Hubungan Kepemimpinan Transformasional
Kepala Sekolah Dan Efikasi Diri Guru
Dengan Kinerja Guru: Studi Pada 16 SMP
Sub Rayon 04 Semarang
TESIS diajukan kepada
Program Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Pendidikan
Oleh:
YOSAFAT MASAGUNG PERDATA
NIM : 942010055Program Pascasarjana
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
MOTTO
“Tell me and I will forget. Teach me and I will remember. Involve me and I will learn.”
Benjamin Franklin
“Give me a fish and I eat for a day. Teach me to fish and I eat for a lifetime.”
Chinese Proverb
Dipersembahkan untuk:
Hubungan Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Dan Efikasi Diri Guru Terhadap Kinerja Guru: Studi Pada 16 SMP Sub Rayon 04 Semarang
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara pandangan guru tentang kepemimpinan transformasional kepala sekolah, efikasi diri guru dengan kinerja guru di SMP Sub Rayon 04 Semarang. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 195 responden dengan teknik simple random sampling. Data dikumpulkan menggunakan skala Likert dengan item-item yang valid dan reliabel. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rumus korelasi Pearson product moment, yang didahului analisis prasyarat melalui uji normalitas sebaran data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara: (1) kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan kinerja guru dengan koefisien korelasi rx1y = 0,497, p=0,000 < 0,05; (2) efikasi diri
guru dengan kinerja guru dengan koefisien korelasi rx2y = 0,395, p=0,000 <
0,05; (3) kepemimpinan transformasional kepala sekolah dan efikasi diri guru secara bersama-sama dengan kinerja guru Rx1.2y = 0,540, p=0,000 <
Relationship Between Principals Transformational Leadership and Teachers Self-Efficacy Toward Teachers Performance: Study In 16 SMP of Sub Rayon 04 Semarang
ABSTRACT
The present study aims to examine the significance relationship of teachers’ view about principals’ transformational leadership and teachers’ self-efficacy toward teachers’ performance in SMP Sub Rayon 04 Semarang. Data for this survey were collected from 195 teachers using simple random sampling technique. All valid and reliable data were constructed by using Likert scale. Normality tests conducted as a prerequisite to determine if data set is well-modeled by a normal distribution, then Pearson product moment was used for further analys is.Research shows that significance relationships are exist between: (1) principals’ transformational leadership towards teachers’ performance with correlation coefficient rx1y = 0,497,
p=0,000 < 0,05; (2) teachers’ self-efficacy towards teachers’ performance with coefficient correlation rx2y = 0,395, p=0,000 < 0,05; (3) principals’
transformational leadership and teachers’ self-efficacy simultaneously toward teachers’ performance with coefficient Rx1.2y = 0,540, p=0,000 <
KATA PENGANTAR
Segala puji, hormat dan syukur bagi Allah Bapa melalui Tuhan Yesus yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menjalani perkuliahan sampai dengan penyelesaian penulisan tesis yang berjudul Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Efikasi Diri Guru Terhadap Kinerja Mengajar Guru di SMP Sub Rayon 04 Semarang ini. Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan ucapan terimakasih bagi para pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian tesis ini:
1. Kepala program studi Magister Manajemen Pendidikan, Dr. Bambang Ismanto, M.Si.
2. Prof. J.T. Lobby Loekmono, Ph.D. dan Prof. Daniel D. Kameo, M.A., Ph.D. yang telah memberikan bimbingan, panduan, bantuan dan pencerahan selama penulisan tesis ini;
3. Prof. Dr. Ir. Eko Sediyono, M. Kom. selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan, koreksi, dan saran akan kekurangan dari tesis ini;
5. Para guru dan kepala sekolah SMP Sub Rayon 04 Kota Semarang yang telah bekerjasama dengan penulis dalam melakukan penelitian ini;
6. T.A. Katman dan Th. Sri Astuti atas semua yang telah diberikan untuk penulis baik secara mental, spiritual dan material selama proses studi hingga penyelesaian penyusunan tesis dan ke depannya;
7. Ibu D. Indriyati, Lani Prabawati, Yohana Elsa, dan Yudith Selly atas semua doa, dukungan dan bantuan tanpa pamrih yang diberikan;
8. Seluruh dosen dan staf administrasi PPs. MMP UKSW yang telah banyak membekali ilmu dan pengalaman baik selama proses studi hingga penyelesaian penulisan tesis;
9. Semua teman-teman dan banyak pihak yang ada di Salatiga dan tempat lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan;
Penulis menyadari akan kekurangan dari penelitian ini, oleh karena itu kritik dan saran serta masukan sangat bermanfaat bagi kelengkapan tesis ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang telah terdapat dalam tesis ini dapat berguna khususnya bagi para guru dan kepala sekolah dalam pengembangan pendidikan dan manajemen pendidikan secara umum.
Salatiga, Desember 2014
DAFTAR ISI
Halaman
MOTTO ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
1.5 Sistematika Penulisan ... . 11
BAB II: LANDASAN TEORI 12 2.1 Pengertian Pendapat ... 12
2.2 Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah ... 14
2.2.1 Pengertian Kepemimpinan Transformasional ... 14
2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Transformasional ... 27
2.2.3 Mengukur Kepemimpinan Transformasional ... 32
2.3 Efikasi Diri Guru ... 35
2.3.1 Pengertian Efikasi Diri Guru ... 35
2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Efikasi Diri Guru ... 41
2.3.3 Mengukur Efikasi Diri Guru ... 45
2.4 Kinerja Guru ... 44
2.4.1 Pengertian Kinerja Guru ... 46
2.4.2 Mengukur Kinerja Guru ... 49
2.5 Hubungan Antar Variabel Penelitian ... 50
2.6 Hipotesis Penelitian ... 51
2.6.1 Hipotesis Empirik ... 51
BAB III: METODE PENELITIAN 54
3.1 Jenis Penelitian ... 54
3.2 Populasi dan Sampel ... 54
3.3 Data dan Sumber Data ... 56
3.4 Variabel dan Instrumen Penelitian... 56
3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 64
3.6 Teknik Analisis Data ... 70
BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 72 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ... 72
4.2 Uji Normalitas ... 74
4.3 Analisis Deskriptif ... 75
4.4 Analisis Korelasi ... 78
4.5 Uji Hipotesis ... 82
4.6 Pembahasan Hasil Penelitian ... 84
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN 91 5.1 Kesimpulan ... 91
5.2 Saran ... 91
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1: Hasil Uji Validitas Item
Kepemimpinan Transformasional
Kepala Sekolah ... 65
Tabel 3.2: Hasil Uji Validitas Item Efikasi Diri Guru ... 66
Tabel 3.3: Hasil Uji Validitas Item Kinerja Guru ... 67
Tabel 3.4: Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach .... 68
Tabel 3.5: Hasil Uji Reliabilitas Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah ... 69
Tabel 3.6: Hasil Uji Reliabilitas Efikasi Diri Guru ... 69
Tabel 3.7: Hasil Uji Reliabilitas Kinerja Guru ... 70
Tabel 4.1: Deskripsi Responden ... 71
Tabel 4.2: Masa Kerja Guru ... 72
Tabel 4.3: Hasil Uji Normalitas Data... 73
Tabel 4.4: Distribusi Frekuensi Kinerja Guru ... 75
Tabel 4.5: Distribusi Frekuensi Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah ... 77
Tabel 4.6: Distribusi Frekuensi Efikasi Diri Guru ... 77
Tabel 4.7: Hasil Korelasi antara Kepemimpinan Transformasional dengan Kinerja Guru ... 78
Tabel 4.8: Hasil Korelasi antara Efikasi Diri Guru dengan Kinerja Guru ... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Kinerja guru dalam pendidikan merupakan faktor
penting yang dapat menentukan baik buruknya
pendidikan dan kesuksesan mencapai tujuan
pendidikan. Peran guru sangat erat hubungannya
dalam keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan dan
proses belajar mengajar. Pendidikan merupakan faktor
penting dalam proses pembentukan karakter manusia
dan menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Danim (2006) mengatakan bahwa
pendidikan merupakan proses pemanusiaan menuju
insan yang bernilai secara kemanusiaan.
Pernyataan tersebut dengan kata lain
menunjukkan bahwa tujuan yang utama dari
pendidikan adalah proses “memanusiakan” manusia
untuk menjadi manusia. Oleh karena itu, guru sebagai
tenaga pendidik di sekolah memiliki kewajiban dalam
proses pelaksanaan pendidikan sehingga menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas, berdedikasi
tinggi, kreatif dan inovatif, sehingga berjalan dengan
baik sesuai dengan sistem dan norma yang berlaku
2
Kinerja guru dalam penyelenggaraan pendidikan
sangat penting dapat menentukan kualitas sumber
daya manusia. Dalam melaksanakan kewajibannya,
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja guru
di sekolah dan memiliki keterkaitan, misalnya faktor
kepemimpinan kepala sekolah dan efikasi diri guru.
Menurut Andrew dan Morefield dalam Zainal
(2008) kepala sekolah sebagai seorang pemimpin
hendaknya dapat menciptakan suasana kerja yang
kondusif di lingkungan kerjanya (sekolah) sehingga
tercipta atmosfer yang baik pula dalam lingkungan
kerja tersebut. Demi terciptanya suasana kerja, seorang
kepala sekolah harus sering berinteraksi dengan staf
yang ada di sekolah tersebut khususnya para guru.
Diharapkan, dengan terciptanya suasana dan atmosfer
kerja yang kondusif, para guru dapat memiliki kinerja
yang baik demi pencapaian tujuan pendidikan.
Lazaridou (2009) juga menambahkan bahwa
pemimpin yang berkualitas adalah seseorang yang
inovatif, mampu mebuat keputusan dengan tepat,
mampu berkomunikasi dengan para staf dengan baik,
serta membuat perkembangan dengan kegiatan yang
bersifat profesional. Kantrowitz dan Matthews (2007)
berpendapat bahwa kepala sekolah pada zaman seperti
ini tidak hanya menjadi pemimpin dan manajer dalam
3 dalam menjalankan sekolah. Untuk meningkatkan
kualitas pendidikan yang ada di sekolahnya, seorang
kepala sekolah harus mampu untuk meningkatkan
kinerja para pendidik dan tenaga pendidik.
Cara yang dipakai kepala sekolah dalam
mempengaruhi elemen yang ada di kepala sekolah
adalah gaya kepemimpinan. Yukl (2010) mengatakan
bahwa gaya kepemimpinan merupakan usaha atau
cara seorang pemimpin untuk mencapai tujuan
organisasi dengan memperhatikan unsur-unsur
falsafah, keterampilan, sifat, dan sikap karyawan.
Sehingga gaya kepemimpinan yang paling efektif adalah
gaya kepemimpinan yang dapat mendorong atau
memotivasi bawahannya, menumbuhkan sikap positif
bawahan pada pekerjaan dan organisasi, dan mudah
menyesuaikan dengan segala situasi. Gaya
kepemimpinan seperti ini pada dasarnya merupakan
gaya kepemimpinan transformasional yang
menekankan pada pentingnya seorang pemimpin dalam
menciptakan visi dan lingkungan yang dapat
memotivasi para bawahan untuk berprestasi melebihi
dari harapannya.
James McGregor Burns adalah orang pertama
kali yang mengembangkan gaya kepemimpinan
transformasional untuk diterapkan dalam dunia politik.
4
transformational leadership as a process where leader
and followers engange in a mutual process of raising one
another to higher levels of morality and motivation.
Kepemimpinan transformasional sebagai proses
dimana pemimpin dan pengikutnya bersama sama
saling meningkatkan dan mengembangkan moralitas
dan motivasinya. Kepemimpinan transformasional pada
hakekatnya menekankan peran pemimpin yang
memotivasi para bawahannya untuk melakukan
tanggung-jawab mereka lebih dari yang mereka
harapkan (Nurdin, 2013). Dengan demikian gaya
kepemimpinan transformasional kepala sekolah
dideskripsikan sebagai gaya kepemimpinan yang
membangkitkan atau memberdayakan seluruh elemen
yang ada di sekolah sehingga berkembang dan
mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi, melebihi
dari apa yang mereka perkirakan sebelumnya (Bass
dalam Yukl, 2010).
Gaya kepemimpinan transformasional kepala
sekolah memiliki hubungan dengan kinerja guru,
seperti dari hasil penelitian Loekmono dan Harijanti
(2013) terhadap 172 orang guru SD di Kecamatan
Bandungan. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa
kepemimpinan transformasional kepala sekolah
5 guru dengan nilai sebesar rxy= 0,339 dan p=0,000 <
0,05.
Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh
Saripudin (2009) terhadap 77 orang guru Madrasah
Aliyah se-Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa
gaya kepemimpinan transformasional tidak
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
dengan kinerja guru. Penelitian ini memperoleh nilai r=
-0,771 dan p= 0,293 > 0,05 yang berarti bahwa
kepemimpinan transformasional tidak memiliki
pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kinerja
guru. Adanya perbedaan hasil penelitian Loekmono dan
Harijanti (2013) dengan Saripudin (2009) yang
kontradiktif ini hendak dilakukan penelitian ulang
untuk memastikan ada tidaknya hubungan yang
signifikan antara kepemimpinan transformasional
kepala sekolah dengan kinerja guru.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, para guru
juga harus memiliki keyakinan akan kemampuan
dalam diri mereka bahwa tugas dan kewajiban yang
mereka emban dapat dilaksanakan dengan sukses, dan
keyakinan akan kemampuan mereka ini disebut efikasi
diri. Efikasi diri telah menjadi satu konsep penting di
antara para peneliti pendidikan sejak Albert Bandura
memperkenalkannya pada tahun 1970-an lewat social
6
social cognitive theory pada awal dekade 1980-an.
Efikasi diri guru dapat mempengaruhi guru dalam
pembuatan keputusan mengenai pengelolaan kelas,
pengorganisasian rangkaian pembelajaran, mengajar,
memotivasi siswa, meningkatkan kedisplinan siswa dan
meminta keterlibatan orang tua mereka dalam
mencapai tujuan pendidikan serta membuat iklim
sekolah yang positif (Bandura, 1986). Lebih jauh lagi,
efikasi diri guru adalah satu fenomena khusus yang
dapat dipandang sebagai salah satu kontributor
terhadap proses belajar dan mengajar yang efektif
sehingga secara langsung juga memiliki pengaruh
terhadap kinerja guru.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pajares (1996) membuktikan bahwa “self-efficacy is closely related to the academic performances.” Penelitian ini
membuktikan bahwa efikasi diri yang dimiliki guru erat
kaitannya dengan kinerja akademik yang ada di
sekolah. Para peneliti lain juga membuktikan pengaruh
efikasi diri guru terhadap elemen-elemen pengajaran.
Misalnya, Gibson dan Dembo (1984) membuktikan
bahwa efikasi diri guru merupakan satu kontributor
signifikan terhadap perbedaan individu dalam
efektivitas pengajaran. Dalam manajemen kelas,
Henson et al (2001) menegaskan bahwa “teacher self
7 a teacher in selecting classroom management
approaches.” Pernyataan dari Henson ini berarti bahwa efikasi diri guru adalah variabel penting dalam sekolah
yang mempengaruhi guru dalam melakukan
pendekatan pemilihan manajemen kelas.
Semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki oleh
guru, maka akan berpengaruh pada efektivitas kinerja
mereka (Moran & Hoy, 2001). Guru yang memiliki
efikasi diri yang tinggi dikatakan dapat mempengaruhi
perilaku mengajar mereka sehingga dapat berpengaruh
juga terhadap motivasi dan pencapaian para siswa
(Skaalvik & Skaalvik, 2010). Sebaliknya, guru yang
memiliki efikasi diri yang rendah dapat mengalami
kesulitan dalam mengajar, sehingga bisa menimbulkan
stress dalam pekerjaan dan berpengaruh pada
kepuasan kerja mereka (Klassen et al, 2009). Dari
alasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri
yang ada pada guru memiliki pengaruh pada kinerja
mereka.
Adanya hubungan antara efikasi diri guru dengan
kinerja guru dapat ditemukan pada penelitian yang
dilakukan oleh Arsyad (2012) terhadap 103 orang guru
SMK se-kota Banjarmasin menunjukkan bahwa efikasi
diri memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja
guru dengan nilai sebesar rxy=0,372 p=0,000 < 0,01.
8
dilakukan oleh Moalosi (2013) terhadap 1000 orang
guru bahwa ditemukan tidak adanya hubungan yang
signifikan antara efikasi diri guru dengan kinerja guru.
Berdasarkan hasil pra penelitian yang diadakan
di SMP Sub Rayon 04 Semarang, terdapat perbedaan
tingkat kepemimpinan transformasional kepala sekolah
dan efikasi diri yang dimiliki oleh para guru.
Berdasarkan perbedaan yang ada tersebut, belum
dapat disimpulkan apakah praktek kepemimpinan
kepala sekolah dan efikasi diri yang ada pada guru
dapat berpengaruh pada kinerja mengajar guru. Atas
perbedaan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan yang ada antara
pandangan guru tentang gaya kepemimpinan
transformasional kepala sekolah dan efikasi diri guru
dengan kinerja mengajar guru.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang ada
sebelumnya, rumusan masalah yang hendak diangkat
adalah sebagai berikut:
1. Adakah hubungan signifikan antara
pandangan guru tentang gaya kepemimpinan
transformasional kepala sekolah terhadap
9 2. Adakah hubungan signifikan antara efikasi
diri guru terhadap kinerja guru di SMP Sub
Rayon 04 Semarang?
3. Adakah hubungan yang signifikan antara
pandangan guru tentang gaya kepemimpinan
transformasional kepala sekolah dan efikasi
diri guru secara bersama-sama terhadap
kinerja guru di SMP Sub Rayon 04 Semarang?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:
1. Untuk mengetahui hubungan antara
pandangan guru tentang gaya kepemimpinan
transformasional kepala sekolah terhadap
kinerja guru di SMP Sub Rayon 04 Semarang.
2. Untuk mengetahui hubungan antara efikasi
guru terhadap kinerja guru di SMP Sub Rayon
04 Semarang.
3. Untuk mengetahui hubungan antara
pandangan guru tentang gaya kepemimpinan
transformasional kepala sekolah dan efikasi
diri guru secara bersama-sama terhadap
10
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritik
Secara teoritik hasil penelitian ini diharapkan
dapat menambah ilmu di bidang manajemen
pendidikan. Apabila dalam pendidikan ini ditemukan
adanya hubungan antara pandangan guru tentang gaya
kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan
kinerja guru SMP Sub Rayon 04 Semarang, maka
sejalan dengan hasil penelitian Loekmono dan Harijanti
(2013). Jika ditemukan hasil sebaliknya, maka sejalan
dengan hasil penelitian Saripudin (2009). Bila hasil
penelitian ini menemukan adanya hubungan signifikan
antara efikasi diri dengan guru, maka sejalan dengan
hasil penelitian Arsyad (2012). Namun apabila tidak
ditemukan hubungan yang signifikan antara efikasi diri
guru dengan kinerja guru maka sejalan dengan
penelitian Moalosi (2013).
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini
adalah untuk mendapatkan hasil ilmiah tentang
hubungan pandangan guru tentang gaya
kepemimpinan transformasional kepala sekolah dan
efikasi diri guru terhadap kinerja guru. Selain itu, hasil
penelitian ini dapat digunakan oleh para kepala sekolah
11 hubungannya dengan kinerja guru. Bagi para guru,
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan
tentang efikasi diri dalam hubungannya dengan kinerja
mereka.
1.5
Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari lima bab dengan rincian
sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan;
Bab 2 Landasan Teori meliputi kepemimpinan
transformasional kepala sekolah, efikasi
diri guru, kinerja guru, hubungan antar
variabel, dan hipotesis penelitian;
Bab 3 Metode Penelitian meliputi jenis penelitian,
populasi dan lokasi penelitian, instrument
pengumpulan data, dan teknik analisis
data;
Bab 4 Analisis Data dan Pembahasan meliputi
deskripsi subjek penelitian, uji normalitas,
hasil pengukuran variabel, analisis
korelasi, dan pembahasan;
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Pandangan
Dalam proses mengamati objek, pengalaman dan
perasaan dari setiap individu akan mempengaruhi
dalam memberikan pandangan atau perspektif.
Dikarenakan setiap individu adalah karakter yang unik
dan berbeda-beda, makan perbedaan latar belakang
dan wawasan dari setiap individu dapat menimbulkan
perbedaan pandangan tentang sesuatu. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), pandangan
atau perspektif dapat didefinisikan sebagai hasil dari
perbuatan memandang.
Hasil dari perbuatan memandang ini
mengandung tiga komponen yang kemudian dapat
membentuk sikap (Walgito, 1994), yaitu:
a. Komponen kognitif, yaitu komponen yang
berhubungan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan.
b. Komponen efektif, merupakan komponen yang
berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang
2
c. Komponen konatif, adalah komponen yang berkaitan
dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku
dari individu terhadap suatu objek.
Kohler (1925) berpendapat bahwa dalam sebuah
pandangan individu, mental dari individu tersebut
memiliki peran yang penting dalam proses
mengeluarkan pandangan. Kondisi mental yang dimiliki
oleh individu ini berasal latar belakang kehidupan dan
pengetahuan, sehingga pandangan atau perspektif dari
masing-masing individu berbeda.
Dalam proses mengeluarkan pandangan atau
perspektif terhadap suatu objek psikologis, seorang
individu juga dipengaruhi oleh kepribadiannya. Contoh
dari objek psikologis ini dapat berupa kejadian, ide,
atau situasi tertentu dimana individu dapat
memandang. Faktor pengalaman, proses belajar atau
sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap
apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuan individu
memberikan arti terhadap objek psikologis tersebut.
Melalui komponen kognitif ini akan menimbulkan ide,
dan kemudian akan timbul suatu konsep tentang apa
yang dilihat yaitu pandangan atau perspektif (Rifai,
2009).
Dalam penelitian ini, pandangan guru dari SMP
Sub Rayon 04 Semarang akan digunakan untuk
3 kepala sekolah dari tiap-tiap sekolah yang dijadikan
objek penelitian. Para guru memberikan pandangan
mereka sesuai dengan latar belakang, pengetahuan dan
wawasan yang mereka miliki, sehingga hasil dari
pandangan masing-masing guru akan berbeda.
2.2
Kepemimpinan Transformasional
2.2.1. Pengertian Kepemimpinan Transformasional Penggunaan pendekatan atau perspektif yang
beragam atas kepemimpinan, selain melahirkan definisi
kepemimpinan yang beragam juga melahirkan teori
kepemimpinan yang beragam pula. Setiap pendekatan
yang digunakan melahirkan berbagai macam teori
kepemimpinan. Luthans (2006) mendefinisikan
kepemimpinan sebagai sekelompok proses,
kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi,
wewenang, pencapaian tujuan, interaksi, perbedaan
peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau
lebih dari hal-hal tersebut.
Khuntia dan Suar (2004) menyatakan bahwa
semua teori mengenai kepemimpinan menekankan
pada tiga gagasan yang dibangun baik secara
bersama-sama maupun terpisah yaitu: (1) rasionalitas, perilaku,
dan kepribadian pemimpin; (2) rasionalitas, perilaku,
4
berhubungan dengan pelaksanaan tugas, iklim
organisasi, dan budaya.
Menurut Rivai dan Mulyadi (2012),
kepemimpinan pada dasarnya: melibatkan orang lain,
melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata
antara pemimpin dan anggota kelompok,
menggerakkan kemampuan dengan menggunakan
berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi
tingkah laku bawahan, dan menyangkut nilai. Empat
sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap
keberhasilan kepemimpinan organisasi yaitu: 1)
kecerdasan; 2) kedewasaan; 3) motivasi diri dan
dorongan berprestasi; 4) sikap dan hubungan
kemanusiaan.
Fullan (2001) berpendapat bahwa semakin rumit
sebuah perkumpulan atau organisasi, akan semakin
dibutuhkan pemimpin yang mumpuni dalam
mengarahkan organisasi karena pemimpin memegang
peranan penting dalam suatu organisasi. Peran seorang
pemimpin dalam suatu organisasi adalah sebagai
penunjuk arah dan tujuan di masa depan (direct setter),
agen perubahan (change agent), negosiator
(spokeperson), dan sebagai pembina (coach). Sekolah,
sebagai suatu lembaga pendidikan dan organisasi
membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menjamin
5 berkembang menghadapi tantangan global. Oleh karena
itu, pemimpin dalam dunia pendidikan memerlukan
kemampuan seperti komunikator yang handal, mampu
bekerja dalam tim, mampu memecahkan masalah yang
ada, pembawa perubahan dan menjadi pemimpin
transformasional (Balyer, 2012).
Studi tentang kepemimpinan dapat dilakukan
melalui berbagai cara, tergantung dari metodologi yang
dipilih oleh peneliti dan definisi kepemimpinan
(Stewart, 2006). Robbins (1996) membagi teori
mengenai kepemimpinan ke dalam empat kategori,
yaitu
a. Teori Ciri Kepemimpinan (The Leadership
Characteristic theory)
Teori Ciri Kepemimpinan adalah teori yang
mencari ciri kepribadian sosial, fisik, atau intelektual
yang memperbedakan pemimpin dari bukan pemimpin.
Dalam teori ini diidentifikasikan ciri-ciri yang dikaitkan
secara konsisten dengan kepemimpinan yaitu enam ciri
yang cenderung membedakan pemimpin dari bukan
pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk
memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan),
percaya diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang
relevan dengan pekerjaan.
b. Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral
6
Teori Perilaku Kepemimpinan adalah teori-teori
yang mengemukakan bahwa perilaku spesifik
membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Adapun
teori-teori yang termasuk ke dalam Teori Perilaku
Kepemimpinan adalah: a) Studi-studi Kepemimpinan
Ohio State, b) Telaah Universitas Michigan, dan c)
Kisi-kisi Manajerial Blake & Mouton dan Studi Skandinavia.
c. Teori Kontingensi (Contingency Theory)
Teori Kontingensi merupakan pendekatan
kepemimpinan yang mendorong pemimpin memahami
perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa
keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari
berbagai aspek situasi kepemimpinan (Ivancevich,
Konopaske, Matteson, 2007). Adapun lima teori yang
termasuk ke dalam teori kontingensi adalah: a) Model
kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model), b) Teori
Situasional Hersey dan Blanchard, c) Teori Pertukaran
Pemimpin-Anggota, d) Teori Jalur-Tujuan Robert House
(House’s Path Goal Theory), dan d) Teori Model
Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton.
d. Teori Neo-Karismatik (Neocharismatic Theories) Merupakan teori kepemimpinan yang
menekankan simbolisme, daya tarik emosional, dan
komitmen pengikut yang luar biasa. Teori-teori yang
termasuk ke dalam teori ini adalah: a) Teori
7 Teori Kepemimpinan Transformasional
(Transformasional Leadership Theory), c) Teori
Kepemimpinan Transaksional (Transactional Leadership
Theory) dan d) Teori Kepemimpinan Visioner (Visionary
Leadership)
Berdasarkan teori Robbins yang ada tentang
kepemimpinan, dapat dilihat bahwa kepemimpinan
transformasional termasuk ke dalam teori
neo-karismatik. Kepemimpinan yang termasuk dalam teori
karismatik ini lebih berpusat pada kharisma yang ada
di dalam diri seorang pemimpin untuk membawa
perubahan dalam organisasi yang dipimpinnya
(Robbins, 1996). Kebanyakan teori terbaru dari
kepemimpinan ini amat terpengaruh oleh James
McGregor Burns (1978) yang membedakan antara
kepemimpinan yang melakukan transformasi dengan
kepemimpinan transaksional (Yukl, 2010). Salah satu
bentuk kepemimpinan yang diyakini dapat
mengimbangi pola pikir dan refleksi paradigma baru
dalam arus globalisasi dirumuskan sebagai
kepemimpinan transformasional (Balyer, 2012).
Northouse (2001) mendefinisikan secara singkat
tentang kepemimpinan transformasional sebagai “the
ability to get people to want to change, improve, and be
led. It involves assessing associates' motives, satisfying
8
kepemimpinan transformasional melibatkan peran
emosional dari seorang pemimpin ke pengikutnya
dalam perubahan yang lebih baik. Awalnya,
kepemimpinan transformasional pertama kali digagas
oleh J. V. Downtown pada tahun 1973, akan tetapi teori
kepemimpinan tranformasional mencuat ke permukaan
publik melalui James McGregor Burns pada tahun
1978 lewat bukunya yang berjudul Leadership yang
kemudian membawa teori tersebut ke dalam ranah
organisasi (Northouse, 2001).
Dalam bukunya tersebut, Burns menyatakan
kepemimpinan transformasional sebagai “leaders and
followers help each other to advance to a higher level of
morale and motivation.” Pernyataan ini mengandung arti bahwa pemimpin dan pengikut bersama-sama
saling menolong untuk mencapai tingkatan moral dan
motivasi yang lebih tinggi guna mencapai tujuan
bersama.
Burns (dalam Poulson dkk 2001) mengutarakan
bahwa pada dasarnya kepemimpinan atau leadership
dalam suatu organisasi secara alamiah dapat
dikategorikan kedalam dua bagian, yaitu
transformasional dan transaksional. Perbedaan
mendasar antara keduanya adalah kepemimpinan
transaksional tradisional mencakup hubungan
9 kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan
pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta
kebutuhan pengikutnya (Burns, 1978).
Burns (1978) mengatakan bahwa “the
transformational leader looks for potential motives in
followers, seeks to satisfy higher needs, and engages the
full person of the follower”. Hal ini berarti bahwa pemimpin transformasional menyerukan nilai nilai
moral ke pengikut dalam upayanya untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang masalah etis
dan untuk memobilisasi energi dan sumber daya
mereka untuk mereformasi institusi (Givens, 2008).
Teori kepemimpinan transformasional dari Burns
ini kemudian memberikan inspirasi dan kerangka kerja
konseptual yang fundamental bagi Bernard M. Bass
(1985). Bass yang mengusung aliran teori
neo-karismatik (teori kepemimpinan yang menekankan
simbolisme, daya tarik emosional, dan komitmen
pengikut yang luar biasa) merekonseptualisasikan dan
mengembangkan teori kepemimpinan transformasional
milik Burns ke dalam konteks penelitian empiris yang
berdasarkan pada kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transformasional menurut Bass
(1985) adalah interaksi antara pemimpin dan pengikut
yang ditandai oleh pengaruh pemimpin untuk
10
merasa mampu dan bermotivasi tinggi dan berupaya
mencapai prestasi kerja yang tinggi dan bermutu. Ia
mengatakan bahwa pemimpin adalah “one who
motivates us to do more than we originally expected to
do”. Pemimpin transformasional, digambarkan sebagai
gaya kepemimpinan yang dapat membangkitkan atau
memotivasi karyawan, sehingga dapat berkembang dan
mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi, melebihi
dari apa yang mereka perkirakan sebelumnya. Motivasi
yang dimaksud dalam pendapat Bass ini dapat dicapai
dengan menaikkan tingkat kewaspadaan tentang
pentingnya akan hasil dan cara untuk meraihnya.
Bass (dalam Bass & Avolio, 2004) mendefinisikan
kepemimpinan transformasional sebagai berikut:
“The process of influencing in which leaders change their associates’ awareness of what is important, and move them to see themselves and the opportunities and challenges of their environment in a new way. Transformational leaders are proactive: they seek to optimize individual, group, and organizational development and innovation, not just achieve performance “at expectations”. They convince associates to strive for higher levels of potential as well as higher levels of moral and ethical standards.”
Kepemimpinan transformasional didefinisikan
sebagai sebuah perilaku yang bersifat proaktif,
meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama
kepada para pengikut, dan membantu para pengikut
mencapai tujuan pada tingkatan yang paling tinggi
11 kepemimpinan transformasional lebih menekankan
pada perubahan yang dilakukan oleh pemimpin
terhadap kepercayaan, nilai, dan perilaku para
pengikut sehingga konsisten dengan visi organisasi
(Khuntia & Suar, 2004). Pemimpin memberikan
pengaruhnya dengan melibatkan pengikutnya untuk
berpartisipasi dalam penentuan tujuan, pemecahan
masalah, pengambilan keputusan, dan memberikan
umpan balik melalui pelatihan, pengarahan,
konsultasi, bimbingan, dan pemantauan atas tugas
yang diberikan. Pemimpinan transformasional adalah
pemimpin yang mendorong para pengikutnya untuk
merubah motif, kepercayaaan, nilai, dan kemampuan
sehingga minat dan tujuan pribadi dari para pengikut
dapat selaras dengan visi dan tujuan organisasi (Bass,
dalam Goodwin et al., 2001).
Bass (dalam Judge dan Picollo, 2004) melihat
bahwa kepemimpinan transformasional tidak hanya
berfokus pada pemimpin, tetapi juga memperhatikan
hubungan yang ada antara pemimpin dan pengikut dan
bersama-sama saling meningkatkan dan
mengembangkan moralitas dan motivasinya.
Bass (1985) mendefinisikan kepemimpinan
transformasional didasarkan pada pengaruh dan
hubungan pemimpin dengan pengikut atau bawahan.
12
menghormati pemimpin, serta memiliki komitmen dan
motivasi yang tinggi untuk berprestasi dan berkinerja
yang lebih tinggi.
Menurut Bass (dalam Robbins & Judge, 2008),
pemimpin transformasional adalah pemimpin yang
menginspirasi para pengikutnya untuk
mengesampingkan kepentingan pribadi mereka demi
kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki
pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya.
Mereka menaruh perhatian terhadap kebutuhan
pengembangan diri para pengikutnya, mengubah
kesadaran para pengikut atas isu-isu yang ada dengan
cara membantu orang lain memandang masalah lama
dengan cara yang baru, serta mampu menyenangkan
hati dan menginspirasi para pengikutnya untuk bekerja
keras guna mencapai tujuan-tujuan bersama (Bass
dalam Rafferty & Griffin, 2004).
Luthans (2006) menyimpulkan bahwa pemimpin
transformasional yang efektif memiliki tujuh karakter
sebagai berikut: 1) mengidentifikasikan dirinya sebagai
alat perubahan; 2) pemberani; 3) mempercayai orang
lain; 4) motor penggerak nilai; 5) pembelajar sepanjang
masa; 6) memiliki kemampuan menghadapi
kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian; 7)
13 Kepemimpinan transformasional dipercaya dapat
menghasilkan keuntungan baik bagi pemimpin dan
pengikutnya; pemimpin menjadi seorang agen
perubahan dan para pengikutnya berkembang menjadi
seorang pemimpin (Bass dan Burns dalam Poulson dkk,
2011). Hal ini dikarenakan para pemimpin
transformasional membantu para pengikutnya untuk
tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan
mereka, sedangkan pemimpin memberikan motivasi
bagi pengikutnya.
Secara teoritis, konsep dari kepemimpinan
transformasional ini menegaskan bahwa kepemimpinan
bukan hanya sekumpulan perilaku atau sifat dari
seorang pemimpin, tetapi juga merupakan proses
dimana individu bergabung menjadi satu kesatuan
dalam organisasi secara utuh (Bass dalam Chin, 2007).
Kepemimpinan transformasional adalah proses untuk
membentuk dan menaikkan tujuan dan kemampuan
untuk mencapai perkembangan signifikan melalui
kepentingan bersama dan tindakan kooperatif (Bass,
1990).
Bass (dalam Hughes dkk., 2012) mengemukakan
bahwa pemimpin transformasional memiliki visi,
keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan
menggunakannya untuk mengembangkan ikatan
14
transformasional diyakini lebih berhasil dalam
mendorong perubahan organisasi karena tergugahnya
emosi pengikut serta kesediaan mereka untuk bekerja
mewujudkan visi sang pemimpin. Model kepemimpinan
transformasional dianggap efektif dalam situasi
kepemimpinan atau budaya apa pun termasuk dalam
dunia pendidikan (Bass, 1990). Kepemimpinan
transformasional cocok diterapkan pada lingkungan
sekolah yang dinamis dan memiliki tenaga guru yang
merupakan tenaga profesional, berpendidikan, dan
memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi.
Bass (dalam Chew & Chan, 2008) mengatakan
bahwa kepemimpinan transformasional secara positif
diasosiasikan dalam konteks sekolah karena iklim kerja
yang inovatif dan merangsang para pengikut untuk
melakukan lebih dari yang diharapkan dalam hal
kinerja dan produktivitas kerja. Hal ini dikarenakan
kepemimpinan transformasional memiliki tiga fungsi
dasar yang berguna bagi sekolah (Bass dalam
Castanheira & Costa, 2011) yaitu; a) pemimpin
transformasional mampu melayani kebutuhan para
pengikutnya, menguatkan, dan menginspirasi untuk
mencapai tujuan sekolah; b) memimpin secara
karismatik, menetapkan tujuan, memberikan
kepercayaan diri dan kebanggaan dalam bekerja; c)
15 sehingga mereka tidak merasa minder terhadap posisi
pemimpin. Dengan fungsi-fungsi tersebut, sekolah akan
menjadi satu kesatuan kerja yang utuh karena sekolah
didasari atas unit yang kolektif.
Kruger, Witziers, dan Sleegers (2007) menyatakan
bahwa kepemimpinan transformasional memiliki
pengaruh yang positif terhadap pendidikan di sekolah.
Leithwood & Jantzi (2005) memberikan tujuh dimensi
tentang mengapa kepemimpinan transformasional
dapat berhasil saat diaplikasikan dalam konteks
sekolah; a) membangun visi dan mendirikan tujuan
sekolah, b) menyediakan rangsangan intelektual/
intellectual stimulation, c) menyediakan dukungan
individual, d) memberikan model akan best practices
dan nilai-nilai organisasional, e) mengatur standar
ekspektasi akademik yang tinggi, f) menciptakan
budaya sekolah yang produktif, dan g) mengembangkan
partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Kepala sekolah transformasional harus mampu
memberikan wawasan, membangkitkan kebanggaan,
serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan
dari bawahannya (Leithwood dkk, 2004). Kepala
sekolah yang menerapkan kepemimpinan
transformasional harus memiliki kepercayaan bahwa
pengikutnya (pendidik dan tenaga pendidik) memiliki
16
dapat berguna bagi tujuan sekolah (Owens, 1998). Oleh
karena alasan tersebut, menurut Molenaar et.al. (2010)
kepemimpinan transformasional diasosiasikan secara
positif dalam dunia pendidikan terutama di sekolah
karena iklim inovatif kreatif yang ada di sekolah dan
memotivasi pengikutnya untuk melakukan lebih
terhadap apa yang diharapkan dari mereka.
Bass (dalam Northouse, 2001) menyimpulkan
bahwa seseorang yang dapat menampilkan
kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih
menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif
dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu,
merupakan hal yang amat menguntungkan jika para
kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan
transformasional di sekolahnya. Karena kepemimpinan
transformasional merupakan sebuah rentang yang luas
tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa
menjadi seorang pemimpin transformasional yang
efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan
usaha sadar dan sungguh-sungguh dari yang
bersangkutan.
2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Transformasional
Studi empiris yang dilakukan Bass & Riggio
(2006) dan Leithwood & Jantzi (2005) menunjukkan
17 yang kritis dalam hal efektivitas sekolah (Lai, 2011). Hal
ini dikarenakan pemimpin transformasional berfokus
pada kapasitas membangun untuk tujuan perubahan
organisasi, mempertajam kemampuan dan menambah
pengetahuan pengikut dari pengalaman seorang
pemimpin.
Berdasarkan dari definisi tersebut,
kepemimpinan transformasional memiliki empat faktor
dalam aplikasinya (Bass & Bass, 2008), yaitu; a)
pengaruh ideal/ idealized influence, b) motivasi
inspirasional/ motivated inspirational, c) rangsangan
intelektual/ intellectual stimulation, dan d)
pertimbangan individu/ individualized consideration.
Faktor-faktor ini merupakan pembeda yang
mempengaruhi pandangan guru terhadap
kepemimpinan transformasional kepala sekolah.
Pandangan masing-masing guru akan berbeda,
tergantung dari bagaimana faktor-faktor kepemimpinan
ini berpengaruh dalam kinerja mereka di sekolah.
1. Idealized Influence (Pengaruh Ideal)
Idealized influence adalah perilaku kepala
sekolah yang memberikan visi dan misi, memunculkan
rasa bangga, serta mendapatkan respek dan
kepercayaan dari para guru dan tenaga pendidik.
Idealized influence disebut juga sebagai pemimpin yang
18
mendalam pada pemimpinnya, merasa bangga bisa
bekerja dengan pemimpinnya, dan mempercayai
kapasitas pemimpinnya dalam mengatasi setiap
permasalahan (Bass & Riggio, 2006). Idealized
influence, yang dijelaskan sebagai perilaku yang
menghasilkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya
diri (trust) dari orang yang dipimpinnya. Hal ini
mengandung makna bahwa kepala sekolah dan para
staf saling berbagi resiko melalui pertimbangan
kebutuhan para staf di atas kebutuhan pribadi dan
perilaku moral secara etis.
2. Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)
Inspirational motivation adalah perilaku dari
kepala sekolah yang mampu mengkomunikasikan
harapan yang tinggi, menyampaikan visi bersama
secara menarik dengan menggunakan simbol-simbol
untuk memfokuskan upaya bawahan, dan
menginspirasi bawahan untuk mencapai tujuan yang
menghasilkan kemajuan penting bagi organisasi (Bass
& Riggio, 2006). Inspirational motivation, tercermin
dalam perilaku yang senantiasa menyediakan
tantangan bagi pekerjaan yang dilakukan staf dan
memperhatikan makna pekerjaan tersebut bagi para
staf. Hal ini mengandung makna bahwa kepala sekolah
menunjukkan atau mendemonstrasikan komitmen
19 yang dapat diobservasi para staf (guru dan karyawan).
Kepala sekolah berperan sebagai motivator yang
bersemangat untuk terus membangkitkan antusiasme
dan optimisme guru dan karyawan.
3. Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual)
Intellectual stimulation adalah sikap dan perilaku
kepala sekolah yang mampu meningkatkan kecerdasan
bawahan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi
mereka, meningkatkan rasionalitas, dan pemecahan
masalah secara cermat (Bass & Riggio, 2006). Sikap
dan perilaku kepemimpinannya didasarkan pada ilmu
pengetahuan yang berkembang dan secara intelektual
ia mampu menterjemahkannya dalam bentuk kinerja
yang produktif. Hal ini mengandung makna bahwa
kepala sekolah sebagai intelektual, senantiasa menggali
ide-ide baru dan solusi yang kreatif dari para stafnya
dan tidak lupa selalu mendorong staf mempelajari dan
mempraktikkan pendekatan baru dalam melakukan
pekerjaan.
4. Individualized Consideration (Pertimbangan
Individual)
Individualized consideration adalah pemimpin
merefleksikan dirinya sebagai seorang yang penuh
perhatian dalam mendengarkan dan menindaklanjuti
keluhan, ide, harapan-harapan, dan segala masukan
20
kepala sekolah memberikan perhatian pribadi,
memperlakukan masing-masing bawahan secara
individual sebagai seorang individu dengan kebutuhan,
kemampuan, dan aspirasi yang berbeda, serta melatih
dan memberikan saran. Individualized consideration
dari kepemimpinan transformasional memperlakukan
masing-masing bawahan sebagai individu serta
mendampingi mereka, memonitor dan menumbuhkan
peluang. Dalam hal ini kepala sekolah senantiasa
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dari para
stafnya, serta melibatkan mereka dalam suatu
pengambilan keputusan untuk meningkatkan kinerja
organisasi.
Pengaruh ideal adalah faktor yang
memperlihatkan bagaimana para pengikut memandang
pemimpin transformasional sebagai orang yang percaya
diri serta berfokus pada tugas yang diemban. Perilaku
pengaruh ideal merujuk pada tindakan karismatik dari
seorang pemimpin yang berpusat pada nilai-nilai,
kepercayaan, dan rasa akan misi (Antonakis et al.,
2003). Motivasi inspirasional adalah cara dimana
seorang pemimpin menginspirasi pengikutnya dengan
memberikan rasa optimis akan masa depan, mengatur
tujuan yang ambisius, dan memberikan semangat dan
dorongan bahwa visi tersebut dapat dicapai (Bass &
21 pengikutnya untuk berpikir secara kreatif, mencari
penyelesaian masalah yang rumit serta mendorong
inovasi adalah stimulasi intelektual (Antonakis et al.,
2003). Pertimbangan individu adalah cara dimana
pemimpin memberikan saran, mendukung, dan
berfokus pada kebutuhan pengikutnya untuk
mendorong perkembangan individu mereka (Antonakis
et al., 2003).
2.2.3. Mengukur Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah
Kepemimpinan transformasional telah menjadi
fokus dari penelitian yang dilakukan di berbagai benua
dan hampir di setiap negara industrialisasi di dunia
(Bass & Riggio, 2006). Dari penelitian yang dilakukan
Bass dan Riggio tersebut menunjukkan bahwa
kepemimpinan transformasional penting bagi kepala
sekolah karena dapat dijadikan ukuran sebagai
pemimpin yang efektif (Bass & Riggio, 2006; Mancuso
et al., 2010)
Dalam melakukan penelitian tentang
kepemimpinan, tidak adanya teori universal yang bisa
mencakup semua tentang kepemimpinan merupakan
sesuatu masalah tersendiri (House & Aditya, 1997).
Oleh sebab itu, dalam meneliti kepemimpinan harus
sesuai dengan teori kepemimpinan yang hendak diteliti.
22
dijadikan pegangan dalam melakukan penelitian
tentang kepemimpinan yaitu; 1) Leadership Skills
Inventory/ LSI (Karnes & Chauvin, 1985); 2) Least
Preferred Co-worker (LPC); 3) Leader Member Exchange/
LMX-7 (Graen et al, 1982); 4) Multifactor Leadership
Questionnaire/ MLQ (Bass, 1985); 5) LPI Leadership
Practices Inventory (Posner & Kouzes, 1993); 6) Conger
Kanungo scale (Conger Kanungo, 1994).
Penelitian ini akan menggunakan teori
kepemimpinan transformasional dari Bass (1985). Oleh
karena itu untuk mengukur kepemimpinan
transformasional dalam penelitian ini akan
menggunakan empat indikator yang tergabung dalam
MLQ/ Multifactor Leadership Questionnaire yang
digunakan oleh Bass sebagai alat ukur tentang
kepemimpinan transformasional di sekolah melalui
sudut pandang guru. MLQ dapat digunakan sebagai
alat ukur dalam berbagai bidang seperti bisnis
(Purvanova, Bono, & Dzieweczynski, 2006), militer
(Dvir, Eden, Avolio, Bass, & Shamir, 2002), pendidikan
(Barnett & McCormick, 2004) (Leithwood & Jantzi,
2005) dan olahraga (Charbonneau, Barling, and
Kelloway, 2001).
MLQ adalah alat ukur yang populer untuk
mengukur kepemimpinan transformasional (Avolio &
23 perilaku dari seorang pemimpin dan mengukur
berbagai aspek dari kepemimpinan transformasional
(Avolio, Bass, & Jung, 1999). Empat indikator yang
diukur dalam MLQ dikenal sebagai empat “I” yaitu,
idealized influence, inspirational motivation, intellectual
stimulation dan individual consideration. Keempat
indikator tersebut dianggap mewakili teori karismatik
yang terdapat dalam kepemimpinan transformasional
(Bass, 1985).
Berdasarkan empat komponen yang diajukan
oleh Bass (1985) tersebut, dapat diukur kepemimpinan
transformasional dari seorang kepala sekolah dan akan
digunakan dalam penelitian ini. MLQ/ Multifactor
Leadership Questionnaire, diterima secara luas sebagai
instrumen yang digunakan untuk mengukur
kepemimpinan transformasional (Bass & Riggio, 2006).
Kepemimpinan transformasional kepala sekolah dalam
penelitian ini menggunakan pandangan guru sebagai
responden, sehingga hasil dari pandangan tiap-tiap
guru akan berbeda terhadap kepemimpinan
transformasional kepala sekolah.
Kepemimpinan transformasional yang diterapkan
kepala sekolah dapat berperan sebagai jembatan yang
menghubungkan pelbagai keputusan tanpa adanya
pihak yang merasa dirugikan (Danim dan Suparno,
24
aneka sumberdaya sekolah mutlak dalam kerangka
kepemimpinan sekolah yang produktif. Kepala sekolah
disebut mampu menerapkan kaidah kepemimpinan
transformasional jika dia mampu mengubah energi
sumber daya baik manusia, instrumen, maupun situasi
untuk mencapai tujuan tujuan sekolah.
2.3
Efikasi Diri Guru
2.3.1. Pengertian Efikasi Diri Guru
Dalam kehidupan manusia, memiliki keyakinan
akan diri sendiri merupakan hal yang penting (Bong &
Skaalvik, 2003). Keyakinan diri yang ada tersebut dapat
dijadikan dorongan untuk memahami secara
menyeluruh dan mendalam atas situasi yang dapat
menerangkan mengapa seseorang ada yang mengalami
kegagalan dan atau yang berhasil. Kemudian, dari
pengalaman yang didapatkan itu, seseorang akan
mampu untuk mengungkapkan keyakinan diri.
Keyakinan diri inilah yang merupakan panduan untuk
tindakan yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan
pengalaman interaksi sepanjang hidup individu (Gagne
& Deci, 2005).
Keyakinan akan seluruh kemampuan ini meliputi
kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri,
kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak
25 berkembang berangsur-angsur secara terus menerus
seiring meningkatnya kemampuan dan bertambahnya
pengalaman-pengalaman yang berkaitan (Bandura,
1981).
Efikasi diri atau self-efficacy adalah sebuah
konsep yang dirumuskan oleh Albert Bandura (1977)
sebagai bagian dari teori sosial kognitif miliknya.
Menurut Bandura (1977), dalam pandangan teori
sosial kognitif, manusia tidak hanya didorong oleh
kekuatan dari dalam dirinya sendiri, atau dibentuk dan
dikendalikan oleh rangsangan eksternal. Fungsi
manusia dijelaskan dalam hubungan timbal balik
antara perilaku dan faktor kognitif (personal) dan
lingkungan.
Konstruksi efikasi diri terkadang dicampur
adukkan dengan gagasan umum tentang kepercayaan
diri (self-confidence). Kepercayaan diri merujuk kepada
kekuatan kepercayaan yang ada dalam diri seseorang,
sedangkan efikasi diri didasarkan dari tingkatan
khusus dari pencapaian dan kekuatan kepercayaan
seseorang bahwa tingkat pencapaian tersebut dapat
dicapai (Pajares, 1996). Efikasi diri diyakini menjadi
kunci untuk pekerjaan yang sukses. Selain itu, efikasi
diri juga dapat mempengaruhi pola berpikir dan
26
Bandura (1977) mendefinisikan efikasi diri
sebagai “personal judgments of one’s capabilities to
organize and execute courses of action to attain
designated goals, and he sought to assess its level,
generality, and strength across activities and contexts.”
Efikasi diri adalah pertimbangan subjektif
individu terhadap kemampuannya untuk menyusun
tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan
tugas-tugas khusus yang dihadapi. Efikasi diri tidak
berkaitan langsung dengan kecakapan yang dimiliki
individu, melainkan pada penilaian diri tentang apa
yang dapat dilakukan, tanpa terkait dengan kecakapan
yang dimiliki. Efikasi diri lebih berkaitan dengan situasi
yang dihadapi oleh individu dan tempat sebagai bagian
dari proses belajar kognitif. Oleh karena itu, Baron dan
Greenberg (1990) juga menegaskan bahwa efikasi diri
adalah kemampuan individu untuk melakukan
tugas-tugas tertentu.
Ormrod (2006) lebih jauh menyatakan bahwa
efikasi diri adalah kemampuan seseorang untuk
bertindak menggunakan cara yang sesuai dan efektif
untuk mencapai tujuan tertentu. Efikasi diri ada dalam
banyak aspek kehidupan manusia, termasuk perilaku
profesional dan pribadi (Bandura dalam Gavora, 2010).
Dalam konteks pendidikan, Bandura
27 akan kemampuan personal dari seorang guru dalam
merancang instruksi dan menyelesaikan tujuan
instruksional. Berdasarkan teori Bandura tentang
efikasi diri, ada dua komponen yang membentuk efikasi
diri (Skaalvik & Skaalvik, 2007), ekspektasi efikasi
(efficacy expectation) dan ekspektasi hasil (outcome
expectancy). Ekspektasi efikasi adalah keyakinan
bahwa sesorang memiliki kemampuan, pengetahuan,
dan skill untuk melaksanakan perilaku atau tindakan
secara sukses sehingga dengan demikian dapat
memperoleh hasil yang diinginkan.
Sementara itu ekspektasi hasil adalah keyakinan
bahwa perilaku dan tindakan yang dilakukan akan
mengarah kepada hasil yang diharapkan. Dengan
begitu, untuk menjadi guru yang sukses dalam
pembelajaran haruslah memiliki kedua ekspektansi
tersebut. Jika hanya memiliki salah satunya saja, maka
guru tersebut akan kurang sukses dalam mengajar
murid secara efektif dan efisien (Gavora, 2010).
Menurut Bandura (1989) efikasi diri berakibat
pada suatu tindakan manusia melalui beberapa jenis
proses, antara lain yaitu proses motivasional, kognitif,
afektif dan seleksi.
a. Proses motivasional
Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan
28
tantangan dengan menunjukkan usaha dan
keberadaan diri yang positif (Bandura, 1989).
b. Proses kognitif
Efikasi diri yang dimiliki individu akan berpengaruh
pada pola pikir yang bersifat membantu atau
menghambat. Bentuk-bentuk pengaruhnya yaitu:
- Jika efikasi diri semakin tinggi maka semakin
tinggi pula penetapan suatu tujuan dan akan
semakin kuat pula komitmen terhadap tujuan
yang ingin dicapai
- Ketika menghadapi situasi yang rumit, individu
memiliki keyakinan diri yang kuat dalam
memecahkan masalah yang dihadapi dan mampu
mempertahankan efisiensi berpikir analitis.
Sebaliknya, jika individu bersifat ragu-ragu
dalam memecahkan masalah yang dihadapinya
maka biasanya tidak efisien dalam berpikir
analitis.
- Efikasi diri berpengaruh terhadap antisipasi
tipe-tipe gambaran konstruktif dan gambaran yang
diulang kembali. Individu yang memiliki efikasi
diri tinggi akan memiliki gambaran keberhasilan
yang diwujudkan dalam penampilan dan perilaku
yang positif dan efektif. Sebaliknya individu yang
merasa tidak mampu cenderung merasa
29
- Efikasi diri berpengaruh terhadap fungsi kognitif
melalui pengaruh yang sama dengan proses
motivasional dan pengelolaan informasi. Semakin
kuat keyakinan individu akan kapasitas memori,
maka semakin kuat pula usaha yang dikerahkan
untuk memproses memori secara kognitif dan
meningkatkan kemampuan memori individu
tersebut.
c. Proses afektif
Efikasi diri berpengaruh terhadap seberapa
banyak tekanan yang dialami oleh individu dalam
situasi-situasi yang mengancam. Individu yang
percaya bahwa dirinya dapat mengatasi
situasi-situasi yang mengancam yang dirasakannya,
tidak akan merasa cemas dan terganggu dengan
ancaman tersebut (Bandura, 1989).
d. Proses seleksi
Kemampuan individu untuk memilih aktivitas
dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek
dari suatu kejadian. Individu cenderung
menghindari aktivitas dan situasi yang diluar
batas kemampuan mereka. Bila individu merasa
yakin bahwa mereka mampu menangani suatu
situasi, maka mereka cenderung tidak
30
pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat
meningkatkan kemampuan, minat, dan
hubungan sosial mereka (Bandura, 1989)
2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri Guru
Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang
terhadap dirinya akan mampu melaksanakan tingkah
laku yang diperlukan dalam suatu tugas yang
dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi efikasi diri yang diperspektifkan
oleh individu merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan dalam performasi yang akan datang dan
kemudian dapat pula menjadi faktor yang ditentukan
oleh pola keberhasilan atau kegagalan performasi yang
pernah dialami. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
efikasi diri menurut Bandura (1986) antara lain:
a) Sifat tugas yang dihadapi individu. Sifat tugas dalam
hal ini meliputi tingkat kesulitan dan kompleksitas
dari tugas yang dihadapi. Semakin sedikit jenis
tugas yang dapat dikerjakan dan tingkat kesulitan
tugas yang relatif mudah, maka makin besar
kecenderungan individu untuk menilai rendah
kemampuannya sehingga akan menurunkan efikasi
dirinya. Namun apabila seseorang mampu
menyelesaikan berbagai macam tugas dengan
31 akan menilai dirinya mempunyai kemampuan
sehingga akan meningkatkan efikasi dirinya.
b) Insentif eksternal. Insentif berupa hadiah (reward)
yang diberikan oleh orang lain untuk merefleksikan
keberhasilan seseorang dalam menguasai atau
melaksanakan suatu tugas (competence contigence
incentive). Misalnya pemberian pujian, materi, dan
lainnya. Semakin besar insentif atau reward yang
diperoleh seseorang dalam penyelesaian tugas, maka
semakin tinggi derajat efikasi dirinya.
c) Status atau peran individu dalam lingkungannya.
Seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi
dalam lingkungan atau kelompoknya akan
mempunyai derajat kontrol yang lebih besar pula
sehingga memiliki efikasi diri yang lebih tinggi.
d) Informasi tentang kemampuan diri. Efikasi diri
seseorang akan meningkat atau menurun jika ia
mendapat informasi yang positif atau negatif tentang
dirinya. Informasi yang disampaikan oleh orang lain
secara langsung bahwa seseorang mempunyai
kemampuan tinggi, dapat menambah keyakinan diri
seseorang sehingga seseorang akan mengerjakan
suatu tugas dengan sebaik mungkin. namun apabila
seseorang mendapat informasi tentang
32
efikasi diri sehingga kinerja yang ditampilkan
rendah.
Dalam hubungannya dengan faktor yang
mempengaruhi efikasi diri, berdasarkan dari teori
Bandura (1997), ada empat sumber yang dapat
dijadikan acuan bagi para guru untuk mengembangkan
efikasi diri yang tinggi, yaitu: pengalaman keberhasilan
(mastery experiences), pengalaman orang lain (vicarious
experiences), persuasi sosial (social persuasion), kondisi
fisiologis dan emosi (physiological and emotional state).
a. Pengalaman keberhasilan (mastery experiences)
merupakan sumber yang paling efektif untuk
menciptakan keyakinan kuat pada efikasi diri. Hal
ini dinyatakan oleh Bandura (1997) bahwa
pengalaman keberhasilan adalah sumber yang
paling berpengaruh karena memberikan bukti
otentik bahwa seseorang dapat memberikan apa saja
yang dimilikinya untuk menjadi sukses.
b. Pengalaman orang lain (vicarious experiences) adalah
dimana keterampilan yang dipelajari seseorang dari
hasil observasi tentang kesuksesan orang lain.
Meneliti dan meniru tindakan dari guru yang sukses
dapat meningkatkan harapan bahwa guru dapat
belajar dari kesuksesan koleganya yang kemudian
33 Singkatnya, guru dapat belajar bagaimana untuk
menjadi efektif dari perilaku orang lain yang efektif.
c. Persuasi sosial (social persuasion) dari rekan kerja
atau atasan bahwa guru dapat mengajar secara
sukses dapat meningkatkan efikasi diri guru.
Contohnya pelatihan dan memberikan feedback
yang positif umumnya dapat mempengaruhi efikasi
diri secara positif. Dukungan emosional membangun
kepercayaan guru dalam menambah efikasi diri.
Potensi persuasi tergantung pada kredibilitas,
kepercayaan, dan keahlian dari orang yang
memberikan penguatan (Bandura, 1986).
d. Kondisi fisiologis dan emosi (physiological and
emotional state) dari seorang guru dapat
mempengaruhi penilaian efikasi diri. Sebagai contoh,
jika guru mengartikan reaksi stress dan tekanan
sebagai gejala yang memudahkan penurunan
pekerjaan, maka guru tersebut memiliki efikasi diri
yang rendah. Suasana hati juga berpengaruh
terhadap efikasi diri. Jika suasana hati yang positif
dapat mempertinggi keyakinan diri, maka sebaliknya
suasana hati yang sedih dapat mengurangi
keyakinan efikasi diri.
2.3.3. Mengukur Efikasi Diri Guru
Dalam melakukan penelitian tentang efikasi diri