• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kemampuan Sosial Emosional Anak usia Dini (AUD) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Kemampuan Sosial Emosional Anak Melalui Metode “Role Playing” di Kelompok Bermain Fransiskus Xaverius 78

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kemampuan Sosial Emosional Anak usia Dini (AUD) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Kemampuan Sosial Emosional Anak Melalui Metode “Role Playing” di Kelompok Bermain Fransiskus Xaverius 78"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kemampuan Sosial Emosional Anak usia Dini (AUD)

Sosial emosional terdiri dari dua kata yaitu sosial dan emosional. Menurut Plato secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Syamsuddin (1995:105) mengungkapkan bahwa “sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial”, sedangkan menurut Loree (1970:86) “sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya”. Hal ini senada dengan pendapat Hurlock (Rachmawati, dkk : 2013) yang menjelaskan bahwa perkembangan sosial anak merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial.

Beaty dalam Susanto (2013), menyatakan bahwa perkembangan sosial anak berkaitan dengan perilaku prososial dan bermain sosialnya. Aspek perilaku sosial meliputi: (1) Empati, yaitu menunjukkan perhatian kepada orang lain yang kesusahan atau menceritakan perasaan orang lain yang mengalami konflik. (2). Kemurahan hati, yaitu berbagi sesuatu dengan yang lain atau memberikan barang miliknya. (3). Kerja sama, yaitu bergantian menggunakan barang, melakukan sesuatu dengan gembira. (4). Kepedulian, yaitu membantu orang lain yang sedang membutuhkan bantuan (Susanto, 2013: 145). Jadi secara psikologis, pada tahap ini kemampuan anak baik secara interpersonal maupun personal satu sama lainnya saling mempengaruhi.

(2)

Santrock (Nurmalitasari, 2015) mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan yang dianggap penting oleh individu tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi dapat berbentuk rasa senang, takut, marah, dan sebagainya.

Karaketristik emosi pada anak berbeda dengan karakteristik yang terjadi pada orang dewasa, dimana karekteristik emosi pada anak itu antara lain; (1) Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba; (2) Terlihat lebih hebat atau kuat; (3) Bersifat sementara atau dangkal; (4) Lebih sering terjadi; (5) Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya, dan (6) Reaksi mencerminkan individualitas (Nurmalitasari, 2015).

Berdasarkan penjelasan kemampuan sosial dan emosional diatas maka dapat diketahui bahwa kemampuan sosial emosional adalah dua hal yang saling mempengaruhi.Kemampuan emosi dominan mendorong aktivitas sosial seseorang. Kompetensi sosial ditentukan oleh kompetensi emosi seseorang. Seseorang dengan kecerdasan emosional yang tinggi cenderung menjadi pribadi yang kompeten secara sosial. Hal ini senada dengan pendapat Goleman (2006) yang menyatakan bahwa kematangan emosi seorang anak merupakan kunci keberhasilan dalam menjalin hubungan sosialnya.

Sosial emosional anak usia dini merupakan suatu proses belajar anak tentang bagaimana berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan aturan sosial yang ada, dan anak lebih mampu mengendalikan perasaan-perasaannya sesuai dengan kemampuan mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan tersebut (M Ramli, 2005: 208). Rosmala Dewi (2005: 18) menyatakan bahwa sosial emosional merupakan kemampuan mengadakan hubungan dengan orang lain, terbiasa untuk bersikap sopan santun, mematuhi peraturan dan disiplin dalam kehidupan sehari-hari dan dapat menunjukkan reaksi emosi yang wajar.

(3)

pertanyaan, mau mengekspresikan diri di kelas, mau bertanya, mau di tinggal selama di sekolah, dapat makan sendiri, memakai baju sendiri. Sedangkan aspek perkembangan emosional, yakni meliputi: (1) Rasa sayang kepada teman, orang tua, saudara dan guru. (2) Memiliki rasa empati, menolong teman. (3) Dapat mengontrol emosi, kemarahan, dan lainnya (Isjoni, 2009: 113).

Dewi (2015) mengatakan bahwa kemampuan sosial emosional anak adalah kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain, terbiasa untuk sopan santun, mematuhi dan menjalankan peraturan serta disiplin dalam kehidupan sehari-hari dan dapat menunjukkan reaksi emosi yang wajar, perkembangan kemampuan sosial emosional meliputi perkembangan dalam hal emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal.

Goleman (2006) juga menyebutkan bahwa salah satu kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaanya sehingga dapat diketahui bahwa perkembangan emosi sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan sosial anak. Interaksi sosial membutuhkan keterampilan khusus yang didorong oleh kondisi emosi anak seperti motivasi, empati dan menyelesaikan konflik. Anak yang dapat mengendalikan diri dan mudah menunjukkan empati dan kasih sayang akan mudah bersosialisasi dengan orang disekitarnya (Pujiati, 2013).

2.2Karakteristik Perkembangan Sosial Emosional AUD 2.2.1 Karakteristik Sosial AUD

Snowman (Rachmawati dan Nugraha : 2013) mengemukakan beberapa karakteristik kemampuan sosial pada anak usia prasekolah, diantaranya sebagai berikut :

a. Anak pada umumnya cepata menyesuaiakan diri secara sosial. Contoh, sahabat yang dipilih cenderung berdasarkan jenis kelamin yang sama, kemudian berkembang menjadi bersahabat dengan anak dengan jenis kelamin yang berbeda. b. Kelompk bermainya cenderung kelompok kecil dan dapat berganti-ganti

c. Anak yang lebih kecil cenderung mengamati anak yang lebih besar

(4)

e. Perselisihan sering terjadi, namun tidak berkepanjangan karena sesaat kemudian mereka akan berdamai kembali. Anak laki-laki banyak melakukan tindakan agresif dan menentang.

f. Setelah masuk TK, pada umumnya kesadaran mereka terhadap jenis kelamin telah berkembang. Anak laki-laki lebih senang bermain di luar, bermain kasar, bertingkah laku agresif sedangkan anak perempuan lebih suka bermain yang bersifat kesenian, bermain boneka atau menari.

Sementara itu, Hurlock (1978) mengemukakan beberapa pola perkembangan sosial pada anak usia dini, yaitu sebagai berikut :

1. Kerja sama

Anak belajar bermain dan bekerja sama hingga usia empat tahun. Semakain banyak kesempatan yang mereka miliki untuk melatih sosial maka akan semakin cepat mereka belajar dan menerapkannya secara nyata dalam kehidupan. 2. Persaingan

Persaingan dapat bersifat positif dan negatif. Jika anak merasa terdorong untuk melakukan sesuatu sebaik mungkin maka hal ini bisa berdampak positif pada prestasi anak namun jika persaingan dianggap sebagai pertengkaran dan kesombongan maka hal ini dapat mengakibatkan timbulnya sosialisasi yang buruk.

3. Kemurahan hati

Anak bersedia berbagi dengan anak yang lain. Apabila hal ini meningkat maka perilaku mementingkan diri sendiri akan semakin berkurang.

4. Hasrat akan penerimaaan sosial

Anak akan melakukan penyesuaian sosial yang baik apabila memiliki hasrat yang kuat akan penerimaan sosial.

5. Simpati

(5)

6. Empati

Anak akan merasakan pengalaman orang lain apabila anak telah memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain.

7. Ketergantungan

Kebutuhan anak akan bantuan, perhatian, dan dukungan orang lain membuat anak memperhatikan cara-cara berperilaku yang dapat diterima lingkungannya.

8. Sikap ramah

Seorang anak memperlihatkan sikap ramah dengan cara melakukan sesuatu bersama orang lain, membantu teman, dan menunjukan kasih sayang. 9. Meniru

Anak akan melakukan peniruan terhadap orang-oramg yang diterima baik oleh libgkungannya.

10.Perilaku kelekatan

Anak merasakan kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih bersama ibunya, anak mengembangkan sikap ini untuk membina persahabatan dengan anak lain.

2.2.2 Karakteristik Emosi Pada AUD

Adapun karakteristik reaksi emosi pada anak usia dini adalah sebagai berikut ini. a. Reaksi emosi anak sangat kuat

Anak akan memperlihatkan reaksi emosi yang smaa kuatnya ketika menghadapi setiap peristiwa, baik yang sederhana maupun yang berat. Bagi anak semua peristiwa menarik dan menakjubkan. Dalam hal kekuatan, makin bertambah usia anak maka anak akan semakin terampil dalam memilih kadar keterlibatan emosionalnya.

b. Reaksi emosi pada setiap peristiwa dengan cara yang diinginkan anak

(6)

c. Reaksi emosi anak mudah berubah

Reaksi emosi anak mudah teralihkan dna mudah berganti dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Contoh ketika anak menangis dengan keras maka anak akan segera berhenti apabila ibunya mengalihkan perhatiannnya pada benda-benda yang disukai anak.

d. Reaksi emosi bersifat individual

Dalam satu peristiwa, dua anak kehilangan mainan, satu anak menyikapinya dengan marah dan menangis sedangkan anak yang lain hanya menujukkan ekspresi wajah yang sedih.

e. Emosi anak dapat dikenali melalui gejala tingkah laku

Anak biasanya sering memperlihatkan gejala tingkah laku, antara lain melamun, gelisah, mengisap jari, mengigit kuku, kesulitan bicara (stuttering).

2.3Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini 2-4 Tahun Permendikbud No. 137 tahun 2014 mengemukakan Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial Emosional usia 2-4 tahun dibagi dalam tiga aspek yaitu : Kesadaran diri, Tanggung jawab dan Perilaku prososial seperti yang terdapat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.1 Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia 2-4 tahun

Lingkup

Perkembangan

Usia 2-3 tahun Usia 3-4 tahun

Kesadaran Diri 1. Memberi salam setiap mau pergi

2. Memberi rekasi percaya pada orang dewasa 3. Menyatakan perasaan

terhadap anak lain 4. Berbagi peran dalam

1. Mengikuti aktivitas dalam suatu kegiatan besar (misal: piknik)

2. Meniru apa yang dilakukan orang dewasa

(7)

2.4Metode Role Playing

Role playing dalam arti bermain peran adalah suatu bentuk permainan anak-anak yang aman yang sesuai dengan struktur lingkungan atau permainan yang dilakukan dengan menggunakan boneka, rumah-rumahan, yang pada hakekatnya bertujuan untuk mendramatisasikan tingkah laku yang berhubungan dengan masalah sosial

suatu permainan (misal: menjadi dokter, perawat, pasien

diganggu)

4. Mengatakan perasaan secara verbal 3. Mulai menunjukkan sikap

toleran sehingga dapat bekerja dalam kelompok.

4. Mulai menghargai orang lain. 5. Mulai menunjukkan ekspresi

menyesal ketika melakukan kesalahan 2. Memahami adanya perbedaan

perasaan (teman takut, saya tidak)

(8)

(Filina, 2013). Dengan role playing anak memiliki kesempatan untuk melakukan, memahami, menafsirkan dan memerankan suatu peranan tertentu. Melalui metode role playing ini anak akan aktif membicarakan permasalahan yang ditemuinya, kemudian menginformasikan hasil pengalaman tersebut melalui kegiatan berbicara (Jeffrey, dkk : 2013).

Bermain peran (role playing) adalah mendramatisasikan cara bertingkah laku orang-orang tertentu dalam posisi yang membedakan peranan masing-masing dalam suatu organisasi atau kelompok di masyarakat (Rumilasari, dkk : 2016). Role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan anak yang berperan sebagai subyek pembelajaran aktif (Huda (2014: 209). Pembelajaran dilakukan dengan memerankan suatu tokoh dalam drama dengan menitik beratkan kepada keterlibatan emosional dan kemampuan menghayati peran dan juga mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah (Mulyasa, 2012: 173).

Ismiasih (2016) mengungkapkan metode role playing adalah suatu metode ataupun cara untuk melakukan satu kegiatan pembelajaran yang menekankan pada kemampuan penampilan anak dalam memerankan status dan fungsi pihak-pihak lain yang terdapat di dalam kehidupan nyata. Pendapat ini senada dengan pendapat Sudjana (2016) bahwa metode role playing adalah situasi maupun keadaan dimana anak memainkan peran sesuai dengan kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan nyata manusia.

2.5Langkah-Langkah Metode Role Playing Pada Anak Usia Dini (AUD)

Metode bermain peran (role playing) secara khusus meliputi beberapa tahapan atau langkah-langkah penerapannya (Mulyasa, 2012). Langkah-langkah tersebut sebagai berikut:

(9)

memahami masalah yang hadir dan memiliki keinginan untuk mengetahui bagaimana masalah itu sebaiknya dipecahkan.

2) Memilih peran dalam pembelajaran yaitu guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter pada cerita, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian anak-anak diberikan kesempatan untuk memilih peran dan anggota kelompok dalam kegiatan bermain peran. 3) Menyusun tahap-tahap peran yaitu, para pemeran menyusun garis-garis besar

adegan yang akan diperankan, guru dapat membantu anak menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, seperti di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan dan sebagainya.

4) Menyiapkan pengamat, pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan, agar semua anak turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya, biasanya pengamat diberi tugas, seperti menilai apakah peran yang dimainkan sesuai dengan keadaan sebenarnya atau tidak.

5) Tahap pemeranan yaitu anak-anak mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing, dan berusaha memainkan setiap peran sesuai aslinya. Pemeranan cukup dilakukan dengan singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan. 6) Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan

pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, anak-anak akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi dapat diarahkan pada pengajuan alternatif-alternatif pemeranan yang akan ditampilkan kembali.

2.6Kelebihan dan Kekurangan Metode Role Playing

(10)

anak untuk bekerja sama dalam kelompok, memupuk rasa tanggung jawab akan tugas yang diterima.

Role playing dapat memberikan kesan pembelajaran yang kuat dan menyenangkan yang sulit untuk dilupakan, artinya siswa lebih berkesan dalam pembelajaran karena siswa perperan langsung memainkan tokoh dalam drama sehingga siswa lebih mudah mengingatnya, selain itu juga bisa menumbuhkan rasa kebersamaan dan antusiasme yang tinggi karena dalam suatu pementasan drama dibutuhkan latihan dan kerjasama yang baik untuk menciptakan kekompakan suatu kelompok (Ismiasih, 2016).

Selain mempunyai kelebihan role playing juga mempunyai kekurangan Suparman (Rumilasari, dkk : 2016) yaitu sebagai berikut :

1) Kecenderungan anak didik tidak bersungguh-sungguh 2) Memerlukan waktu yang cukup panjang

3) Suasana kelas yang tidak kondusif akan mempengaruhi jalannya kegiatan role playing.

2.7Manfaat Metode Role Playing

Role playing (bermain peran) bukanlah metode tanpa makna. Manfaat penggunaan metode role playing (Midyawati, 2016) dalam perkembangan anak yaitu sebagai berikut :

1) Membangun kepercayaan diri pada anak melalui berpura-pura menjadi peran yang anak inginkan, dapat membuat anak merasakan sensasi menjadi karakter-karakter yang diperankan sehingga kepercayaan diri anak meningkat

2) Mengembangkan kemampuan berbahasa, dimana saat bermain peran anak akan berbicara seperti karakter atau orang yang diperankannya. Hal ini dapat memperluas kosa kata anak. Membantu anak mengulangi dialog yang pernah didengar dan membuat anak percaya diri dalam berkomunikasi dan mengekspresikan diri.

(11)

ketika anak menumpahkan air maka anak akan berusaha mencari solusi dengan cara mengeringkan air tersebut menggunakan kain lap.

4) Membangun kemampuan sosial dan empati dimana anak sedang menempatkan dirinya dalam pengalaman menjadi orang lain, sehingga akan membantu anak untuk menghargai perasaan orang lain dan membantu mengembangkan rasa empati. Bermain peran akan lebih menyenangkan, apabila dimainkan bersama teman-teman karena anak dapat belajar berkomunikasi, bergiliran, belajar berbagai peralatan atau mainan bersama teman.

5) Memberi anak pandangan positif yaitu anak memiliki imajinasi yang tidak terbatas, sehingga melalui bermain peran membantu anak berusaha mencapai mimpi dan cita-cita.

2.8Tujuan Penggunaan Metode Role Playing

Tujuan yang diharapkan dengan pengunaan metode bermain peran (role playing) menurut Syaiful (Wintari, 2015) antara lain adalah sebagai berikut :

1) Agar anak dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain 2) Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab.

3) Dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasai kelompok. 4) Merangsang anak untuk berpikir dan memecahkan masalah

2.9Kajian Penelitian Relevan

(12)

Hasil penelitian lain dari Wintari, dkk pada tahun 2015 dengan judul „Penerapan Metode Bermain Peran (role playing) Berbantuan Media Konkret Dalam Meningkatkan Perkembangan Sosial Emosional Anak”. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Hasil akhir dari penelitian ini adalah terjadi peningkatan perkembangan sosial-emosional anak kelompok B TK Widya Bhakti Tua setelah diterapkan metode bermain peran berbantuan media konkret sebesar 23,43%. Hal ini diketahui dari peningkatan rata-rata persentase anak siklus I sebesar 58,90% yang berada pada kategori rendah menjadi sebesar 82,33% pada siklus II yang berada pada kategori tinggi.

(13)

2.10 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Tindakan

Kondisi Awal

Guru belum menggunakan metode role playing dalam proses

pembelajaran

Kemampuan sosial emosional anak belum meningkat dengan baik

Dalam pembelajaran guru menggunakan metode role

playing

Siklus I

Meningkatkan kemampuan sosial emosional anak di Kelompok Bermain guru menggunakan metode role

playing

Siklus II

Meningkatkan kemampuan sosial emosional anak di Kelompok Bermain guru menggunakan metode role

playing

Kondisi

akhir

Melalui penggunaan metode role playing kemampuan

sosial emosional anak Kelompok Bermain

(14)

2.11 Hipotesis Tindakan

Gambar

tabel berikut ini :
Gambar 2.1

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan Asestmen formatif Dalam Pembelajaran Berbasis Proyek Untuk Mengungkap Kemampuan Self Regulation Siswa SMA Pada Materi Kingdom Animalia.. Universitas Pendidikan Indonesia

(Studi Eksperimen pada SMA Angkasa Lanud Husein Sastranegara Bandung) ”. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi. pada

dengan membandingkan rasio-rasio tersebut dari tahun ke tahun maka dapat di ketahui efisiensinya penggunaan dana perusahaan sejauh mana kebijakan yang telah di jalankan

Efektif yang dimaksud adalah adanya teknik filterisasi data untuk merubah status calon peserta menjadi peserta resmi PIN 2013, sehingga memudahkan panitia PIN 2013

Salah satu fenomena sosial yang marak terjadi akhir-akhir ini adalah konflik sosial yang melibatkan tindak kekerasan massa. Artikel ini bertujuan mengeksplorasi

Tujuan dari kegiatan program pengelolaan penyakit kronis adalah untuk mendorong peserta penyandang penyakit kronis khususnya Hipertensi mencapai kualitas hidup optimal

Yang akan terpengaruh adalah fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang nasionalisme Indonesia karena dari adanya petunjuk bahwa bahasa Inggris cenderung dinilai lebih tinggi

Simulation and Implementation of Interleaved Boost DC-DC Converter for Fuel Cell Application (Ahmad Saudi) In this paper, comprehensive simulation analyses are presented to