• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Naketi: Dalam Pemahaman Jemaat GMIT Efata So’e, Dikaji dari Perspektif Pastoral

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Naketi: Dalam Pemahaman Jemaat GMIT Efata So’e, Dikaji dari Perspektif Pastoral"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

NAKETI ( DALAM PEMAHAMAN JEMAAT GMIT EFATA SO’E,

DIKAJI DARI PERSPEKTIF PASTORAL)

Oleh:

Wasti Juningsi Benu

NIM : 712013049

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Teologi

Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Sains Teologi

(S.Si Teol)

Program Studi Ilmu Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

ORANG-ORANG YANG MENABUR DENGAN MENCUCURKAN AIR MATA,

AKAN MENUAI DENGAN BERSORAK-SORAI.

ORANG-ORANG YANG BERJALAN MAJU DENGAN MENANGIS

SAMBIL MENABUR BENIH,

PASTI PULANG DENGAN SORAK-SORAI SAMBIL MEMBAWA

BERKAS-BERKASNYA”

~ Mazmur 126 :5-6 ~

“sebab Aku ini, mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah Firman Tuhan,

yaitu rancangan Damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan

untuk memberi kepada kamu hari depan yang penuh harapan”

~Yeremia 29:11~

Dengan penuh Rasa Syukur, Penulis persembahkan kepada :

Tuhan Yesus Kristus

Orang Tua

(7)

Kata Pengantar

Puji Syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, sebagai Sumber

Pengetahuan. Atas bimbingan dan tuntunan-Nya penulis boleh dapat

menyelesaikan penulisan Tugas akhir ini dengan baik. Penulisan tugas akhir ini,

diajukan dalam memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Sains Teologi (S.Si Teol) pada Fakultas Teologi UKSW Salatiga. Judul yang

penulis ajukan ialah “Naketi (Dalam Pemahaman Jemaat GMIT Efata SoE, Dikaji dari Perspektif Pastoral)”. Dalam proses penyusunan dan penulisan tugas akhir

ini, tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab

itu, penulis ingin mengucapkan Terima Kasih kepada :

1. Terima Kasih kepada seluruh Dosen UKSW Salatiga, secara khusus

bapak/ibu Dosen dan pegawai Tata Usaha (TU) Fakultas Teologi UKSW

yang boleh berkenan membantu dan menolong penulis dalam belajar

selama ± 4 tahun di Fakultas Teologi UKSW Salatiga. Kiranya Tuhan

Yesus sumber Hikmat dan Kebijaksanaan boleh memberkati Bapak/ibu

sekalian, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

2. Terima Kasih kepada Bapak Pdt. Dr. J. D Engel, dan Bapak Pdt. Dr.

Ebenhaizer I. Nuban Timo selaku dosen pembimbing yang dengan penuh

kesabaran dan kebijaksanaan, boleh berkenan membimbing penulis

sehingga penulis telah menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis juga mohon

maaf atas kesalahan yang dilakukan selama proses bimbingan yang

dilakukan. Kiranya Tuhan Yesus Kristus senantiasa memberkati pak Yopi

dan pak Eben selalu.

3. Terima kasih kepada warga Jemaat GMIT Efata So‟E. yang mengijinkan

penulis untuk melakukan penelitian yang ada. Kiranya Tuhan Yesus

memberkati Jemaat dan para pelayan dalam menjalankan tugas dan

pelayanan.

4. Terima kasih kepada Pak Pdt. Tony Tampake dan Ibu Cindy Quartymina,

yang bersedia meluangkan waktu ditengah kesibukan yang dilakukan

untuk mereview tugas akhir ini. Penulis berterima kasih untuk masukan,

(8)

dapat menyempurnakan tulisan ini. Kiranya Tuhan Yesus Kristus Sang

Pemiliki Kehidupan memberkati bapak Tony dan Ibu Cindy selalu.

6. Terima Kasih kepada kedua Orang tua (Bapak Lunu dan Mama Nuban)

serta Bapak Tii dan Mama Tii, untuk setiap Doa, Harapan, Motivasi dan

Dukungan baik secara moril dan materi yang selalu diberikan bagi penulis,

sehingga atas perkenanan Tuhan penulis dapat menyelesaikan proses

penulisan dan penyusunan Tugas Akhir ini. Tuhan Yesus Senantiasa

Memberkati dan Melindungi Bapak dan Mama.

7. Terima kasih kepada Ibu Tkela (Mama ani), untuk Doa yang selalu

diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada Tantan Ton, untuk

segala berkat dukungan yang diberikan, Tuhan Yesus senantiasa menyertai

dan memberkati dalam pelayanan yang ada serta keluarga.

8. Terima Kasih kepada adik-adik tercinta (John, Mima, Elia dan Rina) yang

mengingatkan, menghibur dan mendukung penulis dalam menyelesaikan

perkuliahan ini. Tuhan Yesus Memberkati dan Mengasihi kalian semua.

9. Terima Kasih kepada seluruh teman-teman Fakultas Teologi angkatan 2013

untuk semua kebersamaan yang boleh dapat terjalin selama ± 4 tahun ini.

Kiranya Tuhan Yesus selalu menyertai dan memberkati kita sekalian.

10.Terima Kasih kepada Kaka KTB, Ka Indah, Ka Atty, dan Ka Chandra.

Terima kasih kepada sahabat dan saudara KTB Merry, Milde, Sarah, untuk

semua momen berharga dan semua kebersamaan yang dapat kita lalui

bersama. Terima Kasih juga kepada adik KTB Ilda dan Malla.

Akhir kata dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari bahwa

ada terdapat kekuarangan didalamnya. Oleh sebab itu, kritik dan saran

yang membangun dari berbagai pihak penulis harapkan untuk melengkapi

tulisan ini.

I M A N U E L

Salatiga, 08 Maret 2018

(9)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan Tidak Plagiat ... iii

Lembar Pernyataan Persetujuan Akses ... iv

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ... v

Motto ... vi

Kata Perngantar ... vii

Daftar Isi... ix

Abstrak ... xi

1. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat ... 5

1.3 Metode Penelitian ... 5

1.4 Sistematika Penulisan ... 6

2. Pastoral... 6

2.1 Pengertian Pendampingan dan Pastoral ... 6

2.2 Fungsi-Fungsi Pastoral ... 9

2.3 Tujuan Pastoral ... 10

2.4 Pendekatan Pastoral ... 10

2.5 Penggunaan Sarana-Sarana Dalam Pastoral ... 13

3. Hasil Data Penelitian ... 15

3.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 15

(10)

3.3 Agama Asli Orang Timor ... 17

3.4 Sejarah Ritual Naketi ... 18

3.5 Makna, Tujuan, Fungsi Naketi Menurut Jemaat GMIT Efata So‟E ... 19

3.6Proses dan Sarana Dalam Ritual Naketi ... 22

4. Pembahasan dan Analisa Data Penelitian ... 25

4.1Deskripsi dan Analisa makna, tujuan, fungsi pastoral dengan makna, tujuan, fungsi ritual naketi ... 25

5. Penutup 5.1Kesimpulan dan Saran ... 29

(11)

NAKETI ( DALAM PEMAHAMAN JEMAAT GMIT EFATA SO’E, DI

KAJI DARI PERKSPEKTIF PASTORAL )

WASTI JUNINGSI BENU

712013049

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa makna

pelaksanaan Naketi bagi Jemaat GMIT Efata So‟E. Penelitian ini dimotivasi oleh

fakta masalah bahwa masyarakat dawan Timor selalu melakukan ritual naketi

untuk memecahkan setiap persoalan berkelanjutan yang dialami. Dalam penelitian

ini, peneliti menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data

diambil dengan menggunakan metode wawancara, serta studi pustaka (studi

dokumen). Data yang telah didapat kemudian dianalisis menggunakan teori

pastoral, berkaitan dengan makna, fungsi, tujuan, serta sarana-sarana yang di

gunakan dalam pastoral. Pada akhirnya peneliti menemukan bahwa naketi

merupakan salah satu bentuk konseling pastoral berbasis budaya Timor. Makna

naketi menurut masyarakat dawan Timor sebagai usaha untuk memperbaiki,

mengatur, meluruskan, memurnikan serta menjernihkan diri dari dosa/kesalahan,

yang menyebabkan tatanan kehidupan menjadi rusak. Oleh sebab itu, naketi

dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki dan menyelesaikan berbagai

persoalan berkelanjutan yang dialami. Dalam makna naketi terkandung nilai

didalamnya yakni nilai religious, sosial dan nilai moral.

(12)

I. Pendahuluan

1.1Latar belakang

Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan. Setiap pulau memiliki adat

istiadat dan budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Nusa Tenggara

Timur (NTT) merupakan salah satu pulau yang kaya akan tradisi-tradisi adat dan

budayanya. Salah satu tradisi yang masih diterapkan dan dipelihara hingga kini

ialah Naketi. Secara hurufiah naketi berarti „menata/menyusun kembali.‟

Maksudnya ialah menyusun kembali tatanan yang sudah berserakan atau rusak

karena ulah (dosa/kelemahan) manusia.1

Penting untuk diketahui bersama bahwa naketi merupakan sebuah ritual yang

meliputi seperangkat kegiatan. Kegiatan tersebut dimulai dengan membaca

peristiwa-peristiwa berkelanjutan yang terjadi dalam kehidupan seperti

(Kecelakaan, kedukaan yang dialami secara berturut-turut, sakit-penyakit yang

sama yang diderita oleh sebuah keluarga serta masalah-masalah sosial yang terjadi

dan dialami), dan berusaha untuk mencari penyebab serta memberikan solusi dari

adanya peristiwa-peristiwa tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ritual adalah tata cara

dalam upacara keagamaan.2 J. Goody, dalam bukunya “Religion and Ritual; The

Definition Problem”, mendefinisikan ritual sebagai suatu kategori adat perilaku yang dibakukan, di mana hubungan antara sarana-sarana dengan tujuan tidak

bersifat instrinsik (entah irasional atau nonrasional). Tindakan-tindakan magik

maupun religius termasuk dalam definisi ini, meskipun keduanya dapat dibedakan

karena kriteria yang lain.3

Dalam proses pelaksanaan ritual naketi oleh masyarakat dawan Timor,

biasanya tidak dilakukan secara individu atau perorangan melainkan dilakukan

secara bersama-sama. Apabila dalam sebuah keluarga mengalami krisis atau

masalah seperti yang telah dijelaskan diatas, maka mereka akan segera

memberitahukan keluarga terdekat mereka, mereka menentukan waktu secara

1

Welfrid Fini Ruku, “Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi: Hermeneutik Etnomenomenologi Atoin Meto di Timor atas kitab Rut 1:1-6”, Disertasi Pascasarjana UKDW Yogjakarta (Yogyakarta, Perpustakaan UKDW Yogyakarta, 2017), 139.

2

Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia, Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 1178.

3

(13)

bersama-sama untuk berkumpul dan bersama-sama mereka akan melakukan

proses naketi. Tujuan masyarakat dawan Timor mengadakan naketi yakni demi

terciptanya suatu kondisi atau tatanan kehidupan yang kembali normal.4 Dengan

kata lain bahwa, melakukan penyelidikan melalui naketi menjadi jalan penting

bagi masyarakat dawan Timor agar dapat menyelesaikan masalah atau persoalan

hidup yang dihadapi serta memperbaiki tatanan kehidupan yang rusak. Oleh sebab

itu, naketi dapat dipahami sebagai salah satu terapi penyembuhan atas

masalah-masalah yang dihadapi, serta memperbaiki krisis atau masalah-masalah yang dialami baik

individu dalam keluarga, alam dan dalam relasi dengan masyarakat dan Tuhan.

Dikatakan sebagai salah satu terapi penyembuhan, dikarenakan ritual naketi

yang dilakukan memiliki tujuan dan fungsi yang sama dengan konseling pastoral.

Dimana konseling pastoral berperan dalam suatu krisis dan kemalangan hidup,

baik itu individu dan kemalangan keluarga bahkan dalam krisis perubahan sosial

dalam masyarakat. Konseling pastoral menjadi alat penyembuhan dan

pertumbuhan dengan membantu orang memperbaiki dan mengembangkan yang

paling sulit, yang sementara dihadapinya.5

Konseling berasal dari bahasa Inggris to counsel yang secara hurufiah berarti

memberi arahan. Lebih lanjut menurut Engel, koseling merupakan salah satu

proses pertolongan antara seorang penolong (konselor) dan yang ditolong

(konseli), dengan maksud bukan hanya untuk meringankan penderitaan konseli,

tetapi untuk memberdayakannya.6

Wiryasaputra menyebutkan bahwa secara tradisional ada empat fungsi

konselor dalam melakukan pertolongan yakni, menyembuhkan (Healing),

membimbing (guiding), menopang (Sustaining) dan memperbaiki hubungan

(reconciling), dan Clinebell menambahkan fungsi kelima yakni merawat

(nurturing) dan fungsi keenam yang ditambahkan oleh Totok Wiryasaputra yakni

memberdayakan (Empowering).7

4

Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi: 139. 5

Jacob D. Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 11.

6

Engel,Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 1. 7

(14)

Konseling pastoral menurut Wiryasaputra, ialah sebuah perjumpaan antara

kedua belah pihak, baik konselor dan konseli secara sukarela dijumpai dan

menjumpai. Dimana dalam perjumpaan itu konselor berusaha menggunakan

seluruh pengetahuan, keterampilan dan sumber daya yang dimiliknya untuk dapat

membantu konseli. Tahap demi tahap dalam proses perjumpaan tersebut, konseli

tidak hanya mampu menghayati keberadaannya pada masa kini secara penuh dan

utuh, melainkan konseli harus mampu berubah dan bertumbuh, dimana dalam

proses konseling pastoral konseli diharapkan dapat menolong diri sendiri pada

masa kini dan yang akan datang, serta diharapkan juga dapat menolong orang lain

dilingkungannya.8

Dalam pemahaman dan kepercayaan masyarakat dawan Timor, bahwa suatu

hal terjadi tidak dengan sendirinya melainkan karena ada faktor penyebab. Dalam

naketi penyebab adanya sebuah peristiwa atau masalah harus dicari, apabila

penyebab adanya masalah tersebut telah ditemukan, maka mereka akan mencari

jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Masyarakat dawan Timor,

meyakini bahwa penyebab dari adanya masalah atau bencana dalam kehidupan

ialah dosa. Apabila dosa tersebut diakui dan mendapatkan pengampunan maka

masalah tersebut akan berlalu dan kondisi kehidupan akan stabil dan normal

kembali.9

Dalam hasil wawancara, diketahui bahwa dalam proses pelaksanaan ritual

naketi masyarakat dawan Timor, biasanya akan dipimpin atau dibimbing oleh

salah seorang tetua adat atau Imam yang dikenal atau disebut a‟ote „naus.10

Dalam proses pelaksanaan naketi ini tidak hanya dilakukan atau dihadiri oleh

orang yang mengalami masalah saja melainkan akan dihadiri juga oleh para

amaf-amaf (para pemimpin marga) atau keluarga untuk hadir ditempat yang telah

ditentukan.11 Para amaf-amaf ini akan membawa hewan yang akan disembelih,

hewan tersebut seperti ayam, kambing, babi, sapi. Hewan tersebut dibawa

8

Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, Hal. 65. 9

Wawancara dengan Bapak DF (Inisial), wawancara via telepon, (Salatiga, 15 Agustus 2017, pukul 17.45 WIB).

10 a’ote ‘naus

terdiri dari tiga kata a’yang berarti „dia yang bisa‟, oteyang berarti “memotong” dan katanausyang berarti dia „imam‟ yang bisa memotong duri‟ atau imam yang bertugas untuk mengeluarkan duri dari daging manusia, yaitu dosa supaya orang tersebut bebas dari kemalangan/hukuman.

11

(15)

tergantung pada jenis pelanggaran atau dosa yang dilakukan, dan setelah itu a‟ote

„naus akan menjelaskan alasan mengapa ritual naketi itu harus dilakukan.12

Ritual naketi seperti ini sering sekali dilakukan oleh para penganut agama

suku atau para leluhur atoni meto,13 sedangkan bagi masyarakat atau orang yang

telah menjadi kristen dan mengetahui ajaran kristen, mereka menganggap ritual

tersebut sebagai salah satu bentuk penyembahan berhala. Dipandang sebagai

bentuk penyembahan berhala karena menggunakan binatang sebagai korban.

Walaupun dianggap berhala, tetapi masyarakat dawan Timor yang telah

menjadi Kristen saat mereka mengalami masalah atau bencana seperti kecelakaan,

kedukaan, kemalangan secara berturut-turut maka, mereka cenderung untuk

melakukan ritual naketi, tetapi tidak lagi menggunakan unsur-unsur berhala

seperti penggunaan darah korban binatang, tidak lagi berhubungan dengan hal-hal

gaib atau mistik, dll. Melainkan mereka menggunakan ajaran Kristen tentang 10

hukum taurat yang terdapat didalam Alkitab dan juga doa sebagai media dalam

mencaritahu atau mengecek dosa-dosa dalam melakukan proses naketi.14

Berdasarkan pada penjelasan tersebut, diketahui bahwa naketi yang dilakukan

oleh masyarakat dawan Timor ialah untuk memperbaiki tatanan kehidupan

mereka. Oleh sebab itu penulis menilai bahwa tujuan naketi sesuai atau sejalan

dengan fungsi konseling pastoral menurut Howard Clinebell. Konseling pastoral

menurut Clinebell adalah suatu fungsi yang bersifat memperbaiki, yang

dibutuhkan ketika orang mengalami krisis atau masalah yang merintangi

pertumbuhannya.15

Melalui definisi tersebut dapat terlihat bahwa konseling pastoral adalah suatu

alat yang sangat penting untuk membantu seseorang dalam menghadapi persoalan

yang terjadi didalam kehidupannya, serta dapat menolong seseorang memperbaiki

dan menyelesaikan persoalan yang sedang dialami.

12

Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi, 141.

13

Atoni meto merupakan Bahasa dawan masyarakat Timor yang dalam Bahasa Indonesia berarti orang tanah kering. Kata Atoni berarti laki-laki sedangkan meto berarti kering/tandus.

14

Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi, 144. 15

(16)

Masyarakat dawan Timor secara umum tidak mengetahui apa itu konseling

dan tujuan dari konseling, tetapi yang mereka lakukan saat mengalami masalah

atau krisis seperti yang telah dijelaskan di atas maka mereka cenderung akan

melakukan praktek naketi untuk mencari jalan keluar dari krisis atau masalah

yang mereka alami.

Berdasarkan penjelasan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian

di GMIT Efata So‟E dengan melihat bahwa, walaupun jemaat GMIT Efata So‟E,

merupakan jemaat yang modern dan sebagian besar jemaatnya telah menempuh

pendidikan ke perguruan tinggi dan terdapat fasilitas kesehatan di setiap rumah

sakit yang ada, namun sebagian besar jemaat GMIT Efata So‟E, baik itu yang berada di dalam gereja atau yang berada di luar gereja masih melakukan praktek

ritual naketi ketika mereka mengalami krisis atau masalah dalam kehidupan

mereka. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan melihat bagaimana

naketi dilihat dalam pemahaman atau pandangan Jemaat GMIT Efata So‟E, dikaji

dari perspektif konseling pastoral. Sehingga judul yang penulis angkat ialah:

“Ritual Naketi ( Dalam Pemahaman Jemaat GMIT Efata Soe, dikaji dari

perspektif Pastoral )”

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka rumusan pertanyaan penelitian

adalah: Bagaimana naketi dalam pemahaman Jemaat GMIT Efata Soe, dikaji dari

perspektif konseling pastoral?. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini ialah:

Mengkaji naketi dalam pemahaman warga Jemaat GMIT Efata Soe, dari

perspektif Konseling Pastoral. Melalui penelitian ini penulis berharap dapat

memberikan kontribusi bagi Jemaat GMIT Efata Soe dan juga Gereja. Kontribusi

tersebut berguna untuk memperkaya dan menambah pemahaman sebagai suatu

sumbangan pemikiran bagi dunia akademis tentang kebudayaan, khususnya untuk

budaya masyarakat NTT yang berkaitan dengan naketi serta memberikan

sumbangan pemikiran kepada masyarakat secara umum dan gereja secara khusus

tentang nilai-nilai pastoral yang dapat dilakukan dan dikembangkan.

Merujuk pada rumusan masalah dan tujuan penelitian yang hendak dicapai,

maka dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan metode deskriptif

dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur

(17)

subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.16

Sedangkan pendekatan kualitatif berusaha untuk memahami dan menafsirkan

makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu

menurut perspektif peneliti sendiri.17 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data diambil dengan

menggunakan metode wawancara serta studi pustaka (studi dokumen). Observasi

bertujuan untuk Wawancara bertujuan untuk mencoba mendapatkan keterangan

secara lisan dari beberapa responden, dengan bercakap-cakap atau dengan kata

lain dapat dilakukan secara tatap muka atau percakapan secara langsung dengan

orang tersebut. Wawancara inipun bermaksud untuk menggumpulkan keterangan

tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian

mereka.18 Informan kunci (pendeta dan beberapa jemaat) yang mengetahui secara

pasti tradisi Naketi. Penelitian ini dilakukan di Gereja GMIT Efata Soe.

Kecamatan Kota Soe – Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)–Nusa Tenggara

Timur (NTT).

Penulisan tugas akhir ini terdiri atas lima bagian: Bagian 1 berisi tentang

Pendahuluan. Bagian II, berisi tentang teori-teori, fungsi dan pendekatan pastoral

menurut para ahli. Bagian III, berisi tentang deskripsi temuan hasil penelitian

mengenai Naketi dalam pemahaman jemaat GMIT Efata Soe. Bagian IV, berisi

Analisa hasil penelitian dengan menggunakan teori pastoral terhadap proses

naketi. Bagian V, Penutup.

II. Pastoral

2.1Pengertian pendampingan dan konseling pastoral

Menurut Kartadinata, pendampingan adalah suatu proses pendidikan kepada

individu untuk mencapai kemandirian dan perkembangan diri sepanjang hayat

16

H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983 ), 63.

17

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 79.

18

(18)

(lifelong education).19 Pendampingan berasal dari kata kerja mendampingi,

sebagai suatu kegiatan menolong, karena suatu sebab sehingga perlu

didampingi.20 Istilah pendampingan memiliki arti kegiatan kemitraan,

bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan

mengutuhkan.21

Menurut Clinebell, pendampingan mencakup pelayanan yang saling

menyembuhkan serta menumbuhkan didalam suatu jemaat dan komunitasnya

sepanjang hidup. Dalam pendampingan hubungan yang tercipta antara yang

mendampingi dan yang didampingi merupakan hubungan yang sejajar, dan

merupakan hubungan yang timbal balik. Pendampingan pastoral lebih bersifat

holistik yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, dan spiritual.22

Menurut Engel pendampingan pastoral tidak hanya sekedar meringankan

beban penderitaan, tetapi menempatkan orang dalam relasi dengan Allah dan

sesama, dalam pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam

kehidupan spiritualnya untuk membangun dan membina hubungan dengan

sesamanya, mengalami penyembuhan dan pertumbuhan serta memulihkan orang

dalam hubungan dengan Allah.23

Sehingga pendampingan pastoral merupakan sebuah tindakan yang dilakukan

secara sadar untuk mendampingi orang lain atas dasar Kasih dengan tujuan saling

mendukung, menopang serta dapat bertumbuh dalam Iman. Pendampingan

berlaku secara umum dan dapat di lakukan oleh semua orang, yang memiliki rasa

empati terhadap sesamanya.

Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris “counseling” yang berarti nasehat

atau menasehati.24 Istilah “Pastoral” berasal dari bahasa latin “Pastor”. Pastor

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti “gembala”. Sehingga,

19

Jacob Daan Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 1.

20

Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 1. 21

Aart Martin Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 9-11.

22

Friska R. S Girsang, Peran Majelis Sebagai Pendamping Pastoral di GKPS Tangerang, Diakses 09, Oktober, 2017

http://sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072156/872e28f00f92277162b34c51785 405da/intro.pdf.

23

Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 4. 24

(19)

istilah “Pastoral” berarti sesuatu yang bersifat pastor atau gembala, yang mana ciri

dari gembala yakni memiliki sifat memelihara, merawat dan melindungi serta

menolong orang lain.25

Melalui penjelasan tersebut maka, konseling pastoral adalah suatu fungsi dari

pastoral dalam pemahaman bahwa seorang konselor tidak hanya bersentuhan

dengan apa yang hanya disebut relasi terhadap sesamanya melainkan

menempatkan orang dalam hubungannya dengan Allah.26 Konseling dipahami

sebagai sebuah layanan percakapan terarah yang menolong sesama yang dalam

keadaan krisis agar mampu melihat dengan jernih krisis yang tengan dialaminya.27

Dalam layanan konseling pastoral, konselor memberi nasehat, melindungi,

merawat, menolong serta memelihara konseli untuk mampu bertumbuh dalam

iman. Bagi Clinebell konseling pastoral merupakan suatu fungsi yang bersifat

memperbaiki, yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis atau masalah yang

merintangi pertumbuhannya.28

Melalui definisi diatas, konseling pastoral merupakan suatu alat yang sangat

penting untuk membantu seseorang dalam menghadapi persoalan atau krisis yang

terjadi di dalam kehidupannya.29 Menurut Krisetya konseling pastoral merupakan

suatu bidang pelayanan yang berada di bawah payung pendampingan (Pastoral

Care), namun sesuai dengan kekhasannya konseling pastoral lebih menggunakan

suatu metode pendekatan yakni konversasi atau dialog secara langsung tentang

situasi kehidupan dari konseli.30

Antara pendampingan dan konseling memiliki fungsi dan tujuan yang sama,

tetapi perbedaannya ada pada metode dan penekanan. Konseling hanya dapat

dilakukan ketika seseorang mengalami masalah yang serius sedangkan

pendampingan dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja.

Dalam sebuah konseling tidak bisa berjalan tanpa adanya pendampingan, namun

sebuah pendampingan bisa berjalan tanpa adanya konseling.

25

Van Beek, Potret diri …, 3.

26

Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling,11.

27

Hendri Wijayatsih, “Pendampingan dan Konseling Pastoral”: 1, diakses 13 Oktober 2017, http://ukdw.ac.id/journal-theo/index.php/gema/article/viewFile/122/pdf .

28

Clinebell,Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral. 32. 29

Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 11.

30Marthen Nainupu, “Konseling pastoral dalam gereja: Res Sine Qua Non”, JTA 11/20 (Maret 2009): 83, diakses 12 Oktober 2017.

(20)

2.2Fungsi-fungsi Pastoral

Menurut Clinebell, tujuan dari seluruh proses pendampingan dan konseling

pastoral ialah adanya pertumbuhan spiritualitas yang dialami oleh konseli.31

Secara spesifik, menurut Clebsch dan Jaeckle mengatakan bahwa secara

tradisional ada 4 fungsi pendampingan pastoral32 yakni:

1. Fungsi Menyembuhkan (Healing)

Fungsi menyembuhkan ini, dipakai oleh konselor untuk memperbaiki atau

mengatasi kerusakan yang dialami oleh konseli, dengan cara mengembalikan

konseli pada keadaan yang kembali normal atau lebih baik dari sebelum dan

sesudah mengalami krisis.

2. Fungsi Membimbing (Guiding)

Fungsi membimbing ini dilakukan konselor untuk membantu konseli

yang mengalami kebingungan dalam mengambil sebuah keputusan atau

menentukan pilihan.

3. Fungsi Menopang/mendukung (Sustaining)

Fungsi menopang dilakukan untuk menolong orang yang “terluka” agar

dapat bertahan melewati masa krisis yang dialami pada masa lampau, di mana

perbaikan atau penyembuhan atas penyakitnya tidak mungkin lagi diusahakan

atau kemungkinannya sangat tipis sehingga tidak mungkin lagi diharapkan.

4. Fungsi Memperbaiki hubungan/mendamaikan (Reconciling)

Fungsi memperbaiki ini dilakukan, dengan berupaya membangun kembali

relasi yang rusak antara konseli dengan sesamanya maupun hubungannya

dengan Allah, dimana konselor berperan sebagai penengah/mediator.

Clinnebell, menambahkan fungsi kelima dari pendampingan/konseling

pastoral yaitu fungsi memelihara atau mengasuh. Tujuannya yakni

memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan

Allah kepada mereka, disepanjang perjalanan hidup mereka.33 Dalam

melakukan fungsi memelihara ini, konselor menolong konseli untuk bertumbuh

menjadi seseorang yang memahami makna keberadaannya dalam dunia ini.34

31

Clinebell, Basic Type Of pastoral care and counseling, 67. 32

Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 106-110.

33

Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan, 54.

34

(21)

Dari kelima fungsi tersebut, Wiryasaputra turut menambahkan satu fungsi

yaitu fungsi memberdayakan (empowering).35 Fungsi ini, berguna untuk

membantu konseli menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada masa yang akan

datang sekaligus membantunya menjadi pendamping bagi orang lain.

Fungsi-fungsi Pastoral yang telah disebutkan diatas, tidak selamanya digunakan pada

saat yang bersamaan, tetapi tergantung pada proses dan kebutuhan orang yang

didampingi.36

2.3Tujuan Pastoral

Dalam bukunya Pengantar Konseling Pastoral, Wiryasaputra menyebutkan

ada 7 tujuan pelaksanaan pastoral yakni:37

1. Membantu konseli mengalami pengalamannya dan menerima kenyataan

2. Membantu konseli mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh

3. Membantu konseli berubah, bertumbuh, dan berfungsi maksimal

4. Membantu konseli menciptakan komunikasi yang sehat

5. Membantu konseli bertingkah laku baru

6. Membantu konseli untuk bertahan dalam situasi baru

7. Membantu konseli menghilangkan gejala disfungsional

Menurut Abineno bahwa tindakan pastoral ditujukan untuk membantu

banyak orang, yang karena berbagai sebab hidup dalam situasi yang sulit.38

2.4Pendekatan Pastoral

Dalam pelaksanaan pelayanan pastoral selain dibutuhkan penguasaan teori

dan metode konseling, maka dibutuhkan pula ketrampilan dalam

menjalankannya. Dalam upaya untuk menolong orang-orang yang mengalami

krisis, secara khusus bagi masyarakat di Indonesia yang merupakan bangsa

yang multikultural tentu saja tidak dapat menggunakan satu atau dua

pendekatan yang berasal dari budaya barat. Jika dilihat metode-metode

pendekatan yang diusulkan seringkali tidak mendalam atau tidak sesuai

dengan konteks budaya Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri.

35

Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 106-109.

36

Wijayatsih, “Pendampingan dan Konseling Pastoral”: 4.

37

Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 97-105. 38

(22)

Menurut Engel, isu metode pelayanan pastoral lebih menekankan pada

asumsi-asumsi nilai, preferensi ideologis, apriori kognitif, dan berorientasi

filsafat barat tanpa melihat individu sebagai makhluk yang berbudaya.39 Dalam

penerapan pelayanan pendekatan pastoral bagi masyarakat di Indonesia, Engel

menawarkan 5 pendekatan yakni pendekatan Integratif, pendekatan Psikologi,

pendekatan Feminis, pendekatan konseling keluarga serta pendekatan

konseling lintas budaya.

Menurut Supriyatna40, sedikitnya ada tiga (3) pendekatan dalam konseling

lintas budaya, pertama; pendekatan universal atau etik yang menekankan

inklusivitas, komunitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua,

pendekatan emik (Kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik khas dari

populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.

Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural.41 Palmer dan Laungani

mengajukan tiga (3) model konseling lintas budaya, yakni (1) Culture centred

model, (2) Integrative model, dan (3) Ethnomedical model.42

1. Model berpusat pada budaya (Culture centred model )

Palmer dan Laungani berpendapat bahwa budaya-budaya barat

lebih menekankan pada individualisme, kognitifisme, kebebasan, dan

materialisme, sedangkan budaya timur lebih menekankan kepada

komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme.

Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.

2. Model Integratif (Integrative model)

Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika,

Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel

sebagai panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni

sebagai berikut :

a) Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial

oppression).

39

Engel, Konseling pastoral dan isu-isu kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), IX.

40

Indah Lestari, “Konseling berwawasan lintas budaya”, 5, Diakses 19 Oktober 2017 di

http://eprints.umk.ac.id/3636/3/artikel.pdf.

41Lestari, “konseling berwawasan lintas budaya”, 5. 42

(23)

b) Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).

c) Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).

d) Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and

family experiences and endowments).

Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya

sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel

tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling

adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya

tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya

tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi

individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Salah satu

hal yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972)

dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni

nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga

kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases

nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di

atas.

3. Model Etnomedikal (Ethnomedical model)

Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser

(1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993).

Model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya

dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya. Dalam

tulisan ini penulis hanya menjelaskan 1 model saja yakni konsepsi sakit.

Konsepsi sakit (sickness conception), seseorang dikatakan sakit apabila:

melakukan penyimpangan norma-norma budaya, melanggar batas-batas

keyakinan agama dan berdosa, melakukan pelanggaran hukum,

mengalami masalah interpersonal.

Dari ketiga (3) model pendekatan konseling lintas budaya,

diketahui bahwa konseling berwawasan lintas budaya menjadi begitu

penting. Perjumpaan budaya dalam masyarakat global menjadi semakin

(24)

mementingkan individu dalam proses konseling, tanpa peduli atmosfir

yang melingkupi proses konseling, baik dalam konseling individual

maupun konseling kelompok, atau atmosfir baru yang muncul dalam

proses konseling, maka proses konseling akan berupa semacam khotbah

indoktrinasi, atau pengajaran.43 Penerapan konseling berwawasan lintas

budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap budaya,

keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien

yang satu dengan yang lainnya, dan antara konselor sendiri dengan

kliennya.44

Konseling lintas budaya melibatkan pendekatan ilmu antropologi

budaya, psikologi dan sosiologi, yang bertujuan untuk memberdayakan

serta memampukan konseli agar beradaptasi dengan situasi dengan

lingkungan untuk mengubah keadaan.45

2.5Penggunaan sarana-sarana dalam Pastoral

Penggunaan sarana keagamaan dalam konseling pastoral, dinilai sangat

penting karena sarana keagamaan merupakan salah satu alat konseling pastoral

untuk menolong konseli memecahkan persoalan atau gangguan

psiko-spiritual.46 Wiryasaputra menyebutkan paling kurang ada enam (6) sarana

keagamaan yang dapat digunakan dalam konseling pastoral47 yakni:

1. Doa

Doa dilakukan ketika seseorang atau sekelompok orang yang sedang

mengalami krisis atau persoalan diluar kemampuannya untuk

mengatasinya sehingga memerlukan intervensi khusus dari Allah. Doa

merupakan sarana keagamaan sebagai simbol kebersamaan Allah dengan

kita dan sekaligus merupakan simbol kebersamaan kita dengan Allah dan

penyerahan diri yang total kepadaNya (Lukas 23:46).

2. Alkitab

Penggunaan Alkitab dalam konseling pastoral memang penting, karena

alkitab mempunyai berbagai cara untuk menyapa kebutuhan religius

43Lestari, “konseling berwawasan lintas budaya”, 8. 44Lestari, “konseling berwawasan lintas budaya”,

8.

45

Engel, Konseling pastoral dan isu-isu kontemporer, 73-74. 46

Wiryasaputra, Pengantar konseling pastoral, 181-182.

47

(25)

manusia, namun penggunaan tersebut harus dilakukan dengan berhati-hati.

Ada bermaca-macam penggunaan Alkitab dalam konseling pastoral,

seperti penggunaan untuk menghibur, mengajar, menasehati dan

mendiagnosis.

3. Nyanyian/Musik

Nyanyian/musik dikenal luas oleh komunitas kristiani, namun

penggunaannya dalam konseling pastoral tidak seluas penggunaan doa dan

alkitab. Nyanyian/musik sebagai bentuk ekspresi pengalaman hidup

seperti perasaan suka, rasa syukur, bahagia, sedih, duka, penyesalan,

komitmen, dan sebagainya.

4. Ziarah

Sarana keempat yang digunakan dalam konseling pastoral yakni Ziarah.

Dalam kekristenan, ziarah jarang sekali digunakan dalam pendampingan

dan konseling pastoral karena ketakutan terhadap sinkretisme, namun

dalam komunitas katholik penggunaan ziarah masih digunakan dalam

pastoral untuk membantu konseli yang mengalami kedukaan karena orang

yang dikasihinya meninggal.

5. Ibadah

Ibadah dapat dilakukan sebagai salah satu sarana pendampingan dan

konseling pastoral kepada keluarga yang mengalami kedukaan. Dalam

ibadah, konselor dapat memberi kesempatan kepada keluarga yang

berduka untuk mengungkapkan serta mengekspresikan perasaan mereka

karena kehilangan orang yang dikasihi.

6. Penumpangan tangan

Sarana keenam yang digunakan yakni Penumpangan tangan. Dalam

Perjanjian Baru, penumpangan tangan digunakan sebagai sarana

pertolongan, pendampingan dan konseling pastoral (Mark 5:23, 6:5, 7:32,

8:23, 16:18, dll). Dalam perjanjian lama penumpangan tangan digunakan

sebagai simbol pemberian hak istimewa atau kuasa kepada seseorang

(Imam dan raja).Bagi Yesus dan para pengikut-Nya penumpangan tangan

(26)

7. Sarana lain: minyak, lilin, air, anggur, Bunga

Ada banyak sarana yang dapat digunakan dalam pendampingan dan

konseling pastoral, seperti minyak, lilin, air, anggur dan bunga dapat

digunakan konselor sebagai relaksasi bagi konseli. Namun, dalam

penggunaanya harus memiliki tujuan yang jelas dan tidak dilakukan

secara sembarangan. Sarana keagamaan hanya digunakan untuk membantu

konseli menghayati kehidupannya secara utuh, kemudian berubah,

bertumbuh dan berfungsi secara maksimal.

III.Hasil Data Penelitian

3.1Gambaran Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di Wilayah Kota So‟E, Kabupaten

Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Teng gara Timur. Secara Geografis

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS ), terletak antara 124o4910111 –

124o0410011 Bujur Timur 9o 261 – 10o 101 Lintang Selatan. Kabupaten Timor

Tengah Selatan (TTS) merupakan salah satu dari 22 Kabupaten yang ada di

Propinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah administrasi Kabupaten Timor Tengah

Selatan terdiri dari 32 Kecamatan, 266 Desa dan 12 Kelurahan.

Kota So‟E merupakan salah satu dari 32 Kecamatan yang ada di Kabupaten

Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kota So‟E menjadi ibu kota Kecamatan. Kota

So‟E sendiri ada terdapat 2 desa dan 11 kelurahan. Jarak yang dapat ditempuh dari

Kupang ke So‟E yakni 110 Km dan sekitar 185 Km dari Atambua. Luas wilayah

Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah 3.955,5 Km2 atau 395.550 Ha dengan

jumlah penduduk sebanyak 475.375 Jiwa.48 Dalam Kecamatan Kota So‟E secara

khusus, ada terdapat beberapa agama yang dianut oleh masyarakat setempat yang

akan dijelaskan dalam tabel dibawah ini.

Kecamatan Katolik Protestan Islam Hindu Budha Khong Fucu

Lainnya

Kota So‟E 11,57 78,72 9.30 0,38 0,01 - 0,02

*)Sumber Kantor Kementrian Agama Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Gambar Tabel 1

48

(27)

3.2Sejarah dan Latar belakang kehidupan Jemaat Efata So’E

Jemaat Efata So‟E merupakan salah satu jemaat yang terletak dalam wilayah Klasis So‟E. Klasis So‟E terbentuk pada tanggal 31 Oktober 1947, sesuai dengan pembagian 6 Klasis dalam lingkungan pelayanan GMIT (Sejak berdirinya GMIT).

Pada saat itu wilayah pelayanan Klasis So‟E meliputi 3 Kabupaten yaitu:

Kabupaten TTS, TTU dan Belu.49

Sejalan dengan perkembangan Kabupaten maka, pada tahun 1964 Kabupaten

TTS berkembang menjadi 3 Klasis menurut wilayah Swapraja yakni: Klasis

Mollo, Klasis Amanuban dan Klasis So‟E. Pada tahun 1972 terjadi pemekaran menjadi 8 Klasis dan kemudian pemekaran lagi menjadi 13 Klasis sampai

sekarang yaitu: Klasis SoE, Amanuban Selatan Barat, Amanuban Selatan Timur,

Amanuban Tengah Selatan, Amanuban Tengah Utara, Amanuban Timur Selatan,

Amanuban Timur, Amanatun Utara, Mollo Timur, Mollo Utara dan Mollo Barat.

Jemaat – jemaat GMIT di wilayah Klasis So‟E tersebar dalam 3 wilayah

pemerintahan yaitu kota SoE, Amanuban Barat, dan Batu Putih.50

Nama Efata baru digunakan sekitar tahun 1984. Awalnya jemaat terbagi atas

dua yaitu jemaat dengan berbahasa Indonesia dan jemaat dengan berbahasa daerah

atau Dawan. Pada awalnya kedua jemaat ini bersama-sama menggunakan satu

gedung kebaktian, namun barulah pada tahun 1984 kedua Jemaat ini berpisah

karena telah dibangun gedung kebaktian baru untuk jemaat dengan berbahasa

Indonesia, yang kemudian hingga kini dikenal dengan nama EFATA yang berarti

“terbukalah”. Pemberian nama ini ditujukan untuk membedakan jemaat yang

menggunakan bahasa Indonesia dengan jemaat yang berbahasa Dawan.

Gereja GMIT Efata SoE memiliki 6 pelayan pendeta dengan jumlah jemaat ±

13.000 jiwa, meliputi koordinator pelayanan 16 wilayah dari koordinator

pelayanan tersebut terdapat 92 ketua rukun jemaat. Pada tahun 2016-2017

penatua berjumlah 288 orang dan diaken berjumlah 194 orang.51 Jemaat Efata

SoE terletak dalam satu wilayah yang tersebar di berbagai kelurahan yaitu:

Taubneno, Kampung Baru, Karang Sirih, Cendana, SoE, Nunumeu, Oebesa,

Oenasi, Oekefan, dan Kota Baru. Jemaat Efata sendiri lebih didominasi oleh

49

Buku memori Pelayanan KMJ GMIT Efata Soe Priode 2013-2017, 2. 50

Buku memori Pelayanan, 2. 51

(28)

beberapa suku antara lain suku Timor, Rote, Sabu, Alor, Sumba, Jawa, Batak,

Ambon, Kisar, Tionghoa, dll. Suku Timor (Dawan) merupakan mayoritas dalam

wilayah pelayanan GMIT Efata SoE.

Kebanyakan jemaat GMIT Efata So‟E bermata pencaharian sebagai PNS,

pedagang, tukang, buruh, supir, tukang ojek, dll.52 Dalam memenuhi kehidupan

sehari-hari jemaat, biasanya jemaat mengolah pekarangan maupun kebun yang

dimiliki untuk ditanami sayur-sayuran, jagung, kacang-kacangan, dan tanaman

lainnya yang bermanfaat bagi jemaat.

3.3Agama Asli Orang Timor

Seorang antropolog Belanda bernama Schulte-Nordholt melakukan penelitian

tentang struktur sistem politik masyarakat dawan Timor atau dikenal dengan

sebutan Atoni. Dalam tulisannya, Nordholt mengungkapkan bahwa masyarakat

dawan Timor dalam sistem kepercayaan, mereka mempercayai Uisneno sebagai

tuhan langit dan Uispah atau biasa disebut tuhan bumi. Uisneno disembah

dipercayai dalam berbagai cara sebagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam

berbagai bentuk atau wujud. Uisneno sebagai tuhan langit dan tuhan bumi

sehingga Uisneno dipahami dan diyakini dalam dua wujud kehadiran yakni

Uisneno Mnanu yaitu tuhan langit yang tidak kelihatan dan Uisneno Pala yang

mengidentifikasikan diri dalam bentuk buaya dalam air sehingga dikenal sebagai

tuan air (Uis Oe), dan dalam wujud ular piton yang dikenal sebagai penguasa

tanah kering (Uis Meto). Sebagai Uisneno Mnanu yang dilangit ia selalu

memberikan kehangatan menyebabkan pergantin musim dan waktu yang

didalamnya petani menanam dan menuai. Uisneno Mnanu sebagai Ilah tertinggi

maka tugas Uisneno Pala adalah menyampaikan doa-doa yang disampaikan oleh

orang Atoni kepada Uisneno Mnanu. Uisneno Pala bagi masyarakat dawan Tmor

terkadang diidentifikasikan dengan roh atau arwah para leluhur agar dapat

menyampaikan doa-doa mereka.53

Selain Uisneno masyarakat dawan Timor, juga percaya adanya roh-roh atau

Nitu, yang berada disekeliling mereka, yang berdiam dibatu-batu, hutan, pohon,

sungai dan mata air dan gunung-gunung. Roh-roh atau Nitu ini diyakini sebagai

52

Buku memori Pelayanan, 3. 53

(29)

kekuatan yang berasal dari Uisneno, dianggap demikian karena Uisneno dipercaya

sebagai asal mula atau sumber dari adanya segala sesuatu dialam semesta ini.

Dalam kehidupan sehari-hari roh-roh ini hadir dalam bentuk Pah Nitu (roh-roh

dunia atau roh penjaga bumi) dan Pah Tuaf atau Naid Juf (tuan atau penguasa

yang ada pada sebuah wilayah) istilah Pah Nitu berhubungan dengan Nitu yakni

roh dari orang sakti atau orang-orang yang sudah meninggal.54 Masyarakat dawan

Timor juga percaya pada Le‟u. Le‟u berarti suci, kramat, menimbulkan rasa

kagum atau segan dalam dirinya sendiri. Bagi orang Atoni, Le‟u diyakini sebagai

sumber bencana atau menyebabkan bencana dan sumber pemberi keuntungan atau

kebaikan bagi mereka. Masyarakat Timor biasanya mengenal dan membedakan

Le‟u berdasarkan tujuan dan fungsi.55

Masyarakat dawan Timor, meyakini bahwa Uisneno, roh-roh dan Uispah

dapat mengendalikan takdir manusia.56 Masyarakat dawan Timor, ketika

mengharapkan kesejahteraan, kesehatan dan kebaikan selalu memintanya dari

Uisneno, Uispah dan roh-roh berada pada urutan kedua. Bahkan terkadang Uispah

dianggap sebagai pembawa ketakberuntungan dan malapetaka bagi manusia,

sehingga manusia perlu untuk mengadakan ritual-ritual tertentu, namun apa yang

mereka inginkan akan mereka dapatkan, apabila mereka melakukan ritual dengan

benar dan sesuai dengan aturan yang telah dikenakan kepadanya.57

3.4Sejarah ritual naketi masyarakat dawan Timor

Dalam pelaksanaan ritual adat istiadat yang dilakukan oleh setiap suku

maupun dalam sebuah komunitas selalu ada sejarah yang melatarbelakanginya.

Begitupun dengan pelaksanaan ritual naketi yang dilaksanakan oleh masyarakat

dawan Timor. Pelaksanaan ritual naketi sudah ada sejak zaman nenek moyang dan

dilakukan secara turun-temurun oleh para leluhur masyarakat Timor hingga saat

ini.58

Masyarakat dawan Timor dalam menjalani kehidupannya selalu berusaha

untuk menjalin relasi yang baik dengan Uisneno dan Uispah, karena keduanya

54

Schulte-Nordholt, The Political System, 146-147. 55

Schulte-Nordholt, The Political System. 147. 56

Schulte-Nordholt, The Political System, 151. 57

Schulte-Nordholt, The Political System, 151. 58

(30)

dipercayai memiliki peran yang penting dalam menentukan keberlangsungan dan

keselamatan hidup mereka. Untuk menjamin kelangsungan dan keselamatan

hidup mereka, maka akan diadakan ritual dan upacara adat untuk meminta berkat

dan pertolongan kepada Uisneno dan Uispah. Masyarakat dawan Timor juga

meyakini bahwa setiap bencana, kedukaan, kemalangan, sakit penyakit yang

menimpa mereka juga merupakan akibat dari adanya ketidakharmonisan dalam

hubungan mereka dengan Uisneno dan Uispah.59 Sehingga untuk memulihkan

relasi yang rusak tersebut mereka perlu untuk melakukan pengakuan dosa yang

dewasa ini dikenal dengan istilah naketi.

Ketika mereka mengalami sakit penyakit, bencana, kesukaran dan kemalangan

dalam hidup mereka mempercayai bahwa hal tersebut dikarenakan upah dosa

yang telah mereka lakukan terhadap Uisneno dan Uispah sehinggah

mendatangkan persoalan/masalah. Oleh karena itu, untuk memperoleh jalan

keluar dari setiap persoalan yang di alami maka, mereka perlu mengakui dosa

mereka kepada Uisneno dan Uispah untuk memperoleh keselamatan. Para

pemimpin (tua adat) akan menggunakan hukum adat nenek moyang yang

dipegang dan telah mengatur seluruh proses kehidupan mereka.60

3.5 Makna, tujuan dan fungsi naketi dalam pemahaman Jemaat Efata So’E

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan mengenai,

makna Naketi (dalam pemahaman warga Jemaat GMIT Efata SoE, dikaji dari

perspektif Pastoral), maka diperoleh hasil wawancara yang hampir serupa antara

jawaban yang satu dengan jawaban lainnya dari masing-masing informan.

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa Naketi merupakan tradisi

praktek agama suku Timor yang berasal dari kata Naketi yang berarti mengatur,

meluruskan dan mensejajarkan suatu hal atau memperbaiki sesuatu yang bengkok

menjadi lurus. sehingga naketi berarti mengatur, memperbaiki dan meluruskan

kembali suatu hal ataupun relasi yang rusak, yang tidak sesuai dengan kehendak

Tuhan agar kembali normal.61 Pada umumnya, naketi itu ada atau harus

dilakukan, oleh seseorang ataupun sekeluarga yang sedang mengalami

59

Wawancara dengan tokoh adat Bapak M. Nuban, di Soe tanggal 2 November 2017. 60

Wawancara dengan tokoh adat bapak M. Nuban, di Soe tanggal 2 November 2017. 61

(31)

masalah/persoalan atau beban berkelanjutan sehingga harus diselesaikan terlebih

dahulu.62

Naketi juga dapat dikatakan sebagai pemurnian atau penjernihan diri. Naketi

dilakukan untuk memurnikan atau menjernihkan diri dari masalah atau persoalan

akibat dosa yang dilakukan menuju pemulihan untuk menemukan kesucian

hidup.63 Dikatakan demikian karena, mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang

buruk yang terjadi dalam kehidupan mereka, ialah akibat dari adanya dosa dan

pelanggaran yang dilakukan, sehingga mendatangkan kutukan atau bencana. Oleh

sebab itu, mereka akan berupaya untuk memurnikan diri dengan cara mengakui

dosa dan pelanggaran yang dilakukan untuk terlepas dari persoalan ataupun

bencana yang dialami.

Contoh kasusnya;

Ada seorang ibu AB64 yang menderita pembengkakan pada bagian perut yang membuatnya sangat menderita. Ketika ibu AB ini dibawah kerumah sakit untuk diperiksa, ditemukan komplikasi penyakit yang diderita seperti (tumor, kista, dll) sehingga ibu AB ini tidak mendapatkan kesembuhan medis. Hal tersebut membuat keluarga untuk melakukan naketi secara khusus untuk ibu AB. Maka, selama sakit ibu AB bermimpi didatangi oleh 3 orang anggota keluarga yang telah meninggal dua diantaranya masih bayi, dan salah satunya ialah orangtua ibu AB. Maka ibu AB dalam hasil doa para Hamba Tuhan ditemukan bahwa ibu AB pernah mengubur sesuatu dengan tersembunyi dan ibu AB melakukan naketi

(mengaku) jika, ia pernah menggugurkan janinnya sendiri berturut-turut sebanyak dua kali yang berusia ± 2 bulan dan ± 3 minggu dan menguburnya tanpa sepengetahuan dari keluarganya sendiri. Ibu AB inipun, mengaku kepada keluarganya dan para Hamba Tuhan dan Tuhan, sehingga ia didoakan dan didukung oleh keluarga untuk tetap kuat dan tabah. Setelah melakukan naketi

secara berangsur-angsur kondisi ibu AB tersebut mengalami pemulihan.

Berdasarkan pemahaman diatas maka, naketi merupakan cara orang Timor

untuk menyelesaikan persoalan dan krisis berkelanjutan yang dialami dengan cara

memperbaiki, mengatur, memurnikan/menjernihkan diri dari dosa. Setelah

melakukan naketi terjadi perubahan drastis yang dialami keluarga tersebut dalam

waktu singkat.

Adapun tujuan dari naketi yaitu untuk membantu masyarakat dawan Timor,

dalam upaya mengatur, memperbaiki sistem tatanan kehidupan mereka yang rusak

62

Wawancara dengan Diaken Aris Liufeto, Jemaat Efata SoE, tanggal 01 Oktober 2017. 63

Wawancara bersama Bpk A.B (Inisial), Jemaat Efata SoE, tanggal 02 Oktober 2017.

64

(32)

dan berserakan sebagai penyebab adanya bencana dan krisis berkelanjutan dalam

hidup, karena dalam sistem kepercayaan mereka bahwa kehidupan yang baik dan

berjalan sesuai tatanan akan membawa kesejateraan dan keselamatan dalam

hidup, sebaliknya jika tidak hidup berdasarkan pada tatanan kehidupan,

melanggar atau melalaikan (hukum adat nenek moyang dan 10 perintah Tuhan),

akan mendatangkan kutukan ataupun bencana dalam hidup, serta sebagai upaya

memurnikan/menjernihkan diri dari dosa yang dilakukan secara pribadi maupun

dosa turunan, agar mereka dapat terlepas dari dosa yang ada.65

Contoh kasus:

Bagi masyarakat Timor Sanut mofut atau silsilah keluarga. Masyarakat dawan Timor seluruhnya memberlakukan aturan adat bahwa seorang anak harus mengenakan nama marga ayah (Fam). Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa jika tidak melakukan hukum adat tersebut anaknya akan mengalami nasib buruk berkepanjangan. Seperti, keluarga istri yang (ibu si anak) yang menolak si anak untuk menyandang marga/fam ayahnya. Dengan alasan, ayahnya tidak bertanggung jawab menafkahi serta pergi meninggalkan keluarganya. Akibatnya, keluarga ibu menuntut agar nama ayahnya dicopot/diganti dengan marga ibu. Namun, dikemudian hari anak tersebut mengalami masalah/musibah berkelanjutan. Sehingga a‟ote naus, majelis jemaat dan hama Tuhan akan menilai bahwa akibat dari adanya musibah berkelanjutan yang dialami anak tersebut ialah adanya kutukan dari arwah leluhur ayahnya karena tidak menyandang marga/fam

dari ayahnya. Sehingga, mereka akan berupaya untuk melakukan pemindahan marga anak dari ibu ke marga ayahnya, hal tersebut dewasa ini dikenal dengan

sebutan „doa pindah fam”.

Fungsi dari naketi yang dilakukan masyarakat dawan Timor,66 dengan

memperbaiki, mengatur dan memurnikan/menjernihkan diri dari dosa,

dideskripsikan sebagai berikut:

a. Untuk membimbing

Fungsi untuk membimbing ini, dapat terlihat dan digunakan oleh a‟ote naus

dalam upaya menyelidiki kesalahan apa yang telah dilakukan, sehingga

mendatangkan persoalan atau krisis berkelanjutan yang dialami. Sehingga

a‟ote naus ataupun Majelis Jemaat dan Hamba Tuhan dalam upayanya menyelidiki, ia juga membimbing mereka dalam proses untuk memperbaiki,

mengatur dan memurnikan diri, agar keadaan dan kondisi mereka kembali

normal.

65

Wawancara dengan tokoh adat bpk MN (Inisial), di Soe tanggal 02 November 2017.

66

(33)

b. Menopang

Fungsi menopang, dapat ditemukan selama proses naketi ini. Saat mengalami

krisis dan bencana berkepanjangan, maka kehadiran keluarga, kerabat sebagai

bentuk dukungan untuk menopang mereka dalam melewati masa sulit yang

dialami.

c. Untuk menyembuhkan

Fungsi untuk menyembuhkan, sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat

dawan Timor. Ketika sakit penyakit yang diderita tak kunjung sembuh

walaupun telah berobat ke RS (rumah sakit), maka langkah selanjutnya ialah

mereka akan melakukan naketi, untuk mengecek dosa/kesalahan yang

dilakukan yang menjadi penyebab sakit tersebut, sehingga ada pengakuan

maka ada kesembuhan.

d. Memperbaiki hubungan

Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan ini, digunakan untuk

mendamaikan dan memperbaiki relasi yang telah rusak antara sesama anggota

keluaga. Naketi akan dilakukan untuk mengecek penyebab yang

mengakibatkan terjadi sebuh krisis atau persoalan dalam keluarga. Apabila

penyebab telah ditemukan maka, sesama anggota keluarga akan diminta untuk

terbuka antara satu dengan yang lain atau disebut (Tae Nekaf) selanjutnya

akan dilanjutkan dengan pengakuan agar relasi tersebut dapat terjalin kembali

dan krisis yang dialami dapat terhenti. Oleh sebab itu dalam hal ini, naketi

dapat membantu masyarakat dawan Timor dalam upaya memperbaiki relasi

yang rusak baik dengan sesama, Tuhan dan dirinya sendiri.

3.6Proses dan sarana dalam ritual Naketi

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa proses pelaksanaan ritual

naketi, akan dipimpin oleh imam (a‟ote „naus) yang akan menentukan tempat

seperti batu besar yang dipercayai terdapat roh-roh yang mendiami tempat

tersebut dengan mengundang para pemimpin marga (amaf-amaf) untuk dapat

hadir ditempat tersebut dengan membawa hewan berupa ayam, sapi, babi,

kambing, atau kerbau tergantung pada jenis pelanggaran/dosa yang dilakukan.

Setelah tiba, maka a‟ote „naus akan menjelaskan alasan ritual tersebut harus

(34)

ditampung dalam sebuah tempat dan hati binatang itu akan diperiksa oleh a‟ote

„naus. Setelah hati binatang tersebut diperiksa, apabila terdapat benjolan/luka pada hati binatang tersebut maka, hal tersebut sebagai tanda bahwa tuhan sedang

marah atau murka. Selanjutnya mereka akan berdiskusi untuk memastikan jenis

pelanggaran aturan adat, yang menyebabkan tuhan marah sehingga mendatangkan

kutuk. Apabila mereka telah menemukan jenis pelanggaran tersebut maka, a‟ote

„naus akan berdoa memohon ampun kepada Uisneno dan Uispah.67

Doa yang dilakukan oleh a‟ote „naus dengan cara berbisik dan mengarahkan

pandangan pada suatu objek tertentu, sehingga yang hadir dan mengikuti ritual itu

tidak mendengar kata-kata yang diucapkan oleh a‟ote „naus. Selesai berdoa, a‟ote

„naus memercik darah hewan yang telah dipotong ke (salah satu dari sekian banyak) tempat terjadinya bercana, sedangkan dagingnya dibakar dan dimakan

bersama-sama. Tujuan diadakan pemercikan darah untuk mendinginkan amarah

tuhan sehingga kutuk segera dijauhkan. Dengan melakukan ritual naketi maka,

diyakini bencana atau persoalan yang dialami akan segera berakhir.68

Naketi yang dilakukan oleh masyarakat yang telah menjadi Kristen apabila

ditimpa bencana, serta sakit-penyakit dan kematian berkelanjutan maka,

cenderung akan melakukan ritual naketi. Namun, dalam proses pelaksanaan naketi

yang dilakukan, cenderung akan dipimpin oleh anggota majelis jemaat atau

dipimpin oleh hamba Tuhan (orang-orang yang memiliki karunia penglihatan dan

pendengaran saat mendoakan seseorang). Misalnya, dalam sebuah keluarga terjadi

perselisihan antara anak dan orangtua, sehingga orangtua mengeluarkan kata

kutuk kepada anak. Hal tersebut berdampak pada kehidupan anak yang sulit

mendapat pekerjaan dan berkat didalam hidup. Sehingga majelis Jemaat atau

hamba Tuhan menilai bahwa, kutuk tersebut akibat melanggar hukum ke-5 dari

sepuluh hukum (Kel. 20;12). Sehingga untuk memperbaiki sistem kehidupan yang

rusak tersebut maka, orangtua dan anak harus melakukan naketi dengan berdoa

yang dipimpin oleh hamba Tuhan atau majelis Jemaat setempat dan mengaku

dosa serta saling berdamai satu dengan yang lainnya.

67

Wawancara dengan tokoh adat bpk MN (Inisial), di Soe tanggal 2 November 2017

68

(35)

Budaya dan adat suku Timor

Dengan penjelasan tersebut, maka berikut ini adalah pola pelaksanaan naketi

pada masa pra-Kristen dan masa pasca-Kristen yang digambarkan69 sebagai

berikut:

(1) Naketi sebelum Kristen: HARMONI

SOLUSI KRISIS

(pemenuhan tuntutan adat)

MENGAPA? (Adat menjadi acuan)

Gambar 1: Proses naketi versi agama suku Atoni

(1) Naketi setelah Kristen : HARMONI

SOLUSI KRISIS

(pemenuhan adat dan/atau 10 perintah)

MENGAPA?

(Adat dan 10 hukum menjadi acuan)

Gambar 2: Proses naketi versi orang Atoni Kristen

Dengan masuknya agama Kristen di Timor maka ajaran Kristen tentang

sepuluh hukum taurat dijadikan sebagai media untuk mengecek dosa-dosa. Dari

aspek sosial dapat dikatakan bahwa, dengan masuknya agama Kristen di Timor

maka terjadilah proses akulturasi nilai-nilai budaya dan/atau hukum adat suku

meto dan nilai-nilai Kristen. Ada nilai-nilai budaya yang sesuai dengan nilai-nilai

Kristiani sehingga dapat didialogkan dan dipakai bersama tanpa masalah. Tetapi

ada juga nilai-nilai yang bertentangan satu dengan yang lain dan tidak bisa

didialogkan. Ruang Dialog

Gambar 3: Pola akulturasi nilai-nilai budaya dan injil

69

Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi: 144.

(36)

Dalam proses pelaksanaan naketi, tentunya ada orang yang melakukan dan

hadirin yang turut hadir dalam menyaksikan dan mendukung proses

berlangsungnya naketi ini. Selama proses tersebut berlangsung maka, para hadirin

yang hadir berperan sebagai saksi yang mendampingi, mendengar serta menyimak

pengakuan (naketi) yang disampaikan oleh yang bersangkutan. Setelah itu para

pemimpin akan melakukan doa pengakuan dan hadirin juga turut mendoakan

secara pribadi setelah itu mereka akan memberikan nasehat, menolong dan

mendampingi orang yang mengalami masalah tersebut untuk kembali menjalani

kehidupannya.

IV.Pembahasan Dan Analisa Data Penelitian

Pada bagian ini, penulis akan melakukan perbandingan pemikiran para ahli

yang telah dibahas dalam bagian ke II dan hasil data penelitian yang ditemukan.

Ritual Naketi merupakan salah satu kebudayaan tradisional masyarakat dawan

Timor, dalam upaya mencari solusi dari krisis/masalah berkelanjutan yang

dialami. Berbicara mengenai suatu kebudayaan tradisional yang dianut oleh suatu

kelompok atau komunitas tertentu maka manusia tentunya tidak akan terlepas dari

hubungan dan kehidupan lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan antara

kebudayaan dan manusia saling terkait antara satu dengan yang lainnya, serta

dalam kebudayaan karakter manusia dibentuk. Dilihati dari penjelasan tersebut

maka, ritual naketi sebagai kebudayaan masyarakat dawan Timor, didukung oleh

pemikiran Burnett Tylor, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang

kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat

seseorang sebagai anggota masyarakat.70

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka, diperoleh data mengenai

makna Naketi yang dipahami oleh warga Jemaat Efata So‟E, sebagai upaya untuk

memperbaiki, mengatur, mensejajarkan, meluruskan serta sesuatu hal bengkok,

yang berada diluar sistem nilai dan tidak sesuai dengan tatanan kehidupan mereka

sehingga menyebabkan adanya persoalan dan kemalangan. Naketi juga dimaknai

sebagai upaya untuk memurnikan dan menjernihkan diri dari dosa atau

70

(37)

pelanggaran yang dilakukan, sebagai penyebab munculnya persoalan-persoalan

berkelanjutan yang dialami. Ritual naketi yang dilakukan untuk

memurnikan/menjernihkan diri ini, berfungsi untuk memulihkan/memperbaiki

kembali relasi yang rusak secara vertical (antara manusia dengan Tuhan) dan

horizontal (antara sesama manusia). Dari hasil data penelitian tersebut mendukung

pemikiran Clebsch dan Jaeckle mengenai fungsi-fungsi dalam pastoral dan salah

satunya yakni memulihkan/memperbaiki relasi, yang juga ditemukan dalam

pelaksanaan ritual naketi.71 Sejalan dengan pemahaman Clebsch dan Jaeckle,

Clinnebell mengungkapkan bahwa konseling pastoral merupakan suatu fungsi

yang bersifat memperbaiki yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis yang

merintangi pertumbuhnnya.72 Penulis melihat hal ini, sesuai dengan tujuan ritual

naketi yang dilakukan yakni untuk memperbaiki sistem tatanan kehidupan yang

rusak, yang menyebabkan adanya krisis dan bencana berkelanjutan, sehingga

mereka perlu untuk memperbaiki sistem tatanan kehidupan mereka agar kembali

normal.

Dalam proses pastoral salah satu fungsinya yakni untuk memperbaiki

hubungan/mendamaikan relasi yang rusak baik dengan sesama maupun dengan

Allah. Hal serupa juga ditemukan dalam proses naketi yang dilakukan untuk

memperbaiki relasi dengan uisneno. Dalam kekristenan Allah dipercayai sebagai

Pencipta dan pemelihara, maka bagi masyarakat dawan Timor uisneno juga

dipercayai sebagai pencipta dan pemelihara yang disembah dalam berbagai cara

sebagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam berbagai wujud dan bentuk, yang

mengatur seluruh aspek kehidupan mereka. Sehingga penulis menilai bahwa, hal

tersebut sesuai dengan salah satu fungsi pastoral yang disebutkan oleh Clebsch

dan Jeackle yakni fungsi untuk mendamaikan/memperbaiki hubungan baik

dengan sesame maupun dengan Allah itu sendiri.73

Tujuan utama dalam pelaksanaan ritual naketi yakni untuk membantu orang

agar keluar dari persoalan/krisis yang dialami baik itu sakit penyakit, kedukaan

dan kemalangan berkelanjutan yang dialami. Berdasarkan hasil data tersebut,

menurut penulis mendukung pemikiran Abineno yang mengungkapkan bahwa

71

Wiryasaputra, pengantar konseling pastoral, 106-109.

72

Clinebell,Tipe-Tipe Dasar,…. 32.

73

Gambar

Gambar Tabel 1
Gambar 1: Proses naketi versi agama suku Atoni

Referensi

Dokumen terkait

PERAN KONSELING PASTORAL TERHADAP LANSIA DI PANTI WHERDA MANDIRI JAYA SALATIGAi. SANDRA SISKA MATARA,

Bagaimana kasus pindah agama di GKJW Jemaat Ponorogo ditinjau dari perspektif.

Pada kasus pindah agama dari Kristen masuk Islam dan kembali ke agama Kristen, secara konseling pastoral mereka mengalami krisis batin (psikologis) dan sosial,

Ritual bakar batu yang dilakukan merupakan bentuk pelestarian budaya leluhur, penjaga identitas sosial, sebagai salah satu sarana pewarisan budaya kepada generasi

30 Yang dideskripsikan dan dianalisis dalam penelitian ini adalah peran pastoral gereja terhadap pemahaman makna hidup anak korban

Konseling pastoral dalam analisa sosial budaya menyikapi dilema pelayanan pastoral dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan membuka pemikiran untuk memiliki

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gereja melakukan perkunjungan pastoral bagi warga gereja pasca stroke hanya berupa ibadah, konseling pastoral dianggap sangat penting oleh jemaat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara teroritis konseling lintas budaya dan konseling pastoral terpisah, namun penelitian ini cenderung menemukan