• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGGAGAS KONSEP PEMBINAAN NARAPIDANA TE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENGGAGAS KONSEP PEMBINAAN NARAPIDANA TE"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini “terorisme” menjadi diskursus menarik bagi banyak orang. Arus opini yang berkembang “terorisme” seolah inheren dengan Islam dan kelompok Islam yang dicap radikal. Bahkan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) membuat kesimpulan bahwa ideologi radikal adalah akar dari terorisme. Di Indonesia kelompok Islam yang cap radikal cukup beragam, namun apakah benar bahwa mereka adalah pilar utama fenomena terorisme? Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita perlu empat komponen yaitu hati yang lapang jauh dari sikap emosional dan tendensius, pengetahuan yang cukup terkait realitas kelompok radika, sikap obyektif dan kejujuran.

Merebaknya fenomena terorisme di Indonesia jelas sangat merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tindakan terorisme yang telah terjadi memaksa pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum untuk membuat suatu kebijakan-kebijakan (policies) dalam rangka melakukan pengamanan yang lebih ekstra, agar kemudian tindakan terorisme yang merugikan tersebut tidak terulang di kemudian hari. Oleh karena itu, supremasi hukum sudah seharusnya ditegakkan di Indonesia, terutama dalam hal menyangkut tindak terorisme yang sangat berdampak destruktif bagi kelangsungan hidup manusia. Pelaku tindak pidana terorisme harus mengikuti proses peradilan pidana secara utuh, mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan di tingkat Kepolisian, penuntutan di tingkat Kejaksaan, pemeriksaan di Pengadilan dan akhirnya institusi penghukuman yang lazim disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan.

(2)

(kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar). Selain itu adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.

Terkait dengan fenomena kejahatan terorisme, maka proses pemidanaan terhadap para pelaku terorisme merupakan kajian penting dalam menjaga stabilitas keamanan di kemudian hari. Hal ini menjadikan lembaga pemasyarakatan sebagai tempat yang sangat memiliki peranan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana teroris untuk tidak mengulangi perbuatannya. Pola pembinaan narapidana teroris tentu berbeda dengan narapidana lain, di mana dalam masa pembinaan mental, narapidana teroris tidak diperkenankan memberikan dakwah. Pemasyarakatan bagi narapidana teroris bertujuan untuk membina mendidik mereka menjadi orang yang lebih baik. Perubahan paradigma tempat pemidanaan dari penjara menjadi lembaga pemasyarakatan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan membawa konsekuensi yuridis berupa perubahan tujuan pemidanaan dari pembalasan menuju pembinaan.1 Dalam kerangka pembinaan

terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan memiliki dua peranan penting yakni sebagai tempat dan sarana atas reedukasi dan resosialisasi.

(3)

Sampai saat ini Lembaga Pemasyarakatan belum menunjukkan hasil yang optimal dalam membina narapidana, belum ada korelasi yang cukup signifikan antara lamanya sanksi pidana dengan pengurangan jumlah tindak pidana (keberhasilan dalam melakukan pembinaan narapidana.) Jadi, kalaupun narapidana Korupsi dan Teroris diputuskan tidak mendapatkan remisi, namun sistem pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, berikut dengan perangkat hukumnya itu sendiri tidak pernah dibenahi, diperbaiki atau direformasi, maka sebenarnya keputusan dari tidak diberikannya Remisi itu sendiri tidak akan menuai hasil yang maksimal, yang ada malah semakin bermunculan pelaku-pelaku tindak pidana tersebut lainnya.

B. Rumusan Masalah

(4)

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian, Tipologi, dan Kedudukan Tindak Pidana Terorisme

Terorisme secara simplifikasi dan epistemologi, dapat dibedakan menjadi kata “teror” dan “isme” (paham). Kata teror dalam kamus Bahasa Indonesia berarti kekejaman tindak kekerasan dan kengerian. Sementara itu dalam Besar Bahasa Indonesia W.J.S. Prwadarminta dikatakan bahwa terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai sesuatu (terutama tujuan politik).2

Dasar hukum yang dipakai dalam menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia terutama adalah UU No. 15 Tahun 2003 yang menetapkan Perpu No. 1 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Terorisme menjadi UU.3 Pengertian mengenai terorisme, dapat dijumpai dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pengertian terorisme secara umum dalam UU tersebut ditegaskan dalam pasal 6, yaitu:4

Seiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yan strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau internasional.

Terdapat tiga bentuk atau tipologi kejahatan terorisme berdasarkan motif yang melatar belakanginya ataupun tujuan yang hendak dicapai oleh para teroris yaitu:5

2 King Faisal Sulaiman, Who is The Real Terrorist? (Menguak Mitos Kejahatan Terorisme), Cetakan Pertama, (Yogyakarta: elMATERA Publishing, 2007), hlm. 5.

3 Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal (Kebijakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahtan), Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2010), hlm. 118.

(5)

1. Political Terrorism, merupakan terorisme yang bersifat politik dimana perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara sistematik, menggunakan pola-pola kekerasan, intimidasi, dan ditujukan terutama untuk menumbuhkan ketakutan dalam suatu masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan yang bersifat politik.

2. Crminal Terrorism, yaitu terorisme yang tidak diarahkan untuk tujuan-tujuan politik tetapi dilakukan berdasarkan kepentingan suatu kelompok atau komunitas tertentu dalam memperjuangkan tujuan kelompok atau organisasinya. Kelompok yang termasuk dalam pengertian ini adalah kelompok yang bermotif idiologi, agama, aliran atau mempunyai paham-paham tertentu.

3. State Terrorism, merupakan kegiatan terorisme yang disponsori oleh negara atau dilakukan atas nama negara yaitu aksi teror yang dilakukan oleh negara terhadap individu atau kelompok-kelopok masyarakat teretntu ataupun terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara tertentu.

Dalam sistem peradilan pidana internasional, tindak pidana teroris menjadi materi diskusi yang cukup menarik. Hampir semua ahli hukum pidana dan kriminolog mengatakan bahwa tindak pidana terorisme merupakan extra ordinary crime dan proses peradilannya pun berbeda dengan tindak pidana biasa.

Bertalian dengan tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana luar biasa

(extra ordinary crime), maka kejahatan terorisme patut diatur sebagai tindak pidana yang bersifat khusus. Kejahatan terorisme sebagai bentuk tindak pidana luar biasa nampak dari beberapa indikator:6

1. Membahayakan nilai-nilai hak asasi manusia yang absolut (nyawa, bebas dari rasa takut dan sebagainya).

2. Serangan terorisme bersifat “random, indistricminate, and non selective”

yang kemungkinan menimpa orang-orang yang tidak bersalah.

3. Selalu mengandung unsur-unsur kekerasan, ancaman kekerasan, koresif dan intimidasi pada penduduk sipil dan menimbulkan rasa takut yang bersifat luas.

(6)

4. Kemungkinan keterkaitannya dengan kejahatan terorganisasi, bahkan kejahatan transnasional terorganisasi.

5. Kemungkinan digunakan teknologi canggih seperti senjata kimia, biologi, bahkan nuklir.

Beberapa Fakta Tentang Pola Pembinaan Narapidana Terorisme

Jika merujuk pada pengertian, tipologi, dan tindak pidana terorisme sebagai sebuah kejahatan luar biasa karena berbeda dengan tindak pidana lainnya, ,maka perlakuan terhadap narapidana terorisme pun harus berbeda pula. Perlindungan hukum atas hak-hak narapidana di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Inti perlindungan narapidana adalah terwujudnya pembinaan narapidana sesuai dengan sistem pemasyarakatan yang diberlakukan dalam UU Pemasyarakatan.

Ide dan tujuan dari pemasyarakatan itu sendiri adalah untuk rehabilitasi dan resosialisasi narapidana melalui tindakan-tindakan yang edukatif, korektif dan defensif, dan bukan bertujuan untuk sekedar menghukum. Para narapidana itu ibarat orang sakit harus disembuhkan dan dibina agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan bukan karena dia telah melakukan tindak pidana.

(7)

Namun, prosedur tetap ini memang belum dapat diimplementasikan secara efektif karena beberapa kendala, seperti kurangnya sosialisasi, belum adanya pelatihan bagi petugas tentang prosedur tetap ini, dan belum memadainya sarana pendukung.

Yang kedua, belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku kejahatan terorisme, dalam arti bahwa penanganan terhadap pelaku terorisme seakan berhenti pada saat mereka telah tertangkap atau dijatuhi pidana. Perhatian terhadap bagaimana memperlakukan pelaku kejahatan terorisme yang telah dijatuhi pidana (berada di dalam penjara) sering terabaikan. Dan seakan-akan penanganan terhadap mereka semata-mata menjadi tanggung jawab petugas pemasyarakatan. Keterlibatan tokoh masyarakat/agama dalam penanganan terhadap narapidana terorisme belum maksimal.

Ketiga, pembelajaran kejahatan merupakan satu hal yang sangat mungkin terjadi di penjara. Adanya proses komunikasi dan interaksi antar narapidana dalam durasi waktu yang cukup lama dan intensitas yang cukup sering di dalam penjara merupakan hal yang memungkinkan terjadi proses pembelajaran kejahatan tersebut. Dalam tataran akademis, inilah yang disebut dengan differentiational association yang dikemukakan oleh Sutherland.

Konsep Perlakuan Individualisasi

Konsep individualisasi perlakuan ini sejatinya bukan satu hal yang baru. Dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah mengatur tentang hal ini. Pada pasal 12 ayat (1) huruf d disebutkan bahwa dalam rangka pembinaan, salah satu dasar dalam melakukan penggolongan terhadap narapidana di dalam lapas adalah berdasarkan jenis kejahatan.7

Adanya penggolongan atas dasar jenis kejahatan ini sebenarnya mengandung makna bahwa jenis kejahatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh narapidana akan berpengaruh pada pola perlakuan (pembinaan) yang seharusnya

(8)

mereka jalani selama berada di dalam penjara. Dengan kata lain, seorang narapidana kasus terorisme tentu saja harus mendapatkan pembinaan yang berbeda dengan narapidana kasus korupsi atau kasus lainnya. Karena, alasan dilakukannya kejahatannya pun sangat berbeda. Seorang teroris melakukan tindak kejahatannya mungkin saja karena konsep radikal yang membelenggu pemikirannya. Sedangkan seseorang berperilaku koruptif mungkin saja karena adanya paham konsumerisme atau materialisme yang membelenggu kehidupan pribadi maupun keluarga atau lingkungannya.

Bahkan pada setiap narapidana kasus terorisme pun perlu dilakukan penggolongan dalam perlakuannya. Karena, peran dari setiap narapidana kasus terorisme dalam jaringan terorismenya pun berbeda. Seorang narapidana teroris yang mempunyai peran sebagai pemimpin jaringan tentu saja harus mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan narapidana teroris yang hanya berperan sebagai pengikut atau lainnya.

Implementasi dari konsep Individualisasi perlakuan terhadap narapidana kasus terorisme setidaknya meliputi beberapa hal sebagai berikut:

 Adanya pendataan yang bersifat lengkap dan detil; pendataan ini selain

berfungsi untuk membangun database narapidana juga berfungsi sebagai bahan untuk mengetahui latar belakang narapidana tersebut, seperti latar belakang pendidikan, pekerjaan, atktifitas sosial kemasyarakatan, keluarga, riwayat kejahatan, dan lainnya. Pendataan ini dilakukan tidak hanya dari surat atau dokumen selama proses peradilan, tetapi juga dengan melakukan wawancara mendalam baik dengan terpidana maupun keluarga atau masyarakat, serta melakukan pengamatan yang berkesinambungan terhadap mereka selama berada di dalam penjara.

(9)

(seperti kemampuan menggunakan atau merakit senjata, kemampuan menyebarkan paham radikalisme, kemampuan mempengaruhi orang lain, dan lain-lain).

 Adanya standard operational procedures (SOP) yang lengkap dan tepat. SOP ini berguna untuk memperjelas proses atau mekanisme yang harus dijalankan oleh petugas dalam memberikan perlakuan terhadap narapidana terorisme serta mempermudah dalam menentukan garis pertanggungjawaban dalam setiap aktifitas.

 Selain itu, perlu kiranya membekali petugas dengan pengetahuan tentang kejahatan terorisme dan upaya deradikalisasi terhadap narapidana terorisme. Adanya pembekalan terhadap petugas ini juga bertujuan untuk menghindarkan terpengaruhinya petugas dengan paham radikalisme yang dianut narapidana terorisme.

 Perlu juga dipikirkan tentang penempatan secara khusus terhadap narapidana terorisme. Penempatan secara khusus ini bertujuan untuk mengeliminir kemungkinan keterlibatan mereka dalam aktifitas jaringan terorisme di luar penjara serta mencegah terjadinya proses radikalisasi jika mereka ditempatkan secara bersama dengan narapidana kasus lainnya. Adanya penempatan secara khusus ini juga menjadi prasyarat terimplementasinya SOP secara benar, karena SOP tidak akan dapat diimplementasikan secara benar jika pada saat yang bersamaan petugas yang bersangkutan juga menangani narapidana yang bukan teroris.

(10)

Individualisasi perlakuan merupakan satu hal yang harus dilakukan tidak hanya terhadap narapidana terorisme tetapi juga terhadap narapidana kasus lainnya. Karena, kebutuhan setiap narapidana adalah berbeda (dan tentu tidak dapat dipersamakan/digeneralisasikan). Sebuah metode perlakuan akan dapat secara efektif menangani seorang narapidana, tetapi akan menjadi tidak berfungsi sama sekali ketika diterapkan pada narapidana yang lain. Dengan kata lain, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan semua jenis penyakit.

BAB III

PENUTUP

(11)

Tindak pidana terorisme merupakan suatu kejahatan yang meresahkan dan menganggu ketertiban masyarakat. Terorisme merupakan salah satu kejahatan yang tergabung dalam jajaran kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Untuk itu pola pembinaan sebagai bagian dari pemidanaan terhadap narapidana terorisme ini pun harus diberlakukan berbeda dengan narapidana kejahatan lainnya.

Belum efektifnya pembinaan terhadap narapidana dalam pemasyarakatan disebabkan oleh hal-hal berikut:

 Belum adanya penjara khusus terhadap narapidana terorisme;

 Belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku kejahatan terorisme;  Adanya proses komunikasi dan interaksi antar narapidana dalam durasi

waktu yang cukup lama dan intensitas yang cukup sering di dalam penjara merupakan hal yang memungkinkan terjadi proses pembelajaran kejahatan tersebut.

Individualisasi perlakuan merupakan satu hal yang harus diterapkan terhadap narapidana terorisme. Karena, kebutuhan setiap narapidana adalah berbeda (dan tentu tidak dapat dipersamakan/digeneralisasikan). Sebuah metode perlakuan akan dapat secara efektif menangani seorang narapidana, tetapi akan menjadi tidak berfungsi sama sekali ketika diterapkan pada narapidana yang lain. Dengan kata lain, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan semua jenis penyakit.

2. Saran

(12)

Kemudian pembinaan secara individu terhadap narapidana terorisme juga dapat diberlakukan dengan melibatkan para tokoh masyarakat atau tokoh agama untuk membersihkan pemikiran radikal dalam seorang narapidana terorisme.

(13)

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Sulaiman, King Faisal. Who is The Real Terrorist? (Menguak Mitos Kejahatan Terorisme), Cetakan Pertama. Yogyakarta: elMATERA Publishing, 2007.

Hatta, Moh. Kebijakan Politik Kriminal (Kebijakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahtan), Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2010.

Indonesia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Referensi

Dokumen terkait

Studi ini mengukur tingkat kematangan manajemen konstruksi dari perusahaan konstruksi di wilayah Yogyakarta dan mencari hubungan antara usia perusahaan, pengalaman kerja,

Alasan orang tua dan siswa memilih homeschooling sebagai pendidikannya antara lain kesibukan siswa di bidang non akademis, kendala fisik, penyakit tertentu, pembelajaran

2) Sel saraf motorik.. Fungsi sel saraf motorik adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap

Eksistentialisme and Humanisme edisi terjemahan cetakan I .Yogyakarta: Pustaka Pelakjar.. The Existentialism of Jean-Paul Sartre , New York:

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal: (1) wujud kesantunan pada iklan radio berbahasa Jawa berupa, pemenuhan maksim

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan anugrahNya yang sangat melimpah, penulis dapat melaksanakan Kuliah Kerja Media (KKM) sekaligus menyelesaikan

1(satu) digit berisi informasi jenjang pendidikan, 2(dua) digit berisi informasi tahun, 2(dua) digit berisi informasi kode provinsi, 2(dua) digit berisi informasi kode

Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam meletakkan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan sebagai bagian integral dari proses ibadah yang