• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reforma Agraria Sejarah Konsep dan Imple (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Reforma Agraria Sejarah Konsep dan Imple (1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Reforma Agraria

Sejarah, Konsep dan Implementasinya1

Oswar Mungkasa2

Salah satu program prioritas dari pemerintahan baru adalah reforma agraria, yang secara jelas tercantum dalam dokumen Visi Misi dan Program Aksi.JALAN PERUBAHAN untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian (Nawacita).Reforma agraria menjadi bagian kelima Nawacita, yaitu kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Tulisan berikut menjelaskan secara ringkas sejarah awal, konsep dasar dan pembelajaran implementasi di Indonesia.

A. Pemahaman Dasar

Pengertian Reforma Agraria

Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latinager yang artinya sebidang tanah(bahasa Inggrisacre).Kata bahasa Latinaggrariusmeliputi arti yang adahubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum, bersifat

perdesaan.Katareform merujuk pada perombakan, mengubah dan

menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan.Dengan demikian reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, buruh tani (Rolaswati, tanpa tahun).

Sementara pengertian reforma agrariayang lebih lengkap (Tuma,

1965)adalahsuatu upayasistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktutertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial sertamenjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis danberkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengansejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petanikhususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya (Bachriadi, 2007)

Landreform atau Reforma Agraria

Istilah landreform pertama kali dicetuskan oeh Lenin dan banyak digunakan di negara komunis atau blok timur pada saat itu dengan adagium “land to the tiller” untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis (Sumaya, 2003).

Tentu saja pemahaman ini berbeda dengan yang dipergunakan di

Indonesia.Pengertian landreform dalam UUPA dan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960

merupakan pengertian dalam arti luas sesuai pengertian FAO (Food and Agriculture Organization) yaitu meliputi program tindakan yang saling berhubungan yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi, sosial yang timbul dari kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan (Hermawan, 2003)

Sementara dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian

Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dijelaskan bahwa landreform bertujuan

       1 

Dimuat pada Buletin Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014 Terbitan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas.

(2)

mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.

Siregar (2008) menjelaskan landreform sebagai usaha sistematis untuk

memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan yang dilakukan melalui penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrarian baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan dan diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri” (Utami, 2013).

Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan memperbaiki keadaan

sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah (Utami, 2013). Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak

kejadian, petani yang telah memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian

melepaskan kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.

Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya konsep reforma agraria,

yaitu landreformdalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah

(reforma aset) yang didukung oleh program penunjang seperti pengairan,perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya (reforma akses). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa reforma agraria terdiri dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset dan reforma akses.

Tuma (1965)menyimpulkan bahwa “landreform” dalam pengertian luas akhirnya dapatdisamakan dengan reforma agraria, yakni suatu upaya untukmengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas.Jadireforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus (Bachriadi, 2007).

Pentingnya Reforma Agraria

Alasan mendasar reforma agraria dibutuhkan, terutama ketika corak dan sistem masyarakat masih agraris (Carebesth dan Bahari, 2012), adalah keadilan dan penghapusan segala bentuk penghisapan.Pembangunan bagaimanapun juga harus dilandasi rasa keadilan dan pemerataan.Reforma agraria yang salah satu aspeknya adalah landreform merupakan upaya untuk menciptakan pemerataan sosial-ekonomi di berbagai lapisan masyarakat di pedesaan.

Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi.Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat marjinal semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah.

Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat secara langsung tetapi juga pada program pemerintah seperti ketahanan pangan, perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin, 2012).

(3)

kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seutuhnya.

Tipe Reforma Agraria

Menurut Fauzi (2008), terdapat

4 (empat) tipe landreform berdasarkan aktor utama Penggeraknya, yaitu (i) Market-Led Landreform

• Pertimbangan utamanya adalah pencapaian efisiensi/produktivitas secara ekonomis;

• Mengurangi peran negara;

• Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam Reforma Agraria, sesungguhnya berada di bawah perintah pelaku pasar;

• Nyatanya, ‘terpusat pada pasar’ artinya ‘terpusat pada tuan tanah/pedagang/perusahaan asing’.

(ii) State-Led Landreform

• Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan mengamankan/ men-jaga legitimasi politik, meskipun agenda pembangunan juga penting;

• ‘Komitmen politik yang sangat kuat’ sangat dibutuhkan untuk mewujud-kan agenda landreform, plus perbaikan akses lainnya;

• Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara administratif;

• Partisipasi pelaku‐pelaku pasar sangat rendah, kecuali mereka yang terpi-lih karena lebih memiliki pengaruh dalam kebijakan pemerintah dan elite pejabatnya.

(iii) Peasant-Led Landreform

• Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu terbelenggu oleh

kepentingan elit’, sementara kekuatan pasar juga sama dengan kepentingan elit.

• Dengan demikian, satu satunya cara untuk mencapai reforma agraria y ang

pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandi ri mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria.

(iv) Pro-Poor Landreform

• Asumsi utama tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani dan organisasi mereka; dan juga tidak meromantisasi sifat budiman negara.

• Mendasarkan pada keterkaitan masalah keadilan, produktivitas dankerusak an lingkungan hidup; serta keberkaitan antara perspektif

yang mampu menjelaskan masalah tersebut;

• Menganalisa negara, gerakan petani dan kekuatan pasar bukan

sebagai kelompokyang terpisah, namun sebagai pelaku yang terhubung sa tu sama
lain
melalui
cara
bagaimana
tanah
dan kekayaan
alam


diperebutkansecara
politis
dan
ekonomis;

• Memiliki
tiga
ciri
kunci:
‘berpusat
pada
petani’,
‘didorong
oleh


negara’,dan 'meningkatkan
produktivitas
secara
ekonomis,
keadilan
sosial,


dan pemulihan
lingkungan’.

(4)

dibagikan kepada petani tidak bertanah; (ii) land restitution, tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah masyarakat diambil alih negara, kemudian tanah dikembalikan kepada pemilik asal dengan kompensasi; (iii) land colonization, pembukaan dan pengembangan daerah baru, kemudian penduduk dari daerah padat dipindahkan ke daerah baru tersebut, dan diberi tanah dengan luasan tertentu. Sejenis dengan program trnasmigrasi di Indonesia; (iv) market-based landreform, dilaksanakan berdasar atau bantuan mekanisme pasar.

B. Sejarah Awal Reforma Agraria3

Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan diterbitkannya undang-undang agraria (Seisachtheia).Undang-undang ini diterbitkan untuk membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari kondisi pemerasan oleh pemegang gadai.Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus melalui program redistribusi disertai fasilitas kredit.

Pada belahan dunia lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah dimulai reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan pada 134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah milik umum.

Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure movement, yaitu

pengaplingan tanah pertanian dan padangpengembalaan yang tadinya disewakan untuk umum menjadi tanah individu.

Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat Revolusi Perancis (1789) dengan menghancurkan sistem penguasaan tanah feodal.Tanah dibagikan kepada petani.Tujuan utamanya adalah (i) membebaskan petani dari perbudakan; (ii) melembagakan usaha tani keluarga yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal.Gerakan ini berpengaruh luas ke seluruh Eropa.Terbukti pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan (tenancy). Bulgaria relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan reforma agraria yang utuh, mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan usaha tani.

Gelombang reforma agraria juga menjangkau Rusia pada saat kaum komunis merebut kekuasaan di Rusia tahun 1917, yang dikenal dengan Stolypin Reformsdalam

bentuk (i) hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; (ii) penyakapan atau tenancy

(sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya) dilarang; (iii) penguasaan tanah absentee

dilarang; (iv) hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas kriteria luas tanah yang benar-benar digarap; (v) menggunakan buruh upahan dilarang.

Tidak terbendung kemudian reforma agraria menjangkau Cina melalui 3 (tiga) program besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah menata kembali struktur penguasaan tanah.Program ini mengalami stagnasi ketika dijajah oleh Jepang (1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah era penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961. Tanah milik tuan tanah dibagikan kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam perkembangannya menjadi milik Negara tetapi petani mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut (BPN, 2007). Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan tabungan perdesaan.

       3

(5)

Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II reforma agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan pada era 1950-1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing-masing negara memiliki cirinya masing-masing.

Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah

Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada

penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika (BPN, 2007).

Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an. Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih, program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez memasukkan reforma agraria ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan tanah (BPN, 2007).

Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan pembangunannya (BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua negara berhasil melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.

Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika dilaksanakan konperensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) yang diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma. Konperensi ini menjadi tonggak penting karena berhasil menelurkan deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants’ charter/Piagam Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia,serta reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.

C. Reforma Agraria di Indonesia

Sejarah Awal Reforma Agraria/Landreform

Pengaturan pertanahan di Indonesia sudah dimulai dengan terbentuknya panitia Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia ini mengusulkan tentang asas yang akan merupakan dasar hukum agraria, diantaranya adalah (i) pengakuan adanya hak ulayat, (ii) pembatasan minimum (dua hektar) dan maksimum (10 hektar) tanah pertanian per keluarga, dan (iii) perlunya pendaftaran tanah. Selanjutnya terbentuk Panitia Agraria Jakarta menggantikan Panitia Yogyakarta melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 dengan Ketua Sarimin Reksodihardjo (kemudian digantikan oleh Singgih Praptodihardjo) yang menghasilkan keputusan penting yang relatif senada diantaranya adalah (i) batas minimum pemilikan tanah pertanian (2 hektar) per keluarga; (ii) mengadakan ketentuan maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa dan hak pakai; (iii) pengaturan hak ulayat dengan undang-undang.

(6)

yang terpenting adalah (i) asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara; (ii) diakuinya hak ulayat; (iii) dualisme hukum agraria dihapuskan; (iv) penetapan batas masimum dan minimum luas tanah yang boleh dimiliki; (v) tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri; (vi) diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

Naskah rancangan Panitia Soewahjo kemudian disempurnakan kemudian diberi nama Rancangan Soenarjo mengikuti nama Menteri Agraria pada saat itu dan diajukan ke DPR pada tahun 1958. Namun kemudian dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, sementara Rancangan Soenarjo berdasarkan UUDS 1950, kemudian disusun kembali naskah undang-undang tersebut. Rancangan yang baru tersebut dinamai Rancangan Sadjarwo mengikuti nama Menteri Agraria pada saat itu, yang kemudian diajukan kembali ke DPRGR. Naskah ini yang akhirnya disetujui menjadi UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 (Harsono, 1999 dan Hakim, tanpa tahun)

Landasan Hukum dan Regulasi

Landasan utama reforma agraria (landreform) tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklan-juti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu (i) tidak memberlaku-kan lagi hukum agraria kolonial, (ii) membangun hukum agraria nasional. UUPA juga merupakan undang-undang yang mem-berlakukan reforma agraria yang ditandai adanya Panca Program Reforma Agraria Indonesia, khususnya program ketiga yaitu perombakan pemilikan dan penguasaan atas Sejarah Kebijakan Pertanahan

Periode 1945 – 1960:

Kebijakan pertanahan periode ini difokuskan pada pembenahan penguasaan dan pemilikan dari sistem kolonialis menjadi sistem nasional. Dalam periode ini penguasaan dan kepemilikan asing dinasionalisasi. Dan penguasaan, pemilikan tanah luas, perdikan, swapraja, partikelir, dan lainnya yang tidak sesuai dengan jiwa kemerdekaan diatur kembali penggunaan dan penguasaanya oleh negara untuk kepentingan nasional.

Periode 1960-1967:

Di masa ini, kebijakannya melanjutkan kenijakan yang telah dijalankan sebelumnya, dalam periode ini kebijakan diarahkan pada distribusi dan redistribusi tanah oleh negara

yang diperuntukkan kepada petani

gurem/petani penggarap dan buruh tani. Periode ini dikenal dengan periode Land Reform.

Periode 1967-1997:

Sejalan dengan perkembangan dan

pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode ini pembangunan pertanahan diarahkan untuk mendukung kebijakan penanaman modal atau investasi, tanpa meninggalkan kebijakan untuk sertipikasi tanah-tanah golongan ekonomi lemah.

Periode 1997-2005:

Di awal era reformasi, kebijakan pertanahan lebih diarahkan pada kebijakan-kebijakan yang langsung menyentuh masyarakat, yang menekankan pada pendaftaran tanah yang dikuasai/dimiliki golongan-golongan tidak mampu.

Periode 2005-kini:

Pada periode ini, kebijakan pertanahan diarahkan pada "tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat". Periode ini ditandai dengan kebijakan penertiban tanah terlantar, penyelesaian sengketa, redistribusi tanah, peningkatan legalisasi aset-tanah masyarakat yang diimplementasikan melalui Reforma Agraria.

(7)

tanah serta hubungan hukum yang ber-hubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang dikenal sebagai landreform (Hakim, tanpa tahun)

Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada muatannya, mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai pasal 19 maupun ketentuan Konversi (Parlindungan, 1987). Secara umum, materi UUPA yang sangat erat terkait landreform adalah pasal 7 yang membatasi pemilikan dan penguasaan tanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri secara aktif, dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas pemilikan tanah.

Sebagai tindak lanjut dari pasal 7 dan 17 UUPA tentang pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah serta batas maksimum-minimum pemilikan tanah, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dikenal sebagai UU Landreform. UU ini mengatur 3 (tiga) masalah pokok yaitu (i) penetapan luas maksimum penguasaan tanah, (ii) gadai tanah; (iii) luas minimum tanah pertanian.

Selanjutnya dikenali adanya UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak

atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. UU ini merupakan peraturan pelaksana dari UUPA khususnya Pasal 18 yang menyatakan, bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. UU No. 20 Tahun 1961 ini memberi kewenangan kepada Presiden untuk mencabut hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian.

Sementara pemberian ganti rugi pada bekas pemilik tanah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 yang diubah dengan PP Nomor 41 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. PP ini diantaranya mengatur obyek dan subyek landreform termasuk lembaga pendukung landreform. Hal ini membuktikan bahwa landreform di Indonesia pada dasarnya tidak sekedar redistribusi tanah tetapi juga mengatur tindak lanjut pembagian tanah tersebut, sehingga tujuannya tidak sekedar pemerataan tetapi juga peningkatan kesejahteraan petani (Sumaya, 2009).

Selain itu, yang mungkin kurang dikenal sebagai regulasi yang terkait landreform adalah UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH), yang melindungi golongan ekonomi lemah (petani penggarap) dari praktek bagi hasil yang merugikan. Terkait pendaftaran tanah, yang merupakan alat mengendalikan luas kepemilikan dan penguasaan tanah, diterbitkan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Upaya pelaksanaan landreform juga didukung oleh beberapa regulasi seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform secara Swadaya, Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absente Baru, serta Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Obyek Redistribusi Landreform.

(8)

segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas (Shohibuddin, 2009). Tidak banyak yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang mengawali komitmen kita menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam rangka Pelaksanaan Landreform.

Pada tahun 2001, MPR kembali menelurkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang secara jelas mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan.

Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu, BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma agraria.

Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.

Terlepas dari peraturan perundang-undangan dan regulasi yang ada, pada dasarnya sejak awal MPR telah menunjukkan keinginan yang teguh untuk mendorong agar pemerintah melaksanakan program landreform. Terbukti dari pencantuman frasa “penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sehingga benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata”,termasuk menjadikan program transmigrasi sebagai bagian dari upaya landreform,pada setiap Garis Besar Haluan Negara (GBHN)4

. Bahkan dalam GBHN 1988 secara khusus terdapat frasa “perlu dicegah pemilikan tanah perseorangan secara berlebihan, serta pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi sumber kehidupan yang layak” (Hendrawan, 2003)

Tujuan Reforma Agraria (Landreform)

Pada masa awal terbitnya UUPA No. 5/1960, landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata (PP No. 224/1961).

Menteri Agraria Sadjarwo dalam pidato pengantar penyerahan rancangan UUPA pada tanggal 12 September 1960 menyatakan bahwa tujuan pelaksanaan

       4

(9)

landreform di Indonesia adalah (i) mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah; (ii) melaksanakan prinsip tanah untuk petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; (iii) memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik; (iv) mengakhiri sistim tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimumuntuk tiap keluarga (Gautama, 1986).

Namun menurut Zulkarnain (2004), tujuan landreform dapat dikategorikan

dalam 3 (tiga) tujuan yaitu (i) ekonomis, untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik rakyat serta memberi fungsi sosial pada hak milik, memperbaiki produksi nasional khususnya di sektor pertanian guna mempertinggi taraf hidup rakyat; (ii) politis, mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas, mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah; (iii) psikologis, meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak, memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarap.

Berjalannya waktu, kemudian melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang dicanangkan sebagai landreform plus, yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (reforma aset), ditambah dengan reforma akses. Dengan demikian, tujuan PPAN mencakup (i) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil; (ii) mengurangi kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv) memperbaiki akses rakyat kepada sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; (vii) meningkatkan ketahanan pangan (Shohibuddin, 2009).

Prinsip dan Kebijakan

Pembaruan agraria5

dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip (pasal 4 TAP MPR IX/2001), yaitu (i) memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (ii) menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (iii) menghormati supremasi hukum

dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; (iv)

mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia; (v) mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; (vi) mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; (vii) memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan; (viii) melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; (ix) meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam; (x) mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; (xi) mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; (xii) melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa

       5

(10)

atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Kebijakan pembaruan agraria secara jelas tercantum dalam pasal 5 TAP MPR No. IX/MPR/2001, yaitu (i) melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agrarian dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 46 ketetapan ini; (ii) melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah (landreform) (P4T) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; (iii) menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi P4T secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; (iv) menyelesaikan konflik berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa datang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini; (v) memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria; (vi) mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

Konsep dan Implementasi

Berdasarkan amanat UUPA Nomor 5 Tahun 1960, terdapat 6 (enam) elemen pokok program Landreform, yaitu (i) pembatasan pemilikan maksimum, (ii) larangan pemilikan tanah absentee, (iii) redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya, (iv) pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan; (v) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, (vi) penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007).

Dalam perjalanannya, program landreform ini berkembang dan akhirnya menjelma menjadi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)yang seringkali disebut juga sebagai landreform plus karena mempunyai 2 (dua) pilar yaitu reforma aset (landreform) dan reforma akses.Reforma aset merupakan upaya redistribusi tanah sebagaimana yang selama ini dikenal sebagai landreform, dan reforma akses sebagai kegiatan pelengkap/penunjang redistribusi aset untuk memastikan terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan modal, pendampingan, dan penyediaan teknologi pertanian. Ciri khas dari PPAN yang membedakannya dengan program terdahulu adalah formula penguatan aset (pemberian hak) dan pembukaan akses (modal dan pasar). Kegiatan ini juga melibatkan lintas sektor.

Strategi dasar PPAN yang ditetapkan oleh BPN (2007) adalah (i) penataankonsentrasi aset dan tanah terlantar melalui penataan politik dan hukum pertanahan berdasar Pancasila, UUD 1945 dan UUPA; (ii) mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara (obyek) untuk rakyat (subyek).

Untuk itu, pelaksanaan program ini mencakup 4 (empat) lingkup kegiatan, yaitu penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme distribusi aset, dan pengembangan reforma akses.

       6

(11)

Penetapan obyek mencakup penyediaan tanah bagi pelaksanaan reforma agraria dari sejumlah sumber yaitu (i) tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai; (ii) tanah yang terkena ketentuan konversi; (iii) tanah yang diserahkan sukarela oleh pemiliknya; (iv) tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; (v) tanah obyek landreform7

; (vi) tanah bekas obyek landreform; (vii) tanah timbul; (viii) tanah bekas kawsan pertambangan; (ix) tanah yang dihibahkan oleh pemerintah; (x) tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah; (xi) tanah yang dibeli oleh pemerintah; (xii) tanah pelepasan kawasan hutan produksi konversi; (xiii) tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan.

Penetapan subyek menggunakan 3 (tiga) variabel pokok dalam menentukan kriteria yaitu (i) umum (Warga Negara Indonesia, miskin, minimal 18 tahun atau sudah menikah); (ii) khusus (bertempat tinggal atau bersedia bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya, kemauan tinggi mendayagunakan tanah); (iii) prioritas (tidak memiliki tanah, jumlah tanggungan keluarga, lama bertempat tinggal dan mata pencaharian).

Secara umum, urutan kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima PPAN adalah (i) pertama, petani yang bekerja dan menetap di lokasi obyek PPAN; (ii) kedua, petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian; (iii) ketiga, petani yang memiliki luas tanah pertanian kurang dari 0,5 ha; (iv) keempat, petani pelaku pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna melangsungkan kehidupannya; (kelima, penduduk miskin berdasar data BPS atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan (Shohibuddin, 2009).

Secara umum, terdapat 3 (tiga) mekanisme reforma agraria berdasarkan pada kondisi/kedudukan subyek (penerima tanah redistribusi) dan obyek (tanah yang akan didistribusikan), yaitu (i) subyek dan obyek pada lokasi yang sama atau berdekatan; (ii) ketika subyek dan obyek berjauhan digunakan skema (a) subyek mendekati obyek. Skemanya mirip transmigrasi yaitu memindahkan subyek ke lokasi tanah redistribusi; (b) obyek mendekati subyek. Dikenal sebagai skema swap atau pertukaran tanah yang didasarkan pada cara konsolidasi lahan atau bahkan bank tanah. Skema ini jauh lebih rumit.

Tahapan Pelaksanaan

Pelaksanaan landreform di Indonesia dapat dibagi dalam 2 (dua) periode, yaitu periode pertama (1962-1965) dan periode kedua (setelah 1977). Pada masa 1965-1977, program landreform mengalami stagnasi. Secara yuridis, landreform telah dimulai sejak berlakunya PP Nomor 224 Tahun 1961, walaupun konkritnya baru pada tahun 1962.

Pembelajaran: Indonesia

Pembelajaran pelaksanaan landreform dan reforma agraria di Indonesiadapat

dikategorikan dalam 2 tahapan pelaksanaan yaitu sebelum reformasi dan setelah reformasi.

A. Sebelum Reformasi (sebelum tahun 1998).

Pelaksanaan landreform terkendala oleh setidaknya 2 (hal) mendasar, yaitu (i) penegak hukum belum memahami sepenuhnya isu agraria, (ii) pemahaman agraria di kalangan akademisi masih terbatas pada aspek hukumnya saja, sementara agraria

       7

(12)

mencakup sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, politik, bahkan pertahanan dan keamanan (Shohibuddin dan Salim, 2012).

Walf Ladejinsky, seorang arsitek landreform di Jepang, menyampaikan 2

(dua) kritik utama terkait pelaksanaan landreform di Indonesia, yaitu (i)

ketidakkonsistenan antara gagasan dan pelaksanaan. Pelaksanaan gagasan yang dipandang revolusioner terhambat oleh birokrasi yang berbelit-belit dan data yang tidak akurat (ii) model redistribusi tidak sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan. Misal, batasan kepemilikan minimum 2 (dua) ha tidak realistis disebabkan tidak jelas jumlah penerima dan tanah yang menjadi obyek landreform (Shohibuddin, 2012).

Hal ini juga didukung oleh hasil pengamatan Herawan (2003), yang

menyatakan bahwa landreform hanya berhasil dilaksanakan terhadap tanah negara

sementara dari sumber tanah kelebihan maksimum dan absentee masih belum dapat dilaksanakan.Kendala utamanya adalah (i) belum tersedia data yang akurat mengenai obyek serta subyek tanah; (ii) kebanyakan pemilik tanah yang melebihi ketentuan maksimum dan tanah absente adalah para penguasa dan pengusaha yang berpengaruh.

Berdasar pengalaman berhentinya program landreform antara tahun

1965-1967, dapat disimpulkan bahwa kondisi politik juga dapat mempengaruhi pelaksanaan

program sejenis landreform. Apalagi dengan adanya stigma landreform adalah

produk negara komunis.

Pada saat pemerintah sedang gencar melaksanakan revolusi hijau8

sebagai upaya swasembada beras, ternyata membawa konsekuensi akumulasi penguasaan tanah pada golongan petani tertentu, bahkan bagi petani kecil cenderung berkurang perannya dalam bidang pertanian (Herawan, 2003). Dengan demikian, kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang pertanian perlu mempertimbangkan dampaknya

terhadap pelaksanaan landreform. Salah satu contoh sejenis adalah program

perkebunan berorientasi ekspor yang membutuhkan lahan yang luas. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tanah ini, terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat terkait status kepemilikan tanah. Masyarakat menjadi korban karena tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah, walaupun pada kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah adat.

B. Setelah Reformasi (setelah tahun 1998)

Memasuki era pemerintahan SBY, walaupun BPN telah diberi fungsi melaksanakan reforma agraria dan telah dicanangkan melalui pidato presiden tahun 2007, dan reforma agraria dijalankan secara resmi melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), namun pelaksanaannya hanya terbatas pada pensertifikatan atas tanah pertanian dan tidak ada redistribusi tanah. Sepertinya kondisi ini

mengulang kegagalan landreform sebelumnya ketika tidak tersedia tanah yang

menjadi obyek landreform, walaupun presiden telah mendeklarasikan pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha. Akibatnya program PPAN tidak berbeda dengan program sebelumnya (PRONA dan LARASITA/Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah), kecuali bahwa proses sertifikasi melalui PPAN tidak dipungut bayaran.

Walaupun PPAN dianggap cukup berhasil, tetapi pengamat agraria menilai program ini berjalan lamban disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu (i) program ini disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah non-kementerian yang dinilai ‘kurang kuat’ untuk menjalankan agenda besar ini; (ii) ego sektor menimbulkan

       8

(13)

hambatan birokrasi; (iii) belum tersedia paying hukum pelaksanaan program lintas sektor; (iv) lemahnya dukungan masyarakat sipil akibat proses yang dianggap tertutup (KPA, 2009).

Secara lebih lengkap, Rolaswati (tanpa tahun) menyimpulkan terdapat 5 (lima) hal yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, yaitu (i) pembaruan agraria pada dasarnya merupakan perubahan struktur sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Perubahan ini tentunya mendapat tantangan dari pihak tertentu yang merasa kepentingannya terganggu khususnya pihak yang memiliki sumber agraria berlimpah dan memperoleh keuntungan keuangan; (ii) kekuatan kapitalis global yang secara sistematis dan terencana terus menggulirkan dan mendesakkan gagasan globalisasi dan pasar bebas yang tentu saja bertentangan dengan prinsip reforma agraria; (iii) organisasi nonpemerintah masih belum mampu menjadi kekuatan pendorong perubahan; (iv) adanya sikap paranoid terhadap ide reforma agraria/landreform sebagai bagian dari ideologi komunis; (v) masih langkanya pakar agraria yang mengakibatkan proses penyadaran masyarakat menjadi terhambat (OM, disarikan dari berbagai sumber)

Pembelajaran Reforma Agraria: Berkaca dari Mancanegara

Dalam konteks peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dikatakan hampir semua negara industri maju telah melakukan reforma agraria sebelum melaksanakan industrialisasinya. Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di sejumlah negara Asia (seperti: Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Cina), Afrika dan Amerika Latin, seperti yang diungkapkan olehLin (1974) menunjukkan setidaknya terdapat 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara negara agar reforma agraria berhasil, yakni: (i) Mandat Konstitusional, (ii) Hukum Agraria dan Penegakannya, (iii) Organisasi Pelaksana, (iv) Sistem Administrasi Agraria, (v) Pengadilan, (vi) Desain Rencana dan Evaluasi, (vii) Pendidikan dan Latihan, (viii) Pembiayaan, (ix) Pemerintahan Lokal, dan (x) Partisipasi Organisasi Petani (Lin (ed.), 1974).

Salah satu negara yang dianggap maju dalam pelaksanaan landreform adalah Taiwan. Programnya dimulai tahun 1949, dan hasilnya menjadikan Taiwan merupakan negara yang hampir semua penggarap memiliki tanah dan semua petani merupakan produsen mandiri. Landreform di Taiwan dilaksanakan melalui pengurangan bea sewa, penjualan tanah garapan negara dan program tanah untuk penggarap (Sudiyat, 1982).

Pada awalnya di Taiwan berlaku sewa tanah pertanian yang tinggi mencapai 50% dari hasil panen setahun, yang tentunya merugikan bagi petani penggarap. Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Pengurangan Sewa Tanah yang membatasi sewa tanah menjadi maksimal 37,3% saja. Bentuk perjanjian sewa-menyewa diharuskan tertulis, dan dalam jangka waktu minimal 6 (enam) tahun dan harus dilanjutkan jika penggarap tidak wanprestasi. Hal ini mendorong petani penggarap lebih bersemangat lagi, dan mempunyai kesempatan menabung untuk membeli rumah, dan tanah sendiri. Ini langkah awal landreform di Taiwan.

Skema lainnya adalah penjualan tanah garapan negara yang sering disebut

sebagai fase kedua pelaksanaan landreform. Pemerintah menyewakan tanah kepada

petani dengan biaya sewa 25% dari hasil panen setahun. Kemudian pemerintah mulai menjual tanah tersebut kepada penyewa, dengan harga pembelian 2,5 kali dari seluruh hasil panen setahun dengan membayar secara angsuran selama 10 tahun.

(14)

dimulai pada tahun 1953 dengan ditetapkannya Undang-Undang Tanah untuk Penggarap. UU ini menetapkan maksimum pemilikan/penguasaan tanah pertanian adalah 3 (tiga) hektar. Tanah garapan yang melebihi luasan tersebut dibeli paksa oleh pemerintah dan dijual kembali kepada petanidengan harga 2,5 kali hasil panen setahun, dibayar secara angsuran selama 10 tahun dengan besarnya angsuran 37,3% dari hasil setiap panen setahun. Sebagai ketentuan tambahan, petani diberi hak milik atas tanah sejak angsuran pertama, dan tidak dibenarkan menjual tanah sampai tanahnya lunas.

Hasilnya menunjukkan perubahan mendasar, yaitu sebanyak 195 ribu KK penyewa membeli 140 ribu ha tanah yang dibeli pemerintah secara paksa dari tuan tanah. Pemilik tanah pertanian meningkat dari 61% menjadi 86%, sedangkan penyewa menurun drastis dari 39% menjadi hanya 14% (Sudiyat, 1982). Hasil lainnya, produksi padi meningkat tajam dari 1,1 juta ton (1949) menjadi 2,4 juta ton (1964).

Secara khusus, faktor yang mendukung keberhasilan landreform di Taiwan

adalah (i) adanya penelitian yang cermat yang berujung pada ketersediaan data yang valid, (ii) penyuluhan yang berkualitas dan teratur; (iii) pengukuran pendaftaran tanah yang teliti, (iv) pengembangan sarana perkreditan yang mudah diakses; (v) dukungan regulasi yang jelas dan harmonis; dan (vi) partisipasi aktif masyarakat termasuk lembaga non pemerintah. Namun yang terpenting adalah ketetapan hati pemerintah dalam melaksanakan program ini.

Pembelajaran lain dari Korea Selatan dalam hal menghindari spekulasi tanah.

Langkah yang dilakukan Korea Selatan berupa penerapan Comprehensive land

holding tax (CLHT), yaitu penerapan pajak tinggi terhadap setiap kelebihan dari

luasan minimum tanah pertanian, dan land value increment tax (LVIT), yaitu

penerapan pajak tinggi terhadap tanah tidak termanfaatkan, serta tanah pertanian yang dikerjakan oleh bukan petani. Kebijakan ini diterapkan pada tahun 1989-1990 (Herawan, 2003).

Pengalaman beberapa Negara latin menunjukkan bahwa reforma agraria harus (Lindquist, 1979) (i) bermakna sebagai suatu transfer kekuasaan; (ii) pengembalian tanah rakyat yang dirampas; (iii) pembagian tanah secara merata; (iv) mengarah pada pengelolaan tanah yang lebih baik; (v) meningkatkan kesejahteraan petani; (vi) meningkatkan produksi pertanian; (viii) menciptakan lapangan kerja; (ix) mempercepat pembentukan modal, investasi, dan teknologi (inovasi bidang pertanian); (x) menciptakan dukungan politik bagi partai politik pro reforma agraria; (xi) menjungkirbalikkan masyarakat kapitalis; (xii) memungkinkan dilakukan di masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa kunci keberhasilan reforma agraria adalah (i) komitmen kuat dari pemerintah dan pimpinan tertinggi Negara; (ii) tersedianya data dan informasi yang lengkap; (iii) didukung parlemen; (iv) partisipasi semua pemangku kepentingan; (v) dipersiapkan secara matang dan dilaksanakan secara konsisten dan bertahap (Mulyani ed., 2011)

1Sebagian besar materi disarikan dari disertasi Herawan berjudul Kajian atas Landreform dalam rangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003

Daftar Pustaka

(15)

Fauzi, Noer dan Ghimire, Khrisna. Prinsip-Prinsip Reforma Agraria. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

Fauzi, Noer. Bersaksi untuk Pembaharuan Agraria. Insist Press, Yogyakarta, 2003.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia.Sejarah, Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta, 1999.

Limbong, Bernhard. Reforma Agraria. Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012.

Parlindungan AP., Landreform Indonesia Suatu Perbandingan. Alumni, Bandung,

1987.

Shohibuddin dan Salim, Muhammad Nazir. Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan. Sekolah Tinggi Pertanahan Negara Press, Yogyakarta, 2012.

Sudiyat, Iman. Beberapa masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang.Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1982.

Supriadi. Hukum Agraria. Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Makalah

Rolaswati, Devi Kantini.Pengaruh Reforma Agraria Dunia terhadap Reforma Agraria di Indonesia. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta, tanpa tahun.

Tesis, dan Disertasi

Arifin, Fairuz Syifa. Pembaruan Agraria Nasional dengan Program Sertifikasi Tanah melalui PRONA Guna Menyukseskan Tertib Administrasi Pertanahan di Kabupaten Pemalang. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang, 2008.

Herawan. Kajian atas Landreform dalam rangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003.

Sumaya, Ira. Analisis Hukum Landreform sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Ekonomi Masyarakat (Studi pada kegiatan redistribusi tanah di kota Medan periode 2007-2008). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.

Utami, Putri Ayu Rezki.Kajian Hukum Pelaksanaan Program Pebaharuan Agraria Nasional di Kabupaten Serdang Bedagai. Tesis. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2013.

(16)

Regulasi

Ketetapan MPR

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Undang-Undang

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Peraturan Pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

varchar(32) varchar(32) varchar(32) float(100) float(100) float(100) float(100) float(100) float(100) float(100) <pk> <fk1> <fk2> app pegawai peg id user id peg

Barito Timur yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati Barito Timur, Nomor 67 Tahun 2016 tanggal 01 Maret 2016 telah mengadakan Pemberian Penjelasan (Aanwijzing) untuk

Pada hari ini Senin Tanggal Sembilan Belas Bulan September Tahun Dua Ribu Enam Belas , Pokja V yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati Barito Timur, Nomor 67 Tahun 2016 tanggal

[r]

menunjukkan bahwa sebagian besar responden berperilaku cukup baik dalam praktik menyusui yang benar berada pada kategori pendidikan SMA yaitu sebanyak 62,5%

Tempat kerja yang bersih, rapih, aman dan nyaman yang akan menghasilkan produk dengan kualitas tinggi, penekanan biaya, penyelesaian tepat waktu, safety terjamin, moral tinggi

Ulfa Marya Ferdiana 13010664050 – Psikologi 2013B Teori Piaget yang lebih menekankan bahwa perkembangan bahasa seorang individu dipengaruhi oleh

[r]