• Tidak ada hasil yang ditemukan

CONTOH KASUS PELANGGARAN HAM (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CONTOH KASUS PELANGGARAN HAM (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS PERADILAN HAM

KASUS-KASUS PELANGGARAN HAK ASASI

MANUSIA

OLEH :

LUH GD SINTYA WAISNAWATI

1310121199

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

(2)

1. Kasus Kelam Pembantaian Dukun Santet Di Banyuwangi 1998

Pembantaian di Banyuwangi merupakan suatu peristiwa pembunuhan

atau pembantaian terhadap orang-orang yang diduga mempunyai dan

melakukan praktik ilmu saantet atau ilmu hitam (dukun santet). Kejadian

ini terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur antara Februari hingga

September 1998. Akan tetapi motif dari kasus tersebut masih belum jelas

hingga saat ini. Menurut beberapa sumber, Kasus pembunuhan pertama

kali terjadi pada bulan Februari 1998. Peristiwa ini mencapai puncaknya

hingga bulan Agustus dan September 1998. Pada peristiwa pertama di

bulan Februari tersebut, masyarakat tidak terlalu mempermasalahkan jika

yang dibunuh memang dukun santet dan menganggapnya kejadian yang

biasa, yang berarti peristiwa tersebut tidak akan berbuntut panjang.

Tindakan pembantaian biasanya dilakukan malam hari, dan (juga)

menjadikan ulama setempat sebagai sasarannya. Namun masyarakat

mulai bereaksi setelah pembunuhan tersebut ternyata banyak yang salah

sasaran, maksudnya korban yang dibunuh sebenarnya bukanlah seorang

dukun santet. Banyak diantara korban adalah ulama, kyai, guru ngaji,

pengelolah pondok pengajian, dukun suwuk (penyembuh) dan tokoh-tokoh

masyarakat seperti ketua RT atau RW. Pembunuh dalam peristiwa di

Banyuwangi ini adalah warga-warga sipil dan oknum yang disebut ninja.

(3)

memakai pakaian serba hitam dan membawa senjata. Sedangkan

beberapa yang lain mengatakan ninja-ninja tersebut sosoknya seperti

ninja yang berasal dari negara Jepang, mereka bisa melakukan hal-hal

yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa, seperti menghilang dan

bergerak sangat ringan. Ninja-ninja tersebut juga sangat sistematis dan

terlatih dalam membunuh korban-korbannya. Mereka bergerak dan

membunuh para korabnnya di malam hari, sebelum kejadian listrik

tiba-tiba mati dan sesaat kemudian ada orang yang mati terbunuh. Biasanya

keadaan mayat sangat mengenaskan dengan kepala pecah, tubuh

terpotong atau patah tulang.

Pada masa pembantaian waktu itu banyak muncul orang gila dan

gelandangan di beberapa penjuru Kabupaten, baik itu di desa maupun di

kota. Muncul spekulasi bahwa orang-orang gila tersebut terlibat dalam

peristiwa pembantaian. Hal ini semakin kuat saat orang-orang gila dan

gelandangan tersebut tiba-tiba menghilang saat peristiwa pembantaian

mulai surut. Penyelidikan sudah pernah dilakukan beberapa kali untuk

mengungkap kronologi, dalang, dan motif dibalik peristiwa pembantaian

di Banyuwangi ini. Salah satunya adalah datangnya Jenderal Wiranto yang

saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan

Bersenjata untuk memantau penyelidikan di Banyuwangi. Komnas HAM

saat itu juga sudah membentuk tim yang bertujuan untuk menyelidiki

peristiwa tersebut. Mereka juga telah mengumumkan sebuah pernyataan

(4)

berat. Namun penyelidikan peristiwa ini akhirnya dihentikan karena

kurangnya keseriusan. Meskipun dalam peristiwa tersebut puluhan orang

sudah ditangkap dan mereka ditetapkan sebagai tersangka serta

menerima hukuman penjara dengan kurun waktu yang bervariasi. Namun,

dalang utama dari peristiwa ini tidak pernah tertangkap dan terungkap.

Investigasi kasus ini dibuka kembali oleh tim dari Nahdlatul Ulama pada

bulan Desember 2007 dengan mencoba memberikan memberikan

pengaduan kepada Komnas HAM. Tujuan mereka adalah agar peristiwa

pembantaian di Banyuwangi tersebut bisa diurai, dalang-dalang utama

bisa diungkap dan diseret ke meja hijau untuk diadili serta pembersihan

nama baik keluarga korban yang tertuduh sebagai dukun santet. Akan

tetapi, hal tersebut tidak terjadi karena keluarga korban sudah tidak ingin

kasus ini dibuka lagi. Yang diminta dari keluarga korban hanya rehabilitasi

atas peristiwa tersebut dan mereka tidak menginginkan dalang-dalang

utama dari peristiwa pembantaian tersebut diadili.

Argumentasi :

Mengenai eksistensi ilmu klenik, sihir, tenung ataupun santet

memang tidak dapat dipungkiri adalah bagian dari budaya asli yang ada

di Indoenesia terlepas dari baik buruknya akibat yang ditimbulkan dari

ilmu itu sendiri. Apabila ilmu itu menghasilkan suatu wujud nyata yang

positif dan baik, maka tentu hal itu tidaklah menjadi suatu permasalahan

(5)

apabila ilmu itu menghasilkan wujud yang dianggap sudah meresahkan,

mengganggu, merugikan masyarakat banyak dan terakhir hingga

menelan korban, maka tentu akan memicu kemarahan masyarakat dan

tidak jarang menyebabkan masyarakat mulai bertindak anarkis hingga

main hakim sendiri dalam menanggapi hal tersebut. Dalam kasus

pembantaian di Banyuwangi pada tahun 1998, masyarakat setempat

pada awalnya tidak mempermasalahkan apabila benar yang dibantai itu

adalah seorang dukun santet. Saya rasa mengapa bisa demikian, karena

masyarakat menganggap dukun santet sebagai penebar penyakit dan

kejahatan, dimana pelaku (dukun santet) biasanya menerima imbalan

untuk melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain pekerjaan meneluh atau

menyantet sudah merupakan profesi bagi pelaku dimana dalam konteks

ini profesi yang mereka geluti merugikan dan meresahkan sebagian

masyarakat selaku korban dari praktek yang bersifat magis ini.

Mengenai pembantaian yang dilakukan kepada orang-orang yang

dianggap sebagai dukun santet secara sadis, ini merupakan suatu

tindakan yang tidak manusiawi dan jelas melanggar hak asasi manusia

serta merupakan suatu wujud dari kejahatan genosdia dengan jumlah

korban sebanyak 133 korban yang terbunuh yang bukan hanya

merupakan dukun santet, melainkan juga pemuka agama dan masyarakat

umum. Ini jelas melanggar ketentuan Pasal 28A UUD NRI 1945 yang

berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup

(6)

terorganisir dan terencana sedemikian rupa sehingga pelaku juga adapt

dijerat dengan Pasal 340 KUHP “barang siapa dengan sengaja dan dengan

rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh

tahun”. Disamping itu, pembuktian dari perbuatan korban (yang diduga

merupakan dukun santet) atas wujud dari perbuatanya yaitu “santet”,

digolongkan menjadi kejahatan metafisis yang abstrak atau susah

ditelaah oleh rasional manusia. Santet dan ilmu sihir lainnya sebenernya

telah dituangkan dalam Pasal 293 RUU KUHP yang berbunyi :

(1) “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,

memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa

kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan

penyakit, kematian, penderitaan mental dan fisik seseorang, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak kategori IV”

(2) “Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)

melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau

menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat

ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)”

Namun, kembali lagi dalam pembuktian dari wujud perbuatannya sangat

(7)

rakyat terhadap orang-orang yang diduga sebagai dukun santet

merupakan cerminan kekerasan yang dilakukan secara kolektif sebagai

pelanggaran HAM berat. Seharusnya kasus yang sudah bergulir beberapa

tahun silam ini kembali dibuka dan dituntaskan guna mengungkap apa

sebenarnya motif dari pembantaian dan siapa sebenarnya dalang atau

pelaku utama dari kasus ini guna mencapai keadilan yang merupakan

cita-cita dari hukum itu sendiri.

2. Kasus Orang Gila Yang Dipasung

Penduduk Provinsi NTB berjumlah sekitar 4.500.212 jiwa dengan perkiraan

jumlah penderita gangguan jiwa berat sekitar 0,99% atau sekitar 30.800

jiwa.Fasilitas kesehatan jiwa yang tersedia di Provinsi NTB adalah RSJ

provinsi dengan kapasitas 100 tempat tidur, panti sosial Suka Waras

Lombok Tengah dengan kapasitas 100 tempat tidur, dan puskesmas di

Lombok Timur dengan kapasitas 65 tempat tidur, sehingga total 265

tempat tidur. Saat ini belum ada pelayanan kesehatan jiwa di RSUD NTB.

Treatment gap mencapai lebih dari 99%. Coverage pelayanan kesehatan

jiwa hanya sekitar 0,86%. Dinas Kesehatan NTB baru mulai melakukan

pendataan terhadap kasus pemasungan di wilayahnya sehingga hasil dari

pendataan tersebut belum dapat diperoleh. Keterbatasan dana

menyulitkan dinas kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan

(8)

yang telah menyiapkan pilot project pelayanan kesehatan jiwa komunitas

dengan melakukan berbagai pelatihan terhadap tenaga kesehatan di

tingkat puskesmas. Saat ini ada 8 dokter, 21 perawat, dan 10 kader yang

telah mendapatkan pelatihan pelayanan kesehatan jiwa dari RSJ Provinsi

NTB. Dengan latar belakang tersebut, Komisi IX DPR RI melakukan

kunjungan lapangan spesifik ke Nusa Tenggara Barat untuk melihat

langsung kasus pemasungan terhadap ODMK. Bahkan ikut membebaskan

seorang pria berusia 36 tahun korban pemasungan selama 14 tahun di

Keruak, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Setelah bernegosiasi dengan

keluarga ODMK, RSJ Provinsi NTB,dinas kesehatan, dan puskesmas

setempat, akhirnya Komisi IX DPR RI dapat membebaskan korban

pemasungan dan langsung dibawa dengan ambulans ke RSJ Provinsi NTB.

NTB hanyalah sebagai sebuah ilustrasi kasus.Harus ada upaya serentak

secara nasional untuk melakukan sosialisasi peta jalan (roadmap)

program “Indonesia Bebas Pasung 2014” kepada seluruh rumah sakit jiwa,

dinas kesehatan, tenaga kesehatan terkait, dan masyarakat luas. Menjadi

semakin darurat pada daerah yang tidak memiliki rumah sakit jiwa. Upaya

ini menjadi pekerjaan rumah bagi Kementerian Kesehatan, terutama

Direktorat Bina Kesehatan Jiwa (Ditkeswa) selaku unit teknis pelayanan

kesehatan jiwa untuk menjadi ujung tombak. Keberhasilan program ini

sekaligus akan menjadi proyeksi terciptanya sistem kesehatan jiwa

nasional yang saat ini masih sebatas fantasi. (Sumber: Seputar

(9)

Argumentasi :

Seperti yang kita ketahui, hukuman “pasung” dewasa ini masih

diberlakukan oleh masyarakat dibeberapa daerah dengan alasan demi

kepentingan kenyamanan dan keselamatan warga maupun keselamatan

dari orang yang dipasung itu sendiri. Sebab utama pemasungan pasien

berpenyakit mental menurut berbagai studi adalah kemiskinan dan

ketidaktahuan. Pemasungan umumnya terjadi di daerah pedesaan dengan

kelas ekonomi mayoritas menengah-bawah meskipun tidak menutup

kemungkinan pemasungan ini dilakukan oleh sekelompok masyarakat

yang mampu dan berpendidikan. Biasanya juga pemasungan dilakukan di

lokasi tersembunyi, di luar ruangan, dekat kandang hewan dan

seterusnya. Sebagai akibatnya, korban cenderung rentan terpapar gas

berbahaya, udara tercemar dan menjadi sasaran serangan cuaca hingga

serangga atau mahluk hidup lain. Menurut saya, inilah yang barangkali

menyebabkan pasien yang dipasung sering kali kondisi mentalnya parah

ditambah lagi dengan kondisi fisik yang lemah. Tindakan pemasungan ini

sudah jelas merupakan pelanggaran HAM bagi pasien penderita gangguan

jiwa sesuai dengan aturan-aturan hukum berikut :

1. Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh

(10)

2. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,

hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di

hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apa pun.”

3. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ayat (1), (2), dan (3) tentang Hak Asasi Manusia

Ayat (1) : Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup

dan meningkatkan taraf kehidupannya

Ayat (2) : Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,

bahagia, sejahtera lahir dan batin

Ayat (3) : Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat

4. Pasal 42 Undang-Undang Hak Asasi Manusia “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental

berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan

khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak

sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa

percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

5. Pasal 333 KUHP ayat (1), (2), (3), dan (4) tentang Kejahatan Kemerdekaan Orang

Ayat (1) : Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum

merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan

kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara

(11)

Ayat (2) : Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka

yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan tahun.

Ayat (3) : Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara

paling lama dua belas tahun.

Ayat (4) : Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga

bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi

tempat untuk perampasan kemerdekaan.

Jadi perlakuan terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa/orang

gila dengan cara dikurung atau dipasung dapat dianggap sebagai

perbuatan pelanggaran HAM berat, karena tindakan memasung adalah

tindakan yang sangat tidak manusiawi dan dapat memperburuk kondisi

kejiwaan orang yang dipasung tersebut. Yang dimaksud dengan

merampas kemerdekaan dalam kasus ini adalah meniadakan atau

membatasi kebebasan seseorang bergerak meninggalkan suatu

tempat untuk pergi ke tempat lainnya yang dia inginkan.

Perampasan kemerdekaan itu dapat terjadi dengan mengurung seseorang

di suatu ruangan tertutup, dengan mengikat kaki atau anggota tubuh

lainnya dari seseorang sehingga tidak dapat memindahkan diri,

menempatkan seseorang di suatu tempat di mana ia tidak mungkin pergi

dari tempat itu, dan mungkin juga dengan cara psychis (hipotis) sehingga

ia kehilangan kemampuan untuk pergi dari suatu tempat dan lain-lain.

HAM berlaku untuk semua manusia tidak terkecuali orang yang memiliki

(12)

mengalami gangguan jiwa itu sendiri mengadakan kerjasama/melaporkan

bahwa mereka memiliki anggota/keluarga yang sakit kejiwaannya kepada

Dinas Kesehatan sebagai tahap awal dari upaya penyembuhan dan akan

lebih baik jika orang gila tersebut dimasukkan ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa)

untuk mendapat perawatan yang semestinya agar tidak mengganggu

masyarakat sekitar, dan tidak merampas HAM dari orang gila itu sendiri.

Karena meskipun mereka tidak cakap hukum, mereka tetap bagian dari

subyek hukum dan merupakan tugas Negara dalam Pasal 42 UU HAM

untuk melindungi orang yang cacat mental/gila.

3. Kasus Baekuni Alias “BABE” Sang Pedofilis Sadis-Pembunuh Berantai, Membunuh Serta Memutilasi Anak Jalanan

Baekuni atau yang dikenal dengan nama “Babe” merupakan sosok

yang melegenda di Indonesia. Bukan karena prestasinya yang

membanggakan, tapi kekejiannya terhadap anak-anak jalanan sadis. Sejak

tahun 1993, Babe telah melakukan sodomi terhadap anak-anak jalanan

dengan rentan usia 4 - 14 tahun. Selain menyodomi, Babe juga

membunuh dengan kejam dan memutilasi anak yang disodominya. Kasus

mutilasi yang dilakukannya terungkap setelah Ardiansyah (9 tahun) yang

pada tanggal 8 Januari 2010 ditemukan dalam kondisi terpotong-potong

tanpa kepala. Kepala Ardiansyah sendiri baru ditemukan di tempat

terpisah sehari kemudian. Setelah ditangkap, Babe memberikan

(13)

pembunuhan dan mutilasi terhadap anak lain, yaitu Adi, Arif, dan Teguh.

Anak tersebut dibunuhnya antara tahun 2007 - 2008. Setidaknya 8 anak

yang dihabisi Babe, baik dengan dimutilasi atau hanya dijerat lehernya.

Babe divonis dengan hukuman mati.

Argumentasi :

Kejahatan yang dilakukan oleh Baekuni alias Babe adalah salah

satu pelanggaran HAM yang berat, selain merampas hak hidup anak

pelaku juga menyetubuhi anak dan memutilasinya. Apa yang dilakukan

Babe sangat kejam mengingat hal ini dilakukannya terhadap anak yang

merupakan bibit-bibit penerus yang dapat memajukan bangsa dan

negara. Ini juga merupakan salah satu contoh bentuk dari kekerasan

seksual terhadap anak yakni menjadikan anak sebagai obyek pemuas

nafsu birahi dari pelaku dengan ancaman. Dalam kasus ini anak juga

dijadikan sebagai korban kejahatan yang sadis yakni pembunuhan disertai

dengan mutilasi. Apa yang telah dilakukan pelaku terhadap

korban-korbannya sangat terstruktur dan terencana dengan pola yang sama,

yakni apabila korban menolak untuk disodomi maka dengan cepat pelaku

langsung menjerat tali plastic pada leher korban hingga korban tewas,

setelah itu baru pelaku menyodomi korban yang telah menjadi mayat dan

setelah puas menyodomi korban baru pelaku memutilasi korban menjadi

beberapa bagian kecil dalam sebuah kardus air mineral dengan maksut

(14)

saya sangat kejam dan menjijikan sehingga putusan Hakim yang

memvonis pelaku dengan hukuman mati sesuai Pasal 340 KUHP “barang

siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa

orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord),

dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu

tertentu, paling lama dua puluh tahun”, menurut saya sudah sangat tepat.

Selain kejam, pelaku memiliki kelainan seksual atau seksualitas yang

menyimpang dimana semua korban dari pelaku merupakan anak laki-laki.

Perilakunya bukan hanya Paedofil, tapi juga Necrofil yaitu senang

berhubungan seksual dengan mayat. Dengan adanya kasus ini, sudah

sepatutnya kita sebagai warga negara harus lebih sadar akan lingkungan

sekitar supaya kasus kejam seperti ini tidak terulang kembali, karena anak

merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dirawt, dijaga

dan diberikan kasih sayang dan dilindungi hak-haknya.

Sumber-sumber :

1. https://saveindonesianchildren.wordpress.com/2010/01/19/babe-alias-baekuni-pedofilis-yang-bunuh-8-anak-jalanan/, diakses pada Minggu, 30 Oktober, 2016 pukul : 13.15 WITA

2. http://saveourchilkdren.wordpress.com, diakses pada Minggu, 30 Oktober, 2016 pukul : 13.15 WITA

3. http://news.mypangandaran.com/artikel/read/global/24/mengenang peristiwa-pembantain-dukun-santet-di-pangandaran.html, diakses pada Minggu, 30 Oktober, 2016 pukul : 13.15 WITA

Referensi

Dokumen terkait

Namun, dalam jangka waktu tertentu setelah migran beradaptasi dengan kondisi lingkungan desa Celuk dan telah memperoleh keterampilan menghasilkan seni kerajinan

Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu seni tari tradisonal di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi Sumatera Barat..

PENGGUNAAN MED IA KERTAS BERGELOMBANG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS ANAK CEREBRAL PALSY KELAS III SEKOLAH D ASAR D I SLB-D YPAC BAND UNG. Universitas

Marshall Test.. Benda uji yang digunakan pada penelitian ini pada awalnya menggunakan 15 sampel yang mencakup 5 rentang kadar aspal. Setelah mendapatkan nilai ฀AO,

Pada intinya medan magnet ditimbulkan karena muatan listrik yang bergerak (pernyataan 1 benar, pernyataan 4 salah).pada sebuah konduktor yang dialiri arus listrik maka

However, Danareksa Syariah Berimbang had an average techni- cal efficiency change growth higher than the average of conventional mutual funds, while the average of technical

Bila air teh panas diaduk dengan sendok logam, sendok itu akan terasa lebih panas dari pada air teh itu diaduk dengan sendok yang terbuat dari

Maka dari permasalahan ini, perlu dibangun suatu e-commerce untuk mengatasi permasalahan dengan menerapkan sistem penjualan yang lebih cepat, luas dan efisien dengan