm, 17-18.
4Barda Nawawi Arief, 1997, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Kumpulan Makalah), ex Kerjasama Indonesia Belanda Bidang Hukum, Semarang, Hlm, 51-52.
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.6 Korban
yang dimaksud oleh Arif Gosita diantaranya individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah.
Pengertian korban menurut Stanciu yang dikutip oleh Farhana menyatakan bahwa “the victim, in the broad sense, is who suffer unjustly (from the latin victima, which signifiers the creature offered in sacrifice to the gods). Thus, the two characteristics traits of the victim are suffering and injustice. Suffering must be unjust and not necessary illegal.”7
Menurut Mardjono, mengenai korban meliputi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang bersumber dari penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan ketenagakerjaan, penipuan konsumen, penyelewengan dalam bidang perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan sebagainya, dan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuse of public power), seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa dan sebagainya.8
Pengertian korban tidak hanya sebatas pengertian saja, tetapi ada juga ciri yang melekat pada pengertian korban. Ciri yang dimaksud adalah bahwa korban mengalami penderitaan (suffering) dan ketidakadian (injustice).9
B. Model Perlindungan Korban
Model perlindungan korban dapat dibagi atas beberapa macam model, yaitu10:
6 Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, Hlm. 41.
7 Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Pendekatan Viktimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Farhana, 2010, Aspek Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 157.
8 Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban dalam Ibid, Hlm. 158.
9Ibid, Hlm. 157.
1. The Procedural Right Model
Model ini menekankan dimungkinkannya korban berperan aktif dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat dan lain-lain. Model ini melihat korban sebagai subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya.
Keuntungan model ini adalah model ini dianggap dapat memenuhi perasaan untuk membalas si korban maupun masyarakat. Selain itu, keterlibatan korban seperti ini memungkinkan korban untuk memperoleh kembali rasa percaya diri dan harga diri dan meningkatkan arus informasi ini didominasi oleh terdakwa yang melalui kuasa hukumnya yang dapat menekan korban sebagai saksi korban dalam persidangan.
Model ini juga memliki kelemahan, bahwa model ini dapat menimbulkan konflik antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Partisipasi korban dalam administrasi peradilan pidana dapat menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan pribadi, padahal sistem peradilan pidana harus berlandaskan pada kepentingan umum. Kerugian lain adalah kemungkinan hak-hak yang diberikan pada korban dapat menimbulkan beban mental bagi yang bersangkutan dan membuka peluang untuk menjadikannya sebagai sasaran tindakan-tindakan yang bersifat menekan dari pelaku tindak pidana.
Secara psikologis, praktis, dan finansial kadang-kadang dianggap juga tidak menguntungkan. Kegelisahan, depresi, dan sikap masa bodoh korban tidak memungkinkan baginya berbuat secara wajar, dan berpendidikan rendah.
2. Service Model
digunakan polisi. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk melayani dalam kerangka para penegak hukum.
Keuntungan model ini adalah model ini dapat digunakan sebagai sarana pengembalian kondisi korban yang dinamakan integrity of the system of institutionalized trust, dalam kerangka perspektif komunal. Korban akan merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana tertib sosial yang adil. Suasana tertib, terkendali dan saling mempercayai dapat diciptakan kembali. Model ini dapat menghemat biaya sebab dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan kerugian-kerugian yang diderita korban dalam rangka menentukan kompensasi bagi korban.
Kelemahan model ini antara lain kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selalu melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada korban, dianggap akan membebani penegak hukum kaena semua didasarkan atas sarana dan prasarana yang sama. Efesiensi dianggap juga akan terganggu, sebab pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin digabungkan dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu efesiensi.
C. Tinjauan Umum Mengenai Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sitesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkn keetergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.11
Narkotika golongan I, ini hanya dapat di gunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi yang menimbulkan ketergantungan. Contohnya: Heroin, Cocain, Ganja, Shabu, Extacy, LSD, Opium.
Narkotika golongan II ini adalah yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan terapi dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang mempunyai potensi tinggi yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Contohnya: Morfin, Petidin.
Narkotika golongan III, Narkotika jenis ini yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan terapi dan pengembangan Ilmu pengetahuan yang mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contohnya: Codein, Bufrenofin.
Dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur mengenai korban sebagai penyalahguna narkotika. Tata cara pemberian sanksi dan sanksi yang dikenakan bagi korban penyalahguna narkotika terdapat dalam Pasal 4, Pasal 53, Pasal 103 dan Pasal 127.
D. Sistem Peradilan Pidana
Pada dasarnya ada beberapa model yang berkembang baik di negara kontinental maupun di negara anglo saxon. Model ini tidak dapat dilihat sebagai suatu yang absolut atau bagian dari kenyataan hidup yang harus dipilih melainkan harus dilihat sebagai sistem nilai yang bisa dibedakan dan secara bergantian dapat dipilih sebagai prioritas di dalam pelaksanaan proses peradilan pidana.
Beberapa model sistem peradillan pidana dapat dijelaskan sebagai berikut:12
1. Crime Control Model
Dalam crime control model (CCM) didasarkan pada pernyataan bahwa tingkah laku kriminil haruslah ditindak, dan proses peradilan pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum. Untuk mencapai tujuan yang amat tinggi ini, maka ccm menyatakan bahwa perhatian utama haruslah ditujukan pada efesiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efesiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya
perlawanan dari pihak lain karena hal itu hanya menghambat penyelesaian perkara.
Doktrin yang digunakan oleh CCM adalah apa yang dikenal dengan nama presumtion of guilt (praduga bersalah). Dengan doktrin ini maka CCM menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa, dan hakim) harus semaksimal mungkin meskipun mengorbankan hak-hak asasi manusia.
2. Due Process Model
Model ini merupakan reaksi terhadap CCM, pada hakekatnya menitikberatkan pada hak-hak individu dan berusaha melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang penguasa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa proses pidana harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi manusia dan tidak hanya ditekankan pada maksimal efesiensi belaka seperti CCM melainkan pada prosedur penyelesaian perkara. Pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah ini mencerminkan ideologi atau cita-cita cpm yang mengandung apa yang disebut anti cita-cita kesewenangan.
Berbeda dengan CCM yang didasarkan presumption of guilt
maka pada DPM didasarkan pada presumption of innocence sebagai dasar nilai sistem peradilan. Oleh DPM dituntut adanya suatu proses penyelidikan terhadap suatu kasus secara formal dan menemukan fakta secara obyekif di mana kasus seorang tersangka atau terdakwa didengar secara terbuka di muka persidangan dan penilaian atas tuduhan penuntut umum baru akan dilakukan setelah terdakwa membantah atau menolak tuduhan kepadanya. Jadi yang penting ialah pembuktian dalam pengadilan dan tuntutan bagaimana akhir dari suatu proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting dalam DPM.
Family model adalah suatu perumpamaan yang ada dalam keluarga kita yakni meskipun salah satu keluarga kita pukul, jewer namun dia tetap dalam kasih sayang tanpa memperlakukan sebagai orang jahat yang khusus (special criminal puple). Demikian pula terhadap penjahat, jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai anggota masyarakat dan tetap dalam suasana kasih sayang. Inilah gambaran dari family model.
Dalam sistem peradilan pidana ada beberapa tahapan, diantaranya adalah:
1. Penyidikan
KUHAP memberikan definisi penyidikan sebagai berikut:13
“serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik
b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. c. Pemeriksaan ditempat kejadian. melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.14
Mengenai kebijakan penuntut, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyelidikan apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili.15
3. Pemeriksaan Perkara di Persidangan
Pemeriksaan perkara ini dibagi menjadi tiga cara, yaitu: a. Pemeriksaan biasa
Pada pemeriksaan perkara biasa dalam undang-undang tidak mencantumkan batasan-batasan tentang perkara-perkara yang masuk dalam pemeriksaan biasa.
Yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat adalah yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 baggian ini.17
E. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Melalui Sistem Peradilan Pidana
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, mengenai perlindungan hukumnya terhadap korban penyalahgunaan narkotika atau dapat disebut self victimizing menganut service model. Hal ini dikarenakan pada awalnya korban penyalahgunaan narkotika ini sebelumnya bertindak sebagai pelaku yang menggunakan narkotika.
14 Lihat Pasal 1 Angka 7 Kitab Hukum Acara Pidana.
15 Lihat Pasal 139 Kitab Hukum Acara Pidana.
16 Lihat Pasal 203 Ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana.
Tujuan dari perlindungan hukum dengan model pelayanan ini adalah untuk mengembalikan kondisi korban yang dalam Undang-Undang Tentang Narkotika adalah rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 54 dan Pasal 55.
Penyidikan yang dilakukan kepada pelaku pengguna narkotika (pecandu narkotika) dilakukan dengan asas praduga tidak bersalah. Maksud dari penggunaan asas ini supaya penyidikan dapat menemukan fakta secara obyektif, untuk membuktikan bahwa pecandu menggunakan narkotika untuknya sendiri. Penyidikan yang dilakukan terhadap pecandu narkotika haruslah mendapat bantuan hukum, supaya hak-haknya tersampaikan tanpa tekanan.
Dalam hal penuntutan, jaksa penuntut umum harus membuktikan bahwa pelaku benar-benar cukup bukti untuk menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika hanya untuk dirinya sendiri. Penuntutan yang dilakukan juga harus bersandarkan pada asas praduga tak bersalah agar fakta-fakta yang didapat selama proses pembuktian dipersidangan dinilai secara obyektif oleh hakim.
Sebagai upaya perlindungan hukum terhadap pecandu narkotika, Berdasarkan Pasal 103, Hakim dapat memutus untuk memerintahkan pecandu narkotika menjalani perawatan atau pengobatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti secara sah melakukan penyalahgunaan narkotika sekalipun penggunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri diancam dengan sanksi pidana 4 tahun penjara.
Hal ini sebagai upaya bahwa terhadap pecandu narkotika bukanlah harus diberikan sanksi tegas berupa sanksi pidana, melainkan harus dengan upaya-upaya yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi/keadaan si pecandu narkotika dalam hal ini merupakan korban.
A. Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika menggunakan model pelayanan, artinya konsep perlindungannya diwakilkan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya. Dalam sistem peradilan pidana, perlindungan hukum itu dilakukan dengan menggunakan asas praduga tak bersalah (presumption of innoncence) dengan harapan agar fakta-fakta yang dihadirkan dalam setiap proses peradilan dimulai tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidanga dapat dinilai secara obyektif.
Sebagai salah satu upaya perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika sebagai pelaku yang menjadi korban, penerapan sanksi pidana dapat diabaikan dengan adanya Pasal 54, Pasal 55 yang mengatur mengenai rehabilitasi dan Pasal 103 mengenai hakim dalam memutus perkara terhadap pecandu narkotika yang terbuti maupun tidak terbukti secara sah.
B. Saran