• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Dan Efikasi Diri Guru Dengan Kinerja Guru: Studi Pada 16 SMP Sub Rayon 04 Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Dan Efikasi Diri Guru Dengan Kinerja Guru: Studi Pada 16 SMP Sub Rayon 04 Semarang"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Kepemimpinan Transformasional

Kepala Sekolah Dan Efikasi Diri Guru

Dengan Kinerja Guru: Studi Pada 16 SMP

Sub Rayon 04 Semarang

TESIS diajukan kepada

Program Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Pendidikan

Oleh:

YOSAFAT MASAGUNG PERDATA

NIM : 942010055

Program Pascasarjana

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

“Tell me and I will forget. Teach me and I will remember. Involve me and I will learn.”

Benjamin Franklin

“Give me a fish and I eat for a day. Teach me to fish and I eat for a lifetime.”

Chinese Proverb

Dipersembahkan untuk:

(6)

Hubungan Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Dan Efikasi Diri Guru Terhadap Kinerja Guru: Studi Pada 16 SMP Sub Rayon 04 Semarang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara pandangan guru tentang kepemimpinan transformasional kepala sekolah, efikasi diri guru dengan kinerja guru di SMP Sub Rayon 04 Semarang. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 195 responden dengan teknik simple random sampling. Data dikumpulkan menggunakan skala Likert dengan item-item yang valid dan reliabel. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rumus korelasi Pearson product moment, yang didahului analisis prasyarat melalui uji normalitas sebaran data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara: (1) kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan kinerja guru dengan koefisien korelasi rx1y = 0,497, p=0,000 < 0,05; (2) efikasi diri

guru dengan kinerja guru dengan koefisien korelasi rx2y = 0,395, p=0,000 <

0,05; (3) kepemimpinan transformasional kepala sekolah dan efikasi diri guru secara bersama-sama dengan kinerja guru Rx1.2y = 0,540, p=0,000 <

(7)

Relationship Between Principals Transformational Leadership and Teachers Self-Efficacy Toward Teachers Performance: Study In 16 SMP of Sub Rayon 04 Semarang

ABSTRACT

The present study aims to examine the significance relationship of teachers’ view about principals’ transformational leadership and teachers’ self-efficacy toward teachers’ performance in SMP Sub Rayon 04 Semarang. Data for this survey were collected from 195 teachers using simple random sampling technique. All valid and reliable data were constructed by using Likert scale. Normality tests conducted as a prerequisite to determine if data set is well-modeled by a normal distribution, then Pearson product moment was used for further analys is.Research shows that significance relationships are exist between: (1) principals’ transformational leadership towards teachers’ performance with correlation coefficient rx1y = 0,497,

p=0,000 < 0,05; (2) teachers’ self-efficacy towards teachers’ performance with coefficient correlation rx2y = 0,395, p=0,000 < 0,05; (3) principals’

transformational leadership and teachers’ self-efficacy simultaneously toward teachers’ performance with coefficient Rx1.2y = 0,540, p=0,000 <

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan syukur bagi Allah Bapa melalui Tuhan Yesus yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menjalani perkuliahan sampai dengan penyelesaian penulisan tesis yang berjudul Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Efikasi Diri Guru Terhadap Kinerja Mengajar Guru di SMP Sub Rayon 04 Semarang ini. Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan ucapan terimakasih bagi para pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian tesis ini:

1. Kepala program studi Magister Manajemen Pendidikan, Dr. Bambang Ismanto, M.Si.

2. Prof. J.T. Lobby Loekmono, Ph.D. dan Prof. Daniel D. Kameo, M.A., Ph.D. yang telah memberikan bimbingan, panduan, bantuan dan pencerahan selama penulisan tesis ini;

3. Prof. Dr. Ir. Eko Sediyono, M. Kom. selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan, koreksi, dan saran akan kekurangan dari tesis ini;

(9)

5. Para guru dan kepala sekolah SMP Sub Rayon 04 Kota Semarang yang telah bekerjasama dengan penulis dalam melakukan penelitian ini;

6. T.A. Katman dan Th. Sri Astuti atas semua yang telah diberikan untuk penulis baik secara mental, spiritual dan material selama proses studi hingga penyelesaian penyusunan tesis dan ke depannya;

7. Ibu D. Indriyati, Lani Prabawati, Yohana Elsa, dan Yudith Selly atas semua doa, dukungan dan bantuan tanpa pamrih yang diberikan;

8. Seluruh dosen dan staf administrasi PPs. MMP UKSW yang telah banyak membekali ilmu dan pengalaman baik selama proses studi hingga penyelesaian penulisan tesis;

9. Semua teman-teman dan banyak pihak yang ada di Salatiga dan tempat lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan;

Penulis menyadari akan kekurangan dari penelitian ini, oleh karena itu kritik dan saran serta masukan sangat bermanfaat bagi kelengkapan tesis ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang telah terdapat dalam tesis ini dapat berguna khususnya bagi para guru dan kepala sekolah dalam pengembangan pendidikan dan manajemen pendidikan secara umum.

Salatiga, Desember 2014

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

MOTTO ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

1.5 Sistematika Penulisan ... . 11

BAB II: LANDASAN TEORI 12 2.1 Pengertian Pendapat ... 12

2.2 Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah ... 14

2.2.1 Pengertian Kepemimpinan Transformasional ... 14

2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Transformasional ... 27

2.2.3 Mengukur Kepemimpinan Transformasional ... 32

2.3 Efikasi Diri Guru ... 35

2.3.1 Pengertian Efikasi Diri Guru ... 35

2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Efikasi Diri Guru ... 41

2.3.3 Mengukur Efikasi Diri Guru ... 45

2.4 Kinerja Guru ... 44

2.4.1 Pengertian Kinerja Guru ... 46

2.4.2 Mengukur Kinerja Guru ... 49

2.5 Hubungan Antar Variabel Penelitian ... 50

2.6 Hipotesis Penelitian ... 51

2.6.1 Hipotesis Empirik ... 51

(11)

BAB III: METODE PENELITIAN 54

3.1 Jenis Penelitian ... 54

3.2 Populasi dan Sampel ... 54

3.3 Data dan Sumber Data ... 56

3.4 Variabel dan Instrumen Penelitian... 56

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 64

3.6 Teknik Analisis Data ... 70

BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 72 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ... 72

4.2 Uji Normalitas ... 74

4.3 Analisis Deskriptif ... 75

4.4 Analisis Korelasi ... 78

4.5 Uji Hipotesis ... 82

4.6 Pembahasan Hasil Penelitian ... 84

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN 91 5.1 Kesimpulan ... 91

5.2 Saran ... 91

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1: Hasil Uji Validitas Item

Kepemimpinan Transformasional

Kepala Sekolah ... 65

Tabel 3.2: Hasil Uji Validitas Item Efikasi Diri Guru ... 66

Tabel 3.3: Hasil Uji Validitas Item Kinerja Guru ... 67

Tabel 3.4: Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach .... 68

Tabel 3.5: Hasil Uji Reliabilitas Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah ... 69

Tabel 3.6: Hasil Uji Reliabilitas Efikasi Diri Guru ... 69

Tabel 3.7: Hasil Uji Reliabilitas Kinerja Guru ... 70

Tabel 4.1: Deskripsi Responden ... 71

Tabel 4.2: Masa Kerja Guru ... 72

Tabel 4.3: Hasil Uji Normalitas Data... 73

Tabel 4.4: Distribusi Frekuensi Kinerja Guru ... 75

Tabel 4.5: Distribusi Frekuensi Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah ... 77

Tabel 4.6: Distribusi Frekuensi Efikasi Diri Guru ... 77

Tabel 4.7: Hasil Korelasi antara Kepemimpinan Transformasional dengan Kinerja Guru ... 78

Tabel 4.8: Hasil Korelasi antara Efikasi Diri Guru dengan Kinerja Guru ... 79

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Kinerja guru dalam pendidikan merupakan faktor

penting yang dapat menentukan baik buruknya

pendidikan dan kesuksesan mencapai tujuan

pendidikan. Peran guru sangat erat hubungannya

dalam keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan dan

proses belajar mengajar. Pendidikan merupakan faktor

penting dalam proses pembentukan karakter manusia

dan menghasilkan sumber daya manusia yang

berkualitas. Danim (2006) mengatakan bahwa

pendidikan merupakan proses pemanusiaan menuju

insan yang bernilai secara kemanusiaan.

Pernyataan tersebut dengan kata lain

menunjukkan bahwa tujuan yang utama dari

pendidikan adalah proses “memanusiakan” manusia

untuk menjadi manusia. Oleh karena itu, guru sebagai

tenaga pendidik di sekolah memiliki kewajiban dalam

proses pelaksanaan pendidikan sehingga menghasilkan

sumber daya manusia yang berkualitas, berdedikasi

tinggi, kreatif dan inovatif, sehingga berjalan dengan

baik sesuai dengan sistem dan norma yang berlaku

(14)

2

Kinerja guru dalam penyelenggaraan pendidikan

sangat penting dapat menentukan kualitas sumber

daya manusia. Dalam melaksanakan kewajibannya,

banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja guru

di sekolah dan memiliki keterkaitan, misalnya faktor

kepemimpinan kepala sekolah dan efikasi diri guru.

Menurut Andrew dan Morefield dalam Zainal

(2008) kepala sekolah sebagai seorang pemimpin

hendaknya dapat menciptakan suasana kerja yang

kondusif di lingkungan kerjanya (sekolah) sehingga

tercipta atmosfer yang baik pula dalam lingkungan

kerja tersebut. Demi terciptanya suasana kerja, seorang

kepala sekolah harus sering berinteraksi dengan staf

yang ada di sekolah tersebut khususnya para guru.

Diharapkan, dengan terciptanya suasana dan atmosfer

kerja yang kondusif, para guru dapat memiliki kinerja

yang baik demi pencapaian tujuan pendidikan.

Lazaridou (2009) juga menambahkan bahwa

pemimpin yang berkualitas adalah seseorang yang

inovatif, mampu mebuat keputusan dengan tepat,

mampu berkomunikasi dengan para staf dengan baik,

serta membuat perkembangan dengan kegiatan yang

bersifat profesional. Kantrowitz dan Matthews (2007)

berpendapat bahwa kepala sekolah pada zaman seperti

ini tidak hanya menjadi pemimpin dan manajer dalam

(15)

3 dalam menjalankan sekolah. Untuk meningkatkan

kualitas pendidikan yang ada di sekolahnya, seorang

kepala sekolah harus mampu untuk meningkatkan

kinerja para pendidik dan tenaga pendidik.

Cara yang dipakai kepala sekolah dalam

mempengaruhi elemen yang ada di kepala sekolah

adalah gaya kepemimpinan. Yukl (2010) mengatakan

bahwa gaya kepemimpinan merupakan usaha atau

cara seorang pemimpin untuk mencapai tujuan

organisasi dengan memperhatikan unsur-unsur

falsafah, keterampilan, sifat, dan sikap karyawan.

Sehingga gaya kepemimpinan yang paling efektif adalah

gaya kepemimpinan yang dapat mendorong atau

memotivasi bawahannya, menumbuhkan sikap positif

bawahan pada pekerjaan dan organisasi, dan mudah

menyesuaikan dengan segala situasi. Gaya

kepemimpinan seperti ini pada dasarnya merupakan

gaya kepemimpinan transformasional yang

menekankan pada pentingnya seorang pemimpin dalam

menciptakan visi dan lingkungan yang dapat

memotivasi para bawahan untuk berprestasi melebihi

dari harapannya.

James McGregor Burns adalah orang pertama

kali yang mengembangkan gaya kepemimpinan

transformasional untuk diterapkan dalam dunia politik.

(16)

4

transformational leadership as a process where leader

and followers engange in a mutual process of raising one

another to higher levels of morality and motivation.

Kepemimpinan transformasional sebagai proses

dimana pemimpin dan pengikutnya bersama sama

saling meningkatkan dan mengembangkan moralitas

dan motivasinya. Kepemimpinan transformasional pada

hakekatnya menekankan peran pemimpin yang

memotivasi para bawahannya untuk melakukan

tanggung-jawab mereka lebih dari yang mereka

harapkan (Nurdin, 2013). Dengan demikian gaya

kepemimpinan transformasional kepala sekolah

dideskripsikan sebagai gaya kepemimpinan yang

membangkitkan atau memberdayakan seluruh elemen

yang ada di sekolah sehingga berkembang dan

mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi, melebihi

dari apa yang mereka perkirakan sebelumnya (Bass

dalam Yukl, 2010).

Gaya kepemimpinan transformasional kepala

sekolah memiliki hubungan dengan kinerja guru,

seperti dari hasil penelitian Loekmono dan Harijanti

(2013) terhadap 172 orang guru SD di Kecamatan

Bandungan. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa

kepemimpinan transformasional kepala sekolah

(17)

5 guru dengan nilai sebesar rxy= 0,339 dan p=0,000 <

0,05.

Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh

Saripudin (2009) terhadap 77 orang guru Madrasah

Aliyah se-Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa

gaya kepemimpinan transformasional tidak

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan

dengan kinerja guru. Penelitian ini memperoleh nilai r=

-0,771 dan p= 0,293 > 0,05 yang berarti bahwa

kepemimpinan transformasional tidak memiliki

pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kinerja

guru. Adanya perbedaan hasil penelitian Loekmono dan

Harijanti (2013) dengan Saripudin (2009) yang

kontradiktif ini hendak dilakukan penelitian ulang

untuk memastikan ada tidaknya hubungan yang

signifikan antara kepemimpinan transformasional

kepala sekolah dengan kinerja guru.

Untuk mencapai tujuan pendidikan, para guru

juga harus memiliki keyakinan akan kemampuan

dalam diri mereka bahwa tugas dan kewajiban yang

mereka emban dapat dilaksanakan dengan sukses, dan

keyakinan akan kemampuan mereka ini disebut efikasi

diri. Efikasi diri telah menjadi satu konsep penting di

antara para peneliti pendidikan sejak Albert Bandura

memperkenalkannya pada tahun 1970-an lewat social

(18)

6

social cognitive theory pada awal dekade 1980-an.

Efikasi diri guru dapat mempengaruhi guru dalam

pembuatan keputusan mengenai pengelolaan kelas,

pengorganisasian rangkaian pembelajaran, mengajar,

memotivasi siswa, meningkatkan kedisplinan siswa dan

meminta keterlibatan orang tua mereka dalam

mencapai tujuan pendidikan serta membuat iklim

sekolah yang positif (Bandura, 1986). Lebih jauh lagi,

efikasi diri guru adalah satu fenomena khusus yang

dapat dipandang sebagai salah satu kontributor

terhadap proses belajar dan mengajar yang efektif

sehingga secara langsung juga memiliki pengaruh

terhadap kinerja guru.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pajares (1996) membuktikan bahwa “self-efficacy is closely related to the academic performances.” Penelitian ini

membuktikan bahwa efikasi diri yang dimiliki guru erat

kaitannya dengan kinerja akademik yang ada di

sekolah. Para peneliti lain juga membuktikan pengaruh

efikasi diri guru terhadap elemen-elemen pengajaran.

Misalnya, Gibson dan Dembo (1984) membuktikan

bahwa efikasi diri guru merupakan satu kontributor

signifikan terhadap perbedaan individu dalam

efektivitas pengajaran. Dalam manajemen kelas,

Henson et al (2001) menegaskan bahwa “teacher self

(19)

7 a teacher in selecting classroom management

approaches.” Pernyataan dari Henson ini berarti bahwa efikasi diri guru adalah variabel penting dalam sekolah

yang mempengaruhi guru dalam melakukan

pendekatan pemilihan manajemen kelas.

Semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki oleh

guru, maka akan berpengaruh pada efektivitas kinerja

mereka (Moran & Hoy, 2001). Guru yang memiliki

efikasi diri yang tinggi dikatakan dapat mempengaruhi

perilaku mengajar mereka sehingga dapat berpengaruh

juga terhadap motivasi dan pencapaian para siswa

(Skaalvik & Skaalvik, 2010). Sebaliknya, guru yang

memiliki efikasi diri yang rendah dapat mengalami

kesulitan dalam mengajar, sehingga bisa menimbulkan

stress dalam pekerjaan dan berpengaruh pada

kepuasan kerja mereka (Klassen et al, 2009). Dari

alasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri

yang ada pada guru memiliki pengaruh pada kinerja

mereka.

Adanya hubungan antara efikasi diri guru dengan

kinerja guru dapat ditemukan pada penelitian yang

dilakukan oleh Arsyad (2012) terhadap 103 orang guru

SMK se-kota Banjarmasin menunjukkan bahwa efikasi

diri memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja

guru dengan nilai sebesar rxy=0,372 p=0,000 < 0,01.

(20)

8

dilakukan oleh Moalosi (2013) terhadap 1000 orang

guru bahwa ditemukan tidak adanya hubungan yang

signifikan antara efikasi diri guru dengan kinerja guru.

Berdasarkan hasil pra penelitian yang diadakan

di SMP Sub Rayon 04 Semarang, terdapat perbedaan

tingkat kepemimpinan transformasional kepala sekolah

dan efikasi diri yang dimiliki oleh para guru.

Berdasarkan perbedaan yang ada tersebut, belum

dapat disimpulkan apakah praktek kepemimpinan

kepala sekolah dan efikasi diri yang ada pada guru

dapat berpengaruh pada kinerja mengajar guru. Atas

perbedaan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang hubungan yang ada antara

pandangan guru tentang gaya kepemimpinan

transformasional kepala sekolah dan efikasi diri guru

dengan kinerja mengajar guru.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang ada

sebelumnya, rumusan masalah yang hendak diangkat

adalah sebagai berikut:

1. Adakah hubungan signifikan antara

pandangan guru tentang gaya kepemimpinan

transformasional kepala sekolah terhadap

(21)

9 2. Adakah hubungan signifikan antara efikasi

diri guru terhadap kinerja guru di SMP Sub

Rayon 04 Semarang?

3. Adakah hubungan yang signifikan antara

pandangan guru tentang gaya kepemimpinan

transformasional kepala sekolah dan efikasi

diri guru secara bersama-sama terhadap

kinerja guru di SMP Sub Rayon 04 Semarang?

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka

tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Untuk mengetahui hubungan antara

pandangan guru tentang gaya kepemimpinan

transformasional kepala sekolah terhadap

kinerja guru di SMP Sub Rayon 04 Semarang.

2. Untuk mengetahui hubungan antara efikasi

guru terhadap kinerja guru di SMP Sub Rayon

04 Semarang.

3. Untuk mengetahui hubungan antara

pandangan guru tentang gaya kepemimpinan

transformasional kepala sekolah dan efikasi

diri guru secara bersama-sama terhadap

(22)

10

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritik

Secara teoritik hasil penelitian ini diharapkan

dapat menambah ilmu di bidang manajemen

pendidikan. Apabila dalam pendidikan ini ditemukan

adanya hubungan antara pandangan guru tentang gaya

kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan

kinerja guru SMP Sub Rayon 04 Semarang, maka

sejalan dengan hasil penelitian Loekmono dan Harijanti

(2013). Jika ditemukan hasil sebaliknya, maka sejalan

dengan hasil penelitian Saripudin (2009). Bila hasil

penelitian ini menemukan adanya hubungan signifikan

antara efikasi diri dengan guru, maka sejalan dengan

hasil penelitian Arsyad (2012). Namun apabila tidak

ditemukan hubungan yang signifikan antara efikasi diri

guru dengan kinerja guru maka sejalan dengan

penelitian Moalosi (2013).

1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini

adalah untuk mendapatkan hasil ilmiah tentang

hubungan pandangan guru tentang gaya

kepemimpinan transformasional kepala sekolah dan

efikasi diri guru terhadap kinerja guru. Selain itu, hasil

penelitian ini dapat digunakan oleh para kepala sekolah

(23)

11 hubungannya dengan kinerja guru. Bagi para guru,

hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan

tentang efikasi diri dalam hubungannya dengan kinerja

mereka.

1.5

Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab dengan rincian

sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan meliputi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan;

Bab 2 Landasan Teori meliputi kepemimpinan

transformasional kepala sekolah, efikasi

diri guru, kinerja guru, hubungan antar

variabel, dan hipotesis penelitian;

Bab 3 Metode Penelitian meliputi jenis penelitian,

populasi dan lokasi penelitian, instrument

pengumpulan data, dan teknik analisis

data;

Bab 4 Analisis Data dan Pembahasan meliputi

deskripsi subjek penelitian, uji normalitas,

hasil pengukuran variabel, analisis

korelasi, dan pembahasan;

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1

Pengertian Pandangan

Dalam proses mengamati objek, pengalaman dan

perasaan dari setiap individu akan mempengaruhi

dalam memberikan pandangan atau perspektif.

Dikarenakan setiap individu adalah karakter yang unik

dan berbeda-beda, makan perbedaan latar belakang

dan wawasan dari setiap individu dapat menimbulkan

perbedaan pandangan tentang sesuatu. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), pandangan

atau perspektif dapat didefinisikan sebagai hasil dari

perbuatan memandang.

Hasil dari perbuatan memandang ini

mengandung tiga komponen yang kemudian dapat

membentuk sikap (Walgito, 1994), yaitu:

a. Komponen kognitif, yaitu komponen yang

berhubungan dengan pengetahuan, pandangan,

keyakinan.

b. Komponen efektif, merupakan komponen yang

berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang

(25)

2

c. Komponen konatif, adalah komponen yang berkaitan

dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku

dari individu terhadap suatu objek.

Kohler (1925) berpendapat bahwa dalam sebuah

pandangan individu, mental dari individu tersebut

memiliki peran yang penting dalam proses

mengeluarkan pandangan. Kondisi mental yang dimiliki

oleh individu ini berasal latar belakang kehidupan dan

pengetahuan, sehingga pandangan atau perspektif dari

masing-masing individu berbeda.

Dalam proses mengeluarkan pandangan atau

perspektif terhadap suatu objek psikologis, seorang

individu juga dipengaruhi oleh kepribadiannya. Contoh

dari objek psikologis ini dapat berupa kejadian, ide,

atau situasi tertentu dimana individu dapat

memandang. Faktor pengalaman, proses belajar atau

sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap

apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuan individu

memberikan arti terhadap objek psikologis tersebut.

Melalui komponen kognitif ini akan menimbulkan ide,

dan kemudian akan timbul suatu konsep tentang apa

yang dilihat yaitu pandangan atau perspektif (Rifai,

2009).

Dalam penelitian ini, pandangan guru dari SMP

Sub Rayon 04 Semarang akan digunakan untuk

(26)

3 kepala sekolah dari tiap-tiap sekolah yang dijadikan

objek penelitian. Para guru memberikan pandangan

mereka sesuai dengan latar belakang, pengetahuan dan

wawasan yang mereka miliki, sehingga hasil dari

pandangan masing-masing guru akan berbeda.

2.2

Kepemimpinan Transformasional

2.2.1. Pengertian Kepemimpinan Transformasional Penggunaan pendekatan atau perspektif yang

beragam atas kepemimpinan, selain melahirkan definisi

kepemimpinan yang beragam juga melahirkan teori

kepemimpinan yang beragam pula. Setiap pendekatan

yang digunakan melahirkan berbagai macam teori

kepemimpinan. Luthans (2006) mendefinisikan

kepemimpinan sebagai sekelompok proses,

kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi,

wewenang, pencapaian tujuan, interaksi, perbedaan

peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau

lebih dari hal-hal tersebut.

Khuntia dan Suar (2004) menyatakan bahwa

semua teori mengenai kepemimpinan menekankan

pada tiga gagasan yang dibangun baik secara

bersama-sama maupun terpisah yaitu: (1) rasionalitas, perilaku,

dan kepribadian pemimpin; (2) rasionalitas, perilaku,

(27)

4

berhubungan dengan pelaksanaan tugas, iklim

organisasi, dan budaya.

Menurut Rivai dan Mulyadi (2012),

kepemimpinan pada dasarnya: melibatkan orang lain,

melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata

antara pemimpin dan anggota kelompok,

menggerakkan kemampuan dengan menggunakan

berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi

tingkah laku bawahan, dan menyangkut nilai. Empat

sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap

keberhasilan kepemimpinan organisasi yaitu: 1)

kecerdasan; 2) kedewasaan; 3) motivasi diri dan

dorongan berprestasi; 4) sikap dan hubungan

kemanusiaan.

Fullan (2001) berpendapat bahwa semakin rumit

sebuah perkumpulan atau organisasi, akan semakin

dibutuhkan pemimpin yang mumpuni dalam

mengarahkan organisasi karena pemimpin memegang

peranan penting dalam suatu organisasi. Peran seorang

pemimpin dalam suatu organisasi adalah sebagai

penunjuk arah dan tujuan di masa depan (direct setter),

agen perubahan (change agent), negosiator

(spokeperson), dan sebagai pembina (coach). Sekolah,

sebagai suatu lembaga pendidikan dan organisasi

membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menjamin

(28)

5 berkembang menghadapi tantangan global. Oleh karena

itu, pemimpin dalam dunia pendidikan memerlukan

kemampuan seperti komunikator yang handal, mampu

bekerja dalam tim, mampu memecahkan masalah yang

ada, pembawa perubahan dan menjadi pemimpin

transformasional (Balyer, 2012).

Studi tentang kepemimpinan dapat dilakukan

melalui berbagai cara, tergantung dari metodologi yang

dipilih oleh peneliti dan definisi kepemimpinan

(Stewart, 2006). Robbins (1996) membagi teori

mengenai kepemimpinan ke dalam empat kategori,

yaitu

a. Teori Ciri Kepemimpinan (The Leadership

Characteristic theory)

Teori Ciri Kepemimpinan adalah teori yang

mencari ciri kepribadian sosial, fisik, atau intelektual

yang memperbedakan pemimpin dari bukan pemimpin.

Dalam teori ini diidentifikasikan ciri-ciri yang dikaitkan

secara konsisten dengan kepemimpinan yaitu enam ciri

yang cenderung membedakan pemimpin dari bukan

pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk

memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan),

percaya diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang

relevan dengan pekerjaan.

b. Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral

(29)

6

Teori Perilaku Kepemimpinan adalah teori-teori

yang mengemukakan bahwa perilaku spesifik

membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Adapun

teori-teori yang termasuk ke dalam Teori Perilaku

Kepemimpinan adalah: a) Studi-studi Kepemimpinan

Ohio State, b) Telaah Universitas Michigan, dan c)

Kisi-kisi Manajerial Blake & Mouton dan Studi Skandinavia.

c. Teori Kontingensi (Contingency Theory)

Teori Kontingensi merupakan pendekatan

kepemimpinan yang mendorong pemimpin memahami

perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa

keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari

berbagai aspek situasi kepemimpinan (Ivancevich,

Konopaske, Matteson, 2007). Adapun lima teori yang

termasuk ke dalam teori kontingensi adalah: a) Model

kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model), b) Teori

Situasional Hersey dan Blanchard, c) Teori Pertukaran

Pemimpin-Anggota, d) Teori Jalur-Tujuan Robert House

(House’s Path Goal Theory), dan d) Teori Model

Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton.

d. Teori Neo-Karismatik (Neocharismatic Theories) Merupakan teori kepemimpinan yang

menekankan simbolisme, daya tarik emosional, dan

komitmen pengikut yang luar biasa. Teori-teori yang

termasuk ke dalam teori ini adalah: a) Teori

(30)

7 Teori Kepemimpinan Transformasional

(Transformasional Leadership Theory), c) Teori

Kepemimpinan Transaksional (Transactional Leadership

Theory) dan d) Teori Kepemimpinan Visioner (Visionary

Leadership)

Berdasarkan teori Robbins yang ada tentang

kepemimpinan, dapat dilihat bahwa kepemimpinan

transformasional termasuk ke dalam teori

neo-karismatik. Kepemimpinan yang termasuk dalam teori

karismatik ini lebih berpusat pada kharisma yang ada

di dalam diri seorang pemimpin untuk membawa

perubahan dalam organisasi yang dipimpinnya

(Robbins, 1996). Kebanyakan teori terbaru dari

kepemimpinan ini amat terpengaruh oleh James

McGregor Burns (1978) yang membedakan antara

kepemimpinan yang melakukan transformasi dengan

kepemimpinan transaksional (Yukl, 2010). Salah satu

bentuk kepemimpinan yang diyakini dapat

mengimbangi pola pikir dan refleksi paradigma baru

dalam arus globalisasi dirumuskan sebagai

kepemimpinan transformasional (Balyer, 2012).

Northouse (2001) mendefinisikan secara singkat

tentang kepemimpinan transformasional sebagai “the

ability to get people to want to change, improve, and be

led. It involves assessing associates' motives, satisfying

(31)

8

kepemimpinan transformasional melibatkan peran

emosional dari seorang pemimpin ke pengikutnya

dalam perubahan yang lebih baik. Awalnya,

kepemimpinan transformasional pertama kali digagas

oleh J. V. Downtown pada tahun 1973, akan tetapi teori

kepemimpinan tranformasional mencuat ke permukaan

publik melalui James McGregor Burns pada tahun

1978 lewat bukunya yang berjudul Leadership yang

kemudian membawa teori tersebut ke dalam ranah

organisasi (Northouse, 2001).

Dalam bukunya tersebut, Burns menyatakan

kepemimpinan transformasional sebagai “leaders and

followers help each other to advance to a higher level of

morale and motivation.” Pernyataan ini mengandung arti bahwa pemimpin dan pengikut bersama-sama

saling menolong untuk mencapai tingkatan moral dan

motivasi yang lebih tinggi guna mencapai tujuan

bersama.

Burns (dalam Poulson dkk 2001) mengutarakan

bahwa pada dasarnya kepemimpinan atau leadership

dalam suatu organisasi secara alamiah dapat

dikategorikan kedalam dua bagian, yaitu

transformasional dan transaksional. Perbedaan

mendasar antara keduanya adalah kepemimpinan

transaksional tradisional mencakup hubungan

(32)

9 kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan

pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta

kebutuhan pengikutnya (Burns, 1978).

Burns (1978) mengatakan bahwa “the

transformational leader looks for potential motives in

followers, seeks to satisfy higher needs, and engages the

full person of the follower”. Hal ini berarti bahwa pemimpin transformasional menyerukan nilai nilai

moral ke pengikut dalam upayanya untuk

meningkatkan kesadaran mereka tentang masalah etis

dan untuk memobilisasi energi dan sumber daya

mereka untuk mereformasi institusi (Givens, 2008).

Teori kepemimpinan transformasional dari Burns

ini kemudian memberikan inspirasi dan kerangka kerja

konseptual yang fundamental bagi Bernard M. Bass

(1985). Bass yang mengusung aliran teori

neo-karismatik (teori kepemimpinan yang menekankan

simbolisme, daya tarik emosional, dan komitmen

pengikut yang luar biasa) merekonseptualisasikan dan

mengembangkan teori kepemimpinan transformasional

milik Burns ke dalam konteks penelitian empiris yang

berdasarkan pada kepemimpinan transformasional.

Kepemimpinan transformasional menurut Bass

(1985) adalah interaksi antara pemimpin dan pengikut

yang ditandai oleh pengaruh pemimpin untuk

(33)

10

merasa mampu dan bermotivasi tinggi dan berupaya

mencapai prestasi kerja yang tinggi dan bermutu. Ia

mengatakan bahwa pemimpin adalah “one who

motivates us to do more than we originally expected to

do”. Pemimpin transformasional, digambarkan sebagai

gaya kepemimpinan yang dapat membangkitkan atau

memotivasi karyawan, sehingga dapat berkembang dan

mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi, melebihi

dari apa yang mereka perkirakan sebelumnya. Motivasi

yang dimaksud dalam pendapat Bass ini dapat dicapai

dengan menaikkan tingkat kewaspadaan tentang

pentingnya akan hasil dan cara untuk meraihnya.

Bass (dalam Bass & Avolio, 2004) mendefinisikan

kepemimpinan transformasional sebagai berikut:

“The process of influencing in which leaders change their associates’ awareness of what is important, and move them to see themselves and the opportunities and challenges of their environment in a new way. Transformational leaders are proactive: they seek to optimize individual, group, and organizational development and innovation, not just achieve performance “at expectations”. They convince associates to strive for higher levels of potential as well as higher levels of moral and ethical standards.”

Kepemimpinan transformasional didefinisikan

sebagai sebuah perilaku yang bersifat proaktif,

meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama

kepada para pengikut, dan membantu para pengikut

mencapai tujuan pada tingkatan yang paling tinggi

(34)

11 kepemimpinan transformasional lebih menekankan

pada perubahan yang dilakukan oleh pemimpin

terhadap kepercayaan, nilai, dan perilaku para

pengikut sehingga konsisten dengan visi organisasi

(Khuntia & Suar, 2004). Pemimpin memberikan

pengaruhnya dengan melibatkan pengikutnya untuk

berpartisipasi dalam penentuan tujuan, pemecahan

masalah, pengambilan keputusan, dan memberikan

umpan balik melalui pelatihan, pengarahan,

konsultasi, bimbingan, dan pemantauan atas tugas

yang diberikan. Pemimpinan transformasional adalah

pemimpin yang mendorong para pengikutnya untuk

merubah motif, kepercayaaan, nilai, dan kemampuan

sehingga minat dan tujuan pribadi dari para pengikut

dapat selaras dengan visi dan tujuan organisasi (Bass,

dalam Goodwin et al., 2001).

Bass (dalam Judge dan Picollo, 2004) melihat

bahwa kepemimpinan transformasional tidak hanya

berfokus pada pemimpin, tetapi juga memperhatikan

hubungan yang ada antara pemimpin dan pengikut dan

bersama-sama saling meningkatkan dan

mengembangkan moralitas dan motivasinya.

Bass (1985) mendefinisikan kepemimpinan

transformasional didasarkan pada pengaruh dan

hubungan pemimpin dengan pengikut atau bawahan.

(35)

12

menghormati pemimpin, serta memiliki komitmen dan

motivasi yang tinggi untuk berprestasi dan berkinerja

yang lebih tinggi.

Menurut Bass (dalam Robbins & Judge, 2008),

pemimpin transformasional adalah pemimpin yang

menginspirasi para pengikutnya untuk

mengesampingkan kepentingan pribadi mereka demi

kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki

pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya.

Mereka menaruh perhatian terhadap kebutuhan

pengembangan diri para pengikutnya, mengubah

kesadaran para pengikut atas isu-isu yang ada dengan

cara membantu orang lain memandang masalah lama

dengan cara yang baru, serta mampu menyenangkan

hati dan menginspirasi para pengikutnya untuk bekerja

keras guna mencapai tujuan-tujuan bersama (Bass

dalam Rafferty & Griffin, 2004).

Luthans (2006) menyimpulkan bahwa pemimpin

transformasional yang efektif memiliki tujuh karakter

sebagai berikut: 1) mengidentifikasikan dirinya sebagai

alat perubahan; 2) pemberani; 3) mempercayai orang

lain; 4) motor penggerak nilai; 5) pembelajar sepanjang

masa; 6) memiliki kemampuan menghadapi

kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian; 7)

(36)

13 Kepemimpinan transformasional dipercaya dapat

menghasilkan keuntungan baik bagi pemimpin dan

pengikutnya; pemimpin menjadi seorang agen

perubahan dan para pengikutnya berkembang menjadi

seorang pemimpin (Bass dan Burns dalam Poulson dkk,

2011). Hal ini dikarenakan para pemimpin

transformasional membantu para pengikutnya untuk

tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan

mereka, sedangkan pemimpin memberikan motivasi

bagi pengikutnya.

Secara teoritis, konsep dari kepemimpinan

transformasional ini menegaskan bahwa kepemimpinan

bukan hanya sekumpulan perilaku atau sifat dari

seorang pemimpin, tetapi juga merupakan proses

dimana individu bergabung menjadi satu kesatuan

dalam organisasi secara utuh (Bass dalam Chin, 2007).

Kepemimpinan transformasional adalah proses untuk

membentuk dan menaikkan tujuan dan kemampuan

untuk mencapai perkembangan signifikan melalui

kepentingan bersama dan tindakan kooperatif (Bass,

1990).

Bass (dalam Hughes dkk., 2012) mengemukakan

bahwa pemimpin transformasional memiliki visi,

keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan

menggunakannya untuk mengembangkan ikatan

(37)

14

transformasional diyakini lebih berhasil dalam

mendorong perubahan organisasi karena tergugahnya

emosi pengikut serta kesediaan mereka untuk bekerja

mewujudkan visi sang pemimpin. Model kepemimpinan

transformasional dianggap efektif dalam situasi

kepemimpinan atau budaya apa pun termasuk dalam

dunia pendidikan (Bass, 1990). Kepemimpinan

transformasional cocok diterapkan pada lingkungan

sekolah yang dinamis dan memiliki tenaga guru yang

merupakan tenaga profesional, berpendidikan, dan

memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi.

Bass (dalam Chew & Chan, 2008) mengatakan

bahwa kepemimpinan transformasional secara positif

diasosiasikan dalam konteks sekolah karena iklim kerja

yang inovatif dan merangsang para pengikut untuk

melakukan lebih dari yang diharapkan dalam hal

kinerja dan produktivitas kerja. Hal ini dikarenakan

kepemimpinan transformasional memiliki tiga fungsi

dasar yang berguna bagi sekolah (Bass dalam

Castanheira & Costa, 2011) yaitu; a) pemimpin

transformasional mampu melayani kebutuhan para

pengikutnya, menguatkan, dan menginspirasi untuk

mencapai tujuan sekolah; b) memimpin secara

karismatik, menetapkan tujuan, memberikan

kepercayaan diri dan kebanggaan dalam bekerja; c)

(38)

15 sehingga mereka tidak merasa minder terhadap posisi

pemimpin. Dengan fungsi-fungsi tersebut, sekolah akan

menjadi satu kesatuan kerja yang utuh karena sekolah

didasari atas unit yang kolektif.

Kruger, Witziers, dan Sleegers (2007) menyatakan

bahwa kepemimpinan transformasional memiliki

pengaruh yang positif terhadap pendidikan di sekolah.

Leithwood & Jantzi (2005) memberikan tujuh dimensi

tentang mengapa kepemimpinan transformasional

dapat berhasil saat diaplikasikan dalam konteks

sekolah; a) membangun visi dan mendirikan tujuan

sekolah, b) menyediakan rangsangan intelektual/

intellectual stimulation, c) menyediakan dukungan

individual, d) memberikan model akan best practices

dan nilai-nilai organisasional, e) mengatur standar

ekspektasi akademik yang tinggi, f) menciptakan

budaya sekolah yang produktif, dan g) mengembangkan

partisipasi dalam pengambilan keputusan.

Kepala sekolah transformasional harus mampu

memberikan wawasan, membangkitkan kebanggaan,

serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan

dari bawahannya (Leithwood dkk, 2004). Kepala

sekolah yang menerapkan kepemimpinan

transformasional harus memiliki kepercayaan bahwa

pengikutnya (pendidik dan tenaga pendidik) memiliki

(39)

16

dapat berguna bagi tujuan sekolah (Owens, 1998). Oleh

karena alasan tersebut, menurut Molenaar et.al. (2010)

kepemimpinan transformasional diasosiasikan secara

positif dalam dunia pendidikan terutama di sekolah

karena iklim inovatif kreatif yang ada di sekolah dan

memotivasi pengikutnya untuk melakukan lebih

terhadap apa yang diharapkan dari mereka.

Bass (dalam Northouse, 2001) menyimpulkan

bahwa seseorang yang dapat menampilkan

kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih

menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif

dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu,

merupakan hal yang amat menguntungkan jika para

kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan

transformasional di sekolahnya. Karena kepemimpinan

transformasional merupakan sebuah rentang yang luas

tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa

menjadi seorang pemimpin transformasional yang

efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan

usaha sadar dan sungguh-sungguh dari yang

bersangkutan.

2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Transformasional

Studi empiris yang dilakukan Bass & Riggio

(2006) dan Leithwood & Jantzi (2005) menunjukkan

(40)

17 yang kritis dalam hal efektivitas sekolah (Lai, 2011). Hal

ini dikarenakan pemimpin transformasional berfokus

pada kapasitas membangun untuk tujuan perubahan

organisasi, mempertajam kemampuan dan menambah

pengetahuan pengikut dari pengalaman seorang

pemimpin.

Berdasarkan dari definisi tersebut,

kepemimpinan transformasional memiliki empat faktor

dalam aplikasinya (Bass & Bass, 2008), yaitu; a)

pengaruh ideal/ idealized influence, b) motivasi

inspirasional/ motivated inspirational, c) rangsangan

intelektual/ intellectual stimulation, dan d)

pertimbangan individu/ individualized consideration.

Faktor-faktor ini merupakan pembeda yang

mempengaruhi pandangan guru terhadap

kepemimpinan transformasional kepala sekolah.

Pandangan masing-masing guru akan berbeda,

tergantung dari bagaimana faktor-faktor kepemimpinan

ini berpengaruh dalam kinerja mereka di sekolah.

1. Idealized Influence (Pengaruh Ideal)

Idealized influence adalah perilaku kepala

sekolah yang memberikan visi dan misi, memunculkan

rasa bangga, serta mendapatkan respek dan

kepercayaan dari para guru dan tenaga pendidik.

Idealized influence disebut juga sebagai pemimpin yang

(41)

18

mendalam pada pemimpinnya, merasa bangga bisa

bekerja dengan pemimpinnya, dan mempercayai

kapasitas pemimpinnya dalam mengatasi setiap

permasalahan (Bass & Riggio, 2006). Idealized

influence, yang dijelaskan sebagai perilaku yang

menghasilkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya

diri (trust) dari orang yang dipimpinnya. Hal ini

mengandung makna bahwa kepala sekolah dan para

staf saling berbagi resiko melalui pertimbangan

kebutuhan para staf di atas kebutuhan pribadi dan

perilaku moral secara etis.

2. Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)

Inspirational motivation adalah perilaku dari

kepala sekolah yang mampu mengkomunikasikan

harapan yang tinggi, menyampaikan visi bersama

secara menarik dengan menggunakan simbol-simbol

untuk memfokuskan upaya bawahan, dan

menginspirasi bawahan untuk mencapai tujuan yang

menghasilkan kemajuan penting bagi organisasi (Bass

& Riggio, 2006). Inspirational motivation, tercermin

dalam perilaku yang senantiasa menyediakan

tantangan bagi pekerjaan yang dilakukan staf dan

memperhatikan makna pekerjaan tersebut bagi para

staf. Hal ini mengandung makna bahwa kepala sekolah

menunjukkan atau mendemonstrasikan komitmen

(42)

19 yang dapat diobservasi para staf (guru dan karyawan).

Kepala sekolah berperan sebagai motivator yang

bersemangat untuk terus membangkitkan antusiasme

dan optimisme guru dan karyawan.

3. Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual)

Intellectual stimulation adalah sikap dan perilaku

kepala sekolah yang mampu meningkatkan kecerdasan

bawahan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi

mereka, meningkatkan rasionalitas, dan pemecahan

masalah secara cermat (Bass & Riggio, 2006). Sikap

dan perilaku kepemimpinannya didasarkan pada ilmu

pengetahuan yang berkembang dan secara intelektual

ia mampu menterjemahkannya dalam bentuk kinerja

yang produktif. Hal ini mengandung makna bahwa

kepala sekolah sebagai intelektual, senantiasa menggali

ide-ide baru dan solusi yang kreatif dari para stafnya

dan tidak lupa selalu mendorong staf mempelajari dan

mempraktikkan pendekatan baru dalam melakukan

pekerjaan.

4. Individualized Consideration (Pertimbangan

Individual)

Individualized consideration adalah pemimpin

merefleksikan dirinya sebagai seorang yang penuh

perhatian dalam mendengarkan dan menindaklanjuti

keluhan, ide, harapan-harapan, dan segala masukan

(43)

20

kepala sekolah memberikan perhatian pribadi,

memperlakukan masing-masing bawahan secara

individual sebagai seorang individu dengan kebutuhan,

kemampuan, dan aspirasi yang berbeda, serta melatih

dan memberikan saran. Individualized consideration

dari kepemimpinan transformasional memperlakukan

masing-masing bawahan sebagai individu serta

mendampingi mereka, memonitor dan menumbuhkan

peluang. Dalam hal ini kepala sekolah senantiasa

memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dari para

stafnya, serta melibatkan mereka dalam suatu

pengambilan keputusan untuk meningkatkan kinerja

organisasi.

Pengaruh ideal adalah faktor yang

memperlihatkan bagaimana para pengikut memandang

pemimpin transformasional sebagai orang yang percaya

diri serta berfokus pada tugas yang diemban. Perilaku

pengaruh ideal merujuk pada tindakan karismatik dari

seorang pemimpin yang berpusat pada nilai-nilai,

kepercayaan, dan rasa akan misi (Antonakis et al.,

2003). Motivasi inspirasional adalah cara dimana

seorang pemimpin menginspirasi pengikutnya dengan

memberikan rasa optimis akan masa depan, mengatur

tujuan yang ambisius, dan memberikan semangat dan

dorongan bahwa visi tersebut dapat dicapai (Bass &

(44)

21 pengikutnya untuk berpikir secara kreatif, mencari

penyelesaian masalah yang rumit serta mendorong

inovasi adalah stimulasi intelektual (Antonakis et al.,

2003). Pertimbangan individu adalah cara dimana

pemimpin memberikan saran, mendukung, dan

berfokus pada kebutuhan pengikutnya untuk

mendorong perkembangan individu mereka (Antonakis

et al., 2003).

2.2.3. Mengukur Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah

Kepemimpinan transformasional telah menjadi

fokus dari penelitian yang dilakukan di berbagai benua

dan hampir di setiap negara industrialisasi di dunia

(Bass & Riggio, 2006). Dari penelitian yang dilakukan

Bass dan Riggio tersebut menunjukkan bahwa

kepemimpinan transformasional penting bagi kepala

sekolah karena dapat dijadikan ukuran sebagai

pemimpin yang efektif (Bass & Riggio, 2006; Mancuso

et al., 2010)

Dalam melakukan penelitian tentang

kepemimpinan, tidak adanya teori universal yang bisa

mencakup semua tentang kepemimpinan merupakan

sesuatu masalah tersendiri (House & Aditya, 1997).

Oleh sebab itu, dalam meneliti kepemimpinan harus

sesuai dengan teori kepemimpinan yang hendak diteliti.

(45)

22

dijadikan pegangan dalam melakukan penelitian

tentang kepemimpinan yaitu; 1) Leadership Skills

Inventory/ LSI (Karnes & Chauvin, 1985); 2) Least

Preferred Co-worker (LPC); 3) Leader Member Exchange/

LMX-7 (Graen et al, 1982); 4) Multifactor Leadership

Questionnaire/ MLQ (Bass, 1985); 5) LPI Leadership

Practices Inventory (Posner & Kouzes, 1993); 6) Conger

Kanungo scale (Conger Kanungo, 1994).

Penelitian ini akan menggunakan teori

kepemimpinan transformasional dari Bass (1985). Oleh

karena itu untuk mengukur kepemimpinan

transformasional dalam penelitian ini akan

menggunakan empat indikator yang tergabung dalam

MLQ/ Multifactor Leadership Questionnaire yang

digunakan oleh Bass sebagai alat ukur tentang

kepemimpinan transformasional di sekolah melalui

sudut pandang guru. MLQ dapat digunakan sebagai

alat ukur dalam berbagai bidang seperti bisnis

(Purvanova, Bono, & Dzieweczynski, 2006), militer

(Dvir, Eden, Avolio, Bass, & Shamir, 2002), pendidikan

(Barnett & McCormick, 2004) (Leithwood & Jantzi,

2005) dan olahraga (Charbonneau, Barling, and

Kelloway, 2001).

MLQ adalah alat ukur yang populer untuk

mengukur kepemimpinan transformasional (Avolio &

(46)

23 perilaku dari seorang pemimpin dan mengukur

berbagai aspek dari kepemimpinan transformasional

(Avolio, Bass, & Jung, 1999). Empat indikator yang

diukur dalam MLQ dikenal sebagai empat “I” yaitu,

idealized influence, inspirational motivation, intellectual

stimulation dan individual consideration. Keempat

indikator tersebut dianggap mewakili teori karismatik

yang terdapat dalam kepemimpinan transformasional

(Bass, 1985).

Berdasarkan empat komponen yang diajukan

oleh Bass (1985) tersebut, dapat diukur kepemimpinan

transformasional dari seorang kepala sekolah dan akan

digunakan dalam penelitian ini. MLQ/ Multifactor

Leadership Questionnaire, diterima secara luas sebagai

instrumen yang digunakan untuk mengukur

kepemimpinan transformasional (Bass & Riggio, 2006).

Kepemimpinan transformasional kepala sekolah dalam

penelitian ini menggunakan pandangan guru sebagai

responden, sehingga hasil dari pandangan tiap-tiap

guru akan berbeda terhadap kepemimpinan

transformasional kepala sekolah.

Kepemimpinan transformasional yang diterapkan

kepala sekolah dapat berperan sebagai jembatan yang

menghubungkan pelbagai keputusan tanpa adanya

pihak yang merasa dirugikan (Danim dan Suparno,

(47)

24

aneka sumberdaya sekolah mutlak dalam kerangka

kepemimpinan sekolah yang produktif. Kepala sekolah

disebut mampu menerapkan kaidah kepemimpinan

transformasional jika dia mampu mengubah energi

sumber daya baik manusia, instrumen, maupun situasi

untuk mencapai tujuan tujuan sekolah.

2.3

Efikasi Diri Guru

2.3.1. Pengertian Efikasi Diri Guru

Dalam kehidupan manusia, memiliki keyakinan

akan diri sendiri merupakan hal yang penting (Bong &

Skaalvik, 2003). Keyakinan diri yang ada tersebut dapat

dijadikan dorongan untuk memahami secara

menyeluruh dan mendalam atas situasi yang dapat

menerangkan mengapa seseorang ada yang mengalami

kegagalan dan atau yang berhasil. Kemudian, dari

pengalaman yang didapatkan itu, seseorang akan

mampu untuk mengungkapkan keyakinan diri.

Keyakinan diri inilah yang merupakan panduan untuk

tindakan yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan

pengalaman interaksi sepanjang hidup individu (Gagne

& Deci, 2005).

Keyakinan akan seluruh kemampuan ini meliputi

kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri,

kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak

(48)

25 berkembang berangsur-angsur secara terus menerus

seiring meningkatnya kemampuan dan bertambahnya

pengalaman-pengalaman yang berkaitan (Bandura,

1981).

Efikasi diri atau self-efficacy adalah sebuah

konsep yang dirumuskan oleh Albert Bandura (1977)

sebagai bagian dari teori sosial kognitif miliknya.

Menurut Bandura (1977), dalam pandangan teori

sosial kognitif, manusia tidak hanya didorong oleh

kekuatan dari dalam dirinya sendiri, atau dibentuk dan

dikendalikan oleh rangsangan eksternal. Fungsi

manusia dijelaskan dalam hubungan timbal balik

antara perilaku dan faktor kognitif (personal) dan

lingkungan.

Konstruksi efikasi diri terkadang dicampur

adukkan dengan gagasan umum tentang kepercayaan

diri (self-confidence). Kepercayaan diri merujuk kepada

kekuatan kepercayaan yang ada dalam diri seseorang,

sedangkan efikasi diri didasarkan dari tingkatan

khusus dari pencapaian dan kekuatan kepercayaan

seseorang bahwa tingkat pencapaian tersebut dapat

dicapai (Pajares, 1996). Efikasi diri diyakini menjadi

kunci untuk pekerjaan yang sukses. Selain itu, efikasi

diri juga dapat mempengaruhi pola berpikir dan

(49)

26

Bandura (1977) mendefinisikan efikasi diri

sebagai “personal judgments of one’s capabilities to

organize and execute courses of action to attain

designated goals, and he sought to assess its level,

generality, and strength across activities and contexts.”

Efikasi diri adalah pertimbangan subjektif

individu terhadap kemampuannya untuk menyusun

tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan

tugas-tugas khusus yang dihadapi. Efikasi diri tidak

berkaitan langsung dengan kecakapan yang dimiliki

individu, melainkan pada penilaian diri tentang apa

yang dapat dilakukan, tanpa terkait dengan kecakapan

yang dimiliki. Efikasi diri lebih berkaitan dengan situasi

yang dihadapi oleh individu dan tempat sebagai bagian

dari proses belajar kognitif. Oleh karena itu, Baron dan

Greenberg (1990) juga menegaskan bahwa efikasi diri

adalah kemampuan individu untuk melakukan

tugas-tugas tertentu.

Ormrod (2006) lebih jauh menyatakan bahwa

efikasi diri adalah kemampuan seseorang untuk

bertindak menggunakan cara yang sesuai dan efektif

untuk mencapai tujuan tertentu. Efikasi diri ada dalam

banyak aspek kehidupan manusia, termasuk perilaku

profesional dan pribadi (Bandura dalam Gavora, 2010).

Dalam konteks pendidikan, Bandura

(50)

27 akan kemampuan personal dari seorang guru dalam

merancang instruksi dan menyelesaikan tujuan

instruksional. Berdasarkan teori Bandura tentang

efikasi diri, ada dua komponen yang membentuk efikasi

diri (Skaalvik & Skaalvik, 2007), ekspektasi efikasi

(efficacy expectation) dan ekspektasi hasil (outcome

expectancy). Ekspektasi efikasi adalah keyakinan

bahwa sesorang memiliki kemampuan, pengetahuan,

dan skill untuk melaksanakan perilaku atau tindakan

secara sukses sehingga dengan demikian dapat

memperoleh hasil yang diinginkan.

Sementara itu ekspektasi hasil adalah keyakinan

bahwa perilaku dan tindakan yang dilakukan akan

mengarah kepada hasil yang diharapkan. Dengan

begitu, untuk menjadi guru yang sukses dalam

pembelajaran haruslah memiliki kedua ekspektansi

tersebut. Jika hanya memiliki salah satunya saja, maka

guru tersebut akan kurang sukses dalam mengajar

murid secara efektif dan efisien (Gavora, 2010).

Menurut Bandura (1989) efikasi diri berakibat

pada suatu tindakan manusia melalui beberapa jenis

proses, antara lain yaitu proses motivasional, kognitif,

afektif dan seleksi.

a. Proses motivasional

Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan

(51)

28

tantangan dengan menunjukkan usaha dan

keberadaan diri yang positif (Bandura, 1989).

b. Proses kognitif

Efikasi diri yang dimiliki individu akan berpengaruh

pada pola pikir yang bersifat membantu atau

menghambat. Bentuk-bentuk pengaruhnya yaitu:

- Jika efikasi diri semakin tinggi maka semakin

tinggi pula penetapan suatu tujuan dan akan

semakin kuat pula komitmen terhadap tujuan

yang ingin dicapai

- Ketika menghadapi situasi yang rumit, individu

memiliki keyakinan diri yang kuat dalam

memecahkan masalah yang dihadapi dan mampu

mempertahankan efisiensi berpikir analitis.

Sebaliknya, jika individu bersifat ragu-ragu

dalam memecahkan masalah yang dihadapinya

maka biasanya tidak efisien dalam berpikir

analitis.

- Efikasi diri berpengaruh terhadap antisipasi

tipe-tipe gambaran konstruktif dan gambaran yang

diulang kembali. Individu yang memiliki efikasi

diri tinggi akan memiliki gambaran keberhasilan

yang diwujudkan dalam penampilan dan perilaku

yang positif dan efektif. Sebaliknya individu yang

merasa tidak mampu cenderung merasa

(52)

29

- Efikasi diri berpengaruh terhadap fungsi kognitif

melalui pengaruh yang sama dengan proses

motivasional dan pengelolaan informasi. Semakin

kuat keyakinan individu akan kapasitas memori,

maka semakin kuat pula usaha yang dikerahkan

untuk memproses memori secara kognitif dan

meningkatkan kemampuan memori individu

tersebut.

c. Proses afektif

Efikasi diri berpengaruh terhadap seberapa

banyak tekanan yang dialami oleh individu dalam

situasi-situasi yang mengancam. Individu yang

percaya bahwa dirinya dapat mengatasi

situasi-situasi yang mengancam yang dirasakannya,

tidak akan merasa cemas dan terganggu dengan

ancaman tersebut (Bandura, 1989).

d. Proses seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas

dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek

dari suatu kejadian. Individu cenderung

menghindari aktivitas dan situasi yang diluar

batas kemampuan mereka. Bila individu merasa

yakin bahwa mereka mampu menangani suatu

situasi, maka mereka cenderung tidak

(53)

30

pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat

meningkatkan kemampuan, minat, dan

hubungan sosial mereka (Bandura, 1989)

2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri Guru

Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang

terhadap dirinya akan mampu melaksanakan tingkah

laku yang diperlukan dalam suatu tugas yang

dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi efikasi diri yang diperspektifkan

oleh individu merupakan salah satu faktor penentu

keberhasilan dalam performasi yang akan datang dan

kemudian dapat pula menjadi faktor yang ditentukan

oleh pola keberhasilan atau kegagalan performasi yang

pernah dialami. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

efikasi diri menurut Bandura (1986) antara lain:

a) Sifat tugas yang dihadapi individu. Sifat tugas dalam

hal ini meliputi tingkat kesulitan dan kompleksitas

dari tugas yang dihadapi. Semakin sedikit jenis

tugas yang dapat dikerjakan dan tingkat kesulitan

tugas yang relatif mudah, maka makin besar

kecenderungan individu untuk menilai rendah

kemampuannya sehingga akan menurunkan efikasi

dirinya. Namun apabila seseorang mampu

menyelesaikan berbagai macam tugas dengan

(54)

31 akan menilai dirinya mempunyai kemampuan

sehingga akan meningkatkan efikasi dirinya.

b) Insentif eksternal. Insentif berupa hadiah (reward)

yang diberikan oleh orang lain untuk merefleksikan

keberhasilan seseorang dalam menguasai atau

melaksanakan suatu tugas (competence contigence

incentive). Misalnya pemberian pujian, materi, dan

lainnya. Semakin besar insentif atau reward yang

diperoleh seseorang dalam penyelesaian tugas, maka

semakin tinggi derajat efikasi dirinya.

c) Status atau peran individu dalam lingkungannya.

Seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi

dalam lingkungan atau kelompoknya akan

mempunyai derajat kontrol yang lebih besar pula

sehingga memiliki efikasi diri yang lebih tinggi.

d) Informasi tentang kemampuan diri. Efikasi diri

seseorang akan meningkat atau menurun jika ia

mendapat informasi yang positif atau negatif tentang

dirinya. Informasi yang disampaikan oleh orang lain

secara langsung bahwa seseorang mempunyai

kemampuan tinggi, dapat menambah keyakinan diri

seseorang sehingga seseorang akan mengerjakan

suatu tugas dengan sebaik mungkin. namun apabila

seseorang mendapat informasi tentang

(55)

32

efikasi diri sehingga kinerja yang ditampilkan

rendah.

Dalam hubungannya dengan faktor yang

mempengaruhi efikasi diri, berdasarkan dari teori

Bandura (1997), ada empat sumber yang dapat

dijadikan acuan bagi para guru untuk mengembangkan

efikasi diri yang tinggi, yaitu: pengalaman keberhasilan

(mastery experiences), pengalaman orang lain (vicarious

experiences), persuasi sosial (social persuasion), kondisi

fisiologis dan emosi (physiological and emotional state).

a. Pengalaman keberhasilan (mastery experiences)

merupakan sumber yang paling efektif untuk

menciptakan keyakinan kuat pada efikasi diri. Hal

ini dinyatakan oleh Bandura (1997) bahwa

pengalaman keberhasilan adalah sumber yang

paling berpengaruh karena memberikan bukti

otentik bahwa seseorang dapat memberikan apa saja

yang dimilikinya untuk menjadi sukses.

b. Pengalaman orang lain (vicarious experiences) adalah

dimana keterampilan yang dipelajari seseorang dari

hasil observasi tentang kesuksesan orang lain.

Meneliti dan meniru tindakan dari guru yang sukses

dapat meningkatkan harapan bahwa guru dapat

belajar dari kesuksesan koleganya yang kemudian

(56)

33 Singkatnya, guru dapat belajar bagaimana untuk

menjadi efektif dari perilaku orang lain yang efektif.

c. Persuasi sosial (social persuasion) dari rekan kerja

atau atasan bahwa guru dapat mengajar secara

sukses dapat meningkatkan efikasi diri guru.

Contohnya pelatihan dan memberikan feedback

yang positif umumnya dapat mempengaruhi efikasi

diri secara positif. Dukungan emosional membangun

kepercayaan guru dalam menambah efikasi diri.

Potensi persuasi tergantung pada kredibilitas,

kepercayaan, dan keahlian dari orang yang

memberikan penguatan (Bandura, 1986).

d. Kondisi fisiologis dan emosi (physiological and

emotional state) dari seorang guru dapat

mempengaruhi penilaian efikasi diri. Sebagai contoh,

jika guru mengartikan reaksi stress dan tekanan

sebagai gejala yang memudahkan penurunan

pekerjaan, maka guru tersebut memiliki efikasi diri

yang rendah. Suasana hati juga berpengaruh

terhadap efikasi diri. Jika suasana hati yang positif

dapat mempertinggi keyakinan diri, maka sebaliknya

suasana hati yang sedih dapat mengurangi

keyakinan efikasi diri.

2.3.3. Mengukur Efikasi Diri Guru

Dalam melakukan penelitian tentang efikasi diri

Gambar

Tabel 3.1 Item-Total Statistics
Item-Total StatisticsTabel 3.2
Item-Total StatisticsTabel 3.3
Tabel 3.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembuktian kualifikasi dilakukan oleh direktur atau yang mewakili (orang yang mewakili diwajibkan membawa surat tugas dan/atau surat kuasa).. Apabila Saudara tidak hadir

PANITIA PENGADAAN BARANG/JASA DINAS PERUMAHAN DAN GEDUNG PEMDA. PROVINSI

Penyediaan Bahan Logistik Kantor pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten.. Banyuwangi Nilai Total HPS sebesar

Dengan demikian, pembelajaran dengan model Talking Stick murni berorientasi pada aktivitas individu siswa yang dilakukan dalam bentuk permainan, maka peneliti tertarik

Berdasarkan hasil penelitian ini, delignifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor dari karakter lignin seperti kadar lignin Klason, lignin terlarut asam, nisbah

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui pengungkapan alibi oleh terdakwa sebagai bentuk penyangkalan terhadap pembuktian penuntut umum apakah sudah sesuai

Fasilitas pembelajaran seperti kebutuhan modul analisis dan peralatan, ketersediaan ruangan serta jumlah guru yang cukup. Khusus untuk kebutuhaan alat dan bahan

Berdasarkan uraian dari pengertian-pengertian obligasi daerah diatas maka dapat disimpulkan bahwa obligasi daerah adalah pinjaman daerah (berupa efek yang diterbitkan